Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beberapa istilah di masyarakan yang dapat disamakan dengan GER adalah olab
(Sunda), gumoh (Jawa) , meluah (Bali) dan menduga (Minang). Makanan yang kembali dari
lambung ke esofagus tersebut, mungkin masuk kembali ke dalam lambung atau dikeluarkan
melalui mulut menyerupai muntah.1
Secara klinis kadang-kadang sulit membedakan refluks dari muntah, sedangkan
muntah adalah pengeluaran isi mulut melalui mulut dengan paksa. GER juga harus dibedakan
dari : (a) Possetting yaitu pengeluaran isi lambung sehabis makan, biasanya meleleh keluar
dari mulut, sering didahului dengan bersendawa dan (b) Rumination yaitu keluarnya isi
lambung ke dalam mulut, kemudian mengunyah dan menelannya kembali. Keluarnya isi
lambung kadang-kadang dirangsang secara sadar dengan mengorek faring dengan jari.
Keadaan ini tidak berbahaya, tetapi merupakan kebiasaan yang sulit dihilangkan.1
Refluks yang terjadi tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologi mukosa
esophagus, disebut refluks gastroesofagus fisiologi. Bila refluks terjadi berulang-ulang,
sehingga timbul gejala dan komplikasi disebut gastroesofagus patologi. Manifestasi klinis
penyakit refluks gastroesofagus sangat bervariasi dan gejala yang timbul kadang sukar untuk
dibedakan dengan kelainan fungsional lain dari traktus gastrointestinal. Penatalaksanaan
penyakit refluks gastroesofagus tergantung dari berat ringannya penyakit.1
1.2 Tujuan referat
Mengetahui apa itu refluks gastroesofageal (GER)
Mengenal etiologi GER
Mengenal diagnosis klinis dan diagnosis banding GER
Mengetahui fisiologi refluks
Mampu menjelaskan tatalaksana GER

BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Refluks Gastroesofageal (GER) adalah suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi
sfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam
esofagus. Makanan yang kembali dari lambung ke esogafus tersebut, mungkin masuk
kembali ke dalam lambung atau dikeluarkan melalui mulut menyerupai muntah. 1 Refluks
ini secara klinis dibagi menjadi dua kelompok, yaitu refluks fisiologis dan patologis. Refluks
fisiologis dapat terjadi berulang-ulang sepanjang hidup, terutama pada anak, tetapi umumnya
tanpa mengakibatkan suatu kelainan yang berarti, sedangkan refluks patologis dapat
mengakibatkan berbagai kelainan respiratorik akibat aspirasi asam lambung. Refluks yang
terjadi patologis ini di sebut dengan Gastroesophageal reflux disease (GERD)2.

2.2 EPIDEOMOLOGI
GER dapat terjadi pada semua usia, dengan prevalens tertinggi pada bayi kemudian
menurun dan menghilang pada usia 12-15 bulan.2
Refluks gastroesofageal fisiologis biasanya terjadi setelah makan (33% pada dua jam
pertama setelah makan), dan kadang-kadang terjadi ketika tidur. Refluks gastroesofageal
yang patologis, GERD jarang terjadi yaitu (0,3% dari seluruh refluks, umumnya terjadi dua
jam setelah makan ) , dan sebagian kecil terjadi ketika tidur.2,
Prevalensi puncak GER diantara usia 1-4 bulan, dan biasanya membaik saat usia 6-12
bulan. Tidak ada predileksi gender atau usia puncak yang pasti pada masa awal kelahiran.
Regurgitasi telah dilaporkan pada 40-65 persen bayi yang sehat, tetapi menurun 1 persen
pada usia 1 tahun.3

2.3 ETIOLOGI
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya refluks, yaitu : penurunan
kompetensi sfingter esofagus bagian bawah, pengembalian bahan refluks dari esofagus yang
tidak efisien, dan gangguan fungsi tamping (reservoir) lambung. Berbagai kelainan yang
dapat menyebabkan timbulnya refluks akan bekerja melalui ketiga hal tersebut. 2 Tabel 1
menjelaskan mengenai penyebab refluks pada bayi.

Tabel 1 Penyebab refluks pada bayi.2


Refluks fisiologis Refluks Patologis
2
Tonus sfingter menurun Esofagitis kronis
Makan/minum berlebihan Batuk kronis : asma, dysplasia
Batuk dan lain-lain bronkopulmonar
Pengaruh obat : aminofilin, - blocker
Kelainan anatomis saluran cerna : malrotasi,
stenosis pylorus
Infeksi : Gastroeneteritis akut, otitis media,
infeksi saluran kemih
TIK meningkat
Gangguan neurologis
Miopati
Penyakit ginjal kronis
Gangguan metabolisme sejak lahir
Toksin
Alergi/intolerensi makanan: kedelai, susu
sapi dan lain-lain.

