Anda di halaman 1dari 185

ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESIA

DI PASAR INTERNASIONAL

Oleh
DENNY DWINATA HERIANTO
A14105525

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN

DENNY DWINATA HERIANTO. Analisis Dayasaing Industri CPO Indonesia


di Pasar Internasional. Dibawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang masih mengandalkan
komoditas minyak dan gas bumi (Migas) sebagai penghasil devisa. Komoditas
minyak dan gas bumi merupakan jenis sumberdaya alam dengan jumlah yang
terbatas dan tidak dapat diperbarui, sehingga perlu penghematan dalam
penggunannya. Negara Indonesia tidak selamanya dapat mengandalkan komoditas
tersebut (Migas) untuk memperoleh devisa, sehingga peranan dari sektor lain yang
mempunyai potensi harus dikembangkan. Salah satu sektor non migas yang
mampu memberikan kontribusi positif kepada negara adalah sektor pertanian.
Komoditas kelapa sawit menyumbang devisa kepada negara sebesar US$ 2,79
milyar dengan volume ekspor sebesar 5,72 juta ton dari bulan Januari sampai Mei
tahun 2007. Permintaan kelapa sawit untuk kebutuhan konsumsi akan terus
mengalami peningkatan karena seiring dengan bertambahnya jumlah populasi
manusia, sehingga permintaan terhadap CPO akan meningkat sebagai bahan baku
minyak goreng dan keperluan lain seperti biofuel (bahan bakar). Peningkatan
dayasaing masih CPO Indonesia disebabkan karena penggunaan bibit palsu atau
tidak berlabel. Penggunaan bibit yang tidak berkualitas akan mempengaruhi
produksi dan produkstivitas CPO. Masalah lain yang berdampak terhadap
peningkatan penanaman kelapa sawit di Indonesia yaitu isu negatif dari Negara Di
Eropa dan LSM Lingkungan, yang menyatakan kalau pembukaan lahan
perkebnan kelapa sawit akan dampak terhadap kerusakan hayati dan penyebab
terjadinya pemanasan global.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk ; (1)
Mengetahui struktur industri CPO di pasar internasional, (2) Mengetahui
keunggulan komparatif industri CPO Indonesia, (3) Mengetahui keunggulan
kompetitif industri CPO Indonesia, (4) Mengetahui strategi yang dapat
dirumuskan untuk memperkuat dayasaing industri CPO nasional di pasar
internasional. Penelitian ini dilakukan dengan lingkup makro, yaitu meliputi
keadaan perdagangan CPO secara nasional dan internasional.
Struktur pasar CPO di pasar internasional pada tahun 1993-2006
menunjukan kecenderungan kearah pasar Oligopoli ketat. Negara yang termasuk
kedalam struktur pasar ini adalah Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, dan
Costarica. Hasil ini ditunjukan oleh nilai Herifindhal Index sebesar 0,5 dan nilai
Concentration Ratio dari empat produsen CPO terbesar sejumlah 94 persen.
Malaysia dan Indonesia merupakan negara yang paling besar kontribusi CPO dari
empat eksportir utama CPO di pasar internasional.
Industri CPO nasional memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukan
dengan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) yang lebih besar dari satu.
Pada tahun 2006, Indonesia mempunyai nilai RCA sebesar 45. Angka ini
menunjukan adanya keunggulan komparatif pada komoditi CPO namun
dayasaingya masih rendah jika dibandingkan dengan negara Malaysia dan Papua
Nugini. Secara rata-rata negara yang mempunyai keunggulan komparatif terbaik
adalah Papua Nugini dengan nilai 68, sedangkan Negara Malaysia mempunyai
niai RCA sebesar 42. Negara Papua Nugini mempunyai nilai RCA tertinggi
karena kontribusi ekspor CPO terhadap pendapatan total negara lebih besar
dibandingkan dengan negara produsen CPO lainnya.
Hasil analisis keunggulan kompetitif industri CPO Indonesia
menghasilkan bahwa secara keseluruhan atribut seperti sumberdaya, kondisi
permintaan domesik memiliki keunggulan kompetitif. Dukungan dari pemerintah
dan faktor peluang juga membantu terbentuknya keunggulan Kompetitif
Indonesia. Kendala masih terdapat dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit
yaitu masih minimnya sarana dan prasarana penunjang industri CPO Indonesia,
masih rendahnya penggunaan bibit unggul, dan kurangnya peranan dari penyuluh
pertanian lapangan.
Strategi untuk meningkatkan dayasaing CPO Indonesia dipasar
internasional adalah meningkatkan optimalisasi lahan dengan menggunakan panca
usaha tani terutama penggunaan bibit yang berkualitas baik dan tahan terhadap
penyakit dengan peranan aktif dari penyuluh pertanian lapangan. Berkembangnya
perkebunan kelapa sawit Indonesia saat ini harus didukung oleh sarana dan
prasarana penunjang untuk mempermudah aksesbilitas perkebunan, pentingnya
pembangunan jalan, pelabuhan merupakan faktor yang mendukung keunggulan
kompetitf industri CPO Indonesia. Kegiatan promosi negara Indonesia di pasar
internasional perlu ditingkatkan untuk memperkenalkan produk pertanian
khususnya produk CPO yang ramah lingkungan untuk mengindari isu negatif
mengenai pembukaan lahan perkebunan dengan merusak hutan dan menjadi
penyebab terjadinya pemanasan global, kegiatan promosi ini merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan kerjasama investasi pembangunan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia yang berkelanjutan.
ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESIA
DI PASAR INTERNASIONAL

Oleh
DENNY DWINATA HERIANTO
A14105525

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh


Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul :Analisis Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar
Internasional
Nama : Denny Dwinata Herianto
NRP : A14105525
Program Studi : Ekstensi Manajemen Agribisnis

Menyetujui,
Dosen Pembimbing Skripsi

Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec.


NIP. 131 846 873

Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir Didy Sopandie, M.Agr


NIP. 131 124 019

Tanggal Kelulusan:19 Mei 2008


PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESIA DI PASAR

INTERNASIONAL ADALAH BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL

KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI

ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU PADA

LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2008

DENNY DWINATA HERIANTO

A14105525
RIWAYAT HIDUP

Penulis di lahirkan di Bangkinang pada 08 Desember 1983, sebagai anak

kedua dari empat bersaudara dari pasangan T. Simalango dan R. Manalu, SP.

Pendidikan dasar di SDN 004 Air Molek Indragiri Hulu (Riau) diselesaikan pada

tahun 1996 dan melanjutkan pendidikan pada SLTPN 1 di Air Molek sampai

dengan tahun 1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke kota

gudeg yaitu di SMU BOPKRI 1 Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikan

pada tahun 2002.

Pada tahun 2002, melanjutkan pendidikan Diploma III ke perguruan tinggi

di Universitas Gadjah Mada dengan jurusan Kehutanan Program Pengelolaan

Hasil Hutan hingga tahun 2005. Selama di Yogyakarta banyak mengikuti kegiatan

organisasi kampus dan di luar kampus yang diikuti. Penulis pernah mengikuti

PKM (pekan kreativitas Mahasiswa) dengan tema yang di angkat mengenai hutan

mangrove bersama team. Setelah lulus dari program pendidikan Diploma III, pada

tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Ekstensi Manajemen

Agribisnis Institut Pertanian Bogor sampai tahun 2008.


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang bejudul Analisis

Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional. Skripsi ini

diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini mengkaji struktur pasar CPO di pasar Internasional. Selain itu,

skripsi ini juga mengkaji keunggulan kompetitif dan komparatif industri CPO

Indonesia. Penulis menyadari dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi

semua pihak yang membacanya.

Bogor, Mei 2008

Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan Kasih-Nya yang telah

diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini

2. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas doa dan kasih sayang selama ini

3. Bapak Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec., selaku dosen pembibing skripsi atas

segala bimbingan, arahan, serta waktu yang sangat berharga kepada

penulis selama menyusun skripsi ini.

4. Ibu Ir. Popong Nurhayati, MM sebagai dosen evaluator atas saran dan

kritikan bagi rencana penulisan penelitian skripsi ini.

5. Bapak Muhammad Firdaus, PhD sebagai dosen penguji utama atas saran.

6. Bapak Ir. Joko Purwono, Ms sebagai dosen penguji atas masukan untuk

tehnik penulisan.

7. Saudaraku tercinta kakak Loli, Dina dan Meli atas doa dan dukungan yang

tak pernah hentinya.

8. Elisya Nurani Kombong atas motivasi dan segala perhatian selama ini dan

semoga tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun.

9. Teman-teman Diploma III kehutanan Ivane, Darmani, Erna, Dewi,

Komang, Angga Bajuri, Fajar, Septian, Ika, Mesi dan teman-teman yang

tidak dapat disebutkan satu persatu karena banyak sekali teman-teman

yang memberikan motivasi sehingga skripsi dapat selesai.


10. Mas Darlin atas kesediaanya menjadi pembahas seminar dan sarannya.

11. Teman-teman GTP (Alex_clv, Kiki, lan Sembiring, Arde, Abah, Pak RT,

Ari, Habibi, Hasan, Amanda, Pak Eko, Arrow Budi, Heksa).

12. Om Agus di Surabaya atas kebaikan selama ini.

13. Teman-teman seperjuangan Ekstensi Irma, Lisma, Eko Priyadi, Elfrida,

Ebry, Josep, Dedy Maretha, Wawan, Rudy, Mbak Dar, Imel, Siska, Baim,

Koko, Rita, Sandra, dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu

persatu.

14. Sekretariat Ekstensi Manajemen Agribisnis atas pelayanan dan bantuan

selama ini terutama untuk Mbak Rahmi, Mbak Nur, Mas Agus dan Aji.

15. Penguni Kos Jl Riau Ujung tercinta Mas Riki, Mbak Wida, Mas Tyas,

Bapak kost dan Ibu, serta Mas Toto dan Yeni.

16. Teman-teman SMU Bopkri I Cristian, Nando, Dinad, Theresia, Adit atas

kekompakan selama ini.

17. Semua pihak lain yang belum disebutkan yang turut membantu

terselesainya skripsi ini.

Bogor, Mei 2008

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................ i
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ vii
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah .......................................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................. 11
1.4. Manfaat Penelitian............................................................................ 11

II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Kelapa Sawit ....................................................... 12
2.1.1. Sejarah Kelapa Sawit ............................................................ 12
2.1.2. Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit .................................... 12
2.1.3. Bibit Kelapa Sawit ................................................................ 14
2.1.4. Standar Nasional CPO (Crude Palm Oil) .............................. 15
2.1.5. Usaha Tani Kelapa Sawit ...................................................... 16
2.1.6. Pengolahan Kelapa sawit ..................................................... 18
2.1.6.Peranan Kelapa Sawit Dalam Bidang Sosial dan Ekonomi
Indonesia ............................................................................. 19
2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 21
2.2.1. Penelitian Dayasaing ............................................................. 21
2.2.1. Penelitian Kelapa Sawit ........................................................ 23
2.2.1. Penelitian CPO (Crude Palm Oil) ......................................... 24

III KERANGKA PEMIKIRAN


3.1. Kerangka Teoritis ............................................................................ 26
3.1.1. Konsep Dayasaing ................................................................ 26
3.1.1.1. Keunggulan Komparatif ........................................... 27
3.1.1.2. Keunggulan Kompetitif ............................................ 28
3.1.2. Struktur Pasar ....................................................................... 36
3.1.2.1. Pasar Persaingan Sempurna ...................................... 36
3.1.2.2. Pasar Monopolistik ................................................... 37
3.1.2.3. Pasar Oligopoli ......................................................... 37
3.1.2.4. Pasar Monopoli ........................................................ 38
3.1.3. Teori perdagangan Internasional ........................................... 38
3.1.4. Pasar dan Pangsa Pasar ......................................................... 40
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .................................................... 41
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 44
4.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 44
4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 45
4.3.1. Analisis Struktur Industri ...................................................... 45
4.3.2. RCA (Reveled Comparative Advantage) ............................... 49
4.3.3. Analisa Berlian Porter ........................................................... 50
4.3.4. Analisis SWOT ..................................................................... 51

V GAMBARAN UMUM KELAPA SAWIT NASIONAL DAN


INTERNASIONAL
5.1. Perkebunan KelapaSawit Indonesia ............................................... 58
5.1.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan 59
5.1.2 Produksi dan Produktivitas Minyak Kelapa Sawit Indonesia . 61
5.1.3 Luas Areal dan Produksi Menurut Provinsi ........................... 63
5.1.4 Penyerapan Tenaga Kerja...................................................... 63
5.1.5 Unit Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit ................................... 64
5.2. Tingkat Harga CPO di Indnesia ...................................................... 66
5.3. Mutu CPO (Crude Palm Oil) Ekspor .............................................. 68
5.4. Bentuk Kelapa Sawit Ekspor .......................................................... 70
5.5. Negara Tujuan Ekspor CPO (Crude Palm Oil) ............................... 70
5.6. Impor Minyak Kelapa Sawit Indonesia ........................................... 71
5.7. Negara Produsen Utama CPO(Crude Palm Oil) Dunia ................... 73
5.7.1 Negara Eksportir Utama CPO ............................................... 74
5.7.2. Harga CPO Dunia ................................................................. 75
5.8. Produksi Minyak Nabati dan Lemak Dunia..................................... 79
5.9. Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia................................... 80

VI HASIL DAN PEMBAHASAN


6.1. Analisis Struktur Industri CPO di Pasar Internasional ..................... 82
6.2. Analisis Keunggulan Komparatif CPO Indonesia
di Pasar Internasional...................................................................... 84
6.3. Analisis Dayasaing Industri CPO di Indonesia dengan
Pendekatan Porter s Diamond ........................................................ 85
6.3.1 Kondisi Faktor Sumberdaya .................................................. 85
6.3.2 Kondisi Permintaan.............................................................. 120
6.3.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung................................ 123
6.3.4 Struktur, Persaingan dan Strategi Industri CPO Nasional ...... 128
6.3.5 Peran Pemerintah .................................................................. 134
6.3.6 Peran Kesempatan................................................................ 136
VII STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI CPO INDONESIA DI
PASAR INTERNASIONAL
7.1. Perumusan Strategi Peningkatan Dayasaing
Industri CPO Indonesia................................................................... 138
7.1.1 Faktor Eksternal ..................................................................... 139
7.1.1 Peluang ......................................................................... 139
7.1.1 Ancaman ....................................................................... 141
7.1.2 Faktor Internal ....................................................................... 144
7.1.2.1 Kekuatan .................................................................... 144
7.1.2.2 Kelemahan .................................................................. 147
7.2 Program Peningkatan Dayasaing ....................................................... 144

VIII KESIMPULAN DAN SARAN


7.1. Kesimpulan .................................................................................... 162
7.2. Saran .............................................................................................. 164

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 165


LAMPIRAN ................................................................................................. 168
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang masih

mengandalkan komoditas minyak dan gas bumi (Migas) sebagai penghasil devisa.

Komoditas minyak dan gas bumi merupakan jenis sumber daya alam dengan

jumlah yang terbatas dan tidak dapat diperbarui, sehingga perlu penghematan

untuk penggunannya. Negara Indonesia tidak selamanya dapat mengandalkan

komoditas tersebut (Migas) untuk memperoleh devisa, sehingga peranan dari

sektor lain yang mempunyai potensi harus dikembangkan. Salah satu sektor non

Migas yang mampu memberikan kontribusi positif kepada negara adalah sektor

pertanian.

Sub sektor perkebunan merupakan salah satu bagian yang menyumbang

PDB kepada negara. Salah satu komoditi dari perkebunan adalah kelapa sawit.

Kelapa sawit merupakan tanaman keras sebagai salah satu sumber penghasil

minyak nabati yang bermanfaat luas dan memiliki keunggulan dibandingkan

dengan minyak nabati lainnya, kerena minyak kelapa sawit rendah akan kolesterol

dan mempunyai betakaroten tinggi (PPKS, 2006).

Komoditas kelapa sawit menyumbang devisa kepada negara sebesar US$

2,79 milyar dengan volume ekspor sebesar 5,72 juta ton pada tahun 2007 pada

bulan Januari sampai dengan Mei (Tabel 1). Permintaan kelapa sawit untuk

kebutuhan konsumsi akan terus mengalami peningkatan karena seiring dengan

bertambahnya jumlah populasi manusia, sehingga permintaan akan CPO

meningkat sebagai bahan baku minyak goreng dan keperluan lain seperti biofuel
(bahan bakar). Peluang bagi negara Indonesia untuk lebih meningkatkan ekspor

minyak kelapa sawit guna meningkatkan devisa dari komoditas kelapa sawit. Pada

tahun 2006 Negara Indonesia merupakan pengekspor kelapa sawit terbesar kedua

setelah Malaysia, dengan negara tujuan ekspor kelapa sawit ke India, China dan

negara-negara di Eropa.

Tabel 1 Ekspor Komoditi Kelapa Sawit Indonesia Periode JanuariMei 2007


Bulan Volume (Ton) Nilai US$
Januari 981.016,155 408.824.110
Februari 1.375.012,660 619.050.755
Maret 984.758,807 490.255.648
April 1.263.531,568 661.830.044
Mei 1.124.924,937 613.653.763

Total 5.729.244,127 2.793.614.320


Sumber : Departemen Pertanian, 2008

Pada Tabel 2 luasan areal perkebunan untuk komoditi kelapa sawit untuk

lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 luas lahan

perkebunan kelapa sawit sebesar 6,59 juta hektar, sedangkan pada tahun 2002

sampai tahun 2005 luas lahan perkebunan di Indonesia berkisar diatas lima juta

hektar. Luas areal perkebunan kelapa sawit dari tahun 1916 sampai dengan tahun

2006 menunjukkan perubahan yang sangat signifikan. Perubahannya terutama

antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2006, dimana untuk total luas areal dari

1,12 juta hektar menjadi 6,59 juta hektar dan akan terus meningkat seiring

kebutuhan minyak nabati dunia1.

Tabel 2 Luas Areal Komoditi Perkebunan Indonesia Tahun 20022006 (Ha)

1
http://ditjenbun.deptan.go.id/web/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=1&Ite
mid=62. Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia Sangat Signifikan dan Fantastis .
Diakses 15 Januari 2008.
Komoditi 2002 2003 2004 2005 2006
Karet 3.318.359 3.290.112 3.262.267 3.279.391 3.309.472
Kelapa Sawit 5.067.058 5.283.557 5.284.723 5.453.817 6.594.914
Kopi 1.372.184 1.381.730 1.303.943 1.255.272 1.263.606
Tebu 350.722 338.244 344.793 381.786 384.016
Kelapa 3.884.950 3.913.130 3.797.004 3.803.614 3.817.796
Kakao 914.051 961.107 1.090.960 1.167.046 1.191.742
Sumber : Departemen Pertanian, 2007

Pada tahun 2006 perkebunan kelapa sawit, 57 persen dikuasai swasta, 30

persen petani swadaya, dan 13 persen dikuasai negara. Pada Gambar 1

penguasaan lahan perkebunan di Indonesia lebih dari setengahnya dikuasai oleh

pihak swasta dan diikuti oleh masyarakat yang mengusahakan kelapa sawit secara

swadaya, serta oleh negara.

Gambar 1 Penguasaan Lahan


Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2006
Peningkatan areal perkebunan kelapa sawit akibat dari menguatnya

permintaan CPO sebagai bahan baku bahan bakar nabati (BBN) yang mampu

menggantikan komoditi jagung sebagai bahan baku kebutuhan industri, sehingga

menyebabkan tingginya permintaan terhadap hasil produksi kelapa sawit.

Meningkatnya permintaan akan CPO menyebabkan pemerintah mengadakan

kegiatan perluasan dan peremajaan (Revitalisasi) lahan direncanakan pada

beberapa daerah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi,


Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Banten, Bali, Kalimantan Barat,

Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Irian Jaya Barat.

Produksi CPO dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 mengalami

peningkatan (Tabel 3). Pada tahun 2002 produksi kelapa sawit sebesar 9,62 juta

ton dan mengalami peningkatan untuk tahun 2006 yaitu sebesar 17,35 juta ton.

Peningkatan produksi kelapa sawit akibat dari areal penanaman sawit yang juga

mengalami peningkatan karena para produsen kelapa sawit melihat kebutuhan

minyak goreng serta CPO yang meningkat dari dalam negeri maupun dari luar

negeri. Peningkatan produksi kelapa sawit juga akibat dari mahalnya harga CPO

di pasar internasional sehingga banyak produsen mengekspor CPO ke luar negeri.

Proyeksi produksi kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2010 menjadi 18 juta ton,

pada tahun 2015 akan menjadi 21 juta ton dan pada tahun 2015 akan meningkat

sebesar 15 persen atau sebesar 24 juta ton. Proyeksi ekspor kelapa sawit Indonesia

ke luar negeri diperkirakan pada tahun 2010 sebesar 12,5 juta ton dan akan

meningkat sebesar 25 persen atau sebesar 15 juta ton dan pada tahun 2020 sebesar

16 juta ton2.

Tabel 3 Produksi Komoditi Perkebunan Indonesia Tahun 20022006


(000Ton)
Komoditi 2002 2003 2004 2005 2006
Karet 1.630 1.792 2.066 2.271 2.367
Kelapa Sawit 9.622 10.411 10.830 11.861 17.350
Kopi 682 664 647 640 653
Tebu 1.755 1.634 2.052 2.242 2.235
Kelapa 3.098 3.254 3.054 3.096 3.156
Kakao 619 695 691 748 779
Sumber : Departemen Pertanian, 2007

2
http://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit. Sumbangan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit terhadap
PAD. Diakses 15 januari 2008
Dibandingkan dengan Negara Malaysia, kelapa sawit Indonesia memiliki

sejumlah keunggulan komparatif. Keunggulan pertama, Indonesia memiliki lahan

dan tenaga kerja melimpah. Pada Saat ini ada lahan 9,2 juta hektar lahan yang bisa

diperluas menjadi 18 juta hektar, sedangkan perluasan lahan sawit di Malaysia

terbatas. Keunggulan kedua, biaya produksi CPO Indonesia lebih rendah daripada

Malaysia. Selain mengekspor CPO, Negara Malaysia mengolahnya menjadi

berbagai produk hilir bernilai tinggi3.

Malaysia unggul untuk produktivitas (3,21 ton CPO per hektar per tahun)

dibandingkan dengan Indonesia (2,51 ton CPO per hektar per tahun). Malaysia

mampu memanfaatkan 87 persen kapasitas pabrik terpasangnya yang mencapai 86

juta ton tandan buah segar (TBS) per tahun, sedangkan Indonesia 65 juta ton TBS

per tahun. Dampak kekurangan pabrik pengolahan sawit di Indonesia tidak hanya

pada dayasaing yang rendah untuk produksi dan ekspor CPO, tapi juga

mengakibatkan berdirinya pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit tanpa memiliki

lahan sawit, hal Ini menyebabkan jumlah produksi minyak sawit, kualitas

produksi, dan harga tidak mampu diprediksi serta dikontrol dengan baik. Kondisi

inilah yang mendukung perbedaan produksi dan ekspor kedua negara 4.

3
http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4sawit.Prospek, Arah pengembangan
Agribisnis Kelapa Sawit . Diakses 15 januari 2008.
4
http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups.com/msg06407.html Industri Kelapa Sawit
Indonesia Vs Malaysia. Diakses 20 januari 2008.
1.2 Perumusan Masalah

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sub sektor perkebunan merupakan

sumberdaya yang terus memberikan peluang untuk terus berkembang dan dapat

diandalkan sebagai sumber devisa selain dari sektor Migas yang terus mengalami

kemunduran akibat dari sifanya yang tidak dapat diperbarui. Perkebunan masih

memberikan peluang yang luas selain masih tersedianya lahan perkebunan baru,

juga tersedia tenaga kerja dan konsumen akhir yang terus mengalami

perkembangan setiap tahunnya. Negara produsen CPO, termasuk Indonesia

berusaha untuk memanfaatkan kelapa sawit sebagai penghasil devisa. Munculnya

negara industri baru, perkembangan ekonomi dunia dan pertumbuhan penduduk

menyebabkan kelapa sawit akan terus termanfaatkan.

Permasalahan peningkatan hasil CPO Indonesia di pasar internasional

yaitu disebakan oleh banyak faktor kendala, antara lain adalah ;

1. Produktivitas di bawah potensinya

Kelapa sawit Indonesia jika dibandingkan dengan Negara Malaysia dari

sisi produktivitas masih rendah. Negara Indonesia mempunyai rata-rata

produktivitas kelapa sawit sebesar 14-16 ton/hektar/tahun sementara Malaysia

mempunyai produktivitas sebesar 18-21 ton/hektar/tahun tandan buah segar sawit.

Produktivitas CPO yang dihasilkan Indonesia sebesar 2,51 ton/hektar berbeda

dengan Negara Malaysia yang mampu menghasilkan CPO sebesar 3,21 ton/hektar

(PPKS, 2006). Rendahnya produktivitas kelapa sawit Indonesia disebabkan oleh

penggunaan bibit yang tidak sesuai dengan standar (kualitas rendah dan palsu),

perawatan (pemupukan, pembersihan rumput, penyemprotan dan pruning) yang


tidak berkesinambungan, hama dan penyakit (ganoderma) yang menggangu

tanaman kelapa sawit seperti gajah, babi dan kera, serta faktor alam yang tidak

bisa diprediksi.

2. Industri hilir belum berkembang

Industri hilir pengolahan CPO di Indonesia saat ini masih terbatas karena

iklim investasi yang belum kondusif. Pengolahan minyak sawit mentah untuk

diolah menjadi produk yang lebih mempunyai nilai tambah (value add) salah

satunya oleokimia (sabun, detergen, margarin) dan minyak goreng masih terbatas,

karena investasi pembangunan pabrik pengolahan yang besar. Selain itu masalah

pasokan gas bumi dan listrik yang belum mencukupi kebutuhan pabrik

pengolahan kelapa sawit. Peluang besar bagi negara Malaysia untuk mencukupi

permintaan pasar dunia akan kebutuhan minyak nabati khususnya dari kelapa

sawit, dan merupakan peluang belum termanfaatkan oleh negara Indonesia.

3. Infrastruktur yang terbatas

Areal penanaman kelapa sawit biasanya pada daerah yang jauh dari

pemukiman penduduk dan lokasi pabrik (50-200 km), kerena sebelum dikonversi

menjadi perkebunan kelapa sawit lahan tersebut adalah kawasan hutan. Jarak yang

jauh antara kebun kelapa sawit dengan pabrik tersebut tidak didukung dengan

fasilitas jalan dan jembatan yang baik. Pembangunan jalan yang belum permanen

menyebabkan pengangkutan sering mengalami keterlambatan apabila memasuki

musim penghujan yang berdampak terhadap penurunan kualitas buah sawit yang

akan diolah.
4. Berbagai kebijakan yang tidak kondusif

Langkanya minyak goreng dan diikuti oleh mahalnya minyak goreng

dalam negeri diakibatkan naiknya harga CPO di pasar internasional. Naiknya

harga CPO di pasar internasional menyebabkan produsen dalam negeri banyak

mengekspor CPO dari pada menjual CPO di dalam negeri. Tingginya harga CPO

dunia juga dipengaruhi oleh permintaan yang semakin tinggi untuk kebutuhan

biodiesel dan pengaruh iklim global seperti kekeringan yang berkepanjangan

menyebabkan turunnya hasil pertanian baik untuk keperluan pabrik nabati atau

biodiesel seperti yang terjadi di Ukraina, China, USA, dan beberapa Negara di

Eropa.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengatasi

kelangkaan minyak goreng adalah dengan meningkatkan pajak ekspor (PE)

berdasarkan keputusan menteri keuangan Nomor 61/PMK 001/2007 mengenai

peningkatan pajak ekspor untuk CPO dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen dan

peningkatan pajak ekspor kelapa sawit segar (TBS) sebesar 10 persen dari

sebelumnya hanya 3 persen. Dampak yang ditimbukan oleh kebijakan pemerintah

dengan adanya pajak ekspor yaitu ;

a) Mengurangi pendapatan produsen perkebunan kelapa sawit

b) Memicu penyeludupan CPO

c) Menguntungkan negara eksportir lain

d) Berdampak kehilangan pasar

e) Mengganggu iklim investasi

f) Menghambat program pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan


Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kpts/HK.350/5/2002 tentang

Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, mengatur mengenai luas lahan usaha

budidaya perkebunan untuk satu perusahaan atau grup perusahaan yang ditetapkan

bahwa luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 hektar dalam satu

Provinsi atau 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia. Dikeluarkanya keputusan

ini menyebabkan para investor bepikir untuk menanamkan investasi pada sub

sektor perkebunan, karena keputusan ini membuat pengusaha perkebunan sulit

untuk mengontrol operasional perkebunan yang tersebar di beberapa daerah.

5. Berkembangnya areal swadaya tanpa pabrik kelapa sawit (PKS)

Harga kelapa sawit yang tinggi banyak dimanfaatkan petani kelapa sawit,

pihak swasta dan Badan Usaha Milik Negara untuk memperoleh keuntungan

dengan mengusahakan kelapa sawit. Areal swadaya yang di tanam oleh

masyarakat Indonesia saat ini belum didukung oleh pabrik pengolahan kelapa

sawit, karena untuk investasi pembangunan pabrik pengolahan membutuhkan

modal yang besar yaitu 103 miliar (PPKS, 2006). Akibat yang ditimbulkan oleh

kurangnya pabrik pengolahan buah kelapa sawit, menyebabkan buah sawit petani

perkebunan swadaya menjadi membusuk dan petani merugi. Integrasi vertikal

sangat penting agar antara pabrik dan pemilik kelapa sawit sehingga dapat saling

menguntungkan. Dari 22 provinsi yang mengusahakan kelapa sawit di Indonesia,

terdapat 420 pabrik pengolahan kelapa sawit yang tersebar di daerah perkebunan

kelapa sawit. Akan tetapi ada provinsi yang tidak mempunyai pabrik pengolahan

kelapa sawit akan tetapi mempunyai perkebunan sawit, antara lain Kepulauan

Riau dan Sulawesi Tenggara (Lampiran 1).


6. Kampanye negatif terhadap produk kelapa sawit di pasar Internasional

Peningkatan produksi kelapa sawit dengan pembukaan lahan untuk areal

perkebunan kelapa sawit banyak menuai kritikan dari berbagai Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) internasional dan Negara di Eropa terutama Inggris. Menurut

mereka dampak yang ditimbulkan dari pembukaan lahan kelapa sawit yaitu

rusaknya lingkungan, menyebabkan deforestrasi, berkurangnya satwa langka, dan

penyumbang pemanasan global terbesar.

Perdagangan global menjanjikan pengurangan hambatan berupa tarif, dan

proteksi namun di satu sisi muncul tantangan baru berupa hambatan non tarif atau

non tarif barrier melalui ketentuan-ketentuan standard code yang dikenal dengan

perjanjian technical barrier to trade (TBT) dan perjanjian sanitary and

phytosanitary (SPS). Kedua perjanjian tersebut berkaitan dengan standar produk

dan jasa, perlindungan kesehatan, keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup.

Karena itu dalam merebut peluang pasar yang makin terbuka, penyediaan barang

dan jasa harus didukung oleh suatu sistem mutu yang diakui secara internasional.

Dari uraian permasalahan di atas maka yang akan dikaji dalam penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana struktur industri CPO di pasar Internasional ?

2. Apakah industri CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif ?

3. Apakah industri CPO Indonesia memiliki keunggulan kompetitif ?

4. Strategi apa yang perlu dirumuskan untuk memperkuat industri CPO

Indonesia di pasar internasional ?


1.3 Tujuan Peneitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis struktur industri CPO di pasar Internasional.

2. Menganalisis keunggulan komparatif industri CPO Indonesia.

3. Menganalisis keunggulan kompetitif industri CPO Indonesia.

4. Merumuskan strategi untuk memperkuat dayasaing industri CPO

nasional di pasar internasional.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis bermanfaat dalam mengaplikasikan teori dan bermanfaat

untuk meningkatkan kemampuan serta pengetahuan.

2. Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi,

acuan serta informasi dalam melihat permasalahan kelapa sawit.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Gambaran Umum Kelapa Sawit


2.1.1 Sejarah Kelapa Sawit

Kelapa sawit pertama kali di tanam secara masal pada tahun 1911 di

daerah asalnya Afrika Barat. Kegagalan penanaman tersebut menyebabkan

perkebunan dipindahkan ke Kongo. Kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun

1848 sebagai tanaman hias di Kebun Raya Bogor, tanaman kelapa sawit

diusahakan sebagai komersial pada tahun 1912 dan di ekspor minyak kelapa sawit

pertama dilakukan pada tahun 1919. Industri kelapa sawit Indonesia dan Malaysia

berawal ketika empat benih dari Afrika ditanam pada Taman Botani Bogor tahun

1848. Benih kelapa sawit dari Bogor ini kemudian di tanam pada tepi jalan

sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an dan di Rantau

Panjang, Kuala Selangor, Malaysia pada tahun 1911-1912.

2.1.2 Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis) termasuk golongan tumbuhan palma. Di Indonesia

penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.

Kelapa sawit menjadi populer setelah revolusi industri pada akhir abad ke-19 yang

menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun

menjadi tinggi.

Kelapa sawit mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan

tanaman penghasil minyak nabati lainnya (seperti kacang kedelai, kacang tanah,

biji bunga matahari dan tanaman penghasil minyak nabati lainnya), sehingga

harga produksi menjadi lebih ringan. Kelapa sawit juga merupakan tanaman yang
paling tahan hama dan penyakit dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati

lainnya. Jika dilihat dari konsumsi per kapita minyak nabati dunia mencapai

angka rata-rata 25 kg/th per orang, kebutuhan ini akan terus meningkat seiring

dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita.

Klasifikasi Botani tanaman kelapa sawit :


Filum : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis
Elaeis oleifera

Kelapa sawit dapat mencapai tinggi 25 meter. Bunga dan buahnya berupa

tandan, bercabang banyak, ukuran buah kecil, bila masak berwarna merah

kehitaman dan daging buahnya padat. Pada daging dan kulit buahnya

mengandung minyak. Minyak tersebut digunakan sebagai bahan minyak goreng,

sabun, dan lilin. Ampasnya dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak, ampas

yang disebut bungkil dapat digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan

makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.

Kelapa sawit dapat berkembang biak dengan biji (generatif) dan

vegetatif. Tanaman ini tumbuh pada daerah tropis, pada ketinggian 0 - 500 meter

di atas permukaan laut. Kelapa sawit membutuhkan tanah yang subur seperti

tanah latosol, ultisol, alluvial dengan drainase yang baik serta solum yang cukup

dalam kira-kira 1 meter, dengan kelembaban 80 sampai 90 persen. Kelembaban

tinggi itu antara lain ditentukan oleh adanya curah hujan yang tinggi, sekitar 2000

- 2500 mm setahun.
2.1.3 Bibit Kelapa Sawit di Indonesia

Ketersediaan bibit sangat penting dan strategis karena merupakan

tumpuan utama untuk mencapai keberhasilan perkebunan. Kelapa sawit yang

berkualitas membutuhkan bibit yang berkualitas sesuai dengan standar yang

ditentukan. Pengembangan agribisnis kelapa sawit di Indonesia kedepan didukung

secara handal oleh tujuh produsen benih dengan kapasitas 141 juta pada tahun

2006. Produsen penghasil bibit kelapa sawit yaitu: Pusat Penelitian Kelapa Sawit

(PPKS) dengan kapasitas produksi 40 juta ton, PT. Socfindo dengan kapasitas

produksi 45 juta ton, PT. Lonsum dengan kapasitas produksi 14 juta ton, PT.

