Oleh :
Nafia Turarieza
122.022.1151
GATOT SOEBROTO
JAKARTA
PERIODE 11 AGUSTUS 18 OKTOBER 2014
1|
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
ANEMIA HEMOLITIK DENGAN ISK ASIMPTOMATIK, ITP
KRONIK
DAN GIZI LEBIH
JAKARTA
Disusun oleh :
NAFIA TURARIEZA 1220221151
Moderator Tutor
2|
BAB I
STATUS PASIEN
3|
I.3 ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa dan alloanamnesa dengan
orang tua anak pada tanggal 21 Agustus 2014 (H-3 perawatan)
Keluhan Utama
Kuning pada mata, telapak kanan dan kaki
Keluhan Tambahan
Mual, muntah, sakit kepala, nyeri ulu hati, mimisan
Riwayat Penyakit Sekarang
8 bulan SMRS pasien pernah mengalami keluhan serupa dan disertai
demam tinggi. Keluhan demam, kuning pada mata dan terdapat mual muntah.
Pasien dirawat di RSPAD GS selama 3 minggu, dan pasien didiagnosa anemia
hemolitik imun. Lalu pasien rawat jalan sampai dengan bulan februari 2014,
pasien meminum obat rutin yaitu metilprednisolon namun lupa dosisnya.
2 hari SMRS pasien mengeluh mata terlihat kuning, mual dan muntah.
Muntah sebanyak 10 kali per hari, muntah berisi sisa makanan dan air, muntah
tidak terdapat darah, tiap kali muntah kurang lebih gelas air mineral. Keluhan
dirasa tiba-tiba, tidak memakan makanan tertentu (makan sembarangan). Terdapat
keluhan sakit kepala, sakit kepala terasa seperti berputar, sakit kepala muncul
terutama saat pasien bangun dari posisi tidur. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu
hati yang terasa seperti diplintir, sakit dirasa tepat di ulu hati dan tidak menyebar
ke daerah lain, pasien merasa membaik jika dalam posisi setengah duduk. Selain
itu pasien merasa lemas, letih, lesu sehingga tidak dapat beraktivitas seperti biasa.
Lemas, letih, lesu sering muncul semenjak dirawat 8 bulan yang lalu. Pasien tidak
ada perdarahan (muntah darah, BAB darah atau BAB hitam, gusi berdarah, tidak
sedang haid haid terakhir 2 minggu yang lalu (tiap haid kurang lebih 5 hari setiap
hari ganti pembalut 3x), pasien tidak mau makan sayur, suka makan daging dan
ikan dan makanan laut, suka makan buah-buahan, tidak ada penurunan BB. BAB
warna normal (kuning kecokelatan) BAB terakhir 3 hari SMRS, BAK berwarna
seperti teh, jumlah dikatakan seperti biasa, 3-5 kali sehari. Keluhan diobati dengan
obat maag warung namun keluhan menetap. Pasien menyangkal riwayat transfusi
darah sebelumnya.
4|
1 hari SMRS, karena keluhan tidak kunjung hilang pasien dibawa ke RS
dr. Suyoto yang lebih dekat dari rumahnya, di UGD RS dr. Suyoto pasien sempat
mimisan 1 kali, darah yang keluar berwarna merah segar kurang lebih
menghabiskan 2 lembar tissue. Tidak ada bintik-bintik merah, tidak ada lebam.
Di RS. Dr. Suyoto pasien diberi infus dan obat suntik lalu pasien di rujuk atas
permintaan sendiri ke RSPAD GS dengan diagnosa suspek hepatitis.
SMRS keluhan mual sudah berkurang dan keluhan muntah, mimisan, sakit
kepala sudah tidak ada. Pasien masih mengeluhkan kuning, lemas, letih, lesu.
5|
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan yang sama : disangkal
Asma : disangkal
TB paru : disangkal
Hipertensi : disangkal
Penyakit jantung : disangkal
Diabetes mellitus : disangkal
Penyakit ginjal : disangkal
Kejang : disangkal
Penyakit hati : disangkal
Kanker : disangkal
Stroke : disangkal
Penyakit Infeksi lain : disangkal
Riwayat Pengobatan
Pengobatan dengan obat maag warung, di RS dr. Suyoto diberi infus dan
obat suntik, pasien dan keluarga pasien tidak mengetahui jenis obat dan dosisnya.
Riwayat Kehamilan
Morbiditas kehamilan : Tidak ada
Perawatan antenatal :1 kali/bulan rutin setiap bulan
Riwayat kelahiran
Tempat lahir : Rumah sakit
Penolong : Dokter
Cara persalinan : Spontan
Berat badan lahir : 3400 gram
Panjang badan lahir : 53 cm
Masa gestasi : Cukup bulan
Keadaan bayi setelah lahir : Langsung menangis
Kelainan bawaan : Tidak ada
Anak ke : 1 dari 4 bersaudara
6|
Riwayat perkembangan
Pertumbuhan gigi I : 7 bulan
Psikomotor: Umur
Tengkurap 4 bulan
Duduk 6 bulan
Berdiri 9 bulan
Berjalan 12 bulan
Bicara 12 bulan
Membaca dan menulis 4 tahun
Kesan : perkembangan anak baik
Perkembangan Pubertas
Rambut Pubis : sudah tumbuh
Mammae : payudara dan puting susu dalam pertumbuhan
Menarche : umur 12 tahun
Riwayat makanan
UMUR ASI / PASI Buah / Biskuit Bubur susu Nasi Tim
0 2 bln ASI - - -
2 4 bln ASI - - -
4 6 bln ASI Biskuit halus Bubur susu -
6 8 bln ASI Biskuit halus Bubur susu -
8 10 bln ASI Buah Biskuit Bubur susu 2 kali sehari
10 12
ASI Buah Biskuit Bubur susu 3 kali sehari
bln
Kesan : Pemberian makanan sampai usia 1 tahun baik
7|
Batas 1 tahun
Makanan biasa frekuensi
- Nasi. 3x/ hari
- Sayur idak mau makan sayur
- Daging 3x/hari (bergantian)
- Telur 3x/hari (bergantian)
- Ikan 3x/hari (bergantian)
- Tahu 3x/hari (bergantian)
- Tempe 3x/hari (bergantian)
- Susu tidak rutin
Kesan : kualitas dan kuantitas pemberian makanan baik nafsu makan
pasien baik
Riwayat imunisasi
BCG Usia 1
bulan
DPT Usia 2 Usia 4 Usia 6
bulan bulan bulan
Polio Usia 1 Usia 2 Usia 4
minggu bulan bulan
Hepatitis B Saat lahir Usia 1 Usia 6
bulan bulan
Campak Usia 9 Usia 3 Usia 6
bulan tahun tahun
Lain lain Ibu pasien mengaku tidak pernah lagi imunisasi selain
imunisasi di atas, imunisasi di sekolah dasar tidak dilakukan
Kesan imunisasi dasar : Imunisasi dasar lengkap
Kesan imunisasi ulangan : Imunisasi ulangan tidak dilakukan
Riwayat keluarga
Corak Reproduksi Ibu : status obstetri P4A0
Keadaan Anak
8|
NO Usia Jenis Hidup Lahir Abortus/mati keterangan
Kelamin mati sebab
1. 13 tahun 8 Perempuan Ya - - Pasien
bulan
2. 11 tahun 3 Laki - laki Ya - - Sehat
bulan
3. 7 tahun 5 Laki-laki Ya - - Sehat
bulan
4. 4 tahun Laki-laki ya - - Sehat
9|
Data Antopometri
Berat badan saat ini : 57 kg
Berat badan ideal menurut usia : 51 kg (berdasarkan kurva NCHS)
Tinggi badan saat ini : 155 cm
Tinggi badan ideal menurut usia : 162 cm (berdasarkan kurva NCHS)
Berat badan ideal menurut tinggi badan : 46 kg (berdasarkan kurva NCHS)
Status Gizi :
Berdasarkan CDC-NCHS growth chart anak usia 2-20 tahun menurut gender
perempuan
- Berdasarkan BB/U = BB sekarang
x 100%
BB ideal menurut usia
= 57
x 100%
51
= 111.7 % (Overweight 110-120%)
- Berdasarkan TB/U = TB sekarang
x 100%
TB ideal menurut usia
= 155
x 100%
162
= 95.7 % (Normal 90-110 %)
- Berdasarkan BB/TB = BB sekarang
x 100%
BB ideal menurut TB
= 57
x 100%
46
= 123.9% (0besitas 120 %)
- BMI : 23.7
Kurva BMI : (95-90) (overweight)
Kesan : status gizi lebih
Tanda Vital :
KU / Kesadaran : tampak sakit sedang / compos mentis
Status Mental : tenang
10 |
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Frekuensi nadi : 86 x/menit, reguler, isi cukup, teraba kuat
Frekuensi napas : 20 x/menit, reguler
Suhu tubuh axilla : 36,5C
Kepala :
Bentuk kepala normocephal, rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah
dicabut, serta ubun ubun besar yang sudah menutup
Wajah :
Bentuksimetris, nyeri tekan sinus tidak ada
Mata :
Kelopak mata simetris, konjungtiva pucat +/+, tidak terdapat konjungtiva
fliktenularis, terdapat sklera ikterik +/+, kornea jernih, lensa jernih, pupil
isokor, penglihatan normal.