2.4ANATOMI DAN FISIOLOGI ESOFAGUS


Esofagus berasal dari primitive foregut yang dalam perkembangannya membentuk 2
celah laringotrakheal sepanjang dinding lateral yang kemudian bersatu dan memisahkan
esofagus primitive dari trakea bagian depan. Keadaan ini berlangsung pada usia janin minggu
ke 3-6. Pada manusia 1/3 bagian atas dinding atas esofagus terdiri atas otot lirik, sedangkan
2/3 bagian bawah adalah otot polos. Pada waktu istirehat ujung atas tertutup oleh sfingter
krikofaring (sfingter esofagus atas = SEA ) dan di bagian bawah oleh sfingter esofagus bawah
(SEB). Tonus kedua sfingter ini mencegah udara masuk dari atas dan mencegah refluks
makanan dari lambung. SEA melemas waktu menelan dan SEB-pun melemas ketika
peristaltik mencapai sfingter tersebut.1

Ada 2 jenis gelombang perilstatik yang terjadi waktu menelan, yaitu:1


1. Gelombang peristaltik primer

3
Dimulai di faring sewaktu menelan, bergerak melalui sfingter krikofaring ke bawah ke arah
esofagus. Pada sikap tegak, cairan dan makanan yang agak cair masuk ke esofagus dan
lambung karena gaya berat, mendahului gelombang peristaltik primer.1
2. Gelombang peristaltik sekunder
Sisa makanan yang tidak terdorong oleh peristaltik primer menimbulkan reflex vago-vagal
dan reflex mienterik yang menimbulkan gelombang peristaltik sekunder. Gelombang
peristaltik primer maupun sekunder di esofagus terutama dikendalikan oleh reflex vagus,
sedangkan reflex mienterik kurang penting peranannya.1 Gelombang peristaltik pada fisiologi
esofagus dijelaskan pada gambar 1.

Gambar 1 Gelombang peristaltik primer dan sekunder pada fisiologi esofagus.4

2.5 KOMPETENSI SFINGTER ESOFAGUS BAGIAN BAWAH


Fungsi sfingter esofagus bagian bawah yang utuh mncegah terjadinya refluks. Penurunan
kompetensi sfingter bagian bawah merupakan penyebab refluks tersering. Fungsi sfingter ini
pada dasarnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: tekanan atau tonus sfingter, panjang seluruh
sfingter, dan panjang dari bagian sfingter yang terletak di dalam rongga abdomen.2
1. Tonus sfingter
Tonus yang rendah dapat memudahkan terjadinya refluks. Penurunan tonus hingga di
bawah 6 mmHg dilaporkan dapat menimbulkan kejadian refluks hingga 79,2%. Tonus
sfingter dapat menurun karena berbagai sebab, misalnya relaksasi esofagus bawah yang
sementara (transient lower esophageal relaxation), relaksasi kronis karena esofagitis
berat, beberapa jenis obat seperti aminofilin dan -blocker, dll.2

2. Panjang sfingter

4
Panjang sfingter normal adalah 2,5-3 cm (75% terletak didalam rongga abdomen).
Semakin pendek sfingter maka semakin kurang kemampuannya dalam mencegah
refluks.2

3. Panjang bagian sfingter yang terletak di dalam rongga abdomen.


Tekanan positif dari rongga abdomen dapat membantu meningkatkan kompetensi sfingter
secara mekanis. Semakin pendek bagian sfingter yang terletak di dalam rongga abdomen,
maka semakin besar kemungkinan terjadinya refluks. Bila panjang bagian sfingter ini
kurang dari 2 cm, prevalens refluks menjadi kurang lebih 80%.2

4. Tekanan intrinsik sfingter


Sfingter bagian bawah esofagus ini akan semakin matur, demikian pula tonus
intrinsiknya. Tekanan sfingter ini mencapai titik puncak pada bayi lahir, kemudian
menurun dengan meningkatnya usia.2

