Asuhan Keperawatan CHF
Asuhan Keperawatan CHF
PENDAHULUAN
KASUS B
Tuan Ahmad,68 tahun datang ke UGD dengan keluhan dyspnoe disertai edema
pada kedua tungkai. Dokter yang memeriksa mendiagnosis Tuan Ahmad menderita
Dekompensation cordis. Dari anamnesis diketahui Tuan Ahmad pernah dirawat dengan
penyakit yang sama akibat hipertensi kronis. Selama ini Tuan Ahmad mendapatkan
pengobatan kombinasi captopril (2x25 mg), Furosemid (1x20 mg), dan spironolactone
(1x25mg),untuk pengobatan pemeliharaan terhadap penyakitnya.
Sejak dua minggu sebelum datang ke UGD, Tuan Ahmad menderita osteoarthritis
genu sinistra dan mendapat obatnatrium diklofenak (2x50mg) . Setiap hari dari dokter
puskesmas.
2.1 Pengertian
CHF ( Congestive Heart Failure )sering disebut gagal jantung kongestif adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
jaringan akan oksigen dan nutrisi. Istilah gagal jantung kongestif paling sering digunakan kalau
terjadi gagal jantung sisi kiri dan kanan. ( Brunner dan Suddarth, 2002 : 805 ).
Gagal jantung merupakan ketidakmampuan jantung mempertahankan curah jantung
(cardiac output=CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO
mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang. Gagal jantung adalah keadaan
patifisiologik di mana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk
metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal
adalah relatif terhadap kebutuhan metabolisme tubuh, dan kedua, penekanan arti gagal ditujukan
pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan.
Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat, maka di dalam tubuh terjadi suatu
refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahan-perubahan neurohumoral,
dilatasi ventrikel dan mekanisme Frank-Starling. Dengan demikian manifestasi klinik gagal
jantung terdiri dari berbagai respon hemodinamik, renal, neural dan hormonal yang tidak normal.
Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling
pressure) dari jantung atau preload.
Mekanisme Kompensasi
Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi untuk mengatasi gagal jantung antara
lain:
1. Mekanisme respon darurat yang pertama berlaku untuk jangka pendek (beberapa menit
sampai beberapa jam), yaitu reaksi fight-or-flight. Reaksi ini terjadi sebagai akibat dari
pelepasan adrenalin (epinefrin) dan noradrenalin (norepinefrin) dari kelenjar adrenal ke
dalam aliran darah; noradrenalin juga dilepaskan dari saraf.
2. Mekanisme perbaikan lainnya adalah penahanan garam (natrium) oleh ginjal.
Untuk mempertahankan konsentrasi natrium yang tetap, tubuh secara bersamaan
menahan air. Penambahan air ini menyebabkan bertambahnya volume darah dalam
sirkulasi dan pada awalnya memperbaiki kerja jantung.Salah satu akibat dari penimbunan
cairan ini adalah peregangan otot jantung karena bertambahnya volume darah.
3. Mekanime utama lainnya adalah pembesaran otot jantung (hipertrofi).
Otot jantung yang membesar akan memiliki kekuatan yang lebih besar, tetapi pada
akhirnya bisa terjadi kelainan fungsi dan menyebabkan semakin memburuknya gagal
jantung.
Klasifikasi
1. Gagal jantung akut -kronik
a. Gagal jantung akut terjadinya secara tiba-tiba, ditandai dengan penurunan kardiak
output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan. Ini dapat mengakibatkan edema paru
dan kolaps pembuluh darah.
b. Gagal jantung kronik terjadinya secar perkahan ditandai dengan penyakit jantung
iskemik, penyakit paru kronis. Pada gagal jantung kronik terjadi retensi air dan
sodium pada ventrikel sehingga menyebabkan hipervolemia, akibatnya ventrikel
dilatasi dan hipertrofi.
2. Gagal Jantung Kanan- Kiri
a. Gagal jantung kiri terjadi karena ventrikel gagal untuk memompa darah secara
adekuat sehingga menyebabkan kongesti pulmonal, hipertensi dan kelainan pada
katub aorta/mitral
b. Gagal jantung kanan, disebabkan peningkatan tekanan pulmo akibat gagal jantung
kiri yang berlangsung cukup lama sehingga cairan yang terbendung akan
berakumulasi secara sistemik di kaki, asites, hepatomegali, efusi pleura, dll.
3. Gagal Jantung Sistolik-Diastolik
a. Sistolik terjadi karena penurunan kontraktilitas ventrikel kiri sehingga ventrikel
kiri tidak mampu memompa darah akibatnya kardiak output menurun dan
ventrikel hipertrofi
b. Diastolik karena ketidakmampuan ventrikel dalam pengisian darah akibatnya
stroke volume cardiac output turun.
2.2 Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit jantung
kongestif maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas
miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan
cacat septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta
dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada imfark miokardium dan
kardiomiopati.
Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam enam
kategori utama:
1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh
hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch
block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.4.
4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade).
6. Kelainan kongenital jantung.
Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus
1. Faktor Predisposisi
Yang merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri
koroner, kardiomiopati, enyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis
mitral, dan penyakit perikardial.
2. Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan (intake)
garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut,
hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan,
dan endokarditis infektif.
2.3 Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari
gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah
jantung normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO= HR x SV
dimana curah jantung ( CO = Cardiak Output ) adalah fungsi frekuensi jantung, Heart x Volume
sekuncup ( SV = Stroke Volume ).
Frekuensi jantung adalah fungsi saraf otonom. Bila curah jantung berkurang system saraf
simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila
mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan fungsi jaringan yang memadai, maka
volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah
jantung.
Tetapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekuatan serabtu otot
jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan.
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompakan pada setiap kontraksi tergantung pada
tiga faktor yaitu :
a. Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding dengan tekanan
yang ditimbulkan oleh panjangnya renggangan serabut jantung.
b. Kontraktilitas mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada
tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar
kalsium.
c. Afterload, bergantung pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan
utnuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh
tekanan afterload. Pada gagal jantung, jika satu atau lebih dari ketiga factor
tersebut terganggu mengakibatkan curah jantung berkurang mengakibatkan curah
jantung berkurang.
2.4 Anatomi dan Fisiologi Jantung
Jantung merupakan organ vital dalam tubuh manusia , jantung adalah sebuah organ
berotot dengan empat ruangan yang terletak di rongga dada , di lindungi tulang iga, sedikit
kesebelah kiri sternum. Jantung terdapat di dalam sebuah kantong longgar yang berisi cairan
yang disebut pericardium. Fungsi utama jantung adalah untuk memompa darah ke seluruh
jaringan tubuh untuk mengangkut nutrisi dan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dan zat
sisa metabolisme serta mempertahankan perpusi yang adekuat pada organ dan jaringan. Jantung
memiliki dua system sirkulasi, yaitu :
a. Sirkuit pulmonar adalah jalur untuk menuju dan meninggalkan paru-paru.
Sisi kanan jantung menerima darah terdeoksigenasi dari tubuh dan mengalirkannya ke
paru-paru untuk dioksigenasi. Darah yang sudah teroksigenasi kembali ke sisi kiri
jantung.
b. Sirkuit sistemik adalah jalur menuju dan meninggalkan bagian tubuh.
Sisi kiri jantung menerima darah teroksigenasi dari paru-paru dan mengalirkannya ke
seluruh tubuh. Atrium kiri katup bikuspid Ventrikel kiri katup semilunar trunkus aorta
regia dan organ tubuh (otot, ginjal, otak) (Ethel, 2003: 230-231).
Selain itu jantung juga di persyarafi oleh system syaraf otonom yaitu syaraf simpati dan
para sipatis. Syaraf simpatis mengirim implus yang menstimulus nodus SA sehingga
meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung. Sedangkan syaraf para simpatis melalui nervus
vagus (syaraf cranial X) mengirimkan implus yang menghambat frekuensi jantung atau
mengurangi kekuatan kontraksi dengan memperlambat nodus SA.
a. Vena cava superior dan inferior membawa darah yang tidak mengandung oksigen dari
tubuh kembali ke jantung.
b. Sinus koroner membawa kembali darah dari dinding jantung itu sendiri.
2. Atrium kiri di di bagian superior kiri jantung, berukuran lebih kecil dari atrium kanan,
tetapi dindingnya lebih tebal. Atrium kiri menampung empat vena pulmonalis yang
mengembalikan darah teroksigenasi dari paru-paru.
3. Ventrikel berdinding tebal. Bagian ini mendorong darah ke luar jantung menuju arteri
yang membawa darah meninggalkan jantung.
a. Ventrikel kanan terletak di bagian inferior kanan pada apeks jantung. Darah
meninggalkan ventrikel kanan melalui trunkus ulmonary dan mengalir melewati jarak
yang pendek ke paru-paru.
b. Ventrikel kiri terletak di bagian inferior kiri pada apeks jantung. Tebal dindingnya 3 kali
tebal dinding ventrikel kanan darah meninggalkan ventrikel kiri melalui aorta dan
mengalir ke seluruh bagian tubuh kecuali paru-paru.
c. Trabeculae carneae adalah hubungan otot bundar atau tidak teratur yang menonjol dari
permukaan bagian dalam kedua ventrikel ke rongga ventrikuler (Ethel, 2003: 229).
a. Arteri interventrikular posterior (desenden), yang mensuplai darah untuk kedua dinding
ventrikel.
b. Arteri marginalis kanan yang mensuplai darah untuk atrium kanan dan ventrikel kanan.
c. Vena jantung mengalirkan darah dari miokardium ke sinus koroner, yang kemudian
bermuara di atrium kanan.
d. Darah mengalir melalui arteri koroner terutama saat otot-otot jantung berelaksasi karena
arteri koroner juga tertekan pada saat kontraksi berlangsung (Ethel, 2003: 231).
2. Fisiologi Jantung
2.1 Sistem pengaturan jantung.
a. Serabut purkinje adalah serabut otot jantung khusus yang mampu menghantar impuls
dengan kecepatan lima kali lipat kecepatan hantaran serabut otot jantung.
b. Nodus sinoatrial (nodus S-A) adalah suatu masa jaringan otot jantung khusus yang terletak
di dinding posterior atrium kanan tepat di bawah pembukaan vena cava superior. Nodus S-A
mengatur frekuensi kontraksi irama, sehingga disebut pemacu jantung.
c. Nodus atrioventrikular (nodus A-V) berfungsi untuk menunda impuls seperatusan detik,
sampai ejeksi darah atrium selesai sebelum terjadi kontraksi ventrikular.
d. Berkas A-V berfungsi membawa impuls di sepanjang septum interventrikular menuju
ventrikel (Ethel, 2003: 231-232).
2.2 Siklus jantung
Siklus jantung mencakup periode dari akhir kontraksi (sistole) dan relaksasi (diastole)
jantung sampai akhir sistole dan diastole berikutnya. Kontraksi jantung mengakibatkan
perubahan tekanan dan volume darah dalam jantung dan pembuluh utama yang mengatur
pembukaan dan penutupan katup jantung serta aliran darah yang melalui ruang-ruang dan masuk
ke arteri.