Telinga :
Daun telinga normotia, lubang telingalapang, sekret -/-, gendang teling intak,
Perdarahan tidak ada perdarahan
Hidung :
Bentuknormal, kulitnormal, septum di tengah, tidak ada deviasi, konkatidak
hiperemis, nafas cuping hidung tidak ada.
Mulut :
11 |
Bibirmukosa kering , sianosis (-), lidah dan celah mulut normal, selaput
lendiragak kering, gigilengkap, carries gigi tidak ada, gusi dan langit langit
normal, tonsilT1-T1 tenang, faring tidak hiperemis
Leher :
Bentuk dan kulit leher normal, pergerakanbebas ke segala arah, kelenjar
gondoknormal, trakeadi tengah. JVP 5+2 cmH2O
Thorak :
Normochest , bentuk simetris saat statis dan dinamis.
Paru :
- Inspeksi : dinding dada kanan dan kiri asimetris dalam keadaan
statis maupun dinamis
- Palpasi : taktil fremitus dan vokal fremitus kiri sama dengan
kanan. Nyeri tekan (-/-)
- Perkusi : lebih redup pada hemithorax sinistra
- Auskultasi : suara napas vesikuler (-/-), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis tidak teraba
- Perkusi : batas jantung kanan ICS IV linea parasternal dextra
Batas jantung kiri ICS IV linea midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung ICS III Linea parasternalis
sinistra
- Auskultasi : bunyi jantung I-IItidak terdengar , mur mur maupun
gallop tidak terdengar.
Abdomen :
- Inspeksi : datar, tidak ada sikatrik
- Auskultasi : bising usus (+), 4-6 kali/menit.
12 |
- Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen
- Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (+)
Hepar : tidak teraba pembesaran hepar
Lien : tidak teraba pembesaran lien
Ren : tidak teraba pembesaran
- Undulasi test : (-)
Alat kelamin :
Uretra tidak ada kelainan, klitoris, labia mayor, labia minor, vulva
berkembang menuju ke bentuk dewasa. Rambut pubis hitam, tebal dan
keriting
Perkembangan pubertas: P3
Ekstremitas :
- Bentuk : simetris
- Posisi : normal
- Panjang :normal
- Kulit : normal
- Gerakan :normal
- Paresis / paralysis : tidak ada
- Edema : di ke dua tungkai bawah , pitting non edem
- Otot : eutrofi
- Suhu akral : hangat
- Sianosis : tidak ada
- Jari tubuh : tidak ada kelainan,kuku sendok (-) capilary refill <
3 detik
Refleks :
Refleks Fisiologis :
13 |
- Refleks biceps : ++/++
- Refleks triceps : ++/++
- Refleks patella : ++/++
- Refleks achilles : ++/++
Kesan : normorefleks
Refleks Patologis : (-)
Rangsang Meningeal : (-)
Hematologi Rutin
Hemoglobin 10.3* 9.3* 10.2* 10,2* 13 18g/dL
Hematokrit 29* 27* 27* 26* 40 52 %
Eritrosit 3.13* 2.8* 2.5* 25* 4.3 6.0juta/uL
Leukosit 6.300 5500 5600 5460 4.800 10.800/uL
Hitung jenis
Basofil 0 0 0 0-1%
Eosinofil 2 7* 7* 1-3%
Batang 3 5 3 2-6%
Monosit 8 3 6 2 8%
14 |
20/08 21/08/2014 25/08/2014 Nilai Rujukan
15 |
Bilirubin -/negatif Negatif
Nitrit +/positif* Negatif
Keton -/negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif positif 1
Eritrosit 121 <2 / LPB
Leukosit 444 < 5 /LPB
Silinder -/negatif Negatif / LPK
Kristal -/negatif Negatif
Epitel +/positif 1 Positif
Lain lain Bakteri +* Negatif
16 |
I.8 DIAGNOSA KERJA
Anemia hemolitik + ISK asimptomatik + ITP kronik +Gizi lebih
I.10 PENATALAKSANAAN
- Diet makanan rendah lemak 1800 kalori
- Inj. Cefotaxime 2x1gr IV
- Inj. Omeprazole 3x20mg IV
- Inj. Ondansentron 3x4mg IV
- Curcuma 3x1 tab P.O
- Urdafalk 3x1 tab P.O
I.11 PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
I.12 FOLLOW UP
Tanggal 20-21Agustus 2014 Tanggal 22 Agustus 2014
S Anak mengatakan keluhan mual sudah Pasien mengatakan tidak ada keluhan selain
berkurang,pasien sudah tidak muntah, batuk. Nafsu makan sudah baik, mual sudah
pasien sudah mau makan. pasien tidak ada tidak ada.
keluhan berkemih, nyeri saat berkemih (-), Laboratorium :
BAK berdarah (-), BAK mengedan( -) Anti HAV non reaktif
Laboratorium :
Darah : HbSag : non reaktif
17 |
Anti HCV non reaktif
18 |
Anemia Anemia makrositik
ITP akut ISK
ISK ITP akut
P - Diet makanan rendah lemak - Diet makanan rendah lemak 1800 kalori
1800 kalori - Inj. Cefotaxime 2x1gr IV
- Inj. Cefotaxime 2x1gr IV - Inj. Omeprazole 3x20mg IV
- Inj. Omeprazole 3x20mg IV - Curcuma 3x1 tab P.O
- Inj. Ondansentron 3x4mg IV - Urdafalk 3x1 tab P.O
- Curcuma 3x1 tab P.O - Neurobion 1x1 tab P.O
- Urdafalk 3x1 tab P.O - Asam folat 2x5mg P.O
- CekDPL,diffcount, - Cek IgG dan IgM anti dengue??
ureum/creatinin,gambaran
darah tepi,kultur urin,
S Sudah tidak ada keluhan, batuk, mual, Pasien mengatakan tidak ada keluhan.
muntah sudah tidak ada. Keluhan mual muntah sudah tidak ada.