5. Faktor anatomis
Selain tekanan atau tonus sfingter, panjang seluruh sfingter, dan panjang dari bagian
sfingter yang terletak di dalam rongga abdomen, faktor anatomis secara mekanik juga
berperan dalam terjadinya refluks. Bentuk anatomi esofagus lambung ternyata merupakan
faktor penting yang dapat mencegah refluks secara mekanik. Pada bayi baru lahir,
angulus His (sudut antara bagian distal esofagus dan bagian kardia lambung ) masih
tumpul. Dengan berkembangnya bagian kardia, sudut ini semakin tajam, sehingga
terbentuk lipatan mukosa yang berfungsi sebagai katup (flap valve) yang dapat mencegah
terjadinya refluks secara mekanis ketika kardia mengalami distensi. Selain itu, lubang
keluar esofagus distal dalam keadaan kolaps membentuk huruf H, dan berperan sebagai
katup penyumbat ( choke valve ). Otot polos esofagus yang berjalan melingkar juga turut
berperan, karena dapat mengatur besar kecilnya diameter penampang esofagus.2
Sebagian sfingter esofagus distal yang terletak di dalam rongga abdomen dipengaruhi
tekanan intraabdomen yang positif. Akibatnya, sfingter menjadi lebih kuat dalam
menghalangi makanan yang sudah masuk ke dalam lambung kembali kedalam esofagus.
Jepitan diafragma meningkatkan kompetensi sfingter. Sebaliknya, kompetensi sfingter
esofagus dapat berkurang karena radang kronis atau fibrosis karena esofagitis, dan pada
hernia difragmatika karena sfingter berada di dalam rongga dada dengan tekanan
negative.2

5
2.6 FISIOLOGIS REFLUKS
Sfingter esofagus tidak selalu berada dalam keadaan kontraksi. Pada saat menelan,
sebelum gerak peristaltik mencapai sfingter, sfingter mengalami relaksasi terlebih dahulu
karena pengaruh nervus vagus, sehingga memungkinkan terjadinya refluks. Asam
lambung yang masuk ke dalam esofagus akibat refluks yang patologis, pada keadaan
normal umumnya tidak akan menimbulkan kelainan yang berarti pada esofagus. Dalam
keadaan normal, bahan yang masuk kedalam esofagus akibat refluks dapat dikembalikan
lagi ke dalam lambung oleh gelombang peristaltik primer yang diawali dengan proses
menelan, atau dapat dikembalikan oleh gelombang peristaltik sekunder akibat distensi
esofagus karena makanan.2

Gambar 2 Fisiologis refluks.2

2.7 GEJALA KLINIS


Gejala klinis biasanya hanya muntah tidak projektil, sehingga kebanyakan orang tua
menganggapnya suatu hal yang normal, dan tidak merisaukan keadaan bayinya kecuali
jika muntah nya terus menerus.1
Gejala lain yang sering ditemukan pada kasus GER adalah gagal tumbuh kembang
(failure to thrive). Gagal tumbuh kembang ini terjadi karena muntah yang berat dan

6
terus menerus sehingga makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan bayi terbuang
percuma. Keadaan ini merupakan problem utama pada bayi dan jarang ditemukan pada
anak yang lebih besar.1
Tabel 2 Manifestasi klinis Refluks Gastroesofagus secara umum.2

Sering Jarang Sangat jarang

Sering muntah Apnea Suara parau


Kolik Stridor Hemoptisis
Gagal tumbuh Kelainan posisi kepala, leher Anemia
Esofagitis dan toraks (Sindrom Fibrosis paru
Sandifer)

2.8 DIAGNOSIS
2.8.1 Anamnesis
Untuk menentukan hubungan antara refluks dan kelainan pernapasan, tidak selalu mudah.
Anamnesis yang teliti, terutama tentang waktu terjadinya. Gejala muntah tidak selalu ada,
bahkan sering dianggap dianggap sebagai hal yang biasa, sehingga tidak mendapat perhatian.
Batuk dan tersedak dapat terjadi karena aspirasi isi lambung akibat refluks. Gejala lain yang
mungkin terjadi adalah rewel, gejala esofagitis (striktur, perdarahan saluran cerna,
hematemesis, hematokezia, anemia, heartburn), gangguan pertumbuhan, dan posisi tubuh
yang abnormal/tortikolis (sindrom Sandifer). Pada anak usia di atas 15 bulan, refluks
sebaiknya selalu dianggap patologis, tetapi di bawah usia 15 bulan pada umumnya fisiologis
walaupun dapat juga patologis. Beberapa kelainan seperti sindroma Down dan kelainan
neurologis dapat memperbesar kemungkinan terjadinya refluks patologis.2
Tujuan dari mengetahui riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik dalam evaluasi GERD
adalah untuk mengeliminasi kemungkinan penyakit lain dengan gejala yang sama dan untuk
mengidentifikasi komplikasi GERD. Gejala khas dari penyakit refluks pada anak bervariasi
sesuai dengan umur dan kondisi medis yang mendasari, namun patofisiologi yang mendasari
GERD dianggap sama pada segala usia termasuk bayi prematur. Berdasarkan hasil studi,
regurgitasi atau muntah, sakit perut, dan batuk , kecuali heartburn, adalah gejala yang paling
sering dilaporkan pada anak-anak dan remaja dengan GERD.5
Pada tahun 1993 dan 1996, Orenstein merumuskan sebuah kuisioner klinis sebagai
metode sederhana untuk mengidentifikasi anak dengan GERD. Namun oleh Poddar

