Anda di halaman 1dari 6

Diskusi Muslim Negarawan

(Online)
Departemen Kebijakan Publik KAMMI Surabaya

Rabu, 06 September 2017


Helmy Bachtiar Attamimy

Pembicara :
Muhammad Abdel Rafi
o Mahasiswa Hubungan Internasional Unair dan
Anggota BLM FISIP Unair

Crisis Of Rohingya
Tanah Myanmar yang secara geografis berada di sebelah timur Teluk Bengal
dulunya pernah mencicipi manisnya peradaban islam. Pada tahun 1 H dan
171 H pada zaman khalifah dinasti Abbasiyah, Harun Al Rasyid. Kerajaan islam
ini disebut Kerajaan Arakan. Selama 3.5 abad (1430-1784), kerajaan Arakan
dipimpin 48 raja. Bukti kerajaan islam ini dapat dilihat dari keberadaan koin
yang bergambarkan kalimat syahadat di kedua sisinya. Bukti kedua ada di
peta sejak tahun 1498. Akhir dari peradaban ini adalah manakala kerajaan
Burma yang lambat laun mengikis teritori kerajaan Arakan hingga sekarang
menjadi negara bagian dari negara Burma/Myanmar.

Pertama adalah faktor aktor negara dan tokoh agama. Statement-statement


para aktor negara maupun tokoh agama dapat dijadikan sebuah alat
legitimasi masyarakat level akar rumput untuk bertindak. Aung San Suu Kyi
yang kini menjabat sebagai Penasehat Pemerintah, aktif berpolitik dan
menyuarakan demokrasi sejak 1988, hingga di tahun 1991 ia diganjar Nobel
Perdamaian. Lalu turunnya rezim junta militer 2011 yang digantikan oleh Partai
National League Democracy (NLD) milik Suu Kyi tak ubahnya pergantian
tanpa perubahan. Kasus terusirnya etnis minoritas Rohingya masih menjadi
headline media massa internasional. Bahkan PBB melansir data sekitar 28.000
warga etnis minoritas Rohingya mengungsi ke Bangladesh dalam jangka
waktu 25 Agustus hingga 2 September (The Guardian, 2017). Sehingga banyak
media internasional, aktivis HAM, hingga pemimpin negara yang mensinyalir
adanya upaya pembersihan etnis yang mengarah pada genosida. Bertolak
belakang dengan data tersebut, Suu Kyi justru mengapkir atau menolak dan
menuding negara-negara serta media internasional telah membesar-
besarkan masalah yang ada, Saya tidak berpikir bahwa ada pembersihan
etnis yang terjadi... Saya pikir pembersihan etnis adalah ungkapan yang
berlebihan untuk digunakan dalam melihat apa yang terjadi saat ini. Ucap
Aung San Suu Kyi (The Guardian, 2017) Kemudian yang kedua adalah dari
tokoh agama, Ashin Wirathu biksu Myanmar turut menjadi tokoh yang
menyulut panasnya tensi konflik antara kelompok Fundamentalis Buddha
Pelopor Kebaikan
Pro-aktif - Progresif - Edukatif
Diskusi Muslim Negarawan
(Online)
Departemen Kebijakan Publik KAMMI Surabaya

dengan etnis minoritas Muslim Rohingya. Sikap, ceramah, maupun


gerakannya yang disebarkan via Youtube dan akun Facebooknya acapkali
memojokkan dan cenderung rasis terhadap kelompok minoritas Muslim
Rohingya. Saya hanya mengingatkan terkait orang-orang Muslim.
Bayangkan jika anda memiliki anjing, ia akan menggonggong ketika ada
orang asing masuk rumahmu. .. Aku seperti anjing. Aku menggonggong
Maka dari itu tak aneh jika Ashin Wirathu dijuluki sebagai Burmese Bin Laden
(The Guardian, 2017).