O Keadaan umum/Kesadaran : Tampak sakit Keadaan umum/Kesadaran : Tampak sakit
sedang/Composmentis sedang/Composmentis
Status mental : tenang Status mental : tenang
Tanda-tanda vital : Tanda-tanda vital :
HR: 82 x/menit HR: 80 x/menit
Suhu : 36,60C Suhu : 36,80C
RR : 20 x/menit RR : 24 x/menit
TD : 90/70 mmHg TD : 110/70 mmHg
Kepala : normocephal, rambut warna Kepala : normocephal, rambut warna hitam,
hitam, terdistribusi merata, tidak mudah terdistribusi merata, tidak mudah dicabut
dicabut Mata :tidak ada edema palpebra,
Mata :tidak ada edema palpebra, konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik +/+,
konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik +/+, pupil bulat, isokor
pupil bulat, isokor Telinga : sekret -/-
19 |
Telinga : sekret -/- Hidung : nafas cuping hidung (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-) Mulut: mukosa bibir lembab
Mulut: mukosa bibir lembab Leher : KGB tidak teraba
Leher : KGB tidak teraba Thorax :
Thorax : Pergerakan dada simetris saat statis dan
Pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis, Fokal vremitus dan vremitus taktil
dinamis, Fokal vremitus dan vremitus kanan sama dengan kiri, perkusi sonor pada
taktil kanan sama dengan kiri, perkusi seluruh lapang paru ,SN Vesikuler, Rhonki (-
sonor pada seluruh lapang paru, SN /-), Wheezing(-/-).
Vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing(-/-) Abdomen : supel, nyeri tekan (-) BU (+)
Abdomen : supel, nyeri tekan (-) BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat,tidak ada Ekstremitas : akral hangat,tidak ada
sianosis, tidak ada edema, tidak ada sianosis, tidak ada edema, tidak ada clubbing
clubbing finger finger
20 |
I.12 RESUME
Pasien anak usia 13 tahun 4 bulan rujukan dari RS dr. Suyoto, datang
dengan keluhan mual dan muntah serta terdapat kuning pada mata, telapak tangan
dan telapak kaki. Keluhan dirasa sejak 2 hari SMRS dan hanya diobati dengan
obat maag beli di warung dan keluhan tidak hilang sehingga dibawa ke RS. Dr.
Suyoto. pasien juga mimisan 1x. Pasien pernah mengalami keluhan serupa 8
bulan SMRS.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status gizi pasein menurut CDC-NCHS
dengan kesan gizi lebih, Keadaan Umum tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis, tekanan darah 100/80 mmHg, nadi 86 x/menit, reguler, isi kurang, teraba
lemah, pernafasan 20 x/menit, reguler, suhu tubuh 36,3C. Ditemukan konjuntiva
anemis dan sklera ikterik, pemeriksaan generalis lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan penurunan kadar
hemoglobin, hematokrit dan eritrosit, MCV, MCH, MCHC normal, penurunan
trombosit, terdapat peningkatan kadar SGOT, SGPT, bilirubin total, bilirubin
indirek, direk. HbSag, anti HAV non reaktif, dari urinalisa ditemukan bakteri (+),
protein (+), nitrit(+).
21 |
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Ikterus1,3,6
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh peningkatan
bilirubin dalam darah. Ikterus biasanya dapat dideteksi pada sklera, kulit, atau
urine yang menjadi gelap apabila bilirubin serum mencapai 2-3 mg/dl (n: 0,3-1
mg/dl). Jaringan yang kaya elastin, seperti sklera dan permukaan lidah, biasanya
menjadi kuning pertama kali.
Dikutip dari Moore L Moore, Keith. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: EGC.
22 |
Saluran empedu
1. Ductus hepaticus: ductus hepaticus dextra dan sinistra keluar dari
lobus hepatis, keduanya bersatu membentuk ductus hepaticus
communis ( 4 cm).
2. Ductus cysticus: panjangnya 3,8 cm dan menghubungkan collum
vesicae biliaris dengan ductus hepaticus communis menuju ductus
choledochus. Ductus ini mempunyai valvula spiralis (penonjolan pada
tunika mukosa) yang berfungsi mempertahankan lumen terbuka secara
konstan.
3. Ductus choledochus: panjangnya 8 cm, terbagi menjadi 3 bagian.
Bagian ketiga ductus tersebut terletak di dalam sulcus pada facies
posterior caput pancreatic, disini ductus choledochus bersatu dengan
ductus pancreaticus bermuara ke dalam ampulla kecil dinding
duodenum (ampulla hepatopancreatica/ampulla vater) bermuara ke
dalam lumen duodenum melalui sebuah papilla kecil (papilla duodeni
major). Otot di bagian ujung distal ductus choledochus menebal
membentuk musculus sphincter ductus choledochi, apabila mengerut,
empedu tidak dapat memasuki ampulla hepatopancreatica dan/
duodenum sehingga empedu terbendung dan memasuki ductus
cysticus ke dalam vesica fellea untuk dipekatkan dan disimpan.
23 |
Dikutip dari Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bagian terminal kedua ductus dikelilingi oleh serabut otot sirkular
(musculus sphincter ampullae/sphincter Oddi).
Dikutip dari Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran
Edisi 6. Jakarta: EGC.
24 |
II.1.3. Fisiologi Metabolisme Bilirubin1,6
http://classconnection.s3.amazonaws.com/591/flashcards/887591/jpg/heme132296670
9022.jpg
Berikut adalah fase metabolisme bilirubin yang terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
Fase Prahepatik
1. Pembentukan bilirubin: 250-350 mg atau 4 mg/kgBB bilirubin
terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah
merah matang. Sedangkan sisanya (early labelled bilirubin) berasal dari
protein hem lainnya yang terutama berada di dalam sumsum tulang
(hematopoiesis tak efektif) dan hati (hemoprotein lain). Pada
katabolisme hemoglobin (terutama dalam limpa), globin dipisahkan dari
heme heme diubah menjadi biliverdin (pigmen kehijauan yang
25 |
dibentuk melalui oksidasi bilirubin) dibentuk bilirubin tak
terkonjugasi yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam air sehingga
tidak dapat diekskresi dalam empedu atau urine.
2. Transpor plasma: bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air,
sehingga transportnya dalam plasma terikat dengan albumin kemudian
diangkut darah ke sel-sel hati.
Fase Intrahepatik
Metabolisme bilirubin di dalam hati berlangsung dalam tiga langkah yaitu
ambilan, konjugasi, dan ekskresi.