7
dimodifikasi menjadi pertanyaan sekaligus skor untuk mendiagnosis GERD. Jika Skor > 7,
sensitivitas: 74% dan spesifisitas: 94% untuk mendiagnosis GERD.6
Tabel 3. Modifikasi Kuesioner Orenstein pada Anak-anak dengan GERD 6

Pertanyaan Poin

1. Seberapa sering bayi biasanya muntah?

1-3 kali/ hari 1


3-5 kali/hari 2

>5 kali/hari 3

2. Berapa kali biasanya bayi muntah?

1 sendok teh hingga 1 sendok makan 1


1 sendok teh hingga 1 ons 2

>1 ons 3

3. Apakah muntah tampak tidak menyenangkan bagi bayi Anda? 2


4. Apakah bayi menolak makan ketika lapar? 1
5. Apakah bayi mengalami kesulitan mendapatkan kenaikan berat badan yang cukup? 1
6. Apakah bayi banyak menangis selama atau setelah makan? 3
7. Apakah Anda berpikir bayi menangis atau rewel lebih dari biasanya? 1
8. Berapa jam yang bayi menangis atau rewel setiap hari?

1 hingga 3 jam 1
>3 jam 2

9. Apakah Anda pikir cegukan bayi Anda lebih banyak dari kebanyakan bayi? 1
10. Apakah bayi memiliki kebiasaan untuk melengkungkan punggungnya? 2
11. Apakah bayi pernah berhenti bernapas saat terjaga dan berjuang untuk bernapas atau 6
mengubah biru atau ungu?
Total Skor Maksimal 25

2.8.2 Pemeriksaan penunjang

8
Dengan adanya pemeriksaan penunjang cukup membantu dalam mendiagnosis GER
serta memungkinkan untuk menyingkirkan diagnosa banding lainya sehingga diperlukan
beberapa pemeriksaan yang terkait :

1. Pemeriksaan radiologi Fluoroskopi dengan kontras barium:


Dengan mengamati refleks barium dari lambung ke esofagus. Dengan memakai
fluoroskopi GER lebih mudah di deteksi. Cara pemeriksaan GER dengan
fluoroskopi : Sebelum dilakukan fluoroskopi pemberian makanan dan minuman pada
bayi dikurangi, sedangkan pada anak yang lebih besar harus puasa, gerakan anak
dikurangi. Dalam posisi tidur barium diberikan sedikit demi sedikit dicampur dengan
makanan atau diberikan melalui nasogastric tube. Pada bayi dapat diberikan dengan
memakai botol susu. Pemberian barium untuk mengevaluasi keadaan esofagus bagian
atas terutama peristaltik esofagus dan regurgitasi pada saat menelan. Setelah 1/3 dari
total barium habis dilakukan pemotretan dengan sinar roentgen untuk mengevaluasi
keadaan lambung dan duodenum, stenosis pylorus, malrotasi intestinal dan melihat
fungsi sfingter gastroesofageal dengan mengganti-ganti posisi miring ke kiri dan ke
kanan. Pada tahap akhir dengan melihat adanya refluks yang lambat.1,2

2. Endoskopi :
Endoskopi gastrointestinal bagian atas adalah metode yang baik dalam mendiagnosa
esophagitis akibat dari GERD. Hasilnya endoskopi (ditemukan 60%-80% kasus
GERD pada anak). Endoskopi sebaiknya dikombinasikan dengan biopsi untuk
meningkatkan diagnosa dan untuk menyingkirkan penyebab esofagitis lainya (seperti
eosinofilik, odynofagia, penyakit crohn dll). Indikasi dilakukan endoskopi adalah
menetapnya gejala saat sedang dalam terapi, disfagia atau odinofagia, perdarahan
saluran cerna atau anemia karna defisiensi besi, striktur atau tukak, menurut penelitian
riwayat dengan GERD lama bisa menyebabkan barrets oesophagus. Keuntungan dari
endoskopi ini adalah memberikan informasi langsung tentang adanya dan tingkat
keparahan esofagitis.6

