Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Kerajaan bercorak Hindu yang terakhir dan terbesar di pulau Jawa adalah Majapahit. Menurut cerita,
nama kerajaan ini berasal dari buah maja yang rasanya pahit. Ketika orang-orang Madura bersama Raden
Wijaya membuka hutan di Desa Tarik, mereka menemukan sebuah pohon maja yang berbuah pahit. Padahal,
rasa buah itu biasanya manis. Oleh karena itu, mereka menamakan pemukiman yang baru mereka bangun
itu sebagai Majapahit.
Kerajaan Majapahit disebut sebagai kerajaan nasional Indonesia yang kedua. Hal tersebut disebabkan
oleh upaya yang besar dari kerajaan ini untuk mewujudkan suatu cita-cita yaitu penyatuan Nusantara. Dalam
perjalanan Sejarah, upaya integrasi wilayah kepulauan Nusantara memang tidak sepenuhnya berlangsung
dengan mulus dan dilakukakan dengan cara Ksatria. Peristiwa bubat yang disusul dengan perpecahan internal
di dalam tubuh Majapahit sendiri menyebabkan cita-cita penyatuan tidak sepenuhnya dapat dilakukan.
Meskipun demikian pada awalnya, Majapahit merupakan kerajaan yang mempunyai wibawa dan kekuatan
yang besar, sehingga kerajaan lain harus berpikir ratusan kali untuk membelot atau memberontak terhadap
kekuasaan yang ada.
Ketika Singasari jatuh ke tangan Jayakatwang, Raden Wijaya (menantu Kertanegara) lari ke Madura.
Atas bantuan Arya Wiraraja, ia diterima kembali dengan baik oleh Jayakatwang dan diberi sebidang tanah di
Tarik (Mojokerto). Ketika tentara Kublai Khan menyerbu Singasari, Raden Wijaya berpura-pura membantu
menyerang Jayakatwang. Namun, setelah Jayakatwang dibunuh, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara
Mongol dan berhasil mengusirnya. Setelah itu, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit (1293) dan
menobatkan dirinya dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.

B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana keadaan kehidupan politik pemerintahan pada masa Kerajaan Majapahit?
2. Bagaimana keadaan kehidupan sosial dan kemasyarakatan pada masa Kerajaan Majapahit?
3. Bagaimana keadaan ekonomi dan mata pencaharian pada masa Kerajaan Majapahit?
4. Bagaimana kehidupan religi dan sosial budaya pada masa Kerajaan Majapahit?
5. Apakah yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Majapahit?

C. Tujuan.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah selain sebagai bahan untuk memperoleh nilai, juga sebagai
bahan untuk memberi tambahan pengetahuan kepada pembaca mengenai kehidupan politik, sosial, ekonomi,
dan religi pada masa Kerajaan Majapahit.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kehidupan Politik dan Pemerintahan.