3. Liver uptake: ambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh sel hati
memerlukan dua protein pengikat, yaitu protein Y dan Z. Pengambilan
bilirubin melalui transpor aktif dan cepat.
4. Konjugasi: konjugasi bilirubin dengan asam glukuronat dikatalisis oleh
enzim glukuronil transferase dalam retikulum endoplasma membentuk
bilirubin diglukuronida/bilirubin konjugasi/direk. Bilirubin terkonjugasi
larut dalam air dan dapat diekskresi dalam empedu dan urine. Langkah
terakhir adalah transpor bilirubin terkonjugasi melalui membran sel ke
dalam empedu melalui proses aktif.
Fase Pascahepatik
5. Ekskresi bilirubin : bilirubin konjugasi/diglukuronida dikeluarkan ke
dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri
men-dekonjugasi dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen serta
mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja sehingga memberi
warna coklat. Sekitar 10-20% urobilinogen mengalami siklus
enterohepatik (diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu).
Sisanya, diekskresi dalam urin dalam bentuk urobilinogen.
26 |
II.1.4. Gangguan Metabolisme Bilirubin1,6
Empat mekanisme umum yang menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus
yaitu, pembentukan bilirubin yang berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin
tak terkonjugasi oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin atau penurunan ekskresi
bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstrahepatik.
1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
a. Hemolisis
Penyebab ikterus hemolitik antara lain hemoglobin abnormal
(hemoglobin S pada anemia sel sabit), eritrosit abnormal (sferositosis
herediter), antibodi dalam serum (inkompatibilitas Rh, transfusi,
penyakit autoimun), pemberian beberapa obat, dan peningkatan
hemolisis. Peningkatan laju destruksi eritrosit (hemolisis) merupakan
penyebab tersering menyebabkan ikterus hemolitik. Dalam keadaan ini,
suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati yang
mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam
darah. Pada keadaan hemolisis berat, konsentrasi bilirubin jarang lebih
dari 3-5 mg/dL dan ikterus bersifat ringan serta berwarna kuning pucat,
kecuali terdapat kerusakan hati. Sebagian kasus dapat disebabkan
eritropoiesis yang tidak efektif, proses ini meningkatkan destruksi
eritrosit atau prekursornya dalam sumsum tulang (talasemia, anemia
pernisiosa, dan porfiria).
b. Sindrom Gilbert
Penyakit ini menetap, sepanjang hidup dan mengenai 3-5% penduduk
pada kelompok dewasa muda, jenis kelamin pria, dengan keluhan tidak
spesifik. Patogenesisnya belum diketahui dengan pasti. Adanya
gangguan kompleks dalam proses pengambilan bilirubin dari plasma
yang berfluktuasi antara 2-5 mg/dL (ikterus dan hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi ringan). Terdapat defisiensi parsial glukuronil transferase.
Keadaan ini dapat diobati dengan fenobarbital, yang merangsang
aktivitas enzim glukuronil transferase. Perbedaannya dengan hepatitis
adalah tes faal hati normal, tidak terdapatnya urobilinogen dalam urin,
27 |
dan fraksi bilirubin indirek yang dominan. Perbedaannya dengan
hemolisis adalah tidak ada anemia atau retikulositosis.
c. Sindrom Crigler-Najjar
Gangguan herediter yang jarang terjadi, disebabkan adanya kekurangan
glukuronil-transferase. Terdapat dalam 2 bentuk, yaitu autosom resesif
tipe I (lengkap/komplit) tidak adanya glukuronil transferase sama sekali
sejak lahir, oleh karena itu tidak terjadi konjugasi bilirubin sehingga
empedu tidak berwarna dan kadar bilirubin tak terkonjugasi melampaui
20 mg/100ml (hiperbilirubinemia berat) hal ini menyebabkan terjadinya
kern ikterus dan biasanya meninggal pada usia 1 tahun, sedangkan
autosom resesif tipe II (sebagian/parsial) defisiensi sebagian glukuronil
transferase, dengan hiperbilirubinemia ringan (6 - 20 mg/dL) dan
biasanya bisa hidup sampai dewasa tanpa kerusakan neurologik.
d. Hiperbilirubinemia shunt primer
Jarang, bersifat jinak dan familial, produksi early labelled bilirubin yang
berlebihan.
2. Hiperbilirubinemia konjugasi
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan faktor fungsional
maupun obstruktif, terutama menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi.
Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat diekskresi dalam urine
dan menimbulkan bilirubinuria serta urine yang gelap. Urobilinogen feses
sering menurun, sehingga feses terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin
terkonjugasi dapat disertai kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti
peningkatan kadar fosfatase alkali, AST, kolesterol dan garam empedu
dalam serum. Kadar garam empedu dalam darah yang meningkat
menyebabkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus akibat hiperbilirubinemia
terkonjugasi biasanya lebih kuning. Perubahan warna berkisar antara
oranye-kuning muda atau tua sampai kuning-hijau muda atau tua bila terjadi
obstruksi total aliran empedu.
28 |
a. Non-kolestasis
Sindrom Dubin-Johnson
Penyakit autosom resesif yang ditandai ikterus ringan dan tanpa
keluhan. Kerusakan berbagai anion organik seperti bilirubin, namun
ekskresi garam empedu tidak terganggu. Hati mengandung pigmen
seperti melanin, penyebab deposisi pigmen belum diketahui. Nilai
aminotransferase dan fosfatase alkali normal.
Sindrom Rotor
Jarang, hati tidak mengalami pigmentasi dan perbedaan metabolik lain
yang nyata ditemukan.
b. Kolestasis
Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli,
atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu di luar hati).
Intrahepatik
1. Hepatitis
Peradangan intrahepatik mengganggu transport bilirubin konjugasi
dan menyebabkan ikterus. Penyakit hepatoselular dengan
kerusakan sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau sirosis.
Pembengkakan atau disorganisasi sel hati dapat menekan dan
menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyakit hepatoselular
biasanya mengganggu semua fase metabolisme bilirubin, tetapi
ekskresi biasanya paling terganggu, sehingga yang paling menonjol
adalah hiperbilirubinemia terkonjugasi.
2. Keracunan obat
Pada keadaan ini, terjadi gangguan transfer bilirubin melalui
membran hepatosit yang menyebabkan terjadinya retensi bilirubin
dalam sel. Obat yang sering mencetuskan gangguan ini antara lain
halotan, asetaminofen, penisilin, kontrasepsi oral, isoniazid,
klorpromazin dan steroid estrogenik atau anabolik.
29 |
3. Penyakit hati alkoholik
Alkohol dapat mempengaruhi sekresi dan pengambilan empedu
dan menyebabkan kolestasis. Konsumsi alkohol terus menerus
dapat menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis
dengan berbagai tingkat ikterus.
4. Hepatitis autoimun
Sering menyerang kelompok perempuan muda. Sirosis bilier
primer merupakan penyakit hati progresif dengan gejala utama
adalah rasa lelah dan gatal disertai kuning yang timbul kemudian.
Primary Sclerosing Cholangitis lebih sering dijumpai pada laki-
laki dan sekitar 70% menderita penyakit peradangan usus.