1. Atrium secara pasif terus menerus menerima darah dari vena (vena cava superior dan
inferior, vena pulmonar).
2. Darah mengalir dari atrium menuju ventrikel melalui katup a-v yang terbuka.
3. Tekanan ventrikular mulai meningkat saat ventrikel mengembang untuk menerima darah
yang masuk.
4. Katup semilunar aorta dan pulmonar menutup karena tekanan dalam pembuluh-pembuluh
lebih besar daripada tekanan dalam ventrikel.
5. Sekitar 70% pengisian ventrikular berlangsung sebelum sistole atrial.
b. Akhir diastole ventrikular, nodus S-A melepas impuls, atrium berkontraksi dan
peningkatan tekanan dalam atrium mendorong tambahan darah sebanyak 30% ke dalam
ventrikel.
c. Sistole ventrikular. Aktivitas listrik menjalar ke ventrikel yang mulai berkontraksi.
Tekanan dalam ventrikel meningkat dengan cepat dan mendorong katup A-V untuk segera
menutup.
d. Ejeksi darah ventrikular ke dalam arteri
1. Tidak semua darah ventrikular dikeluarkan saat kontraksi. Volume sistolik akhir darah
yang tersisa pada akhir sistole adalah sekitar 50 ml
2. Isi sekuncup (70 ml) adalah perbedaan volume diastole akhir (120 ml) dan volume sistole
akhir (50 ml)
e. Diastole ventrikular
a. Bunyi jantung secara tradisional digambarkan sebagai lup-dup dan dapat didengar melalui
stetoskop. Lup mengacu pada saat katup A-V menutup dan dup mengacu pada saat katup
semilunar menutup.
b. Bunyi ketiga atau keempat disebabkan vibrasi yang terjadi pada dinding jantung saat darah
mengalir dengan cepat ke dalam ventrikel, dan dapat didengar jika bunyi jantung diperkuat
melalui mikrofon.
c. Murmur adalah kelainan bunyi jantung atau bunyi jantung tidak wajar yang berkaitan dengan
turbulensi aliran darah. Bunyi ini muncul karena defek pada katup seperti penyempitan (stenosis)
yang menghambat aliran darah ke depan, atau katup yang tidak sesuai yang memungkinkan
aliran balik darah (Ethel, 2003: 235).
2.5. Frekuensi jantung
a. Frekuensi jantung normal berkisar antara 60 samapi 100 denyut per menit, dengan rata-rata
denyutan 75 kali per menit. Dengan kecepatan seperti itu, siklus jantung berlangsung selama 0,8
detik: sistole 0,5 detik, dan diastole 0,3 detik.
b. Takikardia adalah peningkatan frekuensi jantung sampai melebihi 100 denyut per menit.
c. Bradikardia ditujukan untuk frekuensi jantung yang kurang dari 60 denyut per menit (Ethel,
2003: 235).
Impuls eferen menjalar ke jantung melalui saraf simpatis dan parasimpatis susunan saraf
otonom. Pusat refleks kardioakselerator adalah sekelompok neuron dalam medulla oblongata.
Efek impuls neuron ini adalah untuk meningkatkan frekuensi jantung. Impuls ini menjalar
melalui serabut simpatis dalam saraf jantung menuju jantung.
Ujung serabut saraf mensekresi neropineprin, yang meningkatkan frekuensi pengeluaran
impuls dari nodus S-A, mengurangi waktu hantaran melalui nodus A-V dan sistem Purkinje,
dan meningkatkan eksitabilitas keseluruhan jantung. Pusat refleks kardioinhibitor juga terdapat
dalam medulla oblongata, efek impuls dari neuron ini adalah untuk mengurangi frekuensi
jantung. Impuls ini menjalar melalui serabut parasimpatis dalam saraf vagus, ujung serabut saraf
mensekresi asetilkolin, yang mengurangi frekuensi pengeluaran impuls dari nodus S-A dan
memperpanjang waktu hantaran melalui nodus V-A.
Frekuensi jantung dalam kurun waktu tertentu ditentukan melalui keseimbangan impuls
akselerator dan inhibitor dari saraf simpatis dan parasimpatis,Impuls aferen (sensorik) yang
menuju pusat kendali jantung berasal dari reseptor, yang terletak di berbagai bagian dalam sistem
kardiovaskular.Presoreseptor dalam arteri karotis dan aorta sensitive terhadap perubahan tekanan
darah,peningkatan tekanan darah akan mengakibatkan suatu refleks yang memperlambat
frekuensi jantung, sedangkan penurunan tekanan darah akan mengakibatkan suatu refleks yang
menstimulasi frekuensi jantung yang menjalar melalui pusat medular.Proreseptor dalam vena
cava sensitif terhadap penurunan tekanan darah.
Jika tekanan darah menurun, akan terjadi suatu refleks peningkatan frekuensi jantung
untuk mempertahankan tekanan darah, pengaruh lain pada frekuensi jantung :
1. Frekuensi jantung dipengaruhi oleh stimulasi pada hampir semua saraf kutan, seperti
reseptor untuk nyeri, panas, dingin, dan sentuhan, atau oleh input emosional dari sistem
saraf pusat.
2. Fungsi jantung normal bergantung pada keseimbangan elektrolit seperti kalsium, kalium,
dan natrium yang mempengaruhi frekuensi jantung jika kadarnya meningkat atau
berkurang (ethel, 2003: 235-236).
1. Aktivitas berat memperbesar curah jantung sampai 25 L per menit, pada atlit yang sedang
berlatih mencapai 35 L per menit. Cadangan jantung adalah kemampuan jantung untuk
memperbesar curahnya.