Dami Mas dengan kapasitas produksi 15 juta ton, PT. Tunggal Yunus dengan

kapasaitas produksi 6 juta ton, PT. Bina Sawit Makmur dengan kapasitas produksi

15 juta ton dan PT Tania Selatan sebesar 1 juta ton. Permasalahan benih palsu

diyakini dapat teratasi melalui langkah - langkah sistematis dan strategis yang

telah disepakati secara nasional. Impor benih kelapa sawit harus dilakukan secara

hati - hati terutama dengan pertimbangan penyebaran penyakit.

Bibit yang dihasilkan oleh produsen resmi ini mempunyai kualitas baik

karena berasal dari induk yang jelas asal usulnya seperti Delidura, Tenera dan

Bapak Pisifera. Adapun ciri dari masing - masing jenis kelapa sawit yaitu :

1. Kelapa sawit jenis dura biasanya di tanam sebagai pohon induk dengan

ciri :

a. Mempunyai ciri daging buah tipis (20 - 65%)


b. Tempurung yang tebal (20 - 50%)
c. Biji tebal (4 - 20%)
2. Kelapa sawit jenis pisifera biasanya di tanam sebagai tanaman serbuk

dengan ciri :

a. Mempunyai ciri daging tebal (92 - 97%)


b. Tidak mempunyai tempurung

c. Biji kecil (3 - 8%)

3. Kelapa sawit jenis tenera biasanya di tanam diperkebunan kelapa sawit

dengan ciri :

a. Mempunyai ciri daging buah sedang (60 - 96%)

b. Tempurung yang tipis (3 - 20 %)

c. Biji sedang (3 -15%)

2.1.4 Standar Nasional CPO (Crude Palm Oil)

Standar Nasional Indonesia untuk CPO adalah SNI 01-2901-2006 yang

merupakan revisi dari SNI 01-2901-1992. Tujuan dari standar ini adalah

menyesuaikan standar mutu minyak kelapa sawit mentah Indonesia dengan mutu

minyak kelapa sawit yang umum dipakai dalam perdagangan internasional sesuai

dengan perkembangan yang terakhir, sehingga minyak kelapa sawit Indonesia

dapat bersaing dipasar internasional.

Tabel 4 Syarat Mutu Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO) Menurut Badan
Standarisasi Nasional (BSN)
Kriteria uji Satuan Persyaratan Mutu
Warna - Jingga kemerahan
Kadar air dan kotoran %, fraksi masa 0,5 maks
Asam lemak bebas %, fraksi masa 5 maks
Bilangan Yodium g yodium/100g 50 - 55
Sumber : Badan Standarisasi Nasional
2.1.5 Usahatani Kelapa Sawit

Kebijakan pada sub sektor perkebunan, yang menjadi landasan

perundangan adalah Undang-undang No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,

yang memiliki ruang lingkup pengaturan meliputi perencanaan perkebunan,

penggunaan tanah, pemberdayaan dan pengelolaan usaha, pengelolaan dan

pemasaran hasil, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumberdaya

manusia, pembiayaan, pembinaan dan pengawasan. Pengembangan perkebunan

kelapa sawit di Indonesia dapat dilakukan dalam berbagai pola yaitu;

1. Pola Koperasi Usaha Perkebunan, yaitu pola pengembangan yang modal

usahanya 100 persen dimiliki oleh Koperasi Usaha Perkebunan.

2. Pola Patungan Koperasi dengan Investor Koperasi, yaitu pola

pengembangan yang sahamnya dimiliki koperasi sebesar 65 persen dan

sisanya dimiliki investor atau perusahaan.

3. Pola Patungan Investor Koperasi, yaitu pola pengembangan yang

sahamnya 80 persen dimiliki investor atau perusahaan dan 20 persen

dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap.

4. Pola BOT (Built Operate and Transfer), yaitu pola pengembangan di mana

pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor atau perusahaan

yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi.

5. Pola BTN, yaitu pola pengembangan di mana investor atau perusahaan

membangun kebun atau pabrik pengolahan hasil perkebunan yang

kemudian akan dialihkan kepada peminat atau pemilik yang tergabung

dalam koperasi.
6. Pola-pola pengembangan lainnya yang saling menguntungkan,

memperkuat, membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan

perkebunan.

Dalam rangka pengembangan sistem dan usaha agribisnis perkebunan

secara optimal, maka pemerintah menyusun langkah pemantapan melalui

pendekatan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN), dimana

Pedoman Kriteria dan Standar Klasifikasi KIMBUN dituangkan dalam Keputusan

Menteri Pertanian No. 633/Kpts/OT.140/10/2004. Adapun bagan dari strategi

pengembangan perkebunan oleh pemerintah saat ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Dengan adanya pedoman ini diharapkan terciptanya sistem agribisnis perkebunan

yang mempunyai dayasaing tinggi, berkelanjutan dan berkeadilan untuk

kemakmuran rakyat Indonesia5.

PR

PERANAN
Kebijakan
Pembentukan Terwujudnya
PDB Pengembangan
Sistem
UUD 45 Perkembangan Komoditas
Produksi & Luas Peningatan Kemampuan
AGRIBISBUN
UU yang Utuh,
12/1992 Areal SDM & IPTEK
Penyerapan Penumbuhan Kemitraan Berdaya Saing
UU 9/1995
Tenaga Kerja Usaha KIMBUN Tinggi,
UU
25/1992 Sektor Pengembangan berkeadilan,
Perdagangan Kelembagaan
TAP berkelanjutan,
Pembangunan Investasi Usaha untuk sebesar
XVI/MPR/1
Ekonomi Daerah Perkebunan
998 besarnya
Ketahanan Peningkatan Dukungan
INPRES kemakmuran
Pangan Pembangunan
rakyat
Pelestarian Ketahanan Pangan
Lingkungan Hidup Pengelolaan SDA
&Lingkungan Hidup
Pengembangan Sistem
Informasi Perkebunan
PB
Gambar 2 Bagan Strategi Pembangunan Perkebunan
Sumber : Shobirin, 2003

5
Shobirin.2003.
http://sawitwatch.or.id/index?option=com_content&task=view+55&itemid=27&lang. Kebijakan
Nasional terkait dengan pengembangan komoditi kelapa sawit.
2.1.6 Pengolahan Kelapa Sawit

Industri pengolahan kelapa sawit menurut Keputusan Menteri

Kehutanan dan Perkebunan No. 107 Kep/Kpts/1999, pemberian ijin pendirian

pabrik kelapa sawit harus ada jaminan adanya pasokan dari kebun sendiri. Pabrik

kelapa sawit standar dengan kapasitas 30 ton Tandan Buah Segar (TBS)/jam,

memerlukan dukungan kebun sawit seluas minimal 6000 hektar. Pabrik

pengolahan mini dengan kapasitas 10 ton TBS/jam, memerlukan dukungan kebun

sawit seluas 2000 hektar.

Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit diantaranya adalah

integrasi vertikal dan horisontal perkebunan kelapa sawit dalam rangka

peningkatan ketahanan pangan masyarakat, pengembangan usaha pengolahan

kelapa sawit di pedesaan, menerapkan inovasi teknologi dan kelembagaan dalam

rangka pemanfaatan sumber daya perkebunan, dan pengembangan pasar. Strategi

tersebut didukung dengan penyediaan infrastruktur (sarana dan prasarana) dan

kebijakan pemerintah yang kondusif untuk peningkatan kapasitas agribisnis

kelapa sawit. Dalam implementasinya, strategi pengembangan agribisnis kelapa

sawit didukung dengan program-program yang komprehensif dari berbagai aspek

manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan (perbenihan, budidaya dan

pemeliharaan, pengolahan hasil, pengembangan usaha, dan pemberdayaan

masyarakat) hingga evaluasi.

2.1.7 Peranan Kelapa Sawit Dalam Bidang Sosial dan Perekonomian


Indonesia

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang

mempunyai banyak manfaat. Kegunaan kelapa sawit yaitu dapat diolah menjadi
biofuel dan minyak goreng yang merupakan salah satu bagian dari sembilan bahan

pokok. Melihat potensi pasar dalam negeri dan luar negeri untuk permintaan

kelapa sawit yang besar, sehingga banyak para produsen di dalam negeri yang

mengusahakan kelapa sawit dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang

besar dengan mengekspor kelapa sawit dalam bentuk segar (TBS) ataupun dalam

bentuk CPO. Para produsen kelapa sawit terdiri dari Badan Usaha Milik Negara

atau BUMN atau PTPN (Perusahaan Terbatas Perkebunan Nasional), BUMS atau

Badan Usaha Milk Swasta (Sinar Mas, Astra) dan juga masyarakat petani kelapa

sawit swadaya.

Dampak yang ditimbulkan oleh pembukaan lahan kelapa sawit dan

pabrik-pabrik secara sosial pada daerah setempat adalah penyerapan tenaga kerja

dalam kegiatan produksi kelapa sawit baik di lapangan maupun di pabrik

(penyiapan lahan, pembukaan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan)6.

Selain penyerapan tenaga kerja dampak langsung yang ditimbulkan dengan

hadirnya perkebunan kelapa sawit adalah peningkatan pendapatan yang

menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat. Pembangunan sarana

dan prasarana penunjang perkebunan seperti pembangunan infrastruktur seperti

jalan, jembatan, pembangunan sarana-sarana umum, pendidikan, kesehatan,

bantuan bencana alam dan pembangunan tempat ibadah juga merupakan bentuk

sosial dari pihak produsen atau perusahaan kelapa sawit kepada masyarakat

setempat.

6
Sahrul Mulia Harahap. 2001. Studi Evaluasi Lingkungan Sosial Menuju Penyelesaian Konflik.
Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
Permintaan kelapa sawit dari dalam negeri dan luar negeri dalam bentuk

buah segar (TBS) dan bentuk CPO menyebabkan perlunya perluasan areal

produksi kelapa sawit. Pengembangan perkebunan untuk menghasilkan produksi

kelapa sawit seperti di daerah Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan

daerah-daerah lain di Indonesia akan membantu meningkatkan pendapatan asli

daerah (PAD) melalui pajak. Daerah-daerah pengembangan kelapa sawit akan

berusaha menarik investor dari mancanegara dan domestik melaui promosi-

promosi yang dilakukannya. Secara nasional kelapa sawit merupakan salah satu

komoditas perkebunan andalan Indonesia untuk di ekspor sebagai penghasil

devisa. Pada saat ini harga kelapa sawit di pasar internasional sangat tinggi

sehingga menyebabkan banyak produsen kelapa sawit yang mengekspor keluar

negeri. Fluktuasi harga kelapa sawit dan CPO di pasar internasional dipengaruhi

oleh harga minyak goreng dari komoditas lain seperti kedelai, zaitun dan

rapeseed7.

Produksi dan pengembangan industri kelapa sawit Indonesia

menimbulkan sejumlah masalah yaitu ancaman keragaman hayati yang rusak,

praktek pembakaran hutan untuk pembukaan lahan, konflik sosial dengan

masyarakat lokal. Mengatasi permasalahan itu maka sekarang produsen kelapa

sawit harus memproduksi kelapa sawit dengan cara-cara yang lestari yaitu dengan

memperhatikan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

7
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0304/10/ekonomi/248870.htm Kelapa Sawit Indonesia
Memang tak Sekedar CPO. Diakses 15 januari 2008
2.2 Penelitian Terdahulu
2.2.1 Penelitian Dayasaing

Kristina (2006) melakukan penelitian mengenai dayasaing teh hitam

Indonesia di pasar internasional dengan teknik estimasi menggunakan data panel

yang diperoleh melalui kombinasi data time series dan cross-section dalam kurun

waktu tahun 1993-2003. Pengolahan data menggunakan tiga metode yaitu metode

pooled, metode fixed effect dan metode random effect. Selanjutnya dari ketiga

metode tersebut dilakukan uji F dan uji Hausman untuk mengetahui metode yang

terbaik dalam mengestimasi model. Dari hasil pengolahan data dan uji kesesuaian

model diketahui bahwa metode yang terbaik dalam estimasi adalah metode fixed

effect. Berdasarkan pengolahan hasil melalui estimasi model menggunakan data

panel dengan metode fixed effect diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap pangsa pasar teh hitam Indonesia berdasarkan nilai probabilitasnya yang

diperoleh adalah produksi teh hitam dan jumlah konsumsi teh hitam di dalam

negeri.

Penelitian yang dilakukan oleh Rosalita (1996) tentang Analisis

Keunggulan Komparatif dan Kompetif Pengusahaan Minyak Sereh Wangi di

Perkebunan Cireundeu, PT Djasulawangi, Kabupaten sukabumi. Menggunakan

alat analisis BSD (Biaya Sumber Domestik) menunjukan hasil bahwa

pengusahaan minyak sereh wangi menguntungkan secara finansial sebesar Rp.

37.052.337,09 dan mengguntungkan secara ekonomi sebesar Rp. 54.221.721,56.

Pengusahaan minyak sereh juga memiliki keunggulan kompetitif dengan nilai

KBSD*<1 yaitu sebesar 0,78.


Penelitian yang dilakukan oleh Yusran (2006) tentang analisis dayasaing

manggis menguntungkan dan efesien secara finansial dan ekonomi. Nilai

keuntungan privat yaitu sebesar Rp. 1.471,51/kg (Desa Kracak) dan Rp.

3.621,8/kg (Desa Babakan) dan PCR lebih kecil dari satu yaitu sebesar 0,71 (Desa

Kracak) dan 0,44 (Desa Babakan). Keuntungan sosial sebesar Rp.1.984,04/kg

(Desa Kracak) dan Rp. 2.614,06/kg (Desa Babakan) dan DRC kurang dari satu

yaitu sebesar 0,61 (Desa Kracak) dan 0,50 (Desa Babakan). Hasil perhitungan

menunjukan bahwa pengusahaan manggis memiliki keunggulan komparatif dan

kompetitif dan memiliki keunggulan diatas normal, baik dalam kondisi adanya

distorsi kebijakan maupun dalam pasar persaingan sempurna.

2.2.2 Penelitian Kelapa sawit

Penelitan yang dilakukan oleh Dicky Armansyah (2005) mengenai

Strategi Pengembangan Bisnis Minyak Kelapa Sawit (CPO) pada PT. Socfindo,

Sumatera Utara). Penelitian ini menggunakan analisis QSPM yang akan

menghasilkan beberapa strategi. Kondisi eksternal yaitu peluang utama PT.

Socfindo adalah produk turunan kelapa sawit yang menghasilkan nilai tambah

yang tinggi, sedangkan ancaman utama bagi PT. Socfindo adalah adanya

pencurian buah sawit. Kekuatan kondisi Internal perusahaan yaitu produk CPO

yang dihasilkan berkualitas tinggi, sedangkan faktor kelemahan utama perusahaan

adalah areal perkebunan yang dimiliki tergolong kecil. Lima Strategi yang dapat

diprioritaskan berdasarkan besarnya skor yaitu: 1). Memperluas areal perkebunan

dan memberikan nilai tambah bagi produk hilir kelapa sawit, 2) Menjaga kualitas

produk CPO dan turunnya dan juga nama baik perusahaan, 3) Memperluas

wilayah pemasaran CPO dan turunnya di dalam dan di luar negeri serta
mempertahankan pasar yang ada, 4) Meningkatkan pengawasan terhadap proses

produksi di kebun dan di pabrik, 5) Meningkatkan pengamanan di perkebunan dan

juga mengawasi proses distribusi produk.

Penelitian yang dilakukan oleh Yolanda Hole (2000) mengenai

Partisipasi Petani Dalam Kegiatan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Kelapa Sawit di

Manokwari Irian Jaya. Berdasarkan hasil penelitiannya menunjukan bahwa

terdapat perbedaan petani transmigrasi lokal dan petani transmigrasi swakarsa

yang tercermin pada komponen-komponen partisipasi meliputi kegiatan

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Selanjutnya hasil penelitian ini

menyatakan bahwasanya faktor pengalaman kerja dan motivasi ekstrinsik

berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani transmigrasi lokal, dan faktor

pengalaman kerja, motivasi intrinsik, dan sifat kosmopolit petani berhubungan

dengan tingkat partisipasi petani transmigrasi swakarsa.

Penelitian yang dilakukan oleh Berani Purba (2003) mengenai Kontribusi

Perkebunan Terhadap Pembangunan Perekonomian di Siak, Provinsi Riau.

Analisa yang digunakan adalah Indeks Location Quotient, baik terhadap

pendapatan dan penyerapan tenaga kerja pada sub sektor perkebunan. Hasil

penelitian menyatakan kelapa sawit di daerah Siak memiliki keunggulan

komparatif dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. Demkian juga dengan

tenaga kerja yang diserap pada kegiatan transpotasi, pengolahan, dan pemasaran

berdampak positif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar

perkebunan.
2.2.3 Penelitian CPO (Crude Palm Oil)

Penelitian Analisis Integrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO,

Minyak Goreng, dan TBS Domestik Serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan Harga

BBM Dunia oleh Yunita (2007). Menggunakan metode pengolahan Vector

Auoregression (VAR). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pasar CPO dunia

terintegrasi dengan pasar CPO, minyak goreng, dan TBS domestik. Pasar CPO

dunia berperan sebagai penentu harga, sedangkan pasar domesik berperan sebagai

pengikut harga. Pada pasar domestik, terjadi integrasi pasar antara pasar CPO

dengan pasar TBS domestik. Dimana pasar CPO domestik adalah penentu harga

bagi pasar TBS domestik. Tarif ekspor CPO yang ditetapkan pemerintah ternyata

tidak berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa

tarif ekspor yang berlaku tidak efektif, karena tarif ekspor yang tinggi dapat

meminimumkan penghasilan produsen dan eksortir CPO, serta petani, harga BBM

dunia berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi.

Penelitian yang dilakukan oleh Fachnany Siregar (2005) mengenai

Strategi Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO di Indonesia dengan

menggunakan analisis SWOT. Dari hasil penelitian terdapat 5 strategi untuk

meningkatkan biodiesel. Pertama pengembangan industri biodiesel kerakyatan,

kedua pembuatan standar biodiesel yang mendapat pengakuan dari agen tunggal

pemegang merek, ketiga promosi dan sosialisasi kepada masyarakat oleh semua

pihak terkait atau stakeholder, keempat pembuatan energi plantation atau lahan

sawit khusus biodiesel, dan kelima mengadakan kerjasama dengan pihak asing

baik dalam permodalan, pengembangan teknologi dan pemasaran.


Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah alat

analisis yang digunakan untuk menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan

dayasaing industri CPO Indonesia dipasar internasional, dengan menganalisis

keunggulan dayasaing CPO Indonesia secara kompetitif dan komparatif.


III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis


3.1.1 Konsep Dayasaing

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kamus Bahasa Indonesia

tahun 1995 berpendapat bawa dayasaing adalah kemampuan untuk melakukan

sesuatu atau bertindak untuk merebut pasar. Sedangkan menurut Brataatmaja

(1994) mendefinisikan dayasaing sebagai kekuatan, kemampuan atau

kesanggupan untuk bersaing. Pengertian dayasaing juga mengacu pada

kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara itu

relatif terhadap kemampuan negara lain (Bappenas, 2007).

Pengertian dayasaing dapat diterjemahkan dari sisi permintaan (demand

side) dan dari sisi penawaran (supply side). Dari sisi permintaan, kemampuan

bersaing mengandung arti bahwa produk agribisnis yang dijual haruslah produk

yang sesuai dengan atribut yang dituntut konsumen atau produk yang

dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (Consumer s value perception).

Sementara dari sisi penawaran, kemampuan bersaing berkaitan dengan

kemampuan merespon perubahan atribut-atribut produk yang dituntut oleh

konsumen secara efisien.


3.1.1.1 Keunggulan Komparatif

Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan

negara lain bila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat

diproduksi dengan lebih efesien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor

komoditas yang kurang efesien (mengalami kerugian absolut). Konsep

keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage) yang dipopulerkan

oleh David Ricado (1823) yang menyatakan bahwa sekalipun suatu negara

mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi kedua

komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling

mengguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efesien akan

berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor pada komoditas yang

mempunyai kerugian absolut lebih kecil. Dari komoditas ini negara tersebut

mempunyai keunggulan komparatif dan akan mengimpor komoditas yang

mempunyai kerugian absolut lebih besar. Dari komoditas inilah negara mengalami

kerugian komparatif (Salvatore, 1997).

Hukum keunggulan komparatif diperkuat oleh keunggulan komparatif

berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory), yang

dikemukakan oleh Haberler tahun 1936. Harberler menyatakan bahwa biaya dari

suatu komoditas adalah jumlah komoditas kedua terbaik yang harus dikorbankan

untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit

tambahan komoditas pertama (Salvatore, 1997).


Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori Hecksher-

Ohlin (1933), yang pada perbedaan bawaan faktor (produksi) antar negara sebagai

determinasi perdagangan yang paling penting. Teori Hecksher-Ohlin menggangap

bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditas yang produksinya lebih banyak

menyerap faktor produksi relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam

waktu bersamaan negara akan mengimpor komoditas yang produksinya

memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Keunggulan

komparatif yang dimiliki dalam perdagangan memiliki sifat yang dinamis bukan

statis. Sifat yang dinamis tersebut membuat negara memiliki keungglan

komparatif di sektor tertentu harus mampu mempertahankan agar tidak tersaingi

oleh negara lain atau digantikan komoditas subtitusinya.

3.1.1.2 Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur kelayakan suatu

aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai

tukar resmi yang berlaku (analisis finansial), sehingga konsep keunggulan

kompetitif bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya menggantikan atau

mensubtitusi terhadap konsep keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan

suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi.

Analisis keunggulan kompetitif dapat digunakan sebagai alat untuk

mengukur keuntungan privat dengan dasar aktivitas ekonomi diukur pada harga

pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Maka aktivitas ekonomi suatu negara

dapat bersaing di pasar internasional dengan kompetitifnya dalam menghasilkan


suatu komoditas dengan asumsi adanya sistem pemasarannya dan intervensi

pemerintah.

Keunggulan bersaing negara mencakup tersedianya peran sumberdaya

dan melihat lebih jauh pada keadaan negara yang mempengaruhi perusahaan-

perusahaan internasional pada industri yang berbeda. Sebagian besar sumberdaya

yang penting seperti keahlian tenaga kerja yang tinggi, teknologi dan sistem

manajemen yang canggih diciptakan melalui investasi oleh orang - orang dan

perusahaan. Atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri

nasional yaitu kondisi sumberdaya, kondisi permintaan, industri pendukung dan

terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Keempat atribut

tersebut didukung oleh peranan kesempatan dan peranan pemerintah dalam

meningkatkan keunggulan dayasaing industri nasional, dan secara bersama-sama

membentuk suatu sistem yang dikenal dengan National Diamond System.

Kesempatan Strategi perusahaan,


struktur, dan persaingan

Kondisi Faktor Kondisi permintaan

Industri terkait dan


pendukung Pemerintah

Gambar 3 The National Diamond System


Sumber : Porter 1990
Setiap atribut yang terdapat dalam Teori Berlian Porter memiliki poin -

poin penting yang menjelaskan secara detail atribut yang ada, dengan penjelasnya

sebagai berikut ;

1. Kondisi Faktor Sumberdaya

Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimilikinya

merupakan faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri

tertentu. Faktor produksi tersebut digolongkan pada lima kelompok ;

a) Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia yang mempengaruhi daya saing industri nasional

terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan

keterampilan yang dimilikinya, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah) dan

etika kerja (termasuk moral).

b) Sumberdaya Fisik/Alam

Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing

industri nasional mencakup biaya, kualitas, aksesbilitas, ukuran lahan (lokasi),

ketersediaan air, mineral dan energi serta sumber daya pertanian, perkebunan,

kehutanan, perikanan (termasuk sumberdaya perairan laut lainnya), dan sumber

peternakan, serta sumberdaya alam lainnya, baik yang dapat diperbarui maupun

yang tidak dapat diperbarui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah

geografis, kondisi topografis dan lain-lain.

c) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Sumberdaya IPTEK mencakup ketersediaan pengetahuan pasar,

pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang


dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi,

seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga

statistik, literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, asosiasi

pengusaha, asosiasi perdagangan dan sumber pengetahuan dan teknologi lainnya.

d) Sumberdaya Modal

Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari

jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal),

aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan,

tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter dan fiskal,

serta peraturan moneter dan fiskal.

e) Sumberdaya Infrastruktur

Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing nasional dapat

dilihat dari ketersediaan, jenis, mutu, dan biaya penggunaan infrastruktur yang

mempengaruhi persaingan, termasuk sistem transportasi, komunikasi, pembayaran

dan transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain.

2. Kondisi Permintaan

Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing

industri nasional, terutama mutu pemintaan domestik. Mutu permintaan domestik

merupakan sarana pembelajaran perusahaan domestik untuk bersaing di pasar

global. Mutu permintaan (pesaingan yang ketat) di dalam negeri memberikan

tantangan bagi setiap pasar domestik. Ada tiga faktor kondisi permintaan yang

mempengaruhi dayasaing nasional ;


a. Komposisi Permintaan Domestik

Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing

nasional. Karakteristik tersebut meliputi ;

1) Struktur segmen permintaan merupakan faktor penentu dayasaing Industri

nasional. Pada sebagian besar industri, permintaan yang ada telah

tersegmentasi atau dipersempit menjadi beberapa bagian yang lebih

spesifik. Pada umumnya perusahaan lebih mudah memperoleh dayasaing

pada struktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan

struktur segmen yang sempit.

2) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan

kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan

memenuhi standar yang tinggi, yang mencakup standar mutu produk, fitur-

fitur pada produk dan pelayanan.

3) Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri

merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan dayasaing.

b. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan

Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat

persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat

pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru, dan kejenuhan

permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan domestik melakukan penetrasi

pasar lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan

keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini terjadi jika industri dilakukan

dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun

fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktifitas.


c. Permintaan Luar Negeri Terhadap Nasional

Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong

dayasaing industri nasional kerena dapat membawa produk tersebut keluar negeri.

Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi

suatu negara juga dapat mendorong dan meningkatkan dayasaing produk negeri

yang dikunjungi tersebut.

3. Industri Terkait dan Industri Pendukung

Keberadaan industri pendukung dan industri terkait yang memiliki

dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri

hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama

dengan harga lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat,

pengiriman tepat waktu dan jumah sesuai dengan kebutuhan industri utama,

sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi.

Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan

baku. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir tersebut

dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global.

4. Struktur, Persaingan dan Strategi Perusahaan

Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu pendorong bagi

perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi.

Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan

sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan antar perusahaan untuk

berkompetisi dan terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal

dan kuat merupakan faktor penentu sebagai motor penggerak untuk memberikan

tekanan pada perusahaan lain untuk meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan-


peruahaan yang telah terbukti bersaing ketat dalam industri nasional akan lebih

mudah memenangkan persaingan internasional dibandingkan dengan perusahaan-

perusahaan yang belum memliki dayasaing nasional atau berada dalam industri

yang tingkat persaingannya rendah.

Strukur industri dan struktur perusahaan juga menentukan dayasaing

yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut.

Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk

melakukan perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan

struktur industri yang bersaing. Di lain pihak, struktur perusahaan yang berada

dalam industri sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan yang

bersangkutan dikelola dan dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik

domestik maupun internasional. Di samping itu, juga berpengaruh pada strategi

perusahaan untuk memenangkan persaingan domestik dan internasional. Dengan

demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri

yang bersangkutan.

5. Peran Pemerintah

Peran pemerintah merupakan variabel pendukung dari Teori Berlian

Porter. Pemerintah dapat mempengaruhi keempat variabel utama. Variabel

kondisi faktor sumberdaya dipengaruhi melalui subsidi, kebijakan pasar modal,

kebijakan pendidikan dan lain sebagainya. Peranan pemerintah dalam membentuk

kondisi permintaan domesik seringkali sulit untuk dijelaskan. Pemerintah juga

bertugas menetapkan standar produk lokal melalui departemen - departemen yang

ada. Pemerintah juga seringkali menjadi pembeli utama, misalnya pembelian alat
telekomunikasi atau penerbangan untuk keperluan negara. Bahkan pemerintah

dapat juga menjadi penjual utama atau memegang kekuasaan atas produk-produk

vital yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Pada bagian industri

pendukung dan terkait, pemerintah dapat membentuk polanya, seperti dengan

mengkontrol media periklanan dan membuat regulasi dari pelayanan pendukung.

Disamping itu, pemerintah juga dapat mempengaruhi persaingan, struktur dan

strategi perusahaan melalui regulasi pasar modal, kebijakan pajak dan peundang-

undangan.

6. Peran Kesempatan

Kesempatan mempunyai dampak yang asimetris atau hanya berlaku satu

arah terhadap keempat faktor utama dari Teori Berlian Porter. Faktor Peluang

seringkali merupakan suatu hal yang besar di luar kekuatan dari industri dan juga

pemerintah dalam mempengaruhi keunggulan kompetitif, yaitu hak paten, perang,

keputusan politik dari pemerintah luar negeri dan lainnya.

3.1.2 Struktur Pasar

Istilah struktur pasar (market structure) mengacu pada semua aspek yang

dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja perusahaan di suatu pasar, misalnya

jumlah perusahaan di pasar atau jenis produk yang mereka jual (Lipsey,1997).

Struktur pasar umumnya dicirikan atas dasar empat karakteristik yang penting,

yaitu jumlah dan distribusi ukuran dari penjual dan pembeli yang aktif serta para

pendatang potensial, tingkat diferensiasi produk, jumlah dan biaya, informasi

tentang harga dan mutu produk, serta kondisi masuk dan keluar pasar.
3.1.2.1 Pasar Persaingan Sempurna

Menurut pappas dan Hirchey (1995), pasar persaingan sempurna adalah

struktur pasar yang dicirikan dengan sejumlah besar pembeli dan penjual untuk

sebuah produk yang homogen, di mana setiap transaksi peserta pasar adalah

begitu kecil sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap harga dari produk

tersebut. Para pembeli dan penjual individual adalah para pengambil harga (price

taker). Harga telah ditentukan pasar dan cenderung konstan. Ini berarti bahwa

perusahaanperusahaan mengambil harga sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah

dan tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi pasar melalui tindakannya

sendiri. Sehingga untuk mendapatkan keuntungan maksimum seorang produsen

hanya dapat mencapainya melalui keputusan banyaknya jumlah produk yang akan

dijual, dengan kata lain laba maksimum dapat diwujudkan dalam kondisi

MR=MC. Pada struktur pasar ini informasi permintaan dan penawaran yang bebas

dan lengkap tersedia serta tidak terdapat hambatan masuk dan keluar yang berarti,

akibatnya tingkat pengembalian atas investasi hanya dimungkinkan dalam jangka

panjang.

3.1.2.2 Pasar Persaingan Monopolistik

Menurut Pappas dan Hirchey (1995), persaingan monopolistik adalah

pasar yang terdiri dari banyak penjual yang menawarkan produk-produk yang

serupa tetapi tidak identik atau terdiferensiasi. Namun barang-barang tersebut

tidak bisa saling mensubtitusi. Sehingga konsumen melihat adanya perbedaan

penting diantara produk-produk yang ditawarkan oleh setiap produsen individual.

Perusahaan dalam persaingan monopolistik dapat memperkenalkan

sebuah inovasi dalam produk yang dapat memberikan peningkatan laba ekonomi
yang cukup besar dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, peniruan oleh

para pesaing akan mengikis pangsa pasar dan laba akhirnya menurun ketingkat

normal.

Alasan perusahaan dalam industri monopolistik dapat mengontrol harga

produknya adalah subyektifitas konsumen yang memandang produk-produknya

berbeda. Oleh sebab itu, perusahaan-perusahaan pada industri yang memiiki

struktur ini berusaha meyakinkan bahwa produk mereka berbeda dan lebih baik

dari perusahaan lainnya.

3.1.2.3 Pasar Oligopoli

Menurut Lipsey (1997), Oligopoli adalah industri yang terdiri dari dua

atau beberapa perusahaan, sedikitnya satu di antaranya menghasilkan sebagian

besar dari keluaran total industri. Para oligopolis memperhitungkan keputusan

keputusan yang diambil oleh berbagai produsen dan mereka memperhitungkan

juga dampak keputusan yang diambil oleh berbagai produsen dan mereka

memperhitungkan juga dampak keputusan mereka terhadap pesaing-pesaingnya.

Bila tedapat perubahan harga sekecil apapun, maka konsumen beralih pada

produsen lainnya.

Akses yang yang terbatas pada informasi, biaya, dan mutu produk yang

dikombinasikan dengan hambatan masuk dan keluar yang tinggi memberikan

potensial laba ekonomi dalam jangka panjang. Strategi untuk mendapatkan

keuntungan dalam pasar oligopoli antara lain adalah perusahaan-perusahaan yang

terlibat dapat bekerjasama dalam beberapa hal yang menyangkut kepentingan

bersama, lalu melakukan strategi diferensiasi produk, dan inovasi produk.


3.1.2.4 Pasar Monopoli

Menurut Pappas dan Hirchey (1995), pasar monopoli adalah suatu pasar

yang dicirikan dengan penjual tunggal dan sebuah produk yang sangat

terdiferensiasi. Produsen monopoli dapat menentukan harga. Hambatan masuk

atau keluar yang besar seringkali merintangi para pendatang potensial. Monopoli

biasa terjadi kerena 3 hal, yaitu monopoli alami, monopoli kerena efisiensi yang

superior, dan monopoli kerena paten.

3.1.3 Teori Perdagangan Internasional

Pengertian sederhana pedagangan internasional adalah suatu proses yang

timbul sehubungan dengan pertukaran komoditas antar negara. Adam Smith

dalam Salvatore (1996) menyatakan bahwa perdagangan antara dua negara di

dasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih

efisien dari pada (atau memilki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam

memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki

kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditas lainnya,

maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-

masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditas yang memiliki

keunggulan absolut, dan menukarkannya dengan komoditas lain yang memiliki

kerugian absolut. Melalui proses ini sumberdaya di kedua negara dapat digunakan

dalam cara yang paling efesien. Output kedua komoditas yang diproduksi pun

akan meningkat. Peningkatan dalam output ini akan mengukur keuntungan dari

spesialisasi produksi untuk kedua negara yang melakukan perdagangan.


Menurut teorema (Heckscher-Ohlin dalam Salvatore, 1996) sebuah

negara akan mengekspor komoditi yang diproduksinya lebih banyak menyerap

faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu

yang bersamaan akan mengimpor komoditas yang diproduksinya memerlukan

sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Singkatnya, sebuah

negara yang relatif kaya atau berkelimpahan tenaga kerja akan mengekspor

komoditas yang relatif padat tenaga keja dan mengimpor komoditas yang relatif

padat modal (yang meupakan faktor produksi langka dan mahal di negara

bersangkutan).

Dalam teori mengenai timbulnya perdagangan Internasional, (Heckscher-

Ohlin dalam Salvatore, 1987) menganggap bahwa negara dicirikan oleh faktor

bawaan yang berbeda, sedangkan fungsi produksi di semua negara adalah sama.