Ekstrahepatik
Penyebab kolestasis ekstrahepatik antara lain batu duktus koledokus,
karsinoma kaput pankreas, karsinoma duktus koledokus, karsinoma
ampula vateri, pankreatitis, kolangitis sklerosing, dsb. Penyebab yang
lebih jarang adalah striktur pasca peradangan atau setelah operasi, dan
pembesaran kelenjar limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik seperti
hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat duktus hepatikus kanan
atau kiri. Patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu
(bilirubin, garam empedu, lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan
kegagalan masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin
menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan
bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat
karena sedikit yang bisa mencapai usus halus. Peningkatan garam
empedu dalam sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan
pruritus, walaupun patogenesis gatal masih belum diketahui dengan
pasti. Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak dan
vitamin K, sehingga gangguan ekskresi garam empedu mengakibatkan
steatorhhea dan hipoprotombinemia. Pada kolestasis yang
berlangsung lama (Primary biliary chirrhosis), dapat terjadi gangguan
30 |
penyerapan Ca dan vitamin D sehingga menyebabkan osteoporosis
atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan
hiperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan esterifikasi
yang berkurang dalam darah turut berperan; konsentrasi trigliserida
tidak terpengaruh.
II.1.5. Diagnosis1,3,6
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting. Kolestasis ekstrahepatik
dapat diduga dengan adanya sakit bilier. Kadang-kadang bila bilirubin mencapai
konsentrasi yang lebih tinggi sering menyebabkan warna sklera mata memberi
kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan
(yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik.
31 |
pelebaran bilier, yang membedakan kolestatik ekstrahepatik dari intrahepatik. Hal
ini paling mudah dinilai dengan USG.
Dikutip dari Constantin Tirziu. Current Health Sciences Journal: Jaundice Obstructive
Syndrome. University of Medicine and Pharmacy of Craiova. Vol. 37, No. 2, 2011.
a. Tes laboratorium
Uji Fungsi Hati, Empedu, dan Pankreas
Uji Nilai normal Makna klinis
Mengukur kemampuan hati untuk
Ekskresi empedu mengonjugasi dan mengeskresi
pigmen empedu
Bilirubin serum direk Meningkat: gangguan ekskresi
0,1-0,3 mg/dL
(terkonjugasi) bilirubin terkonjugasi
Bilirubin serum
Meningkat: keadaan hemolitik
indirek (tak 0,2-0,7 mg/dL
dan sindrom Gilbert
terkonjugasi)
Bilirubin serum direk dan total
Bilirubin serum total 0,3-1 mg/dL meningkat pada penyakit
hepatoselular
Bilirubin urin 0 Bilirubin terkonjugasi diekskresi
32 |
dalam urine bila kadarnya
meningkat dalam serum,
mengesankan adanya obstruksi
pada sel hati atau saluran empedu.
Urine berwarna coklat, bila
dikocok timbul busa berwarna
kuning.
Berkurang pada gangguan
ekskresi empedu, gangguan hati,
obstruksi empedu, atau
peradangan.
1-3,5 mg/24
Urobilinogen urine Meningkat: bila jumlah yang
jam
dihasilkan melampaui
kemampuan hati untuk
mengekskresi kembali, seperti
pada ikterus hemolitik.
Metabolisme protein
Protein serum total 6-8 g/dL Sebagian besar protein serum dan
Albumin serum 3,2-5,5 g/dL protein pembekuan di sintesis
oleh hati, sehingga kadarnya
Globulin serum 2-3,5 g/dL menurun pada berbagai gangguan
hati.
Meningkat pada penurunan
sintesis protrombin akibat
kerusakan sel hati atau
Masa protrombin 11-15 detik berkurangnya absorpsi vitamin K
pada obstruksi empedu. Vitamin
K penting untuk sintesis
protrombin.
Enzim serum
5-35 U/ml Aspartate aminotransferase
AST (SGOT)
(frankel) (AST)/serum glutamic
33 |
oxsaloasetic transaminase
(SGOT), alanine
aminotransferase (ALT)/serum
glutamic pyruvic transaminase
(SGPT) adalah enzim intrasel
5-35 U/ml yang terutama berada di jantung,
ALT (SGPT)
(frankel) hati, dan jaringan skelet; yang
dilepaskan dari jaringan yang
rusak (nekrosis/perubahan
permeabilitas sel); meningkat
pada kerusakan hati dan keadaan
lain (terutama infark miokardium)
Dibentuk dalam tulang, hati,
ginjal, usus halus, dan
30-120 IU/L
diekskresikan ke dalam empedu.
Fosfatase alkali atau 2-4 U/dL
Meningkat: pada obstruksi
(Bodansky)
biliaris, penyakit tulang dan
metastasis hati.
Dikutip dari Price Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Jilid I Edisi 6.
Jakarta: EGC.
34 |
- Perbaikan waktu protrombin setelah pemberian vitamin K mengarah pada
adanya bendungan ekstrahepatik, namun hepatoselular juga dapat
berespons.
b. Pencitraan
Metode radiologis untuk menegakkan diagnosis penyakit hati, saluran
empedu, dan pankreas
Uji Keterangan
Densitas kalsifikasi pada kandung empedu, cabang-
Foto polos abdomen cabang saluran empedu (batu empedu), pankreas
dan hati
Disukai untuk mendeteksi batu empedu, dilatasi
Ultrasonografi saluran empedu dan massa padat/kistik dalam hati
atau pankreas
Pencitraan dengan resolusi tinggi pada hati,
kandung empedu, pankreas dan limpa;
CT-scan menunjukkan adanya batu, massa padat, kista,
abses, dan kelainan struktur; sering dipakai bahan
kontras
Memiliki kepekaan lebih tinggi dibandingkan CT-
MRI scan; juga dapat mendeteksi aliran darah dan
sumbatan pembuluh darah
Proses konjugasi dan ekskresi zat warna oleh hati
memungkinkan terlihatnya kandung dan saluran
empedu, sehingga terlihat adanya batu empedu;
bahan kontras yang sukar/tidak terlihat dapat
Kolesistografi oral
disebabkan oleh penyakit sel hati atau obstruksi
empedu; sering digunakan dengan gelombang syok
ekstrakorporeal dan terapi disolusi untuk
pengobatan kolelitiasis.
Kolangiogram Zat warna diberikan melalui suntikan perkutan dan
35 |
transhepatika secara-buta dimasukkan ke dalam saluran empedu;
perkutan membantu membedakan duktus intrahepatik dan
(THC/Transhepatic menyebabkan obstruksi biliaris atau kolestasis;
cholangigram) bahaya berupa kebocoran, perdarahan, dan sepsis.
Kolangiopankreatog Kateter endoskopik dimasukkan ke dalam papila
rafi retrograd duodeni-suntikkan media kontras melalui kateter
endoskopik tersebut ke pankreas atau duktus biliaris sehingga
(ERCP/Endoscopic strukturnya dapat terlihat.
retrograde
cholangiopancreatogr
aphy)
Dsb
Dikutip dari Price Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Jilid I Edisi 6.
Jakarta: EGC.
c. Biopsi hati
Biopsi hati dapat membantu diagnosis kolestasis intrahepatik.
Umumnya, biopsi aman pada kasus kolestasis, namun berbahaya pada
keadaan obstruksi ekstrahepatik berkepanjangan, karenanya harus
disingkirkan dahulu dengan pemeriksaan pencitraan sebelum biopsi.