2. Aliran balik vena ke jantung. Jantung mampu menyesuaikan output dengan input-nya
berdasarkan alasan berikut:
3. Peningkatan aliran balik vena akan meningkatkan volume akhir diastolic
4. Peningkatan volume diastolic akhir, akan mengembangkan serabut miokardial ventrikel
5. Semakin banyak serabut oto jantung yang mengembang pada permulaan konstraksi
(dalam batasan fisiologis), semakin banyak isi ventrikel, sehingga daya konstraksi
semakin besar. Hal ini disebut hukum Frank-Starling tentang jantung.
D. Faktor yang mendukung aliran balik vena dan memperbesar curah jantung:
1. Pompa otot rangka. Vena muskular memiliki katup-katup, yang memungkinkan darah
hanya mengalir menuju jantung dan mencegah aliran balik. Konstraksi otot-otot tungkai
membantu mendorong darah kea rah jantung melawan gaya gravitasi.
2. Pernafasan. Selama inspirasi, peningkatan tekanan negative dalam rongga toraks
menghisap udara ke dalam paru-paru dan darah vena ke atrium.
3. Reservoir vena. Di bawah stimulasi saraf simpatis, darah yang tersimpan dalam limpa,
hati, dan pembuluh besar, kembali ke jantung saat curah jantung turun.
4. Gaya gravitasi di area atas jantung membantu aliran balik vena.
E. Faktor-faktor yang mengurangi aliran balik vena dan mempengaruhi curah jantung:
1. Perubahan posisi tubuh dari posisi telentang menjadi tegak, memindahkan darah dari
sirkulasi pulmonary ke vena-vena tungkai. Peningkatan refleks pada frekuensi jantung
dan tekanan darah dapat mengatasi pengurangan aliran balik vena.
2. Tekanan rendah abnormal pada vena (misalnya, akibat hemoragi dan volume darah
rendah) mengakibatkan pengurangan aliran balik vena dan curah jantung.
3. Tekanan darah tinggi. Peningkatan tekanan darah aorta dan pulmonary memaksa
ventrikel bekerja lebih keras untuk mengeluarkan darah melawan tahanan. Semakin besar
tahanan yang harus dihadapi ventrikel yang bverkontraksi, semakin sedikit curah
jantungnya.
Konsentrasi kalium, natrium, dan kalsium dalam darah serta cairan interstisial mempengaruhi
frekuensi dan curah jantungnya.
2.7 Penanganan
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung
dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik secar
sendiri-sendiri maupun gabungan dari : beban awal, kontraktilitas dan beban akhir.Penanganan
biasanya dimulai ketika gejala-gejala timbul pad saat beraktivitas biasa. Rejimen penanganan
secar progresif ditingkatkan sampai mencapai respon klinik yang diinginkan. Eksaserbasi akut
dari gagal jantung atau perkembangan menuju gagal jantung yang berat dapat menjadi alasan
untuk dirawat dirumah sakit atau mendapat penanganan yang lebih agresif .
Pembatasan aktivitas fisik yang ketat merupakan tindakan awal yang sederhan namun
sangat tepat dalam pennganan gagal jantung. Tetapi harus diperhatikan jngn sampai memaksakan
lrngan yng tak perlu untuk menghindari kelemahan otot-otot rangka. Kini telah dikethui bahwa
kelemahan otot rangka dapat meningkatkan intoleransi terhadap latihan fisik. Tirah baring dan
aktifitas yang terbatas juga dapat menyebabkan flebotrombosis. Pemberian antikoagulansia
mungkin diperlukan pad pembatasan aktifitas yang ketat untuk mengendalikan gejala.
Tablet
Komposisi:
CAPTOPRIL 12,5 mg
Kaptopril 12,5 mg
CAPTOPRIL 25 mg
Kaptopril 25 mg
CAPTOPRIL 50 mg
Kaptopril 50 mg
Farmakologi:
Kaptopril terutama bekerja pada sistem RAA (Renin-Angiotensin-Aldosteron), sehingga efektif pada hipertensi dengan
PRA (Plasma Renin Activity) yang tinggi yaitu pada kebanyakan hipertensi maligna, hipertensi renovaskular dan pada kira-kira
1/6-1/5 hipertensi essensial.
Kaptopril juga efektif pada hipertensi dengan PRA yang normal, bahkan juga pada hipertensi dengan PRA yang
rendah. Obat ini juga merupakan antihipertensi yang efektif untuk pengobatan gagal jantung dengan terapi kombinasi lain.
Kombinasi dengan tiazid memberikan efek aditif sedangkan kombinasi dengan -blocker memberikan efek yang kurang aditif.
Indikasi:
Untuk pengobatan hipertensi sedang dan berat yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan kombinasi lain.
Kaptopril dapat dipergunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensi lain terutama tiazid.
Payah jantung yang tidak cukup responsif atau tidak dapat dikontrol dengan diuretik dan digitalis.
Kontraindikasi:
Dosis:
Dewasa:
Hipertensi : Dosis awal adalah 12,5 mg-25 mg, 2-3 kali sehari.
Bila setelah 2 minggu belum diperoleh penurunan tekanan darah, maka dosis dapat ditingkatkan sampai 50 mg, 2-3 kali sehari.
Gagal jantung : Dosis awal adalah 25 mg, 3 kali sehari, sebaiknya dimulai dengan 12,5 mg, 3 kali sehari.
Efek samping:
Umumnya kaptopril dapat ditoleransi dengan baik.
Efek samping yang dapat timbul adalah ruam kulit, gangguan pengecapan, neutropenia, proteinuria, sakit kepala, lelah/letih dan
hipotensi.
