Anda di halaman 1dari 15

Minggu, 08 September 2013

TREND DAN ISSUE TERAPI SOCIAL SKILL


TRAINING(SST) DALAM MENINGKATKAN
KETERAMPILAN PADA PASIEN
GANGGUAN ISOLASI SOSIAL
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, tidak hanya keadaan tanpa
penyakit atau kelemahan, sehingga secara menyeluruh kesehatan jiwa merupakan bagian dari
kesehatan yang tidak dapat dipisahkan (Stuart& Laraia, 2006).
Manusia adalah makhluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya manusia
memerlukan hubungan interpersonal yang positif dengan individu lainnya. Hubungan
interpersonal yang positif dapat terjadi apabila masing-masing individu merasakan kedekatan,
saling membutuhkan dan saling tergantung untuk membangun jati diri individu dalam
lingkungan sosial yang kondusif. Individu tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya
tanpa adanya hubungan dengan lingkungan sosial. Peran serta individu yang tinggi dalam
berhubungan dan disertai respon lingkungan yang positif akan meningkatkan rasa memiliki,
kerjasama, dan hubungan timbal balik yang sinkron (Surtiningrum, 2011).
Kegagalan yang terjadi secara terus menerus dalam menghadapi stressor dan penolakan
dari lingkungan sosial akan mengakibatkan individu tidak mampu berpikir logis. Individu akan
berpikir bahwa dirinya tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan perannya sesuai
tahap tumbuh kembang. Kondisi ini apabila dibiarkan akan menyebabkan individu mengalami
harga diri rendah yang kronis. Sehingga individu akan merasa tidak berguna, malu untuk
berinteraksi denganorang lain serta tidak percaya diri yang dimanifestasikan dengan perilaku
menarik diri dari lingkungan sosial (Yosep, 2009)
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Purba, dkk. 2008). Pasien
isolasi sosial memiliki kemampuan sosialisasi yang rendah karena sifatnya yang selalu menarik
diri dari lingkungannya.
Klien dengan isolasi sosial seringkali diabaikan oleh keluarga dan masyarakat. Dalam
keadaan seperti ini, diperlukan peran perawat diantaranya preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif. Upaya preventif yaitu dengan mencegah kegawatan agar tidak mengarah ke
gangguan jiwa berat. Upaya promotif yaitu memberikan pendidikan kesehatan bagi keluarga
tentang merawat klien dengan isolasi sosial dan mengetahui gejala awal dari perilaku menarik
diri. Upaya kuratif yaitu kolaborasi dengan tim kesehatan untuk memberi pengobatan. Dan upaya
rehabilitatif yaitu dengan membantu klien dalam kegiatan sehari-hari agar dapat kembali
menjalani kehidupan yang normal (Videbeck, 2008).
Salah satu upaya preventif sekunder yang saat ini banyak digunakan untuk klien dengan
isolasi sosial agar tidak mengarah ke gangguan jiwa berat adalah Social Skill Training (SST).
Latihan ketrampilan sosial atau yang sering disebut dengan SST(Social Skill Training)
merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku yang digunakan untuk membantu penderita
yang mengalami kesulitan dalam bergaul. Teknik ini dapat digunakan sebagai teknik tunggal
maupun teknik pelengkap yang digunakan bersama-sama dengan teknik psikoterapi lainnya.
Latihan ketrampilan sosial maksudnya adalah latihan yang bertujuan untuk mengajarkan
kemampuan berinteraksi seseorang dengan orang lain (Ramdhani, 2008).
Renidayati (2008), Dimana setelah diberikan latihan ketrampilan sosial melalui 5 (lima)
sesi dan setiap sesi diulang sebanyak 3 (tiga) kali terjadi peningkatan kemampuan kognitif dan
perilaku. Dan penelitian oleh Roekani (2012) menyimpulkan bahwa terapi Social Skill Training
(SST) berpengaruh terhadap peningkatan ketrampilan sosial pada klien isolasi sosial di Desa
Paringan Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
Berdasarkan Latar Belakang Diatas, peneliti Tertarik untuk Mengambil judul Pengaruh
Terapi Social Skill Training(SST) Dalam Meningkatkan Keterampilan Pada Pasien yang
mengalami gangguan isolasi sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalh yang dapat kami rumuskan dan yang dibahas dalam kara tulis ini adalah
sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana konsep teori isolasi social
1.2.2 Bangaimana konsep teori terapi social skill training(sst)
1.2.3 Bagaimana prinsip-prinsip dalam pelatihan SST
1.2.4 Pelatihan ketrampilan sosial
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengidentifikasi konsep teori isolasi social
1.3.2 Mengindentifikasi teori terapi social skill training(SST)
1.3.3 Mengindentifikasi prinsip-prinsip dalam pelatihan SST
1.3.4 Mengindentifikasi Pelatihan ketrampilan sosial