Dengan menggunakan asumsi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa dengan fungsi

produksi yang sama dan faktor bawaan yang berbeda antar negara, suatu negara

cenderung untuk mengekspor komoditas yang secara relatif intensif dalam

menggunakan faktor produksinya lebih banyak dan mengimpor barang-barang

yang menggunakan faktor-faktor produksi yang relatif langka dan intensif.

Volume ekspor suatu komoditas tertentu dari suatu negara ke negara lain

merupakan selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang

disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Di lain pihak kelebihan

penawaran dari negara tersebut merupakan permintaan impor bagi negara lain

atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand). Selain dipengaruhi oleh

permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor

pasar dunia seperti harga komoditas itu sendiri dan komoditas subtitusinya dipasar
internasional serta hal-hal yang dapat mempengaruhi harga baik secara langsung

maupun tidak langsung (Salvatore, 1996).

3.1.4 Pasar dan Pangsa Pasar

Dalam perdagangan dikenal istilah pasar. Menurut Lipsey (1995), pasar

merupakan suatu konsep yang memiliki beberapa definisi. Definisi yang pertama

yaitu pasar merupakan tempat berlangsungnya negosiasi pertukaran komoditas

antara pembeli dan penjual. Definisi yang kedua dari sudut pandang rumah

tangga, pasar adalah perusahaan-perusahaan dimana rumah tangga dapat membeli

produk. Definisi yang ketiga dari sudut pandang perusahaan, pasar adalah pembeli

- pembeli dimana perusahaan dapat menjual produk. Sedangkan pengertian pasar

yang dikemukakan oleh WJ. Stanton dalam Swatha (1998) adalah orang-orang

yang mempunyai keinginan untuk puas, uang untuk berbelanja dan kemauan

untuk membelanjakannya. Istilah pangsa pasar (market share) didefinisikan

sebagai persentase penguasaan pasar (Chandradhy, 1978).

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sektor dari sekian banyak

sektor unggulan ekspor Indonesia. Salah satu komoditas unggulan perkebunan

adalah kelapa sawit selain keret, teh, kopi dan lain sebagainya. Hal ini terlihat dari

kontribusinya terhadap devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Kebutuhan

kelapa sawit untuk kebutuhan minyak goreng dan sebagai bahan bakar (biofuel).

Industri CPO Indonesia bukan hanya memasok kebutuhan di dalam negeri saja,

melainkan negara lain seperti India, China, Belanda, dan Negara Uni Eropa.

Permasalahan yang menyebabkan dayasaing CPO negara kita masih

rendah dibanding Malaysia antara lain pertama produktivitas kelapa sawit


Indonesia masih di bawah potensinya, kedua industri hilir belum berkembang,

ketiga infrastruktur yang terbatas, keempat berbagai kebijakan yang tidak

kondusif, kelima berkembangnya areal swadaya tanpa pabrik kelapa sawit, dan

keenam adanya kampanye negatif terhadap produk kelapa sawit di pasar

Internasional. Sehingga perlu perbaikan dalam meningkatkan kualitas dan

kuantitas kelapa sawit agar mampu bersaing dengan pesaing utama yaitu

Malaysia. Terbukanya kran perdagangan bebas antar negara merupakan peluang

bagi negara Indonesia untuk meningkatkan devisa dari ekspor kelapa sawit. Selain

itu tuntutan permintaan CPO dari negara-negara Eropa atau importir yang besar

menyebabkan adanya syarat komoditas ekspor yang bersaing dan harus

memperhatikn aspek linkungan, ekonomi dan sosial masyarakat sekitar

perkebunan.

Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian Dayasaing

Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional ini adalah menganalisis struktur

pasar dalam perdagangan CPO serta menganalisis posisi dayasaing CPO di pasar

Internasional. Oleh karena itu, tahapan dalam penelitian ini adalah melakukan

pengkajian potensi, kendala, dan peluang komoditas CPO. Analisis situasi

tersebut dilakukan dengan pendekatan Teori Berlian Porter (Porter Diamond

Theory) tentang keunggulan bersaing suatu negara.

Pendekatan lain yang digunakan adalah analisis Herifindahl Index yaitu

untuk mengetahui struktur pasar dan pangsa pasar yang dimiliki oleh CPO di

pasar internasional. Dalam penelitian ini juga menggunakan analisis kuantitatif

lain yaitu Revealed Comparative Index (RCA). Nilai RCA digunakan untuk

menjelaskan kekuatan dayasaing komoditas CPO Indonesia secara relatif terhadap


produk sejenis dari negara lain (dunia) yang juga menunjukan posisi komparatif

Indonesia sebagai produsen CPO dibandingkan dengan negara lainnya dalam

pasar minyak sawit mentah internasional.


Permasalahan didalam negeri
yang menyebabkan dayasaing
kelapa sawit nasional menurun
Persaingan komoditi di pasar
Internasional dengan
terbukanya kran perdagangan
bebas

Posisi dayasaing CPO


(Crude Palm Oil) Indonesia

Analisis struktur Analisis keunggulan Analisis Keunggulan


industri CPO di pasar Komparatif CPO Kompetitif industri
Internasional Indonesia CPO Indonesia

Herifindahl Index Revealed Teori Berlian Porter


dan Rasio Comparatif
Konsenttrasi Advantage (RCA)

Gambaran dayasaing CPO


Indonesia menghadapi persaingan
Internasional
(Identifikasi faktor SWOT)

Strategi untuk meningkatkan


dayasaing CPO Indonesia di pasar
Internasional

(Analisis SWOT)

Gambar 4 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian


IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada beberapa tempat diantaranya Gedung

PAU IPB Lantai 2 yang merupakan pusat organisasi Masyarakat Kelapa Sawit

Indonesia (MAKSI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI),

Dewan Minyak Sawit Indonesia Jakarta, serta Direktorat Jenderal Perkebunan

Departemen Pertanian Jakarta. Penelitian ini berlangsung pada bulan Febuari

hingga April 2008.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

sekunder. Data sekunder di peroleh dari Direktorat Jenderal Perkebunan,

Departemen Pertanian antara lain: luas lahan, produksi, produktifitas kelapa sawit,

dan ekspor CPO, gambaran umum kelapa sawit, selain itu sumber data yang

menunjang penelitian ini diperoleh dari buku-buku literatur, perpustakaan LSI,

dan internet. Data primer digunakan untuk melihat gambaran umum keadaan

perkelapa sawitan Negara Indonesia saat ini. Data primer merupakan hasil

wawancara dengan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia),

Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (MAKSI), dan Dewan Minyak Sawit

Indonesia (DMSI).
4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis

kualitatif dilakukan dengan menggunakan Teori Berlian Porter dan analisis

SWOT, sedangkan analisis kuantitatif menggunakan Herifindahl Index (HI) dan

Revealed Comparative Advantage (RCA). Pengolahan data dilakukan dengan

menggunakan software Microsoft Excel 2007.

4.3.1 Analisis Struktur Industri

Herifindahl Index dan Rasio Konsentrasi adalah alat analisis yang

digunakan untuk mengetahui struktur pasar yang dihadapi suatu industri.

Herfindahl Index merupakan suatu alat untuk mengukur besar kecilnya (ukuran)

perusahaan-perusahaan dalam industri dan sebagai indikator jumlah pesaing

diantara mereka. Herfindahl Index dan rasio konsentrasi sering digunakan untuk

mengukur konsentrasi industri. Nilai Herifindahl Index mencerminkan

penguasaan pangsa pasar oleh suatu perusahaan dalam suatu industri. Indeks

tersebut merupakan hasil penjumlahan kuadrat pangsa pasar tiap-tiap perusahaan

dalam suatu industri.

Sij = Xij / TXj

Keterangan :

Sij : Pangsa pasar CPO Negara i di pasar internasional


Xij : Nilai ekspor CPO Negara i dipasar internasional
TXj : Total nilai ekspor CPO di pasar internacional
Dalam penelitian ini, alat analisis Herifindahl Index digunakan dengan

tujuan mengetahui struktur pasar CPO di pasar internasional sekaligus mengukur

penguasaan pangsa pasar masing-masing negara terlibat dalam perdagangan CPO.

Pangsa pasar CPO suatu negara dihitung dengan membandingkan ekspor CPO

tersebut dengan total ekspor dunia. Formula yang sama kemudian digunakan

untuk mengukur struktur pasar dan pangsa pasar suatu negara dalam perdagangan

CPO internasional, yaitu sebagai berikut

HI = S12 + S22 + S32 + +Sn2

Keterangan :

HI : Herifindahl Index
Si : Pangsa pasar Negara ke i dalam perdagangan CPO dunia
n : Jumlah Negara yang terlibat dalam perdagangan CPO

Didasarkan pada analisa standar dalam ekonomi industri, bahwa struktur

industri dikatakan berbentuk oligopoli bila empat produsen terbesar menguasai

minimal 40 persen pangsa pasar penjualan dari industri yang besangkutan

(CR4=40 persen). Apabila kekuatan keempat produsen tersebut sama, maka

pangsa penjualan atau produksi masing-masing produsen adalah 10 persen dari

nilai penjualan atau produksi suatu industri. Apabila penguasaan pasar oleh

sepuluh produsen atau kurang dalam suatu industri merupakan batas minimum

suatu industri berbentuk oligopolistik, maka terdapat kecendrungan peningkatan

derajat penguasaan pasar dari tahun ketahun. Sejalan dengan peningkatan derajat

penguasaan pasar tersebut, beberapa sub sektor industri beralih kearah persaingan
oligopolistik. Nilai Herifindahl Index ini berkisar antara 0 hingga 1 (atau 10.000

yang merupakan kuadrat dari 100 persen). Jika nilai Herifindahl Index mendekati

0 berarti struktur pasar industri yang bersangkutan cenderung ke pasar persaingan

(competitive market), sementara jika indeks bernilai mendekati 1 (atau 10.000)

maka struktur pasar industri tersebut cenderung bersifat monopoli.

Struktur pasar juga dapat diklasifikasikan berdasarkan rasio

konsentrasinya, yaitu :

1. Struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition) ditunjukan

dengan rasio konsetrasi yang sangat rendah.

2. Struktur pasar persaingan monopolistik (monopolistic competicion)

ditunjukan dengan nilai rasio konsetrasi untuk empat produsen terbesar

(CR4) di bawah 40 persen.

3. Strukur pasar oligopoli ditunjukan dengan nilai rasio konsentrasi empat

produsen terbesar (CR4) diatas 40 persen.

4. Struktur pasar monopoli ditunjukan dengan nilai rasio konsentrasi empat

produsen (CR4) mendekati 100 persen.

Rasio konsentrasi negara penghasil kelapa sawit di formulasikan sebagai

berikut:

Keterangan
Sij : Pangsa pasar negara ke i penghasil CPO
CRni : Menunjukan n-rasio konsentrasi pada pasar internasional
Nilai CR yang banyak digunakan adalah CR4 dan CR8 menunjukan

persentase output pasar yang dihasilkan oleh keempat atau kedalapan produsen

terbesar dalam industri. Semakin besar nilai rasio konsentrasi menunjukan bahwa

industri tersebut semakin terkonsentrasi dan semakin sedikit jumlah produsen

yang berada dipasar, sedangkan semakin rendah rasio konsentrasi menunjukan

konsentrasi pasar yang rendah, persaingan yang lebih ketat dikarenakan tidak ada

produsen yang secara signifikan menguasai pasar.

Dengan mengetahui nilai Herifindahl Index dan Rasio Konsentrasi empat

produsen terbesar ini maka secara tidak langsung dapat diketahui konsentrasi dan

struktur pasar persaingan di mana Indonesia dan negara-negara produsen CPO

lainnya bersaing, serta menyesuiakan strategi kompetitif yang akan digunakan.

Tingkat konsentrasi pasar yang dapat dirumuskan dari dua alat yaitu

Herifindahl Index dan CR4 adalah sebagai berikut :

1 Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara

80-100 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.800-10.000. struktur

pasar untuk tingkat konsentrasi tinggi adalah monopoli atau oligopoli ketat.

2 Konsentrasi pasar yang sedang dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar

antara 50 sampai 80 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.000-

1.800. struktur pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi sedang adalah

lebih banyak oligopoli.

3 Konsentrasi pasar yang rendah dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar 0

sampai dengan 50 persen, sedangkan kisaran nilai HI antara 0 sampai dengan

1.800. Struktur pasar dengan tingkat konsentrasi rendah adalah struktur pasar

persaingan sempurna atau persaingan monopolistik.


4.3.2 Reveled Comparative Advantage (RCA)

Salah satu cara untuk mengukur keunggulan komparatif adalah dengan

menggunakan Revealed Comparative Advantage Index, yang membandingkan

pangsa pasar ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa pasar sektor

tertentu di pasar dunia. Keuntungan dari menggunakan RCA Index adalah bahwa

indeks ini mempertimbangkan keuntungan intrinsik komoditas ekspor tertentu dan

konsisten dengan perubahan di dalam suatu ekonomi produktifitas dan faktor

anugerah alternatif, kerugiannya bagaimanapun juga indeks ini tidak dapat

membedakan antara peningkatan didalam faktor sumberdaya dan penerapan

kebijakan perdagangan yang sesuai.

Tujuan penggunaan indeks RCA dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui posisi komparatif Indonesia diantara negara produsen kelapa sawit

lainnya di pasar internasional. Selain itu indeks ini bermanfaat untuk mengukur

dayasaing industri suatu negara, apakah industri cukup tangguh bersaing di pasar

internasional atau tidak dapat diketahui secara kuantatif dengan menggunakan

indeks ini.

Rumus menurut Balasaa dalam Smyth (2005) untuk mengukur keunggulan

komparatif sebuah Negara dengan menggunakan Revealed Comparative

Advantage, yaitu : RCAi = ( Xij / Xj ) / (Xiw/Xw)

Keterangan
RCAi : Revealed Comparative Advantage untuk komditi i
Xij : Nilai Ekspor komoditas i dari negara j
Xj : Total ekspor negara j
Xiw : Ekspor komoditas i seluruh dunia
Xw : Total ekspor dunia
Apabila hasil yang didapat yaitu nilai RCA lebih besar dari satu, maka

dapat dikatakan Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk kondisi yang

terkait dan mempunyai dayasaing kuat. Apabila nilai RCA kurang dari satu, maka

Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditi tersebut atau

komoditi tersebut dayasaingnya lemah. Maka, semakin tinggi nilai RCA-nya

semakin kuat dayasaingnya (Swaranindita, 2005)

4.3.3 Analisa Berlian Porter

Alat analisis Berlian Porter digunakan untuk mengetahui situasi dan

kondisi dari setiap atribut yang ada, seperti kondisi permintaan domestik, kondisi

faktor sumberdaya, industri pendukung dan terkait dan persaingan, struktur dan

strategi industri CPO nasional. Selain hal tersebut, terdapat juga dua atribut

tambahan yaitu peran pemerintah dan peran dari kesempatan yang mempunyai

pengaruh terhadap perkembangan industri CPO nasional.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis industri CPO nasional,


yaitu :

1) Menentukan siapa saja yang ada didalam industri. Hal ini dilakukan dengan

membuat daftar kasar yang memuat para peserta industri secara langsung.

2) Menelaah industri. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya hasil telaah

industri yang relatif cukup lengkap atau sejumlah artikel yang cakupannya

luas.

3) Laporan tahunan. Laporan tahunan dapat berupa data-data perdagangan yang

bersifat nasional maupun internasional dengan rentang waktu tertentu.


4.3.4 Analisa SWOT

Dalam menetapkan strategi dan kebijakan pengembangan kelapa sawit

Indonesia ke depan digunakan alat analisis SWOT. Dengan mengidentifikasi

peluang dan ancaman yang dihadapi suatu industri serta analisis terhadap fakor

kunci yang dijadikan sebagai bahan acuan dalam menetapkan strategi dan

kebijakan penanganan kelapa sawit, guna mewujudkan industri yang tangguh

melalui penciptaan kondisi yang kondusif.

Analisis SWOT yaitu analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan

ancaman (Strenghts, Weaknesses, Opportunities threats). Analisis SWOT

merupakan identifikasi yang bersifat sistematis dari faktorfaktor kekuatan dan

kelemahan industri serta peluang dan ancaman lingkungan luar dan strategi yang

menyajikan kombinasi terbaik diantara ke empatnya.

Setelah diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman barulah

suatu industri dapat menentukan strategi dengan memanfaatkan kekuatan yang

dimilikinya untuk mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang ada,

sekaligus untuk memperkecil atau bahkan mengatasi kelemahan yang dimilikinya

untuk menghindari ancaman yang ada.

1. Analisis Kekuatan (Strengths)

Kekuatan merupakan kelebihan khusus yang memberikan keunggulan di

dalam suatu industri. Kekuatan akan mendukung perkembangan usaha

dengan cara memperhatikan sumber dana, citra, kepemimpinan pasar,

hubungan dengan konsumen atau pemasok, serta faktor lainnya.

2. Analisis Kelemahan (Weaknesses)


Kelemahan adalah keterbatasan dan kekurangan dalam hal sumberdaya,

keahlian dan kemampuan yang secara nyata menghambat aktivitas

industri. fasilitas, sumberdaya keuangan, kemampuan manajerial dan

pandangan terhadapa industri.

3. Analsis Peluang (Opportunities)

Peluang adalah situasi yang diinginkan atau disukai dalam perusahaan atau

industri yang diidentifikasi. Segmen pasar, perubahan dalam persaingan

atau lingkungan, perubahan teknologi, peraturan baru dapat menjadi

peluang bagi industri atau perusahaan.

4. Analisis Ancaman (Threats)

Ancaman merupakan situasi yang paling tidak disukai oleh perusahaan

atau industri. Ancaman merupakan penghalang bagi posisi yang

diharapkan oleh industri. Masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang

lambat, meningkatnya posisi penawaran pembeli dan pemasok, perubahan

teknologi. Peraturan juga dapat menjadi ancaman bagi industri CPO.

Matriks SWOT digunakan untuk menyusun strategi yang akan

menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman yang dihadapi

suatu industri atau perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan

organisasi. Matriks SWOT ini menghasilkan 4 kemungkinan alternatif strategi

yaitu strategi S O strategi W O strategi S T dan strategi W T .


Internal STRENGHT (S) WEAKNESS (W)

Eksternal Daftar 5-10 faktor Daftar 5-10 faktor


kekuatan kelemahan
OPPORTUNITIES STRATEGI S-O STRATEGI W-O
(O)
Gunakan kekuatan untuk Atasi kelemahan dengan
Daftar 5-10 faktor memanfaatkan peluang. memanfaatkan peluang
peluang
THREATS (T) STRATEGI S-T STRATEGI W-T
Daftar 5-10 faktor
Ancaman Gunakan kekuatan untuk meminimalkan
menghindari ancaman kelemahan dan
menghindari ancaman
Gambar 5 Matriks SWOT

Terdapat 8 tahapan dalam membentuk matriks SWOT, yaitu ;

1. Tentukan faktor-faktor peluang eksternal organisasi atau perusahaan.

2. Tentukan faktor-faktor ancaman perusahaan atau industri.

3. Tentukan faktor-faktor kelemahan perusahaan atau industri.

4. Tentukan faktor-faktor kekuatan perusahaan atau industri.

5. Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan

strategi S-O.

6. Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk

mendapatkan strategi W-O.

7. Sesuiakan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk

mendapatkan strategi S-T.

8. Sesuaikan kelemahan internal dengan ancaman eksternal untuk

mendapatkan strtegi W-T.


Faktor Eksternal

Faktor eksternal perusahaan atau industri dipengaruhi oeh lingkungan

jauh perusahaan dan lingkungan bisnis perusahaan. Pengidentifikasian berbagai

faktor eksternal ini diharapkan dapat memuat berbagai faktor luar yang dianggap

sebagai peluang maupun ancaman bagi perusahaan dengan alasan yang kuat.

Lingkungan eksernal perusahaan terdiri dari berbagai faktor yang pada dasarnya

di luar dan terlepas dari perusahaan. Berbagai faktor utama yang diperhatikan

dalam lingkungan eksternal jauh perusahaan ialah faktor politik, ekonomi, sosial,

dan teknologi, yang sering disebut dengan PEST. Lingkungan jauh ini menjadi

hambatan dan ancaman untuk maju. Penjelasan dari tiap faktor dipaparkan berikut

ini.

1. Faktor Politik

Arah kebijakan dan stabilitas politik pemerintah menjadi faktor

penting bagi pengusaha untuk berusaha. Situasi politik yang tidak

kondusif akan berdampak negatif bagi dunia usaha begitu pula

sebaliknya. Beberapa hal utama yang harus diperhatikan dari faktor

politik agar bisnis dapat berkembang dengan baik ialah undang-undang

tentang lingkungan dan perburuhan, peraturan tentang perdagangan

luar negeri, stabilitas pemerintah, peraturan tentang keamanan dan

kesehatan kerja, dan sistem perpajakan.

2. Faktor Ekonomi

Kondisi ekonomi suatu daerah atau negara dapat mempengaruhi iklim

bisnis suatu perusahaan. Semakin buruk kondisi ekonomi, semakin

buruk pula iklim berbisnis. Beberapa faktor kunci yang perlu


diperhatikan dalam menganalisis faktor ekonomi adalah siklus bisnis

atau ekonomi, ketersediaan energi, inflasi, suku bunga, investasi,

harga-harga produk dan jasa, produkktivitas dan tenaga kerja.

3. Faktor Sosial

Kondisi masyarakat berubah-ubah secara dinamis. Kondisi sosial

meliputi banyak aspek yaitu sikap, gaya hidup, adat istiadat dan

kebiasaan hidup orang-orang di lingkungan eksternal perusahaan,

kondisi cultural perusahaan, ekologis demografis, relegius, pendidikan

dan etnis. Contoh dari pengaruh kekuatan sosial ialah jika sikap sosial

berubah, permintaan untuk berbagai kebutuhan akan berubah.

4. Faktor Teknologi

Perkembangan teknologi mengalami kemajuan pesat, baik di bidang

bisnis maupun di bidang yang mendukung kegiatan bisnis. Setiap

kegiatan usaha yang diinginkan berjalan terus menerus harus selalu

mengikuti perkembangan teknologi yang dapat diterapkan pada produk

atau jasa yang dihasilkan atau pada cara operasinya. Agar perusahaan

tidak tertinggal karena kesalahan penggunaan teknologi, maka ada

beberapa hal penting yang harus diperhatikan yaitu bagaimana

kecepatan transfer teknologi.

Faktor Internal

Audit terhadap lingkungan internal bertujuan untuk mengetahui berbagai

hal yang menjadi kekuatan ataupun kelemahan internal organisasi. Organisasi

harus terus mengembangkan kekuatan (potensi) yang dimilikinya, diiringi dengan


usaha memperbaiki kelemahan internalnya. Audit internal mencakup seluruh

fungsi yang terdapat organisasi tersebut.

Audit lingkungan internal ini dilakukan dengan menggunakan

pendekatan fungional perusahaan. Pada pendekatan fungsional perusahaan,

pengkategorian analisis internal sering diarahkan pada pasar dan pemasaran,

kondisi keuangan dan akunting, produksi, sumberdaya manusia, dan struktur

organisasi dan manajemen.

1. Pasar dan Pemasaran

Ada beberapa faktor yang diperhatikan dalam bidang pemasaran yaitu

pangsa pasar, pelayanan purna jual, kepemilkan informasi tentang pasar,

pengendalian distributor, kondisi satuan kerja pemasaran, kegiatan

promosi, harga jual produk, komitmen manajemen puncak, loyalitas

pelanggan dan kebijakan produk baru.

2. Keuangan dan Akuntasi

Dana dibutuhkan dalam operasional perusahaan. Oleh karena itu, faktor-

faktor yang perlu diperhitungkan adalah kemampuan peusahaan

menumpuk modal jangka panjang dan jangka pendek, beban yang harus

dipikul sebagai upaya memperoleh modal tambahan, hubungan baik

dengan penanam modal dan pemegang saham, pengelolaan keuangan,

struktur modal kerja, harga jual produk, pemantau penyebab inefesiensi

dan sistem akunting yang handal.

3. Kegiatan Produksi dan Operasi

Kegiatan produksi-operasi perusahaan dapat dilihat dari keteguhan dalam

prinsip efesiensi, efektivitas dan produktivitas. Oleh karena itu faktor-


faktor yang haarus diperhatikan ialah hubungan yang baik dengan

pemasok, sistem logistik yang handal, lokasi fasilitas yang tepat,

pemanfaatan teknologi yang tepat, organisasi yang memiiki kesatuan,

pembiayaan, pendekatan inovatif dan proaktif, kemungkinan terjadinya

terobosan dalam proses poduksi dan pengendalian mutu.

4. Sumberdaya Manusia

Manusia merupakan sumberdaya yang penting bagi perusahaan. Oleh

karena itu manajer perlu berupaya agar terwujud perilaku positif

dikalangan karyawan perusahaan. Berbagai faktor yang perlu diperhatikan

antara lain langkah-langkah yang jelas mengenai manajemen sumberdaya,

keterampilan dan motivasi kerja, produktivitas dan sistem imbalan.


V. GAMBARAN UMUM KELAPA SAWIT NASIONAL
DAN INTERNASIONAL

5.1 Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

Peluang untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit masih cukup

terbuka bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumber daya lahan, tenaga

kerja, teknologi dan para ahli. Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak

sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang

menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek

komoditas minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia sebagai bahan

bakar alternatif (biofuel) pengganti bahan bakar minyak bumi telah mendorong

pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa

sawit. Perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia dari tahun 1967 sampai

dengan 2007 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1967 luas areal

perkebunan kelapa sawit hanya sebesar 105.808 hektar dengan produksi Crude

Palm Oil (CPO) sebesar 197.669 ton dan mengalami peningkatan luasan areal

signifikan memasuki tahun 1990 dengan luasan sebesar 1,12 juta hektar dan

mampu menghasilkan CPO sebesar 2,41 juta ton. Pada tahun 2007 produksi CPO

Indonesia telah mencapai 17,37 juta ton dengan luasan areal perkebunan sebesar

6,61 juta hektar. Untuk saat ini kelapa sawit merupakan salah satu komoditas

perkebunan yang mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pendapatan

negara dan pendapatan masyarakat petani kelapa sawit serta mampu mengurangi

tingkat pengganguran di Indonesia.


5.1.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan

Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia senantiasa mengalami

peningkatan setiap tahunnya. Besarnya peningkatan luas areal perkebunan kelapa

sawit di Indonesia diakibatkan karena meningkatnya permintaan masyarakat

domestik dan internasional terhadap kelapa sawit baik sebagai bahan baku dari

bahan pangan, minyak goreng dan sebagai bahan bakar nabati (biofuel). Pada

tahun 1994 luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebesar 1,80 juta

hektar, pada tahun 2007 luasan areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia

mengalami peningkatan menjadi sebesar 6,61 juta hektar dengan kepemilikan

lahan terluas dimiliki oleh perkebunan rakyat mencapai 3,56 juta hektar. Luasan

perkebunan akan terus bertambah seiring dengan kebutuhan konsumen akan

kelapa sawit khususnya turunannya seperti Fatti Acid, Glyserin, Steame Acid dan

Fatti Alkohol.

Pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini masih

didominasi oleh pihak swasta dikarenakan modal investasi yang dimilikinya besar

sehingga mampu mengembangkan potensi perkebunan kelapa sawit yang

dimilikinya (lebih dari 45 persen perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah

milik investor dari Malaysia) 8. Pada saat ini bukan hanya perusahaan swasta

dalam negeri yang menginvestasikan modalnya untuk mengusahakan kelapa sawit

akan tetapi pihak swasta asing juga berminat untuk menginvestasikan dana yang

8
http://sawitwatch.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=26%E2%8C
%A9=en.Realitas Kebijakan dan Perizinan Usaha Perkebunan Pembelajaran dari sektor
Perkebunan Skala Besar. Diakses tanggal 15 Maret 2008.
dimilikinya. Potensi kelapa sawit sebagai penghasil minyak nabati dengan harga

yang cenderung mengalami peningkatan dipasar internasional menyebabkan

banyak pihak yang berminat untuk mengusahakan komoditas ini.

Perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh rakyat pada tahun 2009

diperkirakan akan meningkat melebihi luasan perkebunan swasta dengan luas

perkebunan rakyat menjadi sebesar 3,30 juta hektar. Kerjasama antara pihak

swasta, pemerintah dengan masyarakat lewat PIR (Pengelolaan Inti Rakyat)

dimana perusahaan sebagai inti mengikutsertakan masyarakat sebagai plasma

dalam pengelolaan perkebunaan kelapa sawit menyebabkan bertambahnya luasan

areal pengelolaan kelapa sawit di Indonesia.

Tabel 5 Luasan Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1994


2007
Luas Area (Ha)
Tahun Perkebunan Perkebunan Perkebunan
Total
Rakyat (PR) Negara (PBN) Swasta (PBS)
1994 572.544 386.309 845.296 1.804.149
1995 658.536 404.732 961.718 2.024.986
1996 738.887 426.804 1.083.823 2.249.514
1997 813.175 517.064 1.592.057 2.922.296
1998 890.506 556.641 2.113.050 3.560.196
1999 1.041.046 576.999 2.283.757 3.901.802
2000 1.166.758 588.125 2.403.194 4.158.077
2001 1.561.031 609.947 2.542.457 4.713.435
2002 1.808.424 631.566 2.627.068 5.067.058
2003 1.854.394 662.803 2.766.360 5.283.557
2004 2.220.338 605.865 2.458.520 5.284.723
2005 2.356.895 529.854 2.567.068 5.453.817
2006 2.549.572 687.428 3.357.914 6.594.914
2007* 2.565.135 687.847 3.358.632 6.611.614
2008** 2.565.172 687.847 3.358.792 6.611.811
2009** 3.300.481 760.010 3.064.840 7.125.31
Sumber : Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007
Keterangan : (*) Angka Sementara
(**) Angka Estimasi
5.1.2 Produksi dan Produktivitas Minyak Kelapa Sawit Indonesia

Produksi minyak kelapa sawit di Indonesia dari tahun 2004 hingga tahun

2007 mengalami peningkatan yang signifikan. Besarnya produksi minyak sawit

dikarenakan para pengusaha kelapa sawit melakukan peningkatan terhadap luas

areal penanaman (Tabel 6). Produksi minyak sawit Indonesia hingga tahun 2007

sebesar 17,37 juta ton dengan kontribusi terbesar oleh perkebunan milik swasta

sebesar 9,25 juta ton.

Produksi CPO yang diusahakan oleh negara mempunyai kontribusi yang

paling rendah dengan luasan areal 687.847 hektar pada tahun 2007. Perkebunan

negara selain mengusahakan tanaman perkebunan dengan komoditas kelapa sawit

lewat perusahaan perkebunan nasional (PTPN), juga mengusahakan tanaman

perkebunan lainnya seperti teh dan karet. Investasi yang besar untuk

mengembangkan komoditas perkebunan merupakan satu kendala, disamping itu

kondisi alam (jenis tanah, curah hujan, ketinggian tempat) juga menyebabkan

tidak disemua tempat kelapa sawit dapat dikembangkan.

Produktivitas CPO jika dilihat dari tahun 1999 sampai dengan 2007

menurut pengusahaan, perkebunan rakyat mempunyai produktivitas 1,66 ton

perhektar, sedangkan perkebunan negara mempunyai produktivitas 3,04 ton per

hektar dan perkebunan swasta sebesar 1,95 ton perhektar. Dengan demikian rata-

rata produktivitas kelapa sawit Indonesia adalah sebesar 2,04 ton perhektar.

Berdasarkan rata-rata produktivitas dengan rentang waktu tahun 1994 sampai

tahun 2007, dapat disimpulkan perkebunan milik negara mempunyai produktivitas

tertinggi selanjutnya perkebunan swasta lalu perkebunan rakyat dengan


produktivitas terkecil. Perkebunan milik negara mempunyai produktivitas

tertinggi, hal ini dikarenakan jenis tanaman yang diusahakan merupakan klon-

klon selain itu penguasaan budidaya juga baik. Kondisi yang berbeda ditemukan

pada perkebunan milik rakyat dimana penggunaan teknik budidaya tanaman

kelapa sawit belum dilakukan dengan bibit yang berkualitas, selain itu

penggunaan teknologi juga masih bersifat sederhana sehingga produktivitas

perkebunan rakyat masih rendah. Perkebunan milik rakyat mempunyai efisiensi

yang cukup baik jika dari sisi tenaga kerja.

Tabel 6 Produksi dan Produktivitas CPO di Indonesia Tahun 1994 2007


Tahun Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)
P.Rakyat P.Negara P.Swasta Jumlah PR PN PS Rata
1994 839.334 1.571.501 1.597.227 4.008.062 1,46 4,06 1,88 2,22
1995 1.001.443 1.613.848 1.864.379 4.479.670 1,52 3,98 1,93 2,21
1996 1.133.547 1.706.852 2.058.259 4.898.658 1,53 3,99 1,89 2,17
1997 1.282.823 1.586.879 2.578.806 5.448.508 1,57 3,06 1,61 1,86
1998 1.344.569 1.501.747 3.084.099 5.930.415 1,52 2,69 1,45 1,66
1999 1.547.811 1.468.949 3.438.830 6.455.590 1,48 2,54 1,50 1,65
2000 1.905.653 1.460.954 3.633.901 7.000.508 1,63 2,48 1,51 1,68
2001 2.798.032 1.519.289 4.079.151 8.396.472 1,52 2,49 1,60 1,78
2002 3.426.740 1.607.734 4.587.871 9.622.345 1,89 2,54 1,74 1,89
2003 3.517.324 1.750.651 5.172.859 10.440.834 1,89 2,64 1,86 1,97
2004 4.475.000 2.096.000 6.395.000 12.966.000 1,52 2,67 2,18 2,04
2005 5.149.000 2.295.000 7.176.000 14.620.000 1,90 2,73 2,30 2,17
2006 5.783.088 2.313.729 9.254.031 17.350.848 2,26 3,36 2,75 2,63
2007* 5.805.125 2.313.976 9.254.101 17.373.202 1,52 3,36 2,75 2,62
Rata-
rata 2.766.672 1.677.362 4.420.045 9.932.660 1,66 3,04 1,95 2,04
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007
Keterangan : (*) Angka Sementara
5.1.3 Luas Areal dan Produksi Menurut Provinsi

Pengusahaan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2007 tersebar di 22

provinsi di Indonesia dengan 11 provinsi yang tidak mengusahakan dari total 33

provinsi. Provinsi yang tidak mengusahakan kelapa sawit antara lain adalah DKI

Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi

Utara, Gorontalo, Maluku dan Maluku Utara. Areal perkebunan kelapa sawit

terbesar terletak di Riau dengan luasan sebesar 1,54 juta hektar, dengan

kepemilikan lahan terluas dimiliki oleh perkebunan rakyat seluas 749.379 hektar

dan mampu memproduksi 4,68 juta ton tandan buah segar pada tahun 2007. Selain

Riau, provinsi Sumatera Utara mempunyai luasan perkebunan sawit terbesar

kedua dengan luasan areal penanaman sebesar 970.603 hektar, dan mampu

memproduksi 3,20 juta ton kelapa sawit. Perluasan perkebunan kelapa sawit di

Indonesia akan direncanakan dilakukan pada beberapa daerah antara lain provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kepulauan Riau,

Sumatera Barat, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi

Tengah, Papua, dan Irian Jaya Barat.