9
Gambar 3. Pemeriksaan dengan menggunakan Endoskopi

3. Pemantauan pH esofagus
Salah satu pemeriksaan yang sering dipakai untuk memantau pH esofagus adalah uji
Tuttle. Pemeriksaan ini menggunakan suatu alat pengukur pH (pH probe), yang
diletakkan kira-kira 3 cm di atas sfingter esofagus bagian bawah. Pasien diberikan 300 ml
jus apel tanpa gula atau larutan gula, atau larutan asam hidroklorida encer (pada orang
dewasa HCl 0,1 N), melalui oral atau dengan pipa nasogastrik. Makanan biasa tidak boleh
diberikan sedikitnya satu jam selama pemeriksaan ini dilakukan, karena dapat menjadi
buffer bagi asam lambung. Pada keadaan normal, pH esofagus adalah netral. Bila terjadi
refluks, pH esofagus akan menurun hingga dibawah 4. Refluks dianggap abnormal
apabila selama pengamatan terjadi refluks lebih dari 1 kali. Refluks dikatakan patologis
apabila berlangsung lebih dari 4 menit. Pada bayi normal berusia kurang dari 3 bulan,
refluks dapat berlangsung hingga 11 menit. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas
sekitar 90%, dan 25% menunjukkan hasil positif palsu.2

10
Gambar 4. pH monitoring

Gambar 5. Continous pH monitoring; A. Refluks fisiologis; B. Refluks patologis

4. Pengamatan pH jangka panjang (1824 jam)


Pengamatan pH esofagus jangka panjang, dianggap sebagai pemeriksaan yang paling
sensitif karena dapat membedakan refluks abnormal dengan normal sampai 95%.
Kekurangan cara ini adalah memerlukan waktu yang lebih panjang sehingga anak perlu
dirawat di rumah sakit. Keunggulan cara selain dapat menunjukkan refluks yang
abnormal, juga dapat mencatat frekuensi dan lama refluks pada berbagai posisi anak, baik
ketika bangun maupun saat tidur, sehingga penanganan refluks dapat lebih bersifat
individual dan hasilnya dapat dinilai secara objektif.2
11
5. Biopsi Esofagus
Dengan esofagoskopi dan diperiksa PA. Pada GER didapatkan proliferasi lapisan basal
esofagus yang meningkat.1,2
2.9 DIAGNOSIS BANDING
Kelainan gastrointestinal dan sistemik lainya harus disingkirkan terlebih dahulu sebelum
memikirkan GERD sebagai penyebab utama gejala pada bayi atau anak saat regurgitasi atau
muntah.3,7

Tabel 4 gelaja muntah, dibagi menjadi 3, yaitu pada bayi, anak.3,7


Bayi Stenosis pylorus
Atresis duodenum
Mekoneum ileus
Malrotasi
Overfeeding
Alergi susu protein
Sepsis
Meningitis
Anak dengan muntah kronis TIK meningkat
Bulimia
Obstruksi intestinal
Anak dengan nyeri epigastrium dan Ulkus peptikum
disfagia Achalasia
Infeksi esofagitis
Pill esofagitis
Eosinofilik esophagitis

2.10 PENATALAKSANAAN
Pada 80% pasien, gejala teratasi dengan intervensi minimal, tanpa memerlukan
pengobatan medikamentosa. Tujuan pengobatan termasuk eliminasi gejala, penyembuhan
esofagitis, manajemen komplikasi, dan mempertahankan remisi. Pilihan terapi termasuk
perubahan gaya hidup, terapi farmakologi, dan pembedahan anti refluks. Juga sangat
penting pemberian edukasi kepada pasien atau keluarga dan melakukan tindakan yang
tepat pada bayi mengalami refluks gastroesofagus tanpa komplikasi.1,3,8