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi keperawatan
Terapi ini Diharapkan informasi ini dapat meningkatkan kemampuan perawat dalam
praktik pelayanan keperawatan jiwa sebagai bentuk pelayanan yang holistik dan komprehensif
dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan serta perlu untuk mengembangkan kompetensi
perawat jiwa dan komunitas dalam memberikan intervensi kepada subyek penelitian gangguan
jiwa khususnya dengan kerusakan interkasi sosial untuk mengoptimalkan kesehatan jiwa serta
meminimalkan jumlah kasus baru.
1.4.2 Bagi Pelayanan Kesehatan
Memberikan pedoman dalam memberikan Terapi Social Skill Training(Sst) Dalam
Meningkatkan Keterampilan Pada Pasien yang mengalami gangguan isolasi sosial
1.4.3 Bagi Pasien
a. Diharapkan klien lebih bersemangat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari terutama yg
berhubungan dengan orang lain
b. Klien dapat melakukan sosialisasi dengan orang lain
c. Klien dapat melakukan interaksi dengan baik dengan orang lain
d. Klien tidak lagi melamun jika berada di tempat umum
1.4.4 Bagi keluarga
Melibatkan keluarga dalam memberikan Terapi Social Skill Training(Sst) Dalam Meningkatkan
Keterampilan Pada Pasien yang mengalami gangguan isolasi sosial.

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 KONSEP ISOLASI SOSIAL
2.1.1 Pengertian
Kerusakan interaksi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat
adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu
fungsi seseorang dalam hubungan sosial ( Depkes RI, 2000. Dikutip oleh Ade Herman, 2011).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain
menyatakan sikap yang negatif dan mengancam ( Towndsend, 1998. Dikutip oleh Farida dan
Yudi, 2011).
Menururt Keliat (1998), Isolasi sosial merupakan upaya klien untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan orang
lain ( dalam Iyus Yosep, 2011).
Menurut Stuart dan Sundeen (1998), kerusakan interaksi sosial adalah satu gangguan yang
tidak fleksibel, tingkah maladaptif, dan mengganggu individu dalam hubungan sosialnya ( dalam
Ade Herman, 2011).
2.1.2 Etiologi
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi diantaranya perkembangan
dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya
pada orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat
menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengn orang lain, lebih menyukai berdiam diri,
menghindar dari orang lain, dan kegiatan sehari-hari terabaikan.(farida, 2010).
Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut Stuart & Sundeen
(1998), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan yang
mempengaruhi hubungan interpersonal. Faktor yang mungkin mempengaruhi antara lain yaitu:
a. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1) Faktor Perkembangan
Pada dasarnya kemampuan seseorang untuk berhubungan social berkembang sesuai dengan
proses tumbuh kembang mulai dari usia bayi sampai usia lanjut untuk dapat mengembangkan
hubungan social yang positif, diharapkan setiap tahapan perkembangan dapat dilalui dengan
sukses. Sistem keluarga yang terganggu dapat menunjang perkembangan respon social
maladaptif.
2) Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan gangguan
tingkah laku.
Sikap bermusuhan/hostilitas
Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan
pendapatnya.
Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaananak, hubungan yang
kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam
pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.
Ekspresi emosi yang tinggi
Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang membuat bingung
dan kecemasannya meningkat)
3) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung terjadinya
gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut
oleh satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
4) Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi skizofrenia
ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil
penelitian pada kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%,
sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga
dapat menyebabkan skizofrenia

b. Faktor Presipitasi
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya penurunan
stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan
pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini
dapat menimbulkan isolasi sosial.
1. Stresor Biokimia
a. Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta tractus saraf dapat
merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
b. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan meningkatkan dopamin dalam
otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka
menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
c. Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien skizofrenia.
Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme,
adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan
tingkah laku psikotik.
d. Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik diantaranya
adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak.
2. Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat
interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
3. Stresor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk
berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah
gangguan berhubungan pada tipe psikotik. Menurut teori psikoanalisa perilaku skizofrenia
disebabkan karena ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang
berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi
stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada fase
simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.

2.1.3 Tanda dan Gejala


a. Menyendiri dalam ruangan
b. Tidak berkomunikasi, menarik diri, tidak melakukan kontak mata
c. Sedih, afek datar
d. Perhatian dan tindakan yang tidak sesuai dengan perkembangan usianya.
e. Berpikir menurut pikirannya sendiri, tindakan berulang dan tidak bermakna.
f. Mengekspresikan penolakan atau kesepian pada orang lain.
g. Tidak ad asosiasi antara ide satu dengan yang lainnya.
h. Menggunakan kata-kata simbolik (neologisme).
i. Menggunakan kata yang tak berarti.
j. Kontak mata kurang/tidak mau menatap lawan bicara Klien cenderung menarik diri dari
lingkungan pergaulan, suka melamun, berdiam diri (Farida, 2010).

