Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Osteonekrosis (ON) adalah proses kematian pada tulang yang juga

menyebabkan gangguan dari suplai pembuluh darah tulang. Selain dari kasus

idiopatik, penyebab dari osteonekrosis juga dapat berupa trauma (penyebab paling

sering) dan penyebab non traumatik (kondisi sistemik), seperti alkoholisme, terapi

steroid, penyakit hematologi, dan SLE. Terdapat dua tipe utama dari ON: infark

sumsum tulang yang melibatkan struktur trabekular dan rongga sumsum tulang

pada bagian metafisis (dalam kebanyakan kasus kurang menunjukan gejala

klinis); dan infark pada juxta-artikuler yang terletak pada tulang subkondral pada

sendi besar (kebanyakan simtomatis) (Zibis et al., 2015).

Terdapat 2 kategori dari ONFH, traumatik dan non-traumatik. ONFH

mengarah pada perjalanan dari manifestasi patologi dan klinis yang diakibatkan

oleh kerusakan atau gangguan dari suplai darah dari kaput femur yang

menyebabkan sel sumsum tulang dan osteosit mengalami nekrosis (Users, 2015).

Nontraumatik osteonekrosis (ON) dari kaput femur masih menimbulkan

tantangan yang signifikan terhadap ahli bedah orthopaedi dan merupakan penyakit

yang dapat menyebabkan kolaps kaput femur menyeluruh pada 80% pasien yang

tidak mendapatkan penanganan yang baik. Kondisi non-traumatik yang sering

dihubungkan dengan ON berjumlah banyak, beberapa diantaranya adalah

penggunaan kortikosteroid, penyalahgunaan alcohol, SLE, hemoglobinopati

1
2

termasuk anemia sel sabit, penyakit Legg-Calve Perthes, dan paparan terhadap

radiasi atau bahan sitotoksik (Seamon et al., 2012).

Harvey Cushing adalah orang pertama yang menemukan efek samping dari

hiperkortikolisme pada jaringan tulang pada tahun 1930. Semenjak itu banyak

laporan yang menghubungkan kortikosteroid dengan kematian tulang, hal tersebut

meningkatkan kesadaran kita terhadap kemungkinan terjadinya osteonekrosis

pada pasien yang diberikan kortikosteroid. Hubungan antara penggunaan

kortikosteroid dan osteonekrosis pertama kali dideskripsikan pada pasien dengan

transplantasi ginjal yang menjalani imunoablasi atau imunosupresi sebagai bagian

dari terapi (Powell et al., 2010).

Hubungan antara penggunaan kortikosteroid yang berlebihan dan timbulnya ON

telah dimengerti sejak laporan kasus pertama pada pasien rheumatoid artritis pada

tahun 1957. Insidensi ON meningkat secara paralel dengan peningkatan terapi

sistemik kortikosteroid begitu pula transplantasi organ. Glukokortikoid adalah

penyebab tersering dari nontraumatik osteonekrosis. Pasien yang menerima terapi

steroid memiliki kemungkinan 20 kali lebih besar terkena ON. Dosis efek dari

terapi kortikosteroid pada osteoneokrosis belum diketahui secara pasti, penelitian

terbaru menyarankan dosis kortikosteroid diatas 25-40 mg/hari dapat

menyebabkan risiko yang signifikan terhadap nontraumatik ON pada transplantasi

ginjal dan pasien dengan SLE (Seamon et al., 2012).

Steroid tidak hanya menghambat fungsi dari osteoblas dan osteoklas,

namun juga menginduksi apoptosis dari osteoblas dan osteoklas. Penelitian klinis

menunjukan bahwa metabolisme nitrit oksida mengalami perubahan pada sel

tulang dalam perkembangan dari osteonekrosis kaput femur serta disertai dengan
3

apoptosis yang luas dari osteoblas dan osteosit, di mana menunjukan apoptosis

yang dimediasi nitrat oksida merupakan mekanisme yang potensial dari SAON

(Xie et al, 2015).