Efek samping ini bersifat dose related dengan pemberian dosis kaptopril kurang dari 150 mg per hari, efek samping ini dapat
dikurangi tanpa mengurangi khasiatnya.
Kardiovaskular : cardiac arrest, cerebrovascular accident/insufficiency, rhythm disturbances, orthostatic hipotension, syncope.
Seperti ACE inhibitor lainnya dapat menyebabkan sindroma termasuk: myalgia, arthralgia, interstitial nephritis, vasculitis,
peningkatan ESR.
1. Neutropenia/agranulositosis:
Neutropenia akibat pemberian kaptopril (jumlah neutrofil kurang dari 1000/mm3) 2 kali berturut-turut, bertahan selama
obat diteruskan, insidensinya 0,02% (1/4544) pada penderita dengan fungsi ginjal (kreatinin serum > 2 mg/dl), dan
menjadi 7,2% (8/111) pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan penyakit vaskular kolagen seperti lupus (SLE)
atau skleroderma.
Neutropenia muncul dalam 12 minggu pertama pengobatan, dan reversibel bila pengobatan dihentikan (90% penderita
dalam 3 minggu) atau dosisnya diturunkan.
Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan juga penderita yang mendapat obat-obat lain yang diketahui dapat
menurunkan leukosit (obat-obat sitotoksik, imunosupressan, fenilbutazon dan lain-lain), harus dilakukan hitung
leukosit sebelum pengobatan setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama pengobatan dan periodik setelah itu.
Mereka juga harus diberi tahu agar segera melapor kepada dokternya bila mengalami tanda-tanda infeksi akut
(faringitis, demam), karena mungkin merupakan petunjuk adanya neutropenia.
2. Proteinuria/sindroma nefrotik:
Proteinuria yang lebih dari 1 g sehari terjadi pada 1,2% (70/5769) penderita hipertensi yang diobati dengan kaptopril.
Diantaranya penderita tanpa penyakit ginjal/proteinuria sebelum pengobatan, insidensinya hanya 0,5% (19/3573) yakni
0,2% pada dosis kaptopril < 150 mg sehari dan 1% pada dosis kaptopril > 150 mg sehari. Pada penderita dengan
penyakit ginjal/proteinuria sebelum pengobatan, insidensinya meningkat menjadi 2,1% 946/2196), yakni 1% pada dosis
kaptopril > 150 mg sehari. Sindroma nefrotik terjadi kira-kira 1/5 (7/34) penderita dengan proteinuria.
Data mengenai insiden proteinuria pada penderita GJK belum ada. Glumerulopati membran ditemukan pada biopsi
tetapi belum tentu disebabkan oleh kaptopril karena glumerulonefritis yang subklinik jugma ditemukan pada penderita
hipertensi yang tidak mendapat kaptopril. Proteinuria yang terjadi pada penderita tanpa penyakit ginjal sebelumnya
pengobatan tidak disertai dengan gangguan fungsi ginjal. Proteinuria biasanya muncul setelah 3-9 bulan pengobatan
(range 4 hari hingga 22 bulan). Pada sebagian lagi, proteinuria menetap meskipun obat dihentikan. Oleh karena itu pada
penderita dengan risiko tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan protein dalam urin sebelum pengobatan, sebulan sekali
selama 9 bulan pertama pengobatan dan periodik setelah itu.
3. Gagal ginjal/akut:
Fungsi ginjal dapat memburuk akibat pemberian kaptopril pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal sebelum
pengobatan. Gejala ini muncul dalam beberapa hari pengobatan; yang ringan (kebanyakan kasus) reversibel atau stabil
meski pengobatan diteruskan, sedangkan pada yang berat dan progresif, obat harus dihentikan. Gejala ini akibat
berkurangnya tekanan perfusi ginjal oleh kaptopril, dan karena kaptopril menghambat sintesis A II intrarenal yang
diperlukan untuk konstriksi arteriola eferen ginjal guna mempertahankan filtrasi glomerulus pada stenosis arteri ginjal.
Gagal ginjal yang akut dan progesif terutama terjadi pada penderita dengan stenosis arteri tinggi tersebut, pemberian
kaptopril harus disertai dengan monitoring fungsi ginjal tunggal 93/8). Karena itu pada penderita dengan risiko tinggi
tersebut, pemberian kaptopril harus disertai dengan monitoring fungsi ginjal (kreatinin serum dan BUN), dan dosis
kaptopril dimulai serendah mungkin. Bila terjadi azotemia yang progresif, kaptopril harus dihentikan dan gejala ini
reversibel dalam 7 hari.
Pemakaian obat penghambat ACE pada kehamilan dapat menyebabkan gangguan/kelainan organ pada fetus atau
neonatus. Apabila pada pemakaian obat ini ternyata wanita itu hamil, maka pemberian obat harus dihentikan dengan
segera. Pada kehamilan trimester II dan III dapat menimbulkan gangguan antara lain; hipotensi, hipoplasia-tengkorak
neonatus, anuria, gagal ginjal reversibel atau irreversibel dan kematian.
Juga dapat terjadi oligohidramnion, deformasi kraniofasial, perkembangan paru hipoplasi, kelahiran prematur,
perkembangan, retardasi intrauteri, patenduktus arteriosus.
Bayi dengan riwayat dimana selama didalam kandungan ibunya mendapat pengobatan penghambat ACE, harus
diobservasi intensif tentang kemungkinan terjadinya hipotensi, oliguria dan hiperkalemia.