2.1.4 Proses Terjadinya gangguan Isolasi Sosial


Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi
sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bisa dialami klien dengan latar
belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan dan kecemasan. Perasaan
tidak berharga menyebabkan klien makin sulit dalam mengembangakan hubungan dengan orang
lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas dan
kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri.
Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku
primitif antara lain pembicaraan yang austik dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan
kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi (Dalami, 2009).

2.1.5 Komplikasi Gangguan Isolasi sosial


Isolasi sosial apabila tidak ditangani secara komprehensif melalui asuhan keperawatan dan
terapi medik maka keadaan tersebut akan berlanjut menjadi :
a. Asupan makanan dan minum klien terganggu.
b. Klien kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
c. Aktivitas klien menurun.
d. Defisit perawatan diri dan curiga.
e. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
f. Halusinasi.

2.1 Rentang respon

Respon Adaptif Respon Adaptif

- Solitude - Menarik Diri - Manipulasi


- Otonomi - ketergantungan - Imflusif
- Kebersamaan - Narkisme
- Saling ketergantungan
Keterangan rentang respon
1. Respons Adaptif
Respons adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut masih dalam batas
normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap yang termasuk ke dalam respons
adaptif :
a. Solitude(menyendiri)
Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang telah dilkukan dilingkungan social
dan merupakan satu cara mengawasi diri dan menentukan langkah berikutnya.
b. Otonomi
Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide, pikiran
c. Kebersamaan(Mutualisme)
Suatu keadaan dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk
memberi dan menerim
d. Saling ketergantungan( interdependent)
Saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam hubungan interpersonal.
2. Respons maladaptif
Respons maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di
suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk ke dalam respons maladaptif :
a. Kesepian
Keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara
terbuka dengan orang lain

b. menarik diri
Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara
terbuka dengan orang lain.
c. Ketergantungan
Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan yang dimiliki.
d. Manipulasi
Adalah hubungan yang terdapat pada individu yang menganggap orang lain sebagai obyek
dan berorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan berorientasi pada orang lain. Individu
tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam
e. Impulsif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman, tidak
dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan cenderung memaksakan kehendak
f. Narkisme
Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian,
memiliki sikap egosentres, pecemburu dan marah, jika orang lain tidak mendukung.

2.2 Konsep Social Skills Training (SST)


Social skills training(SST), diberikan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisi bagi
individu ang mengalami isolasi social, harga diri rendah, ansietas, dan gangguan gangguan
interkasi social lainnya.

2.2.1 Pegertian SST


Social skills training (SST) adalah salah satu intervensi dengan teknik perilaku didasatkan
prinsip-prinsip bermain peran, praktek dan umpan balik guna meningkatkan kemampuan klien
dalam menyelesaikan masalah pada klien depresi, skizofrenia, klien dengan gangguan prilaku
kesulitan berinterkasi, mengalami social phobia dank lien yang mengalami kecemasan (stuart,
2009). Menurut carledge dan milbun (1995, dalam chen, 2006), social skill training adalah
kemampuan yang dapat dipelajari oleh seseorang sehingga memungkinkan orang tersebut
berintekasi dengan memberikan respon positif terhadap lingkungan dan mengurangi respon
negative yang mungkin hadir pada dirinya.
2.2.2 Tujuan SST
Social skill straining bertujuan meningkatkan keterampilan interporsonal pada klien
dengan gangguan hubungan interpirsonal dengan melaih keterampilan klien yang selalu di
gunakan dalam hubungan dengan orang lain. Hal ini kemukakan landeen (2001, dalam kniesl
2004), tujuan Social skill straining adalah meningkatkan kemampuan sosial menurut elikens
(2000) Social skill straining bertujuan ,
1. Meningkatkan kemampuan seseorang utuk mengekspresikan apa yang di butuhkan dan di
inginkan .
2. Mampu menolak dan menyampaikan adanya suatu masalah
3. Mampu memberikan respon saat berinteraksi sosial
4. Mampu memulai interaksi
5. Mampu mempertahankan interaksi yang telah terbina.