Penelitian pada tikus dan manusia menunjukan dexametason yang

diberikan dalam dosis tertentu dan bergantung pada waktu, memicu difenrensiasi

dari stem sel yang diperoleh dari sumsum tulang (BMCs) menjadi adiposit yang

kemudian menghambat osteogenesis. Dexamteson telah menunjukan dapat

menghambat ekspresi dari kolagen tipe-I dan osteokalsin, kemudian menekan

diferensiasi dari BMCs (Seamon et al., 2012).

Dexametason telah menunjukan dapat meningkatkan ekspresi mRNA

dari PPAR- dan menurukan ekspresi mRNA dari Cbfa1. Peroksisom proliferator

activated receptor- (PPAR-) dan faktor core-binding (Cbfa1) adalah faktor

transkripsi penting pada diferensiasi dari sel pluripoten menjadi adipogenik dan

osteogenik sel. Penemuan ini mendukung ide bahwa dexametason menyebabkan

adipogenesis dan menghambat osteogenesis. Selain itu, penemuan ini juga

menyatakan dexametason dapat mengganggu angiogenesis dengan menekan

produksi dari VEGF (Seamon et al., 2012).

Tahun 1906, Carnot dan Deflandre memproklamirkan keberadaan dari

faktor humeral (hemopoietine) yang meregulasi produksi dari sel darah merah.

Setelah satu abad penelitian terhadap eritropoetin (EPO), strukturnya, produksi,

dan cara kerja hematopoetik telah berhasil dideskripsikan secara detail, sementara

pembuangan dan degradasi dari EPO belum dapat dimengerti secara menyeluruh.

Tahun 1985, penemuan dari untaian nukleotida dari EPO memungkinkan produksi
4

dari human recombinant dari EPO (rhEPO) untuk penggunaan klinis (Hendrik and

Rlfing, 2014).

Eritropoetin bekerja sebagai modulator utama dari eritropoesis dengan

menimbulkan efek ketahanan, proliferasi, dan diferensiasi dari sel progenitor

erithroid dan meregulasi jumlah dari eritrosit yang beredar pada darah perifer

(Lombardero and Scheithauer, 2011).

Obat terapeutik berbasis protein manusia berasal dari biomolekul

alami di tubuh yang memiliki peran fisiologis tertentu, seperti pembawa pesan

seluler (hormon), komponen struktural (sitoskeleton), mediator dari metabolisme

sel (enzim) dan komponen utama respon imun (antibodi dan limfokin).

Erythropoietin (EPO) adalah hormon glikoprotein yang terutama mengatur

produksi sel darah merah, dan diproduksi terutama oleh ginjal pada orang dewasa

dan oleh hati selama kehidupan janin. Penggunaan EPO rekombinan manusia

(rHuEPO) telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) AS, dan

sekarang banyak digunakan untuk pengobatan anemia yang terkait dengan gagal

ginjal, kanker, prematuritas, penyakit radang kronis dan infeksi virus kekebalan

tubuh manusia (Littlewood and Macdougall, 2003).

Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa Epo dapat

meningkatkan penyembuhan tulang, namum mekanisme dalam meregulasi proses

tersebut masih belum jelas. Salah satu penelitian menyebutkan Epo memiliki

peran dalam regenerasi dari tulang yang baru diserap dengan cara menstimulasi

JAK-STAT signaling pathway pada HSCs melalui Epo-R. Proses ini kemudian

menstimulasi produksi dari BMPs, terutama BMP2 dan BMP6. Hasil dari
5

produksi BMPs dan HSCs dapat menginduksi sel progenitor osteogenik untuk

berdiferensiasi menjadi osteoblas dan menstimulasi produksi kartilago melalui

interaksi permukaan sel dengan reseptor BMP (BMPRs) (McGee et al., 2012).