1) Raden Wijaya.
Berdirinya Kerajaan Majapahit sangat berhubungan dengan runtuhnya Kerajaan Singasari. Kerajaan
Singasari runtuh setelah salah satu raja vasalnya yaitu Jayakatwang mengadakan pemberontakan. Kerajaan
Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya yang merupakan menantu dari Raja Singasari terakhir yaitu
Kertanegara. Raden Wijaya beserta istri dan pengikutnya dapat meloloskan diri ketika Singasari diserang
Jayakatwang. Raden Wijaya meloloskan diri dan pergi ke Madura untuk menemui dan meminta perlindungan
Bupati Sumenep dari Madura yaitu Aryawiraraja. Berkat Aryawiraraja juga, Raden Wijaya mendapat
pengampunan dari Jayakatwang, bahkan Raden Wijaya sendiri diberi tanah di hutan Tarik dekat Mojokerto
yang kemudian daerah itu dijadikan sebagai tempat berdirinya kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya kemudian menyusun kekuatan di Majapahit dan mencari saat yang tepat untuk
menyerang balik Jayakatwang. Untuk itu, dia mencoba mencari dukungan kekuatan dari raja-raja yang masih
setia pada Singasari atau raja yang kurang senang pada Jayakatwang. Kesempatan untuk menghancurkan
Jayakatwang akhirnya muncul setelah tentara Mongol mendarat di Jawa untuk menyerang Kertanegara.
Keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya dengan cara memperalat mereka untuk menyerang
Jayakatwang. Raden Wijaya bersama-sama dengan pasukan Kubhilai Khan berhasil mengalahkan pasukan
Jayakatwang. Begitu pula Jayakatwang berhasil ditangkap dan lalu dibunuh oleh pasukan Kubhilai Khan.
Setelah Jayakatwang terbunuh, lalu Raden Wijaya melakukan serangan balik terhadap pasukan
Kubhilai Khan. Raden Wijaya berhasil memukul mundur pasukan Kubhilai Khan, sehingga mereka terpaksa
menyelamatkan diri keluar Jawa. Setelah berhasil mengusir pasukan Kubhilai Khan, Raden Wijaya dinobatkan
menjadi raja Majapahit pada tahun 1293 M dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
Sebagai seorang raja yang besar, Raden Wijaya memperistri empat putri Kertanegara sebagai
permaisurinya. Dari Tribuana, ia mempunyai seorang putra yang bernama Jayanegara. Sedangkan dari
Gayatri, ia mempunyai dua orang putri, yaitu Tribuanatunggadewi dan Rajadewi Maharajasa.
Para pengikut Raden Wijaya yang setia dan berjasa dalam mendirikan kerajaan Majapahit, diberi
kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan. Tetapi ada saja yang tidak puas dengan kedudukan yang
diperolehnya. Hal ini menimbulkan pemberontakan di sana-sini. Pada tahun 1309 M, Raden Wijaya meninggal
dunia dan didarmakan di Antahpura, dekat Blitar. Setelah Raden Wijaya meninggal dunia, Kerajaan Majapahit
dipimpin oleh Jayanegara dengan gelar Sri Jayanegara.

2) Jayanegera.
Pada masa pemerintahannya, Jayanegara dirongrong oleh serentetan pemberontakan.
Pemberontakan-pemberontakan ini datang dari Ranggalawe (1309), Lembu Sora (1311), Juru Demung dan
Gajah Biru (1314), Nambi (1316), dan Kuti (1320).

2
Pemberontakan Kuti merupakan pemberontakan yang paling berbahaya karena Kuti berhasil
menduduki ibu kota Majapahit, sehingga raja Jayanegara terpaksa melarikan diri ke daerah Badandea.
Jayanegara diselamatkan oleh pasukan Bhayangkari di bawah pimpinan Gajah Mada. Berkat ketangkasan
dan siasat jitu dari Gajah Mada, pemberontakan Kuti berhasil ditumpas. Sebagai penghargaan atas jasa-
jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih di Kahuripan pada tahun 1321 M dan Patih di Daha (Kediri).
Pada tahun 1328, Jayanegara tewas dibunuh oleh Tabib Israna Ratanca, ia didharmakan di dalam pura
di Sila Petak dan Bubat. Jayanegara tidak mempunyai putra, maka takhta kerajaan digantikan oleh adik
perempuannya yang bernama Tribhuanatunggadewi. Ia dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar
Tribhuanatunggadewi Jaya Wisnu Wardhani.