5.1.4 Penyerapan Tenaga Kerja

Perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan

setiap tahunnya baik dari sisi luasan, produksi dan penyerapan tenaga kerja.

Sampai tahun 2006 perkebunan kelapa sawit Indonesia mampu menyerap tenaga

kerja sebanyak lebih dari tiga juta tenaga kerja, dan ini belum termasuk dalam sub

sistem lainnya seperti pembibitan sampai industri hilir.


Penyerapan tenaga kerja untuk perkebunan dapat membatu pemerintah

mengurangi tingkat pengganguran. Penyerapan tenaga kerja terbesar dari

perkebunan kelapa sawit diusahakan oleh perkebunan swasta. Tenaga kerja yang

bekerja untuk perkebunan swasta sebanyak 1.371.000 dengan besarnya tingkat

pertumbuhan sebesar 15,4 persen, di perkebunan rakyat tenaga kerja yang bekerja

sebanyak 1.318.000 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 25,9 persen, sedangkan

perkebunan negara hingga tahun 2006 hanya mampu menyerap jumlah tenaga

kerja 349.000 dengan tingkat pertumbuhan sebesar lima persen. Hingga tahun

2006 besarnya tenaga kerja yang mampu diserap dari sub sektor perkebunan sawit

adalah 3.038.000 tenaga kerja dengan pertumbuhan sebesar 12,6 persen pertahun.

Tabel 7 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Perkebunan Kelapa Sawit


Tahun 1980 2006
Tenaga Kerja
Tahun Perkebunan Perkebunan Perkebunan
Nasional
Rakyat Negara Swasta
1980 3 100 42 145
1990 146 186 232 564
2000 584 294 1.202 2.08
2001 781 305 1.271 2.357
2002 904 316 1.314 2.534
2003 927 332 1.383 2.643
2004 1.11 303 1.23 2.643
2005 1.178 265 1.284 2.727
2006 1.318 349 1.371 3.038
Pert % 25,9 5,0 15,4 12,6
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007

5.1.5 Unit Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PPKS)

Pabrik pengolahan kelapa sawit berkembang seiring dengan pertumbuhan

luas areal kelapa sawit, baik yang terpadu dengan kebun sendiri atau pola PIR

(Perkebunan Inti Rakyat) maupun pabrik kelapa sawit yang mempunyai kebun
sendiri dengan bahan baku dari petani swadaya. Penyebaran pabrik kelapa sawit

pada tahun 2006 pada Lampiran 1 terlihat bahwasnya jumlah PKS (Pabrik Kelapa

Sawit) sebanyak 420 unit dengan kapasitas 18.268 Ton TBS/Jam atau setara

dengan minyak sawit 17,26 juta ton.

Dengan dukungan pengolahan pabrik yang memadai maka seluruh TBS

dapat diolah dengan baik. Akan tetapi terlihat bahwa ada beberapa provinsi yang

belum mempunyai pabrik pengolahan kelapa sawit sehingga menyebabkan TBS

yang ada didaerah tersebut tidak dapat diolah sendiri melainkan diolah pada

daerah lain yang mempunyai pabrik pengolahan yang terdekat dengan daerahnya.

Di Indonesia pabrik pengolahan kelapa sawit terletak menyebar pada

daerah - daerah perkebunan kelapa sawit. Letak pabrik pengolahan terbanyak pada

daerah Sumatera yaitu terdapat 349 pabrik dengan produksi sebesar 14,09 juta ton

CPO untuk tahun 2006. Provinsi Riau merupakan daerah yang mempunyai pabrik

pengolahan terbanyak dengan 128 pabrik pengolahan, kerena daerah ini

merupakan provinsi dengan luas lahan perkebunan terbesar di Indonesia dengan

luasan sebesar 1,54 juta hektar sehingga diperlukan pabrik yang mampu mengolah

seluruh buah sawit. Pembangunan pabrik di daerah lain yang belum mempunyai

pabrik pengolahan kelapa sawit sangat penting karena selain dapat mengurangi

biaya pengangkutan juga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di daerah

pabrik pengolahan tersebut.


5.2 Tingkat Harga CPO di Indonesia

Perkembangan harga CPO di Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO di

tingkat internasional. Hal ini dikarenakan CPO merupakan komoditas ekspor dan

hampir sebagian besar CPO Indonesia dijual keluar negeri sehingga harga jual

maupun harga beli mengikuti harga yang terbentuk dalam pasar CPO

internasional. Harga CPO dan harga TBS berbeda jauh karena adanya perbedaan

nilai tambah pada komoditi tersebut. Harga TBS milik petani biasanya dihargai

sesuai dengan ketentuan dari perusahaan atau koperasi pengumpul kelapa sawit.

Tabel 8 Harga Tandan Buah Segar dan CPO di Indonesia Tahun 2000-2006
Harga TBS Produsen Harga CPO dalam Negeri
Tahun
(Rp/Ton) (Rp/Ton)
2000 349.879 3.217.151
2001 295.333 3.242.251
2002 385.875 4.212.691
2003 488.417 4.267.931
2004 573.127 4.584.302
2005 499.201 4.825.611
2006 551.186 4.701.113
Sumber : Departemen pertanian, 2007

Harga komoditas kelapa sawit segar milik produsen berfluktuatif. Harga

buah sawit yang masih rendah ini diakibatkan karena belum adanya nilai tambah

dari pengelolaan lebih lanjut pada sawit tersebut. Rata-rata harga kelapa sawit

segar hanya berkisar Rp 300/kg sampai Rp 500/kg TBS (Tandan Buah Sawit).

Selain masih belum diberikan nilai tambah pada sawit milik produsen juga

dikarenakan posisi tawar produsen yang lemah (Bargaining Position) terhadap

para Industri pengolahan lanjutan, khususnya produsen petani kelapa sawit. Para

petani yang mengusahakan komoditas kelapa sawit karena tidak mempunyai

pabrik pengolahan kelapa sawit untuk diubah menjadi minyak sawit sehingga para
pemilik pabrik secara sepihak menentukan harga. Perkembangan harga Tandan

Buah Segar di Indonesia tahun 2000-2006 terlihar pada Gambar 7.

Gambar 6 Perkembangan Harga TBS Tahun 2000-2006

Harga CPO di Indonesia juga mengalami fluktuasi, dan cenderung

mengalami peningkatan. Peningkatan harga CPO di dalam negeri merupakan

dampak dari harga CPO di pasar internasional yang juga mengalami peningkatan.

Para produsen CPO yang mempunyai perkebunan kelapa sawit serta pabrik

pengolahan rata-rata melakukan ekspor CPO karena tertarik akan keuntungan

yang diperoleh dengan mahalnya harga CPO yang diakibatkan mahalnya harga

BBM, sehingga para negara importir membutuhkan CPO untuk bahan bakar

alternatif. Untuk mengatasi kelangkaan CPO di dalam negeri pemerintah

melakukan intervensi dengan menerapkan PE 6,5 persen.

Penetapan HPE CPO dilakukan melalui tim interdep yang beranggotakan

unsur Departemen Pertanian, Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan

serta asosiasi-asosiasi terkait. HPE untuk CPO itu dihitung dengan cermat dengan

melibatkan semua pemangku kepentingan ,ditentukan berdasarkan harga rata-rata

internasional sebulan sebelumnya dikurangi faktor-faktor biaya. Untuk harga


patokan ekspor CPO terus melambung seiring meningkatnya harga CPO di

Rotterdam yang selama ini menjadi harga referensi dunia, termasuk dalam

penetapan HPE untuk CPO di Indonesia.

Gambar 7 Perkembangan Harga CPO di Indonesia


Tahun 2000-2006

5.3 Mutu CPO Ekspor

CPO atau minyak kelapa sawit mentah mempunyai banyak manfaat

sehingga permintaan semakin meningkat. CPO tidak hanya cocok untuk industri

makanan seperti minyak goreng, margarine dan lain sebagainya tetapi juga untuk

industri oleokimia seperti sabun, gliserin, asam laurat, asam palmitat, asam lemak

lain, fatty alkohol. Minyak kelapa sawit atau CPO mengandung karoten sebagai

sumber Vitamin A, tokoperol sebagai sumber Vitamin E dan minyak esensial

seperti asam oleat, dan lain sebagainya.

Selain klasifikasi mutu yang sudah ditetapkan oleh Badan Standar

Nasional untuk kriteria ekspor minyak kelapa sawit, negara konsumen terutama

negara di kawasan Eropa juga menerapkan standar untuk produk minyak kelapa

sawit dari produsen. Negara di Eropa meminta agar selain mutu kelapa sawit yang

sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga harus mempunyai sertifikat dari RSPO
(Roundtable for Sustainable Palm Oil). RSPO merupakan kriteria cara

berproduksi berkelanjutan minyak kelapa sawit berisi dengan pengelolaan dan

operasi mematuhi hukum mencapai pertumbuhan ekonomi yang viable

memperhatikan lingkungan dan menguntungkan sosial.

Tabel 9 Klasifikasi CPO Ekspor


Free Fatty Acids 2.5 % - 5 %
Iodine value 52 - 54 mg/gr
Moisture 0,10 %
Carotene 297 - 313 ppm
Tocopherol 386 - 794 ppm
Cu Trace
Fe Trace
Dobi (Deterioration of Bleachibility Index) 2,3 - 2,4
Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006

Selain klasifikasi mutu yang sudah ditetapkan oleh Badan Standar

Nasional untuk kriteria ekspor minyak kelapa sawit, negara konsumen terutama

negara Eropa juga menerapkan standar untuk produk minyak kelapa sawit dari

produsen. Negara di Eropa meminta agar selain mutu kelapa sawit yang sesuai

dengan ketentuan yang berlaku juga harus mempunyai sertifikat dari RSPO

(Roundtable for Sustainable Palm Oil).

Adapun kriteria RSPO adalah 1). Komitmen terhadap transparasi, 2).

Memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku, 3). Komitmen terhadap kelayakan

ekonomi dan keuangan jangka panjang, 4). Penggunaan praktik terbaik dan tepat

oleh pekebun dan pabrik, 5). Tanggung jawab lingkungan dan konservasi

kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, 6). Tanggung jawab kepada pekerja,

individu dan komunitas dari kebun dan pabrik, 7). Pengembangan kebun baru
secara bertanggung jawab, 8). Komitmen terhadap perbaikan terus menerus pada

wilayah wilayah utama aktifitas.

5.4 Bentuk Kelapa Sawit Ekspor Indonesia

Saat ini, ekspor kelapa sawit mampu mendatangkan devisa lebih dari

US$ 4 miliar pertahun. Namun demikian, sekitar 90 persen volume ekspor pada

tahun 1997-2006 masih dalam bentuk primer (CPO) sedangkan volume ekspor

berbentuk derivatif (stearic acid, oleic acid, fatty alcohols) hanya sekitar 10

persen. Selain itu, pasokan bahan baku masih jauh di bawah kapasitas terpasang

industri hilir dan pasokannya sering terganggu fluktuasi harga CPO di luar negeri.

5.5 Negara Tujuan Ekspor CPO Indonesia

Negara tujuan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia adalah negara-

negara di seluruh dunia. Besarnya volume ekspor minyak kelapa sawit ke negara-

negara konsumen selalu berfluktuatif. Berdasarkan data Direktorat Jenderal

Perkebunan bahwasanya negara tujuan ekspor CPO adalah China, Eropa, India,

Bangladesh, USA, Mesir, Russia dan negara lainnya.

Tabel 10 Volume Ekspor Minyak Sawit (CPO) di Beberapa Negara Tujuan


2004 -2006 (Ton)
Negara Tujuan 2004 2005 2006

Uni Eropa 3,988,000 4,469,000 4,740,000


Russia 420,000 601,000 545,000
Mesir 704,000 775,000 592,000
Bangladesh 645,000 931,000 812,000
USA 271,000 420,000 649,000
China 3,849,000 4,321,000 5,501,000
India 3,454,000 3,316,000 2,924,000
Sumber : Oil World, 2007
Negara China, India serta kawasan Eropa merupakan negara tujuan

ekspor CPO dari Indonesia. Pada tahun 2006, negara China merupakan negara

potensi terbesar ekspor yaitu sebesar 5,50 juta ton. Terjadinya penurunan ekspor

ke negara India sejak tahun 2004 sampai tahun 2006 dikarenakan besarnya pajak

ekspor yang ditetapkan oleh negara india sehingga banyak eksportir yang

mengurangi ekspornya ke negara tersebut.

5.6 Impor Minyak Kelapa Sawit Indonesia

Indonesia merupakan salah satu pengekspor komoditas kelapa sawit ke

negara konsumen diseluruh dunia. Selain melakukan ekspor Indonesia juga

melakukan impor terhadap bentuk-bentuk minyak kelapa sawit untuk mencukupi

pasokan industri dalam negeri dalam bentuk minyak kelapa sawit (CPO) dan

Minyak Inti Sawit (KPO). Selain Indonesia negara-negara produsen seperti

Malaysia juga merupakan negara pengekspor minyak kelapa sawit dari negara

Indonesia.

Negara Indonesia melakukan impor karena pasokan di dalam negeri akan

Crude Palm Oil tidak tersedia. Tidak tersedianya CPO di dalam negeri karena

tidak adanya regulasi pemerintah terhadap produsen minyak sawit dalam

membatasi ekspor keluar negeri. Pemerintah sudah merumuskan kebijakan DMO

(Domestic Market Obligation) untuk mewajibkan produsen CPO dan produsen

minyak goreng mengutamakan pasokan ke pasar domestik. Program ini tidak

berjalan sesuai direncanakan karena ada faktor eksternal diluar kendali pemerintah

yakni harga CPO di pasar internasional. Kebijakan larangan ekspor CPO bukanlah

pilihan terbaik untuk menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri.


Sebaliknya bisa merusak kepercayaan pihak luar negeri terhadap komitmen

dagang pemerintah Indonesia dan mendorong penyeludupan CPO besar-besaran

ke luar negeri.

Tabel 11 Volume dan Nilai Impor Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990-2006

Impor

Minyak Kelapa Sawit Minyak Inti Sawit Jumlah


Tahun Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai
(Ton) (000 US$) (Ton) (000US$) (Ton) (000 US$)
1990 26.183 7.662 530 304 26.713 7.966
1991 37.874 13.891 17.493 7.803 55.367 21.694
1992 308.743 113.511 17.222 12.097 325.965 125.608
1993 151.939 53.671 3.327 1.994 155.266 55.615
1994 123.637 55.715 13.917 7.988 137.554 63.703
1995 49.785 48.113 4.239 3.277 54.024 51.390
1996 107.553 61.173 3.132 2.735 110.685 63.908
1997 91.68 55.456 3.159 3.011 94.839 58.467
1998 17.618 8.459 554 526 18.172 8.985
1999 1.648 543 1.209 1.004 2.857 1.547
2000 4.351 4.021 3.638 2.004 7.989 6.025
2001 141 60 4.974 2.464 5.115 2.524
2002 9.499 3.267 2.362 1.478 11.861 4.745
2003 4.014 2,201 1.592 1.006 5.606 3.267
2004 4.321 1.937 3.564 3.157 7.885 5.094
2005 10.811 5.374 3.257 2.992 14.068 8.366
2006 1.645 1.287 1.386 1.207 3.031 2.494
Sumber: Departemen Pertanian, 2007

5.7 Negara Produsen Utama CPO (Crude Palm Oil) Dunia

Kebutuhan akan minyak nabati yang berasal dari kelapa sawit atau CPO

diproduksi oleh beberapa negara, dengan produsen terbesar yaitu negara Indonesia

dan Malaysia. Negara Indonesia menjadi negara produsen terbesar pada tahun

2006 dengan 16.08 juta ton CPO sedangkan Malaysia posisinya tergeser menjadi

urutan kedua dengan jumlah produksi sebesar 15.88 juta ton CPO. Dengan

pertumbuhan yang sangat signifikan yaitu sebesar 12,64 persen membuat negara

Indonesia menjadi negara produsen terbesar produksi CPO.

Peningkatan produksi CPO karena tambahan luasan perkebunan di

Indonesia. Kebutuhan dunia akan minyak nabati dan peningkatan harga CPO dan
turunnya yang semakin mahal menyebabkan banyaknya pekebun yang berusaha

meningkatkan luasan perkebunan atau membuka lahan perkebunan baru. Semakin

besarnya produksi CPO Indonesia akan mampu mencukupi permintaan pasar

internasional akan minyak sawit (CPO).

Tabel 12 Produksi CPO Dunia Menurut Negara Produsen Tahun 1993-2006


Tahun Negara Produsen (000 Ton)
Malaysia Indonesia Nigeria Thailand Colombia Lainnya Dunia
1993 7.403 3.421 645 297 324 1.716 13.806
1994 7.222 3.860 640 316 350 1.749 14.137
1995 7.811 4.040 630 354 388 1.777 15.000
1996 8.386 4.540 600 375 410 1.923 16.234
1997 9.069 5.449 680 390 441 1.986 18.015
1998 8.319 5.930 690 475 424 1.900 17.773
1999 10.554 6.456 720 560 501 2.040 20.831
2000 10.842 7.000 740 525 524 2.196 21.827
2001 11.804 8.396 770 620 548 2.175 24.313
2002 11.909 9.622 775 600 528 2.224 25.658
2003 13.354 10.600 785 630 543 2.321 27.450
2004 13.974 12.380 790 668 632 2.485 30.629
2005 14.961 13.920 800 685 661 2.563 33.590
2006 15.881 16.080 815 855 711 2.821 37.163
Pert % 6.05 12,64 1,82 8,47 6,23 3,90 7,91
Sumber : Oil World, 2007

5.7.1 Negara Eksportir Utama CPO Dunia

Ekspor CPO sebagai bahan baku industri pangan, oleokimia dan biodiesel

menyebabkan permintaan pasar dunia akan bahan baku nabati khususnya sawit

semakin meningkat seiring dengan pertambahan kebutuhan dan konsumsi

masyarakat. Negara eksportir terbesar CPO adalah negara Malaysia dan

Indonesia. Dari sisi produksi negara Indonesia memang lebih unggul akan tetapi

dari sisi ekspor negara Indonesia masih terhalang oleh adanya peraturan dan

standar serta isu-isu negatif terhadap CPO Indonesia. Negara Colombia dan

Nigeria tidak melakukan ekspor karena CPO yang dihasilkan digunakan untuk

mencukupi kebutuhan dalam negeri.


Negara Indonesia diramalkan pada tahun 2010 akan menjadi negara

eksportir terbesar menggeser Malaysia. Dengan berbagai macam hambatan dari

dalam maupun dari luar negara Indonesia sehingga saat ini membuat hasil CPO

Indonesia masih dibawah Malaysia, perlu pembenahan mulai dari sisi produksi

sampai dengan promosi minyak sawit yang berkelanjutan di pasar Internasional.

Peningkatan ekspor CPO Indonesia di pasar internasional selain dalam bentuk

CPO, para produsen juga lebih meningkatkan produksi turunan dari komoditi

kelapa sawit.

Besarnya tingkat pertumbuhan ekspor Indonesia di bandingkan dengan

negara produsen lainnya lebih besar yaitu sebesar 16,51 persen. Pertumbuhan

ekspor ini akibat dari penambahan dari luasan perkebunan kelapa sawit sehingga

mempengaruhi besarnya produksi kelapa sawit.

Tabel 13 Ekspor CPO Dunia Menurut Negara Eksportir Utama Tahun 1993-
2006
Tahun Negara Eksportir CPO (000 Ton)
Malaysia Indonesia Costarica Thailand Papua.N Lainnya Dunia
1993 6.265 1.720 170 0 243 1.048 9.446
1994 8.895 2.173 148 18 225 571 10.888
1995 8.641 1.790 120 16 230 512 10.285
1996 7.230 1.851 99 0 267 1.288 10.735
1997 7.747 2.988 73 38 275 1.253 12.374
1998 7.748 2.002 102 32 212 1.321 11.417
1999 9.235 3.319 102 65 253 1.198 14.172
2000 9.171 4.140 96 87 294 1.272 15.063
2001 10.733 4.980 73 180 328 2.007 17.793
2002 10.886 6.490 80 100 324 1.558 19.438
2003 12.216 7.370 106 162 327 1.729 21.910
2004 12.582 8.996 123 166 339 1.995 24.201
2005 13.439 10.436 147 116 295 2.112 26.545
2006 14.423 12.540 147 116 362 2.412 30.000
Pert % 6,62 16,51 -1,11 15,41 3,11 6,62 9,30
Sumber :Oil World, 2007
5.7.2 Harga CPO Dunia

Harga minyak kelapa sawit (CPO) dunia seringkali tidak stabil atau

berfluktuasi. Harga minyak goreng akan bergerak naik sampai pada puncak,

kemudian akan turun kembali. Setiap siklus 10 tahunan, harga akan mengalami

puncak yang diikuti dengan penurunan. Hal ini terlihat dari siklus tahun

1974,1984 dan 1994. Fenomena ini terjadi karena penggunaan minyak sawit dapat

digantikan oleh minyak nabati lain; minyak kedelai, minyak biji matahari dan biji

lobak. Pada saat harga minyak sawit rendah, perusahaan makanan akan

menggunakan minyak sawit, sehingga harga minyak sawit akan naik. Pada saat

harga dipuncak, perusahaan makanan akan mengganti minyak sawit dengan

minyak nabati lain, sehingga harga akan kembali turun.

Pada siklus tahun 1994, harga puncak terjadi pada tahun 1998, karena

pada tahun tersebut terdapat bencana El Nino diikuti dengan La Nina yang

menyebabkan produksi turun. Setelah harga puncak tahun 1998 turun hingga titik

terendah pada tahun 2001. Sesuai dengan siklus 10 tahunan harga minyak sawit

dunia mencapai titik terendah pada tahun 2001, namun kemudian mengalami

peningkatan tahun 2007.


Tabel 14 Perkembangan harga CPO (US$ / Ton) CIF Rotterdam
Tahun 1980-2007
Tahun Kuwartal I Kuwartal II Kuwartal Kuwartal Rerata
III IV
1980 659 583 524 571 586
1981 632 609 547 499 578
1982 512 525 399 364 439
1983 372 415 543 676 502
1984 865 858 584 608 729
1985 610 606 417 369 501
1986 289 241 208 289 257
1987 332 342 316 386 243
1988 425 440 463 416 437
1989 394 388 319 297 350
1990 279 272 283 320 290
1991 345 315 334 360 339
1992 385 398 385 403 394
1993 414 372 356 366 378
1994 395 476 500 681 528
1995 667 623 620 603 628
1996 523 539 512 547 531
1997 568 549 509 554 546
1998 651 676 681 679 671
1999 559 456 346 367 436
2000 343 336 303 261 356
2001 248 247 331 306 283
2002 335 376 410 438 390
2003 445 418 408 497 443
2004 525 496 431 427 471
2005 409 419 414 437 422
2006 447 460 475 530 478
2007 609 755 - - 682
Sumber : Oil World, 2007

Kenaikan harga CPO pada kuwartal IV tahun 2006 mencapai US$ 530

per ton, dan mencapai puncak pada kuwartal II tahun 2007 yaitu sebesar US$ 755

per ton. Pada bulan November hingga Desember terjadi penurunan harga minyak

sawit yang diakibatkan terjadinya panen raya kedelai di Amerika Selatan seperti

Brasil dan Argentina yang mempengauhi turunnya harga minyak nabati di pasaran

internasional sehingga menekan harga minyak sawit.


Gambar 8 Pergerakan Harga CIF CPO Tahun 1980-2007

Berdasarkan pergerakan harga dari siklus tahun 2005 dan sejenisnya

seharusnya menurun, tetapi karena adanya masukan dari beberapa faktor maka

permintaan minyak nabati dunia khusunya kelapa sawit turut terpengaruh. Faktor

baru yang sangat berperan saat ini adalah tingginya permintaan biofuel yang

berasal dan faktor asam lemak trans. Permintaan biofuel yang tinggi disebabkan

semakin tingginya harga minyak bumi, sehingga banyak negara mensubtitusi

kebutuhan bahan bakar minyak dari minyak bumi ke biofuel yang berasal dari

harga minyak hayati. Minyak sawit banyak diminati sebagai biofuel karena

harganya relatif lebih murah dibanding minyak nabati lainnya.

Faktor asam lemak trans juga berpengaruh terhadap perkembangan

permintaan minyak sawit. Mulai tahun 2006, Amerika melalui Food and Drug

Administration (FDA) mengeluarkan peraturan pencantuman asam lemak trans

(trans fatty acid) pada pelabelan bahan makanan. Peraturan ini akan

mempengaruhi permintaan minyak sawit di Amerika, karena minyak sawit tidak

mengandung trans fat yang merugikan kesehatan manusia. Peningkatan


permintaan minyak sawit akan mempengaruhi peningkatan harga minyak sawit

dunia untuk 2006 dan untuk beberapa tahun kedepan. Peningkatan harga tersebut

juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan yang

mencapai laju rata-rata 8,07 persen dengan pertumbuhan produksi sebesar 7,98

persen. Hal tersebut menyebabkan harga minyak sawit dunia akan meningkat pada

tahun berikutnya.

Tabel 15 Perkembangan Harga Beberapa Minyak Nabati Dunia (US$ / Ton)


CIF Rotterdam Tahun 1980-2007
M.Bunga
Tahun M.Sawit M.Kedelai M.Repeseed Matahari M.Kelapa
1980 586 254 447 514 566
1990 290 251 505 558 561
2000 356 334 347 392 450
2001 283 306 402 484 318
2002 390 397 485 594 421
2003 443 515 600 593 467
2004 471 627 685 684 661
2005 422 503 669 677 617
2006 478 599 794 658 607
2007 682 750 804 774 756
Sumber: Oil World, 2007

Gambar 9 Perkembangan Harga Minyak Nabati Dunia


Tahun 1980-2007
5.8 Produksi Minyak Nabati dan Lemak Dunia

Minyak nabati sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) semakin

meningkat permintaan seiring terbatasnya persediaan bahan bakar minyak bumi.

Perkembangan produksi komoditas pertanian penghasil minyak nabati dunia

setiap tahunnya mengalami peningkatan terutama minyak kelapa sawit.

Pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit dibandingkan dengan minyak nabati

lainnya lebih tinggi dengan tingkat pertumbuhan produksi sebesar 7,98 persen,

sedangkan pertumbuhan produksi terendah yaitu sebesar 0,57 persen ditempati

oleh minyak kelapa.

Secara global produksi minyak nabati semakin meningkat. Peningkatan

ini disebabkan penambahan luasan areal perkebunan serta penggunaan bibit

unggul sehingga menambah produksi. Dengan bertambahnya jumlah penduduk

dunia, akan menambah konsumsi dan produksi minyak nabati dunia.

Tabel 16 Produksi Minyak Nabati dan Lemak Dunia Tahun 1993 2006
Tahun Produksi (000)

M.Sawit M.Kedelai M.Repesed M.Bunga M.Kelapa Lainnya Dunia


Matahai
1993 13.690 17.540 9.554 7.650 2.920 34.403 85.757
1994 13.960 18.460 10.050 7.650 2.940 35.805 88.865
1995 15.211 20.404 10.955 8.556 3.350 35.950 94.426
1996 16.286 20.322 11.479 9.006 2.867 36.874 96.834
1997 17.946 21.033 11.828 9.162 3.313 37.831 101.113
1998 16.920 24.008 12.290 8.407 3.153 38.029 102.807
1999 20.625 24.794 13.247 9.308 2.399 39.502 109.875
2000 21.867 25.563 14.502 9.745 3.261 39.819 114.757
2001 23.984 27.828 13.730 8.200 3.499 40.387 117.628
2002 25.392 29.861 13.307 7.824 3.145 41.037 120.566
2003 28.111 31.288 12.660 8.962 3.286 41.074 125.381
2004 30.909 30.713 14.904 9.402 3.037 42.774 131.739
2005 33.326 33.287 16.027 9.681 3.143 43.735 139.199
2006 37.163 35.268 18.451 11.126 3.143 43.735 148.886
Pert 7,98 5,52 5,19 2,92 0,57 1,86 4,33
%
Sumber : Oil World, 2007
5.9 Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia

Peningkatan konsumsi minyak nabati dunia yang begitu cepat disebabkan

oeh beberapa faktor, selain karena pertumbuhan populasi penduduk dunia,

permintaan akan biofuel, juga karena peningkatan trend penggunaan minyak sawit

untuk menggantikan minyak kedelai. Hal ini disebabkan adanya penemuan para

ahli kesehatan, yang menyatakan bahwa minyak sawit mempunyai kelebihan dari

segi kesehatan dibandingkan minyak nontropik (minyak kedelai dan minyak

bunga matahari). Kelapa sawit memiliki kandungan asam lemak tak jenuh tunggal

(MUFA) yang tinggi, yang dapat menurunkan kolesterol dalam darah, selain itu

minyak ini memiliki betakaroten, vitamin E, antioksidan dan yang terpenting

bebas dari asam lemak trans. Dengan beberapa keunggulan tersebut maka terjadi

peningkatan konsumsi minyak sawit yang pesat terutama di Eropa, minyak sawit

juga mulai digunakan sebagai bahan baku biodiesel selain minyak biji lobak,

karena minyak sawit mempunyai harga yang kompetitif.

Tabel 17 Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia Tahun 1993 2006
Tahun Konsumsi (000 Ton)
M.Sawit M.Kedelai M.Repesed M.Bunga M.Kelapa Lainnya Dunia
Matahari
1993 13.200 17.760 9.645 7.730 2.930 34.857 86.122
1994 14.370 18.470 10.125 7.640 3.020 35.466 89.091
1995 14.840 19.447 10.650 8.461 3.247 35.943 92.588
1996 16.070 20.398 10.605 8.658 2.960 36.903 96.599
1997 17.830 21.446 11.666 9.371 3.092 37.409 100.817
1998 17.660 23.602 12.286 8.565 3.167 37.813 103.095
1999 19.830 24.480 13.209 9.176 2.707 39.280 108.689
2000 21.770 25.135 14.471 9.404 2.962 39.689 113.432
2001 23.860 27.508 13.952 8.765 3.467 40.444 118.005
2002 25.590 29.964 13.489 7.721 3.291 41.472 121.532
2003 28.200 31.246 12.716 8.921 3.322 41.287 125.693
2004 30.050 31.163 14.829 9.583 3.054 42.421 131.100
2005 33.150 32.879 15.914 9.546 3.047 43.666 138.208
2006 36.190 34.670 18.196 10.946 3.047 43.666 146.717
Pert 8,07 5,28 5,00 2,71 0,30 1,75 4,18
%
Sumber : Oil World, 2007
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis Struktur Pasar CPO di Pasar Internasional

Negara-negara penghasil minyak nabati khususnya produsen minyak

sawit berusaha untuk menghasilkan kualitas dan kuantitas minyak sawit mentah

(CPO) yang dapat diterima dipasar internasional. Persaingan antara komoditas

minyak nabati sebagai pemasok kebutuhan bahan baku industri menyebabkan

tingginya tingkat persaingan, selain itu adanya negara saingan juga menyebabkan

setiap negara produsen berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk

konsumen. Negara Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara penghasil

minyak nabati terbesar untuk CPO.

Dengan menggunakan rumus Herifindhal Index akan diketahui struktur

pasar komoditas CPO di pasar internasional sekaligus mengukur penguasaan

pangsa pasar masing-masing negara yang menjadi produsen minyak sawit. Pangsa

pasar minyak kelapa sawit Indonesia diukur dengan membandingkan ekspor

minyak sawit negara Indonesia dengan total ekspor minyak sawit dunia. Dari hasil

analisis diperoleh nilai rata-rata Herifindahl Index dari tahun 1993 sampai 2006

sebesar 0,5 (Tabel 18). Nilai Herifindhal Index yang mendekati nilai satu

menunjukkan bahwa industri minyak sawit atau CPO di pasar internasional

menunjukan kecenderungan mengarah ke pasar monopoli. Artinya industri CPO

dipasar internasional saat ini didominasi oleh beberapa negara seperti Malaysia

dan Indonesia.
Tabel 18 Hasil Analisis Herifindahl Index Negara Negara Produsen CPO di
Pasar Internasional Pada Tahun 1996-2006

Nilai Herifindahl Index Nilai CR4 Nilai CR2


Tahun CPO (%) (%)
1993 0.47 88 84
1994 0.61 97 94
1995 0.60 95 92
1996 0.59 97 93
1997 0.45 89 86
1998 0.60 97 94
1999 0.47 91 88
2000 0.51 97 94
2001 0.41 88 85
2002 0.48 97 95
2003 0.42 91 89
2004 0.47 97 95
2005 0.41 91 89
2006 0.46 98 96
Rata-rata 0,50 94 91

Hasil perhitungan terhadap empat negara terbesar produsen CPO (CR4)

dengan nilai 94 persen, sehingga dapat disimpulkan bahwasanya struktur pasar

industri minyak sawit atau CPO merupakan pasar yang cenderung oligopoli ketat,

karena Negara Malaysia dan Indonesia merupakan negara produsen terbesar

penghasil minyak nabati dari kelapa sawit atau CPO.

Dari empat negara eksportir CPO terbesar yaitu Malaysia, Indonesia,

Costarica dan Papau Nugini, Negara merupakan produsen terbesar memberikan

kontribusi terhadap minyak sawit dunia adalah Negara Malaysia dan Indonesia.

Besarnya persentase ekspor CPO negara Malaysia adalah sebesar 51 persen dan

Indonesia 44 persen dari total seluruh CPO dunia sedangkan untuk Costarica dan

Papua N sebesar 0.5 persen dan 1,29 persen dari total ekspor dunia pada tahun

2006.
Penguasaan pangsa pasar Negara Malaysia dan Indonesia(CR2) dari

tahun 1993 sampai dengan tahun 2006 dengan nilai konsentrasi CPO di atas 80

persen. Besarnya penguasaan pasar CPO oleh Malaysia dan Indonesia

menunjukan kedua negara mendominasi sumber daya CPO di pasar internasional.

Untuk rata-rata penguasaan pasar Negara Malaysia dan Indonesia pada tahun

1993 sampai dengan 2006 yaitu sebesar 91 persen. Besarnya nilai penguasaan

pasar ini menunjukan struktur pasar yang oligopoli ketat antara negara-negara

pengekspor CPO.

6.2 Analisis Keunggulan Komparatif CPO Indonesia di pasar Internasional

Keunggulan komparatif minyak kelapa sawit Indonesia di pasar

internasional diukur dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage

(RCA). Indeks ini digunakan untuk membandingkan posisi dayasaing Indonesia

dengan negara produsen CPO lainnya. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan

bahwa nilai RCA tahun 2006 Indonesia sebagai salah satu produsen CPO terbesar

didunia mempunyai nilai sebesar 45 yang berarti industri CPO Indonesia

mempunyai keunggulan komparatif di pasar internasional (Lampiran 7).

Negara Malaysia dan Papua Nugini mempunyai nilai RCA secara rata-

rata sepanjang tahun 1993-2006 (Revealed Comparative Advantage) yang lebih

besar dari Indonesia. Negara Indonesia mempunyai rata-rata nilai RCA sebesar 29

sedangkan untuk Negara Malaysia bernilai 42 dan Papua Nugini sebesar 68.

Besarnya nilai RCA Negara Malaysia dan Papua Nugini di bandingkan dengan

nilai RCA Indonesia merupakan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh kedua
negara karena mampu menghasilkan CPO yang mempunyai kontribusi terhadap

pendapatan masing-masing negara.