Telah dipertimbangkan bahwa Epo dapat mempengaruhi proliferasi sel

dengan jalan menstimulasi angiogenesis. Telah dibuktikan bahwa proliferasi sel

selama osteogenesis sangat bergantung pada pembentukan pembuluh darah baru.

VEGF adalah salah satu angiogenik kuat dan faktor pertumbuhan osteogenik

dalam proses perbaikan tulang. Menariknya, Epo memiliki kesamaan genetik dan

fungsional dengan VEGF, sehingga memiliki peran yang hampir sama pada

perbaikan tulang. Epo juga telah dilaporkan menstimulasi regenerasi jaringan

pasca cedera kulit dan infark miokard melalui jalur VEGF. Pemberian Epo

meningkatkan regulasi ekspresi dari VEGF selama fase awal dari penyembuhan

defek tulang. Selain itu pemberian Epo juga dihubungkan dengan peningkatan

jumlah pembuluh darah pada celah osteotomi dalam 2 minggu (Holstein et al.,

2011).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah jumlah sel-sel adiposit pada medula tulang tikus yang diinjeksi

dexametason dan diberikan RHuEPO lebih sedikit dibandingkan dengan

tikus yang hanya diinjeksi dexametason?


6

2. Apakah jumlah sel-sel osteosit yang nekrosis pada caput femur tikus yang

diinjeksi dexametason dan diberikan RHuEPO lebih sedikit dibandingkan

dengan tikus yang hanya diinjeksi deksaametason?

3. Apakah kejadian osteonekrosis caput femur tikus yang diinjeksi

dexametason dan diberikan RHuEPO lebih sedikit dibandingkan dengan

tikus yang hanya diinjeksi deksametason?

4. Apakah ekspresi BMP-2 pada kaput femur tikus yang diinjeksi

dexametason dan diberikan RHuEPO lebih banyak dibandingkan dengan

tikus yang hanya diinjeksi deksametason?

5. Apakah ekspresi VEGF pada kaput femur tikus yang diinjeksi

dexametason dan diberikan RHuEPO lebih banyak dibandingkan dengan

tikus yang hanya diinjeksi deksametason?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk memperkuat teori penanganan osteonekrosis menggunakan rHuEPO

yang melalui peran VEGF dan BMP 2

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Membuktikan jumlah sel-sel adiposit pada medula tulang antara tikus yang

diinjeksi deksametason dan diberikan rHuEPO lebih sedikit dibandingkan

dengan tikus yang hanya diinjeksi deksametason.


7

2. Membuktikan jumlah sel-sel osteosit yang nekrosis pada kaput femur tikus

yang diinjeksi deksametason dan rHuEPO lebih sedikit dibandingkan

dengan tikus yang hanya diinjeksi deksametason.

3. Membuktikan osteonekrosis kaput femur tikus yang diinjeksi deksametason

dan diberikan rHuEPO lebih sedikit dibandingkan dengan tikus yang hanya

diinjeksi deksametason.

4. Membuktikan ekspresi BMP-2 pada kaput femur tikus yang diinjeksi

dexametason dan diberikan rHuEPO lebih banyak dibandingkan dengan

tikus yang hanya diinjeksi deksametason.

5. Membuktikan ekspresi VEGF pada kaput femur tikus yang diinjeksi

deksametason dan diberikan RHuEPO lebih banyak dibandingkan dengan

tikus yang hanya diinjeksi deksametason.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik/Ilmiah

Apabila penelitian ini terbukti, diharapkan hasilnya dapat menambah ilmu

pengetahuan tentang teori rHuEPO dalam osteonekrosis yang diinduksi

steroid melalui peran VEGF dan BMP-2

1.4.2 Manfaat praktis

Apabila penelitian ini terbukti, dapat dipergunakan sebagai data penelitian

lebih lanjut untuk penelitian klinis tentang penggunaan rHuEPO dalam

penyembuhan dan pencegahan osteonekrosis yang diinduksi steroid.


8

Anda mungkin juga menyukai