36 |
II.1.6. Pendekatan Klinis1
Warna kekuningan pada kulit atau telapak tangan (pseudoikterus) dapat
disebabkan konsumsi terlalu banyak makanan yang mengandung beta-carotin
(seperti squash, melon, pepaya, dan wortel), tetapi tidak menimbulkan warna
kuning di sklera atau peningkatan bilirubin.
Ikterus disebabkan gangguan salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin.
Tahap awal penilaian adalah menetapkan hiperbilirubinemia bersifat tak
terkonjugasi atau terkonjugasi.
Tes paling sederhana adalah melihat apakah terdapat bilirubin dalam urin
atau tidak, dan kemudian dipastikan pemeriksaan bilirubin dalam darah. Keadaan
ikterus yang lebih berat disertai warna urin yang gelap, jelas menandakan
penyakit hati atau bilier.
Penyebab ikterus prehepatik termasuk hemolisis dan penyerapan hematom,
akan menyebabkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi (indirek). Kelainan
intrahepatik dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi maupun
konjugasi. Peningkatan bilirubin konjugasi (direk) dapat disebabkan hepatitis
infeksiosa, alkohol, reaksi obat, dan kelainan autoimun. Kelainan posthepatik
dapat menyebabkan peningkatan bilirubin konjugasi. Penyebab tersering kelainan
posthepatik adalah pembentukan batu.
Diagnosis banding antara lain infeksi saluran empedu, pankreatitis, dan
keganasan. Jika mengarah ke kolestasis, apakah intra atau ekstrahepatik dan
apakah dibutuhkan tindakan operasi. Jika terdapat keluhan mual dan muntah yang
mendahului kuning pada kulit, lebih menandakan ke arah hepatitis akut atau
sumbatan duktus koledokus karena batu (biasanya disertai nyeri perut atau
menggigil). Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu dipikirkan segera bahwa
kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu atau
keganasan kaput pankreas). Status gizi kurang menjurus ke keadaan kakeksia
dengan hati yang membesar dan keras serta irregular sering disebabkan
keganasan.
Penemuan laboratorium
- Hemolisis, sindrom Gilbert: hiperbilirubinemia dengan nilai
aminotransferase dan fosfatase alkali normal
37 |
- Hepatitis: peningkatan aminotransferase >500 U
- Kolestasis, kelainan infiltratif: peningkatan fosfatase alkali yang tidak
proporsional
- Bilirubin diatas 25-30 mg/dL seringkali disebabkan hemolisis atau
disfungsi ginjal pada penyakit hepatobilier berat
- Konsentrasi albumin rendah dan globulin tinggi menunjukkan adanya
penyakit kronis
- Peningkatan waktu protrombin yang membaik setelah pemberian
vitamin K (5-10 mg IM, selama 2-3 hari) mengarah pada keadaan
kolestatik
Pemeriksaan pencitraan
Sangat berguna dalam mendiagnosis penyakit infiltratif dan kolestatik.
II.1.7. Penatalaksanaan1,6
Pengobatan ikterus sangat bergantung penyebab penyakit dasarnya.
Pruritus: gatal-gatal merupakan gejala yang cukup mengganggu pada
keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyakit dasarnya sudah
mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversible (seperti sirosis bilier primer)
biasanya responsif terhadap kolestiramin 4-16 g/hari (PO) dalam dosis
terbagi dua yang akan mengikat garam empedu di usus.
Hipoprotrombinemia: biasanya membaik setelah pemberian fitonadion
(vitamin K) 5-10 mg/hari (SK) selama 2-3 hari, kecuali terdapat kerusakan
hati yang berat.
Suplemen Ca dan vitamin D sebagai pencegahan penyakit tulang metabolik.
Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak
ini dan steatorrhea yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian
lemak dalam diet dengan medium chain trigliceride.
Sumbatan bilier ekstrahepatik biasanya membutuhkan tindakan
pembedahan, ekstraksi batu empedu di duktus, atau insersi stent, dan
drainase via kateter untuk striktur (sering keganasan). Papilotomi
endoskopik dengan pengeluaran batu telah menggantikan laparotomi pada
pasien dengan batu di duktus koledokus.
38 |
II.2. Anemia
II.2.1. Pendahuluan
Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit
atau konsentrasi hemoglobin.7 Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan
dapat disebabkan oleh bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia
ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala objektif, namun dapat
berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas
pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung.8,9
39 |
II.2.2. Klasifikasi Dan Etiologi
Anemia dapat diklasifi kasikan berdasarkan umur dan jenis kelamin
dengan melihat jumlah hemoglobin, hematokrit, dan ukuran eritrosit (Tabel 1).
Selain itu dengan dasar ukuran eritrosit (mean corpuscular volume/MCV) dan
kemudian dibagi lebih dalam berdasarkan morfologi eritrositnya. Pada klasifikasi
jenis ini, anemia dibagi menjadi anemia mikrositik, normositik dan makrositik
(Tabel 2). Klasifikasi anemia dapat berubah sesuai penyebab klinis dan patologis.
Penyebab anemia secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu
gangguan produksi eritrosit yaitu kecepatan pembentukan eritrosit menurun atau
terjadi gangguan maturasi eritrosit dan perusakan eritrosit yanglebih cepat.8 Kedua
kategori tersebut tidak berdiri sendiri, lebih dari satu mekanisme dapat terjadi.
40 |
jarang menyebabkan anemia sampai setelah enam bulan. Pada bayi prematur,
kekurangan zat besi dapat terjadi setelah berat dua kali lipat berat lahir. Penyakit
terkait kromosom X seperti defi siensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD),
harus dipertimbangkan pada anak laki-laki. Defisiensi piruvat kinase bersifat
autosomal resesif dan berhubungan dengan anemia hemolitik kronis.13-16
41 |
Tabel 3 Pemeriksaan fisik pada pasien anemia8
42 |
Gambar 2 Penyebab gangguan morfologi sumsum tulang8
43 |
Gambar 3 Pendekatan diagnosis berdasarkan MCV dan jumlah retikulosit8
44 |
II.3. ISK (Infeksi Saluran Kemih)17
II.3.1. Definisi 17
Infeksi saluran kemih (urinary tract infection=UTI) adalah bertumbuh dan
berkembang biaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah
bermakna.
II.3.2. Epidemiologi17
ISK merupakan penyakit yang relatif sering pada anak. Kejadian ISK
tergantung pada umur dan jenis kelamin.
Prevalensi ISK pada neonatus berkisar antara 0,1% hingga 1%, dan
meningkat menjadi 14% pada neonatus dengan demam, dan 5,3% pada bayi. Pada
bayi asimtomatik, bakteriuria didapatkan pada 0,3 hingga 0,4%.13 Risiko ISK
pada anak sebelum pubertas 3-5% pada anak perempuan dan 1-2% pada anak laki.
Pada anak dengan demam berumur kurang dari 2 tahun, prevalensi ISK 3-5%.
II.3.3. Diagnosis 17
Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin.
ISK serangan pertama umumnya menunjukkan gejala klinik yang lebih
jelas dibandingkan dengan infeksi berikutnya. Gangguan kemampuan mengontrol
kandung kemih, pola berkemih, dan aliran urin dapat sebagai petunjuk untuk
menentukan diagnosis. Demam merupakan gejala dan tanda klinik yang sering
dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala ISK pada anak.