Mulai tahun 1993 sampai dengan 2006 negara yang mempunyai

keunggulan komparatif lebih unggul di bandingkan dengan negara eksportir CPO

lainnya adalah Papua Nugini. Negara Papua Nugini pada tahun 2002 mempunyai

nilai RCA yang paling tinggi sepanjang tahun 1993-2006 yaitu sebesar 645,

sedangkan Negara Indonesia mempunyai nilai RCA terbesar pada tahun 2004 dan

2005 yaitu sebesar 46. Untuk Negara Malaysia mempunyai nilai RCA terbesar

pada tahun 1993-1995 yaitu sebesar 50.

6.3 Analisis Dayasaing Industri CPO di Indonesia dengan Pendekatan


Porter s Diamond

6.3.1 Kondisi Faktor Sumberdaya

Kondisi faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap industri CPO

yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan

teknologi, sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur. Lima sumberdaya

yang telah disebutkan akan dijelaskan secara terurai sebagai berikut.

1). Sumberdaya Perkebunan

a). Syarat Kondisi, Luas dan Letak Lahan


(1). Syarat dan Kondisi Lahan
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit merupakan salah

satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non

migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak sawit dalam

perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk

meningkatkan pengembangan areal perkebunan kelapa sawit.


Daerah pengembangan tanaman kelapa sawit berada pada 15 LU 15

LS. Ketinggian penanaman kelapa sawit yang ideal berkisar antara 0 500 meter

diatas permukaan laut, dengan curah hujan sebesar 2.000-2.500 mm/tahun. Suhu

optimum untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 29 30C, dengan intensitas

penyinaran matahari sekitar 5 7 jam/hari dan kelembaban optimum yang ideal

sekitar 80 90 persen. Kelapa sawit dapat tumbuh pada tanah Podzolik, Latosol,

Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol. Nilai pH tanah yang optimum adalah

5,0 5,5. Kelapa sawit tumbuh baik pada tanah yang gembur, subur, datar,

berdrainase baik dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan padas.

Kondisi topografi pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 150.

Kondisi lahan tiap daerah yang tidak berbeda menyebabkan penanaman

kelapa sawit sebagai penghasil CPO dapat dilakukan pada banyak daerah. Pada

tahun 2007 terdapat 22 provinsi yang mengembangkan usaha perkebunan kelapa

sawit baik dari pengusahaan negara, swasta maupun masyarakat. Sedangkan 11

provinsi lagi belum mengusahakan komoditi kelapa sawit ini. Direncanakan pada

tahun mendatang akan dilakukan peremajaan dan pengembangan perkebunan

kelapa sawit guna meningkatkan ekspor CPO keluar negeri. Daerah yang akan

dilakukan pengembangan perkebunan meliputi perluasan dan peremajaan lahan

direncanakan pada beberapa daerah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam,

Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Banten, Bali,

Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Irian Jaya

Barat.
(2) Luas Lahan

Pada tahun 1911 kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan

secara komersial. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah

Adrien Hallet yang berkebangsaan Belgia. Budidaya yang dilakukannya diikuti

oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan

Aceh dengan luas areal perkebunan mencapai 5.123 Hektar.

Pada tahun 1919 Indonesia mengekspor minyak sawit sebesar 576 ton

dan pada tahun 1923 mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton. Pada masa

pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser

dominasi ekspor negara Afrika saat itu. Memasuki masa pendudukan Jepang,

perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan

mengalami penyusutan sebesar 16 persen dari total luas lahan yang ada sehingga

produksi minyak sawit di Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun

1948/1949, padahal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak

sawit.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan

diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, dan sektor penghasil devisa negara. Pemerintah terus

mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980,

luas lahan mencapai 294.560 hektar dengan produksi CPO sebesar 721.172 ton.

Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama

perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang

melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIRBUN).


Pada tahun 2007 daerah-daerah yang mengusahakan perkebunan

berusaha meningkatkan produksi CPO karena harga yang meningkat di pasaran

nasional dan internasional. Guna menghasilkan produksi CPO yang mempunyai

kualitas dan kuantitas maka dibutuhkan pengembangan areal penanaman kelapa

sawit. Daerah Sumatera merupakan luasan areal yang terbesar penanaman kelapa

sawit dengan luas areal sebesar 4,81 juta hektar. Selain daerah Sumatera, daerah

Kalimantan merupakan daerah sentra produksi kelapa sawit dengan luasan

perkebunan kelapa sawit 1,56 juta hektar. Seiring dengan kebutuhan konsumsi

domestik dan dunia akan kebutuhan minyak nabati sebagai bahan baku biofuel,

bahan pangan dan Industri oleokimia menyebabkan permintaan dunia akan CPO

juga akan meningkat seiring dengan terbatasnya produksi dan mahalnya BBM di

dunia. Dengan luas areal yang masih bisa dioptimalkan untuk perkebunan kelapa

sawit maka pada tahun 2008 diprediksi luasan perkebunan menjadi 6,61 juta

hektar dan pada tahun 2009 diramalkan menjadi 7,12 juta hektar. Sedangkan

untuk luasan perkebunan secara nasional yang masih dapat dikembangkan adalah

seluas 26,3 juta hektar.

(3) Letak Lahan

Perkebunan kelapa sawit dari lokasi pemukiman berkisar 50-200 km.

Jauhnya lokasi perkebunan dikarenakan daerah untuk perkebunan merupakan

konversi dari lahan hutan. Lahan perkebunan kelapa sawit di daerah-daerah yang

terpencar dan jauh dari pabrik menyebabkan pentingnya sarana dan prasarana

penunjang untuk menghasilkan komoditi yang mempunyai kuantitas serta kualitas

yang berkelanjutan. Dengan banyaknya investor yang berminat menginvestasikan


modalnya, dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk membangun sarana dan

prasarana pendukung perkebunan.

Keputusan Menteri Pertanian No. 357/Kpts/HK.350/5/2002 tentang

Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan mengenai luas lahan usaha budidaya

perkebunan untuk satu perusahaan atau grup perusahaan yang ditetapkan bahwa

luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 ha dalam satu Provinsi

atau 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia. Tujuan dari pemerintah menetapkan

peraturan ini guna membantu mensejahterakan masyarakat dan membatasi

investasi asing yang masuk ke Indonesia. Sehingga bukan hanya daerah tertentu

yang sejahtera akan tetapi merata seluruh Indonesia.

b) Aksesbilitas Terhadap Input

Aksebilitas terhadap input dimaksudkan sebagai kemudahan para

produsen khususnya petani dalam memperoleh bahan-bahan yang digunakan di

dalam mengolah lahan kelapa sawit, seperti pupuk, bibit unggul, sarana dan

prasarana produksi, serta alat-alat pengolahan. Dalam menunjang tingkat

produktivitas yang tinggi tentunya bahan-bahan tersebut harus mudah didapatkan

dan tersedia secara kontinyu dan konsisten.

1. Pupuk

Kebutuhan nutrisi tanaman dalam bentuk pupuk sangat penting guna

meningkatkan produksi kelapa sawit. Dengan pemberian pupuk yang sesuai dosis

dan waktu yang tepat diharapkan akan menghasilkan produksi CPO yang besar.

Perkebunan kelapa sawit membutuhkan pupuk yang digunakan antara lain adalah

NPK, urea, SP 36, KCL. Pemberian pupuk pertama sebaiknya dilakukan pada
awal musim hujan (September Oktober) dan pemupukan kedua dilakukan pada

akhir musim hujan (Maret April).

Petani kelapa sawit saat ini mengalami kesulitan untuk membeli pupuk

selain harganya melambung tinggi sebagai akibat dari pengaruh BBM juga karena

adanya kelangkaan pupuk di pasar akibat tataniaga pupuk yang menyebar tidak

merata. Kesulitan pupuk ini sebenarnya dapat diatasi dengan tataniaga yang

efesien dan efektif serta pemberian subsidi yang tepat sasaran. Seperti diketahui

bahwa ketentuan yang mengatur Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET)

Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2007 telah dituangkan

dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 66/Permentan/OT.140/12/2006.

Alokasi pupuk bersubsidi untuk perkebunan rakyat dalam Permentan untuk pupuk

urea adalah 948.745 ton (29,73 persen), pupuk SP-36 adalah 240.925 ton (48,13

persen), ZA adalah 278.993 ton (67 persen) dan NPK adalah 191.605 ton (37,69

persen). Jumlah tersebut tentunya belum dapat mencukupi kebutuhan pupuk

semua komoditas tanaman perkebunan pada seluruh perkebunan rakyat, dan oleh

karena itu pupuk subsidi diprioritaskan bagi para pekebun peserta kegiatan

program utama perkebunan. Untuk perkebunan kelapa sawit tidak mendapat

subsidi dari pemerintah.

Penggunaan pupuk dan bahan kimia sebagai faktor produksi sebaiknya

mulai dikurangi untuk kemudian digantikan oleh pupuk organik, pupuk hayati,

dan pestisida nabati. Pupuk organik dapat berupa kompos (alam atau buatan),

pupuk kandang, atau pupuk hijau. Pupuk hayati merupakan kultur

mikroorganisme yang sudah teruji mempunyai peran istimewa dalam

meningkatkan kesuburan tanah dan tanaman. Pada tanggal 27 Desember 2006


PT. Perkebunan Nusantara III telah meresmikan sebuah pabrik kompos yang

bahan bakunya terdiri dari limbah padat berupa tandan kosong sawit dan limbah

cair dari pabrik kelapa sawit di Sei Daun Kabupaten Labuhan Batu. Melalui

teknologi khusus yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS),

petani dapat mengurangi ketergantungan terhadap pupuk dari pabrik.

Dengan adanya teknologi pengomposan, memungkinkan tercapainya

zero waste, di mana semua limbah yang ada di PKS Sei Daun akan terolah semua

dan tidak ada lagi limbah yang dibuang ke lingkungan. PKS Sei Daun memiliki

kapasitas olah 60 ton TBS/jam setiap harinya. Limbah TKS (Tandan Kosong

Sawit) yang dihasilkan per hari mencapai 230 ton yang biasanya digunakan

sebagai mulsa untuk tanaman kelapa sawit, sedangkan limbah cair sekitar 650

m3/hari. Pabrik Kompos Sei Daun (Sumatera Utara) dirancang untuk mengolah

kompos dengan kapasitas 100 ton/hari, dengan perincian jika PKS Sei Daun dapat

mengolah TBS 1000 ton/hari.

Sedangkan kandungan nutrisi kompos dari tandan kosong sawit ini antara

lain N>1,5%, P>0,3%, K>2,00%, Ca>0,72%, Mg>0,4%, bahan organik>50%,

C/N 15,03% dan kadar air 45-50%. Kompos kelapa sawit tergolong pupuk

organik yang fungsi utamanya adalah pembenahan tanah di samping sebagai

sumber nutrisi terutama unsur K. Penggunaannya untuk kelapa sawit dapat

menghemat pemakaian pupuk mineral. Saat ini Pabrik Kompos Sei Daun sedang

dalam proses pendaftaran sebagai proyek CDM (Clean Development Mechanism)

yang merupakan salah satu kesepakatan dari Protocol Kyoto yang mengharuskan

setiap negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya pada level

5% di bawah level emisi pada tahun 1990. untuk pengurangan emisi tersebut,
negara maju bisa memperoleh emisi tersebut melalui CER (Certified Emission

Reduction). Dari hasil perhitungan sementara membuktikan bahwa apabila pabrik

kompos Sei Daun beroperasi penuh, maka emisi yang dapat dicegah sekitar

60.000 ton CO2 ekivalen setiap tahunnya. Ketersediaan pupuk Indonesia untuk

perkebunan khususnya di pasok oleh produsen pupuk di Indonesia, yaitu ;

1. UREA

Seluruh kebutuhannya dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri (PT.

Pusri, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kujang, PT. Pupuk Kaltim dan

PT. Pupuk Iskandar Muda). Produksi pupuk Urea dalam negeri yang

mengalami kelebihan dapat diekspor.

2. SP-36, TSP dan ZA

Kebutuhan pupuk SP-36 dan ZA perkebunan kelapa sawit di penuhi dari

produksi PT. Petrokimia Gresik. Bila terjadi kekurangan pupuk maka

akan di impor (kekurangan pupuk pospat dapat di impor pupuk TSp atau

pupuk pospat lainnya).

3. Pupuk KCl

Seluruhnya di impor dari produsen penghasil pupuk di negara lain.

2. Bibit

Penggunaan bibit yang berkualitas akan membantu menghasilkan

produksi yang berkualitas sesuai dengan tuntutan konsumen. Pada saat ini

pembibitan kelapa sawit dapat dilakukan dengan cara generatif dan kultur jaringan

untuk memperbanyak benih kelapa sawit. Para produsen bibit sawit resmi di

Indonesia antara lain Pusat Penelitain Kelapa Sawit (PPKS) di Medan, PT.
London Sumatera (PT. Lonsum), PT. Socfindo, PT. Tunggal Yunus Estate (PT.

TYE), PT Dami Mas Sejahtera (PT. DMS), PT Bina Sawit Makmur (PT. BSM),

dan PT Tania Selatan (PT. TS). Surat keterangan mutu benih yang dikeluarkan

oleh Balai Pengawasan Pembibitan Mutu Benih (BP2MB). Pada saat ini bahan

tanaman yang dianjurkan adalah persilangan Dura Deli x Pisifera (DxP) dan Dura

Dumpy x Pisifera (DyxP). Bahan tanaman kelapa sawit di sediakan dalam bentuk

kecambah (germinated seed).

Bibit kelapa sawit di Indonesia tidak hanya di suplai oleh tujuh

perusahaan penyedia bibit, akan tetapi bibit dari Negara Malaysia juga masuk

kedalam negeri. Besarnya impor bibit kelapa sawit dari Negara Malaysia akibat

dari permintaan pasar dalam negeri yang besar karena kualitas dan produktivitas

yang tinggi. Bibit yang masuk ke Indonesia dari Negara Malaysia tidak semuanya

mempunyai kualitas yang baik serta keterbatasan pengetahuan petani pekebun

sehingga menyebabkan penanaman kelapa sawit dengan bibit yang tidak baik

akan menyebabkan rendahnya kualitas dan produktivitas kelapa sawit.

Tabel 19 Produksi Kecambah Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1980-2006


(Juta)
Tahun PPKS PT. PT. PT. PT. PT. PT. Jumlah
Sofcindo Lonsum DMS TYE BSM TS

1980 7,13 0,44 - - - - - 7,57


1990 32,50 3,86 0,73 - - - - 37,09
2000 15,90 3,53 7,57 - - - - 27,00
2001 11,09 5,07 7,09 - - - - 23,25
2002 14,42 7,49 5,54 - - - - 27,45
2003 27,23 12,73 7,77 - - - - 47,73
2004 43,30 22,93 13,51 4,00 1,00 2,10 - 86,84
2005 35,00 25,00 13,00 8,00 6,00 10,00 - 97,00
2006 45,00 45,00 14,00 15,00 6,00 15,00 1,00 141,00
2007* 40,00 35,00 15,00 18,00 7,00 14,00 1,00 130,00
2008* 48,00 35,00 15,00 22,00 11,00 20,00 3,20 160,20
2009* 48,00 40,00 16,00 22,00 11,00 20,00 3,20 160,20

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 2007


Keteranagan : *) Proyeksi
3. Sarana dan Prasarana Produksi

Perkebunan kelapa sawit membutuhkan sarana dan pasarana penunjang

untuk mendukung produksi kelapa sawit yang berkelanjutan. Pada umumnya

untuk menghasilkan kelapa sawit yang berkualitas dan mempunyai kuantitas

sesuai dengan permintaan konsumen diperlukan biaya yang tidak kecil. Untuk

sarana dan prasarana antara perkebunan swasta, perkebunan negara serta milik

rakyat mempunyai perbedaan. Perkebunan milik rakyat tidak melakukan

penerapan penelitian budidaya dalam pengembangan bibit yang digunakan seperti

yang dilakukan oleh perkebunan swasta dan negara hal inilah yang membedakan

proses pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit.

Adapun sarana dan prasarana produksi kelapa sawit antara lain yaitu ;

a. Alat pengolahan lahan

Alat yang digunakan untuk pembukaan lahan yaitu traktor. Perkebunan

besar milik swasta biasanya menggunakan traktor karena didukung oleh

modal yang mendukung. Sedangkan petani dalam pembukaan lahan

hanya mengandalkan kampak dan chain saw untuk menebang pohon

guna membuka lahan perkebunan baru dan tidak jarang pembukaan lahan

dilakukan dengan pembakaran hutan. Keterbatasan modal dan

sumberdaya manusia membuat para petani membuka lahan dengan

berbagai cara yang murah, cepat dan efesien.

b. Alat Penanaman

Penanaman kelapa sawit dilapangan dilakukan dengan pembuatan lubang

60x40 cm atau sepanjang leher batang sawit yang akan ditanam. Bantuan
cangkul untuk membuat lubang sangat membantu, selain itu penggunaan

patok kayu sebagai tanda untuk pembuatan lubang tanaman. Penggunaan

patok dimaksudkan untuk mengatur jarak antar pohon agar sesuai dengan

jarak tanam ideal yaitu 9x9x9 meter dengan bentuk segitiga.

c. Alat Pemeliharaan

Pemeliharaan kelapa sawit meliputi kegiatan pruning (pembersihan

dahan), pemupukan, penyemprotan hama penyakit dan pembersihaan

ilalang atau rumput liar. Pemeliharaan dilakukan agar perkembangan

kelapa sawit tidak terganggu oleh hama penyakit. Pemupukan dan

penyemprotan dilakukan secara intensif pada awal penanaman agar

kelapa sawit dapat tumbuh optimal.

d. Alat Panen

Pemanenan kelapa sawit dilakukan dengan cara mendodos buah sawit.

Kelapa sawit berbuah setelah berumur 2,5 tahun dan buahnya masak.

Suatu areal sudah dapat dipanen jika tanaman telah berumur 31 bulan,

sedikitnya 60 persen buah telah matang panen. Ciri tandan matang panen

adalah sedikitnya ada 5 buah yang lepas/jatuh dari tandan yang beratnya

kurang dari 10 kg atau sedikitnya ada 10 buah yang lepas dari tandan

yang beratnya 10 kg atau lebih. Ciri lain adalah apabila sebagian buah

sudah membrondol (jatuh di piringan) secara alami dgn rata-rata berat 3

kg.

e. Alat Transpotasi

Transpotasi merupakan sarana penunjang utama dalam produksi kelapa

sawit. Untuk mengantarkan kelapa sawit ke tempat tujuan diperlukan


jalan yang permanen sehingga dalam penggangkutan tidak terhalang oleh

kendala iklim. Selain itu truk untuk pengangkutan kelapa sawit sangat

dibutuhkan guna membawa kelapa sawit ke pabrik CPO.

Pelabuhan merupakan tempat memuat CPO ke dalam kapal menuju

negara importir. Kapal pengantar CPO harus mempunyai 2 lapisan yang

bersih dan steril dan terbuat dari bahan tidak berkarat untuk menghindari

terjadinya kebocoran.

4. Alat-alat Pengolahan CPO

Tandan Buah Segar harus segera diproses dalam 24 jam sejak dipanen

untuk menjaga kualitasnya agar tetap memenuhi syarat. Hal ini mengakibatkan

perusahaan harus membangun pabrik pemrosesan CPO di sekitar areal

perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit yang tiba di pabrik diproses dengan

membuat lunak bagian daging buah melalui pemanasan pada temperatur 90C.

Daging yang telah melunak selanjutnya dipress pada silinder berlubang untuk

memisahkan bagian inti dan cangkang. Daging inti dan cangkang dipisahkan

dengan pemanasan dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur

sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah lumpur. Kernel yang telah

dipisahkan dari daging buah selanjutnya diproses untuk menghasilkan minyak. l.

Satu pabrik pengolahan CPO dapat dikatakan feasible apabila mampu memproses

30 ton TBS per jam. Kapasitas lebih kecil dapat beroperasi tetapi harus didukung

pabrik lain dengan lokasi yang berdekatan.


c). Biaya-Biaya yang Terkait

Biaya pengembangan kelapa sawit meliputi tenaga kerja yang biasanya

dibutuhkan oleh pihak swasta dan perkebunan negara. Tenaga kerja sebagai alat

untuk perawatan dan pemanenan mempunyai porsi khusus dan penting, sedangkan

perkebunan rakyat untuk mengolah dan merawat kebunnya dilakukan bersama

keluarga karena keterbatasan dana dan luas areal perkebunan yang tidak luas

(rata-rata lahan perkebunan masyarakat 2 hektar). Badan Kerja Sama Perkebunan

Swasta (BKS PPS) mengatakan di Sumatra sedikitnya 300 perda yang

memberatkan perkebunan karena dibebani tarif yang mahal mulai dari Rp 5.000

hingga Rp 85.000 per truk untuk angkutan tandan buah segar (TBS).

d). Produktivitas Lahan

Lahan perkebunan di Indonesia untuk pengembangan kelapa sawit masih

terbuka lebar. Produktivitas kelapa sawit Indonesia masih rendah bila

dibandingkan dengan negara Malaysia. Prduktivitas kelapa sawit Indonesia

sebesar 14-16 ton per hektar tiap tahun, sedangkan Malaysia sudah mencapai 18-

21 ton per hektar tiap tahunnya. Untuk produktivitas CPO Indonesia juga masih

dibawah Malayasia dengan produktivitas 2,51 ton perhektar sedangkan Malaysia

mencapai 3,21 ton.

Peningkatan produktivitas kelapa sawit diperlukan integrasi berbagai

macam faktor sehingga mampu mendukung industri kelapa sawit Indonesia.

Penggunaan bibit yang merupakan bibit unggul dapat meningkatkan produksi.

Pada saat ini penggunaan bibit unggul hanya terbatas pada perkebunan swasta dan

perkebunan negara karena mempunyai bidang penelitian untuk peningkatan


budidaya kelapa sawit. Keterbatasan informasi rakyat akan sumber benih

menyebabkan benih beredar di pasaran tidak sesuai standar atau palsu.

Daur hidup tanaman kelapa sawit dapat mencapai 22-25 tahun. Daur

yang panjang menyebabkan produsen dapat menikmati hasil yang panjang.

Kegiatan re-planting pada umur 28-30 tahun, untuk mengganti pohon kelapa

sawit yang tua harus secara kontinyu dan secara berkala, pemupukan yang kurang

intensif menyebabkan produktivitas kelapa sawit Indonesia masih rendah.

2). Sumberdaya Manusia

Sumberdaya perkebunan kelapa sawit manusia merupakan sangat

dibutuhkan untuk pengembangan industri CPO. Dengan sumberdaya yang

berkualitas maka peningkatan kinerja akan meningkat sehingga akan berdampak

terhadap peningkatan produksi. Penyerapan tenaga kerja serta meningkatkan

kesejahteraan adalah salah satu manfaat dari adanya perkebunan kelapa sawit di

Indonesia sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat menjadi lebih baik. Faktor

sumberdaya dalam perkebunan kelapa sawit mengisi peran sebagai petani,

padagang, penyalur atau pedagang, eksportir, dan jabatan lainnya yang berkaitan

dengan sistem agribisnis kelapa sawit.

a). Petani

(1). Jumlah Tenaga Kerja

Tenaga kerja untuk perkebunan kelapa sawit membutuhkan jumlah yang

besar baik itu untuk pengusahaan perkebunan swasta, negara maupun rakyat.

Sampai akhir tahun 2006 jumlah tenaga kerja perkebunan yang terdapat di

Sumatera Utara adalah sebanyak 35 orang per 100 hektar lahan. Jumlah pabrik
pengolahan kelapa sawit (PKS) mencapai 85 unit dengan kapasitas pengolahan

total 3.400 ton tandan buah segar (TBS) per jam. Dalam setiap PKS yang

berkapasitas olah 30 ton TBS per jam diperlukan tenaga kerja sebanyak 136

orang, maka untuk seluruh PKS diperlukan 15.400 orang. Tenaga kerja dalam

jumlah yang lebih banyak lagi akan dapat diserap oleh industri hilir yang

berbahan baku kelapa sawit.

(2). Tingkat Upah

Dalam era globalisasi yang ditandai dengan semakin mudahnya investor

masuk tanpa kendala batas negara mengakibatkan persaingan antar perusahaan

menjadi semakin ketat. Efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan

sumberdaya yang dimiliki sangat diperlukan untuk meningkatkan dayasaing

perusahaan tersebut. Upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas perusahaan akan

meningkatkan produktivitas perusahaan. Dari berbagai alternatif peningkatan

produktivitas perusahaan, konsentrasi perusahaan pada umumnya lebih tertuju

kepada efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya mesin, metode dan

material, sedangkan peningkatan produktivitas sumberdaya manusia seringkali

terabaikan.

Upaya lain dalam peningkatan produksi sawit dapat ditempuh dengan

meningkatkan produktivitas karyawan. Cara ini merupakan cara yang lebih efisien

dibandingkan dengan penambahan jumlah tenaga kerja perusahaan. Peningkatan

produktivitas dan efisiensi hanya mungkin dilaksanakan apabila segenap

karyawan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, loyalitas dan dedikasi yang

mantap kepada perusahaan (Heniasih, 2000). Produktivitas tenaga kerja akan


tinggi apabila ia memiliki kemampuan yang baik dan motivasi yang tinggi, kedua

hal ini sangat terkait erat satu dengan lainnya.

Dalam hal ini motivasi yang paling kuat mendorong karyawan memiliki

produktivitas yang tinggi adalah motivasi upah (Handoko, 1995). Oleh karena itu

dapat dikatakan bahwa apabila imbalan yang diperoleh karyawan memuaskan

maka otomatis output yang dihasilkan karyawan akan tinggi. Salah satu cara

untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja adalah dengan memperbaiki

sistem pengupahan yang dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan. Salah satu

sistem pengupahan yang dapat meningkatkan motivasi kerja adalah sistem insentif

(bonus). Sistem ini dapat diterapkan baik secara langsung maupun tidak langsung

dalam upaya peningkatan motivasi kerja tenaga kerja.

Tenaga kerja yang dubutuhkan dalam perkebunan kelapa sawit meliputi

persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan (pruning, pemupukan, pengendalian

hama dan penyakit) sampai dengan pengolahan kelapa sawit di pabrik. Biaya upah

tenaga kerja di perkebunan swasta dan milik negara pada umumnya menggunakan

tenaga pegawai perusahaan atau buruh tani yang digaji setiap bulannya.

Penggunaan tenaga kerja buruh harian lepas juga sering dilakukan untuk

menambah satuan kerja yang ada agar pekerjaan dapat segera terselesaikan.

Untuk sisitem borongan terdapat dua sistem pengupahan, yaitu sistem

basis borong dan lebih borong. Sistem upah basis borong merupakan sistem

pemberian upah yang diberikan kepada karyawan apabila karyawan telah

menyelesaikan borongan yang ditetapkan perusahaan, sedangkan sistem upah

lebih borong merupakan upah tambahan yang akan didapatkan karyawan yang

mampu melebihi borongan yang ditetapkan perusahaan. Pada dasarnya sistem


lebih borong merupakan upaya perusahaan dalam meningkatkan produktivitas

karyawan.

Untuk sistem pengupahan dalam pembukaan lahan perkebunan secara

swadaya di Riau dibutuhkan biaya untuk mengupah tenaga kerja. Hari Orang

Kerja (HOK) setiap harinya adalah 8 jam kerja dengan upah perhari Rp 25.000.

Adapun biaya yang dikeluarkan untuk pembukan lahan sampai dengan

pemanenan secara borongan antara lain ;

a. Biaya Pembukaan Lahan/Imas Tumbang

Pembukaan lahan untuk perkebunan membutuhkan biaya dan tenaga

kerja yang besar. Tenaga kerja untuk borongan biasanya bekerja dalam

group atau kelompok sebanyak tiga samapi lima orang, sehingga upah

yang diterima dibagi sesuai dengan jumlah tenaga kerja. Untuk biaya

pembukaan lahan dengan cara menebang pohon-pohon, biaya sebesar Rp

2.000.000 untuk dua hektar.

b. Biaya Cincang Purung

Cincang purung adalah kegiatan mencacah bagian pohon yang sudah

ditebang menjadi bagian yang kecil-kecil sehingga dapat mempermudah

penanaman bibit kelapa sawit. Biaya yang harus dikeluarkan untuk

kegiatan ini adalah Rp. 2.000.000 per dua hektar.

c. Biaya Pemancangan

Pemancangan dilakukan untuk tujuan mempermudah penanaman dengan

menggunakan tanda berupa kayu. Dalam penanaman kelapa sawit, jarak

tanam yang biasa digunakan adalah 9x8 meter, 8,5x9 meter dan 9x9,

sehingga dalam satu hektar terdapat 130 138 bibit kelapa sawit. Biaya
pemancangan di Riau sebesar Rp. 200,000 per hektar, atau sebesar Rp.

1500 tiap pemancangan.

d. Pembuatan Lubang, Pelangsiran, Penanaman, dan Penyisipan

Setelah pembuatan pancang tanaman, selanjutnya tanaman sawit di

langsir atau diantar kelubang yang sebelumnya sudah dipersiapkan.

Pembuatan lubang dengan ukuran 40x60 cm dilakukan agar tanaman

sawit dapat tumbuh kokoh. Biaya yang dikenakan untuk keseluruhan

kegiatan pembuatan lubang, pelangsiran hingga penanaman sebesar Rp.

5.000 tiap lubang sehingga untuk 2 hektar biaya yang dikeluarkan Rp.

1.380.000. Apabila dalam penanaman terjadi kematian pada tanaman

sawit maka akan dilakukan penyisipan dengan biaya yang sama sebesar

Rp. 5.000/bibit.

e. Penyemprotan Hama dan Penyakit

Kegiatan penyemprotan merupakan salah satu dari kegiatan pemeliharaan

tanaman. Untuk penyemprotan hama dan penyakit, biaya yang

dikeluarkan sebesar Rp. 250.000 untuk 2 hektar. Sedangkan untuk obat

pestisida dan insekstisida disediakan oleh pemilik kebun.

f. Biaya Pemupukan

Pemupukan yang teratur akan membantu meningkatan pertumbuhan dan

produksi kelapa sawit. Pemupukan yang kontinyu dan sesuai dengan

dosis dilakukan agar hasil sawit juga kontinyu setiap bulannya. Biaya

pemupukan sebesar Rp. 15.000 tiap karung, dengan ukuran karung 50 kg.
g. Biaya Pemanenan

Kegiatan pemanenan dilakukan satu kali dalam sepuluh hari untuk

perkebunan sawit diatas umur 6 tahun, sedangkan umur 4-6 tahun

pemanenan dilakukan dua kali dalam sebulan. Perbedaan dalam waktu

pemanenan dilakukan karena umur tanaman yang berbeda sehingga

menyebabkan produksi minyak yang dihasilkan dengan rentang umur

berbeda juga. Biaya tenaga kerja yang melakukan pendodosan atau

pemanenan sebesar Rp. 60 sampai Rp. 70 tiap Kilogram. Berarti

misalnya untuk 2 hektar tanaman sawit dapat menghasilkan total produssi

sebanya 4 ton maka biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp. 240.000

Rp. 280.000 tiap bulannya.

h. Biaya Pengangkutan

Pengangkutan kelapa sawit segar atau TBS dari kebun sampai ke pabrik

dilakukan harus segera mungkin agar kelapa sawit masih segar dan tidak

tercemar oleh air dan zat cemar lainnya. Pengolahan kelapa sawit segar

dilakukan 12 jam setelah pemanenan dilakukan. Untuk pengangkutan

biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 70 tiap kg sehingga biaya

yang dikeluarkan apabila hasil produksi perbulan 4 ton maka biaya

sebesar Rp. 280.000 tiap bulannya.

(3). Tingkat Pendidikan Petani

Tingkat pendidikan petani para petani kelapa sawit merata mulai dari

pendidikan dasar (SD), Sekolah lanjutan pertama (SLTP) dan sekolah menegah

atas (SMU) dengan rentang umur yang bervariasi. Dengan tingkat pendidikan
yang masih rendah menyebabkan proses pengalihan teknologi dan keterampilan

belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Walaupun dengan tingkat

pendidikan yang masih tergolong rendah akan tetapi petani perkebunan

mempunyai pengalaman yang bertahun-tahun dalam pengelolaan kelapa sawit,

sehingga pada umumnya keterampilan yang dimiliki petani ialah berasal dari

pengalaman bertani yang dimilikinya.

b). Padagang

Saluran pemasaran TBS (Tandan Buah Segar) kelapa sawit dari tingkat

petani dapat dibedakan dari petani PIR dan petani non PIR (lepas). Pada petani

PIR, saluran pemasaran TBS kelapa sawit mulai dari petani dijual lewat KUD

sawit, lalu dibeli oleh PTPN sebagai inti. TBS dari petani PIR tersebut bersama

TBS dari kebun sendiri diekstraksi di pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) milik

PTPN menjadi CPO.

Sedangkan TBS dari petani lepas, disamping dapat dijual ke KUD sawit

juga dijual ke pedagang pengumpul TBS tingkat desa. Pedagang pengumpul desa

menjual TBS ke pedagang pengumpul besar TBS yang juga dapat bertindak

sebagai agen dari industri PKS.

Pada awal kegiatan operasional, ada perlakuan yang berbeda mengenai

harga bila petani PIR dan non PIR yang menjual TBS ke KUD tersebut. Namun

dalam perkembangannya, terutama produksi sawit telah mulai menurun, KUD

juga banyak menerima TBS dari petani lepas (non PIR) sehingga secara otomatis

tidak ada pembedaan dalam hal penjualan baik dari petani PIR dan non PIR. KUD

kelapa sawit, memiliki unit transportasi sendiri untuk mengambil sawit dari petani

dan selanjutnya mengirim sawit ke unit PKS PTPN. Sehingga, ada pengenaan
biaya transportasi terhadap TBS yang dijual ke KUD dengan kisaran antara Rp. 60

Rp. 70/kg.

Setelah TBS dari KUD masuk ke unit PKS PTPN dan bersama TBS dari

unit kebun sendiri PTPN lalu diekstrak antara lain menjadi CPO. Sesuai dengan

kesepakatan diantara PTPN, maka CPO yang diproduksi PTPN dipasarkan

melalui Kantor Pemasaran Bersama (KPB) baik untuk kebutuhan di dalam negeri

maupun ekspor. KPB dalam hal ini mendapat fee kompensasi sebesar 0,5 persen

dari harga jual. Untuk kebutuhan di dalam negeri, KPB bisa langsung menjual ke

konsumen. Sedangkan untuk ekspor, KPB harus melalui agen (broker) lokal, baru

kemudian broker berhubungan dengan importir (broker/whole saler) di luar negeri

seperti di Hamburg, New York dan Bremen-Jerman.

Distribusi CPO nasional bisa langsung disalurkan dari pabrik (PKS)

ekstraksi TBS dan disalurkan melalui Tank Instalation (TI) dipelabuhan. Bagi

industri pengolahan lanjut CPO yang dinamai processor dapat langsung dari unit

PKS (ekstraksi) PTPN, sedangkan bagi processor lain harus melalui TI

dipelabuhan. Selanjutnya saluran distribusi CPO PTPN di dalam negeri disajikan

pada Lampiran 3. Sementara itu, pada alur pemasaran TBS dari petani lepas dijual

ke pedagang pengumpul desa dan selanjutnya ke pedagang pengumpul besar dan

seterusnya ke pabrik PKS swasta. Disamping itu, PKS swasta juga memperoleh

sawit dari kebun sendiri.