3) Tribhuanatunggadewi
Pada masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta pada tahun 1331.
Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai penghargaan atas jasanya, Gajah Mada
diangkat menjadi mahapatih di Majapahit oleh Tribhuanatunggadewi.
Di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang terkenal
dengan nama Sumpah Palapa. Isi sumpahnya, ia tidak akan Amukti Palapa sebelum ia dapat menundukkan
Nusantara, yaitu Gurun, Seran, Panjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik.
Dalam rangka mewujudkan cita-citanya, Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1334, kemudian
Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Sumatra, dan beberapa daerah di Semenanjung Malaka.
Seperti yang tercantum dalam kitab Negarakertagama, wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit sangat luas,
yakni meliputi daerah hampir seluas wilayah Republik Indonesia sekarang.
Tribhuanatunggadewi memerintah selama dua puluh dua tahun. Pada tahun 1350, ia mengundurkan
diri dari pemerintahan dan digantikan oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk. Pada tahun 1350 M, putra
mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara dan ia didampingi
oleh Mahapatih Gajah Mada.

4) Hayam Wuruk
Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Wilayah
kekuasaan Majapahit meliputi seluruh Nusantara. Pada saat itulah cita-cita Gajah Mada dengan Sumpah
Palapa berhasil diwujudkan.
Usaha Gajah Mada dalam melaksanakan politiknya, berakhir pada tahun 1357 dengan terjadinya
peristiwa di Bubat, yaitu perang antara Pajajaran dengan Majapahit. Pada waktu itu, Hayam Wuruk bermaksud
untuk menikahi putri Dyah Pitaloka. Sebelum putri Dyah Pitaloka dan ayahnya beserta para pembesar
Kerajaan Pajajaran sampai di Majapahit, mereka beristirahat di lapangan Bubat. Di sana terjadi perselisihan
antara Gajah Mada yang menghendaki agar putri itu dipersembahkan oleh raja Pajajaran kepada raja
Majapahit. Para pembesar Kerajaan Pajajaran tidak setuju, akhirnya terjadilah peperangan di Bubat yang
menyebabkan semua rombongan Kerajaan Pajajaran gugur.

3
Pada tahun 1364 M, Gajah Mada meninggal dunia. Hal itu merupakan kehilangan yang sangat besar
bagi Majapahit. Kemudian pada tahun 1389 Raja Hayam Wuruk meninggal dunia. Hal ini menjadi salah satu
penyebab surutnya kebesaran Kerajaan Majapahit di samping terjadinya pertentangan yang berkembang
menjadi perang saudara.
Setelah Hayam Wuruk meninggal, takhta Kerajaan Majapahit diduduki oleh Wikramawardhana. Ia
adalah menantu Hayam Wuruk yang menikah dengan putrinya yang bernama Kusumawardhani. Ia
memerintah Kerajaan Majapahit selama dua belas tahun.
Pada tahun 1429 M, Wikramawardhana meninggal dunia. Selanjutnya raja-raja yang memerintah
Majapahit setelah Wikramawardhana adalah:
1. Suhita (1429 M 1447 M), putri Wikramawardhana;
2. Kertawijaya (1448 M 1451 M), adik Suhita;
3. Sri Rajasawardhana (1451 M 1453 M);
4. Girindrawardhana (1456 M 1466 M), anak dari Kertawijaya;
5. Sri Singhawikramawardhana (1466 M 1474 M);
6. Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Saka (1478 M) dijelaskan dalam Chandra Sengkala
yang berbunyi, Sirna ilang Kertaning-Bhumi dengan adanya peristiwa perang saudara antara Dyah
Ranawijaya dengan Bhre Kahuripan. Selain itu, keruntuhan Majapahit disebabkan karena serangan dari
Kerajaan Islam Demak.