Pemeriksaan massa dalam abdomen, kandung kemih, muara uretra,
pemeriksaan neurologik ekstremitas bawah, tulang belakang untuk melihat ada
tidaknya spina bifida, perlu dilakukan pada pasien ISK. Genitalia eksterna
diperiksa untuk melihat kelainan fimosis, hipospadia, epispadia pada laki-laki atau
sinekie vagina pada perempuan. Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah
prosedur yang terpenting. Oleh sebab itu kualitas pemeriksaan urin memegang
peran utama untuk menegakkan diagnosis.
45 |
American Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi bahwa
pada bayi umur di bawah 2 bulan, setiap demam harus dipikirkan kemungkinan
ISK dan perlu dilakukan biakan urin. Pada anak umur 2 bulan sampai 2 tahun
dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan ISK harus
dipikirkan dan perlu dilakukan biakan urin, dan anak ditata laksana sebagai
pielonefritis. Untuk anak perempuan umur 2 bulan sampai 2 tahun, AAP membuat
patokan sederhana berdasarkan 5 gejala klinik yaitu:1. suhu tubuh 390C atau
lebih, 2. demam berlangsung dua hari atau lebih, 3. ras kulit putih, 4. umur di
bawah satu tahun, 5. tidak ditemukan kemungkinan penyebab demam lainnya.
Bila ditemukan 2 atau lebih faktor risiko tersebut maka sensitivitas untuk
kemungkinan ISK mencapai 95% dengan spesifisitas 31%
46 |
urgency, frequency, ngompol, sedangkan keluhan sakit perut, sakit pinggang, atau
pireksia lebih jarang ditemukan.
Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala
saluran cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih
normal, dapat ditemukan nyeri pinggang. Gejala neurologis dapat berupa iritabel
dan kejang. Nefritis bakterial fokal akut adalah salah satu bentuk pielonefritis,
yang merupakan nefritis bakterial interstitial yang dulu dikenal sebagai nefropenia
lobar.
Pada sistitis, demam jarang melebihi 380C, biasanya ditandai dengan nyeri
pada perut bagian bawah, serta gangguan berkemih berupa frequensi, nyeri waktu
berkemih, rasa diskomfort suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih, retensio urin,
dan enuresis.
47 |
Hematuria kadang-kadang dapat menyertai infeksi saluran kemih, tetapi
tidak dipakai sebagai indikator diagnostik. Protein dan darah mempunyai
sensitivitas dan spesifitas yang rendah dalam diagnosis ISK.
Bakteri sulit dilihat dengan mikroskop cahaya, tetapi dapat dilihat dengan
mikrokop fase kontras.6 Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine),
terdapatnya kuman pada setiap lapangan pandangan besar (LPB) kira-kira setara
dengan hasil biakan 107 cfu/mL urin, sedangkan pada urin yang dipusing,
terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan mikroskopis menandakan
jumlah kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop fase kontras
tidak terlihat kuman, umumnya urin steril.
Anti coated bacteri (ACB) dalam urin yang diperiksa dengan
menggunakan
fluorescein-labeled anti-immunoglobulin merupakan tanda pielonefritis pada
remaja dan dewasa muda, namun tidak mampu laksana pada anak.
48 |
II.3.6. Tatalaksana 17
49 |
II.4. Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) 18
II.4.1. Definisi
Immune thrombocytopenic purpura (ITP, yang disebut juga autoimmune
thrombocytopenic purpura, morbus Wirlhof, atau purpura hemorrhagica,
merupakan kelainan perdarahan (bleeding disorder), akibat destruksi prematur
trombosit yang meningkat akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit.
Umumnya terjadi pada anak usia 2-4 tahun, dengan insiden 4-8 kasus per 100.000
anak per tahun. ITP terjadi akut dan biasanya sembuh sendiri dalam 6 bulan, bila
dalam waktu 6 bulan tidak sembuh maka diagnosis menjadi ITP Kronis.
II.4.2. Diagnosis
II.4.2.1.Anamnesis
Umumnya trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi virus, atau
bakteri(infeksi saluran napas atas, saluran cerna), bisa juga terjadi setelah
vaksinasi rubella, rubeola, varisela, atau setelah vaksinasi dengan virus
hidup.
Perdarahan yang terjadi tergantung jumlah trombosit didalam darah.
Diawali dengan perdarahan kulit berupa petekie hingga lebam. Perdarahan
ini biasanya dilaporkan terjadi mendadak.
Obat-obatan, misalnya heparin, sulfonamid, kuinidin/kuinin, aspirin dapat
memicu terjadinya kekambuhan. Obat yang mengandung salisilat dapat
meningkatkan risiko timbulnya perdarahan.
II.4.2.2.Pemeriksaan fisis
Pada umumnya bentuk perdarahannya ialah purpura pada kulit dan
mukosa (hidung, gusi, saluran cerna dan traktus urogenital).
Pembesaran limpa terjadi pada 10-20 % kasus.
II.4.2.3.Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi :
Morfologi eritrosit, leukosit, dan retikulosit biasanya normal.
Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit normal. Anemia bisa
terjadi bila ada perdarahan spontan yang banyak
Trombositopenia.Umumnya ukuran trombosit normal, bisa juga ditemukan
giant cell.
2. Masa perdarahan memanjang
3. Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang: Tidak perlu bila gambaran klinis dan
laboratoris klasik. Dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang bila
gagal terapi selama 3-6 bulan, atau pada pemeriksaan fisik ditemukan
50 |
adanya pembesaran hepar/lien/kelenjar getah bening dan pada
laboratorium ditemukan bisitopenia.
II.4.3 Tatalaksana
1. Indikasi rawat inap
Pada penderita yang sudah tegak diagnosisnya, perlu dilakukan rawat inap bila:
Jumlah hitung trombosit <20.000/L
Perdarahan berat
Kecurigaan/pasti perdarahan intrakranial
Umur <3 tahun
Bila tidak dirawat inap, penderita diwajibkan untuk tidak/menghindari obat anti
agregasi (seperti salisilat dan lain sebagainya) dan olah raga yang traumatis
(kepala).
ITP bersifat akut dan 90 % sembuh spontan, hanya 5-10% menjadi kronis karena
itu keputusan apakah perlu diberi pengobatan masih diperdebatkan.
2. Medikamentosa
a. Pengobatan dengan kortikosteroid diberikan bila:
Perdarahan mukosa dengan jumlah trombosit <20.000/ L
Perdarahan ringan dengan jumlah trombosit <10.000/ L
Steroid yang biasa digunakan ialah prednison, dosis 1-2 mg/kgBB/hari,
dievaluasi --setelah pengobatan 1-2 minggu. Bila responsif, dosis
diturunkan pelahan-lahan sampai kadar trombosit stabil atau
dipertahankan sekitar 30.000 - 50.000/L. Prednison dapat juga
diberikan dengan dosis tinggi yaitu 4 mg/kgBB/hari selama 4 hari. Bila
tidak respons, pengobatan yang diberikan hanya suportif.