Distribusi produksi CPO dari perkebunan swasta (PBS) tidak harus

dipasarkan melalui KPB. Perkebunan swasta skala kecil adakalanya bergabung

dengan perkebunan swasta skala besar dalam memasarkan produknya terutama

untuk ekspor, namun banyak juga yang memasarkan langsung ke luar negeri.
Untuk mempermudah pencarian pasar, PBS skala besar ada yang menempatkan

agen-agennya di luar negeri, dan ada yang melakukan kontrak jual beli. Untuk

PBS skala kecil, tampaknya belum dapat melakukan hal tersebut.

Untuk pemasaran di dalam negeri, CPO tidak dikemas secara khusus atau

masih dalam bentuk curah. Dalam saluran distribusi di atas biasanya TBS yang

dihasilkan di kebun-kebun diangkut ke pabrik ekstraksi TBS dengan

menggunakan truk atau lori. Selanjutnya hasil CPO disimpan di dalam tangki di

pabrik yang kemudian nantinya diangkut dengan mobil tangki ke tempat

processor ke tank installation di pelabuhan. Selanjutnya CPO dikemas, dan

seterusnya dikapalkan menuju negara importir atau lokasi processor di dalam

negeri (Lampiran 4).

c). Eksportir

Keuntungan adalah tujuan yang ingin dicapai oleh para eksportir. Para

produsen CPO di Indonesia antara lain perusahaan milik negara dan perusahaan

swasta, sedangkan untuk petani hanya menjual buah sawit kepada perusahaan

pengolahan CPO atau kepada tengkulak. Dari para pengumpul kelapa sawit

dibawa ke pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) dan akan diolah menjadi CPO.

Perusahaan swasta rata-rata mempuyai perkebunan kelapa sawit serta didukung

oleh pabrik pengolahan kelapa sawit, sehingga perusahaan dapat mengoptimalkan

segala kemampuan perkebunan yang dimiikinya dengan sumberdaya infrastruktur

pendukung.
Hasil pengolahan kelapa menjadi CPO akan didistribusikan di dalam

negeri dan keluar negeri. Perusahaan industri hilir yang menggunakan bahan baku

CPO antara lain industri bahan pangan, oleokimia dan biodiesel dan banyak lagi

industri yang menggunakan bahan baku nabati. Banyak agen atau perusahaan jasa

penyalur CPO keluar negeri yang ikut serta dalam usaha ini walaupun tidak

mempunyai lahan ataupun pabrik, karena tertarik akan harga jual yang mahal

didalam negeri dan diluar negeri.

Perusahaan besar swasta dapat langsung menjual CPO keluar negeri.

Perusahaan besar rata-rata mempunyai kantor cabang diluar negeri untuk

mempermudah negara importir memesan CPO keperusahaannya. Dengan

demikian perusahaan dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar daripada

melalui agen perantara dalam menjual hasil CPO perusahaanya. Beberapa

perusahaan eksportir CPO antara lain PT. Andalas Intigo Lestari, PT. Musim Mas,

PT. Sofcin Indonesia, PT. Japfa Comfeed, PT. Tunggal Perkasa Plantions, PT.

Astra Agro Lestari, PT. Inti Indosawit Subur, dan lain sebagainya.
Unit kebun
sendiri

TBS

TBS Pedagang TBS Pedagang TBS


Petani Industri
Pengumpul Pengumpul
K.Sawit PKS
Desa Besar Swasta

Agen
DN

Agen
LN

Processor Processor
DN LN

Gambar 10 Saluran Distribusi TBS dan CPO Pada Perkebunan Swasta


Sumber : PPKS, 2006

d). Penyuluh

Kegiatan penyerapan teknologi tidak dapat langsung diterima oleh petani,

sehingga peranan penyuluh dalam memberikan bantuan pemahaman terhadap

teknologi baru sangat penting bagi para petani perkebunan. Penyuluh pertanian

lapangan (PPL) berfungsi memberikan bantuan kepada petani akan informasi dan

teknologi terkini bidang pertanian, sehingga petani dapat memanfaatkan

keberadaan penyuluh sebagai sarana untuk memperoleh informasi.

Penyuluh pertanian khususnya bidang perkebunan, menyampaikan

teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian atau pihak lain kepada petani.

Melalui pendampingan yang lebih intensif oleh penyuluh, maka petani dapat

mengetahui teknik atau proses budidaya sampai dengan informasi tingkat harga

sawit yang harus diterima oleh petani apabila menjual hasil kebunnya. Dengan
adanya informasi harga pasar petani dapat mengetahui posisi tawar sawit yang

akan dijualnya kepada para pedagang pengumpul.

Selain penyuluhan dilakukan oleh PPL, kegiatan penyuluhan juga

dilakukan oleh berbagai lembaga-lembaga salah satunya Gapki. Gabungan

pengusaha kelapa sawit selain sebagai asosiasi perkumpulan para pengusaha,

Gapki mempunyai kegiatan yang berupa penelitian, penyuluhan, informasi,

promosi, pemasaran, advokasi, konsultasi dan diskusi serta segala kegiatan yang

dapat meningkatkan penghasilan anggotanya. Peranan pemerintah dan lembaga

kelapa sawit harus terintegrasi agar segala cara dan upaya peningkatan dayasaing

CPO Indonesia dapat terlaksana dengan baik.

3). Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hal penanaman,

pemeliharaan dan pemanenan merupakan hal penting dalam menunjang dayasaing

kelapa sawit. Sumberdaya ini mencakup ketersediaan pengetahuan pasar dan

pengetahuan ilmiah dalam melakukan produksi yang dapat diperoleh melalui

lembaga penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi petani, lembaga, perguruan

tinggi, literatur bisnis, basis data, dan sumber pengetahuan dan teknologi lainnya.

a. Lembaga Penelitian

Peranan lembaga penelitian dalam mengembangkan produksi CPO

Indonesia di pasar internasional sangat tergantung pada hasil penelitian dan

pengembangan baik budidaya sampai dengan produksi. Di Indonesia terdapat

beberapa lembaga penelitian kelapa sawit baik itu instansi pemerintah ataupun

perguruan tinggi yaitu Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan, Balai

Besar Mekanisasi Pertanian Departemen Pertanian, Institut Pertanian Bogor


(IPB), Institut teknologi Bandung (ITB), Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi (BPPT) di Puspitek dan lembaga penelitian yang dimiliki oleh

perusahaan swasta (Lampiran 5).

Pusat Penelitian kelapa sawit (PPKS) di Medan merupakan salah satu

tempat budidaya indukan bibit sawit berkualitas. Dari PPKS akan dihasilkan bibit

sawit yang berkualitas lewat hasil persilangan indukan yang memiliki keturunan

baik, selain itu metode kloning juga dilakukan untuk mengahasilkan anakan sawit

yang berkualitas sesuai dengan indukan.

Kebutuhan akan minyak nabati khususnya sebagai bahan baku biofuel

atau sebagai bahan bakar pada kendaraan bermesin diesel semakin meningkat

sering dengan mahal dan terbatasnya produski BBM. Berbagai kebijakan negara-

negara Eropa dan Indonesia agar tidak terlalu menggantungkan bahan bakar

kendaraan dan industri terhadap BBM dan menggantinya dengan bahan bakar

nabati (BBN). Permintaan negara maju terhadap biodisel mencapai 71 juta ton

atau senilai 28 juta Poundsterling, hal ini merupakan suatu peluang besar bagi

negara penghasil biodisel. Dengan besarnya luasan perkebunan kelapa sawit

Indonesia maka hasil produksi untuk minyak sawit (CPO) juga akan besar seiring

peningkatan luasan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT) melihat

peluang pasar biodiesel maka pada tahun 2003 badan penelitian ini menciptakan

mesin pengolahan CPO yang dapat menghasilkan biodiesel. Kapasitas awal mesin

pengolahan CPO yang dibuat oleh BBPT sebesar 1,5 ton perhari dan pada tahun

2008 mampu menambah kapasitas produksi menjadi 3 ton perhari. Beberapa

negara Asia yang serius mengembangkan energi biodiesel adalah India, Filipina,

Thailand, dan Vietnam. Thailand dan Vietnam beli CPO dari Indonesia.
b. Asosiasi Pengusaha

GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) adalah wadah

perusahaan produsen minyak sawit (CPO) yang terdiri dari perusahaan PT.

Perkebunan Nusantara, Perusahaan Perkebunan Swasta Nasional dan Asing serta

peladang Kelapa Sawit yang tergabung dalam Koperasi. GAPKI telah melakukan

berbagai upaya untuk memajukan perkelapasawitan Indonesia. GAPKI selaku

mitra pemerintah telah memberikan masukan-masukan sebagai bahan pemerintah

dalam menyusun berbagai kebijakan tentang masalah perkelapasawitan, termasuk

menetapkan kebijakan tata niaga minyak sawit yang memberikan harga jual yang

menarik sehingga akan merangsang untuk melakukan investasi pada perkebunan

kelapa sawit. Perusahaan anggota GAPKI telah menyediakan minyak sawit

sebagai bahan baku untuk kepentingan industri dalam negeri dengan jumlah yang

cukup dan terus menerus, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat

terutama terhadap kebutuhan minyak goreng dengan harga yang terjangkau,

disamping itu juga mengekspor minyak sawit dalam meningkatkan pendapatan

devisa negara.

Gabungan pengusaha kelapa sawit Indonesia memiliki sembilan kantor

cabang, yaitu pada daerah : Sumatera Barat (2001), Jambi (2003), Sulawesi

(2004), Kalimantan Tengah (2004), Riau (2004), Kalimantan Selatan (2004),

Sumatera Utara (2005), Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan (2007). Adapun

beberapa tujuan Gapki yaitu :

1. Mengembangkan usaha-usaha perkelapasawitan seutuhnya dalam rangka

menunjang kebijaksanaan pemerintah di bidang perkebunan.


2. Mempersatukan perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia agar

menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang dapat meningkatkan

kemakmuran masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

3. Meningkatkan dayasaing perusahaan kelapa sawit Indonesia dipasar

internasional.

c. Asosiasi Petani

Kuantitas dari hasil perkebunan yang diperjualbelikan pada umumnya

dalam jumlah yang kecil sehingga untuk mendapatkan jumlah atau partai yang

besar diperlukan suatu lembaga yang dapat menghimpun produk-produk

perkebunan tersebut, di tingkat petani biasanya mereka membentuk suatu koperasi

komoditas, sehingga memudahkan dalam penjualannya.

Disamping itu para petani membentuk suatu asosiasi petani kelapa sawit

Indonesia (Apsakindo) bertujuan antara lain sebagai wadah untuk mengakomodir

kepentingan para petani seperti memberdayakan petani, meningkatkan

kesejahteraan dan mewujudkan kemitraan.

e. Dewan Minyak Sawit Indonesia

Pada tanggal 31 Mei 2007 Indonesia memiliki dewan minyak sawit yang

mempunyai salah satu tujuan adalah memperbaiki citra minyak sawit Indonesia

dipasar internasional. Pembentukan badan tersebut perlu dilakukan terutama untuk

mempermudah hubungan dagang antarnegara yang menyangkut masalah kelapa

sawit menyusul adanya permintaan Malaysia agar Indonesia supaya segera

memiliki badan khusus yang mengurusi masalah persawitan nasional.

pembentukan dewan sawit itu memperkokoh Industri sawit terutama menangkis


isu negatif yang memengaruhi keberadaan usaha perkebunan, seperti lingkungan,

dan kesehatan.

d. Lembaga Statistik

Lembaga statistik berperan sebagai pengolah segala informasi yang

bersifat kuantitatif untuk diolah sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat

digunakan untuk keperluan umum. Peran dari lembaga statistik ini diwakili oleh

Direktorat Jenderal PerkebunanDepartemen Pertanian, Biro Pusat Statistik

(BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan yang merupakan lembaga yang beperan

besar dalam mengolah data statistik perkebunan kelapa sawit baik hasil tandan

buah segar serta hasil CPO. Hasil olahan data statistik disimpulkan dalam sebuah

buku yang berjudul Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dengan

periode tahun yang berbeda-beda.

e. Perguruan Tinggi

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan yang

memberikan kontribusi penting pada pembangunan ekonomi Indonesia,

khususnya pada pembangunan agroindustri. Luas perkebunan kelapa sawit di

Indonesia tahun 1996 telah mencapai dua juta hektar dengan tingkat produksi

terbesar kedua setelah Malaysia. Pada tahun 2010 luas perkebunan kelapa sawit

direncanakan akan mencapai tujuh juta hektar, sehingga Indonesia diharapkan

akan menjadi negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Dalam rangka

mengantisipasi dan mendorong perkembangan kelapa sawit serta mencegah

berbagai masalah yang akan timbul, diperlukan adanya wahana untuk kerjasama

yang baik antara peneliti, pengembang, industriawan, pengusaha, peminat dan


pelaku lainnya di bidang perkelapasawitan, baik dari kalangan pemerintah,

perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan maupun dari kalangan

industri, pengusaha dan peminat serta pelaku lainnya. Hal ini penting untuk dapat

menjamin keberlanjutan pengembangan perkelapasawitan di Indonesia.

Menyadari hal tersebut dan atas prakarsa 7 PAU Biosains (PAU Bioteknologi

ITB, PAU Ilmu Hayati ITB, PAU Pangan dan Gizi UGM, PAU Bioteknologi

UGM, PAU Pangan dan Gizi IPB, PAU Bioteknologi IPB, PAU Ilmu Hayati

IPB), Pusat Studi Pembangunan IPB dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan,

para pakar kelapa sawit menganggap perlu berhimpun dalam suatu paguyuban

atau wadah organisasi, maka dibentuklah Masyarakat Perkelapa-sawitan

Indonesia (MAKSI) yang berazaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

f. Sumber IPTEK lainnya

Sumber IPTEK lainnya dapat berasal dari berbagai media, seperti jurnal-

jurnal penelitian, warta, surat kabar atau majalah agribisnis, Internet, dan media

penyedia informasi lainnya. Sumber IPTEK yang beragam dan lengkap

diharapkan dapat mendukung industri CPO Indonesia dalam menerapkan

teknologi yang tepat guna. Penerapan teknologi yang tepat tentunya akan

meningkatkan produktivitas lahan kelapa sawit dan menghasilkan CPO yang

mempunyai mutu yang tinggi. Adanya kemajuan teknologi di bidang pengolahan

industri hilir kelapa sawit diharapkan dapat berkembang sehingga negara ini

mampu mengekspor kelapa sawit dalam bentuk CPO tetapi dalam bentuk yang

sudah mempunyai nilai tambah atau siap digunakan. Hal tersebut tentunya dapat

menambah nilai jual kelapa sawit, sehingga dapat meningkatkan pendapatan

petani kelapa sawit juga devisa negara. Untuk dapat mencapai kemajuan tersebut
maka dibutuhkan sumberdaya IPTEK yang mendukung. Sumberdaya IPTEK

yang mendukung maka akan meningkatkan keunggulan kompetitif kelapa sawit

nasional.

4).Sumberdaya Modal

Sumber pendanaan modal sangat penting bagi keberlanjutan perkebunan

agar mampu menghasilkan komoditi yang berkualitas dan berkuantitas baik.

Modal petani perkebunan berasal dari berbagai sumber yaitu dari bantuan

pemerintah lewat pinjaman dengan subsidi bunga kredit, dan modal sendiri.

Bantuan pemerintah lewat subsidi bunga kredit dimaksudkan untuk membantu

petani yang ikut dalam perkebunan inti rakyat (PIR-BUN) lewat bank mitra

pemerintah yaitu BRI (Bank Rakyat Indonesia).

Revitalisasi perkebunan yaitu lewat peremajaan dan perluasan lahan

perkebunan (kelapa sawit, karet, dan kakao), dengan memberikan bunga flat

sebesar 10 persen kepada petani plasma yang meminjam modal kepada bank

sedangkan sisanya ditanggung pemerintah. Rencana Revitalisasi perkebunan

sebesar 2 juta hektar dengan dana investasi 12 triliun siap dikucurkan oleh

pemerintah dimana kegiatan ini telah dimulai pada 2007 dan direncanakan selesai

pada tahun 2010. Bentuk kerjasama antara pemerintah dan petani plasma dalam

pengembangan perkebunan kelapa sawit lewat berbagai kerjasama salah satunya

kerjasama bapak angkat. Sistem ini dilakukan oleh pemerintah lewat perkebunan

negara (PTPN) yang seluruh biaya penanaman dan pengembangan kelapa sawit

milik petani ditanggung pemerintah, dan setelah menghasilkan maka petani

diwajibkan membayar kepada pemerintah.


Sumber modal perkebunan swasta sangat besar karena didukung oleh

perusahaannya semagai investor utama dan tambahan modal dari modal

perusahaan asing yang tertarik dengan prospek CPO. Mahalnya harga CPO di

pasar internasional membuat banyak perusahaan yang tertarik untuk

mengembangkan komoditi kelapa sawit. Salah satu perusahaan yang

mengembangan komoditi perkebunan kelapa sawit adalah Indomal Usahasama

yang merupakan grup Indomal. Perusahaan ini bekerjasama dengan Malaysia

membangun Palm Oil Centre di Maluku utara. Total investasi yang ditanamkan

mencapai Rp 12,5 triliun. Pembuka lahan kelapa sawit seluas 200.000 hektar,

membangun pabrik CPO dan pabrik biodiesel masing-masing 7 unit serta

infrastruktur pendukung berupa pembangkit listrik 2x10 megawatt. Dengan luas

lahan perkebunan tersebut diharapkan bisa memproduksi kelapa sawit 1,5 juta ton

per tahun. Sementara untuk pabrik pengolahan biodiesel, direncanakan

berkapasitas 150 ribu ton per tahun. dari total investasi Rp 12,5 triliun, sekitar Rp

5 triliun diantaranya digunakan untuk membiayai pembersihan lahan dan

penanaman kelapa sawit. Untuk pendanaan proyek Palm Oil Centre ini, beberapa

lembaga keuangan telah siap memberikan dukungan yaitu Exim Bank Malaysia

dan Gulf Finance House, salah satu lembaga pembiayaan dari Doha, Qatar.

Lembaga-lembaga ini akan masuk membiayai hingga 70 persen dari nilai proyek,

dengan skema project financing. Sisanya ditanggung oleh modal sendiri

peusahaan.

5). Sumberdaya Infrastuktur

Sumberdaya infrastruktur meliputi sarana dan prasarana yang digunakan

dalam suatu industri. Sarana dan prasarana yang berperan penting dalam proses
produksi, pemeliharaan, pemanenan, hingga sampai ketangan konsumen. Pada

sarana produksi kelapa sawit, dibutuhkan mesin pengolahan yang mampu

mengolah kelapa sawit segar menjadi CPO. Investasi pembelian mesin CPO

sangat besar sehingga hanya perusahaan serta negara yang mempunyai dana untuk

membeli peralatan pengolahan kelapa sawit, sedangkan petani belum mempunyai

pabrik pengolahan secara swadaya. Sarana pengolahan kelapa sawit akan semakin

bertambah seiring dengan meningkatnya pembukaan lahan diberbagai daerah

dengan investasi besar-besaran dari perusahaan asing dan dalam negeri. Hal ini

akan menambah kemampuan pengolahan sawit nasional sehingga dapat

meningkatkan hasil CPO untuk konsumsi dalam negeri maupun diekspor keluar

negeri.

Kebutuhan prasarana industri CPO sangat penting guna membawanya

kepada konsumen industri lain yang menggunakan bahan baku CPO. Adapun

prasarana untuk mendukung industri CPO nasional antara lain jalan, jembatan,

sarana air, listrik, jembatan, pelabuhan, transpotasi dan lain sebagainya.

Dibutuhkan dana sekitar Rp 4 triliun untuk bisa menyediakan lapangan terbang

standar, pelabuhan laut, pembangunan jalan dan jembatan.

Pelabuhan merupakan salah satu alat transpotasi untuk menghantarkan

CPO ke tempat tujuan. Fasilitas pelabuhan di Indonesia masih minim dalam

menampung kapal besar sehingga terjadi antrian apabila hendak masuk ke

pelabuhan. Rata-rata kapal yang dapat besandar di pelabuhan hanya berjumlah 2

sampai 3 kapal, yang menyebabkan waktu tunggu lama dan biaya yang harus

ditanggung bertambah besar oleh konsumen atau importir . Berbeda dengan

Malaysia yang mempunyai pelabuhan Port Klang yang dapat menampung


berapapun kapal yang hendak bersandar dipelabuhan tersebut. Untuk mengatasi

hal tersebut maka di daerah Sumatera Selatan telah dibangun pelabuhan Tanjung

Api-Api (TAA) dengan bantuan investasi dari negara Arab sebesar 13 triliun.

Selain pembangunan pelabuhan kapal, didaerah Palembang juga dibangun jalur

kereta api yang menghubungkan lokasi pabrik CPO dengan pelabuhan.

6.3.2 Kondisi Permintaan


1). Komposisi Permintaan Domestik

Kebutuhan konsumen industri pangan, minyak goreng, olein, biodisel

akan CPO semakin meningkat seiring peningkatan konsumsi dan jumlah

penduduk dunia. Harga minyak sawit mentah dunia yang tinggi menyebabkan

para produsen CPO banyak melakukan ekspor dari pada menjual didalam negeri.

Pada tahun 2008 harga CPO yang tinggi mencapai level diatas US$ 800/ton,

menyebabkan pasokan CPO yang seharusnya untuk mencukupi kebutuhan

industri hilir di ekspor tanpa adanya batasan dari pemerintah.

Perkembangan Industri hilir pengolahan CPO, salah satunya adalah

industri minyak goreng belum mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 dan 2006

jumlah pabrik minyak goreng tidak berubah yaitu sebanyak 74 pabrik yang

tersebar diseluruh Indonesia. Kapasitas produksi yang mampu dihasilkan oleh

pabrik pengolahan minyak goreng tahun 2005 dan 2006 sama yaitu sebesar 15,43

juta ton, karena jumlah pabrik minyak goreng yang tidak berubah. Produksi

minyak goreng berasal dari tanaman kelapa dan kelapa sawit. Untuk tahun 2005

kebutuhan akan minyak goreng domestik sebesar 3,29 ton dan meningkat akibat

pertambahan penduduk sehingga terjadi peningkatan konsumsi menjadi 3,54 ton.


Tabel 20 Industri Minyak Goreng Indonesia Tahun 2005 2006
Keterangan 2005 2006
Jumlah Perusahaan 74 74
Kapasitas Produksi (Juta Ton) 15,43 15,43
Realisasi Produksi (Juta Ton) 6,62 7,59
Utilitas Produksi (%) 42,95 49,24
Ekspor Minyak Goreng (Juta Ton) 3,33 4,05
Konsumsi Minyak goreng Domestik (Juta Ton) 3,29 3,54
Sumber: Departemen Perindustrian, 2007

2). Jumlah Permintaan dan Pola pertumbuhan

Pertumbuhan industri pangan, oleokimia, dan minyak goreng serta

industri yang menggunakan minyak nabati khususnya CPO semakin meningkat.

Dari sisi permintaan, tingkat pertumbuhan konsumsi minyak goreng sebagai

produk olahan minyak kelapa sawit cukup pesat, baik di pasar domesik dan pasar

ekspor. Hal itu didukung kenaikan faktor permintaan secara agregat seperti

pertumbuhan penduduk, daya beli masyarakat, serta kecenderungan dunia

mengkonsumsi minyak dari sawit. Permintaan ini tidak terlepas dari kemampuan

industri CPO untuk menggeser minyak kelapa (Crude Coconut Oil CCO) dan

kopra sebagai bahan baku minyak goreng.

3). Permintaan Luar Negeri Terhadap CPO Nasional

Pertumbuhan penggunaan minyak sawit itu dipicu oleh peningkatan

jumlah penduduk dunia dan semakin berkembangnya trend pemakaian bahan

dasar oleochemical pada industri makanan, industri shortening, farmasi

(kosmetik). Trend ini berkembang karena produk yang menggunakan bahan baku

kelapa sawit lebih berdaya saing dibandingkan minyak nabati dengan bahan baku

lainnya. Naiknya harga CPO juga disebabkan oleh terus menanjaknya harga

minyak kedelai akibat turunnya produksi kedelai dunia tahun ini. Berdasarkan
data dari Oil World, trend penggunaan komoditi berbasis minyak kelapa sawit di

pasar global terus meningkat dari waktu ke waktu mengalahkan industri berbasis

komoditas vegetable oil lainnya seperti minyak gandum, minyak jagung, minyak

kelapa.

Pangsa konsumsi minyak kelapa sawit terhadap konsumsi minyak nabati

dunia sebanyak 34,15 juta ton pada tahun 19631967 diperkirakan empat persen

dari total minyak nabati dunia. Pangsa ini meningkat menjadi 14,9 persen dari

konsmsi minyak nabati dunia sebesar 92 juta ton pada tahun 2003 sampai 2007.

Sedangkan pada tahun 2003 sampai 2006 konsumsi minyak dunia meningkat

menjadi 18 persen dengan besarnya konsumsi 117 juta ton. Sejak 2004

penggunaan komoditi minyak kelapa sawit telah menduduki posisi tertinggi dalam

pasar vegetable oil dunia yaitu mencapai sekitar 30 juta ton dengan pertumbuhan

rata-rata delapan persen per tahun, mengalahkan komoditas minyak kedelai

sekitar 25 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,8 persen per tahun. Komoditas

lainnya yang banyak digunakan adalah minyak bunga matahari yaitu sekitar 11,5

juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 2,2 persen per tahun.

Indonesia adalah negara net-exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan

mendesak juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor minyak

sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina, dan Jepang. Produk

yang diekspor adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil, CPO dan

beberapa produk oleokimia. Secara umum, ekspor minyak sawit Indonesia pada

1980-2005 meningkat 12,9 persen per tahun. Pada tahun 2005 pangsa ekspor

minyak sawit Indonesia mencapai 39,35 persen dari ekspor minyak sawit dunia,

dan pada periode yang sama, pangsa ekspor minyak sawit Malaysia sekitar 50,68
persen. Pada tahun 2006 pangsa ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 39,18

persen dari ekspor minyak sawit dunia dan Malaysia sekitar 50,31 persen. Dengan

demikian, pangsa pasar Malaysia cenderung menurun, sebaliknya pangsa pasar

Indonesia makin meningkat seiring dengan peningkatan produksi minyak sawit

Indonesia.

6.3.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung


1). Industri Terkait

Industri terkait merupakan industri yang berada dalam sistem komoditas

secara vertikal. Indiustri ini mulai dari pengadaan bahan baku, bahan tambahan,

bahan kemasan sampai pemasaran. Selain industri terkait terdapat juga industri

pendukung yang merupakan industri yang memberikan kontribusi tidak langsung

dalam sistem komoditas secara vertikal.

a). Industri Penyediaan Bibit Kelapa sawit

Perkembangan Industri CPO Indonesia agar mampu menghasilkan

produk yang berkualitas dan berkuantitas baik perlu penggunaan bibit unggul.

Dengan bibit unggul yang baik maka akan dihasilkan kelapa sawit segar (TBS)

yang baik pula untuk selanjutnya diolah menjadi minyak sawit (CPO). Penyediaan

bahan baku bibit berkualitas dan mempunyai sertifikat ekolabeling dan diakui di

Indonesia terdapat tujuh produsen benih dengan kapasitas 141 juta per tahun.

Produsen bibit kelapa sawit antara lain :Pusat Penelitain Kelapa Sawit (PPKS) di

Medan, PT. London Sumatera (PT. Lonsum), PT. Socfindo, PT. Tunggal Yunus

Estate (PT. TYE), PT Dami Mas Sejahtera (PT. DMS), PT Bina Sawit Makmur

(PT. BSM), dan PT Tania Selatan (PT. TS).


b). Industri Penyedia Kelapa Sawit

Penyediaan kelapa sawit dalam bentuk segar di usahakan oleh pengusaha

swasta, negara, dan petani secara swadaya. Pengusahaan kelapa sawit untuk

swasta di dominasi oleh perusahaan-perusahaan besar Perkebunan kelapa sawit

swasta yang cukup luas misalnya dimiliki oleh PT Astra Agro Lestari, Sinar Mas

group, PT London Sumatra , PT Minamas Gemilang, PT Asian Agri, PT Duta

Palma, PT Bakrie Sumatera Plant, PT Salim Ivomas Pratama, PT Surya Dumai

dan sebagainya. Selain memiliki kebun inti perkebunan tersebut perusahaan juga

memiliki kebun plasma atau KKPA yang cukup besar. Perkebunan rakyat sebagai

produksi kelapa sawit mempunyai peranan sebagai penyedia kelapa sawit untuk

diolah lebih lanjut menjadi CPO oleh perusahaan yang mempunyai pabrik

pengolahan.

c). Industri Pengolahan Kelapa Sawit

Untuk menghasilkan CPO diperlukan pabrik pengolahan TBS. Produksi

dan pengolahan kelapa sawit dikuasai beberapa pengusaha saja. Tercatat nama-

nama besar, seperti PT Astra Agro Lestari, Sinar Mas Group, PT London

Sumatera, PT Minamas Gemilang, PT Asian Agri, PT Duta Palma, PT Bakrie

Sumatera Plantation, PT Salim Ivomas Pratama, PT Surya Dumai.; dapat

disimpulkan bahwa penghasil TBS terbesar di negeri ini adalah petani. Hanya

sebagian dari para pemilik perkebunan kelapa sawit ini yang memiliki industri

hilir seperti refinery yaitu Sinar Mas, Astra, Salim, Asian Agri, Duta Palma dan

beberapa perusahaan lagi dengan kapasitas yang tidak terlalu besar; industri

oleochemicals seperti Sinar Mas.


d). Industri Pegolahan CPO

Industri yang terkait dalam industri kelapa sawit adalah industri

makanan, minuman, minyak goreng, biofuel dan lain sebagainya. Industri tersebut

merupakan industri dalam industri CPO Indonesia yang memiliki kontribusi

langsung pada sistem komoditas secara vertikal karena industri tersebut

menggunakan CPO sebagai bahan bakunnya. Potensi pengembangan energi

alternatif seperti biofuel di Indonesia sangatlah besar, dimana kebutuhan bahan

bakar minyak baik untuk kepentingan industri maupun individu memiliki

kecenderungan terus mengalami peningkatan. Perusahaan yang bergerak dalam

bidang biodiesel seperti PT Kreatif Energi Indonesia, PT Energi Alternatif, PT

Tranaco Utama, PT Eterindo Wahanatama, PT Molindo Raya Industrial, PT Astra

Agro Lestari Tbk. (Grup Astra), PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk. (Grup

Bakrie), Grup Sinar Mas, juga BUMN PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).

2). Industri Pendukung


a). Industri Jasa Pemasaran

Industri jasa pemasaran merupakan lembaga perantara pemasaran, seperti

pedagang pengumpul, distributor, pedagang besar, pedagang eceran, dan ekspotir.

Di tahun 2004 Lonsum mengkoordinasikan seluruh kegiatan pemasaran dan

penjualannya melalui kantornya di Singapura, mengerahkan segenap daya untuk

mengembangkan pangsanya di pasar internasional. Pada tahun 2004 Lonsum

berhasil melakukan diversifikasi pemasaran CPO sehingga mampu meningkatkan

jumlah pelanggan. Perkembangan ini berawal dari selesainya pembangunan

instalasi tangki timbun Sei Lais di Palembang, yang merupakan langkah awal

upaya Lonsum mengalihkan metode penjualan CPO di Sumatera Selatan dari ex-
pabrik ke ex-tangki timbun. Hasilnya perusahaan mampu menambah jumlah

pelanggan secara signifikan serta menikmati keuntungan dari perolehan harga

pasar CPO yang berlaku.

b). Industri Jasa Pendidikan, Pelatihan, Litbang dan Konsultasi

Kebutuhan akan permintaan pasar yang terus meningkat terhadap CPO

setiap tahunnya memungkinkan produksi minyak kelapa sawit di Indonesia untuk

terus ditingkatkan. Sejalan dengan perkembangan itu maka sektor perkebunan

kelapa sawit memerlukan ketersediaan tenaga kerja yang terus bertambah dengan

tingkat pengetahuan dan keterampilan yang memadai, mulai dari bagian teknis

agronomi/tanaman hingga proses pengolahan. Pada era persaingan bebas seperti

sekarang, tersedianya tenaga kerja yang terdidik dan terampil menjadi semakin

mutlak, karena dengan demikian dapat diharapkan mampu meningkatkan

produktivitas tanaman dan mutu CPO yang dihasilkan. Kenyataan membuktikan

bahwa tidak semua perkebunan di Indonesia mempunyai pusat pelatihan yang

sistimatis (training center). Hanya beberapa perkebunan besar swasta yang

memiliki lembaga ini di samping PTPN dengan LPP (Lembaga Pusat Pelatihan).

Sebagai upaya menangkap peluang ini, salah satu alternatif yang dapat

dilakukan adalah dengan mendirikan sebuah lembaga pelatihan tenaga kerja.

Pelatihan tenaga kerja ini dititikberatkan pada praktek kerja nyata di kebun dan

pabrik secara langsung. Dengan sistem seperti ini diharapkan agar materi yang

disampaikan di kebun dan pabrik dapat diterapkan secara langsung pada dunia

kerja secara nyata.


Citra Widya Education (CWE) adalah lembaga jasa pendidikan dan

pelatihan tenaga kerja yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. CWE

menawarkan berbagai macam program pelatihan yang ditujukan mulai dari tingkat

operator, asisten, asisten kepala, sampai dengan tingkat manager. Program

pelatihan yang ditawarkan meliputi berbagai aspek pelatihan di bidang teknis,

manajemen dan kepemimpinan, administrasi sampai dengan quality control. CWE

juga mengemban misi yang berupaya agar lulusan-lulusannya memiliki

profesionalisme dalam bekerja sehingga secara tidak langsung dapat memberikan

Return of Investment (ROI) yang efektif dan efisien bagi perusahaan dengan

sumberdaya manusia yang menjunjung prinsip keselamatan kerja dan keamanan

lingkungan.

Hubungan CWE yang erat dengan para pelaku industri termasuk di

antaranya perkebunan kelapa sawit, supplier sarana pendukung perkebunan,

asosiasi perkebunan kelapa sawit, lembaga pendidikan, dan pusat penelitian serta

didukung dengan fasilitas pelatihan langsung di lapangan dengan tenaga pengajar

yang berasal dari kalangan praktisi perkebunan kelapa sawit jelas sangat

mendukung validity dan applicability program pelatihan kami.

CWE menjalin hubungan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang

memiliki perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Sulawesi Selatan serta

Bengkulu sebagai tempat praktek lapangan. Jika sebagian besar pendidikan

akademik melakukan praktek yang terbatas pada simulasi di laboratorium dalam

kondisi ideal, maka sistem pelatihan di CWE mengambil tempat pada lokasi

aktual lengkap dengan kondisi lapangan sebagai salah satu nilai tambahnya. CWE

juga merupakan salah satu lembaga pelatihan yang pertama kali menggunakan
Career-Based Curriculum (CBC) dan dilengkapi dengan sistem pendidikan yang

menekankan know-why di samping know-how sehingga lulusan CWE memiliki

pengetahuan yang valid dan applicable dalam karirnya di industri. Keberadaan

CWE diharapkan akan memberikan manfaat bagi dunia industri pengolahan

kelapa sawit, sekaligus memberikan kontribusi untuk mengatasi permasalahan

mengenai Sumber Daya Manusia (SDM) perkebunan kelapa sawit Indonesia.