12
2.10.1 Terapi Konservatif
Terdapat beberapa terapi konservatif yang dapat dilakukan antara lain:2,8
1. ASI dan susu formula
ASI yang mempunyai sifat easy in easy out harus terus diberikan karena :
- ASI hipoalergenik dan lebih mudah dicerna
- Pengosongan lambung 2x lebih cepat dari susu formula
- Pemberian ada libitum, volumenya lebih sedikit daripada susu formula
2. Penambahan sereal8
Sebagai agen untuk mengentalkan formula. Formula ini memberikan kalori tambahan
juga dapat mengurangkan regurgitasi yang berlebihan, frekuensi dan volume muntah
dibandingkan dengan formula yang tidak menggunakan agen pengental.
3. Terapi posisi2,8
Memposisikan daerah esofagus-lambung lebih tinggi dengan meninggikan kepala.
Refluks pada anak normal jarang terjadi saat tidur, tetapi pada refluks yang patologis,
justru lebih sering terjadi ketika anak sedang tidur. Oleh karena itu, pengaturan posisi
perlu dilakukan hampir sepanjang hari. Posisi yang dianggap paling efektif adalah
berbaring telungkup (pronasi) dengan kepala ditinggikan 30. Pada anak usia diatas 8-
10 bulan dalam keadaan tejaga sebaiknya kepala ditegakkan, dan pada waktu tidur
dibaringkan dengan kepala ditinggikan. Setelah minum ASI/SF, bayi digendong
setinggi payu dara ibu, dengan muka menghadap dada ibu. Hal ini menyebabkan bayi
tenang, sehingga mengurangi refluks. Pada anak-anak elevasi dan memposisikan
kepala pada sisi kiri tammpaknya menguntungkan (bayi normal harus ditidurkan
terlentang karena resiko terjadinya sudden infant death syndrome). Setelah menetek/
minum susu formula bayi digendong setinggi payudara ibu, dengan muka menghadap
dada ibu (seperti metoda kangguru, hanya baju yang tidak perlu dibuka). Hal ini
menyebabkan bayi tenang, sehingga mengurangi refluks. Mendekap bayi di pundak
ternyata saat ini diragukan manfaatnya. Posisi terlentang mengurangi jumlah paparan
asam lambung pada esofagus yang bisa dikteahui melalui pemeriksaan PH,
dibandingkan dengan posisi telungkup. Akan tetapi, posisi telentang dan posisi lateral
berhubungan dengan meningkatnya angka kejadian sindrom bayi mati mendadak atau
sudden infant death syndrome (SIDS). Oleh karena resiko tersebut, maka posisi tele
ntang atau lateral tidak terlalu direkomendasikan untuk bayi dengan GERD, tetapi

13
sebagian besar bayi usia dibawah 12 bulan lebih disarankan untuk ditidurkan dengan
posisi telungkup.

Gambar 6. Modifikasi posisi pada bayi.9

Gambar 7. Posisi telungkup dengan kepala ditinggikan.9

2.10.2 Farmakoterapi
Tujuan diberikan adalah untuk menunjukkan efikasi yang baik pada populasi pasien,
mengurangi volume dan asiditas refluks, meningkatkan kompetensi LES, meningkatkan
klirens esofagus, meningkatkan resistensi mukosa esofagus, tidak ada efek yang
merugikan, dan aman serta biaya yang rendah.8
Obat-obat yang tersedia antaranya:2,8
1. Obat prokinetik2
Tujuan digunakan untuk memperbaiki peristaltik esofagus, dan mempercepat
pengosongan lambung. Obat ini juga dapat mengurangi frekuensi refluks. Antara lain
yang banyak dipakai :
- Betanikol : merupakan obat yang bersifat parasimpatomimetik, dan dapat
diberikan pada bayi dengan refluks. Betanikol berkerja pada sfingter esofagus
bagian bawah dengan meningkatkan tekanan sfingter pada saat istirahat.

14
- Metaklopramid : Obat ini dapat meningkatkan tekanan sfingter esofagus-bawah
dan mempercepat pengosongan lambung dengan cara meningkatkan kontraksi
antrum. Dosis yang dianjurkan adalah 0,15 mg/kgBB/dosis yang diberikan setiap
6 jam. Dosis ini sebaiknya tidak ditingkatkan pada bayi, bahkan sebaiknya
dikurangi, terutama pada bayi prematur. Efek samping yang sangat jarang terjadi
adalah methemoglobinemia dan kelainan ekstrapiramidal. Gejala tersebut dapat
dicegah dengan penurunan dosis atau pemberian antihistamin. Beberapa ahli tidak
menganjurkan penggunaan obat ini pada bayi usia dibawah 6 bulan karena dapat
mempengaruhi susunan saraf pusat
- Domperidon : Dapat meningkatkan tonus sfingter esofagus-bawah dan motilitas
antrum sehingga pengosongan lambung menjadi lebih cepat. Obat ini tidak
melewati sawar darah-otak, sehingga efek sampingnya lebih sedikit daripada
metaklopramid.
- Cisaprid : Cisaprid adalah obat yang memberikan manfaat lain yang
menguntungkan, seperti mengurangi batuk yang timbul pada malam hari akibat
refluks. Cisaprid diberikan 3-4 kali perhari dengan dosis 0,2 mg/kgbb/kali.