Kemudian faktor kedua terjadinya krisis kemanusiaan Rohingya adalah faktor


sosial-budaya. Sentimen yang terbangun sendiri disebabkan primordialisme
Suku Burma sebagai suku mayoritas yang bertindak semena-mena. Sekitar 70%
warga negara Myanmar merupakan Suku Burma. Bahkan sebelum diganti
pada 1989, Myanmar masih bernama Burma sebagai bentuk superioritas
terhadap suku-suku yang lain. Identitas Suku Burma yang inheren dengan suku
yang beragama Buddha sendiri sudah ditanamkan ide-ide mengenai Burma
adalah Myanmar, Myanmar adalah Burma. Lalu kultur-kultur lain yang sudah
mengakar ialah mereka tidak menyebut orang-orang muslim di Rakhine utara
dengan sebutan etnis Rohingya, melainkan orang-orang Bengali. Hal ini
merujuk pada histori etnis Rohingya yang terusir dari Rakhine ke Bangladesh.
Kemudian kembali lagi ke Rakhine via Teluk Bengal (The Telegraph, 2016).
Maka dari itu, mereka tidak disebut Rohingya, melainkan Bengali.
Kemudian faktor ketiga adalah faktor ekonomi dan sumber daya alam.
Ulasan-ulasan media massa terkait faktor ini jarang sekali bahkan hampir tidak
ada jika kita lihat. Padahal di era kapitalis ini hampir di setiap konflik ada motif
ekonomi di baliknya. Tercatat sejak 1990-an korporasi-korporasi internasional
dan militer Myanmar mulai mengakuisisi lahan tambang, kayu, agrikultur, dan
sumber air (COHRE, 2007). Akuisisi kepemilikan lahan ini sejatinya lebih mirip
disebut perampasan dikarenakan para korporasi-korporasi tersebut
mengambil lahan petani tanpa kompensasi, justru akan mengancam jika
para petani berbalik menyerang korporasi. Lalu sejak 2012 undang-undang
mengenai kepemilikan lahan Myanmar sendiri telah diubah demi memuluskan
akuisisi para korporasi. Sehingga kepemilikan lahan korporasi melonjak hingga
170% antara 2010-2013.

Kemudian dari sudut pandang negara-negara lain maupun organisasi


internasional sendiri dapat kita lihat berbagai reaksi yang mayoritas
mengecam tindakan pengusiran etnis Rohingya ini. Pertama dari skala
regional Asia Tenggara dan Asia Selatan. Bangladesh sebagai negara tujuan
utama pengungsi Rohingya sendiri hingga detik ini terdapat 87.000
pengungusi sejak gelombang pengungsian 25 Agustus. Meski Pemerintah
Bangladesh sejatinya berkeberatan, menerima pengungsi Myanmar, para
petugas penjaga perbatasan lebih memilih menggunakan hati nuraninya
untuk menerima para pengungsi. Kemudian Indonesia sendiri sebagai big

Pelopor Kebaikan
Pro-aktif - Progresif - Edukatif
Diskusi Muslim Negarawan
(Online)
Departemen Kebijakan Publik KAMMI Surabaya

brother ASEAN telah melakukan tindakan nyata dengan dikirimnya Menteri


Luar Negeri ke Myanmar dalam upaya diplomasi demi menemukan solusi
terkait krisis Rohingya. Kemudian selain negara-negara ASEAN terdapat Turki,
Inggris, dan Pakistan yang turut aktif dalam upaya solusi krisis Rohingya ini.
Kemudian ASEAN sendiri secara realistis memang tidak bisa mengintervensi
permasalahan ini. Sebab ASEAN memiliki prinsip non-intervensi. Jadi hal yang
bisa di lakukan ialah membentuk tim pencarian yang aktif memantau Teluk
Bengal dan Sungai Naaf. Sehingga dapat mengevakuasi para pengungsi ini.
Kemudian PBB sendiri pada tahun 2017 telah membentuk tim investigasi untuk
krisis Rohingya (Time, 2017).