6.3.4 Struktur, Persaingan dan Strategi Industri CPO Nasional

Perkebunan kelapa sawit sebagai pemasok kelapa sawit di Indonesia

diusahakan oleh tiga bentuk pengusahaan yaitu Perkebunan milik Negara,

Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat. Jumlah pengusahaan perkebunan di

Indonesia sangat banyak khususnya yang diusahakan secara swadaya dan

Perkebunan Swasta. Jumlah pemasok kelapa sawit yang besar di Indonesia

menyebabkan harga kelapa sawit yang berflukuatif mengikuti ketentuan yang

berlaku. Harga yang diterima oleh para pengusaha kelapa sawit secara swadaya

sering mengikuti harga perusahaan pemilik pabrik kelapa sawit, sehingga harga

yang diterima oleh para petani lebih rendah dibandingkan oleh harga yang

ditetapkan oleh pemerintah setempat.

Industri CPO di Indonesia di dominasi oleh Perusahaan Swasta dan

Perusahaan Negara. Pabrik CPO di Indonesia saat ini mencapai 420 pabrik dan

akan terus bertambah seiring dengan pertambahan luas penanaman sehingga

jumlah perusahaan yang ada dalam industri CPO akan semakin banyak.

Perusahaan pengolahan CPO di Indonesia untuk saat ini didominasi oleh

perusahaan besar swasta (Astra, Asia Agro Lestari, Sinar Mas) yang mempunyai

modal besar untuk pembangunan unit pengolahan CPO Jumlah produsen CPO
yang tidak banyak menyebabkan struktur pasar CPO yang terbentuk adalah

struktur oligopoli, dengan produsen CPO yang dominan atau mendominasi

sumberdaya yang ada.

Produksi CPO pada awalnya untuk memasok kekurangan minyak nabati

di Indonesia. Peluang bisnis yang terbuka di pasar nasional dan internasional

menyebabkan komoditi CPO semakin banyak permintaan dari konsumen industri.

Pada saat ini minyak nabati di seluruh dunia terdapat 17 jenis dari komoditi yang

berbeda. Banyaknya jumlah minyak nabati menyebabkan terjadinya persaingan

diantara para produsen minyak nabati yang semakin ketat, selain dari sisi kualitas,

kuantitas maupun kontinyuitas produk.

Perkebunan kelapa di Indonesia saat ini menempati urutan pertama dalam

menghasilkan komoditi CPO. Negara di Indonesia diharapkan beberapa tahun

kedepan merupakan penghasil dan pengekspor CPO terbesar didunia menggeser

dominasi Negara Malaysia sebagai eksportir terbesar. Ancaman bagi pengusahaan

CPO Indonesia adalah dari Negara Malaysia yang mendirikan pabrik pengolahan

lebih lanjut dengan memasok CPO dari dalam Indonesia. Banyaknya ekspor CPO

Negara Indonesia dalam bentuk minyak mentah menyebabkan keuntungan yang

diperoleh Negara Malaysia menjadi lebih besar karena produk yang dihasilkan

mempunyai nilai tambah lebih.

Kebutuhan industri terhadap minyak nabati akan semakin meningkat

seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan industri baru. Minyak

nabati yang mempunyai produksi besar dan mempunyai kandungan betakaroten

adalah minyak sawit (PPKS,2006). Konsumen sebagai pengguna minyak nabati

akan mencari komoditi yang dari sisi kualitas baik dan sisi kuantitas yang mampu
mencukupi kebutuhan industri. Industri mempunyai banyak pilihan untuk

membeli minyak nabati, akan tetapi ketersediaannya di pasaran masih belum

pasti. Kelapa sawit mampu menghasilkan buah sepanjang tahun dan tanaman ini

tahan terhadap musim kering di bandingkan dengan tanaman penghasil minyak

nabati lainnya.

Kekuatan pemasok terhadap harga pasar CPO di dalam negeri dan di

pasar internasional dipengaruhi oleh harga yang berlaku di pasar berjangka

Rotterdam. Pemasok CPO di dalam negeri mengikuti ketentuan harga yang

ditetapkan oleh pemerintah lewat kebijakannya setiap bulannya dengan mengikuti

pergerakan harga referensi dari Rotterdam. Dengan penetapan harga yang sudah

diatur sehingga menyebabkan posisi tawar pemasok CPO yang lemah di sampiang

adanya produk subtitusi minyak CPO.

Strategi yang ada saat ini untuk mendukung perkembangan industri CPO

Indonesia yaitu :

1. Strategi Produk

Produk yang sesuai dengan standar mutu akan mampu bersaing dengan

produk yang sama dari negara lain. Pada saat ini hampir 90 persen CPO

Indonesia diekspor dalam bentuk mentah dan 10 persen untuk produk

turunan kelapa sawit. Berbagai syarat tersebut antara lain adalah kadar

FFA (free Fatty Acid) berkisar antara 2-5 persen dan mengandung

betakaroten tinggi diatas 500 ppm. CPO merupakan minyak mentah

sawit yang masih perlu dilakukan pengolahan untuk menjadi suatu

produk. Besarnya ekspor kelapa sawit dalam bentuk olahan masih

rendah, karena rata-rata kebutuhan industri dinegara konsumen


membutuhkan CPO sebagai bahan baku pengganti bahan baku lain yang

harganya lebih tinggi. Selain itu dengan sarana dan prasarana pendukung

industri hilir yang lengkap serta dukungan teknologi negara kita masih

mendominasi dalam bentuk CPO. Strategi pengembangan poduk CPO

dapat dilakukan dengan pengolahan CPO lebih lanjut atau diversivikasi

produk sehingga nilai jual menjadi lebih tinggi.

2. Strategi Harga

Harga yang tinggi untuk komoditi CPO di pasar internasional akan

menyebabkan produsen meningkatkan penjualannya. Pemasaran keluar

negeri dapat dilakukan melalui pasar berjangka, seperti yang dilakukan

oleh PT Lonsum, selama tahun 2005-2006 melakukan penjualan CPO

melalui pasar berjangka. Penjualan CPO hasil PT Lonsum ke pasar dunia

relatif stabil karena mekanisme penjualan yang digunakan adalah sisitem

penjualan berjangka atau kontrak 6 bulan kedepan, oleh karena itu

meskipun harga dunia melemah, harga penjualan CPO PT Lonsum stabil.

Peranan pemerintah dalam menetapkan harga dalam negeri sangat

mempengaruhi akan besaran keuntungan yang akan diperoleh para

pengusahaan kelapa sawit. Untuk mengatasi lonjakan harga luar negeri

yang sering berfluktuasi karena CPO sebagai salah satu minyak nabati

yang banyak digunakan sebagai bahan baku biodiesel, pemerintah

menetapkan harga dan menetapkan pajak ekspor. Kebijakan ini

merupakan salah satu regulasi pemerintah agar pasokan kebutuhan CPO

dalam negeri tercukupi. Melalui kebijakan DMO (Domestic Market

Obligation) pemerintah menginstruksikan kepada para pengusaha kelapa


sawit agar kebutuhan CPO dalam negeri tercukupi lebih dahulu. Dengan

harga yang tergolong tinggi dipasaran internasional banyak pengusaha

yang lebih tertarik menjual CPO keluar negeri.

3. Strategi Promosi

Akses Informasi pasar kelapa sawit sangat penting bagi pengetahuan

konsumen industri pengolah kelapa sawit. Melalui promosi yang

dilakukan oleh produsen, informasi komoditas yang ditawarkan dapat

dikenal oleh para konsumen dalam maupun luar negeri. Berbagai macam

informasi melalui promosi dapat diperoleh melaui berbagai media antara

lain iklan surat kabar, iklan elektronik (internet, televisi), seminar dan

pameran.

Adanya berbagai isu negatif mengenai industri CPO dalam negeri

mempengaruhi penjualan CPO keluar negeri. Kurangnya informasi dan

promosi di luar negeri sehingga menyebabkan banyak kritik dari LSM di

Eropa menyangkut konversi hutan menjadi lahan perkebunan sehingga

berdampak pada climate change dan banyaknya flora serta fauna yang

dikorbankan untuk tujuan pembangunan lahan perkebunan kelapa sawit.

Mengatasi isu yang muncul pemerintah melakukan upaya yaitu

mengirimkan delegasinya yang terdiri dari unsur pemerintah dan

pengusaha kelapa sawit (Dewan Minyak Sawit Indonesia). Berbeda

dengan Malaysia, mengenai isu negatif yang beredar pemerintah negara

ini sudah membentuk suatu organisasi yang mengurusi promosi yang

dibiayai oleh para pengusaha eksportir kelapa sawit yaitu Malaysia Palm

Oil Board.
4. Strategi Distribusi

Pemasaran CPO di dalam dan ke luar negeri belum mempunyai batasan

atau kuota. Setiap produsen CPO yang mampu menghasilkan CPO dan

mempunyai jaringan kerjasama dengan para distributor melakukan

ekspor, kerena permintaan minyak nabati di pasar internasional yang

tinggi. Besarnya ekspor CPO akan mempengaruhi ketersediaan CPO di

dalam negeri. Perusahaan besar yang mempunyai kebun dan pabrik

pengolahan sendiri mendistribusikan hasil produknya didalam maupun ke

luar negeri sudah mempunyai kantor pemasaran, sehingga saluran

tataniaganya efektif dibandingkan dengan perusahaan yang tidak

mempunyai kantor pemasaran dan hanya mengandalkan distributor

sehingga memperpanjang saluran tataniaga yang berakibat berkurangnya

margin keuntungan yang diperoleh perusahaan tanpa kantor pemasaran.

Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No 339/Kpts/PD.300/5/2007

mengenai pasokan CPO untuk kebutuhan dalam negeri guna stabilisasi

harga minyak goreng. Dengan keputusan ini, pengusaha yang tergabung

dalam organisasi Gapki dan Non Gapki wajib menyalurkan CPO kepada

kepada Asosiasi Minyak Nabati Indonesia untuk diolah menjadi minyak

goreng. Dengan adanya keputusan ini, pemerintah mewajibkan

penyaluran distribusi CPO pada bulan Mei 2007 sebesar 97.525 dan pada

bulan Juni 2007 sebesar 102.800 agar mampu menstabilkan harga

minyak goreng didalam negeri.


6.3.5 Peran Pemerintah

Kebijakan pemerintah mengembangkan bahan bakar nabati (BBN)

sebagai altenatif bahan bakar minyak (BBM) memberi peluang besar bagi industri

kelapa sawit untuk lebih berkembang. Sesuai dengan target pemerintah, pada

2010 mendatang sekitar 10 persen dari kebutuhan bahan bakar dalam negeri akan

disuplai dengan BBN, dimana tujuh persen diantara berbasis minyak sawit atau

dikenal sebagai biodiesel. Untuk itu diperlukan tambahan pasokan atau

peningkatan produksi kelapa sawit dalam jumlah besar. Dalam rangka mencapai

target proyek BBN, pemerintah antara lain akan mendorong investasi di sektor

sawit. Secara keseluruhan pemerintah telah mencadangkan 24,4 juta ha lahan

hingga 2010 mendatang. Rinciannya, peluasan lahan perkebunan lima juta hektar,

revitalisasi perkebunan kelapa sawit dua juta hektar, rehabilitasi lahan sembilan

juta hektar dan reformasi agraria delapan juta hektar.

Kebijakan pemerintah ini mendapat sambutan positif seperti terlihat dari

minat investor yang cukup besar untuk ikut serta dalam proyek pengembangan

BBN ini. Disamping itu, pemerintah juga telah memasukan industri kelapa sawit

ke dalam sektor prioritas bersama industri lainnya seperti tekstil, kehutanan,

sepatu, elektronika, kelautan, petrokimia. Hal ini tidak terlepas dari potensi dan

peran strategis yang bisa dicapai oleh sektor ini dalam pembangunan nasional.

Untuk menunjang pertumbuhan industri kelapa sawit pemerintah juga telah

mengeluarkan kebijakan antara lain menghapus pengenaan PPN (10 persen)

dalam pengolahan CPO dan masuk dalam industri yang mendapat fasilitas insentif

PPh (tax alowance) berdasarkan revisi Peraturan Pemerintah No. 148. Kebijakan

tersebut diharapkan akan dapat lebih memacu pertumbuhan sektor ini sehingga
peran dan kontribusinya dalam perekonomian nasional terus meningkat.

Pemerintah juga menyadari bahwa kebijakan tersebut bukan satu-satunya yang

dapat menjadi faktor stimulasi, tetapi masih banyak kebijakan yang harus terus

menerus dikembangkan seperti penyediaan lahan, kompetensi SDM dan lain-lain.

Dialog dan diskusi dengan para pemangku kepentingan perlu terus dilakukan

secara kontinyu.

Industri kelapa sawit mempunyai rantai bisnis yang cukup panjang dan

saling terkait. Mulai dari penyiapan lahan, pembibitan, supporting industri,

pengolahan di industri hulu sampai pada industri hilir. Kebijakan pengembangan

sektor ini benar-benar harus melalui koordinasi yang kuat antar instansi terkait

sehingga bisa mencapai hasil yang optimal bagi pembangunan ekonomi nasional.

Oleh karena itu sektor usaha ini, masih membutuhkan kebijakan yang lebih tajam

dan komprehensif untuk menghadapi kendala yang masih menghadang mulai dari

hulu (sektor perkebunan), manufaktur (pengolahan) dan perdagangan.

6.3.6 Peran Kesempatan

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini masih merupakan salah

satu usaha yang menjadi andalan sektor pertanian untuk berperan dalam

perekonomian nasional. Penyerapan tenaga kerja dan peluang invetasi yang

terbuka di Indonesia menyebabkan perkebunan kelapa sawit masih merupakan

primadona dari sektor pertanian. Devisa yang didapat dari ekspor minyak kelapa

sawit dan turunannya pada tahun 2007 mencapai US$ 4,8 miliar. Peluang

pengembangan kelapa sawit di tanah air masih terbuka karena didukung oleh
sumberdaya dan teknologi, disamping juga peluang untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat baik dalam negeri maupun ekspor9.

kebutuhan manusia akan produk-produk antara lain untuk minyak

makanan ,oleochemical dan biofuel yang belakangan ini cenderung semakin

meningkat. Dengan demikian pengembangan kelapa sawit perlu terus kita lakukan

pada daerah-daerah yang secara agro-ekonomis memungkinkan

pengembangannya. Walau prospek kelapa sawit saat ini sangat baik, tetapi

dihadapkan pada citra negatif dalam hal pengembangan, dimana dalam

pengembangannya tidak mengikuti kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup,

terlebih pemerintah Uni Eropa dan Amerika memberlakukan keberlanjutan biofuel

yang berpotensi dapat menghambat ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa.

9
Beritadotcom.blog.com Indonesia Produsen kelapa Sawit Terbesar tapi dikuasi Malaysia (Mentan
:Indonesia Produsen Kelapa Sawit Terbesar didunia). Diakses 5 maret 2008
VII STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI CPO INDONESIA DI
PASAR INTERNASIONAL

7.1 Perumusan Strategi Peningkatan Dayasaing Industri CPO Indonesia

Dalam menetapkan strategi dayasaing industri CPO digunakan alat

analisis SWOT dengan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman

dari industri CPO Indonesia. Poin dalam faktor-faktor tersebut diperoleh dari

analisis keunggulan kompetitif, struktur industri CPO di pasar internasional dan

komparatif yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah menganalisis keempat

faktor yang ada dibentuklah suatu matriks SWOT. Matriks tersebut mencoba

untuk mempertemukan keempat faktor yang ada untuk melahirkan strategi yang

saling mendukung.

Strategi S-O dirumuskan dengan menggunakan kekuatan dari industri

CPO nasional untuk memanfaatkan peluang yang ada, sedangkan strategi W-O

dirumuskan dengan meminimalkan kelemahan dari industri CPO nasional untuk

memanfaatkan peluang. Strategi S-T dirumuskan dengan menggunakan kekuatan

industri CPO nasional untuk mengatasi ancaman, sedangkan strategi W-T

dirumuskan dengan meminimalakan kelemahan dan menghindari ancaman dari

lingkungan eksternal.

Perumusan strategi yang ada dilakukan melalui pembentukan matriks

SWOT, dimana matriks ini meliputi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman

yang telah diidentifikasikan sebelumnya. Melalui matriks SWOT dapat

dirumuskan alternatif strategi yang dapat digunakan untuk pengembangan industri

CPO nasional yang berdayasaing tinggi dipasar internasional.


7.1.1 Faktor Eksternal
7.1.1.1 Peluang

1) Meningkatnya permintaan komoditi berbahan baku CPO dan turunannya


di pasar nasional dan internasional.

Perkembangan kebutuhan masyarakat lokal dan internasional akan bahan

bakar nabati akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah

penduduk dunia. Menurut Sumber Pusat Penelitian Kelapa Sawit dan

Ditjen Perkebunan besarnya produksi CPO akan meningkat dari tahun

2008 hingga tahun 2025. Pada tahun 2008 besarnya produksi CPO sebesar

17,8 juta ton dengan jumlah ekspor mencapai 13,08 juta ton, sedangkan

untuk konsumsi dalam negeri mencapai 4,22 juta ton.

Tabel 21 Ramalan Produksi, Ekspor dan Konsumsi Dalam Negeri Tahun


2008-2025 ( 000 Ton)
Tahun Produksi Ekspor Konsumsi
D.Negeri
2008 17.800 13.088 4.227
2009 19.100 13.507 4.502
2010 20.400 14.048 4.795
2015 24.800 17.257 6.570
2020 27.400 18.498 8.028
2025 30.200 18.684 8.109
Sumber : Direkorat Perkebunan dan PPKS, 2007

2) Perundang-undangan serta peraturan untuk CPO baik skala nasional dan


internasional.
Dengan diberlakukannya peraturan yang bertaraf nasional (SNI) sehingga

produk CPO mempunyai kualitas dan standar yang baik. Konsumen atau

industri hilir khususnya dari luar negeri pengguna komoditi CPO selain

memperhatikan standar nasional juga memperhatikan persyaratan RSPO

(Roundtable on Sustainable Palm Oil) yaitu sistem perkebunan kelapa


sawit yang berkelanjutan. Dengan adanya aturan ini menyebabkan semua

produsen CPO akan berusaha melaksanakan dengan baik peraturan ini dan

merupakan peluang bagi produsen negara Indonesia agar mampu

memanfaatkan kondisi ini.

3) Perkembangan harga CPO yang cenderung meningkat dan peningkatan


konsumsi produk berbahan baku CPO.

Harga CPO yang cenderung meningkat di pasaran internasional

menyebabkan banyaknya ekspor produsen keluar negeri. Naiknya harga

CPO didorong oleh kebutuhan industri akan komoditi ini semakin

meningkat sedangkan produksi komoditi subtitusi kelapa sawit seperti

kedelai dan bunga matahari terbatas akibat adanya bencana alam.

Tingginya permintaan CPO untuk diolah lebih lanjut menjadi produk hilir

salah satunya produk minyak goreng akan semakin meningkatkan

permintaan CPO di pasar nasional dan internasional. Hal ini mejadi

peluang bagi produsen CPO dan produsen hilir CPO.

4) Perkembangan teknologi produksi dan informasi.

Pemanfaatan teknologi dan informasi untuk pengembangan CPO sangat

penting guna meningkatkan dayasaing. Teknologi menghasilkan produksi

CPO dengan ketersediaan alat pengolahan TBS (tandan Buah Sawit) yang

semakin meningkat dimana pabrik pengolahan TBS yang dapat mengolah

30-40 TBS/jam dapat ditingkatkan menjadi 60 TBS/jam.


Arus informasi melalui media sarana elektronik dan media cetak akan

membantu para produsen mengetahui perkembangan kegiatan dan keadaan

perkelapasawitan nasional dan internasional.

5) Ketertarikan investor dalam dan luar negeri terhadap industri CPO.

Peluang pengembangan CPO di Indonesia masih terbuka lebar karena

masih tersedianya lahan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Masih

banyaknya lahan yang luas sehingga akan menarik para investor

menanamkan modalnya untuk memperoleh keuntungan, selain itu

ketertarikan investor juga dikarenakan untuk memasok kebutuhan pabrik

yang dimilikinya dengan bahan baku CPO.

7.1.1.2 Ancaman

1) Stabilitas politik, keamanan, dan pemerintahan nasional dan kebijakan


pemerintah.

Kondisi keamanan negara dan politik yang kondusif akan mempengaruhi

minat investor menanamkan modalnya didalam negeri. Kurang pastinya

keamanan dan politik nasional, menyebabkan konflik sosial di masyarakat

masih terjadi. Selain itu kebijkan pemerintah yang tidak berpihak kepada

investor dengan dikeluarkanya kebijakan pemerintah akan menyebabkan

ancaman bagi keberlanjutan investasi perkebunan kelapa sawit.

2) Tingkat inflasi dan suku bunga yang berlaku.

Naiknya harga barang dan pangan dunia saat ini diakibatkan oleh inflasi

yang tinggi sehingga menyebabkan daya beli masyarakat akan menurun.

Besarnya inflasi dalam negeri dan luar negeri akan mempengaruhi jumlah
konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan CPO sebagai bahan baku

minyak goreng yang berdampak terhadap penurunan permintaan.

Selain itu dampak yang ditimbulkan oleh suku bunga yang tinggi akan

mempengaruhi masuknya investasi kedalam negeri, karena apabila suku

bunga yang tinggi akan mempengaruhi besarnya peminjaman modal oleh

investor kepada bank.

3) Perkembangan bisnis berbahan baku non kelapa sawit.

Banyaknya energi alternatif yang dikembangkan saat ini merupakan

dampak dari kemajuan teknologi dan informasi. Salah satu produk

berbahan baku selain CPO untuk sumber energi adalah jagung, ubi yang

digunakan sebagai bioetanol. Dengan banyaknya energi alternatif akan

menyebabkan konsumen akan mencari produk yang berkualitas baik dan

ramah lingkungan. Hal ini merupakan ancaman bagi keberlangsungan

perkebunan kelapa sawit apabila tidak mampu meningkatkan

dayasaingnya.

4) Penerapan pajak ekspor.

Pemerintah mempunyai peranan untuk mencukupi kebutuhan rakyat untuk

kehidupannya. Penyediaan kebutuhan makanan yang murah serta

terjangkau oleh semua lapisan masyarakat adalah tuntutan masyarakat.

Salah satu kebutuhan masyarakat untuk sembilan bahan pokok adalah

minyak goreng. Minyak goreng merupakan produk turunan dari CPO yang

telah diolah lebih lanjut. Mahalnya harga CPO akibat dari kurs dollar yang

tinggi serta kebutuhan dunia internasional akan minyak nabati yang besar

sehingga menyebabkan banyak produsen mengekspor CPO keluar negeri.


Untuk mengatasi permasalahan ini pemerintah dengan kekuasaan yang

dimikinya menerapkan pajak ekspor sebesar 6,5 persen, sehingga

membuat keuntungan dan penerimaan produsen CPO menurun.

5) Biaya pupuk dan pestisida yang tinggi.

Perkembangan harga input perkebunan kelapa sawit seperti pupuk dan

pestisida yang tinggi akibat saluran distribusi yang tidak merata dan

dicabutnya subsidi kepada perkebunan kelapa sawit menyebabkan

ancaman terhadap perkebunan kelapa sawit. Tingginya harga input akan

memberatkan para pengusahaan kelapa sawit karena akan menambah

biaya dan mengurangi penerimaan.

6) Persaingan dengan Negara Malaysia.

Negara Malaysia merupakan negara pesaing untuk ekspor komoditi CPO

di pasar internasional. Banyaknya ekspansi perusahaan-perusahaan dari

Malaysia untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Indonesia

akan menyebabkan mengalirnya minyak CPO Indonesia ke Negara

Malaysia untk diolah lebih lanjut. Semakin banyaknya CPO yang mengalir

ke Malaysia maka akan menguntungkan Malaysia karena CPO akan diolah

menjadi produk yang mempunyai nilai tambah

7) Isu terselubung (black campaign) terhadap produk CPO Indonesia akibat


dari pembukaan lahan yang menyebabkan global warming.

Kebutuhan industri akan minyak nabati sebagai bahan pangan dan non

pangan akan semakin meningkat. Pertumbuhan konsumsi CPO di pasar

internasional yang tinggi menyebabkan Indonesia akan memenuhi

permintaan pasar dengan menambah luasan penanaman perkebunan.


Perluasan perkebunan mendapat reaksi keras dari Negara di Eropa karena

dapat merusak keanekaragaman hayati dan menyebabkan pemanasan

gobal.

7.1.2 Faktor Internal


7.1.2.1 Kekuatan

1) Dukungan sumber modal.

Peranan sumberdaya modal bagi keberlangsungan dan pengembangan

kelapa sawit sangat penting. Pemerintah memberikan bantuan kepada

petani plasma dalam bentuk bantuan kredit lunak dengan total bantuan 12

triliun dan pemberian subsidi bunga kredit. Untuk sektor swasta dukungan

dari modal asing merupakan sumber pendanaan perkebunannya.

2) Peranan asosiasi kelapa sawit.

Perkembangan informasi dan teknologi yang pesat dibutuhkan peranan

asosiasi yang mampu menyampaikan informasi kepada anggotanya.

Asosiasi yang menaungi masing-masing kepentingan dari stakeholders

sudah banyak terbentuk antara lain Gapki yang merupakan asosiasi bagi

para pengusaha dan untuk para petani adalah Asosiasi petani kelapa sawit

(Apsakindo).

3) Sumberdaya lahan luas.

Negara indonesia dengan lahan yang luas dan iklim yang mendukung

menyebabkan negara Indonesia merupakan salah satu tempat

perkembangan pengusahaan kelapa sawit. Potensi pengembangan kelapa

sawit di indonesia terdapat lebih dari 26,3 juta hektar yang mempunyai

potensi untuk perluasan penanaman kelapa sawit di 19 provinsi. Untuk


revitalisasi perkebunan kelapa sawit sampai tahun 2010 mencapai 2 juta

hektar, dan akan terus bertambah luasan perkebunan akibat kebutuhan

akan minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif.

Tabel 22 Distribusi Lahan Potensial untuk Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia.


No Provinsi Potensi Lahan Untuk Perluasan (Ha)
1 NAD 384.87
2 Sumatera Utara 344.740
3 Sumtera barat 355.810
4 Riau 2.563.150
5 Jambi 1.818,110
6 Sumatera Selatan 1.483.950
7 Bangka belitung 593.030
8 Bengkulu 208.790
9 Lampung 336.870
10 Jawa Barat 224.700
11 Banten 63.740
12 Kalimantan Barat 1.681.180
13 Kalimantan Tengah 3.610.810
14 Kalimantan Selatan 1.162.950
15 Kalimantan Timur 4.700.330
16 Sulawesi Tengah 256.230
17 Sulawesi Selatan 192.370
18 Sulawesi Tenggara 10.260
19 Irian jaya 6.331.120
Luas total 26.323.110
Sumber : Dirjen Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian, 2007

4) Produk yang berstandart nasional dan internasional.

Produksi CPO Indonesia secara nasional harus memenuhi standar nasional

indonesia atau SNI 01-2901-2006. Besarnya produk CPO yang berstandart

nasional dan internasional terlihat dari besarnya jumlah CPO Indonesia

yang diekspor keluar negeri.


5) Teknik pengembangan budidaya kelapa sawit.

Bibit kelapa sawit merupakan cikal bakal pohon sawit yang menghasilkan

minyak kelapa sawit. Saat ini terdapat tujuh produsen pembibitan yang

diakui untuk menghasilkan bibit berkualitas. Teknik budidaya yang

dikembangkan oleh produsen benih kelapa sawit yaitu dengan melakukan

perkawinan silang antara indukan-indukan unggul antara lain psifera,

delidura dan tenera.

6) Besarnya jumlah dan ketersediaan tenaga kerja perkebunan.

Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa

merupakan potensi tenaga kerja yang besar. Dengan besarnya jumlah

tenaga kerja dan diikuti oleh pembangunan sektor perkebunan dengan

perluasan dan peremajaan perkebunan sehingga membutuhkan tenaga

kerja yang besar.

7) Ketersediaan dan kemudahan akses informasi.

Pembangunan perkebunan sawit yang profesional harus didukung oleh

kemudahan akses informasi oleh konsumen yang berkepentingan.

Pembuatan situs resmi terkait perusahaan perkebunan kelapa sawit sangat

banyak dilakukan untuk mempermudah akses konsumen untuk

memperoleh informasi mengenai besarnya produksi perusahaan dan hal-

hal yang terkait mengenai perusahaan.

7.1.2.2 Kelemahan

1) Lokasi pabrik dan kebun yang berjauhan.

Perusahaan perkebunan rata-rata mempunyai lahan perkebunan yang luas,

begitu juga dengan perkebunan negara. Besarnya lahan membuat jarak


pabrik dengan kebun yang berjauhan sehingga menyebabkan dalam proses

pengantaran kelapa sawit ke pabrik pengolahan membutuhkan waktu yang

lama.

2) Tingkat upah yang masih rendah.

Produktivitas tenaga kerja mempengaruhi akan besarnya produksi.

Perkebunan kelapa sawit membutuhkan tenaga kerja yang besar untuk

mengelola lahan. Rata-rata gaji yang rendah diberikan oleh perusahaan

menyebabkan tenaga kerja mempunyai motivasi yang rendah sehingga

akan mempengaruhi produksi dan produkstivitas CPO.

3) Rendahnya pendidikan pelaku industri.

Implementasi teknologi akan semakin cepat apabila sumberdaya manusia

yang mempunyai pengetahuan dan pendidikan. Hambatan untuk

implementasi teknologi diakibatkan oleh pendidikan para palaku industri

yang masih rendah dengan tingkat pendidikan rata-rata SD sampai dengan

SMU.

4) Kurangnya promosi penjualan produk.

Besarnya produksi CPO Indonesia akibat dari pengaruh perluasan

penanaman yang semakin bertambah setiap tahunnya. Pengembangan

perluasan penanaman kelapa sawit yaitu pada lahan hutan yang bukan

hutan alam/cagar alam dan lahan tidur. Negara di Eropa menentang

pembukaan lahan karena akan mempengaruhi pemanasan global dan

banyaknya satwa yang mati. Kurangnya komunikasi dan promosi antar


negara produsen dan negara konsumen akan mempengaruhi permintaan

konsumen terhadap CPO Indonesia.

5) Sarana dan prasarana serta pabrik pengolahan yang masih kurang

Sarana dan prasarana pembangunan perkebunan kelapa sawit masih

kurang. Sarana dan prasarana yang masih kurang untuk mendukung

dayasaing CPO Indonesia adalah jalan yang belum permanen, listrik, serta

pelabuhan. Masih tidak meratanya pabrik pengolahan kelapa sawit

menyebabkan potensi produksi kelapa sawit belum teroptimlakan dengan

baik.
Gambar 11 Matriks Analisis SWOT Industri CPO Indonesia
Internal Kekuatan (Strengtht-S) Kelemahan
1. Sumberdaya lahan luas (Weaknesses-W)
2. Dukungan Sumber modal 1. Lokasi pabrik dan kebun
3. Peranan Asosiasi kelapa sawit sawit yang berjauhan
4. Produksi CPO yang berstandar 2. Tingkat upah tenaga kerja
nasional dan internasional pekerja industri kelapa sawit
5. Teknik pengembangan budidaya yang rendah
Eksternal kelapa sawit 3. Rendahnya pendidikan
6. Besarnya jumlah dan ketersediaan pelaku industri perkebunan
tenaga kerja perkebunan 4. Kurangnya promosi
7. Ketersediaan dan kemudahan penjualan produk CPO
akses informasi 5. Sarana dan prasarana serta
pabrik pengolahan yang
masih kurang

Peluang Strategi S-O Strategi W-O


(Oppurtunities-O)
1. Meningkatnya permintaan
1. Optimalisasi lahan 1. Pengembangan SDM
komoditi berbahan baku CPO
dan turunannya di pasar perkebunan untuk pelaku industri kelapa
nasional dan internasional peningkatan dayasaing sawit dengan pelatihan
2. Perundang-undangan serta CPO di pasae nasional (W3,O2,O4)
peraturan untuk CPO baik dan internasional 2. Pembangunan sarana dan
skala nasional dan (S1,S2,S4,S5,S6,O1,O5) prasarana perkebunan
internasional 2. Pengembangan sistem (W1, W5,O5)
3. Perkembangan harga CPO pemasaran produk
yang cenderung meningkat dan 3. Pemberian insentif kepada
industri CPO pekerja perkebunan
peningkatan konsumsi produk
berbahan baku CPO (S3,S7,O1,O4,O5) (W2,O2)
4. Perkembangan teknologi 3. Pengembangan industri 4. Peningkatan kegiatan
produksi dan informasi hulu dan hilir dan penyuluhan (W3,O4)
5. Ketertarikan investor dalam peningkatan nilai tambah
dan luar negeri terhadap kelapa sawit (S2,O3,O5)
industri CPO

Ancaman (Threaths-T) Strategi S-T Strategi W-T


1. Stabilitas politik, keamanaan,
dan pemerintahan nasional dan 1. Melakukan hedging 1. Meningkatkan pola
kebijakan pemerintah terhadap produk CPO kerjasama dengan
2. Tingkat Inflasi dan suku bunga Indonesia produsen negara lain dan
yang berlaku (S4,T1,T2,T3,T6) pelanggan melalui
3. Perkembangan bisnis berbahan 2. Pengkajian ulang promosi penjualan
baku non kelapa sawit terhadap pajak ekspor (W4,T1)
4. Penerapan pajak ekspor
(S3,T5)
5. Biaya pupuk dan pestisida
yang tinggi 3. Pengembangan
6. Persaingan dengan Negara perkebunan rakyat melalui
Malaysia program revitalisasi
7. Isu terselubung (black perkebunan (S1,S2,S6,T3)
campaign) terhadap produk 4. Melakukan promosi
CPO Indonesia akibat dari sertifikat RSPO
pembukaan lahan yang (Roundtable on
menyebabkan global warming
Suistanable Palm Oil) dan
peningkatan kualitas para
produsen CPO (S4,T4,T7)
A. Strategi S O

1. Optimalisasi lahan kelapa sawit untuk menghasilkan CPO yang berkualitas

dengan cara mengembangkan program Best Management Practices melaui

panca usaha tani. Luas perkebunan kelapa sawit yang dapat

dikembangakan di Indonesia sebesar 18,2 juta hektar, sehingga perlu

kegiatan yang dapat meningkatkan optimalisasi lahan. Adapun kegiatan

panca usaha tani untuk meliputi ;

a. Penggunaan bahan tanaman kelapa sawit unggul yang memiliki

produktivitas tinggi, yaitu :

1) Benih dengan potensi produksi minyak tinggi disertai dengan

berbagai karakter sekunder yang dapat memenuhi kebutuhan

konsumen.

2) Klon tanpa abnormalitas yang produksi minyaknya melebihi

produksi minyak asal benih.

b. Pemberantasan hama khususnya pengendalian penyakit pangkal

batang yang disebabkan oleh Ganoderma melalui perakitan tanaman

kelapa sawit toleran terhadap serangan Ganoderma.