Interaksi obat:
Pemberian obat diuretik hemat kalium (spironolakton-triamteren, anulona) dan preparat kalium harus dilakukan dengan
hati-hati karena adanya bahaya hiperkalemia.
Penghambat enzim siklooksigenase sepeti indometasin, dapat menghambat efek kaptopril.
Disfungsi neurologik pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang diberi kaptopril dan simetidin.
Kombinasi kaptopril dengan allopurinol tidak dianjurkan, terutama gagal ginjal kronik.
2.FUROSEMIDA
Indikasi :
Komposisi
Efek Samping
Efek samping jarang terjadi dan relatif ringan seperti : mual, muntah, diare, ruam kulit, pruritus
dan penglihatan kabr, pemakaian furosemida dengan dosis tinggi atau pemberian dengan jangka
waktu lama dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan elektrolit.
Hiperglikemia.
Reaksi dermatologik seperti : urtikaria dan eritema multiforma.
Gangguan hematologik seperti : agranulositosis, anemia, trombositopenia.
Kontraindikasi
Pasien dengan gangguan defisiensi kalium, glomerolunefritis akut, insufisiensi ginjal akut,
wanita hamil dan pasien yang hipersensitif terhadap furosemida.
Anuria.
Ibu menyusui.
3. SPIRONOLACTONE
Deskripsi:
Spironolactone merupakan potassium-sparing diuretic (water pill) yang mencegah tubuh dari
penyerapan garam yang terlalu banyak dan menjaga tubuh dari kekurangan kadar potassium.
Indikasi:
1. Untuk mengobati kondisi dimana terlalu banyak terdapat aldosterone dalam tubuh.
(Aldosteron adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenalin untuk membantu
mengatur keseimbangan garam dan air dalam tubuh).
2. Untuk mengobati edema (fluid retention) pada penderita gagal jantung kongestif,
cirrhosis pad hati, atau gangguan ginjal yang disebut sindrom nefrotik.
3. Untuk mengobati atau mencegah hipokalemia Kadar potassium rendah dalam darah).
Dosis:
Efek Samping:
Efek CNS (sakit kepala, keadaan mengantuk, ataksia, kebingungan mental);EfekGI (kram,
diare); Endokrin & metabolis (gynecomastia, hirsutism, ketidakteraturan menstruasi, impotensi,
acidosis sedang, hiponatremia, hiperkalemia, dan peningkatan BUN (blood urea nitrogen) yang
temporer).
Instruksi Khusus:
1. Sebelum memulai terapi, periksa serum K <5mmol/L & Cr<250 micromol/L (2.8 mg/dL)
2. Hindari pada pasien dengan hiperkalemia atau kerusakan ginjal akut.
3. Gunakan dengan hati-hati padapasien yang berisiko meningkatkan kemungkinan
hiperkalemia (misalnya diabetes mellitus, pada orang yang lebih tua, pasien dengan
kerusakan hati atau ginjal)
4. Serum K dan Cr harus diukur setelah 4-6 hari dari dimulainya pengobatan. (Jika kadar
serum K antara 5-5.5 mmol/L, kurangi setengah dosis. Jika kadar serum K >5.5 mmol/L,
hentikan pemberian Spironolactone)
5. Jika dosis ditingkatkan hingga 50 mg/hari, periksa serum K dan Cr 1 minggu setelah
dosis ditingkatkan.
6. Serum K dan Cr harus diawasi terus selama terapi.
4. NATRIUM DEKLOFENAK
Indikasi:
Pengobatan akut dan kronis gejala-gejala reumatoid artritis, osteoartritis dan ankilosing
spondilitis.
Kontra Indikasi:
- Penderita yang hipersensitif terhadap diklofenak atau yang menderita asma, urtikaria atau alergi
pada pemberian aspirin atau NSAIA lain. - Penderita tukak lambung.
Komposisi:
Natrium Diklofenak 25 mg Tablet Salut Enterik
Tiap tablet salut enterik mengandung: Natrium Diklofenak 25 mg.
Natrium Diklofenak 50 mg Tablet Salut Enterik
Tiap tablet salut enterik mengandung: Natrium Diklofenak 50 mg.
Cara Kerja Obat:
Diklofenak adalah golongan obat non steroid dengan aktivitas anti inflamasi, analgesik dan
antipiretik. Aktivitas diklofenak dengan jalan menghambat enzim siklo-oksigenase sehingga
pembentukan prostaglandin terhambat.
Efek Samping:
- Efek samping yang umum terjadi seperti nyeri/keram perut, sakit kepala, retensi cairan, diare,
nausea, konstipasi, flatulen, kelainan pada hasil uji hati, indigesti, tukak lambung, pusing, ruam,
pruritus dan tinitus.
- Peninggian enzim-enzim aminotransferase (SGOT, SGPT) hepatitis.
- Dalam kasus terbatas gangguan hematologi (trombositopenia, leukopenia, anemia,
agranulositosis).
Interaksi Obat:
- Penggunaan bersama aspirin akan menurunkan konsentrasi plasma dan AUC diklofenak.
- Diklofenak meningkatkan konsentrasi plasma digoksin, metotreksat, siklosporin dan litium
sehingga meningkatkan toksisitasnya.
- Diklofenak menurunkan aktivitas obat-obatan diuretik.
Kemasan:
Natrium Diklofenak 25 mg Tablet Salut Enterik
Dus berisi 5 strip @ 10 tablet
Natrium Diklofenak 50 mg Tablet Salut Enterik
Dus berisi 5 strip @ 10 tablet
Penyimpanan:
Simpan di tempat yang sejuk dan kering serta terlindung dari cahaya.