Dari fakta-fakta yang ada sudah jelas bahwasannya akar permasalahan


yang ada adalah pemerintah Myanmar yang seolah menutup mata
terhadap dampak destruktif kebijakannya. Demi meraih tujuan supremasi
etnis maupun agama dan motif-motif ekonomi di baliknya, Myanmar
menggunakan segala cara. Strategi dari aktor negara maupun tokoh agama
seolah menjadi justifikasi masyarakat level akar-rumput untuk membinasakan
etnis Minoritas Rohingya. Kita masih menunggu pembuktian dari Aung San Suu
Kyi, Peraih Nobel Perdamaian 1991. Demokrasi yang diperjuangkan puluhan
tahun nyatanya tak berbekas dalam konflik ini. Banyak pendukung atau
muridnya yang kini berbalik menyerang Suu Kyi karena sikapnya ini. Sikap rasis
dan bengis Ashin Wirathu sebagai representasi biksu juga disayangkan.
Bertolak belakang dengan itu, Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma
Niciren Syosyu (PBD-NSI) Suhadi Sendjaja mengatakan bahwa pihaknya
mengajak untuk menumbuhkan solidaritas kemanusiaan atas krisis Rohingya
dengan mengedepankan sikap cinta kasih. Bahwa korban ataupun
masyarakat yang terdampak adalah sama-sama manusia yang setara di
hadapan Tuhan, ujarnya (Hidayatullah, 2017). Pun dengan membanjirnya
atensi internasional ternyata tak digubris pemerintah Myanmar. Andai saja
Myanmar membuka perbatasannya untuk pengiriman bantuan kemanusiaan
tentu korban yang berjatuhan bisa diredam untuk solusi jangka pendeknya.
Namun untuk solusi jangka panjangnya, perlu sebuah upaya konstruktif
semacam interfaith dialogue, sebagai upaya edukasi terhadap kedua
kelompok etnis Burma maupun Rohingya. Sehingga tidak ada konflik-konflik
etnis yang kembali mengemuka. Salam Tauhid, Muslim Damai! ALLAHU AKBAR!.

Pertanyaan dan Jawaban

Apakah etnis Rohingya memang dari awal perkembangan Burma sudah


menjadi etnis minor?

Pelopor Kebaikan
Pro-aktif - Progresif - Edukatif
Diskusi Muslim Negarawan
(Online)
Departemen Kebijakan Publik KAMMI Surabaya

Pada awalnya, etnis Rohingya yang masuk dalam kerajaan islam Arakan
masuk ke tanah Myanmar via jalur perdagangan yang mana ini adalah cara
damai. Bukan dengan kekerasan. Bisa dilihat di file infografis, jika kita lihat lebih
dekat maka terjadi sebuah pergeseran dari abad ke-16 yang awalnya Arakan
(Rohingya) merupakan kerajaan mayoritas, lambat laun digeser kerajaan
Burma yang beragama Buddha. Lewat cara2 peperangan. Jadi bisa kita lihat
saat ini Rohingya dianggap minoritas karena superioritas etnis Burma terhadap
etnis2 minoritas lain.

Apabila ada motif ekonomi, apa daya tarik dari daerah yang ditempati
Muslim Rohingya?

Di daerah Rakhine Utara ini memang terdapat sumber daya alam yang kaya.
Mulai dari tambang gas, minyak, mineral, lahan agrikultur, maupun sumber
daya air. Dan ini menjadi hukum rasional sebuah negara seperti Myanmar
berani mengusir etnis Rohingya yang mayoritas miskin dan bersekongkol
dengan korporasi internasional dan militer untuk memudahkan pengolahan
sumber daya alam sejak 1990-an. Menurut pemerintah, cara paling mudah
untuk mengusir Rohingya dari tempat asalnya adalah membuat mereka tidak
nyaman. Dibakar rumahnya, dibunuh keluarganya, diperkosa ibunya,
dianiaya bapaknya, hingga dibantai anak balita maupun yang masih bayi.
Sebab ketika eksplorasi industri pertambangan SDA sudah berkembang dan
Rohingya masih berada di Rakhine (Arakan), ini akan menjadi beban bagi
pemerintah maupun korporasi

Apakah yang terjadi di Rohingya ini analog dengan Suriah dan atau Uighur?

Dari analisa sederhana saya, terdapat kesamaan unsur pemicu konflik


diantara ketiganya. Meski bukan yg utama. Yakni unsur sentimen agama.
Namun terdapat beberapa perbedaan khususnya dalam skala reaksi dunia
internasional terhadap masing2 permasalahan. Jika di Rohingya belum ada
negara yang berani mengintervensi Myanmar, kasus Suriah lebih kompleks
dengan masuknya -intervensi militer- AS, Rusia, Inggris, Prancis, dan negara2
Arab. Berbeda pula dengan Uighur yang -sepengetahuan saya- belum
mendapat reaksi serius dari dunia internasional.