2.2.3 Indikasi SST


Penelitian menunjukan bahwa social skills training merupakan salah satu intervensi dengan
tehnik modifikasi perilau yang dapat di berikan pada klien dengan berbagai gangguan seperti
depresi,skizofrenia, anak yang mengalami gangguan perilaku kesulitan berinteraksi, klien yang
mengalami fobia sosial dan klie yang mengalami ansietas. Hal ini menunjukan adanya hubungan
bermakna dari pelaksanaan social skills training dengan meningkatkan kemampuan klien dalam
berinteraksi dengan orang lain diawali dengan melihat, mengobservasi, menirukan tingkah laku
dan mempraktekan dalam kehidupan sehari-hari bulkeley dan cramer (1990, dalam prawitasari,
2002) .
Penelitian jupp dan Griffiths (1990, dalam prawitasari, 2002) terhadap anak-anak pemalu dan
terisolasi social menunjukan bahwa konsep diri anak meningkat dan berkurangnya kecendrungan
melakukan penilaian negative terhadap diri dan meningkatnya secara signifikan kemampuan
anak-anak dalam berinteraksi. Social skills training sebagai salah satu teknik modifikasi perilaku
telah banyak di lakukan dan di teliti pula tingkat modifikasi perilaku telah banyak di lakukan dan
di teliti pula tingkat keberhasilanya. Efektif di gunakan untuk meningkatkan kemampuan
seseorang untuk berinteraksi, meningkatkan harga diri, meningkatkan kinerja dan menurunkan
tingkat kecemasan. Terapi ini dapat diberikan pada klien : skizofrenia, klien defresi, ansietas dan
fobia social yang mengalami masalah isolasi social, harga diri rendah, perilaku kekerasan dan
cemas.
2.2.4 Teknik Pelaksanaan SST
Social skills training di berikan kepada individu yang mengalami keidakmampuan dan
penurunan keterampilan social, yaitu ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain dan
lingkungan dan tidak memiliki keterampilan social meliputi memberikan pujian, mengeluh
karena ketidaksetujuan, menolak permintaan dan ketidakmampuan berkerjasama dengan orang
lain (Michelson,1985). Cartledge dan milbun(1995) mengidentifikasikan area keterampilan
social yang berkontribusi dalam berhubungan dengan orang lain:
1. Tersenyum dan tertawa bersama
2. Menyapa orang lain
3. Bergabung dalam aktifitas yang sedang berlansung
4. Berbagi dan berkerja sama
5. Memberikan pujian secara verbal
6. Melakukan suatu keterampilan
7. Melakukan perawatan diri
Arledge dan milbun (1995) membagi tahapan social skills training atas:
a. Instruksi klien perlu di beritahukan tujuan dan maksud dari suatu perilaku dalam menjalin
hubungan interpersonal dengan orang lain sehingga dapat mengetahui kegunaan dan manfaat
dari perilaku tersebut. Untuk memberikan informasi dapat di gunakan cerita atau film yang
kemudian di ikuti dengan diskusi kapan saja perilaku tersebut mucul dalam keseharian.
b. Indikasi komponen perilaku, keterampilan social merupakan proses yang komplek dan seringkali
terdiri dari beberapa rangkaian perilaku. Indentifikasi secara spesipik keterampilan dari suatu
perilaku.
c. Penyajian model, yakni bagaimana suatu contoh perilaku di lakukan. Hal ini dapat di lakukan
dengan cara di lakukan lansung oleh terapis, buku dan dengan model.
d. Menampilkan keterampilan yang sudah di pelajari. Melatih suatu keterampilan melalui melalui
role play secara terstruktur.
e. Umpan balik. Hal ini penting di lakukan untuk memberikan masukan terhadap perilaku
Perilaku yang di lakukan sehingga dapat di perbaiki. Umpan balik di lakukan melalui bentuk
verbal (instruksi perbaikan atau pujian) dan evaluasi diri.
f. Sistem reinforcement, di lakukan sebagai penguatan.
g. Latihan perilaku, bertujuan untuk mempertahankan keterampilan yang telah di ajarkan, tetap di
lakukan.
Dalam social skills training di latih kemampuan klien dengan belajar cara adaftif untuk terlibat
dalam hubungan interpersonal. Perlu mengidentifikasi keterampilan yang akan di latih, klien
mendapat kesempatan berlatih perilaku baru dan menerima umpan balik atas keterampilan yang
telah di lakukan .
Keterampilan dalam social skills training di dapat melaluai bimbingan, demontrasi, praktek dan
umpan balik. Prinsip prinsip tersebut di harapkan dapat di masukan dalam implementasi
program social skills training yang efektif.
Binbingan dan demonstrasi di gunakan pada tahap awal treatment kemudian diikuti praktik dan
umpan balik. Secara khusus ada 4 (empat) tahapan yang dapat di kembangkan dalam social skills
training menurut stuart (2009) yaitu
1. Mengambarkan perilaku baru untuk di pelajari dengan cara memberikan bimbingan kepada klien
yang mengalami gangguan hubungi nterporsonal.
2. Mempelajari perilaku baru dengan menggunakan bimbingan dan dengan demontrasi.
