A. Terminologi
1. Depsos
Kementerian Sosial Republik Indonesia (disingkat Kemensos) dahulu
Departemen Sosial (disingkat Depsos) adalah kementerian yang mempunyai tugas
menyelenggarakan dan membidangi urusan dalam negeri di dalam pemerintahan
untuk membantu presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan negara di bidang
sosial.
2. Manajemen gawat darurat
Pelayanan cepat dan tepat dalam memberikan pelayanan kesehatan tentunya
juga tidak terlepas dari sebuah unit yang menangani kegawatdaruratan dan di rumah
sakit biasa kita kenal dengan nama dan istilah Unit Gawat Darurat(UGD).
3. Program kesiapsiagaan
4. Mitigasi
Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang
berada pada kawasan rawan bencana.
5. Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/ atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
6. Rehabilitasi dalam bencana
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
B. Identifikasi masalah
1. mengapa dilakukan penjahitan luka?
2. Bagaimana manajemen gawat darurat dalam menghadapi bencana?
3.
2. Bagaimana manajemen gawat darurat dalam menghadapi bencana?
Secara nasional kegiatan penanggulangan gawat darurat sehari-hari maupun dalam
bencana diatur dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT S/B)
yang harus diterapkan oleh semua fihak termasuk masyarakat awam, dibagi kedalam
subsistem pra rumah sakit, rumah sakit dan antar rumah sakit.
Proses pengelolaan bencana diatur dalam Sistem Komando Bencana. Kendali
biasanya ditangan Bakornas-PB (Banas) / Satkorlak-PB / Satlak-PB, namun bisa juga
pada penegak hukum seperti pada kasus kriminal / terorisme atau penyanderaan.
Kelompok lain bisa membantu pemegang kendali. Jaringan transportasi dan
komunikasi antar instansi harus sudah dimiliki untuk mendapatkan pengelolaan
bencana yang berhasil.
Tingkat respons atas bencana.
Akan menentukan petugas dan sarana apa yang diperlukan ditempat kejadian :
Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang dapat dikelola oleh petugas sistim gawat
darurat dan penyelamat lokal tanpa memerlukan bantuan dari luar organisasi.
Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi atau sangat membebani petugas sistim
gawat darurat dan penyelamat lokal hingga membutuhkan pendukung sejenis serta
koordinasi antar instansi. Khas dengan banyaknya jumlah korban.
Respons Tingkat III : Bencana yang melebihi kemampuan sumber sistim gawat
darurat dan penyelamat baik lokal atau regional. Korban yang tersebar pada banyak
lokasi sering terjadi. Diperlukan koordinasi luas antar instansi.
TRIASE.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit
(berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk
menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi
(berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih berdasar
prioritas atau penyebab ancaman hidup.
Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan proses yang sinambung
sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial harus dilakukan
oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai
ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi
memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera,
usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang
mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim,
cedera neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang
diderita sebelumnya.
Survei primer membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan dalam
satu kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih
dibanding amputasi traumatik yang stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat
bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik, hingga waktu yang diperlukan untuk
menilai dan menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai
hingga berpengaruh pada sistem triase.
Tujuan triase berubah menjadi bagaimana memaksimalkan jumlah pasien yang bisa
diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini berakibat pasien cedera serius harus
diabaikan hingga pasien yang kurang kritis distabilkan. Triase dalam keterbatasan
sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik.
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase.
Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau
sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid Transportation).
Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat bencana mengakibatkan kombinasi
keduanya lebih layak digunakan.
Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase untuk
mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat
serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas,
cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau
perdarahan berat, luka bakar berat).
Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang
kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat.
Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera
abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa
shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan
penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas,
cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
3. REHABILITASI bencana
Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan : perbaikan lingkungan daerah bencana,
perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah
masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan
resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan
ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.
Dalam penentuan kebijakan rehabilitasi prinsip dasar yang digunakan adalah sebagai
berikut :
Indikator yang harus dicapai pada perbaikan lingkungan adalah kondisi lingkungan
yang memenuhi persyaratan teknis, sosial, ekonomi, dan budaya serta ekosistem
Sarana umum atau fasilitas sosial dan umum mencakup : fasilitas kesehatan, fasilitas
perekonomian, fasilitas pendidikan, fasilitas perkantoran pemerintah, dan fasilitas
peribadatan.
Pelayanan Kesehatan
Pemulihan pelayanan kesehatan adalah aktivitas memulihkan kembali segala bentuk
pelayanan kesehatan sehingga minimal tercapai kondisi seperti sebelum terjadi
bencana.
Pemulihan sistem pelayanan kesehatan adalah semua usaha yang dilakukan untuk
memulihkan kembali fungsi sistem pelayanan kesehatan yang meliputi : SDM
Kesehatan, sarana/prasarana kesehatan, kepercayaan masyarakat.