Apabila pemerintah sudah tidak mendukung dan blokade bantuan, apa


yang bisa dilakukan?

Ini yang menjadi persoalan ketika krisis kemanusiaan Rohingya ini sudah
disebut sebagai "The most persecuted ethnic in the world" oleh PBB pada
tahun 2013 tapi Myanmar bergeming. Kerasnya reaksi dunia internasional
maupun intensifnya upaya-upaya diplomasi seperti negara Indonesia dan
Turki ternyata belum meluluhkan Penguasa Myanmar. Jadi, beberapa hal

Pelopor Kebaikan
Pro-aktif - Progresif - Edukatif
Diskusi Muslim Negarawan
(Online)
Departemen Kebijakan Publik KAMMI Surabaya

yang bisa kita lakukab selain tetap memantau progress kebijakan Indonesia
lewat kunjungan Menlu kita di Myanmar dan Bangladesh, kita perlu
mendukung dan berdoa agar ada upaya2 konstruktif via dialog -meski
membutuhkan waktu lama- agar tercipta perdamaian sejati, bukan sekedar
perdamaian yang penting aman dan tenang. Yang biasanya dilakukan via
intervensi militer.

Apakah memungkinkan bagi negara lain untuk mengirimkan pasukan seperti


dari Indonesia, misalnya negara Turki. Apakah pengirim akan dimasukkan juga
ke dalam daftar teroris menurut pemerintahan Myanmar?

Salah satu momen yang menentukan dari pertanyaan ini adalah ketika
adanya Sidang PBB 12 September nanti. Turki sudah menginisiasi untuk
diajukannya isu Rohingya di dalam agenda sidang. Entah nanti solusinya
adalah upaya mediasi atau justru intervensi. Namun saya pribadi kurang yakin
jika PBB akan mengirim pasukan perdamaian ke Myanmar. Mau melawan
siapa? Militer Myanmar? Bahkan Rohingya sendiri tidak diakui secara hukum
kewarganegaraannya alias stateless. Berbeda kasusnya jika head to head
dengan kasus Timor-Timur yang ketika itu PBB mengirim pasukan perdamaian
INTERFET untuk memuluskan upaya memerdekakan Timor Timur karena
kepentingan Australia. Pun warga Timor memiliki hak kewarganegaraan ketika
itu.

Referensi:
Hidayatullah. 2017. Krisis Kemanusiaan Rohingya, Majelis Buddha
Indonesia Berharap Segera Berakhir,
https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2017/08/30/12257
5/krisis -kemanusiaan-rohingya-majelis-buddha-indonesia-berharap-
segera-berakhir.html, diakses pada 4 September 2017.

South, Ashley. 2007. . Displacement and Dispossesion: Forced Migration


and Land Rights. Geneva. The Centre on Housing Rights and Evictions
(COHRE)
The Guardian. 2017. Aung San Suu Kyi denies ethnic cleansing of
Rohingya Muslims in Myanmar,
https://www.theguardian.com/world/2017/apr/05/myanmar-aung-
san-suu-kyi-ethnic-cleansing, diakses pada 3 September 2017

Pelopor Kebaikan
Pro-aktif - Progresif - Edukatif
Diskusi Muslim Negarawan
(Online)
Departemen Kebijakan Publik KAMMI Surabaya

The Telegraph. 2016. Aung San Suu Kyi's government rejects term
'Rohingya',
http://www.telegraph.co.uk/news/2016/05/06/aung-san-suu-kyis-
government-rejects-term-rohingya/, diakses pada 4 September 2017;
Time. 2017. As Myanmar's Rohingya Crisis Deepens, Here's How Aung San
Suu Kyi Can Save Her Credibility,
http://time.com/4913571/myanmar-commission-recomendations-suu-
kyi/, diakses pada 4 September 2017;
Wolf, Sigfried O. 2015. Myanmar's Rohingya conflict 'more economic
than religious',
http://www.dw.com/en/myanmars-rohingya-conflict-more-economic-
than-religious/a-18496206, diakses pada 4 September 2017;

Infografis UKMKI UNAIR;

Ceramah Ustadz Muhammad Yunus (Sekretaris GUIB Jawa Timur), 4


Desember 2017.

Pelopor Kebaikan
Pro-aktif - Progresif - Edukatif

Anda mungkin juga menyukai