Pengembalian kadar trombosit akan terjadi perlahan-lahan dalam
waktu 2-4 --minggu dan paling lama 6 bulan. Pada ITP dengan kadar
trombosit >30.000/L dan tidak memiliki keluhan umumnya tidak
akan diberikan terapi, hanya diobservasi saja.
b. Pemberian suspensi trombosit dilakukan bila :
Jumlah trombosit <20.000/ L dengan perdarahan mukosa berulang
(epistaksis)
Perdarahan retina
Perdarahan berat (epistaksis yang memerlukan tampon, hematuria,
perdarahan organ dalam)
Jumlah trombosit < 50.000/ul**
Kecurigaan/pasti perdarahan intra kranial
Menjalani operasi, dengan jumlah trombosit <150.000/ L.
** Bila trombosit > 50.000/ul disamping pemberian trombosit pikirkan
penyebab lain (koagulasi).
51 |
Tabel Intervensi penanganan ITP berdasarkan jumlah trombosit dan manifestasi klinis18
II.4.4 Prognosa
Jika ITP terjadi pada usia <1tahun atau >10 tahun, kelainan ini cenderung
menjadi kronik dan dihubungkan dengan kelainan imun yang umum.
52 |
II.5.2. Etiologi
Meskipun masalah genetik dan hormonal juga dapat menjadi penyebab
terjadinya obesitas pada anak, kebanyakan kasus kelebihan berat badan
disebabkan karena adanya ketidak seimbangan antara asupan makanan yang
berlebihan sedangkan aktivitas fisik kurang.
II.5.3. Diagnosis
Berdasarkan antropometri, obesitas pada anak ditentukan berdasarkan tiga metode
pengukuran sebagai berikut:
1. Mengukur berat badan dan hasilnya dibandingkan dengan berat badan ideal
sesuai tinggi badan (BB/TB). Overweight didefinisikan sebagai berat badan
menurut tinggi badan 100% ,Obesitas didefinisikan sebagai berat badan
menurut tinggi badan 120%.
2. The World Health Organization (WHO) telah merekomendasikan IMT
sebagai dasar pengukuran obesitas pada anak dan remaja di atas 2 tahun. Ini
merupakan cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta berkorelasi
tinggi dengan massa lemak tubuh, selain itu juga penting untuk
mengidentifikasi pasien obes yang mempunyai risiko mendapat komplikasi
medis. Konsensus terbaru mengatakan bahwa IMT lebih dari atau sama
dengan persentil ke-95 merupakan nilai patokan obesitas pada anak dan
remaja, lebih dari 85 adalah overweight.
3. Pengukuran langsung lemak subkutan dengan mengukur tebal lipatan kulit
(TLK). Terdapat empat macam cara pengukuran TLK yang ideal yaitu TLK
biseps, triseps, subskapular, dan suprailiaka. Bila TLK di atas persentil ke 85
merupakan indikator adanya obesitas
II.5.4. Tatalaksana
1. Edukasi orangtua
2. Diet makanan dengan benar
3. Olahraga
53 |
BAB III
ANALISA KASUS
sklera
kulit
Ikterik
Bilirubin serum >2-3g/dl Urin gelap
54 |
Anemia
MCV
Makrositik
-def vit B12
Rendah Normal Tinggi
-def as. Folat
-def besi -def as folat
-anemia aplastik
-talasemia -def vit B12
-peny hati
Peny kronik -anemia hemolitik autoimun
-hipotiroid
-peny hati
Tinggi Rendah
Bilirubin Meningkat
Leukosit & trombosit
-anemia
Rendah
hemolitik
Normal -depresi Meningkat
-perdarahan sumsumtulang Normal
Infeksi
-keganasan TEC
55 |
-anemia aplastik
ISK
Asimptomatik
Simptomatik
-Sebagian ISK pada anak = ISK
Usia anak besar
asimtomatik
-gejala klini lebih Ringan
- polakisuria, -umumnya anak umur sekolah
-disuria -terutama anak perempuan
-urgency
- frequency,
-ngompol
-sakit perut, pinggang, pireksia jarang
Bakteriuria bermakna
- kriteria Kass (kateter urin dan
Pemeriksaan laboratorium
urin pancar tengah)jumlah kuman
Urinalisis biakan 10 5 cfu per mL urin
-bakteri +/ LPB setara dengan 107
-leukosituria (uncentrifuged urine), >105
-nitrit (entrifuged urine)
-leukosit esterase
-protein
-darah
-Anti coated bacteri (ACB)
Pemeriksaan darah
-leukositosis
-Peningkatan LED
- CRP
Biakan urin
56 |
ITP
AKUT KRONIK
DIAGNOSIS
57 |
Gizi Lebih
58 |
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo Aru W, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
2. Ndraha Suzanna. 2013. Jurnal: Kolestasis Intrahepatik. IDI. Hal 1-5.
3. Peterson M, C D Briggs. 2007. Investigation and Management of Obstructive
Jaundice. Hal 1-7.
4. L Moore, Keith. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: EGC.
5. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi
6. Jakarta: EGC.
6. Price Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Jilid I Edisi 6.
Jakarta: EGC.
7. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007. Dikutip dalam Irawan
Hendry. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK-205/vol40
no.6;2013.
8. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. Nathan and Oskis Hematology
of Infancy and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders; 2008. Dikutip
dalam Irawan Hendry. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK-
205/vol40 no.6;2013.
9. Khusun H, Yip R, Schultink W, Dillon DHS. World Health Organization
Hemoglobin Cut-Off Points for the Detection of Anemia Are Valid for An
Indonesian Population. J Nutr. 1999;129:1669-74. Dikutip dalam Irawan
Hendry. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK-205/vol40
no.6;2013.
10. Ezzati M, Lopez AD, Rodgers A, Vander Hoorn S, Murray CJ, the
Comparative Risk Assessment Collaborating Group. Selected major risk
factors and global and regional burden of disease. Lancet. 2002;360:1347-
60. Dikutip dalam Irawan Hendry. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak.
CDK-205/vol40 no.6;2013.
59 |
11. Sari M, de Pee S, Martini E, Herman S, Sugiatmi, Bloem MW, et al.
Estimating the prevalence of anaemia: a comparison of three methods. Bulletin
of the World Health Organization. 2001;79:506-11. Dikutip dalam Irawan
Hendry. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK-205/vol40
no.6;2013.
12. U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF). Screening for iron defi
ciency anemia - including iron supplementation for children and pregnant
women. Rockville (MD): Agency for Healthcare Research and Quality
(AHRQ); 2006.
13. Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter MK, Lister G, Siegel NJ. Rudolphs
Pediatrics. 21st ed. USA: McGraw-Hill; 2003. Dikutip dalam Irawan
Hendry. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK-205/vol40
no.6;2013.
14. Bessman JD, Gilmer PR, Gardner FH. Improved classifi cation of anemias by
MCV and RDW. Am J Clin Pathol. 1983;80:322-6. Dikutip dalam Irawan
Hendry. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK-205/vol40
no.6;2013.
15. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. 4th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2005. Dikutip dalam Irawan Hendry. Pendekatan
Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK-205/vol40 no.6;2013.
16. Kohli-Kumar M. Screening for anemia in children: AAP recommendations - a
critique. Pediatrics. 2001;108:e56-7. Dikutip dalam Irawan Hendry.
Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak. CDK-205/vol40 no.6;2013.
17.Paradede. Sudung et al, Konsensus Infeksi Saluran kemih. IDAI.2011.
60 |