1) Melaksanakan teknik pengolahan lahan perkebunan yang baik

dengan menjaga kualitas lingkungan dengan cara perbaikan sifat

fisik, kimia dan biologi tanah menuju pengusahaan kelapa sawit

yang berkelanjutan.
2) Pengaturan irigasi.

3) Pemupukan yang teratur dan sesuai dosis secara kontinyu.

2. Pengembangan sistem pemasaran produk industri CPO yang

komprehensif dan terpadu sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar

industri dipasar internasional, melalui 4 faktor yaitu: Promotion, Product,

Place, dan Price.

3. Pengembangan industri hulu dan hilir serta peningkatan nilai tambah

kelapa sawit. Dengan strategi ini diharapkan ekspor negara Indonesia tidak

hanya didominasi oleh CPO akan tetapi dalam bentuk produk yang

mempunyai nilai tambah. Dengan pengembangan industri hilir selain

keuntungan yang diperoleh lebih besar, penciptaan lapangan kerja baru

merupakan manfaat lain dari pengembangan industri ini. Penerapan

strategi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu ;

a) Pendirian industri pabrik kelapa sawit terpadu dengan skala 5 10

ton TBS/jam diareal yang belum memiliki pabrik dan pendirian

pabrik minyak goreng sawit (MGS) skala kecil disentra produksi

CPO yang belum memiliki pabrik MGS.

b) Peningkatan kerjasama dibidang promosi, penelitian dan

pengembangan SDM dengan negara penghasil CPO lainnya.

c) Fasilitasi pengembangan biofuel sebagai bahan bakar alternatif

masa depan.
B. Strategi W O

1. Pengembangan SDM pelaku industri kelapa sawit. Masih rendahnya

kemampuan kualitas dan kuntitas SDM, khususnya pada sektor industri

hulu dan hilir kelapa sawit menyebabkan perlu dilakukan kegiatan yang

dapat meningkatkan kualitas/kualifikasi SDM dari berbagai tingkatan.

Kegiatan ini meliputi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dari

berbagai disiplin ilmu, teknologi dan praktek industri.

a) Peningkatan keterampilan petani, dilakukan berbagai kegiatan

pelatihan, studi banding, magang, kunjungan kelapangan dan

berbagai kegiatan lainnya.

b) Peningkatan kemampuan karyawan perusahaan. Bersama dengan

berbagai pemangku kepentingan mengembangkan upaya untuk

memperoleh kemudahan dalam ketersediaan tenaga kerja sesuai

tingkat kebutuhan, rekruitmen karyawan dan berbagai pelatihan

penjenjangan.

2. Pembangunan sarana dan prasarana perkebunan, merupakan salah satu

langkah untuk mengatasi dari keterbatasan pengembangan perkebunan

kelapa sawit. Di Indonesia masih terkendala dengan terbatasnya jumlah

pabrik yang tidak merata di seluruh daerah pengembangan perkebunan,

sehingga investasi dari para investor dalam dan luar negeri sangat penting

dalam bentuk pembangunan pabrik, jembatan dan jalan. Pembangunan

pabrik pengolahan merupakan sarana penting bagi pengusahaan kelapa

sawit.
3. Pemberian insentif kepada pekerja, adalah salah satu cara meningkatkan

motivasi kerja dari karyawan. Rendahnya gaji yang diterima oleh para

pekerja berimplikasi terhadap produktivitas, pemberian insentif pada

karyawan yang berprestasi merupakan salah satu cara untuk memacu

motivasi karyawan bekerja lebih giat. Seiring dengan meningkatnya

kebutuhan karyawan maka perusahaan setiap tahun perlu mengkaji upah

karyawan dan lebih memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja

karyawan.

4. Peningkatan kegiatan penyuluhan. Kegiatan sosialisasi yang dilakukan

oleh para penyuluh perlu ditingkatkan untuk penyampaian teknologi dan

hasil penelitian kepada pekebun. Banyaknya kendala untuk mencapai

produksi dan produktivitas optimal maka peranan penyuluh sangat

penting, antara lain

a) Sosialisasi dan penerapan SNI mutu benih dan sistem pengendalian

benih untuk menghindari pemalsuan benih.

b) Sosialisasi dan mendorong pekebun untuk dapat menerapkan

prinsip dan kriteria Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)

kepada pekebun.

c) Pengembangan kesadaran dan kemampuan petani dalam

pengendalian Organisme Penggangu Tumbuhan (OPT) kelapa

sawit.

d) Pendampingan dan pengawalan implementasi teknologi dan

kelembagaan.

C. Strategi S T
1. Melakukan hedging terhadap produk CPO Indonesia, adalah salah strategi

untuk melindungi nilai produk CPO. Dengan hedging, produsen eksportir

CPO dapat melakukan kesepakatan harga penjualan produk untuk

beberapa waktu kedepan dengan konsumen internasional, sehingga harga

yang diterima oleh produsen tidak berpengaruh terhadap perubahan atau

gejolak. Hedging dilakukan pada bursa berjangka atau future market

dimana pengiriman produk dilakukan pada waktu akan datang.

2. Pengkajian ulang terhadap pajak ekspor. Pengenaan pajak ekspor yang

tinggi oleh pemerintah menyebabkan keuntungan yang diterima oleh

produsen menjadi berkurang, selain itu dengan pengenan pajak ekspor

dayasaing CPO Indonesia menjadi turun sehingga perlu pengkajian ulang

akan pajak ekspor dengan peranan dari asosiasi dan lembaga perkelapa

sawitan dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk meninjau

kembali pengenaan pajak yang memberatkan para eksportir CPO.

Domestic Market Obligation (DMO) merupakan salah satu kebijakan yang

dapat diaktifkan kembali oleh pemerintah, karena dengan kebijakan ini

kebutuhan CPO dalam negeri dapat terpenuhi. Pengenaan pajak ekspor

disebabkan para eksportir banyak mengekspor CPO sebagai bahan baku

minyak goreng, sehingga kebutuhan CPO dalam negeri tidak tercukupi

untuk industri hilir. Kebijakan DMO dapat terlaksana apabila pemerintah

serius dalam pengawasan penyaluran tataniaga, serta peranan dari

produsen CPO yang harus menyalurkan produksi CPO kepada industri

hilir.
3. Pengembangan perkebunan rakyat melalui program revitalisasi

perkebunan. Untuk memfasilitasi terwujudnya pengembangan usaha

perkebunan rakyat, baik untuk pengembangan perkebunan baru/perluasan

dan peremajaan, sehingga progaram kegiatan yamg ditempuh yaitu ;

a) Mendorong usaha perkebunan besar untuk melakukan kerjasama

dengan masyarakat sekitar/petani untuk pengembangan perkebunan

rakyat dalam wadah pola kemitraan.

b) Untuk mendukung pendanaan, disediakan sumber pembiayaan bagi

pembangunan kebun petani melalui revitalisasi perkebunan.

c) Untuk membantu petani sehari-hari dalam kegiatan pengembangan

usahataninya disediakan petugas pendamping.

4) Melakukan promosi sertifikat RSPO (Roundtable on Suistanable Palm

Oil) dan peningkatan kualitas CPO Indonesia.

Pengembangan perkebunan yang berkelanjutan akan mempengaruhi

besarnya kemampuan produksi yang kontinyuitas. Banyaknya isu negatif

terhadap perkebunan kelapa sawit Indonesia akan mempengaruhi

permintaan CPO di pasar internasional. Peranan asosiasi terhadap

peningkatan dayasaing CPO Indonesia dapat dilakukan dengan

memberikan seminar dan penyuluhan terhadap kriteria dan prinsip-prinsip

RSPO. Selain itu penyuluhan terhadap penggunaan bibit berkualitas akan

meningkatkan kualitas produksi CPO Indonesia.


D. Strategi W T

Meningkatkan pola kerjasama dengan pelanggan melalui promosi

penjualan. Hubungan yang terjalin dengan baik dengan para konsumen

industri CPO dapat dilakukan dengan mempermudah akses informasi dan

memberikan pelayanan lebih. Promosi penjualan dapat dilakukan dengan

mengadakan pameran dan seminar yang bertaraf internasional di negara -

negara konsumen CPO.

Kerjasama Dewan minyak minyak sawit yang mewakili pemerintah

Indonesia serta Malaysia Palm Oil Board yang mewakili negara Malaysia

serta negara-negara produsen CPO agar lebih ditingkatkan untuk

menghadapi isu negatif dari LSM lingkungan dan dunia internasional

dengan membangun komunikasi yang kontinyu. Peningkatan kerjasama

bilateral antara Malaysia dan Indonesia melalui kampanye green product

atau countering negative campaign on palm oil di negara tujuan ekspor

minyak sawit kedua negara Uni Eropa dan Amerika. Dengan adanya

kegiatan ini untuk membangun citra positif terhadap perkebunan kelapa

sawit, bahwa disamping memberi manfaat ekonomi melalui penyediaan

sumber pendapatan, sumber devisa dan penyediaan lapangan pekerjaan di

pedesaan, juga memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan.


Tabel 23 Program Kegiatan Peningkatan Dayasaing CPO Indonesia
No Kegiatan Program Prasarana
1 Optimalisasi Lahan 1. Program Revitalisasi Dewan Minyak Sawit
Perkebunan Perkebunan (DMSI),LSM,
2. Program Perusahaan Perkebunan
Penyuluhahan Negara dan Perkebunan
Pertanian Swasta
3. Program pembuatan
Mapping dan Zoning
perkebunan Kelapa
Sawit

2 Pengembangan Sistem Program Workshop, Gapki dan DMSI


Pemasaran Produk Industri Seminar
CPO
3 Pengembangan industri hulu Program Riset Unggulan MAKSI (Masyarakat
dan hilir dan peningkatan Strategis Nasional Kelapa Sawit Indonesia)
nilai tambah kelapa sawit (RUSNAS)
4 Pengembangan SDM pelaku Program Pendidikan , Gapki, DMSI, Apsakindo
industri kelapa sawit dengan Pelatihan dan Magang (Asosiasi Petani Kelapa
pelatihan sawit)
5 Pembangunan sarana dan Program Fasilitasi Seluruh Stakeholders
prasarana perkebunan Infrastruktur perkebunan di Indonesia
6 Pemberian insentif kepada Program Insentif Perkebunan Swasta,
pekerja perkebunan Negara dan rakyat
7 Peningkatan kegiatan Program Pendampingan Departemen Pertanian,
penyuluhan Petugas penyuluh dan Gapki
Implementasi Teknologi

8 Melakukan hedging terhadap Program Penjualan secara Gapki


produk CPO Indonesia kontrak
9 Pengkajian ulang terhadap Pertemuan dan Rapat DMSI, Gapki, Apsakindo
pajak ekspor
10 Pengembangan perkebunan Program Kemitraan Dewan Minyak Sawit
rakyat melalui program (DMSI), Perusahaan
revitalisasi perkebunan Swasta, Negara.
11 Meningkatkan pola kerjasama Program Kampanye Green Dewan Minyak Sawit
dengan produsen negara lain Product atau Countering (DMSI) dan Malaysia
dan pelanggan melalui negative Campaign On Palm Oil On Board
promosi penjualan Palm Oil
12 Melakukan promosi sertifikat Program sosialisasi dan Dewan Minyak Sawit,
RSPO (Roundtable on penyuluhan serta seminar Gapki, Apsakindo, dan
Suistanable Palm Oil) dan mengenai pentingnya Perusahaan Kelapa Sawit.
peningkatan kualitas CPO pengelolaan perkebunan
Indonesia yang berkelanjutan

7.2 Program Peningkatan Dayasaing CPO


1) Program Revitalisasi Perkebunan

Program pemerintah untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit

melalui Revitalisasi yaitu peremajaan dan perluasan perkebunan. Dengan

program revitalisasi perkebunan yang sudah berjalan dari tahun 2006 akan

membantu program pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat.

Sehingga perlunya prasarana atau pelaksana kegiatan revitalisasi ini yaitu

Dewan Minyak Sawit yang mewakili pihak pemerintah serta Gapki

sebagai kesatuan organisasi pengusaha perkebunan kelapa sawit.

2) Program Penyuluhan Pertanian

Program penyuluhan pertanian kepada petani perlu kembali di tingkatkan.

Rendahnya pengetahuan petani terhadap teknologi dan informasi sangat

penting guna peningkatan kualitas produksi CPO. Program penyuluhan ini

dapat dilakukan oleh asosiasi Gapki, pemerintah dan Lembaga Swadaya

yang di perbantukan oleh pemerintah.

3) Program pembuatan Mapping dan Zoning perkebunan Kelapa Sawit

Program Mapping dan Zoning perkebunan adalah bentuk kegiatan

pemetaan daerah pengembangan kelapa sawit yang potensial untuk

dikembangkan. Dengan Program ini di harapkan potensi perkebunan

kelapa sawit dapat di optimalkan dengan baik. Adapun yang memprakarsai

kegiatan ini adalah Dewan Minyak Sawit sebagai koordinator sedangkan

untuk lapanagan di prasaranai oleh perusahaan-perusahaan perkebunan

kelapa sawit.
4) Program Workshop dan Seminar

Kegiatan workshop dan seminar yang secara kontinyu merupakan salah

satu cara untuk memasarkan komoditi CPO Indonesia di dalam maupun di

luar negeri dengan sarana kegiatan ini adalah Dewan Minyak Sawit dan

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit.

5) Program Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS)

Program RUSNAS merupakan salah satu cara untuk mendukung integrasi

industri hulu dan hilir. Kegiatan RUSNAS ini di koordinator oleh MAKSI

(Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia) sebagai peneliti untuk

pengembangan kelapa sawit dari industri hulu maupun dari hilir.

6) Program Pendidikan , Pelatihan dan Magang

Rendahnya pendidikan petani dan para pekerja di perkebunan merupakan

salah satu hambatan untuk transfer teknologi. Kegiatan Pelatihan dan

Magang yang dilakukan pada LPP (Lembaga Pusat Pelatihan) serta dari

pusat pelatihan terpadu yang berada di PPKS (Pusat Penelitian Kelapa

Sawit). Kegiatan pelatihan ini di prakarsai oleh keseluruhan stakeholders

7) Program Fasilitasi Infrastruktur

Pembangunan sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit sangat

penting. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang seperti jalan,

jembatan dan pabrik pengolahan di perlukan guna mempermudah akses

kepada perkebunan. Pembagunan infrastruktur perkebunan dapat

dilakukan apabila uang hasil penerimaan pajak ekspor di kembalikan

kepada para pengusaha dalam bentuk pembangunan infrastruktur.


8) Program Insentif

Rendahnya pendidikan para pekerja pekebun sehingga menyebabkan

untuk pengetahuan dan informasi yang rendah. Pendidikan yang rendah

akan mempengaruhi dari posisi ataupun jabatan sehingga pendapatannya

juga berdasarkan posisinya. Para pekerja buruh yang rata-rata pendidikan

sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas. Rendahnya

pendapatan akan mempengaruhi dari produktivitas kelapa sawit, sehingga

perlunya pemberian insentif guna membantu meningkatkan motivasi.

9) Program Pendampingan Petugas penyuluh dan Implementasi Teknologi

Program pendampingan penyuluh dengan merupakan upaya untuk

mentransfer pengetahuan dari para penyuluh kepada petani sehingga

peranan dari Gapki dan Dewan Minyak Sawit sangat penting guna

implementasi teknologi kepada petani.

10) Program Penjualan Secara Kontrak

Penjualan produk CPO keluar negeri diperlukan suatu perjanjian yang

mengikat antara pembeli dan penjual. Untuk mengatasi permaslahan

ketidakpastian harga akibat dari kenaikan faktor-faktor tertentu dapat

dilakukan kontrak penjulan atau melakukan hedging (lindungan nilai)

dengan prasarana Gapki.

11) Pertemuan dan Rapat

Peningkatan pajak ekspor yang dibebankan kepada eksportir akan

menyebabkan berkurangnya pendapatan para eksportir. Dampak yang

ditimbulkan dengan adanya pajak ekspor adalah dayasaing CPO Indonesia


yang rendah, sehingga perlu pengkajian lebih mendalam mengenai pajak

eksport ini.

12) Program Kemitraan

Program kemitraan merupakan cara untuk membatu mensejahterakan

masyarakat dengan cara mengajak masyarakat bekerjasama untuk

membangun perkebunan kelapa sawit. Program ini diprakarsai oleh

pemerintah dan perusahaan-perusahan swasta yang ditunjuk oleh

pemerintah sebagai inti perusahaan.

13) Program Kampanye Green Product atau Countering negative Campaign

On Palm Oil.

Banyaknya isu negatif terhadap komoditi kelapa sawit di pasar

internasional akan menyebabkan turunnya pendapatan para eksportir.

Untuk mengatasi hal ini negara-negara eksportir CPO harus bekerjasama

dengan melakukan kampanya green product terhadap komoditi CPO.

Kerjasama kontinyuitas antara DMSI dan Malaysia Palm Oil Board untuk

meyakinkan kepada negara-negara di Eropa bahwasanya pengembangan

kelapa sawit secara lestari harus terus di sampaikan kepada negara-negara

lain yang beranggapan negative terhadap kelapa sawit.

14) Program Sosialisasi dan Penyuluhan Serta Seminar Mengenai Pentingnya

Pengelolaan Perkebunan Yang Berkelanjutan.

RSPO merupakan pedoman untuk menghasilkan kelapa sawit yang baik.

Pentingnya sosialisasi antara selutuh stakeholders guna meningkatkan

perkebunan kelapa sawit yang lestari dan berkelanjutan.


VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan

Dari hasil analisis yang telah dilakukan mengenai analisis dayasaing industri CPO

Indonesia di pasar internasional, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :

1. Struktur industri CPO di pasar internasional mengarah ke struktur pasar

oligopoli ketat. Kondisi pasar ini ditunjukan dengan rata-rata nilai

Herifindhal Index sebesar 0,50 dari tahun 1993 2006 dan total nilai CR4

sebesar 94 persen, yang merujuk kepada empat eksportir terbesar yaitu

Negara Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, dan Costarica merupakan

pengekspor CPO terbesar di pasar internasional. Dari empat produsen

tersebut, Negara Malaysia dan Indonesia merupakan negara produsen

terbesar CPO karena besarnya konsentrasi CPO berada pada kedua negara

tersebut .

2. Industri CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Hal ini

ditunjukan melalui perhitungan nilai Revealed Comparative Advantage

(RCA) yang lebih dari satu. Pada tahun 2006, nilai RCA Indonesia sebesar

45. Angka ini menunjukan adanya keunggulan dayasaing komparatif

komoditi CPO Indonesia di pasar internasional. Rata-rata nilai RCA yang

terbesar dari tahun 1993-2006 adalah Negara Papua Nugini dengan nilai

RCA sebesar 68, sedangkan Malaysia menempati urutan kedua dengan


nilai sebesar 42. Untuk Indonesia menempati urutan ketiga yang memiliki

keungulan komparatif paling tinggi dengan niai RCA sebesar 29.

3. Industri CPO mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat dilihat dari

beberapa faktor pendukung kondisi faktor sumberdaya yang secara

keseluruhan mendukung industri ini yang ditunjukkan melalui tersedianya

tenaga kerja yang banyak, lahan potensial yang bisa dikembangkan

sebesar 26,3 juta hektar dan peranan sumberdaya IPTEK yang mendukung

melaui peranan dari asosiasi dan media. Faktor penghambat dari

peningkatan dayasaing CPO adalah masih rendahnya pendidikan pekebun

yang menyebabkan lambatnya penyerapan teknologi, selain itu sarana dan

prasarana pendukung yang belum merata di beberapa daerah di Indonesia

seperti pembangunan jalan permanen dan pabrik pengolahan CPO.

4. Strategi untuk meningkatkan dayasaing CPO Indonesia di pasar

internasional adalah meningkatkan optimalisasi lahan dengan

menggunakan panca usaha tani terutama penggunaan bibit yang bermutu

dan tahan penyakit. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang industri

CPO harus ditingkatkan untuk mendukung keunggulan kompetitf industri

CPO, strategi promosi industri CPO dipasar internasioanal dengan

mengadakan seminar dan kampanye perkebunan kelapa sawit yang lestari

dan berkelanjutan akan menarik minat investor untuk melakukan

pengembangan investasi pembangunan perkebunan kelapa sawit di

Indonesia.
8.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil analisis dayasaing industri CPO

Indonesia dipasar internasional yaitu :

1. peningkatan ekspor bahan baku kelapa sawit bukan hanya dalam bentuk

CPO akan tetapi dalam bentuk olahan lebih lanjut seperti minyak goreng

dan oleokimia.

2. Keunggulan komparatif CPO Indonesia akan tetapi masih kalah bersaing

dengan negara Malaysia dan Papua Nugini. Oleh karena itu perlu

ditingkatkan nilai ekspor CPO dan turunan CPO sehingga dapat

memperbesar kontribusi terhadap penerimaan devisa negara. Kebijakan

pemerintah untuk penerapan pajak ekspor perlu ditinjau kembali karena

akan mengurangi keuntungan produsen.

3. Peningkatan keunggulan kompetitif industri CPO nasional dengan cara

pendampingan penyuluh untuk memberikan sosialisai penggunaan bibit

unggul dan penggunaan teknologi terkait peningkatan produktivitas kebun

kelapa sawit dengan dukungan dari asosiasi dan lembaga penelitian

terhadap peningkatan dayasaing kelapa sawit Indonesia. Perkebunan

kelapa sawit juga harus didukung dengan sarana dan prasarana untuk

meningkatkan kualitas dan kuantitas industri CPO Indonesia yang

berkelanjutan.
4. Diperlukan pengkajian lebih lanjut untuk dayasaing CPO Indonesia

akibat dampak kebijakan pemerintah (pajak ekspor terhadap penerimaan

petani kelapa sawit.


DAFTAR PUSTAKA

Amang, B. 1996. Ekonomi Minyak Goreng di Indonesia. IPB Press

Anonim. 2006. Potensi dan Peluang Investasi Industri Kelapa Sawit Indonesia.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Anonim.2008. United Nations Statistics Division-comodity Trade Statistics


Database (COMTREADE). Http://comtrade.un.org

Armansyah, Dicky. 2005. Strategi Pengembangan Bisnis Minyak Kelapa Sawit


(CPO) Pada PT. Socfindo, Sumatera Utara). Program Studi Manajemen
Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Astuty, Ernany. 2000. Kajian Daya Saing Komoditi Ekspor Komoditas Pertanian.
Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.Jakarta.

Birowo. 1984. Masalah Struktural dalam Sistem Perkebunan ,Dalam


Perkebunan Indonesia di Masa Depan. Yayasan Agro Ekonomi. Jakarta

Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. 2008. Statistik


Perkebunan Indonesia. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Roadmap Kelapa Sawit. Departemen


Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.

Fauzi, at all. 2002. Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta.

Firmanzah.2002. Double Diamond Porter dan Inovasi Strategi Perusahaan.


www. Lmfeui.com/uploads/file27xxx1-juli-2002PDF.

Geo, Bayu. 2007. Dayasaing Komoditas Nenas dan Pisang Indonesia Di Pasar
Internasional. Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hariyadi, Purwiyanto. 2007. Rencana Induk Kegiatan Riset Ungulan Strategis


Nasional Pengembangan Industri Kelapa Sawit. Maksi
Hole, Yolanda. 2000. Partisipasi Petani Dalam Kegiatan Perusahaan Inti Rakyat
(PIR) Kelapa Sawit di Manokwari Irian Jaya. Program Studi
Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor

Kartodirjo,S dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia. Aditya


Media. Yogyakarta.

Kristina. 2006. Dayasaing Teh Hitam Indonesia di Pasar Internasional. Program


Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor

Lipsey, RG, et al. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid 1. Binarupa Aksara.


Jakarta.

Mangoensoehardjo,S dan Semangun. 2003. Manajemen Agribisnis Kelapa Sawit


Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Mangoensoehardjo,S dan Subagyo,T. 1991. Prosedling :seminar Nilai tambah


Minyak kelapa Sawit Untuk Peningkatan Derajat Kesehatan. Asosiasi
penelitian dan pengembangan perkebunan Indonesia. Jakarta.

Meryana, Ester. 2007. Analisis Dayasaing Kopi Robusta Indonesia Di Pasar


Internasional. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Novianti, Tanti. 1995. Analisis Keunggulan Komparatif dan Komparatif


Pengusahaan Kokon Sebagai Bahan Baku Sutera Alam dengan Analisis
Biaya Sumber Daya Domestik (BSD). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial
Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Pandapotan,G dan Naibaho. 1995. Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Pola


PIR LOK dan Pengaruhnya terhadap pengembangan wilayah. Warta
Pusat Penelitian Kelapa Sawit Volume 3 nomor 1 tahun 1995.

Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press. New
York.

Porter, Miichael. 1994. Keunggulan Bersaing. Binarupa Aksara. Jakarta


Purba, Berani. 2003. Kontribusi Perkebunan Terhadap Pembangunan
Perekonomian di Siak, Provinsi Riau. Program Studi Manajemen
Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rangkuti, Frddy. 1999. Analisa SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT


Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rosalita. 1996. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetif Pengusahaan


Minyak Sereh Wangi (Studi Kasus Perkebunan Cireundeu, PT
Djasulawangi, Kabupaten sukabumi). Program Studi Manajemen
Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi 1. Erlangga. Jakarta.

Saputra, Triono. 1996. Pengkajian Pengembangan Pola Kemitraan Agribisnis


Perkebunana. Laporan Penelitian APBN. Badan Peneitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.

Siregar, Fachnany. 2005. Strategi Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO di


Indonesia. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Soetrisno, L dan Retno Winahyu. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Kelapa Sawit.
Aditya Media. Yogyakarta.

Sudaryanto, Tahlim E dan Achmad. 1993. Perspektif Pengembangan Agribisnis di


Indonesia. Pusat Peneliian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Bogor. Bogor.

Suryana. 1983. Perdagangan Minyak Nabati Indonesia dan Prospeknya. Laporan


Penelitian. Pusat Penelitian Agronomi.

Yunita. 2007. Analisis Integrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO, Minyak
Goreng, dan TBS Domestik Serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan
Harga BBM Dunia. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yusran. 2006. Analisis Dayasaing Manggis Menguntungkan dan Efesien Secara


Finansial dan Ekonomi. Program Studi Manajemen Agribisnis.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN

Lampiran 1 Tabel Penyebaran Pabrik Kelapa sawit (PKS) Di Indonesia

Tahun 2006
No Kapasitas Produksi
Unit (TBS/Jam)Ton CPO
Provinsi
1 Nanggroe Aceh 14 410 387.450
2 Sumatera Utara 87 3,030 2,863,350
3 Sumatera barat 20 1,080 1.020,600
4 Riau 128 5,645 5.334,525
5 Kepulauan Riau - - -
6 Jambi 31 1,503 1.420,335
7 Sumtera Selatan 50 2,410 2.227,450
8 Bangka Belitung 3 225 212,625
9 Bengkulu 12 540 510,300
10 Lampung 4 125 118,125
Sumatera 349 14,968 14.094.760
11 Jawa Barat 1 30 28,350
12 Banten 1 60 56,700
Jawa 2 90 85.050
13 Kalimantan Barat 20 905 855,225
14 Kalimantan Tengah 24 1,245 1.176,525
15 Kalimantan Selatan 3 110 102,950
16 Kalimantan Timur 10 510 481,950
Kalimantan 57 2770 2.616.650
17 Sulawesi Tengah 3 90 85,050
18 Sulawesi Selatan 4 140 132,300
19 Sulawesi Barat 1 40 37,800
20 Sulawesi Tenggara - - -
Sulawesi 8 270 255.150
21 Papua 2 60 56,700
22 Papua Barat 2 110 103,950
Maluku dan Papua 4 170 160.650
Indonesia 420 18.268 17.263.260
Sumber : Departemen Pertanian, 2007
Lampiran 2 Tabel Luas Lahan Perkebunan Kelapa sawit Indonesia Tahun 2007
NO Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Jumlah Total
PROVINSI Produksi Produksi Produksi
Luas (Ha) (Ton) Luas (Ha) (Ton) Luas (Ha) (Ton) Luas (Ha) Produksi (Ton)
1 Nanggroe Aceh 92.297 122 54.054 149.1 165.38 498.382 311.730 769.000
2 Sumatera Utara 354.044 943.053 300.55 1156.136 316.009 1101.784 970.600 3.200.970
3 Sumatera barat 140.384 350.19 7.836 20.878 168.32 612.829 316.540 984.000
4 Riau 749.379 1779.329 89.803 335.548 709.79 2571.603 1.549.000 4.686.480
5 Kepulauan Riau 84 0 0 0 6.849 15.495 90.849 15.495
6 Jambi 274.277 599.949 33.455 104.351 266.862 593.278 574.590 1.297.580
7 Sumtera Selatan 288.211 735.98 45.69 149.724 296.333 730.539 630.230 1.616.000
8 Bangka Belitung 6.617 627 0 0 126.667 383.922 133.280 1.010.920
9 Bengkulu 100.86 202.782 3.145 11.264 61.266 159.769 165.270 374.000
10 Lampung 77.219 187.702 16.743 53.752 63.781 169.34 157.740 410.794
Sumatera 2167.288 4,921 551.28 1980.753 2181.26 6836.941 4.899.800 13.730.000
11 Jawa Barat 0 0 6.188 3.25 3.643 10.899 9.831 14.000
12 Banten 6.049 17.887 8.028 20.359 0 0 14.077 38.246
Jawa 6.049 17.887 14.216 23.609 3.643 10.899 23.908 52.395
13 Kalimantan Barat 187 350.171 44.21 134.886 261.325 565.393 492.21 1,050.000
14 Kalimantan Tengah 114 274.479 0 0 459.136 1109.123 573.36 1.383.600
15 Kalimantan Selatan 40.867 40.642 4.79 3.204 199.149 264.067 244.81 308.000
16 Kalimantan Timur 71.76 51.243 25.978 66.482 156.089 179.37 253.83 297.095
Kalimantan 413.527 716.535 74.978 204.572 1075.7 2117.953 1564.2 3.039.000
17 Sulawesi Tengah 0 0 6.187 15.604 36.18 119.609 42.367 135.213
18 Sulawesi Selatan 7.98 16.328 15.519 32.386 1.022 1.821 24.521 51.000
19 Sulawesi Barat 27.862 94.506 0 0 47.892 153.364 75.754 247.870
20 Sulawesi Tenggara 0 0 2.966 0 0 0 2.966 0
Sulawesi 35.842 110.834 24.672 47.99 85.094 274.794 145.61 433.618
21 Papua 9.818 15.759 12.079 24.179 7.939 7.932 29.836 48.000
22 Papua Barat 16.527 23.053 10.207 32.873 5 5.582 31.734 61.508
Maluku+Papua 26.345 38.812 22.26 57.052 12.939 13.514 61.544 109.000
Indonesia 2,622.71 5,805.13 687.4 2.313.976 3,358.63 9.254.101 6.611.195 17.373.202
Lampiran 3 Saluran Pemasaran Tandan Buah Segar (TBS) dan CPO dari Petani Ke PTPN

Unit Kebun Sendiri PTPN

TBS

Petani PIR TBS KUD Kelapa Sawit TBS Unit PKS PTPN

TBS CPO
Petani lepas/ Petani KPB (Kantor Pemasaran bersama)
Non PIR
CPO CPO

Agen LN Agen DN
(Broker/Wholeser) CPO (Broker/Wholesaler)

Processor
CPOLN CPODN
Processor
Lampiran 4 Proses Pengolahan CPO (Crude Palm Oil)
Peneriman TBS

Proses Sterilisasi

Mesin Bantingan

Tandan Kosong Buah Sawit

Proses Pendepresan

CPO Kotor Biji Sawit Serat

Proses Pemecah Biji


Penjernihan

Limbah Cair Limbah Cair HYDRO CYLONE


CPO Jernih

Pengolahan Pengolahan limbah


Limbah Palm Karnel Cangkang

Digunakan untuk Pembuangan sesuai


Digunakan untuk
pupuk tanaman ketenuan
Bahan Bakar Boiler
dilapangan pemerintah
172
Lampiran 5 Nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) Negara Eksportir CPO Tahun 1993 - 2006
Tahun Malaysia Indonesia Costarica Thailand Papua N
1993 50.00120001 17.568717 32.9303426 0 43.3788499
1994 50.86122131 18.2538024 22.42663579 0.13388323 #DIV/0!
1995 50.23185519 16.9031643 19.04884913 0.12158528 #DIV/0!
1996 44.2603531 17.8143038 17.07391696 0 #DIV/0!
1997 42.43028798 24.1081758 8.085813886 0.2811414 #DIV/0!
1998 49.24661525 19.0827198 9.219439279 0.27805991 40.1172769
1999 42.47140155 26.5072121 6.30965216 0.43242105 #DIV/0!
2000 38.70610358 27.627826 7.253577048 0.52410325 50.6296707
2001 40.39075245 29.2836594 5.126660942 0.91825817 60.1909007
2002 37.45089842 36.6372348 5.229271385 0.47510951 645.086641
2003 39.14507273 40.4993672 6.131587189 0.6767034 48.5439188
2004 36.76992676 46.5096156 7.647388989 0.63830725 68.1292108
2005 36.22506618 46.2917268 7.811179683 0.40029322 #DIV/0!
2006 33.1731286 45.9733842 7.487752921 0.32828022 #DIV/0!
Total 591.3638831 413.060909 161.782068 5.20814589 956.076469
Rata-rata 42.24027736 29.5043507 11.555862 0.37201042 68.2911763
Sumber : http://unstats.un.org/unsd/comtrade
Keterangan : #DIV/0! = Tidak tersedianya data
Lampiran 6 Keterlibatan Lembaga Pendukung Dalam Peningkatan Industri Hulu
Kelapa Sawit Indonesia.
No Nama Lembaga Jenis R&D dan Kegiatan

1 PPKS Medan 1. Beseline study tentang sikap, persepsi dan


pengetahuan pengguna terhadap bibit sawit dan
mekanisme pengadaanya.
2. Perbaikan kelembagaan, sertifikasi dan
kebijakan pengadaan kelapa sawit
3. Penetapan populasi dan analisis pautan genetic
berbagai sifat untuk pembuatan peta genomic
tanaman kelapa sawit
4. Perakitan tanaman kelapa sawit yang toleran
terhadap ganoderma

2 Agronomi IPB 1. Pemetaan genomic tanaman kelapas sawit


2. respons tanaman kelapa sawit terhadap
cekaman kekeringan
3. Seleksi tanaman kelapa sawit toleran terhadap
cekaman kekeringan

4 SEAMEO- 1. Respon tanaman kelapa sawit terhadap


BIOTROP cekaman kekeringan secara molekuler
2. Deteksi dini abnormalitas pada perbanyakan
tanaman dengan teknik kultur jaringa

5 Dept Biologi ITB 1. Pemetaan genomic tanaman kelapa sawit


2. Respon tanaman kelapa sawit terhadap
cekaman kekeringan secara molekuler
3. Seleksi tanaman kelapa sawit toleran terhadap
cekaman kekeringan

6 Dir.Perbenihan Dept 1. Bessline study tentang sikap, persepsi dan


Pertanian pengetahuan pengguna terhadap bibit sawit dan
mekanisme peredarannya
2. Perbaikan kelembagaan, sertifikasi dan
kebijakan pengadaan benih sawit

Anda mungkin juga menyukai