3. Mempraktekan perilaku baru dengan mamberikan umpan balik.
4. Memindahkan perilaku baru dalam lingkungan .
Menurut chen (2006); stuart (2009): Kingsep dan Nathan (2004), pelaksaan social skills training
dapat di lakukan secara individu atau kelompok. Ada beberapa keuntungan apabila di lakukan
secara kelompok, yaitu: penghematan tenaga, waktu dan biaya. Bagi klien yang mengalami
ketidak mampuan berinteraksi, social skills training merupakan miniature masyrakat
sesungguhnya, masing-masing anggota mendapatkan kesempatan melakukan praktek dalam
kelompok sehingga mereka melakukan perilaku sesuai contoh dan merasakan emosi yang
menyertai perilaku. Masing masing anggota kelompok saling memberi umpan balik, pujian, dan
dorongan.
Menurut Kelly (1983, dalam hapsari 2010) pendekatan kelompok dalam SST dapat di berikan
dalam format pendek (workshop format) dan dalam format panjang. Format pendek di tunjukan
bagi klien dengan fungsi social yang tergolong tinggi. Sedaangkan format panjang efektif bagi
klien dengan sifat pemalu yang sangat ekstrim atau individu dengan permasalahan gangguan
social ansietas. Adalah pelatihan untuk memulai percakapan dengan orang yag baru di temui,
serta mambangun percakapan yang efektif dengan orang lain (hapsari, 2010). Kelompok di buat
dengan jumlah yang seimbang antara perserta aki-laki dan perempuan untuk alasan efektifitas
dan meminimalisir ansietas khususnya terhadap lawan jenis.
Social skills training di lakukan 1-2 jam perhari dalam 10-12 kali pertemuan untuk klien yang
mengalami defisit keterampilan sosial dan penurunan kemampuan berinteraksi. Untuk klien yang
hanya ingin meningkatkan keterampilan sosial atau ingin menambah pengalaman dapat di
laksanakan dapat di laksanakan 1-2 hari saja (prawitasari, 2002).
Menurut ramdhani (2002, http://lib-ugm.ac.id/data/pubdata/ketsos, pdf, di ambil tanggal 26
anuari 2012). Pelaksanaan social skills training di laksanakan melalui 4(empat) tahap :
1. Modelling, yaitu tahap penyajian modal dalam melakukan suatu keterampilan yang di lakukan
oleh terapis.
2. Rol play, yaitu tahap bermain peran dimana klien mendapat kesempatan untuk memerankan
kemampuan yang telah di lakukan oleh terapis sebelumnya.
3. Performance feedback yaitu tahap pemberian ucapan balik. Ucapan balik harus di berikan segera
setelah klien mencoba memerankan beberapa baik memerankan latihan.
4. Transfer training, yakni tahap pemindahan keterampilan yang di perboleh klien kedalam praktek
sehari-hari
Kinsep dan nathan (2004,http://www.cci.health.wa.gov.au) di proleh tanggal 26 januari 2012)
mengemukakan pelaksanaan social skills training di awali dengan:
1. Instruksi, terapis memberikan gambaran mengenai pelaksanaan social skills training sehingga
klien memproleh pengetahuan terhadap aktifitas dalam social skills training dan termotivasi
untuk melaksanakanya.
2. Rasional, terapis melakukan diskusi tentang alasan klien melakukan social skills dan mengamati
mengamati respon klien terhadap pelaksanaan terapi .
3. Disscus components, terapis menjelaskan langkah-langkah yang akan di lakukan dalam
pelaksanaan social skills training dan emastikan klien paham terhadap apa yang di sampaikan .
4. Role play, terapis di melakukan salah satu keterampilan sosial yang sering di temui dalam
berinteraksi
5. Review, terapis mendiskusikan dengan klien tentang peran yang di lakukan oleh terapis model.
6. Umpan balik .positif, terapis memberikan dukungan terhadap keberhasilan yang di
dapatkan klien dan motivasi klien untuk menghilangkan pikiran negatif yang muncul.
7. Terapis memberikan upan balik dengan cara yang baik, tidak bermaksud menyudutkan klien
atau menolak klien, tetapi lebih mengarahkan klien ke prilaku yang lebih baik.
8. Ulangi latihan lebih lanjut, terapi minta klien untuk melakukan peran yang lenih baik sesuai
dengan yang di lakukan pada waktu terapi melakukan role play
9. Terapis dan klien harus jujur mainkan 2-4 peran dalam role model dengan umpan balik setiap
satu peran di lakukan peran.
10. Terapis meminta klien mengaplikasikan keterampilan sosial dalam kehidupan sehari-hari, hal ini
di anggap sebagai perkerjaan rumah bagi klien .
Setiap sesi dari social skills training menggunakan 4 metode yaitu :
1. Modeling oleh terapis atau model
2. Role play yang di lakukan oleh klien.
3. Feedback terkaid perilaku yang telah di lakukan klien
4. Transfer training meliputi pemberian renana tindak lanjut atau perkerjaan rumah dengan tujuan
untuk memberiakan kesempatan kepada klien mempraktikan perilaku yang telah di laksanakan
pada sesi sebelumnya pada klien lain di ruangan dan perawat.