2. Antagonis reseptor histamine H2


Obat ini secara kompetitif menghambat aksi histamin pada reseptor histamin H2 pada
sel parietal lambung. Obat ini sangat selektif pada reseptor histamine H2 dan
memiliki sedikit atau tanpa efek pada reseptor histamine H1. Makanya, obat ini
menghambat sekresi asam yang dihasilkan oleh reseptor histamin, tapi tidak memiliki
efek pada sekresi asam yang disebabkan oleh asetilkolin atau gastrin. Obat yang
termasuk golongan ini adalah Cimetidin, Ranitidin, Famotidin dan Nizatidin.

3. Inhibitor Pompa Proton (PPI)


Obat ini terikat dengan hydrogen/potassium adenosine triphosphate, suatu enzim yang
berperan sebagai pompa proton pada sel parietal, karena itu dapat menghambat
pertukaran ion yang merupakan langkah akhir pada sekresi asam hidroklorida.
Sehingga kini, tidak ada PPI yang dibenarkan penggunaannya pada bayi < 1 tahun.
Diantara obat, omeprasol, lansoprasol, pantoprasol, rabeprasol dan esomeprasol.
Omeprasol dan lansoprasol telah dibenarkan oleh FDA pasa pasien anak-anak. Obat
yang lain masih belum dibenarkan penggunaannya.8

15
Terapi dengan penekan asam, tanpa pengujian diagnostik, telah digunakan pada orang
dewasa. Namun, terapi empiris hanya memiliki sensitivitas dan spesifisitas sederhana sebagai
tes diagnostik untuk GER dan GERD, dan uji diagnostik belum diklarifikasi. Uji coba terapi
omeprazole pada remaja dengan sakit maag, nyeri epigastrik dan regurgitasi menunjukkan
Gejala sekitar 30 sampai 43% subjek selama 1 minggu, namun responden meningkat menjadi
65% setelah 8 minggu pengobatan. Uji coba yang tidak terkontrol dengan pantoprazola pada
anak-anak berusia 5 sampai 11 tahun, melaporkan peningkatan gejala yang lebih besar pada 1
minggu dengan dosis 40 mg dibandingkan dengan dosis 10 mg atau 20 mg. Setelah 8
minggu, semua kelompok pengobatan membaik. Studi pada bayi (<1 tahun) dengan gejala
sugestif GERD yang diobati secara empiris dengan PPI berbeda tidak menunjukkan efikasi
pada plasebo.8
Tes PPI selama 2 minggu tidak memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang memadai
untuk digunakan dalam praktik klinis. Pada anak yang lebih tua atau remaja dengan gejala
yang menunjukkan GERD, percobaan PPI empiris diperbolehkan selama 4 minggu.
Perbaikan setelah pengobatan tidak terlaporkan karena gejala dapat membaik secara spontan
atau merespons dengan efek plasebo.8

16
Gambar 8. Algoritma tatalaksana pada bayi dengan muntah berulang dan berat badan
tidak bertambah10

2.11 KOMPLIKASI

17
Komplikasi yang sering ditumbulkan pada GERD, antara lain :
a. Esofagitis dan sekuelenya striktur, Barret Esofagus, adenocarcinoma
Esofagitis bisa bermanifestasi sebagai irritabilitas, anak tidak mau makan, nyeri pada
dada atau epigastrium pada anak yang lebih tua, dan jarang terjadi hematemesis, anemia,
atau sindrom Sandifer. Esofagitis yang berkepanjangan dan parah dapat menyebabkan
pembentukan striktura, yang biasanya berlokasi di distal esophagus, yang menhasilkan
disfagia, dan membutuhkan dilatasi esophagus yang berulang dan fundoplikasi.
Esofagitis yang berlangsung lama juga bisa menyebabkan perubahan metaplasia dari
epitel skuamosa yang disebut dengan Barret Esofagus, suatu precursor untuk terjadinya
adenocarcinoma esophagus.11
b. Nutrisi
Esofagitis dan regurgitasi bisa cukup parah untuk menimbulkan gagal tumbuh karena
deficit kalori. Pemberian makanan melalui enteral (nasogastrik atau nasoyeyunal atau
perkutaneus gastric atau yeyunal) atau pemberian melalui parenteral terkadang
dibutuhkan untuk mengatasi deficit tersebut.11
c. Extra esophagus
GERD dapat menimbulkan gejala pernapasan dengan kontak langsung terhadap refluks
dari isi lambung dengan saluran pernapasan (aspirasi atau mikroaspirasi). Seringnya,
terjadi interaksi antara GERD dan penyakit primer saluran pernapasan, dan terciptalah
lingkaran setan yang semakin memperburuk kedua kondisi tersebut. Terapi untuk GERD
harus lebih intens (biasanya melibatkan PPI) dan lama (biasanya 3 sampai 6 bulan).11