B. Kehidupan Sosial dan Kemasyarakatan.


Pola tata masyarakat Majapahit dibedakan atas lapisan-lapisan masyarakat yang perbedaannya lebih
bersifat statis. Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta seperti di India, yang lebih dikenal dengan catur
warna, tetapi hanya bersifat teoritis dalam literatur istana.
Pola ini dibedakan atas empat golongan masyarakat, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra.
Namun terdapat pula golongan yang berada di luar lapisan ini, yaitu Candala, Mleccha, dan Tuccha, yang
merupakan golongan terbawah dari lapisan masyarakat Majapahit.
Brahmana (kaum pendeta) mempunyai kewajiban menjalankan enam dharma, yaitu: mengajar; belajar;
melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain; membagi dan menerima derma (sedekah) untuk
mencapai kesempurnaan hidup; dan bersatu dengan Brahman (Tuhan). Mereka juga mempunyai pengaruh
di dalam pemerintahan, yang berada pada bidang keagamaan dan dikepalai oleh dua orang pendeta tinggi,
yaitu pendeta dari agama Siwa (Saiwadharmadhyaksa) dan agama Buddha (Buddhadarmadyaksa).
Saiwadyaksa mengepalai tempat suci (pahyangan) dan tempat pemukiman empu (kalagyan). Buddhadyaksa
mengepalai tempat sembahyang (kuti) dan bihara (wihara). Menteri berhaji mengepalai para ulama (karesyan)
dan para pertapa (tapaswi).

4
Semua rohaniawan menghambakan hidupnya kepada raja yang disebut sebagai wikuhaji. Para
rohaniawan biasanya tinggal di sekitar bangunan agama, yaitu: mandala, dharma, sima, wihara, dan
sebagainya.
Kaum Ksatria merupakan keturunan dari pewaris tahta (raja) kerajaan terdahulu, yang mempunyai
tugas memerintah tampuk pemerintahan. Keluarga raja dapat dikatakan merupakan keturunan dari kerajaan
Singasari-Majapahit yang dapat dilihat dari silsilah keluarganya dan keluarga-keluarga kerabat raja tersebar
ke seluruh pelosok negeri, karena mereka melakukan sistem poligami secara meluas yang disebut sebagai
wargahaji atau sakaparek. Semua anggota keluarga raja masing-masing diberi nama atas gelar, umur, dan
fungsi mereka di dalam masyarakat. Pemberian nama pribadi dan nama gelar terhadap para putri dan putra
raja didasarkan atas nama daerah kerajaan yang akan mereka kuasai sebagai wakil raja.
Waisya merupakan masyarakat yang menekuni bidang pertanian dan perdagangan. Mereka bekerja
sebagai pedagang, peminjam uang, penggara sawah, dan beternak.
Kemudian kasta yang paling rendah dalam catur warna adalah kaum sudra yang mempunyai kewajiban
untuk mengabdi kepada kasta yang lebih tinggi, terutama pada golongan brahmana.
Golongan terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna dan sering disebut sebagai pancama
(warna kelima), yaitu:
1. Candala merupakan anak dari perkawinan campuran antara laki-laki (golongan sudra) dengan wanita (dari
ketiga golongan lainnya: brahmana, waisya, dan waisya). Sehingga sang anak mempunyai status yang lebih
rendah dari ayahnya.
2. Mleccha adalah semua bangsa di luar Arya tanpa memandang bahasa dan warna kulit, yaitu para
pedagang-pedagang asing (Cina, India, Champa, Siam, dll.) yang tidak menganut agama Hindu.
3. Tuccha ialah golongan yang merugikan masyarakat, salah satu contohnya adalah para penjahat. Ketika
mereka diketahui melakukan tatayi, maka raja dapat menjatuhi hukuman mati kepada pelakunya. Perbuatan
tatayi adalah membakar rumah orang, meracuni sesama, mananung, mengamuk, merusak, dan memfitnah
kehormatan perempuan.

Dari aspek kedudukan dalam masyarakat Majapahit, wanita mempunyai status yang lebih rendah dari
para lelaki. Hal ini terlihat pada kewajiban mereka untuk melayani dan menyenangkan hati para suami mereka
saja. Wanita tidak boleh ikut campur dalam urusan apapun, selain mengurusi dapur rumah tangga mereka.
Dalam undang-undang Majapahit pun para wanita yang sudah menikah tidak boleh bercakap-cakap dengan
lelaki lain, dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas antara kaum pria dan wanita.