HARUS DENGAN RESEP DOKTER
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1Pengkajian
Gagal serambi kiri/kanan dari jantung mengakibatkan ketidakmampuan memberikan
keluaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan menyebabkan terjadinya kongesti
pulmonal dan sistemik . Karenanya diagnostik dan teraupetik berlnjut . GJK selanjutnya
dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas.
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia, nyeri dada dengan
aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
b. Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital berubah pada aktivitas.
2. Sirkulasi
a. Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit jantung , bedah
jantung , endokarditis, anemia, syok septic, bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen.
b. Tanda :
1) TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan).
2) Tekanan Nadi ; mungkin sempit.
3) Irama Jantung ; Disritmia.
4) Frekuensi jantung ; Takikardia.
5) Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah
6) posisi secara inferior ke kiri.
7) Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat
8) terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah.
9) Murmur sistolik dan diastolic.
10) Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik.
11) Punggung kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian
12) kapiler lambat.
13) Hepar ; pembesaran/dapat teraba.
14) Bunyi napas ; krekels, ronkhi.
15) Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting
16) khususnya pada ekstremitas.
3. Integritas ego
a. Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan penyakit/keperihatinan
finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
b. Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan dan mudah
tersinggung.
4. Eliminasi
Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari (nokturia),
diare/konstipasi.
5. Makanan/cairan
a. Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat badan signifikan,
pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi garam/makanan
yang telah diproses dan penggunaan diuretic
b. Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites) serta edema (umum,
dependen, tekanan dn pitting).
6. Higiene
a. Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan diri.
b. Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7. Neurosensori
a. Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
b. Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung.
8. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas dan sakit pada otot.
b. Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku melindungi diri.
9. Pernapasan
a. Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal, batuk
dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis, penggunaan bantuan pernapasan.
b. Tanda :
1) Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori pernpasan
2) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus menerus dengan/tanpa
pemebentukan sputum.
3) Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema pulmonal)
4) Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar
5) Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
6) Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
10. Keamanan
Gejala : Perubahan dalam fungsi mental, kehilangankekuatan/tonus otot, kulit lecet.
11. Interaksi sosial
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
12. Pembelajaran/pengajaran
a. Gejala : menggunakan/lupa menggunakan obat-obat jantung, misalnya : penyekat saluran
kalsium.
b. Tanda : Bukti tentang ketidak berhasilan untuk meningkatkan
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik, Perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, Perubahan
structural, ditandai dengan ;
a. Peningkatan frekuensi jantung (takikardia) : disritmia, perubahan gambaran pola EKG
b. Perubahan tekanan darah (hipotensi/hipertensi).
c. Bunyi ekstra (S3 & S4)
d. Penurunan keluaran urine
e. Nadi perifer tidak teraba
f. Kulit dingin kusam
g. Ortopnea,krakles, pembesaran hepar, edema dan nyeri dada.
Tujuan
Klien akan : Menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau
hilang) dan bebas gejala gagal jantung , Melaporkan penurunan epiode dispnea, angina, Ikut
serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.
Intervensi
a. Auskultasi nadi apical ; kaji frekuensi, iram jantung
Rasional : Biasnya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk mengkompensasi
penurunan kontraktilitas ventrikel.
b. Catat bunyi jantung
Rasional : S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa. Irama Gallop umum (S3
dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah kesermbi yang disteni. Murmur dapat menunjukkan
Inkompetensi/stenosis katup.
c. Palpasi nadi perifer
Rasional : Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial, popliteal,
dorsalis, pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi dan
pulse alternan.
d. Pantau TD
Rasional : Pada GJK dini, sedng atu kronis tekanan drah dapat meningkat. Pada HCF lanjut
tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi danhipotensi tidak dapat norml lagi.
e. Kaji kulit terhadp pucat dan sianosis
Rasional : Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer ekunder terhadap tidak dekutnya curh
jantung; vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapt terjadi sebagai refrakstori GJK. Area yang sakit
sering berwarna biru atu belang karena peningkatan kongesti vena.
f. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat sesuai indikasi (kolaborasi)
Rasional : Meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek
hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup,
memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti.
2. Aktivitas intoleran berhubungan dengan : Ketidak seimbangan antar suplai okigen. Kelemahan
umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai dengan : Kelemahan, kelelahan, Perubahan
tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea, pucat, berkeringat.
Tujuan /kriteria evaluasi :
Klien akan : Berpartisipasi pad ktivitas yang diinginkan, memenuhi perawatan diri sendiri,
Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oelh menurunnya
kelemahan dan kelelahan.
Intervensi
a. Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila klien menggunakan
vasodilator,diuretic dan penyekat beta.
Rasional : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat (vasodilasi),
perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh fungsi jantung.
b. Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, diritmia, dispnea berkeringat
dan pucat.
Rasional : Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup
selama aktivitas dpat menyebabkan peningkatan segera frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen
juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.
c. Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.
Rasional : Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung daripada kelebihan aktivitas.
d. Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas (kolaborasi)
Rasional : Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja jantung/konsumsi oksigen
berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah stress, bila fungsi jantung tidak
dapat membaik kembali,
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya laju filtrasi glomerulus
(menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air. ditandai
dengan : Ortopnea, bunyi jantung S3, Oliguria, edema, Peningkatan berat badan, hipertensi,
Distres pernapasan, bunyi jantung abnormal.
Tujuan/kriteria evaluasi,
Klien akan : Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan
danpengeluaran, bunyi nafas bersih/jelas, tanda vital dalam rentang yang dapat diterima, berat
badan stabil dan tidak ada edema., Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan
individual.
Intervensi :
a. Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.
Rasional : Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi
terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring
Pantau/hitung keseimbangan pemaukan dan pengeluaran selama 24 jam
Rasional : Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan
(hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.
c. Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut.