2.3 Prinsip-Prinsip dalam Pelatihan SST


Kata pelatihan digunakan dalam teknik ini karena di dalam pelatihan akan diajarkan satu
perilaku baru yang bersifat praktis, yaitu ketrampilan yang digunakan dalam kehidupan sehari-
hari. Dalam pelatihan terkandung juga prinsip-prinsip belajar, tapi yang dipelajari adalah
pengetahuan praktis dan dipelajari dalam waktu yang relatif singkat. Prinsip belajar yang dipakai
dalam pelatihan adalah andragogi atau prinsip belajar orang dewasa.
Dalam pelatihan, individu dianggap sebagai orang yang sudah tahu atau memiliki suatu
ketrampilan tapi dalarn porsi yang kurang. Dalam teknik 'belajar untuk orang dewasa' terdapat
beberapa prinsip-prinsip yang mendukung terjadinya perubahan perilaku. Prinsip ini antara lain
adalah bahwa orang dewasa berbeda dengan anak-anak. Orang dewasa menyadari bahwa mereka
memiliki kemampuan dan pengalaman sehingga mereka ingin terlibat dalam proses belajar itu.
Keterlibatan yang aktif di dalam pengaiaman belajar dapat menjadi modal terjadinva transfer
belajar yang optimal dan bukan hanya sebagai penerima informasi yang pasif. Dengan demikian
dalam pelatihan, tanggung jawab atas proses belajar sepenuhnva berada ditangan peserta bukan
pada pelatih. Sebagaimana proses belajar, yang menjadi sasaran bukan hanya aspek intelektual
atau kognitif saja, akan tetapi juga aspek emosi atau afektif dan psikomotor. Perubahan yang
meliputi ketiga aspek tersebut akan tercapai apabila peserta dilibatkan dalam proses pelatihan
melalui bermain peran yang harus dilakukan setelah melihat demonstrasi atau modelling
beberapa ketrampilan. Demonstrasi akan lebih efektif apabila berupa persoalan-persoalan yang
realistis serta relevan dengan peserta.
Prinsip yang terakhir dan tak kalah penting dalarn pelatihan adalah bahwa sesungguhnya
proses belajar itu adalah suatu pengalaman yang dimulai dari peserta pelatihan dan berlangsung
dalam diri peserta, karena itu peserta tidak diajari tetapi diberi motivasi untuk mencari
pengetahuan, ketrampilan, perilaku yang lebih baru dengan menggali sumber daya dalam dirinya
(Budilarasati, 1992).