C. Ekonomi dan Mata Pencaharian.


Majapahit merupakan negara agraris dan juga sebagai negara maritim. Kedudukan sebagai negara
agraris tampak dari letaknya di pedalaman dan dekat aliran sungai. Kedudukan sebagai negara maritim
tampak dari kesanggupan angkatan laut kerajaan itu untuk menanamkan pengaruh Majapahit di seluruh

5
nusantara. Dengan demikian, kehidupan ekonomi masyarakat Majapahit menitikberatkan pada bidang
pertanian dan pelayaran.
Udara di Jawa panas sepanjang tahun. Panen padi terjadi dua kali dalam setahun, butir berasnya amat
halus. Terdapat pula wijen putih, kacang hijau, rempah-rempah, dan lain-lain kecuali gandum. Buah-buahan
banyak jenisnya, antara lain pisang, kelapa, delima, pepaya, durian, manggis, langsa, dan semangka. Sayur
mayur berlimpah macamnya. Jenis binatang juga banyak.
Untuk membantu pengairan pertanian yang teratur, pemerintah Majapahit membangun dua buah
bendungan, yaitu Bendungan Jiwu untuk persawahan dan Bendungan Trailokyapur untuk mengairi daerah
hilir.
Majapahit memiliki mata uang sendiri yang bernama gobog. Gobog merupakan uang logam yang
terbuat dari campuran perak, timah hitam, timah putih, dan tembaga. Bentuknya koin dengan lubang di
tengahnya.
Dalam transaksi perdagangan, selain menggunakan mata uang gobog, penduduk Majapahit juga
menggunakan uang kepeng dari berbagai dinasti. Menurut catatan Wang Ta-yuan seorang pedagang dari
Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua. Sedangkan
komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi.

D. Kehidupan Religi dan Sosial Budaya.


Pada masa Kerajaan Majapahit berkembang agama Hindu Syiwa dan Buddha. Kedua umat beragama
itu memiliki toleransi yang besar sehingga tercipta kerukunan umat beragama yang baik. Raja Hayam Wuruk
beragama Syiwa, sedangkan Gajah Mada beragama Buddha. Namun, mereka dapat bekerja sama dengan
baik.
Rakyat ikut meneladaninya, bahkan Empu Tantular menyatakan bahwa kedua agama itu merupakan
satu kesatuan yang disebut SyiwaBuddha. Hal itu ditegaskan lagi dalam Kitab Sutasoma dengan kalimat
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Artinya, walaupun beraneka ragam, tetap dalam satu
kesatuan, tidak ada agama yang mendua.
Urusan keagamaan diserahkan kepada pejabat tinggi yang disebut Dharmmaddhyaksa. Jabatan itu
dibagi dua, yaitu Dharmmaddhyaksa Ring Kasaiwan untuk urusan agama Syiwa dan Dharmmaddhyaksa Ring
Kasogatan untuk urusan agama Buddha. Kedua pejabat itu dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang
disebut dharmmaupatti. Pejabat itu, pada zaman Hayam Wuruk yang terkenal ada tujuh orang yang disebut
sang upatti sapta. Di samping sebagai pejabat keagamaan, para upatti juga dikenal sebagai kelompok
cendekiawan atau pujangga. Misalnya, Empu Prapanca adalah seorang Dharmmaddhyaksa dan juga seorang
pujangga besar dengan kitabnya Negarakertagama.
Untuk keperluan ibadah, raja juga melakukan perbaikan dan pembangunan candi-candi. Pada masa
Majapahit bidang seni budaya berkembang pesat, terutama seni sastra. Karya seni sastra yang dihasilkan
pada masa zaman awal Majapahit, antara lain sebagai berikut:
1. Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada tahun 1365. Isinya menceritakan hal-hal sebagai
berikut:

6
Sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit dengan masa pemerintahannya.
Keadaan kota Majapahit dan daerah-daerah kekuasaannya.
Kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk ketika berkunjung ke daerah kekuasaannya di Jawa Timur beserta
daftar candi-candi yang ada.
Kehidupan keagamaan dengan upacara-upacara sakralnya, misalnya upacara Srrada untuk menghormati
roh Gayatri dan menambah kesaktian raja.
2. Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi riwayat Sutasoma, seorang anak raja yang
menjadi pendeta Buddha.
3. Kitab Arjunawijaya karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi tentang riwayat raja raksasa yang berhasil
ditundukkan oleh Raja Arjunasasrabahu.
4. Kitab Kunjarakarna dan Parthayajna, tidak jelas siapa pengarangnya. Kitab itu berisi kisah raksasa
Kunjarakarna yang ingin menjadi manusia, dan pengembaraan Pandawa di hutan karena kalah bermain dadu
dengan Kurawa.

Sedangkan, karya seni sastra yang dihasilkan pada zaman akhir Majapahit antara lain, sebagai berikut:
1. Kitab Pararaton, isinya menceritakan riwayat raja-raja Singasari dan Majapahit.
2. Kitab Sudayana, isinya tentang Peristiwa Bubat.
3. Kitab Sorandakan, isinya tentang pemberontakan Sora.
4. Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe.
5. Kitab Panjiwijayakrama, isinya riwayat R.Wijaya sampai dengan menjadi Raja Majapahit.
6. Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan Aryadamar.
7. Kitab Tantu Panggelaran, tentang pemindahan gunung Mahameru ke Pulau Jawa oleh Dewa Brahma,
Wisnu, dan Siwa.

Di samping seni sastra, seni bangunan juga berkembang pesat. Bermacam-macam candi didirikan
dengan ciri khas Jawa Timur, yaitu dibuat dari bata, misalnya Candi Panataran, Candi Tigawangi, Candi
Surawana, Candi Jabung, dan Gapura Bajang Ratu.

E. Runtuhnya Kerajaan Majapahit.


Kemunduran Majapahit berawal sejak wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364. Hayam Wuruk tidak
dapat memperoleh ganti yang secakap Gajah Mada. Jabatan-jabatan yang dipegang Gajah Mada (semasa
hidupnya, Gajah Mada memegang begitu banyak jabatan) diberikan kepada tiga orang. Setelah Hayam Wuruk
meninggal pada tahun 1389, Majapahit benar-benar mengalami kemunduran.
Beberapa faktor penyebab kemunduran Majapahit sebagai berikut:
1) Tidak ada lagi tokoh di pusat pemerintahan yang dapat mempertahankan kesatuan wilayah setelah Gajah
Mada dan Hayam Wuruk meninggal.

7
2) Struktur pemerintahan Majapahit yang mirip dengan sistem negara serikat pada masa modern dan
banyaknya kebebasan yang diberikan kepada daerah memudahkan wilayah-wilayah jajahan untuk
melepaskan diri begitu diketahui bahwa di pusat pemerintahan sedang kosong kekuasaan.
3) Terjadinya perang saudara, di antaranya yang terkenal adalah Perang Paregreg (1401 1406) yang
dilakukan oleh Bhre Wirabhumi melawan pusat Kerajaan Majapahit. Bhre Wirabhumi diberi kekuasaan di
wilayah Blambangan. Namun, ia berambisi untuk menjadi raja Majapahit. Dalam cerita rakyat, Bhre Wirabhumi
dikenal sebagai Minakjingga yang dikalahkan oleh Raden Gajah atau Damarwulan. Selain perang saudara,
terjadi juga usaha memisahkan diri yang dilakukan Girindrawardhana dari Kediri (1478).
4) Masuknya agama Islam sejak zaman Kerajaan Kediri di Jawa Timur menimbulkan kekuatan baru yang
menentang kekuasaan Majapahit. Banyak bupati di wilayah pantai yang masuk Islam karena kepentingan
dagang dan berbalik melawan Majapahit.

Anda mungkin juga menyukai