Rasional : Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga
meningkatkan diuresis.
d. Pantau TD dan CVP (bila ada)
Rasional : Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat
menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung.
e. Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan konstipasi.
Rasional : Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal.
f. Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi)
g. Konsul dengan ahli diet.
Rasional : perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang memenuhi kebutuhan kalori
dalam pembatasan natrium.
4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan : perubahan menbran kapiler-
alveolus.
Tujuan /kriteria evaluasi,
Klien akan : Mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenisasi dekuat pada jaringan ditunjukkan
oleh oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan., Berpartisipasi dalam
program pengobatan dalam btas kemampuan/situasi.
Intervensi :
a. Pantau bunyi nafas, catat krekles
Rasional : menyatakan adnya kongesti paru/pengumpulan secret menunjukkan kebutuhan untuk
intervensi lanjut.
b. Ajarkan/anjurkan klien batuk efektif, nafas dalam.
Rasional : membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen.
c. Dorong perubahan posisi.
Rasional : Membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.
d. Kolaborasi dalam Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri.
Rasional : Hipoksemia dapat terjadi berat selama edema paru.
e. Berikan obat/oksigen tambahan sesuai indikasi
5. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama,
edema dan penurunan perfusi jaringan.
Tujuan/kriteria evaluasi
Klien akan : Mempertahankan integritas kulit, Mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah
kerusakan kulit.
Intervensi
a. Pantau kulit, catat penonjolan tulang, adanya edema, area sirkulasinya
terganggu/pigmentasi atau kegemukan/kurus.
Rasional : Kulit beresiko karena gangguan sirkulasi perifer, imobilisasi fisik dan gangguan status
nutrisi.
b. Pijat area kemerahan atau yang memutih
Rasional : meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan.
c. Ubah posisi sering ditempat tidur/kursi, bantu latihan rentang gerak pasif/aktif.
Rasional : Memperbaiki sirkulasi waktu satu area yang mengganggu aliran darah.
d. Berikan perawtan kulit, minimalkan dengan kelembaban/ekskresi.
Rasional : Terlalu kering atau lembab merusak kulit/mempercepat kerusakan.
e. Hindari obat intramuskuler
Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorbsi obat dan
predisposisi untuk kerusakan kulit/terjadinya infeksi.
6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program pengobatan
berhubungan dengan kurang pemahaman/kesalahan persepsi tentang hubungan fungsi
jantung/penyakit/gagal, ditandai dengan : Pertanyaan masalah/kesalahan persepsi, terulangnya
episode GJK yang dapat dicegah.
Tujuan/kriteria evaluasi
Klien akan :
a. Mengidentifikasi hubungan terapi untuk menurunkan episode berulang dan mencegah
komplikasi.
b. Mengidentifikasi stress pribadi/faktor resiko dan beberapa teknik untuk menangani.
c. Melakukan perubahan pola hidup/perilaku yang perlu.
Intervensi
a. Diskusikan fungsi jantung normal
Rasional : Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat memudahkan ketaatan pada program
pengobatan.
b. Kuatkan rasional pengobatan.
Rasional : Klien percaya bahwa perubahan program pasca pulang dibolehkan bila merasa baik
dan bebas gejala atau merasa lebih sehat yang dapat meningkatkan resiko eksaserbasi gejala.
c. Anjurkan makanan diet pada pagi hari.
Rasional : Memberikan waktu adequate untuk efek obat sebelum waktu tidur untuk
mencegah/membatasi menghentikan tidur.
d. Rujuk pada sumber di masyarakat/kelompok pendukung suatu indikasi
Rasional : dapat menambahkan bantuan dengan pemantauan sendiri/penatalaksanaan dirumah.
BAB IV
PENUTUP
4.1 kesimpulan
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah ke seluruh jaringan. Penyebab CHF pada lansia adalah
peningkatan kolagen miokard akibat proses penuaan. Gagal jantung diklasifikasikan menjadi
gagal jantung kronik dan akut, gagal jantung kiri dan kanan, gagal jantung sistolik-diastolik.
Manifestasi klinis dari gagal jantung dikelompokkan menjadi gagal jantung akut dan kronik yang
meliputi:anoreksia, asites. Nokturia, intoleransi aktivitas peningkatan BB, fatigue, takikardi,
penurunan urin output, dan lain-lain.
Komplikasi yang disebabkan oleh CHF diantaranya adalah trombosis vena dalam,
toksisitas digitalis dan syok kardiogenik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
pasien CHF adalah Rontgen dada, ECG, EKG, dan lain-lain. Penatalaksanaan yang dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan khususnya perawat dan dokter meliputi: manajemen
farmakologis, non farmakologis dan pendidikan kesehatan.
Dalam menerapkan Asuhan Keperawatan pada klien dengan Chronik Heart Failure
(CHF) atau gagal jantung kongestif di perlukan pengetahuan dan pemahaman tentang
konsep dan teori penyakit bagi seorang perawat.
Informasi yang adekuat dan penkes sangat bermanfaat bagi klien, agar klien mampu
mengatasi masalah nya secara mandiri
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C Long, Perawatan Medikal Bedah (Terjemahan), Yayasan IAPK Padjajaran Bandung,
September 1996, Hal. 443 450
Doenges Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3, Penerbit Buku Kedikteran EGC, Tahun 2002, Hal
; 52 64 & 240 249.
Junadi P, Atiek S, Husna A, Kapita selekta Kedokteran (Efusi Pleura), Media Aesculapius,
Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, 1982, Hal.206 208
Wilson Lorraine M, Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit), Buku 2, Edisi 4,