2.4 Pelatihan Ketrampilan Sosial


Pelatihan ketrampilan sosial adalah salah satu bentuk pelatihan ketrampilan psikologik.
Pelatihan ketrampilan psikologik diciptakan sebagai alternatif bagi pemberi bantuan atau
konselor terhadap masyarakat golongan sosial ekonomi menengah ke bawah. Berdasarkan data
keberhasilan psikoterapi yang dikumpulkan di Amerika Serikat (dalam Goldstein, 1981),
psikoterapi sering gagal atau kurang berhasil apabila diterapkan pada klien dari masyarakat
golongan ini. Data ini menunjukkan bahwa keberhasilan psikoterapi sangat ditentukan oleh ciri-
ciri klien yang tergolong dalam YAVIS. Yavis maksudnya adalah psikoterapi akan lebih berhasil
apabila kliennya adalah golongan muda atau Young, Attractive, Verbal, atau memiliki
ketrampilan verbal, intelligent atau klien yang memiliki kemampuan intelektual yang memadai,
dan Successful. Di samping itu pada umumnya psikoterapi lebih diarahkan pada klien dari kelas
sosial menengah ke atas (Schofield, dalam Goldstein, 1981). Untuk klien yang bukan YAVIS ini
biasanya psikoterapi kurang disarankan. Usaha mencari intervensi alternatif yang dapat
digunakan untuk kelompok non-YAVIS ini mendorong beberapa ahli untuk menyusun satu
teknik yang diduga dapat efektif membantu klien golongan ini. Teknik-teknik itu antara lain
prosedur belajar terstruktur, yang memuat berbagai pelatihan-pelatihan ketrampilan psikologik.
Ada banyak pelatihan ketrampilan psikologik yang dikemukakan oleh Goldstein (1981),
yaitu pelatihan pemecahan masalah yangkreatif, pelatihan asertivitas, pelatihan wawancara
pekerjaan, dan pelatihan ketrampilan sosial. Pada prinsipnya pelatihan ketrampilan psikologik ini
dapat dilaksanakan melalui 4 tahap, yaitu:
(1) Modelling, yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan secara spesifik, detil,
dan sering.
(2) Role playing, yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat kesempatan untuk
memerankan suatu interaksi sosial yang sering dialami sesuai dengan topik interaksi yang
diperankan model.
(3) Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan bahk. Umpan balik ini harus diberikan
segera setelah peserta pelatihan mencoba agar mereka yang memerankan tahu seberapa baik ia
menjalankan langkahlangkah pelatihan ini.
(4) Transfer training, yaitu tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh individu selama pelatihan
ke dalam kehidupan sehari-hari. 4. Pelatihan Ketrampilan Sosial untuk Terapi Kesulitan Bergaul
Pelatihan ketrampilan sosial diberikan kepada individu yang mengalami kelemahan dalam
beberapa ketrampilan sosial. Ketrampilan sosial yang sering dikeluhkan individu antara lain
tidak mampu melakukan komunikasi dengan baik, tidak memiliki ketrampilan sosial, baik secara
implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu Michelson, dkk. (1985) mengemukakan bahwa
pelatihan ketrampilan sosial dirancang untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan
ketrampilan sosial individu. Ketrampilan sosial meliputi ketrampilan-ketrampilan memberikan
pujian, mengeluh karena tidak setuju terhadap sesuatu hal, menolak permintaan orang lain, tukar
pengalaman, menuntut hak pribadi, memberi saran kepada orang lain, pemecahan konflik atau
masalah, berhubungan atau bekerja sama dengan orang lain yang berlainan jenis kelamin,
berhubungan dengan orang yang lebih tua dan lebih tinggi statusnya, dan beberapa tingkah laku
lain sesuai dengan ketrampilan yang tidak dimiliki oleh klien (Michelson, dkk. 1985). Pelatihan
ketrampilan sosial ini diberikan berdasarkan tingkah laku apa saja yang akan diubah dari
individu yang bersangkutan (Bulkeley dan Cramer, 1990). Sebagaimana pelatihan-pelatihan
ketrampilan psikologik lainnya, pelatihan ketrampilan sosial mulai dikembangkan pada awal
tahun 1970-an.
(5) Pendekatan ini beranggapan bahwa individu berada dalam 'masa belajar' dan bukan sebagai klien
yang membutuhkan terapi. Pelatihan ini dilakukan berdasarkan anggapan bahwa yang dihadapi
adalah seorang yang kekurangan dan kemampuan yang lemah, padahal kemampuan ini
dibutuhkan untuk dapat hidup secara efektif dan memuaskan.
Beberapa teknik yang digunakan dalam pelatihan ketrampilan sosial adalah:
(1) Modelling, yang dilakukan dengan cara memperlihatkan contoh tentang ketrampilan berperilaku
yang spesifik, yang diharapkan dapat dipelajari oleh pelatih. Model ini dapat langsung disajikan
oleh terapis, pemeran atau aktor/aktris, model melalui video, ataupun gabungan dari model yang
sesungguhnya dan model video. Untuk memenuhi tujuan ini disusun langkah-langkah yang akan
diperagakan oleh model, baik langsung maupun melalui kaset video. Ketrampilan yang diajarkan
dapat berupa ketrampilan tunggal maupun ketrampilan kombinasi. Ketrampilan tunggal hanya
memuat satu jenis ketrampilan dasar saja, misalnya ketrampilan memulai pembicaraan,
melakukan pembicaraan, mengakhiri pembicaraan dan seterusnya. Ketrampilan kombinasi
memuat pelatihan mengenai aplikasi ketrampilan dasar untuk menghadapi masalah-masalah
dalam kehidupan nyata.
(2) Bermain Peran, dilakukan dengan cara mendengarkan petunjuk yang disajikan model atau
melalui video. Setelah itu biasanya dilanjutkan dengan diskusi mengenai aktivitas yang
dimodelkan. Latihan verbalisasi sangat diperlukan di sini melalui diskusi mengenai kejadian-