2.12 PROGNOSIS
Bagi infantil, prognosis GER adalah baik, dengan kebanyakan pasien memberi respon
terhadap pengobatan konservatif dan non farmakologik. Gejala yang berlanjutan sehingga >
18 bulan berkemungkinan untuk mendapat GER yang kronis. Sekiranya kasus dengan
komplikasi, perlunya tindakan bedah. Prognosis untuk pembedahan adalah baik.Bagi anak
yang mempunyai masalah perkembangan dan kelainan pada motorik , manajemen untuk GER
biasanya susah de`ngan adanya disfungsi pada reflex menghisap dan menelan.12

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

18
GER merupakan masalah yang paling sering terjadi pada infant, oleh sebab itu pada orang
tua perlunya mengetahui gejala pada GER sedini mungkin agar kedepannya refluks fisiologis
tidak berubah menjadi refluk patologis GERD. Pendidikan, bimbingan dan dukungan orang
tua selalu dibutuhkan dan biasanya cukup untuk mengelola bayi sehat dan berkembang
dengan gejala yang mungkin terjadi karena GER. Pada pemeriksaan fisik tidak banyak yang
khas. Namun terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan
diagnosis.
pada tatalaksana GER Selain terapi medikamentosa, sejumlah terapi non medikamentosa
berupa modifikasi gaya hidup juga tidak kalah pentingnya, yaitu meninggikan posisi kepala
saat tidur, menghindari makan menjelang tidur, karena membantu mengurangi tonus LES,
kurangi lemak dan jumlah makanan (meningkatkan distensi lambung), jangan berpakaian
ketat (meningkatkan tekanan intraabdomen), hindari teh, coklat, pepermint, kopi, minuman
bersoda (meningkatkan sekresi asam), hindari: antikolinergik, teofilin, diazepam, opiat,
antagonis kalsium (menurunkan tonus LES).

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Suraatmaja Sudaryat. Kapita Selekta. Gastroenterologi anak. Refluks Gastroesofageal
(RGE).CV Sagung Seto. Jakarta,2007. P ; 229-241.
2. Rahajoe NN, Supriyatno B, dkk. Buku Ajar Respiratologi Anak. Kelainan Sistem
Respiratorik akibat Refluks Gastroesofagus. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.
Edisi 1, Cetakan Kedua. Jakarta. Bab 7. P: 384-397.
3. Jung DA. Gastroesophageal Reflux in Infant and Children. American Family
Physician. Volume 64, Number 11. December 1, 2001. P: 1853-1860.
4. Mayo Clinic. Infant Acid Reflux. Last review on August 21, 2010. Accessed at
http://www.mayoclinic.com
5. Yvan V. Pediatric gastroesophageal reflux clinical practice guidelines. Journal of
Pediatric Gastroenterology and Nutrition Vol. 49, No. 4, October 2009
6. Poddar U. 2013. Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD): An Indian Perspective. Indian Pediatr;50: 119-126
7. Strange GR, Abramo JT, Deis NJ. Pediatric Emergency Medicine. 3 rd edition.
McGraw Hill. In Gastroesophageal reflux. Chapter 73. USA 2009. P: 609-613.
8. Hegar Badriul, Vandenplas Yvan. Paediatrica Indonesiana. Gastroesophageal Reflux
in Children. Vol 51. P: 361-371.
9. Pollywog Baby. Practical Solutions for Infant Reflux and Colic.
http://www.pollywogbaby.com/refluxandcolic/babyproducts.html
10. North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition. Pediatric GE
Reflux Clinical Practice Guideline. J Pediatr Gastroenterol Nutr, Vol. 49, No. 4,
October 2009.
11. Orienstein SR, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain Z et all. Gastroesofageal refluks
disease in: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of pediatrics.
edisi ke-20. Philadelphia : Sounders ; 2016
12. Schwarz MS, Cuffari C et al. Pediatric Gastroesophageal Reflux. Updated: Jun 14,
2012 at www.medicine.medscape.com

20

Anda mungkin juga menyukai