kejadian yang sering membuat peserta berada dalam kesulitan. Bagi pelatih, latihan ini dapat
dilakukan dengan cara menyajikan situasi/model, dan menanyakan pada klien mengenai apa
yang akan dilakukannya apabila berada dalam situasi seperti itu. Setelah diskusi selesai, latihan
bermain peran dapat dilakukan.
(3) Umpan Balik terhadap Kinerja yang Tepat, yang dilakukan dengan cara memberi pengukuh
terhadap peserta yang menunjukkan kinerja yang tepat, apabila peserta berhasil melakukan peran
yang dilatihkan secara in-vivo, maupun apabila peserta mengemukakan target perilaku yang
ingin dilakukan. Pelaksanaan pelatihan ketrampilan sosial dapat secara individual maupun
kelompok.
Ada beberapa keuntungan apabila pelatihan dilakukan secara kelompok, antara lain adalah
penghematan tenaga, waktu, dan biaya. Di samping itu karena pelatihan ini untuk penderita
kesulitan bergaul, maka dengan mengikuti pelatihan dalam kelompok yang merupakan miniatur
dari kehidupan masyarakat yang sesungguhnya, masing-masing anggota mendapat kesempatan
melakukan praktek dalam kelompok sehingga mereka dapat melakukan perilaku sesuai contoh,
dan merasakan emosi yang menyertai perilaku tersebut. Masing-masing anggota kelompok dapat
saling memberi umpan balik, pengukuh, maupun dorongan. Keuntungan berlatih dalam
kelompok, peserta dapat merasakan adanya universalitas, artinya peserta menjadi sadar bahwa
ada orang lain yang mengalami masalah serupa dengan dirinya. Hal ini membuat peserta merasa
bukan hanya dirinya saja yang menderita hal tersebut (Yalom, 1975). Perasaan ini akan
meningkatkan pembukaan diri (Meichenbaum, 1979) dan akan memberikan motivasi untuk
berubah yang lebih besar.
Untuk pelaksanaan pelatihan dalam kelompok tentu saja ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi. Besarnya kelompok hendaknya tidak lebih dari 12 orang (Kelly, 1982; Michelson, dkk.
1985). Kelompok yang terlalu besar akan membawa akibat negatif, karena masing-masing
anggota kelompok akan memiliki kesempatan berlatih yang sedikit. Homogenitas kelompok
perlu juga dipertimbangkan. Peserta-peserta yang relatif homogen lebih baik daripada yang
heterogen. Artinya perbedaan kelemahan dan kelebihan peserta tidak terlalu besar. Hal ini
dilakukan untuk menjaga kebosanan yang mungkin terjadi bagi anggota kelompok yang
kemampuannya lebih tinggi, dan menjaga timbulnya rasa rendah diri bagi peserta yang
kemampuannya lebih rendah.
Pelaksanaan pelatihan ketrampilan sosial ini, dapat dilakukan dalam format terapi, artinya
dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan, atau dalam format workshop, yaitu dilakukan
dalam waktu satu atau dua hari penuh. Penentuan format ini sangat berkaitan dengan peserta
pelatihan. Untuk peserta yang benar-benar mengalami masalah kesulitan bergaul atau problem
klinis lainnya, sebaiknya menggunakan format terapi. Pertemuan 2 jam perhari dan dilakukan
selama 10-12 kali pertemuan merupakan pilihan yang tepat. Sebaliknya untuk peserta yang
hanya ingin meningkatkan ketrampilan atau ingin menambah pengalaman, format workshop 1-2
hari cukup bermanfaat. Di Indonesia, paket pelatihan ketrampilan sosial telah disusun oleh
Ramdhani (1992).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri pada saat usia remaja menjadi
sangat penting. Terlebih pada remaja yang mengalami gangguan isolasi sosial. Karena pada saat
individu memasuki usia remaja, maka dirinya akan memasuki dunia pergaulan yang lebih luas
dimana pengaruh teman sebaya, dan lingkngan sosialnya akan sangat menentukan.
Klien dengan gangguan isolasi sosial memiliki kepribadian introvert dimana mempunyai
keterbatasan dalam bicara dan bahasa yang menyebabkan munculnya kendala untuk meguasai
keterampilan sosialisasi yang akan menyebabkan dirinya mengalami kesulitan untuk
menyesuaika diri dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga akan muncul rasa rendah diri,
dikucilkan dari pergaulan, dan cenderung memiliki kepribadian yang labil, mudah tersinggung.
Upaya upaya tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien degan gangguan
isolasi sosial bertujuan untuk melatih klien melakukan interkasi sosial sehingga klen merasa
nyaman ketika berhubungan dengan orang lain. Salah satu tidak keperawatan tersebut yang
termasuk kelompok terapi psikososial adalah social skills training(SST). social skills
training(SST) diberikan pada pasien dengan gangguan isolasi sosial untuk melatih keterampilan
dalam menjalin hubungan dengan orang lain dan lingkungannya secara optimal.
3.2 Saran
3.2.1 Bagi keperawatan
Diharapkan perawat dapat mempraktekkan dalam pelayanan keperawatan jiwa dengan
memberikan intervensi kepada subyek pada gangguan jiwa dengan ganggua isolasi sosial untuk
mengoptimalkan kesehatn jiwa
3.2.2 bagi pelayanan kesehatan
Sebagai pedoman dalam memberikan pelatihan dalam peningkatan keterampilan pasien.
3.2.3 bagi pasien
Untuk selalu menerapkan keterampilan tersebeut di kehidupan sehari-hari. Untuk membantu
dalam mambina hubungan dan berinteraksi dengan orang lain.
3.2.4 bagi keluarga
Di harapkan keluarga dapat mengaplikasikan terapi di kehidupan sehari-hari dan di perlukan
untuk memotivasi dalammenerapkan keterampilan-keterampilan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai