Anda di halaman 1dari 126

Konsep Dasar Sosiolinguistik i

iv Sosiolinguistik

SOSIOLINGUISTIK
Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam Masyarakat Multikultural
Penulis: Fathur Rokhman



Edisi Pertama
Cetakan Pertama, 2013

Hak Cipta 2013 pada penulis,


Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku
ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik
perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

Ruko Jambusari No. 7A


Yogyakarta 55283
Telp. : 0274-889836; 0274-889398
Fax. : 0274-889057
E-mail : info@grahailmu.co.id

Rokhman, Fathur
SOSIOLINGUISTIK; Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam Masyarakat
Multikultural/Fathur Rokhman
- Edisi Pertama Yogyakarta; Graha Ilmu, 2013
X + 116 hlm, 1 Jil.: 26 cm.

ISBN: 978-979-756-xxx-xx

1. Bahasa I. Judul
Konsep Dasar Sosiolinguistik v

PRAKATA

P uji syukur senantiasa dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Menguasai Alam Raya. Atas rahmat
dan hidayah-Nya, buku Sosiolinguistik ini hadir di tangan Anda.
Sebagai alat komunikasi dan interaksi yang dimiliki manusia, bahasa dapat dikaji secara internal
maupun eksternal. Dalam studi linguistik umum (general linguistik), kajian secara internal disebut
sebagai kajian bidang mikrolinguistik dan kajian secara eksternal disebut sebagai kajian bidang
makrolinguistik. Kajian secara internal dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-
prosedur yang ada dalam disiplin linguistik, seperti fonologi, morfologi, atau sintaksis.Sementara
itu, kajian bahasa secara eksternal melibatkan dua disiplin ilmu atau lebih sehingga wujudnya berupa
ilmu antardisiplin.
Kajian bahasa secara internal akan menghasilkan perian-perian bahasa secara objektif deskriptif
dalam wujud sebuah buku tata bahasa. Buku-buku tata bahasa biasanya hanya menyajikan kaidah-
kaidah bahasa tanpa mengaitkannya dengan kaidah-kaidah penggunaan bahasa. Tanpa ilmu
sosiolinguistik, pengajaran ragam bahasa menggunakan buku tata bahasa ini akan mengalami
kesulitan. Ragam bahasa yang diajarkan buku tata bahasa hanya berupa ragam bahasa baku. Padahal
dalam buku tersebut sejatinya terekam juga hasil perian ragam nonbaku.
Contoh sederhana tampak pada penggunaan kata ganti orang kedua tunggal. Kata ganti orang
kedua tunggal dalam bahasa Indonesia adalah engkau, kamu, Anda. Dalam percakapan sehari-hari,
kita terbiasa juga menggunakan kata saudara, bapak, ibu, elu. Seseorang yang baru mempelajari
vi Sosiolinguistik

bahasa Indonesia dan tidak mengenal kaidah sosial dalam menggunakan kata ganti tersebut bisa jadi
akan membuat kesalahan dalam pemilihan kata saat berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Orang
tersebut bisa saja menggunakan kata ganti berupa engkau ketika ia bertutur dengan seorang penjual
sayur di pasar, atau seorang murid yang menggunakan kata ganti berupa kamu ketika berbicara
dengan gurunya di kelas, dan tentu saja percakapan tersebut akan menarik perhatian orang-orang
sekitar.
Bagi negara yang multilingual seperti Indonesia, keberadaan lingua franca menjadi sebuah hal
yang penting. Pemilihan bahasa mana yang dijadikan bahasa persatuan berpotensi menimbulkan
ketegangan sosial dan politik berbahasa dalam masyarakat. Namun agaknya bangsa Indonesia sudah
dapat mengatasinya dengan menjadikan bahasa Indonesia, yang berakar dari bahasa Melayu, sebagai
bahasa persatuan sejak 28 Oktober 1928 silam. Meskipun jumlah penutur asli bahasa Melayu jauh
lebih sedikit dibanding penutur bahasa daerah yang lain, yakni Sunda dan Jawa, namun masyarakat
kala itu menyadari bahwa secara sosiolinguistik bahasa Melayu mempunyai peranan yang lebih
mungkin sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi bangsa Indonesia. Untuk itu, pemahaman akan
prinsip-prinsip sosiolinguistik dapat memberi sumbangan dalam mengatasi ketegangan sosial dan
politik akibat persoalan bahasa.
Penulis berharap buku yang sederhana ini dapat bermanfaat dalam kerangka pembinaan
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, dengan tepat dan sesuia dengan status dan
fungsinya masing-masing seperti yang diamanatkan UUD 1945. Kepada teman-teman yang telah
banyak memberikan andil, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga buku ini menjadi pematik
bagi pembaca untuk mendalami sosiolinguistik dalam memahami masyarakat multikultural dan
multilingual, khususnya pembelajaran bahasa.

Semarang, Februari 2011

Fathur Rokhman
Konsep Dasar Sosiolinguistik vii

DAFTAR ISI

Prakata iii
Daftar Isi v

BAB I Konsep Dasar Sosiolinguistik 1


1.1 Pengertian Sosiolinguistik 1
1.2 Permasalahan Sosiolinguistik 3
1.3 Relevansi Linguistik dengan Sosiolinguistik 4
1.4 Relevansi Sosiolinguistik, Sosiologi, dan Linguistik 5
1.5 Manfaat Sosiolinguistik 5
BAB II Masyarakat Bahasa 7
2.1 Konsep Masyarakat Bahasa 7
2.2 Klasifikasi Masyarakat Bahasa 9
2.3 Masyarakat Bahasa sebagai Interpretasi Subjektif-Psikologis 12
2.4 Masyarakat Bahasa di Indonesia 12
viii Sosiolinguistik

BAB III Ragam Bahasa 15


3.1 Pengertian Ragam Bahasa 15
3.2 Jenis Ragam Bahasa 15
BAB IV Kedwibahasaan dan Diglosia 19
4.1 Kedwibahasaan 19
4.2 Diglosia 20
BAB V Pemilihan Bahasa 25
5.1 Pengertian Pilihan Bahasa 25
5.2 Faktor Penanda Pilihan Bahasa 26
5.3 Kompetensi Komunikatif dalam Pemilihan Bahasa 27
5.4 Strategi Pilihan Bahasa 30
5.5 Tiga Pendekatan Kajian Pemilihan Bahasa 32
BAB VI Alih Kode dan Campur Kode 37
6.1 Alih Kode 37
6.2 Campur Kode 38
BAB VII Sikap Bahasa 41
7.1 Pengertian Sikap Bahasa 41
7.2 Komponen Sikap Bahasa 43
7.3 Metode dan Teknik Pengukuran Sikap Bahasa 45
BAB VIII Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa 49
8.1 Pergeseran Bahasa 49
8.2 Pemertahanan Bahasa 50
8.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa 51
BAB IX Politik Bahasa 53
9.1 Urgensi Politik Bahasa 53
9.2 Kebijaksanaan Bahasa 54
9.3 Perencanaan Bahasa 61
BAB X Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 63
Daftar Isi ix

10.1 Urgensi Pembelajaran Konteks Sosiokultural 63


10.2 Materi Ajar 64
10.4 Prosedur dan Prinsip-Prinsip Pengembangan Materi Ajar 65
10.5 Kriteria Materi Ajar yang Baik 66
10.6 Paradigma Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa 70
10.7 Panduan Pengembangan Materi Ajar Berbasis Konteks Sosiokultural 80
10.8 Panduan Model Pengembangan Proses Belajar Mengajar dalam pencapai Kompetensi
Komunikatif Siswa 83
BAB X Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 89
11.1 Urgensi Komunikasi Lintas Budaya 89
11.2 Realitas Multikultural di Indonesia 92
11.3 Pengembangan Kesadaran Multilingual 94
11.4 Pengembangan Komunikasi Lintas Budaya 96
11.5 Implikasi Multikultural bagi Pembelajaran Bahasa 105

Daftar Pustaka 109


x Sosiolinguistik
Konsep Dasar Sosiolinguistik 1

BAB I

KONSEP DASAR SOSIOLINGUISTIK

1.1 Pengertian Sosiolinguistik

S osiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu
empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Apa sosiologi dan linguistik itu? Banyak batasan
telah dibuat oleh para sosiolog mengenai sosiologi, tetapi intinya bahwa sosiologi adalah kajian
yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan
proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat
itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala
masalah sosial dalam satu masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing-
masing di dalam masyarakat.
Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa
sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik
adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan
bahasa itu di dalam masyarakat. Sosiolinguistik dapat didefinisikan sebagai kajian tentang bahasa
dalam hubungannya dengan masyarakat dan istilah inilah yang akan digunakan dalam buku ini.
Sosiolinguistik adalah ilmu yang interdisipliner. Istilahnya sendiri menunjukkan bahwa ia terdiri
atas bidang sosioligi dan linguistik. Dalam istilah linguistik-sosial (sosiolinguistik) kata sosio adalah
aspek utama dalam penelitian dan merupakan ciri umum bidang ilmu tersebut. Linguistik dalam
2 Sosiolinguistik

hal ini juga berciri sosial sebab bahasa pun berciri sosial, yaitu bahasa dan strukturnya hanya dapat
berkembang dalam suatu masyarakat tertentu. Aspek sosial dalam hal ini mempunyai ciri khusus,
misalnya ciri sosial yang spesifik dan bunyi bahasa dalam kaitannya dengan fonem, morfem, kata,
kata majemuk, dan kalimat.
Selain istilah sosiolinguistik ada juga digunakan istilah sosiologi bahasa. Dari kedua istilah tersebut
ada yang menganggap itu sama, tetapi ada juga yang menganggap berbeda. Ada yang mengatakan
digunakannya sosiolinguistik karena penelitiannya dimasuki dari bidang linguistik; sedangkan istilah
sosiologi bahasa digunakan kalau penelitian itu dimasuki dari bidang sosiologi. Fishman dalam
mengkaji masalah ini menggunakan judul Sosiolinguistik (1970), kemudian menggantinya dengan
sosiologi bahasa, Sociology of Language (1972). Artikel yang ditulis Fishman dalam Giglioli (ed.
1972:45-58) memang membahas Sosiolinguistik di bawah judul Sosiologi Bahasa. Dikatakannya
bahwa ilmu ini meneliti interaksi antara dua aspek tingkah laku manusia: penggunaan bahasa dan
organisasi tingkah laku sosial. J.A. Fishman mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif,
sedangkan kajian sosiologi bahasa bersifat kuantitatif. Jadi sosiolinguistik lebih berhubungan dengan
perincian-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian
bahasa/dialek dalam budaya tertentu, pilihan pemakaian bahasa/dialek tertentu yang dilakukan
penutur, topik, dan latar pembicaraan, sedangkan sosiologi bahasa lebih berhubungan dengan faktor-
faktor sosial, yang saling bertimbal-balik dengan bahasa/dialek.
Bram & Dickey, (ed. 1986:146) menyatakan bahwa Sosiolinguistik megkhususkan kajiannya pada
bagaimana bahasa berfungsi di tengah masyarakat. Mereka menyatakan pula bahwa sosiolinguistik
berupaya menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-aturan berbahasa secara tepat
dalam situasi-situasi yang bervariasi.
Sosiolinguistik juga menyangkut individu sebab unsur yang sering terlihat melibatkan individu
sebagai akibat dari fungsi individu sebagai makhluk sosial. Hal itu merupakan peluang bagi
linguistik yang bersifat sosial untuk melibatkan diri dengan pengaruh masyarakat terhadap bahasa
dan pengaruh bahasa pada fungsi dan perkembangan masyarakat sebagai akibat timbal-balik dari
unsur-unsur sosial dalam aspek-aspek yang berbeda, yaitu sinkronis, diakronis, prospektif -- yang
dapat terjadi-- dan perbandingan. Hal tersebut memungkinkan sosiolinguistik membentuk landasan
teoretis cabang-cabang linguistik seperti: linguistik umum, sosiolinguistik bandingan, antarlinguistik
dan sosiolinguistik dalam arti sempit (sosiolinguistik yang konkret) (Deseriev, 1977:341-363).
Sumbangan bidang sosiologi dan linguistik kepada sosiolinguistik tidak sama, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Sumbangan unsur-unsur kemasyarakatan untuk landasan sosial dari
sosiologi dan linguistik, termasuk seluruh perkembangan dari masyarakat, mencakup kesadaran
secara sosial dan individu, mulai dari kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat hingga hasil
yang berbeda-beda dari perkembangan masyarakat secara keseluruhan.
Konsep Dasar Sosiolinguistik 3

1.2 Permasalahan Sosiolinguistik


Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, Los Angeles,
tahun 1964 telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh
dimensi yang merupakan isu dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dari penutur. (2)
identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat
peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian
sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam
linguistik, dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik (lihat Dittmar 1976:128).
Identitas sosial dari penutur antara lain dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur
tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tutur. Dengan demikian identitas penutur
dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman
karib, atasan atau bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan,
dan sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
Identitas sosial dari pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur. Dengan demikian identitas
pendengar itu pun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, adik, kakak, paman, dan sebagainya)
teman karib, guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan, dan sebagainya. Identitas pendengar
atau para pendengar juga akan mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluarga di dalam sebuah
rumah tangga, di dalam masjid, di lapangan sepak bola, di ruang kuliah, di perpustakaan, atau di
pinggir jalan. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam
bertutur, misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak
keras, di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah di ruang yang bising dengan
suara mesin-mesin kita harus berbicara dengan suara keras, sebab kalau tidak keras tentu tidak dapat
didengar oleh lawan bicara kita.
Analisis diakronik dan sinkronik dari dialek-dialek sosial berupa deskripsi pola-pola dialek sosial
itu, baik yang berlaku pada masa tertentu atau yang berlaku pada masa yang tidak terbatas. Dialek
sosial ini digunakan para penutur sehubungan dengan kedudukan mereka sebagai anggota kelas-
kelas sosial tertentu di dalam masyarakat.
Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran. Maksudnya,
setiap penutur tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam masyarakat. Dengan demikian
berdasarkan kelas sosialnya itu, dia mempunyai penilaian tersendiri, yang tentunya sama, atau jika
berbeda, tidak akan terlalu jauh dari kelas sosialnya, terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang
berlangsung.
Tingkatan variasi atau linguistik, maksudnya bahwa sehubungan dengan heterogennya anggota
suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya tingkatan
kesempurnaan kode, maka alat komunikasi manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat
4 Sosiolinguistik

bervariasi. Setiap variasi, entah namanya dialek varietas, atau ragam, mempunyai fungsi sosialnya
masing-masing.
Dimensi terakhir, yakni penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik, merupakan topik yang
membicarakan kegunaan penelitian sosiolinguistik untuk mengatasi masalah-masalah praktis dalam
masyarakat, misalnya, masalah pengajaran bahasa, pembakuan bahasa, penerjemahan, mengatasi
konflik sosial akibat konflik bahasa, dan sebagainya
Sudah selayaknya kalau pembicaraan sosiolinguistik membahas ketujuh dimensi penelitian
sosiolinguistik tersebut. Dalam buku ini berturut-turut akan dibicarakan masalah komunikasi bahasa,
masyarakat tutur, variasi bahasa, bilingualisme dan diglosia, alih kode dan campur kode, interferensi
dan integrasi, perubahan, pergeseran, dan pemertahanan bahasa, sikap dan pemilihan kode bahasa,
pengajaran bahasa, diakhiri dengan profil sosiolinguistik di Indonesia.

1.3 Relevansi Linguistik dengan Sosiolinguistik


Linguistik adalah ilmu pengetahuan yang melibatkan dirinya dengan bahasa. Bahasa sebagai
objek penelitian linguistik ditinjau dari batasan-batasan fungsi dan perkembangannya. Keberadaan
struktur bahasa dapat ditinjau secara historis dan memberikan tempat yang spesifik, terisolasi dan
tersendiri di antara unsur-unsur kemasyarakatan lainnya. Mengenai struktur bahasa dan batasan yang
ada di dalamnya (semantik leksikal, fonologi, morfologi, sistem sintaktis, dan stilistis fungsional),
membuat bahasa menjadi phenomena sosial yang sangat spesifik dan relatif terisolasi. Unsur-
unsur dan kategori yang spesifik dari bahasa, ciri-ciri dan variasi struktural tidak dapat dijabarkan
dan ditemukan padanan formulasinya dalam perwujudan sosial lainnya. Hal itu menjadikan ilmu
sosiolinguistik penting, yaitu mengembangkan suatu disiplin ilmu yang baru, membentuk aspek yang
baru dari kehidupan berbahasa suatu masyarakat, atau suatu kelompok masyarakat yang berbeda,
suatu disiplin ilmu yang memperhitungkan makna utama gejala sosial dan pengaruh timbal-baliknya
maupun perkembangan di dalam bahasa itu sendiri.
Apakah perbedaan antara linguistik dan sosiolinguistik? Pandangan yang umumnya diikuti
adalah bahwa linguistik hanya membahas struktur bahasa dan tidak membicarakan konteks sosial
tempat bahasa itu dipelajari dan digunakan. Tugas linguistik adalah mencari kaidah bahasa X dan
sesudah itu barulah para sosiolinguistik memasuki permasalahan dan mengkaji masalah apa pun
yang ada dengan adanya kontak antara kaidah itu dengan masyarakat, misalnya jika kelompok sosial
yang berbeda memilih alternatif lain untuk menyatakan hal yang sama. Pandangan ini merupakan
pandangan yang khas pada aliran linguistik struktural yang telah mendominasi linguistik abad
kedua puluh termasuk linguistik transformasi-generatif (ragam yang dikembangkan sejak tahun 1957
oleh Chomsky). Secara kebetulan aliran itu juga umum dalam kebanyakan pengajaran bahasa asing
di Inggris). Namun tidak semua pengkaji bahasa menerima pandangan ini. Beberapa dari mereka
mengatakan bahwa ujaran jelas merupakan perilaku sosial sehingga mempelajari ujaran tanpa
mengacu ke masyarakat akan seperti mempelajari perilaku orang pacaran tanpa menghubungkan
perilaku seseorang dengan patnernya.
Konsep Dasar Sosiolinguistik 5

1.4 Relevansi Sosiolinguistik, Sosiologi, dan Linguistik


Dalam ilmu pengetahuan dewasa ini, terutama di bidang ilmu bahasa terdapat beragam pendapat
dalam hubungannya dengan objek linguistik. Beberapa pengarang berbeda pandangan tentang
harus dimasukkan dalam disiplin ilmu yang mana sosiolinguistik itu. Perkembangan ilmu bahasa di
Rusia, pandangan yang berpengaruh adalah bahwa sosiolinguistik merupakan salah sebuah cabang
tersendiri dari ilmu pengetahuan yang interdisipliner.
Dalam ilmu bahasa terdapat ketentuan mengenai objek sosiolinguistik yang berbeda. Pandangan
V.M. Zirmunskij (1969:14) menyatakan bahwa penelitian mengenai perbedaan bahasa dari aspek
sosial harus didasarkan pada penelitian sinkronis dan diakronis. Menurut pendapat O.S. Achmanova
dan A.N. Marcenko (1971:2) sosiolinguistik adalah bagian dari bahasa yang menyelidiki hubungan
kausal antara bahasa dan gejala-gejala dalam kehidupan sosial. L.B. Njikolskij (1974:63) berpendapat
bahwa tugas dan objek penelitian linguistik berada pada cakupan yang luas yang dihubungkan
dengan konteks bahasa. Dapat diberikan definisi yang berbeda dari objek sosiolinguistik yang dapat
ditemukan dalam khazanah suatu bidang ilmu yang khusus.
Menurut pendapat R. Grosse dan A. Neubert (1970:3-4), hubungan timbal balik antara bahasa
dan masyarakat dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu dari aspek sosiolinguistik maupun aspek
sosiologi bahasa. Yang pertama termasuk bidang linguistik, sedangkan yang kedua termasuk bidang
sosiologi.
Ilmu sosiolinguistik dapat menawarkan banyak hal kepada ilmu sosiologi. beberapa kriteria
seperti berikut ini memiliki makna yang penting untuk sosiologi, (1) menurut pandangan B. Russel,
bahasa merupakan satu-satunya alat untuk mengenal ilmu pengetahuan, (2) penilaian yang terlalu
tinggi tidak dapat diberikan kepada interpretasi data-data bahasa untuk formulasi dan pekembangan
teori sosiolinguistik, (3) data-data sosiolinguistik memegang peranan penting dalam cabang-cabang
ilmu sosiologi.
Efek timbal-balik antara sosiolinguistik dan linguistik sangat banyak dan mendalam. Hal itu dapat
dijelaskan oleh dua ciri sosiolinguistik. Pertama, oleh pengaruh-pengaruh yang khas dari faktor-faktor
sosial terhadap fungsi bahasa secara keseluruhan. Kedua, melalui pengaruh faktor sosial yang khas
pada struktur bahasa; tingkatan-tingkatannya; dan dan unsur-unsur dalam struktur bahasa seperti
fonologi, morfologi, tingkatan sintaktis, fonem, kata hubungan kata, dan kalimat.
Hubungan timbal balik antara masyarakat, linguistik, dan sosiolinguistik memiliki ciri yang rumit.
Hal itu menunjukkan bahwa sosiolinguistik memiliki peranan yang menunjang.

1.5 Manfaat Sosiolinguistik


Setiap bidang ilmu tertentu mempunyai kegunaan dalam kehidupan praktis, begitu juga dengan
sosiolinguistik. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis banyak sekali, sebab bahasa sebagai
alat komunikasi verbal manusia, tentunya mempunyai aturan-aturan tertentu dalam penggunaannya.
6 Sosiolinguistik

Sosiolinguistika memberikan pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa. Sosiolinguistik


menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa itu dalam aspek atau segi sosial tertentu, seperti
dirumuskah Fishman (1967:15) bahwa yang dipersoalkan dalam sosiolinguistik adalah, who speak,
what language, to whom, when, and to what end. Dari rumusan Fishman itu dapat kita jabarkan
manfaat atau kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis.
Pertama, pengetahuan sosiolinguistik dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi.
Sosiolinguistik memberikan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan menunjukkan
bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan jika kita berbicara dengan
orang tertentu. Jika kita adalah anak dalam suatu keluarga, tentu kita harus menggunakan ragam/gaya
bahasa yang berbeda jika lawan bicara kita adalah ayah, ibu, kakak, atau adik. Jika kita seorang
murid, tentu kita harus menggunakan ragam/gaya bahasa yang berbeda pula terhadap guru, terhadap
teman sekelas, atau terhadap sesama murid yang kelasnya lebih tinggi. Sosiolinguistik juga akan
menunjukkan bagaimana kita harus berbicara bila kita berada di dalam mesjid, di ruang perpustakaan,
di taman, di pasar, atau juga di lapangan sepak bola.
Dalam pengajaran bahasa di sekolah, sosiolinguistik juga mempunyai peran yang besar. Kajian
bahasa secara internal akan menghasilkan perian-perian bahasa secara objektif deskriptif, dalam
wujud berbentuk sebuah buku tata bahasa. Kalau kajian secara internal itu dilakukan secara deskriptif,
dia akan menghasilkan sebuah tata bahasa deskriptif. Kalau kajian itu dilakukan secara normatif, akan
menghasilkan buku tata bahasa normatif. Kedua buku tata bahasa ini mempunyai hasil perian yang
berbeda, lalu kalau digunakan dalam penggunaan bahasa, juga akan mempunyai persoalan yang
berbeda. Kalau dalam pengajaran digunakan buku tata bahasa deskriptif, maka kesulitannya adalah
bahwa ragam bahasa yang harus diajarkan adalah ragam bahasa baku, padahal dalam buku tersebut
terekam juga hasil perian ragam nonbaku.
Di negara-negara yang multilingual seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, India, dan Filipina
muncul masalah-masalah politis sehubungan dengan pemilihan bahasa untuk keperluan menjalankan
administrasi kenegaraan dan pembinaan bangsa. Pemilihan bahasa mana yang harus diambil menjadi
bahasa resmi kenegaraan dapat menimbulkan ketegangan politik dan ada kemungkinan berlanjut
menjadi bentrok fisik. Indonesia tampaknya dapat menyelesaikan masalah pemilihan bahasa
nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi itu dengan baik, yakni dengan memilih bahasa Melayu,
yang dalam sejarahnya telah menjadi lingua franca dan telah tersebar luas di seluruh nusantara,
meskipun jumlah penutur aslinya jauh lebih sedikit daripada penutur bahasa daerah Sunda atau Jawa.
Tak ada ketegangan politik dan bentrokan fisik karena semuanya menyadari bahwa bahasa secara
sosiolinguistik bahasa Melayu mempunyai peranan yang lebih mungkin sebagai bahasa pergaulan
dan bahasa resmi di Indonesia. Bahasa daerah lain, yang meskipun jumlah penuturnya lebih banyak,
tetapi luas pemakaiannya terbatas di wilayah masing-masing.

--o0o--
Masyarakat Bahasa 7

BAB II

MASYARAKAT BAHASA

2.1 Konsep Masyarakat Bahasa

D efinisi masyarakat bahasa yang dimaksudkan di sini tidak hanya berdasarkan pada perkembangan
bahasa, tetapi berdasarkan pada sejarah, budaya, dan politik. Pada tahap abstraksi yang cukup
tinggi ditempatkan ciri-ciri kelompok yang memiliki kesamaan agama, usia, kelompok etnis, dan
di bidang linguistik terutama kesamaan bahasa atau variasi bahasa. Pada tahap abstraksi yang lebih
rendah realitas bahasa tercermin melalui kelompok-kelompok yang bersemuka. Definisi masyarakat
bahasa yang berdasarkan kesamaan bahasa akan menjadi bermasalah jika kita akan menjelaskan apa
arti menggunakan bahasa yang sama dalam situasi nyata di suatu lingkungan bahasa.
Sebagai satuan dasar definisi dan pemahaman tentang masyarakat bahasa dapat berpegang
pada bahasa-bahasa, kelompok sosial, jaringan sosial, hierarki dan individu-individu yang sekaligus
merupakan gambaran secara hierarkis tahapan-tahapan abstraksi.
L. Bloomfield yang berdasarkan sistem bahasa yang monolitik berpendapat bahwa masyarakat
bahasa adalah sekelompok orang yang menggunakan sistem tanda bahasa yang sama. Konsep
linguistik yang hampir sama, yang dipengaruhi kuat oleh pendapat bahasa yang homogen adalah
konsep Lyons tentang satuan dasar masyarakat bahasa (1970:326), menurut Lyons masyarakat bahasa
adalah semua orang yang menggunakan suatu bahasa tertentu (dialek), Chomsky berpendapat bahwa
Completely homogenous speech community membentuk satuan dasar analisis bahasa. Konsep
Bloomfield, Lyons, maupun Chomsky yang menganggap satuan sosial dan budaya tidak penting
8 Sosiolinguistik

tidak memenuhi syarat untuk penelitian empiris deskriptif-sosiolinguistik. Namun, seperti yang telah
dikatakan, konsep-konsep dan definisi-definisi tergantung pada minat penelitian para linguis.
Dalam pengertian sosiolinguistik, definisi-definisi bahasa hampir tidak menyatakan sesuatu
tentang keadaan sosial. Hymes (1966) menyalahkan Bloomfield, Chomsky, dan juga Lyons yang
telah menyamaratakan konsep masyarakat bahasa dengan bahasa.
Abstraksi struktur yang menuntut homogenitas bahasa mungkin tepat, jika seorang linguis
bermaksud menggambarkan tipologi bahasa, keuniversalan bahasa, sejarah suatu bahasa, atau
rekonstruksi secara historis. Tetapi jika seorang linguis akan meneliti bahasa dalam situasi sosial, ia
memerlukan alat-alat yang tepat untuk menganalisis dampak situasi sosial atau psikologis terhadap
penggunaan bahasa. Karena manusia diefinisikan sebagai makhluk sosial oleh sekelilingnya yang
terdiri atas kategori sosial, kita harus belajar memahami makhluk sosial ini melalui bahasanya
(Halliday 1973:13ff). Namun demikian, seperti yang diteliti Gumperz (1971:101) dan dinyatakan
olehnya bahwa untuk memhami penggunaan bahasa tidak diperlukan konsep homogen suatu bahasa:
There are no apriori grounds which force us to define speech communities so thst sll members speak
the same language.
Istilah masyarakat bahasa pada masa dialek Eropa klasik mengacu pada suatu konsep yang
idealistis, tidak hanya bermakna kesatuan bahasa, tetapi lebih berarti kesatuan sosial-geografis.
Landasan dasar yang idealistis terdiri dari kelompok sosial dan masyarakat bahasa yang homogen
(Halliday, 1978:189): suatu masyarakat bahasa adalah suatu kelompok manusia (sosialgeografis),
yang anggota-anggotanya (1) saling berkomunikasi, (2) secara teratur berkomunikasi, dan (3) mereka
bertutur sama.
Berdasarkan anggapan bahwa terdapat hubungan korelasi antara perilaku berbahasa dengan
syarat-syarat kehidupan bermasyarakat yang objektif, Matthier (1980:1819) mendefinisikan kelompok
sosial sebagai pendukung perilaku berbahasa sebagai berikut. kelompok sosial yang terdiri
dari individu-individu dengan syarat-syarat kehidupan bermasyarakat yang objektif secara potensial
membentuk masyarakat komunikasi, prasyarat kehidupan bermasyarakat yang objektif dan keadaan-
keadaan lain yang objektif diinterpretasikan dengan cara yang sama. Kelompok individu ini dianggap
membentuk sistem perilaku sosial dan bahasa yang hampir sama. Berdasarkan hal ini Mattheier
mengembangkan definisi paguyuban bahasa yang bersifat dialek-sosiologis, yang harus dilihat dalam
kaitannya dengan kelompok yang bersangkutan dan tergantung dari minat peneliti dapat dianalisis
tahap-tahap tiap sistem atau bagian-bagian sistem yang berbeda.
Sebagai masyarakat bahasa, untuk sementara dapat berarti kelompok penutur yang berdasarkan
pandangan hidup mereka membentuk kelompok berdasarkan bahasa yang sama. Titik tolak definisi
Mattheire kelompok sosial dan bahasa namun, dalam definisi ini objektivitas bahasa yang sama
bersifat relatif. Sehubungan dengan tahap abstraksi, telah kita tinggalkan tahap makro dan kita sampai
kepada komunikasi bersemuka yang nyata.
Masyarakat Bahasa 9

2.2 Klasifikasi Masyarakat Bahasa


2.2.1 Masyarakat Bahasa Berdasarkan Sikap Sosial
Model paguyuban bahasa yang klasik tidak dapat mencakup perubahan dialek perkotaan yang
cepat. Bentuk yang diidealisasikan tidak cukup mencerminkan realitas. Labov menyimpulkan
bahwa anggota masyarakat bahasa perkotaan lebih diikat oleh sikap dan prasangka yang sama
dalam berbahasa, yang luar biasa stabil dibandingkan dengan ikatan pemakaian bahasa yang sama
(1972:293). Menurut Labov pada kenyataannya sangat jelas bahwa masyarakat bahasa didefinisikan
sebagai sekelompok penutur yang memiliki sederetan sikap sosial terhadap bahasa. Misalnya, seorang
yang berasal dari New York (orang dari kota besar) memiliki gambaran yang jelas tentang norma-
norma bahasa dan ia mengetahui jika ia menyimpang dari norma yang ada. Terdapat perbedaan
antara (1) apa yang dikatakan, (2) apa yang diyakini, dan (3) apa yang diyakini untuk dikatakan.
Titik tolak Labov adalah orientasi ke status yang dimulai dari kelompok sosial (kelompok makro)
dan pada tiap kelompok berkembang ke arah yang sama. Penyimpangan norma pada lapisan sosial
bawah lebih jauh dibandingkan dengan lapisan sosial menengah dan atas karena itu mereka juga
memiliki lebih banyak variasi.
Seberapa jauh konep makro kuantitatif mencerminkan realitas sosial yang masih harus
didiskusikan. Hal itu dapat dilakukan pada data empiris dalam jumlah yang besar. Hymes (1972) juga
memberikan pendapatnya tentang definisi dasar masyarakat bahasa. Mereka menekankan bahwa
perasaan menjadi anggota suatu paguyuban lebih menentukan daripada definisi linguistik.

2.2.2 Masyarakat Bahasa Berdasarkan Interaksi


Gumpertz mendefinisikan masyarakat bahasa (pada masa yang lampau) ke arah komunikatif
interaksi, yang dalam analisis fungsional berpangkal pada varietas bahasa suatu masyarakat bahasa
yang khas sebagai kelompok sosial, dan bukan dari kesatuan bahasa. Definisi Gumpertz juga
memungkinkan beberapa varietas bahasa hidup berdampingan: kita definisikan masyarakat bahasa
sebagai kelompok sosial yang monolingual atau multilingual, yang merupakan satu kesatuan karena
sering terjadi interaksi sosial dan yang dipisahkan dari sekelilingnya oleh interaksi sosial yang melemah.
Masyarakat bahasa dapat terdiri atas kelompok kecil yang hubungannya bersemuka atau terdiri dari
seluruh bahasa, tergantung dari tingkat abstraksi yang akan dicapai (Gumpertz 1962:101).
Selanjutnya Gumpertz menyatakan bahwa dari segi fungsi tidak ada perbedaan antara
bilingualisme dengan bidialektalisme. Gumpertz dalam definisi selanjutnya tentang masyarakat
bahasa menekankan bahwa di samping kriteria interaksi juga berperan persamaan dan perbedaan
varietas sebagai unsur sosial definisi umum analisis bahasa: masyarakat bahasa adalah sekelompok
manusia yang terbentuk melalui interaksi bahasa yang teratur dan sering dengan bantuan persediaan
tanda-tanda bahasa yang dimiliki bersama dan yang dipisahkan dari kelompok lain karena perbedaan-
perbedaan dalam berbahasa (Gumpertz, 1968:14). Konsep Gumpertz memiliki keuntungan sebagai
10 Sosiolinguistik

berikut: a) untuk satu masyarakat bahasa tidak hanya berlaku satu bahasa, b) penekanan pada
interaksi dan komunikasi sebagai unsur pembentuk masyarakat bahasa sebagai hasil bilingualisme,
dengan sendirinya tidak terjadi tumpang tindih, dan c) kompleksitas masyarakat perkotaan telah
diperhitungkan dalam konsep.
Jika kita mengemukakan satu kota besar sebagai satu masyarakat bahasa yang penduduknya
menggunakan sebagian besar dari waktu mereka untuk berkomunikasi dan varietas bahasa tentu
saja sebagai bagian pembentuk kota dan orang selalu menunjuk pada lembaga, data dan lokasi,
pola mobilitas, bentuk-bentuk interaksi sosial yang khas untuk kehidupan perkotaan, terlihat bahwa
masyarakat bahasa merupakan satu istilah yang sangat umum. Supaya pengertian istilah masyarakat
bahasa digunakan seperti yang dipakai oleh Gumpertz, harus kita tentukan keanggotaan tiap
kelompok, terutama yang memiliki arti bagi mereka, hal ini berarti bahwa kita harus membentuk
tahap-tahap interaksi sosial dan menganalisis kesatuan-kesatuan yang terbentuk. Mula-mula Gumpertz
untuk dapat merealisasikan hal di atas menggunakan konsep peran sosial, kemudian ia memakai
istilah jaringan sosial untuk meneliti hubungan antaranggota suatu jaringan sosial. Tujuan konsep
jaringan sosial untuk menunjukkan mekanisme yang mempengaruhi repertoire bahasa penutur; yang
disebabkan oleh faktor-faktor sosial-ekologi.
Sesuai dengan konsep (baru) Gumpertz tentang masyarakat bahasa, ia membandingkan konsep
kode bahasa yang homogen dengan konsepnya tentang repertoir verbal/linguistis yang agaknya
bertitik tolak dari tingkat langue ke parole. Keseluruhan dialek dan varietasnya yang digunakan secara
teratur dalam suatu masyarakat membentuk repertoire bahasa masyarakat ini. Repertoire merupakan
kekhasan penduduk suatu daerah, sedangkan batas suatu bahasa dapat sama ataupun tidak sama
dengan batas suatu kelompok sosial (1968:230).
Keunggulan konsep repertoire bahasa, konsep tersebut memungkinkan kita untuk menghubungkan
antara struktur sosial dan penggunaan bahasa suatu masyarakat bahasa di bawah satu kerangka relasi
yang sama. Dalam hal ini, justru Kloss mengeritik istilah yang digunakan Gumpertz. Ia mengeritik
bahwa Gumpertz memberikan makna lain pada istilah masyarakat bahasa yang diciptakan oleh Kloss,
masyarakat bahasa diartikan sama dengan speech community yang digunakan oleh Bloomfield,
sehingga menyebabkan kerancuan. Masyarakat bahasa menurut Kloss adalah keseluruhan penutur
yang berbahasa ibu sama dan memiliki bersama diasistem tertentu dalam perbedaan dialektal dan
sosiolektal.
Kloss menekankan pentingnya satu istilah untuk keseluruhan manusia yang memiliki bahasa-bahasa
ibu yang sama dan yang membentuk keadaan tersebut. Ia mengusulkan istilah komunitas repertorium
(paguyuban repertorium) (Kloss 1977:228). Dengan demikian, paguyuban bahasa berarti memiliki
bahasa ibu yang sama atau yang mirip. Dalam kepustakaan yang berbahasa Jerman digunakan istilah
paguyuban pertuturan (sprechgemeinschaft) untuk paguyuban repertorium (repertoiregemeinschaft),
yang berarti sekelompok penutur yang tidak hanya memiliki varietas repertorium yang sama, tetapi
Masyarakat Bahasa 11

juga kriteria yang sama untuk mengukur penerapan kaidah-kaidah tersebut secara sosial. Dalam
etnografi komunikasi konsep paguyuban pertuturan mencakup keseluruhan kebiasaan komunikasi
suatu paguyuban, dalam hal ini termasuk bahasa sebagai alat komunikasi dikaitkan dengan yang lain
(Coulmas 1979:10).

2.2.3 Masyarakat Bahasa Berdasarkan Jaringan Sosial


Jaringan sosial sebagai substratum paguyuban bahasa sebagai titik tolak analisis bahasa dalam
sosiolinguistik dikenalkan untuk menganalisis komunikasi sehari-hari dan konvensi interaksi. Dalam
hal ini jaringan hubungan seorang individu termasuk di dalamnya dan kesatuan kelompok sosialnya
merupakan phenomena dalam berbagai tataran abstraksi.
Gumpertz memperhitungkan hal ini dan memasukkan dalam konsep mikronya, paguyuban
bahasa (pada tataran abstraksi yang terendah), dan konsep jaringan sosial. Dengan bantuan konsep
ini sebagai soerang linguis, ia akan meneliti perilaku bahasa dalam suatu paguyuban dengan
memperhatikan interpretasi norma dan nilai yang sesuai dengan kenyataan.
Paguyuban bahasa terdiri atas sederet satuan dasar, jaringan-jaringan yang dapat diikuti oleh
seorang anggota paguyuban dalam berbagai tingkat dan lebih dari satu peran. Salah satu penyebab
utama dikenalkannya konsep jaringan sosial dalam kerangka studi paguyuban bahasa karena konsep
makro yang tradisional untuk menganalisis paguyuban yang berubah dengan lambat dan agak statis
(suku-suku bangsa, paguyuban-paguyuban pedesaan) tidak tepat untuk menganalisis agregat kota
yang berubah dengan cepat. Konsep jaringan sosial mencoba mencakup variabel manusia sebagai
makhluk sosial yang dipengaruhi oleh orang lain dan mempengaruhi orang lain.
Jika Gumpertz membedakan antara biner antara jaringan sosial tertutup dengan terbuka, Milroy
(1980, passim) mengembangkan perbedaan biner terbuka, tertutup dalam suatu kesinambungan,
mulai lebih terbuka atau agak terbuka dipertentangkan dengan lebih tertutup atau agak tertutup
dengan menggunakan parameter rapatnya, kelompok dan keanekaragaman. Suatu paguyuban lebih
rapat, jika antar anggotanya lebih terikat. Rapatnya jaringan sosial berfungsi sebagai mekanisme
pelestarian norma, kelompok merupakan segmen jaringan dengan kerapatan yang tinggi. Hubungan
sosial dalam kelompok lebih rapat daripada di luar kelompok. Keanekaragaman sebagai ukuran
kekhasan interaksi suatu jaringan: apakah ikatan antaranggota hanya berdasarkan satu fungsi (uniplex)
atau berdasarkan fungsi ganda (multiplex).
Penting untuk pembatas jaringan selain bentuk interaksi, bentuk kunjungan, hubungan
kekerabatan, hal-hal yang oleh Gumpertz disebut self recruitment paguyuban (1971:297). Dengan
demikian, kelompok jaringan tertutup (atau yang oleh saviller-Troike (1982:20) disebut hand shelled
communities) cenderung seragam dalam penggunaan bahasa, a.l. karena wilayah yang ketat daripada
jaringan terbuka (soft shelled communities) yang ikatan antaranggotanya lebih longgar dan batas
wilayah tidak ketat. Manfaat alat analisis jaringan terutama karena kemungkinan yang dimilikinya
12 Sosiolinguistik

untuk menggabungkan varietas dalam struktur sosial dengan varietas dalam penggunaan bahasa,
artinya varietas yang disebabkan oleh lingkungan dan tahap abstraksi yang rendah dihubungkan
dengan varietas bahasa.

2.3 Masyarakat Bahasa sebagai Interpretasi Subjektif-Psikologis


Bolinger (1975:33) menunjukkan kompleksitas yang bersifat psikologis dan ciri subjektif konsep
paguyuban bahasa, ia mengemukakan: tidak ada batas untuk cara manusia berkelompok guna
mencari jati diri, keamanan, keuntungan, hiburan, kepercayaan atau tujuan lain secara bersama,
sebagai akibat hal ini tidak ada batasan sehubungan dengan jumlah dan keanekaragaman paguyuban
bahasa yang kita jumpai dalam masyarakat kita. Setiap populasi menurut definisi Bolinger dapat
terdiri atas sejumlah besar paguyuban bahasa, yang sehubungan dengan keanggotaan dan varietas
bahasanya tumpang tindih. Realitas psikologis paguyuban bahasa yang tergantung dari interpretasi
angota-anggotanya diperhitungkan dalam pendapat Le Page (1968), baginya keberadaan kelompok
sebagai paguyuban bahasa dengan ciri-ciri khusus yang digolongkan oleh penutur sendiri, bukan oleh
sosiolog penting. Tergantung bagaimana seorang penutur menempatkan dirinya dalam ruang yang
multidimensi (Hudson, 1980:27), ia ikut berpartisipasi dalam berbagai paguyuban bahasa yang dimensi
atau perbandingan luasnya ditentukan oleh kelompok di sekelilingnya. Setiap penutur menciptakan
sistem perilaku bahasanya yang mirip dengan kelompok tempat ia ingin mengidentifikasikan dirinya
dari waktu ke waktu, dengan syarat a) ia dapat mengidentifikasikan dirinya ke kelompok tersebut,
b) ia memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengamati dan menganalisis perilaku mereka, c)
memiliki motivasi yang kuat dan merasa berkewajiban untuk memilih dan mengubah perilakunya,
dan d) ia masih sanggup menyesuaikan perilakunya.
Le Page menginterpretasikan ujaran manusia sebagai pernyataan jati diri individu karena itu
individu adalah sah sebagai titik tolak penelitian sosiolinguistik. Le Page dapat membuktikan bahwa
analisis perilaku bahasa individu tidak berarti suatu kekacauan. Dasar pandangan yang multidimensi
diperoleh melalui kajian paguyuban yang multilingual, dalam kajian ini perlu memperhatikan
sejumlah sumber yang mempengaruhi penggunaan bahasa seseorang. Ia menekankan bahwa seorang
penutur merupakan dasar sumber bahasa yang ada dan digunakan untuk mengidentifikasikan dengan
paguyuban-paguyuban tertentu.

2.4 Masyarakat Bahasa di Indonesia


Tanggal 18 Maret 1996 Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia membuka dengan resmi Seminar Kebahasaan dan kesusasteraan menyangkut
bahasa Indonesia, Malaysia, dan Brunai Darusalam. Seminar diadakan di Padang, Sumatra Barat
selama 3 hari. Pada acara pembukaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. mengungkapkan
data-daya tentang profil kemampuan berbahasa Indonesia sebagai berikut.
Masyarakat Bahasa 13

Jumlah penutur bahasa Indonesia sebesar 153 juta di antara 175 juta penduduk Indonesia di
atas 5 tahun pada tahun 1995 merupakan masyarakat bahasa Indonesia di Indonesia. Dari bahasa-
bahasa yang ada di Indonesia terdapat 11 bahasa utama dengan patokan jumlah penutur > 1 juta
orang. jika penutur > 10 juta orang dipakai sebagai rujukan, maka hanya 4 masyarakat bahasa paling
utama, yaitu masyarakat bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dan Melayu.
Jika fungsi bahasa yang dipakai sebagai rujukan, maka 19 bahasa yang lebih berperan di
Indonesia, karena digunakan untuk lebih dari satu tujuan, yaitu : bahasa Indonesia, Jawa, Sunda,
Malay Dialects, Madura, Makasar, Minangkabau, Batak, Bali, Aceh, Sasak, Mandaar, Minahasa,
Gorontalo, Halmahera, Nias, Sangir, Toraja, dan Bima. Bila bahasa tulisan yang dijadikan patokan,
maka hanya terdapat 13 masyarakat bahasa di Indonesia, yaitu: bahasa Indonesia, Jawa, Sunda,
Madura, Makasar, Minangkabau, Batak, Bali, Aceh, Sasak, Nias, Sangir, dan Toraja.

--o0o--
14 Sosiolinguistik
Ragam Bahasa 15

BAB III

RAGAM BAHASA

3.1 Pengertian Ragam Bahasa

B ahasa, dalam praktek pemakaiannya, pada dasarnya memiliki bermacam-macam ragam. Maksud
ragam dalam konteks ini adalah variasi pemakaian bahasa yang berbeda-beda (Mustakim,
1994: 18). Sedangkan Kartomihardjo (1988: 23) menyebutkan ragam sebagai suatu piranti untuk
menyampaikan makna sosial atau artistik yang tidak dapat disampaikan melalui kata-kata dengan
makna harfiah.
Lebih lanjut, Kridalaksana (dalam Silahidin, 1991: 19) menyebutkan ragam bahasa adalah variasi
bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan dan menurut media
pebicaraannya. Jadi ragam bahasa ini bentuknya beragam atau bermacam-macam karena bebarapa
hal atau faktor seperti disebutkan di atas.

3.2 Jenis Ragam Bahasa


Ragam bahasa dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pertama, dilihat dari segi sarana pemakaiannya
dapat dibedakan atas ragam lisan dan ragam tulis. Antara kedua ragam tersebut terdapat perbedaan
yang tidak begitu mencolok. Jadi untuk mengetahui kedua ragam tersebut harus memperhatikan
kedua jenis ragam tersebut secara seksama. Dalam ragam lisan unsur-unsur bahasa yang digunakan
cenderung sedikit dan sederhana. Artinya tidak selengkap pada ragam tulis karena pada ragam
lisan dalam menyampaikan informasi dapat disertai dengan gerakan anggota tubuh tertentu (mimik)
16 Sosiolinguistik

yang dapat mendukung maksud informasi yang disampaikan dan menggunakan intonasi sebagai
penekanan. Di samping itu, satu hal lagi yang membuat ragam bahasa lisan lebih sederhana adalah
adanya situasi tempat pembicaraan berlangsung. Semua hal tersebut dapat memperjelas informasi
yang kita sampaikan kepada mitra tutur. Akan tetapi, tiga hal tersebut tidak dapat terjadi atau tidak
akan terdapat dalam penggunaan ragam tulis, sehingga ragam ini cenderung lebih rumit. Hal ini
disebabkan pada ragam tulis mau tidak mau harus menggunakan unsur-unsur bahasa yang lebih
banyak dan lengkap agar informasi yang disampaikan dapat diterima dengan baik dan jelas oleh
orang yang diberi informasi (si penerima informasi). Jadi penulisan secara lengkap unsur-unsur
bahasa dalam ragam tulis ini bertujuan untuk menghidari terjadinya salah mengerti atau menerima
pesan dari si pemberi pesan.
Kedua, didasarkan pada tingkat keresmian situasi pemakaiannya, ragam bahasa dibedakan
menjadi ragam resmi (ragam formal) dan ragam tidak resmi (ragam informal). Sesuai dengan namanya,
ragam formal adalah ragam yang digunakan dalam situasi yang resmi, sedangkan ragam informal
adalah ragam yang digunakan dalam situasi yang tidak resmi. Ciri dari dua ragam ini adalah tingkat
kebakuan pada bahasa yang digunakan. Dengan demikian ragam resmi ditandai dengan pemakaian
unsur-unsur kebahasaan yang menunjukkan tingkat kebakuannya yang rendah.
Keempat ragam bahasa yang dibedakan atas dasar dua segi seperti telah diuraikan di atas, apabila
kita gabungkan akan menjadi ragam yang namanya gabungan pula. Ragam bahasa hasil penggabungan
atau perpaduan dari dua segi (sarana pemakaiannya dan tingkat keresmian situasi pemakaiannya)
menghasilkan ragam lisan resmi (ragam lisan formal) ragam lisan tidak resmi (ragam lisan informal),
ragam tulis resmi (ragam tulis formal), dan ragam tulis tidak resmi (ragam tulis informal). Ragam
lisan resmi biasanya digunakan dalam forum yang sifatnya resmi pula. Misalnya dalam rapat-rapat,
seminar, pidato, simposium, dan dalam perkuliahan (proses belajar mengajar). Ragam lisan tidak
resmi dapat dilihat dalam pembicaraan di kafe, di pasar, di terminal, di rumah, di kebun, di kampus
(bukan dalam proses belajar mengajar) antarmahasiswa atau antardosen, dan lain-lain.
Dalam kaitannya dengan penggunaan ragam lisan resmi, penutur cenderung dipengaruhi oleh
faktor situasi dan mitra tutur, di samping faktor lain. Umpamanya ketika penutur berbicara dengan
atasannya, tentunya gaya bicara dalam hal ragam bahasa yang digunakan berbeda dengan ketika ia
berkomunikasi atau berbicara dengan teman sebayanya atau bahwa teman dibawah umurnya.
Selain perbedaan tersebut, ditinjau dari segi norma pemakaiannya, ragam bahasa dibedakan atas
ragam baku dan ragam tidak baku. Ragam baku adalah ragam bahasa yang dalam pemakaiannya
sesuai dengan kaidah yang berlaku, yaitu kaidah tata bahasa dan ejaan yang berlaku. Sedangkan
yang menyimpang atau tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa dan ejaan yang berlaku disebut ragam
tidak baku.
Kalau dalam pembahasan di atas ragam bahasa dibedakan menjadi ragam lisan resmi, ragam
lisan tidak resmi, ragam tulis resmi, dan ragam tulis tidak resmi, maka dalam pembahasan ini akan
dibahas adanya pembedaan ragam lisan baku, ragam lisan tidak baku, ragam tulis baku, dan ragam
Ragam Bahasa 17

tulis tidak baku. Ragam lisan baku dalam pemakaiannya sejalan dengan ragam lisan resmi dan ragam
lisan tidak baku pemakaiannya sejalan dengan ragam lisan tidak resmi. Demikian pula penggunaan
ragam tulis baku yang memiliki korelasi dengan ragam ragam tulis resmi dan ragam tulis tidak baku
dengan ragam tulis tidak resmi. Pada dasarnya ragam baku digunakan dalam konteks situasi yang
resmi dan ragam tidak baku digunakan dalam konteks situasi yang tidak resmi. Dengan demikian
penggunaan ragam baku dengan ragam resmi atau ragam tidak baku dengan ragam tidak resmi sering
kali dianggap sama oleh sekelompok orang.
Apabila dibedakan berdasarkan bidang pemakaiannya, ragam bahasa dapat dibedakan atas
ragam sastra, ragam buku, ragam jurnalistik, ragam teknologi, ragam ekonomi, dan lain-lain. Artinya
ragam tersebut digunakan sesuai dengan konteks yang ada dalam situasi tutur tersebut. Dilihat dari
segi pendidikan, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam pendidikan dan ragam nonkependidikan.
Ciri ragam ini, bagi orang yang berpendidikan lazimnya dapat melafalkan bunyi-bunyi bahasa secara
fasih dan dapat menyusun kalimat secara teratur dan benar. Sebaliknya, bagi orang yang tidak
berpendidikan cenderung kurang dapat memenuhi syarat tersebut.
Lebih lanjut, ihwal penggolongan ragam bahasa Alwi (1998: 3-9) menjelaskan bahwa jika dilihat
dari sudut pandang penutur, dapat dirinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur.
Ragam daerah dikenal dengan sebutan dialek atau logat. Dialek atau logat merupakan ragam bahasa
yang hidup di daerah-daerah tertentu yang berdekatan. Jadi apabila masyarakat dari dua daerah yang
berdekatan bertemu dan terjadi komunikasi dengan menggunakan dialek masing-masing, mereka
masih bisa saling memahami pembicaraan tersebut. Akan tetapi jika dialek tersebut hidup di daerah
yang berjauhan yang dibatasi oleh gunung atau selat misalnya, lambat-laun dalam perkembangannya
akan mengalami banyak perubahan, maka dialek tersebut akhirnya dianggap bahasa yang berbeda.
Ragam bahasa yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penutur (terutama pendidikan formal)
akan menunjukkan perbedaan yang jelas antara masyarakat yang berpendidikan formal dengan
masyarakat yang tidak berpendidikan formal. Perbedaan di sini lebih banyak terjadi dalam pelafalan
kata atau bunyi serta penguasaan penggunaan bahasa secara baik (dalam hal tata bahasanya). Kedua
hal tersebut akan berbeda tingkat kemampuan dan penguasaan antara orang yang berpendidikan
formal dengan yang tidak berpendidikan formal. Misalnya dalam melafalkan kata-kata film, fitnah,
dan kompleks, oleh orang berpendidikan formal kata-kata tersebut tentunya akan dilafalkan dengan
benar sesuai dengan bunyi fonem yang benar, yaitu film, fitnah, dan kompleks. Akan tetapi berbeda
dengan orang yang tidak mengalami pendidikan formal mungkin akan melafalkan dengan pilm,
pitnah, dan komplek. Sedangkan dalam hal tata bahasa ketika seseorang mengucapkan Saya
akan bakar itu sampah setelah saya mandi barangkali orang lain dapat menangkap maksud yang
disampaikan. Akan tetapi, dari segi tata bahasa, kalimat tersebut kurang baik. Sedangkan yang baik
menurut tata bahasa adalah Saya akan membakar sampah itu setelah saya mandi.
Menurut sikap penutur, ragam bahasa mencakupi sejumlah corak bahasa dimana pemilihannya
bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak bicara atau mitra tutur. Sikap berbahasa
18 Sosiolinguistik

ini diantaranya dipengaruhi oleh umur dan kedudukan mitra tutur, tingkat keakraban antarpenutur
pokok persoalan yang dibicarakan (hendak disampaikan) serta tujuan penyampaian informasinya.
Ragam bahasa dalam hal ini berhadapan dengan pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu yang
menggambarkan sikap kita yang resmi, santai, dingin, hangat, atau yang lain. Sedangakan perbedaan
berbagai gaya tersebut tercermin dalam kosakata yang digunakan oleh penutur ketika berbicara
dengan mitra tuturnya.

--o0o--
Kedwibahasaan dan Diglosia 19

BAB IV

KEDWIBAHASAAN DAN DIGLOSIA

4.1 Kedwibahasaan

P ada umumnya sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahas (Appel dan
Muysken 1987; Edwards 1994). Kajian pemilihan bahasa juga bertemali dengan situasi semacam
itu sebab untuk menentukan pilihan bahasa atau ragam bahasa tertentu pastilah ada bahasa atau
ragam lain yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari sebagai pendamping sekaligus pembanding.
Penelitian pemilihan bahasa dalam masyarakat tutur Jawa di Banyumas ini pun tidak terlepas dari
permasalahan kedwibahasaan.
Pengertian kedwibahasaan selalu berkembang mulai dari pengertian yang ketat sampai kepada
pengertian yang longgar. Blommfield dalam bukunya Language (1933) memberikan batasan
kedwibahasaan sebagai gejala penguasaan bahasa seperti penutur jati (native speaker). Batasan ini
mengimplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang menguasai dua
bahasa dengan sama baiknya.
Mackey (dalam Fishman ed 1968: 555) berpendapat bahwa kedwibahasaan bukanlah gejala bahasa
sebaai sistem melainkan sebagai gejala penuturan, bukan ciri kode melainkan ciri pengungkapan ;
bukan bersifat sosial melainkan individual; dan juga merupakan karakteristik pemakaian bahasa.
Kedwibahasaan dirumuskan sebagai praktik pemakaian dua bahasa secara bergantian oleh seorang
penutur. Kondisi dan situasi yang dihadapi dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-
bahasa yang dipakai. Pandangan Mackey didukung oleh Weinreich (1970).
20 Sosiolinguistik

Permasalahan kebahasaan yang dapat muncul berkaitan dengan batasan tersebut adalah
bagaimana kalau kemampuan seseorang dalam B2 hanya sebatas mengerti dan dapat memahami
tuturan B ( 2 ) tetapi tidak mampu bertutur sehingga dalam praktik pemakaian bahasa yang melibatkan
dirinya, ia tidak dapat memakaianya secara bertanti-ganti. Situasi yang demikan tentu di luar batasan
kedwibahawaan yang ketat sebagaimana diungkapkan oleh Bloomfield, Mackey, dan Weinreich.
Padahal sosiolinguistik berkepentingan dalam hal tersebut.
Macnamara (1967) mengemukakan rumusan yang lebih longgar. Menurutnya kebdwibahasaan
itu mengacu kepada pemilikan kemampuan sekurang-kurangnya B1 dan B2, meskipun kemampuan
dalam B2 hanya sampai batas minimal. Rumusan ini diikuti oleh Huagen (1972) mengenai dua
bahasa. Ini berarti bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai B2 secara aktif produktif
sebagaimana dituntut oleh Bloomfield, melainkan cukup apabila ia memiliki kemampuan reseptif
B2.
Huagen (1972) merumuskan kedwibahasaan dengan rumusan yang lebih longgar, yaitu sebaai
tahu dua bahasa. Seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, penguasaan
B2 secara pasif pun dipandang cukup menjadikan seseorang disebut dwibahasawan. Mengerti dua
bahasa dirumuskan sebagai menguasai dua sistem kode yang berbeda dari bahasa yang berbeda atau
bahasa yang sama.
Dengan membading-bandingkan pengertian kedwibahasa-an dari para ahli di atas, pengertian
Haugen dijadikan kerangka konsep dalam penelitian ini karena gambaran kedwibahasaan anggota
masyarakat memperlihatkan berbagai tingkat penguasaan bahasa atau ragam bahasa yang tampak di
dalam pemakaiannya.

4.2 Diglosia
Fishman (1972: 92)menganjurkan bahwa dalam mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa
hendaknya diperhatikan kaitannya dengan ada tidaknya diglosia. Istilah diglosia diperkenalkan
pertama kali oleh Ferguson (1959) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani,
negara-negara Arab, Swis, dan Haiti. Disetiap negara itu terdapat dua ragam bahasa yang berbeda,
masing-masing adalah Katharevusa dan Dhimtiki di Yunani, al-fusha dan ad-dirij di negara-negara
Arab, Schriftsprache dan Schweizerdeutsch di Swis, serta francais dan creole di Haiti. Yang disebut
pertama adalah ragam bahasa tinggi (T) yang dipakai dalam situasi resmi, sedangkan yang disebut
kedua adalah ragam bahasa Rendah (R) yang dipakai dalam situasi sehari-hari tak resmi. Ragam
bahasa yang dipakai di dalam situasi resmi (seperti perkuliahan, sidang parlemen, dan khitbah di
tempat-tempat ibadah) dianggap sebagai bahasa yang bergengsi tinggi oleh masyarakat bahasa
yang bersangkutan. Mengingat latar belakang sejarah ragam ini yang sudah sejak lama mengenal
ragam tulis dan menikmati gengsi yang tinggi itu, ragam inilah yang dipakai sebagai bahasa sastra
di kalangan para pemakainya. Ragam ini mengalami proses pembakuan dan harus dipelajari di
sekolah, sedangkan tidak setiap orang mempunyai kesempatan untuk mempelajarinya. Sebaliknya,
Kedwibahasaan dan Diglosia 21

ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi tidak resmi adalah ragam bahasa yang dipakai sehari-
hari di rumah. Ragam ini tidak mengenal ragam tulis dan tidak menjadi sasaran pembakuan bahasa.
Penguasaan atas ragam ini merupakan kebanggaan bagi pemakainya. Oleh karena itu, ragam R tidak
tercantum sebagai mata pelajaran di sekolah; masyarakat pemakainya tidak perlu mempelajari ragam
bahasa ini di sekolah. Oleh para pemakaian ragam ini dianggap berkedudukan rendah dan tidak
bergengsi. Penguasaan atas ragam-ragam itu dapat dipakai sebagai penanda terpelajar atau tidaknya
seseorang. Oleh karena itu, barang siapa yang hanya menguasai ragam rendah saja sering merasa
malu karena penguasaannya atas ragam rendah semata-mata menunjukkan tingkat pendidikannya
yang rendah. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa ragam bahasa T dan ragam bahasa R haruslah
tergolong dalam bahasa yang sama. Definisi diglosia yang diberikan oleh Ferguson adalah sebagai
berikut:
Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, yang di samping adanya dialek-dialek
utama dari bahasa (yang mungkin meliputi ragam-ragam baku setempat), juga mengenal suatu ragam
yang ditinggikan, yang sangat berbeda, yang terkodifikasikan secara rapi (dan yang tatabahasanya
lebih rumit), yang berasal dari waktu yang lampau atau yang berasal dari masyarakat bahasa lain,
yang dipelajari melalui pendidikan formal dan sebagian besar dipakai untuk keperluan formal lisan
dan tertulis tetapi tidak dipakai di sektor apa pun di dalam masyarakat itu untuk percakapan sehari-
hari.
Pengertian tentang diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (1972: 92). Istilah diglosia
tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa yang sama akan tetapi juga dikenakan
pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Yang menjadi tekanannya adalah perbedaan fungsi
kedua bahasa tau ragam bahasa yang bersangkutan. Di samping itu, Fishman juga berpendapat
bahwa diglosia tidak hanya terdapat pada masyarakat yang mengenal satu bahasa dengan dua ragam
bahasa semata-mata; diglosia dapat juga ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dai dua
bahasa. Di samping perbedaan, ada juga persamaan antara keduanya, yaitu bahwa ragam-ragam
bahasa itu mengisi alokasi fungsi masing-masing dan bahwa ragam T hanya dipakai di dalam situasi
resmi dan ragam R di dalam situasi yang tidak atau kurang resmi. Oleh Fishman (1972: 92) diglosia
diartikan sebagai berikut. diglossia exits not only in multilingual societies which offocially
recognize several language, and not only in societies which employ separate dialects, registers,
or funcitonally differentiated language varieties of whatever kind ( diglosia tidak hanya terdapat
di dalam masyakat aneka bahasa yang secara resmi mengakui beberapa bahasa, dan tidak hanya
terdapat terdapat di dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik, tetapi
terdapat juga di dalam masyaakat bahasa yang memakai logat-logat, laras-laras, atau ragam-ragam
jenis apapun yang berbeda secara fungsional.
Implikasi teoretis dari definisi di atas, menurut batasan Fishman dapat dibedakan adanya (a)
masyarakat bahasa yang bilingual sekaligus diglosik, (b) masyarakat bahasa yang bilingual tetapi
tidak diglosik, (c) masyarakat yang tidak bilingual dan sekaligus tidak diglosik,
22 Sosiolinguistik

Di samping itu, ada pendapat lain dari Fasold (1984) yang mencatat ada empat masalah yang
perlu diperjelas, masing-masing yang berkaitan dengan masalah bahasa baku dan dialek, masalah
pembagian yang serba dua, masalah hbungan genetis bahasa, dan masalah fungsi. Masalah pertama
dipersoalkan karena adanya kemungkinan adanya guyup bahasa yang menganggap ragam T justru
bukan sebagai ragam T. Kalau demikian halnya, maka situasi semacam ini bukanlah situasi diglosia
tetapi sekedar siatuasi yang mengenal adanya bahasa baku dan dialek. Oleh karena itu, Fasold
memberikan pengertian masyarakat diglosik sebagai satuan masyarakat yang memiliki ragam T
dan ragam R bersama-sama. Ada kemungkinan juga bahwa masyarakat diglosik itu memiliki ragam
T yang sama tetapi ragam R yang berbeda-beda dan ini berarti bahwa masyarakat itu merupakan
masyarakat diglosik yang berbeda-beda pula. Oleh Fasold keadaan seperti itu digambarkan sebagai
berikut:

Tinggi
Rendah 1 Rendah 2 Rendah 3 Rendah 4

Masalah yang kedua adalah masalah yang menyangkut pertanyaan apakah gejala diglosia itu
hanya terwujud di dalam pembagian ragam bahasa yang menjadi pembagian serba dua, yakni ragam
tinggi dan ragam rendah semata-mata. Apakah mungkin kita mengadakan pembagian raam lebih dari
dua, khususnya jika kita berhadapan dengan masyarakat yang multilingual? Dan berbagai laporan
hasil penelitian di beberapa tempat yang berbeda, Fasold mengambil simpulan bahwa ada beberapa
jenis diglosia, yang masing-masing disebutnya sebagai double overlapping diglossia (diglosia
bertindih ganda), dan linear polyglossia (poliglosia linear). Diglosia bertindih ganda adalah situasi
kebahasaan yang mengenal ragam T dan R juga, tetapi salah satu dari ragam R itu merupakan ragam
tinggi (T) terhadap ragam r lain. Situasi kebahasaan seperti itu terdapat di Tanganyika (Mkikilifi (1978)
menyebutnya dengan istilah polgylgossia).
Diglosia bersangkar ganda adalah situasi kebahasaan yang mengenal ragam T dan ragam R dan
di dalam masing-masing ragam terdapat ragam t dan ragam r juga. Keadaan seperti ini didapatkan di
Khalapur yang terletak di sebelah utara New Dehli, India (Gumperz (1964).
Jenis diglosia ketiga, yang oleh Fasold disebutnya sebagai linear polyglossia, terdapat di Malaysia
dan Singapura (Platt 1977, 1980). Dari pengamatan terhadap jenis- jenis diglosia di berbagai negara
itu dapat disimpulkan bahwa istilah diglosia tidak harus diartikan sebagai situasi kebahasaan yang
hanya melibatkan dua ragam saja.
Demikian juga halnya dengan masalah yang ketiga. Antara ragam T dan ragam R tidak harus ada
hubungan genetis. Fasold malah mencatat adanya gejala yang mirip seperti diglosia yang melibatkan
hubungan antara subdialek dan antara gaya seperti yang terjadi di dalam bahasa Rusia.
Mengenai masalah yang keempat, yakni masalah yang berkaitan dengan fungsi, kelihatannya ada
kesesuaian antara para peneliti bahwa ragam T dipakai di daerah perkotaan, di bidang pendidikan,
agama, pemerintahan, dan untuk pembicaraan yang bersifat daria, serta dipakai secara tertulis,
Kedwibahasaan dan Diglosia 23

sedangkan ragam R dipakai di daerah pedesaan dan di bidang kehidupan sehari-hari yang tidak resmi
di antara sanak keluarga dan handai taulan.
Berdasarkan pertimbangan itu semua, Fasold mengusulkan nama baru menjadi broad diglossia
(diglosia luas) yang diartikan sebagai pelestarian segmen khazanah bahasa yang dinilai sangat tinggi
(yang tidak dipelajari pertama kali, tetapi dipelajari lebih kemudian dan dipelajari secara lebih sadar,
biasanya melalui pendidikan formal) dalam suatu masyarakat, untuk situasi-situasi yang dianggap
sebagai lebih formal dan terjaga, dan pelestarian segmen yang dinilai kurang tinggi (yang dipelajari
pertama kali dengan sedikit usaha atau tanpa usaha yang disadari), berapa derajat pun hubungan
kebahasaannya dengan segmen yang dinilai lebih tinggi, dari (hanya sekedar) perbedaan stilistik
sampai perbedaan bahasa, untuk situasi yang dianggap sebagai lebih resmi.
Selama ini, sepanjang pengetahuan penulis ini, situasi diglosia di Indonesia selalu dilihat sebagai
gejala diglosia biner seperti yang dikemukakan oleh Ferguson (1959), Fishman (1971), Suwito (1987),
Yatim (1985), dan Moeliono (1988). Akan tetapi, pada masyarakat Banyumas gejala diglosik bukanlah
sekedar gejala diglosik biner melainkan lebih mirip dengan diglosia ganda seperti dikemukakan oleh
Fasold (1985) dan Mkilifi (1978).

--o0o--
24 Sosiolinguistik
Pemilihan Bahasa 25

BAB V

PEMILIHAN BAHASA

5.1 Pengertian Pilihan Bahasa

D alam masyarakat multibahasa tersedia berbagai kode, baik berupa bahasa, dialek, variasi, dan
gaya untuk digunakan dalam interaksi sosial. Untuk istilah terakhir, Kartomihardjo (1988)
lebih suka mempergunakan istilah ragam sebagai padanan dari style. Dengan tersedianya kode-
kode itu, anggoa masyarakat akan memilih kode yang tersedia sesuai dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dalam interaksi sehari-hari, anggota masyarakat secara konstan mengubah variasi
penggunaan bahasanya.
Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang kita bayangkan, yakni
memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language) dalam suatu peristiwa komunikasi.
Kita membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana
yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus
memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa
komunikasi.
Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi
dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara
kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa kromo, misalnya, maka ia telah melakukan
pilihan bahasa kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya
menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan
26 Sosiolinguistik

lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing) artinya
menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.
Peristiwa peralihan bahasa atau alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor. Reyfield (1970: 54-
58) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan
dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur dan faktor retoris. Faktor pertama
menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung
dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau
penghindaran terhadap kata-kata yang tabu. Menurut Blom dan Gumperz (1972: 408-409) teradapat
dua macam alih kode, yaitu (1) alih kode situasional (situational switching) dan (2) alih kode
metaforis. Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi dan alih kode yang kedua terjadi
karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metofaor yang melambangkan identitas
penutur.
Campur kode (code mixing) merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam
bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di dalam masyarakat tutur Jawa yang diteliti ini juga terdapat
gejala ini. Gejala seperti ini cenderug mendekati pengertian yang dikemukakan oleh Haugen (1972:
79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of language), yaitu pemakaian satu kata, ungkapan, atau
frase. Di Filipina menurut Sibayan dan Segovia (1980: 113) disebut mix-mix atau halu-halu atau
taglish untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Di Indonesia,
Nababan (1978: 7) menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran
antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

5.2 Faktor Penanda Pilihan Bahasa


Pilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkan oleh
berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp mengidentifikaskan empat faktor utama sebagai penda
pilihan bahasa penutur dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2)
partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa
hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di keluarahan, selamat kelahiran di sebuah
keluarga, kuliah, dan tawar menawar barang di pasar.
Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi,
dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Hubungan dengan mitra tutur dapat berupa
hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak,
peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa hal-hal seperti
penawaran informasi, permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima
kasih).
Senada dengan Evin-Tripp, Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang faktor-faktor yang
berpengaruh dalam pilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat faktor yang mempengaruhi
Pemilihan Bahasa 27

pilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi
interaksi.
Faktor situasi mengacu pada (1) lokasi atau latar, (2) kehadiran pembicara monolingual, (3)
tingkat formalitas, dan (4) tingkat keakraban. Faktor isi mengisi wacana mengacu pada (1) topik
pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Fatkor fungsi iteraksi mencakupi aspek (1) menaikan status, (2)
penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk / mengeluarkan sesorang dari pembicaraan, dan (4)
memerintah atau meminta.
Dari paran berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak terdapat faktor
tunggal yang dapat mempengaruhi pilihan bahasa sesorang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah
faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya?. Kajian penelitian pemilihan bahasa yang
pernah dilakukan terdahulu diketahui bahwa umunya beberapa faktor menduduki kedudukan yang
lebih penting daripada faktor lain. Di Obserwart, Gal (1982) menemukan bukti bahwa karakteristik
penutur dan mitra tutur menduduki faktor yang penentu pilihan bahasa dalam masyarakat tersebut.
Sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang penting daripada faktor partisipan.
Berbeda dengan Gal, Rubin (1982) menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi
tempat berlangsungya peristiwa tutur. Dalam penelitiannya tentang pilihan bahasa Guarani dan
Spanyol di Paraguay Rubin menyimpulkan bahwa lokasi interaksi yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan
(3) tempat umum sangat menentukan pilihan bahasa masyarakat. Di desa pembicara akan memilih
bahaa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memilih bahasa
Spanyol.

5.3 Kompetensi Komunikatif dalam Pemilihan Bahasa


Dalam masyarakat Indonesia yang multibahasa, pemilihan bahasa merupakan masalah yang
kompleks. Pada situasi kebahasaan seperti itu terdapat bebeberapa bahasa yang hidup berdampingan
dan dipakai dalam interaksi sosial. Setiap anggota masyarakat mau tidak mau harus memilih bahasa
atau ragam bahasa untuk dipakai dalam interaksi tertentu. Pemilihan bahasa atau ragam bahasa itu
tidak bersifat acak, melainkan harus mempertimbangkan berbagai faktor.
Dell Hymes (1971) adalah ahli yang pertama kali mencetuskan istilah comunicative competence.
Gagasan Hymes ini dikemukakan sebagai kritik atas kelemahan pandangan Chomsky (1965) tentang
competence, yang merujuk ke pengetahuan implisit tentang bahasa yang dimiliki oleh penutur jati
yang ideal. Bagi Chomsky, yang utama dan terutama adalah kegramatikalan kalimat, sedemikian
rupa sehingga kalimat yang tidak apik secara semantis pun berterima, asalkan kalimat itu gramatikal.
Sebaliknya, Hymes berpendapat bahwa kegramatikalan saja tidak cukup. Baginya orang yang dapat
menggunakan bahasa yang benar saja (sesuai dengan tata bahasa saja) adalah orang yang aneh. Ini
karena ia tidak tahu apakah yang dikatakan itu menyinggung perasaan orang lain atau bertentangan
dengan norma-norma yang berlaku. Jika pendapat Hymes kita kaitkan dengan budaya kita, orang yang
dapat berbicara secara gramatikal saja dapat dikatakan sebagai ora ngerti unggah-ungguh. Bayangkan
28 Sosiolinguistik

jika seseorang berkata kepada rekan kerjanya di kantor, Anda kelihatan tidak bersemangat pagi ini,
apakah Anda baru bertengkar dengan istri.
Canale dan Swain (1980) mengembangkan rumusan kompetensi komunikatif dari Hymes.
Kedua pakar itu membagi nosi kompetensi komunikatif atas kompetensi linguistik, kompetensi
sosiolinguistik, dan kompetensi wacana. Di samping itu, mereka melihat kompetensi komunikatif itu
sebagai berdimensi dua, yaitu (1) pengetahuan, dan (2) keterampilan di dalam menggunakan bahasa
dalam komunikasi. Pengetahuan di sini mengacu ke apa yang secara sadar atau tidak sadar diketahui
penutur tentang bahasa yang dipakainya serta tentang aspek-aspek penggunaan bahasa. Keterampilan
mengacu ke bagaimana (baik atau tidak) ia mempraktikan pengetahuan itu di dalam suatu peristiwa
tutur. Keterampilan ini mencakup apa yang secara tradisional disebut empat keterampilan, yaitu
berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis (Canale, 1983).
Kompetensi linguistik, yang di dalam kepustakaan linguistik terapan dan pengajaran bahasa
disebut juga kompetensi gramatikal, mengacu ke penguasaan seseorang atas sandi bahasa. Komponen
ini, menurut Canale, mengacu pada pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan seseorang
(termasuk pembelajar) untuk memahami dan mengungkapkan secara tepat makna harfiah suatu
ujaran. Pengetahuan dan keterampilan ini mencakup tataran fonologi, ortografi, morfosinataksis, dan
leksikal (Trosborg, 1984).
Kompetensi sosiolinguistik sepadan dengan salah satu aspek kompetensi komunikatif menurut
rumusan Hymes, yaitu ihwal kepatutan ujaran. Komponen ini mengacu ke kaidah sosiokultural
penggunaan bahasa, yakni seperangkat kaidah yang menentukan kepatutan ujaran di dalam konteks
tertentu. Kaidah semacam itu banyak berkaiatan dengan unsur nonbahasa yang berpengaruh terhadap
bentuk tutur atau ujaran dan dikenal sebagai komponen-komponen tutur (components of speech). .
Konsep komponen tutur pertama-tama dikemukakan oleh Hymes (1972 dalam Gumperz dan
Hymes, (ed.) 1972: 58-66)) dalam tulisannya yang berjudul Models of Interaction of Language and
Social Life. Di dalam tulisannya itu ditujukkan adanya sejumlah faktor luar bahasa yang berpengaruh
terhadap pemakaian bahasa. Faktor-faktor itu ialah (1) tempat dan suasana tutur (settings and scene),
(2) peserta tutur (participants), (3) tujuan tutur (ends), (4) pokok tuturan (act sequences), (5) nada
tutur (keys), (6) sarana tutur (instrumentalities), (7) norma tutur (norms), dan (8) jenis tuturan (genre).
Kedelapaan komponen tutur itu dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Tempat tutur menunjukkan keadaan fisik tempat bertutur, sedangkan suasana tutur menunjukkan
keadaan psikologis tuturan. Dalam interaksi verbal langsung, penutur yang sama di tempat yang
sama dapat mengubah suasana tutur dengan cara mengubah ragam tuturannya, misalnya dari ragam
informal dan santai ke ragam formal dan serius atau sebaliknya. Peserta tutur dapat dibedakan menjadi
penutur, lawan tutur, dan orang yang dituturkan. Pemilihan bahasa antar peserta tutur ditentukan
oleh perbedaan dimensi vertikal dan horisontal antarpeserta tutur. Perbedaan dimensi vertikal antara
lain meliputi perbedaan umur, status sosial, kedudukan, dan tingkat ekonomi; perbedaan dimensi
horistontal antara lain mengenai perbedaan tingkat keakraban antar-peserta tutur.
Pemilihan Bahasa 29

Suatu tuturan mungkin bertujuan menyampaikan buah pikiran, untuk mendapatkan kesan atau
bermaksud membujuk. Tujuan tutur dapat juga bertujuan mengharapkan hasil, misalnya untuk
mengubah perilaku. Sedangkan pokok tuturan adalah butir komponen tutur yang sangat mudah
berubah, Di dalam suatu adegan tutur sederetan pokok tuturan dapat muncul secara berurutan.
Perubahan pokok tuturan akan berpengaruh terhadap pemilihan bahasa.
Nada tutur dapat bersifat verbal atau nonverbal. Nada tutur verbal berupa perubahan bunyi yang
dapat menunjukkan tuturan serius. humor, santai atau biasa-biasa saja. Nada tutur nonverbal dapat
ditampilkan dengan gerak anggota badan, perubahan air muka, permainan sorot mata sesuai dengan
keperluan. Adapun sarana tutur dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu saluran tutur dan bentuk
tutur. Saluran tutur dapat lisan, tertulis, atau dengan isyarat. Bentuk tutur mungkin berupa bahasa
sebagai sistem yang mandiri, atau mungkin berujud variasi bahasa bahasa seperti, dialek, ragam, atau
register.
Dua macam norma tutur ialah norma iteraksi dan norma interpretasi. Norma interaksi ialah norma
yang bertalian dengan boleh tidaknya sesuatu dilakukan oleh penutur waktu tuturan berlangsung.
Misalnya, memotong tuturan orang yang sedang berbicara dan berbicara terus menerus tanpa
memberi kesempatan kepada lawan tutur. Norma interpretasi merupakan norma yang dimiliki oleh
kelompok masyarakat tertentu sifatnya agak subjektif. Orang Arab menganggap bahwa berbicara
sebaik-baiknya ialah apabila si penutur begitu dekat dengan lawan tuturnya, saling memandang dan
suaranya cukup keras. Norma semacam itu mungkin tidak ditermia oleh kelompok masyarakat yang
lain sebab norma interpretasinya berbeda. Sedangakan jenis tutur meliputi kategori kebahasanaan
seperti cerita, puisi, peribahasa, teka-teki dan sejenisnya, yang masing-masing dapat dibedakan
karena bentuk tuturannya.
Kompetensi wacana mengacu ke pengetahuan dan keterampilan merangkai ujaran menjadi
wacana lisan atau tulis yang mempunyai kohesi (misalnya dengan menggunakan pronomina, elipsis,
konjungsi, dan struktur paralel) serta koherensi (pertautan makna). Komponen ini juga mencakup
pengetahuan dan keterampilan menyusun wacana diadik, triadik, dst., dan karena itu merujuk ke hal-
hal yang biasanya menjadi pokok bahasan analisis wacana atau analisis percakapan seperti giliran
berbicara, petunjuk-petunjuk tentang akan berakhirnya giliran berbicara, bagaimana membuka dan
menutup percakapan.
Ketiga komponen kompetensi komunikatif menurut Canale itu potensial sebagai dasar negosiasi
penutur dengan mitra tutur atau pendegar (orang ketiga) di dalam peristiwa komunikasi. Idealnya,
jika seorang penutur ingin bernegosiasi dengan pilihan kode bahasa secara tepat dalam peristawa
tutur, maka ia tidak cukup hanya berkompeten secara gramatikal, tetapi juga berkompeten secara
sosiolinguistik, dan wacana. Mengacu pada terminologi Saville-Tropik (1982: 25-26), seseorang
dapat berkomunikasi dengan apik atau patut apabila memiliki tiga hal, yaitu: (1) pengetahuan tentang
bahasa itu, (2) keterampilan berinteraksi dengan menggunakan bahasa itu, dan (3) pengetahuan
tentang kebudayaan yang melatari bahasa itu.
30 Sosiolinguistik

5.4 Strategi Pilihan Bahasa


Istilah strategi di sini mengacu pada pengertian strategi komunikasi, yaitu kecermatan di dalam
menenentukan sesuatu yang patut dikerjakan demi kelancaran komunikasi. Di dalam pembelajaran
bahasa terdapat pula istilah kompetensi strategis yang mengacu ke kemampuan menutupi kesenjangan
ketidaktahuan, bagaimana harus mengungkapkan suatu ujaran misalnya, karena lupa akan kata yang
diperlukan, tata bahasanya, atau lafalnya. Gunarwan (1995: 5) menjelaskan jenis kompetensi ini
dengan contoh yang menarik berikut. Jika seorang pembelajar bahasa Indonesia lupa akan kata
adimarga dan alih-alih ia mengatakan jalan lebar yang di kiri-kanannya ada pohon-pohonnya, ia
mengisaratkan bahwa ia telah memiliki kompetensi strategis itu. Tentu saja pengertian kompetensi
strategis itu juga berlaku bagi penutur pada umunya, baik yang jati maupun yang bukan.
Kompetensi strategis juga merujuk ke kemampuan memilih strategi yang tepat di dalam suatu
peristiwa tutur. Terutama ini berlaku jika sebuah ujaran atau tindak tutur itu mempunyai potensi
mengancam muka, baik muka pendengar maupun muka penutur sendiri. Di dalam situasi yang
sedemikian penutur perlu memiliki kompetensi strategis dalam bernegosiasi dengan mitra tutur dalam
memilih ujaran yang patut di dalam peristiwa komunikasi. Tentu negosiasi ini tidak seperti tawar
menawar barang atau jasa, tetapi melalui berbagai isyarat, baik secara verbal maupun nonverbal,
yang sesuai dengan norma sosialbudaya masyarakat pemakai bahasa itu. Faktor utama di dalam
negosiasi itu adalah penggunaan ujaran yang patut antar partisipan dengan mempertimbangkan
faktor-faktor seperti jarak sosial penutur-pendengar, derajat kekuasaan yang dimiliki masing-masing,
dan norma penilaian masyarakat tutur atas penggunaan ujaran yang bersangkutan.
Kepatutan ujaran disadari oleh Canale dan Hymes merupakan aspek yang sangat penting dalam
peristiwa komunikasi. Canale memasukan aspek ini ke dalam kompetensi sosiolinguistik, yang terdiri
atas dua macam, yaitu kepatutan bentuk bahasa yang dipakai dan kepatutan isi atau makna yang
disampaikan. Thomas (1982) menggunakan istilah kompetensi pragmalinguistik untuk mengacu
ke yang pertama dan kompetensi sosiopragmatik untuk merujuk ke yang kedua. Kompetensi
pragmalinguistik itu berkaitan dengan realisasi makna, yaitu apakah makna yang hendak disampaikan
oleh penutur itu diungkapkan dengan menggunakan bentuk bahasa yang patut untuk konteks sosial
tertentu; kompetensi sosiopragmatik berkaitan dengan persoalan apakah makna sebuah tutur patut
disampaikan dalam konteks sosial tertentu.
Implikasi dari adanya nosi kepatutan ujaran, adalah bahwa bahasa tidak lagi dipandang sebagai
alat komunikasi. Karena tuntutan kepatutan itu, bahasa dianggap pula sebagai komunikasi itu sendiri.
Artinya, proses proses komunikasi merupakan proses negosiasi dengan bahasa untuk menentukan
pilihan kode bahasa (ujaran) yang tepat (apik/patut) oleh antar-peserta komunikasi. Pentingnya
aspek kepatutan ujaran yang tidak kurang dari kegramatikalan, seperti contoh peristiwa komunikasi
berikut.
Strategi pilihan bahasa dalam komunikasi sering dilakukan pula melalui penggunaan bentuk
implikatur percakapan, terutama jika orang ingin menyampaikan maksud ujaran secara implisit
Pemilihan Bahasa 31

(terselubung). Makna yang disampaikan tidak persis sama dengan makna ujaran itu. Dalam pergaulan
sehari-hari bentuk seperti itu banyak dipergunakan dengan atau tanpa sadar oleh para penutur. Soal
pinjam-meminjam, hutang-piutang, dan permintaan pertolongan di antara teman akrab atau tetangga
dekat sering dilakukan dengan strategi implikatur untuk menyelamatkan muka. Misalnya melalui
tutur berikut yang dipergunakan oleh seseorang kepada temannya.
A: Buku ini bagus. Masih dibaca?
B: Wah punya kawan, besok harus saya kembalikan.
B menduga bahwa A pastilah akan meminjam buku itu. Oleh karena itu dia langsung menjawab
bahwa buku itu milik temannya yang harus segera dikembalikan.
Implikatur yang dipergunakan di dalam kelompok masyarakat yang satu mungkin sekali berbeda
dengan yang lain. Demikian pula objek penerapannya pun berbeda-beda. Di dalam masyarakat
Indonesia yang multikultural, antar-penutur perlu saling belajar memahami norma tutur masing-
masing agar maksud yang disampaikan dapat dimengerti dengan baik. Di kalangan etnik Jawa orang
yang tidak mengerti norma ini (sasmita) dianggap ber-rai gedheg, yang berarti bermuka dinding dari
bambu atau dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai tebal muka, sedangkan orang yang tidak banyak
menggunakan sasmita dianggap lugu atau polos (Kartomihardjo, 1988: 57).
Di Amerika, menurut Kartomihardjo (1988) mengutip pendapat Sacks (1968) strategi implikatur
sering dipergunakan apabila keinginan individu bertentangan dengan norma yang terdapat di dalam
masyarakat. MIsalnya meminta makanan atau barang yang mahal harganya harus dihindari. Oleh
karena itu, apabila keinginan untuk meminta itu tidak dapat ditahan, orang akan menggunakan
strategi implikatur.
A: What are those, cigars?
B: Would you like some?
Penutur A di atas mengucapkannya dengan nada tertarik. B menginterpretasikan ucapan A
sebagai permohonan yang tidak langsung, lalu menawarinya. Jika permintaan A ditolak, B dapat
menggunakan strategi implikatur berikut.
B: Im sorry, but they arent mine.
Selain melalui implikatur, masih banyak strategi lain yang dapat digunakan dalam negosiasi
komunikasi. Seperti dengan mengatakan secara terus terang, dengan menggunakan anggukan atau
gerakan tangan, serta dengan diam atau tidak melakukan tindak tutur. Brown dan Levinson (1978)
mengidentifikasikan lima pilihan strategi. Kelima kemungkinan pilihan itu adalah: (1) melakukan
tindak tutur atau tindak ujaran secara langsung dan eksplisit, secara apa adanya (bold on record), (2)
melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif, (3) melakukan tindak tutur dengan
menggunakan kesantuanan negatif, (4) melakukan tindak tutur secara off the record, dan (5) tidak
melakukan tindak tutur. Namun yang penting, strategi apa pun yang dipilih harus mempertimbangkan
kepatutan ujaran. Rambu-rambu untuk menentukan kepatutan itu antara lain faktor-faktor, seperti
32 Sosiolinguistik

jarak sosial penutur-pendengar, derajat kekuasaan yang dimiliki masing-masing, dan norma penilaian
masyarakat tutur atas penggunaan ujaran yang bersangkutan.
Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial mengikuti kaidah sosial budaya yang didukung oleh
antar-anggota masyarakat yang bersangkutan. Pemahaman akan khazanah kaidah ini relevan, baik
secara praktis bagi keperluan ketepatan penutur dalam berkomunikasi pada masyarakakat yang
multibahasa seperti di Indonesia, maupun secara teoretis dalam pengembangan kajian bahasa,
terutama sosiolinguistik, sebagai disiplin yang mulai banyak diminati di Indonesia. Dalam bidang
pengajaran bahasa, misalnya pengajaran bahasa bagi penutur asing, ihwal rambu-rambu dalam
negosiasi bahasa dan kepatutan ujaran sebagaimana yang telah dipaparkan di atas relevan bagi
pengembangan pengajaran bahasa yang mengacu pada pendekatan komunikatif. Impikasinya adalah
bahwa pencakupan masalah ini berarti meyiapkan pembelajar agar dapat berkomunikasi secara
efektif di dalam bahasa Indonesia. Pada gilirannya, hal ini mempunyai implikasi bagi pengajar bahasa
Indonesia, ia dituntut bukan hanya mengetahui dan menguasi kaidah bahasa (linguistik), melainkan
juga mengetahui dan menguasai noram-norma sosiokultural penggunaan bahasa Indonesia.

5.5 Tiga Pendekatan Kajian Pemilihan Bahasa


Penelitian terhadap pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan
tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi.
Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

5.5.1 Pendekatan Sosiologi


Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah (domain). Pendekatan ini pertama
dikemukakan oleh Fishman (1964). Ranah menurut Fishman (1964) dipandang sebagai konstelasi
faktor-faktor seperti lokasi, topik, dan partisipan. Ranah didefinisikan sebagai konsepsi sosiokultural
yang diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar komunikator, tempat komunikasi
di dalam keselarasan lembaga masyarakat dan bagian dari aktivitas masyarakat tutur (Fishman dalam
Pride dan Holmes (ed), 1972). Di bagian lain, Fishman (dalam Amon, 1987) mengemukakan bahwa
ranah adalah konsepsi teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman
yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan,
agama, dan pekerjaan. Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota
keluarga mengenai sebuah topik, maka penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga.
Analisis domain terkait dengan diglosia. Di dalam sebuah masyarakat yang terdapat diglosia, bahasa
rendah (low) merupakan bahawa yang cenderung dipilih dalam domain keluarga, sedangkan bahasa
tinggi dipergunakan dalam domain yang lebih formal, seperti pendidikan dan pemerintahan.
Penelitian yang mempergunakan analisis domain pernah dilakukan antara lain oleh Greenfield
(1972) tentang pemilihan bahasa Spanyol dengan tiga komponen kongruen, yaitu: orang, tempat,
dan topik. Untuk menguji apakah sebuah paduan dari ketiga faktor itu benar-benar berhubungan
dengan pikiran anggota masyarakatnya, Greenfield menyebarkan kuesioner.
Pemilihan Bahasa 33

Dengan kuesioner itu subjek diberi dua faktor yang kongruen dan diminta untuk menyeleksi yang
ketiga dan juga bahasa yang akan mereka gunakan dalam panduan situasi. Subjek diberi tahu untuk
memikirkan sebuah percakapan dengan orang tua tentang masalah keluarga dan meminta memilih
tempat di antara beberapa pilihan: rumah, pantai, gereja, sekolah, dan tempat kerja. Dari kuesioner
yang kembali mayoritas responden memilih lokasi rumah seperti yang diharapkan. Dengan satu
perkecualian (pilihan pantai sebagai komponen yang tepat untuk domain persahabatan), komponen
ketiga yang diharpkan dipipih oleh paling tidak 81 persen subjek.
Setelah memilih komponen ketiga yang tepat, subjek diminta untuk menunjukkan yang mana
yang berhubungan dengan domain pada skala lima-butir. Skala ini mirip dengan skla perbedaan-
semantik yang sering digunakan dalam penelitian sikap bahasa. Angka 1 pada skala itu menunjukkan
semua bahasa Spanyol, 2 berarti lebih banyak bahasa Spanyol daripada bahasa Inggris, 3 berarti
jumlah yang sama antara bahasa Spanyol dan bahasa Inggris, 4 leboh banyak bahasa Inggris daripada
bahasa Spanyol, 5 berarti semua bahasa Inggris. Dari hasil rata-rata diketahui bahwa bahasa Spanyol
mendapatkan rata-rat rendah dan lebih banyak subjek yang memilih bahasa Inggris. Analisis varian
dengan pilihan bahasa sebagai variabel bebas menunjukkan bahwa perbedaan menurut kategori
domain signifikan pada p < 0,01. Interpretasi yang bisa ditarik adalah bahwa bahasa Spanyol lebih
cenderung dipilih dalam situasi akrab, dan bahasa Inggris lebih cenderung dipilih dalam situasi
yang terdapat perbedaan status. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis inilah Greenfield
menemukan bukti bahwa masyarakat Puerto Rico di New York City cenderung diglosik, dengan
bahasa Spanyol sebagai bahasa rendah dan bahasa Inggris sebagai bahasa tinggi.

5.5.2 Pendekatan Psikologi Sosial


Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada proses
psikologis manusia daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada
individu, seperti motivasi individu, daripada berorientasi pada masyarakat. Karya-karya penting
dalam penelitian pemilihan bahasa dengan pendekatan psikologi sosial telah dilakukan oleh Simon
Herman (1968), Giles dan kawan-kawannya (Giles 1973; Giles, Bourhish dan Taylor 1977).
Herman (1968 dalam Fasold 1984: 187) mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang
mempengaruhi seseorang di dalam pemilihan bahasa. Menurut Herman seorang penutur dwibahasa
berada pada lebih dari satu situasi psikologis secara simultan. Herman membicarakan tiga jenis
situasi. Situasi pertama berhubungan dengan kebutuhan personal penutur (personal needs), kedua
situasi lain berhubungan dengan pengelompokkan sosial (social grouping), yaitu situasi latar belakang
(background situation) dan situasi sesaat (immediate situation).
Sangatlah bermakna untuk melihat ketika pembicara yang harus memilih antara dua bahasa atau
lebih pada dua situasi tumpang tindih. Kedua situasi psikologis itu menurut Herman (dalam Fishman
1977: 493) sebagai berikut.
34 Sosiolinguistik

Pertama, satu situasi yang berkaitan dengan kebutuhan yang ada pada pribadi, yaitu keinginan
untuk berbicara dalam bahasa tertentu (bahasa yang paling dikuasainya); situasi lain berkiatan dengan
norma-norma kelompoknya yang memungkinkan dia memaksa diri menggunakan bahasa lain (bahasa
itu mungkin belum dikuasainya secara baik).Di sini terjadi konflik antara kebutuhan pribadi dan
tuntutan kelompok. Kedua, dalam penentuan bahasa yang akan digunakan muncul kekuatan yang
tidak hanya dari situasi yang bersemuka (face to face), akan tetapi juga dari situasi yang lebih besar.
Dengan pendekatan yang sama, Howard Giles (1977, 321-324) mengembangkan teori akomodasi
(acomodation theory). Secara normal, akomodasi mengambil bentuk konvergensi, yang ditunjukkan
dengan memilih sebuah bahasa atau variasi bahasa yang tampak sesuai dengan kebutuhan orang yang
diajak berbicara. Dalam kondisi tertentu, seorang penutur dapat gagal melakukan konvergensi bahka
mungkin dengan sengaja melakukan divergensi. Dengan kata lain, seorang penutur mungkin tidak
mengalami kesulitan sama sekali dalam memilih bahasa atau variasi bahasa untuk menyesuaikan
dengan orang lain, dan ada penutur yang dengan sengaja memilih bahasa atau variasi bahasa yang
tidak sesuai dengan orang yang diajak berbicara.
Hal di atas terjadi ketika penutur ingin menekankan loyalitasnya pada kelompokknya sendiri
dan membedakan dirinya dari kelompok mitra bicara. Satu contoh yang jelas adalah ketika seorang
Amerika kulit hitam yang berbicara dengan orang berkulit putih dengan menggunakan bahasa Inggris
dialek hitam untuk menunjukkan jati dirinya.

5.5.3 Pendekatan Antroplogi


Dari pandangan antropologi, pilihan bahasa bertemali dengan perilaku yang mengungkap nilai-
nilai sosial budaya. Seperti juga psikologi sosial, antropologi tertarik dengan bagaimana seorang
penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa jika psikologi sosial
memandangnya dari sudut kebutuhan psikologis penutur, pendekatan antropologi memandangnya dari
bagaimana seseorang menggunakan pemilihan bahasanya untuk mengungkapkan nilai kebudayaannya
(Fasold 1984: 192).
Dari segi metodologi terdapat perbedaan antara pendekatan antropologi, pendekatan sosiologi,
dan psikologi sosial. Sosiologi dan psikologi sosial lebih mengarahkan kajiannya pada data kuesioner
atau observasi atas orang-orang yang ditelitinya di bawah kendali eksperimen, sedangkan pendekatan
antropologi menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku takterkontrol yang alamiah. Hal ini
membimbing mereka untuk menggunakan metode penelitian yang jarang digunakan oleh sosiolog
dan psikolog sosial, yaitu yang disebut observasi partisipan (participant observation). Sebagai contoh,
penelitian yang dilakukan oleh Susan Gal (yang mempublikasikan penelitiannya 1979) di Oberwart,
Australia Timur. Ia menghabiskan waktu satu tahun untuk tinggal di sebuah keluarga setempat (Fasold,
1984: 192).
Dengan menggunakan metode observasi partisipan, antropolog dapat memberikan perspektif
penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai penutur sebuah kelompok atau
Pemilihan Bahasa 35

lebih yang dimasukinya selama mengadakan penelitian. Implikasi dari metode ini adalah bahwa
pengamat adalah peneliti yang menjadi anggota kelompok yang diamatinya (Wiseman dan Aron, 1970:
49). Selain itu, metode observasi partisipan yang tipikal dalam pendekatan itu, yang mengarah kepada
peneliti sebagai instrumen penelitian relevan untuk mengungkap secara alamiah gejala pemilihan
bahasa dalam masyarakat multibasa di Indonesia.

--o0o--
36 Sosiolinguistik
Alih Kode dan Campur Kode 37

BAB VI

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE

6.1 Alih Kode

A lih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain (Suwito 1991:80).
Menurutnya alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan bahasa (language
depedency) di dalam masyarakat multilingual. Artinya, di dalam masyarakat multilingual hampir
tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikitpun
memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang lain. Di dalam alih kode penggunaan dua bahasa
atau lebih itu ditandai oleh : (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri
sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan
dengan perubahan konteks. Tanda-tanda yang demikian dikemukakan oleh Kachru (1965 dalam
Suwito 1991:80) disebut ciri-ciri unit-unit kontekstual (contextual units). Dengan adanya ciri-ciri
itu menunjukkan bahwa di dalam alih kode masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi
tersendiri secara eksklusif, dan peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya
relevan dengan peralihan kodenya. Dengan demikian, alih kode menunjukkan suatu gejala adanya
saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasi relevansional di dalam pemakakian dua
bahasa atau lebih.
Hymes (1875:103 dalam Chaer dan Agustina 1995:142) menyatakan alih kode bukan hanya
terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam
38 Sosiolinguistik

satu bahasa. Dalam ilustrasi di atas, Hymes mengatakan code switching has become a common
term for alternate us of two or more language, varieties of language, or even speech styles
Adapun penyebab terjadinya alih kode menurut Fishman (1976:15 dalam Chaer dan Agustina
1995:143), yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siap, kapan, dan dengan tujuan apa.
Secara umum, penyebab alih kode adalah (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan
tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal, (5)
perubahan topik pembicaraan.
Berdasarkan konsep yang diuraikan para ahli itu, dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan
peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain karena perubahan situasi yang mungkin terjadi antar
bahasa, antarvarian (baik regional maupun sosial) antarregister, antarragam ataupun antargaya.

6.2 Campur Kode


Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language depency) dalam masyarakat multilingual
adalalah terjadinya campur kode (code-mixing). Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan
relevansi situasi merupakan ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik
antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu;
sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya (Suwito
1991:88). Ciri lain dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya
yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu
dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Di dalam
kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic convergence)
yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya
dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
Kachru (1978:28 dalam Suwito 1991:89) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian
dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsusr-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa
yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Selain itu, Thelander (1976:103 dalam Suwito
1991:98) berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam peristiwa campur (co-
occurance) itu terbatas pada tingkat klausa. Apabila dalam suatu tuturan terjadi percampuran atau
kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda di dalam satu klausa yang sama, maka peristiwa itu
disebut campur kode.
Adapun alasan penyebab terjadinya campur kode menurut Suwito (1991:90-91) ada dua yaitu
campur kode yang bersifat ke luar dan ke dalam. Penyebab terjadinya campur kode yang bersifat ke
luar antara lain : (a) identifikasi peranan,(b) identifikasi ragam dan (c) keinginan untuk menjelaskan
dan menafsirkan. Dalam hal ini pun, ketiganya saling bergantung dan tidak jarang bertumpah
tindih. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral dan edukasional. Identifikasi ragam
ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan
dia di dalam hierarki status sosialinya. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, nampak karena
Alih Kode dan Campur Kode 39

campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan hubungan
orang lain terhadapnya.
Campur kode ke dalam nampak misalnya apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur
bahasa daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau
unsur-unsur ragam dan gayanya ke dalam dialeknya. Selain itu, campur kode terjadi karena adanya
hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur
yang mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu
untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan
untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat.
Berdasarkan konsep yang telah diuraikan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa campur
kode merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa
yang satu ke dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dimana unsur-unsur bahasa atau
variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri.

--o0o--
40 Sosiolinguistik
Sikap Bahasa 41

BAB VII

SIKAP BAHASA

7.1 Pengertian Sikap Bahasa

B any dan Johnson (1975) mengisyaratkan bahwa sikap tidak terbentuk karena pembawaan sejak
lahir tetapi terbentuk karena proses belajar. Sejalan dengan pandangan tersebut Krech et al.
(1988: 185) mengemukakan empat dalil pengembangan sikap.
(1) Attitudes develop in the process of want satisfaction.
(2) Attitudes of the individual are shaped by the information to which he is exposed.
(3) The group affiliations of the individual help determine the formation of his attitudes.
(4) The attitudes of the individual reflect his personality.
Dalil pertama menunjukkan bahwa sikap berkembang dalam rangka memuaskan suatu keinginan
atau kebutuhan. Dalil ini menunjukkan kaitan antara sikap dengan motivasi, seseorang yang berusaha
memuaskan keinginanya akan mengembangkan suatu sikap sesuai dengan keinginan itu. Dia
akan mengembangkan sikap positif terhadap objek yang dapat memuaskan atau membantu upaya
pemuasan kebutuhan/ kehendaknya. Sebaliknya, dia akan mengembangkan sikap negatif terhadap
objek yang merintangi upaya dalam memenuhi kebutuhan atau kehendaknya.
Dalil kedua erat kaitannya dengan dalil pertama. Informasi memegang peranan penting dalam
pembentukan sikap seseorang. Kognisi dapat berubah karena informasi, dan perubahan kognisi
akan mempengaruhi komponen lainnya, yaitu komponen afeksi dan komponen konasi yang
42 Sosiolinguistik

pada akhirnya terbentuklah sikap seseorang. Sebuah informasi mempunyai makna yang berarti
bagi seseorang sehingga mempengaruhi sikapnya apabila informasi itu berasal dari seorang yang
berpengaruh, misalnya seorang ahli. Namun demikian, derajat kesahihan informasi juga tergantung
pada kemampuan dan kejujuran ahli itu.
Dalil ketiga menjelaskan bahwa peranan partisipasi individu dalam kelompok akan membantu
pembentukan sikap seseorang terhadap suatu objek. Hal itu mengisyaratkan adanya pengaruh interaksi
antaranggota kelompok atau organisasi terhadap pembentukan sikap. Anggota-anggota kelompok
akan mem-pengaruhi pembentukan sikap individu apabila individu itu memandang kelompok
tersebut sebagai kelompok pedomannya atau kelompok acuannya. Dalam hal ini individu akan
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok itu sehingga ia cenderung menggunakan kelompok
tersebut sebagai standar penilaian diri dan sebagai sumber nilai serta tujuan-tujuan pribadinya.
Dalil keempat menyatakan bahwa sikap individu terhadap suatu objek sikap merupakan
pencerminan dari kepribadiannya. Oleh karena itu, sikap dipandang mencerminkan ciri seseorang
yang dapat dibedakan dari orang lain. Seseorang cenderung menunjukkan suatu sikap tertentu sebagai
bagian dari kepribadiannya.
Sarnoff (1970:279) seperti yang dikutip oleh Edward (1985:139) memandang sikap sebagai a
disposition to reactfavorably or unfavorably to class of objects (kecendurungan untuk bereaksi
terhadap sekelompok objek dengan perasaan senang atau tidak senang). Pandangan itu mengisyaratkan
bahwa sikap bukan merupakan suatu tindakan, melainkan merupakan kecen-derungan perilaku.
Kecenderungan bertindak (disposition) itu menurut Edward (1985: 139) seringkali digunakan untuk
membandingkan tiga komponen sikap, yakni : pikiran (thoughts), perasaan (feelings) dan kesiapan
untuk bertindak (predispositons to act). (Masalah komponen sikap akan dikemukakan lebih lanjut
dibagian 3).
Menurut Fasold (1984: 147) ada dua teori yang berbeda didalam memandang sikap. Teori
pertama adalah teori keperilakuan yang melihat sikap sebagai sikap motorik dan teori kedua adalah
mentalistik yang melihat sikap sebagai sikap mental.
Teori pertama itu beranggapan bahwa sikap hanya dapat diketahui melalui pernyataan seseorang
melalui sikapnya. Teori itu telah melahirkan sejumlah besar penelitian sikap dengan cara eksperimen
yang cemerlang untuk membangkitkan sikap sehingga responden tidak menyadari bahwa sikapnya
sedang diteliti. Sebagai contoh adalah penelitian Lambertet al. (1960) yang dilakukan di Kanada
dengan teknik terbanding (matched-guise technique)-nya yang sangat populer. Lambert et al. (1960)
memperkenalkan teknik samaran terbanding sebagai alat untuk mengungkap sikap terhadap bahasa
Perancis dan Inggris di Monteral, Kanada. Responden dalam penelitian itu diminta untuk menilai
kepribadian seorang penutur yang direkam setelah membecakan teks yang sama dalam dua bahasa.
Penutur itu disamarkan seolah-olah dua orang yang berbeda yang membacakan teks dalam bahasa
Sikap Bahasa 43

yang berbeda. Kemudian penilaian responden itu di simpulkan sebagai sikap mereka terhadap
bahasayang diperdengarkan. Dengan teknik itu, responden sama sekali tidak menyadari bahwa
sikapnya terhadap bahasa Inggris dan Perancissedang diteliti. Reori kedua cenderung bersifat empiris,
beranggapan bahwa silap itu bersifat nyata dan dapat diamati melalui indera dari perilaku seseorang
(Fasold 1984: 137).
Sikap menurut pandangan teori itu tidak dapat dipergunakan untuk meramalkan perilaku lain. Oleh
karena itu, pandangan teori itu tidak banyak mendapat perhatian dari para ahli. Sekurang kurangnya
ada dua alasan mengapa pandangan teori itu tidak banyak digunakan dalam penelitian sikap bahasa.
Pertama, penelitian dengan teori itu bersifat semu (Suhardi, 1993: 25). Artinya, hasil pengamatan
perilaku yang satu tidak dapat dipakai untuk menjelaskan perilaku lain. Kedua, penelitian terhadap
sikap berdasarkan teori keperilakuan cenderung hanya bersifat kuantitatif. Padahal penelitian secara
lualintatif pun dapat dilakukan untuk menjelaskan banyak hal tentang sikap, dan hasilnya tidak perlu
kalah unggul dibandingkan dengan hasil penelitian kuantitaitf (Dttmar 1987; Suhardi, 1993: 25).
Teori kedua memandang sikap sebagai kesiapan mental yang memberikan arah atau pengaruh
kepada reaksi seseorang terhadap objek sikap (Agheyisi dan Fishman, 1970: 138; Dittmar 1976: 181;
Fasold 1984: 147) Definisi sikap yang khas menurut teori mentalistik dikemukakan oleh Williams
(1974) yang dikutip oleh Fasold (1984: 147): Attitude is considered as an internal state aroused by
stimulation of some type and which may mediate the organisms sugsequent response. Definisi itu
mengisyaratkan bahwa sikap tidak diketahui secara langsung dari perilaku, sebab perilaku sesorang
tidak dengan sendirinya menggambarkan sikapnya. Mengacu pada rumusan Knop (1987 :21) Suhardi
(1993: 26) mengemukakan bahwa untuk memahami sikap kita perlu memahami hubungan antara
rangsangan dan tanggapan. Diantara rangsangan dan tanggapan itu terdapat variabel penyela yang
berfungsi menentukan jenis tanggapan yang dihasilkan oleh rangsangan itu. Sikap terdapat pada
variabel penyela itu. Dengan demikian, sikap merupakan perantara antara rangsangan yang datang
dari luar individu, yang dapat berupa objek sosial, dan tanggapan terhadap objek sosial itu.

7.2 Komponen Sikap Bahasa


Perbedaan kedua teori sikap itu ternyata berpengaruh pula pada anggapan para penganut teori itu
masing-masing mengenai komponen sikap. Penganut teoti pertama menganggap bahwa sikap terdiri
atas satu komponen. Pandangan itu antara lain diikuti oleh Fishbein dan ajzen 91975). Penganut teori
kedua menganggap bahwa sikap terdiri atas beberapa komponen yang saling berkaitan. Pandangan
yang disebutkan terakhir ini antara lain diikuti oleh Triandis (1971); Deprez dan Persoons (11987);
Krech et al (1988).
Fiesbein dan Ajzen (1975) Yang menganut pandangan teori keperilakuan menganggap sikap hanya
terdiri atas satu komponen, yaitu komponen afektif, seperti yang terlihat dalam bagan berikut:
44 Sosiolinguistik

Krech et al. (19988: 139) mendifinisikan sikap sebagai an enduring systems of positive or
negative evaluation, emotional feelings, and pro or co action tendencies with respect to social
objects (suatu sistem yang sifatnya menetap dari penilaianpenilian positif atau negatif, perasaan-
perasaan emosional dan kecenderungan tindak pro atau kontra terhadap objek sosial).
Definisi sikap tersebut memberikan gambaran yang jelas mengenai sikap sebagai suatu sistem
yang bersifat menetap dari ketiga komponen yang saling berhubungan. Dengan demikian, berdasarkan
definisi Krech et al. Tersebut sikap terdiri atas tiga komponen. Ketiga komponen itu berkaitan erat,
sehinnga perubahan salah satu komponen akan mempengarui komponen lainnya.
Ketiga komponen tersebut adalah komponen kognitif yang berhubungan dengan persepsi
seseorang terhadap suatu objek sehingga melahirkan suatu kepercanyaan atau kenyakinan (belief),
Komponen afektif, yang berhubungan dengan keadan emosional seseorang, serta komponen konatif,
yaitu kecenderungan untuk bertindak, seperti terlihat pada bagan 2 berikut.
Sikap Bahasa 45

Hubungan ketiga komponen itu dijelaskan oleh Krech et al. (1988) sebagai berikut. Apabila
seseorang menghadapi suatu objek, maka melalui kognisinya akan terjadi proses pengamatan. Hasil
pengamatan itu menimbulkan keyakinan-keyakinan terhadap objek tersebut (berarti/tidak berarti).
Selanjutnya akan berkembang afektif yang menyatakan penilaian baik yang bersifat positif (merasa
senang atau menerima) maupun bersifat negatif (merasa tidak senang atau menolak) terhadap objek
sikap. Akhirnya keyakinan dan perasaan itu diikuti oleh kehendak untuk bertindak yang merupakan
komponen konatif.
Komponen kognitif mengandung kepercanyaan atau kenyakinan seseorang terhadap suatu objek
(Krech et. Al. (1988:140). Sebagai adalah kepercanyaan atau kenyakinan mahasiswa terhadap rokok.
Ada yang memiliki kepercanyaan atau kenyakinan mahasiswa bahwa rokok itu mahal dan berbahaya
bagi paru-paru. Ada pula yang memiliki kenyakinan bahwa rokok itu dapat memudahkan belajar
dan mengurangi kegelisahan. Kepercayaan atau keyakinan itu menimbulkan penilaian yang berbeda
terhadap rokok.
Komponen afektif menyangkut perasaan terhadap suatu objek (Krech et al. 1988: 141). Perasaan
itu dapat berupa rasa senang atau tidak senang. Apabila seorang penutur memiliki perasaan senang
terhadap suatu objek, maka ia dipandang memiliki sikap positif terhadap objek itu. Sebaliknya
apabila ia memiliki perasaan tidak senang maka ia dikatakan memiliki sikap negatif terhadap objek
itu. Sebagai contoh apabila seorang penutur memiliki perasaan senang terhadap bahasa ibunya, dan
cenderung memakai bahasa itu, maka ia dianggap bersikap positif terhadap bahasa itu.
Komponen konotif menyangkut kesiapan untuk bereaksi (Krech et al. 1988: 141). Seseorang
yang memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia mungkin akan menunjukkan kesiapanya untuk
menggunakan bahasa itu.

7.3 Metode dan Teknik Pengukuran Sikap Bahasa


Para ahli psikologi sosial telah berusaha mengukur sikap dengan berbagai macam metode dan
teknik. Ada dua metode yang digunakan untuk mengukur sikap (Fasold 1984: 149), yakni (1) langsung
(direct measure of attitudes), dan (2) tidak langsung (indirect measure of attitudes).
Pengukuran sikap secara langsung biasanya mempergunakan seperangkat tes psikologi yang
berupa sejumlah pertanyaan. Butir-butir pertanyaan itu disusun secara sistematis dan selektif sesuai
dengan kriteria yang digunakan oleh penulis. Dalam perkembangannya, tes itu disusun dalam bentuk
skala sikap. Skala itu diberikan kepada responden untuk mendapatkan jawaban atau tanggapannya
terhadap suatu objek sikap.
Metode pengukuran langsung itu dianggap mempunyai banyak kelemahan, seperti subjektfitas
jawaban dari responden. Kemungkinan responden untuk menjawab tidak jujur dengan metode
langsung ini besar sekali. Misalnya, apabila seseorang guru ditanya tentang sikapnya terhadap
kurikulum yang berlaku, kemungkinan besar ia akan menjawab positif, meskipun tidak demikian
sebenarnya.
46 Sosiolinguistik

Berdasarkan kelemahan metode langsung, beberapa ahli berusaha mengembangkan suatu metode
pngukuran sikap secara tidak langsung. Dengan metode itu diharapkan subjek tidak menyadari
bahwa sikapnya sedang diteliti. Metode itu sangat berguna terutama bagi responden yang kelihatan
enggan mengutarakan sikapnya. Metode itu biasanya dilakukan dengan cara menerikan gambar-
gambar kepada subjek, kemudian ia diminta untuk menceritakan atau menanggapi apa-apa yang
ia lihat dari gambar itu. Jawabannya dianalisis untuk menyimpulkan bagaimana sikapnya terhadap
orang atau situasi di dalam gambar itu.
Kedua metode itu menurut Fasold (1984: 149) diterapkan di dalam pengukuran sikap bahasa.
Metode langsung menuntut responden untuk memberikan jawaban atas pertanyaan dalam daftar
pertanyaan atau wawancara tentang sikapnya terhadap suatu bahasa. Berbeda dengan metode
langsung, yang menanyakan secara langsung sikap responden terhadap suatu bahasa, metode tidak
langsung digunakan untuk memancing jawaban responden sementara dirinya tidak menyadari bahwa
sikapnya sedang diteliti.
Selain metode, dalam pengukuran sikap bahasa juga terdapat berbagai teknik pengukuran. Fasold
(1984 149-158) meragkum berbagai teknik pengukuran sikap bahasa yang telah diguanakan dalam
berbagai penelitian. Secara umum, terdapat lima teknik pengukuran sikap bahasa. Masing-masing
teknik itu adalah (1) teknik skala semantik diferensial (semantic differential scale), (2) teknik samaran
terbanding ( Matchedquise technique), (3) teknik kuesioner, (4) teknik wawancara (interview), dan
(5) teknik pengamatan (observation).
Teknik semantik diferensial dikembangkan oleh Osgood, suci, dan Tannebaum (1957). Teknik
semantik diferensial itu digunakan pula dalam bentuk skala penilaian. Skala ini menunjukkan kutub
yang berlaanan dari suatu perilaku. Masing-masing kutub itu dipisahkan oleh sejumlah tempat
kosong. Sebagai contoh;

Baik ___ ___ ___ ___ ____ ____ ____ ____ ____ tidak baik

Gambar 5 Skala semantik Diferensial


Apabila suara pembicara dalam rekaman itu sangat baik, maka pendengar akan eletakkan tanda
pada garis yang paling dekat dengan kata-kata baik, sebaliknya apabila suara pembicara dalam
rekaman itu sangat tidak baik, maka pendengar akan meletakkan tanda pada garis yang paling dekat
dengan kata tidak baik. Apabila suara pembicara itu sedang-sedang, maka pendengar akan meletakkan
tanda di tengah-tengah.
Teknik samaran terbanding dikembangkan untuk pertama kali oleh Lambert et al. (1960). Teknik
itu dipandang sebagai teknik yang paling baku dalam penelitian sikap bahasa (Fasold 1984: 150).
Sebagian besar penelitian sikap bahasa yang dilakukan di berbagai negara selama tiga puluh tahun
Sikap Bahasa 47

terakhir ini menerapkan teknik samaran terbanding itu. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini
adalah penelitian dAnglejan dan Tucher (1973) di Kanada, Fraser (1973) di Amerika, Shuy dan
Wililliams (1973) di Amerika, wolck (1973) di Peru, El-Dash dan Tucker (1975) di Mesir, Knops
(1982) di Belanda, Gunarwan (19930 di Indonesia, zughoul dan taminian 91984) di Arab, dan
Suhardi (1993) di Indonesia (dalam Rokhman, 1996:33).
Teknik samaran terbanding memerlukan sejumlah dwibahasawan yang dapat berbicara sama
baiknya dalam berbagai bahasa yang diteliti. Tiap-tiap dwibahasawan itu diminta untuk menyamar
menjadi beberapa orang yang berbeda untuk membacakan teks pendek yang sama dalam berbagai
bahasa. Pembacaan teks itu kemudian direkam demikian rupa sehingga seolah-olah dilakukan oleh
beberapa orang yang berbeda. Rekaman itu diperdengarkan kepada responden. Kepada responden
dijelaskan bahwa mereka diminta menilai ciri-ciri orang-orang yang suaranya telah mereka dengar itu
dengan menggunakan skala penilaian.
Teknik kuesioner dilakukan dengan cara memberikan daftar pertanyaan. Pertanyaan yang
diajukan kepada responden dapat berupa pertanyaan terbuka dan pertanyaan yertutup. Pertanyaan
terbuka memungkinkan responden secara bebas memberikan jawaban. Kemungkinan jawaban
biasanya tidak ditentukan lebih dahulu. Kelemahan cara ini adalah sulit dalam perhitungan. Contoh
pertanyaan terbuka adalah sebagai berikut: Bagaimana pendapat anda tentang bahasa Indoneia?
Dalam pertanyaan tertutup terdapat kemungkinan jawaban yang telah ditentukan. Responden
tidak diberi kesempatan memberikan jawaban lain. Mereka diminta menjawab pertanyaan dengan
cara memilih alternatif jawaban yang terdapat di dalam daftar pertanyaan. Berbagai tipe pertanyaan
tertutup antara lain: pertanyaan benar-salah, pertanyaan ya-tidak, dan pilihan ganda.
Teknik wawancara (interview) sering pula digunakan dalam pengukuran sikap bahasa. Teknik
ini digunakan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh
jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian, kepada responden. Kerlinger (1986: 770)
membedakan wawancara atas dua tipe dalam tataran yang luas, yakni wawancara terstruktur dan tak-
terstruktur. Dalam wawancara terstruktur, pertanyaan yang diajukan, urutanya dan prumusan kata-
katanya sudah ditetapkan dan tidak boleh diubah-ubah. Mungkin pewawancara masih mempunyai
kebebasan dalam mengajukan pertanyaan, tetapi itu relatif kecil., sebab kebebasan pewawancar itu
telah dibatasi terlebih dahulu secara jelas. Wawancara terstruktur menggunakan prosedur wawancara
yang telah dipersiapkan secara cermat untuk memperoleh informasi yang relevan dengan masalah
penelitian.
Wawancara tak-terstruktur brsifat lebih luwes dan terbuka. Meskipun pertanyaan yang diajukan
ditentukan oleh maksud dan tujuan penelitian, muatan pertanyaan, urutan, dan rumusan kata-
katanya brgantung kepada kemampuan pewawancara dan situasi wawancara. Wawancara tak-
terstruktur merupakan situasi yang terbuka yang kontras dengan wawancara terstruktur, biasanya
tidak menggunakan daftar pertanyaan. Wawancara jenis kedua ini pun haruslah direncanakan secara
cermat sebagaimana halnya wawancara jenis pertama.
48 Sosiolinguistik

Dalam melakukan Kedua jenis wawancara itu dapat pula dimanfaatkan rambu-rambu yang
dirumuskan oleh Kerlinger (1986): 777) sebagai berkut.
1) Apakah pertanyaan itu berkaitan dengan masalah dan sasaran-sasaran penelitian?
2) Tepatkah tipe pertanyaan itu?
3) Apakah butir pertanyaan itu jelas dan tidak mengandung tafsiran?
4) Apakah pertanyaan itu dapat mengiring responden untuk memberikan alternatif jawaban
tertentu?
5) Apakah pertanyaan itu menuntut jawaban atau informasi yang dimiliki responden?
6) Apakah pertanyaan itu menuntut ihwal yang bersifat pribadi dan peka sehingga mungkin
responden menolak menjawabnya?
7) Apakah pertanyaan itu menyiratkan hal-hal yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat?
Teknik lain yang banyak digunakan dalam pengukuran sikap bahasa adalah teknik pengamatan
(obsevation). Teknik itu digunakan dengan cara mengamati aktivitas mayarakat yang diteliti. Teknik
tersebut banyak digunakan oleh para penganut teori keperilakuan. Mereka memandang bahwa
perilaku berbahasa masyarakat yang diamati dapat mencerminkan sikap bahasa masyarakat tersebut
(Fasold 1984: 152). Dalam melakukan teknik ini perlu disadari pentingnya apa yang disebut oleh
Labov (dalam Fishman 1975:141) tentang paradoks pengamat (observers paradox) yang menjelaskan
bahwa tujuan pengamatan kebahasaan adalah menemukan bagaimana orang yang diamati berbicara
secara alamiah seperti mereka sedang tidak diamati secara sistematis, padahal kita hanya dapat
memperoleh data itu dengan pengamatan yang sistematis.
Situasi kebahasaan di Indonesia yang ditandai dengan pemakaian berbagai bahasa oleh suatu
masyarakat merupakan lahan subur untuk penelitian sosiolonguistik, terutama sikap bahasa. Para
ahli telah mengakui relevansi kajian sikap pada bidang pengembangan ilmu, khususnya psikologi
sosial dan sosiolinguistik (Cooper 1989, Fasold 1984, Edwards 1985, dan Bekker 1992), pada bidang
perencanaan bahasa (Eastman 1983), dan pengajaran bahasa (gardner dan Lambert 1972; dan Trudgill
1976). Apabila kita ingat kelangkaan kajian topik itu dalam khazanah pustaka di Indonesia, maka
akan tampak perlunya perhatian dari para sosiolinguis dan peminat disiplin itu untuk melakukan
elusan ilmiah terhadap masalah tersebut. Dengan demikian akan tampak masalah yang menunggu
untuk digarap melalui kajian empiris di berbagai kalangan masyarakat.

--o0o--

Politik Bahasa 49

BAB VIII

PERGESERAN DAN PEMERTAHANAN BAHASA

8.1 Pergeseran Bahasa

P ergeseran bahasa (language shift) merupakan fenomena sosiolinguistik yang terjadi akibat
adanya kontak bahasa (language contact). Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan
bahasa oleh sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat
tutur ke masyarakat tutur lain. Apabila seseorang atau sekelompok penutur pindah ke tempat lain
yang menggunakan bahasa lain, dan berinteraksi dengan masyarakat tutur di wilayah tersebut,
maka akan terjadilah pergeseran bahasa. Kelompok pendatang umumnya harus menyesuaikan
diri dengan menanggalkan bahasanya sendiri dan menggunakan bahasa penduduk setempat. Jika
berkumpul dengan kelompok asal, mereka dapat menggunakan bahasa pertama mereka tetapi
untuk berkomunikasi dengan selain kelompoknya tentu mereka tidak dapat bertahan untuk tetap
menggunakan bahasanya sendiri. Sedikit demi sedikit mereka harus belajar menggunakan bahasa
penduduk setempat.
Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan
untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran/transmigran untuk
mendatanginya (Chaer 1995: 190). Fishman (1972) menunjukkan contoh terjadinya pergeseran
bahasa pada para imigran di Amerika. Keturunan ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah
tidak mengenal lagi bahasa ibunya dan malah menjadi telah menjadi monolingual bahasa Inggris.
50 Sosiolinguistik

Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahawa pergeseran bahasa terjadi pada masyarakat
dwibahasa atau multibahasa. Kedwibahasaan menurut Umar (1994:9) dimulai ketika penduduk yang
berpindah itu berkontak dengan penduduk pribumi lalu pihak yang satu mempelajari pihak lainnya
untuk kebutuhan komunikasi.
Pada situasi kedwibahasaan sering terlihat orang melakukan penggantian satu bahasa dengan
bahasa lainnya dalam berkomunikasi. Penggantian bahasa ini biasanya terjadi karena tuntutan
berbagai situasi yang dihadapi oleh masyarakat tutur. Selain itu, peralihan atau penggantian bahasa
itu dapat terjadi karena penggantian topik pembicaraan.
Peristiwa pergeseran bahasa lebih terkait dengan adanya faktor perpindahan dari satu masyarakat
tutur ke masyarakat tutur lain. Di samping itu juga faktor mitra tutur, situasi, topik, dan fungsi interaksi
dapat juga menyebabkan pergeseran bahasa. Berdasarkan hal tersebut di atas terlihat bahwa terjadinya
pergeseran bahasa lebih terkait dengan faktor lingkungan bahasa.

8.2 Pemertahanan Bahasa


Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala pemertahanan bahasa sangat menarik
untuk dikaji. Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata
masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Danie (dalam Chaer 1995:193) bahwa
menurunnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena pengaruh bahasa
Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia yang
jangakauan pemakaiannya bersifat nasional. Namun ada kalangnya bahasa pertama (B1) yang jumlah
penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua (B2) yang
lebih dominan.
Konsep lain yang lebih jelas lagi dirumuskan oleh Fishman (dalam Sumarsono 1993: 1).
Pemerthanan bahasa terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di satu pihak
dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain dalam masyarakat multibahasa. Salah satu
isu yang cukup menarik dalam kajian pergeseran dan pemerthanan bahasa adalah ketidakberdayaan
minoritas imigran mempertahankan bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas yang
lebih dominan.
Ketidakberdayaan sebuah bahasa minoritas untuk bertahan hidup itu mengikuti pola yang sama.
Awalnya adalah kontak guyup minoritas dengan bahasa kedua (B2), sehingga mengenal dua bahasa
dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya
bahasa asli (B1) bergeser atau punah. Sebagai contoh kajian semacam itu dilakukan oleh Gal (1979)
di Australia dan Dorial (1981) di Inggris. Keduanya tidak berbicara tentang bahasa imigran melainkan
tentang bahasa pertama (B1) yang cenderung bergeser dan digantikan oleh bahasa baru (B2) dalam
wilayah mereka sendiri.
Kajian lain dilakukan oleh Liberson (dalam Sumarsono 1993:2) yang berbicara tentang imigran
Perancis di Kanada, tetapi bahasa pertama (B1) mereka masih mampu bertahan terhadap bahasa
Politik Bahasa 51

Inggris yang lebih dominan, setidak-tidaknya hingga anak-anak mereka menjelang remaja. Masalah
bergeser dan bertahannya sebuah bahasa bukanlah hanya karena masalah bahasa imigran, melainkan
dipengaruhi oleh banyaknya faktor lain yang dapat mempengaruhi pemertahanan bahasa.

8.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa


Pergeseran dan pemertahanan bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Masalah pergeseran
dan pemertahanan bahasa di Indonesia dipengaruhi oleh faktor yang dilatarbelakangi oleh situasi
kedwibahasaan atau kemultibahasaan. Industrialisasu dan urbanisasi dipandang sebagai penyebab
utama bergeser atau punahnya sebuah bahasa yang dapat berkait dengan keterpakaian praktis sebuah
bahasa, efisiensi bahasa, mobilitas sosial, kemajuan ekonomi dan sebagainya. Faktor lain misalnya
adalah jumlah penutur, konsentrasi pemukiman, dan kepentingan politik (Sumarsono 1993: 3).
Pada umumnya sekolah atau pendidikan sering juga menjadi penyebab bergesernya bahasa,
karena sekolah selalu memperkenalkan bahasa kedua (B2) kepada anak didiknya yang semula
monolingual, menjadi dwibahasawan dan akhirnnya meninggalkan atau menggeser bahasa pertama
(B1) mereka. Faktor lain yang banyak oleh para ahli sosiolinguistik adalah faktor yang berhubungan
dengan faktor usia, jenis kelamin, dan kekerapan kontak dengan bahasa lain. Rokhman (2000) dalam
kajiannya mengidentifikasikan tiga faktor yang mempengaruhi pergeseran dan pemertahanan bahasa
pada masyarakat tutur Jawa dialek Banyumas, yakni faktor sosial, kultural, dan situasional.
Kajian tentang berbagai kasus tersebut di atas memberikan bukti bahwa tidak ada satupun faktor
yang mampu berdiri sendiri sebagai satu-satunya faktor pendukung pergeseran dan pemertahanan
bahasa. Dengan demikian, tidak semua faktor yang telah disebutkan di atas mesti terlibat dalam
setiap kasus.

--o0o--
52 Sosiolinguistik
Politik Bahasa 53

BAB IX

POLITIK BAHASA

9.1 Urgensi Politik Bahasa

D i negara-negara yang multilingual, multirasial, dan multi kultural, untuk menjamin kelangsungan
komunikasi kebangsaan perlu dilakukan sesuatu perencanaan bahasa (Inggris: language planning)
yang tentunya terlebih dahulu harus dimulai dengan kebijaksanaan bahasa (Inggris: Language Policy).
Yang dimaksud dengan multilingual disini adalah adanya dan digunakannya banyak bahasa dengan
berbagai ragamnya di dalam wilayah negeri itu sendiri secara berdampingan, entah digunakan secara
terpisah oleh masing-masing ras (suku bangsa) maupun digunakan secara bergantian, seperti yang
dibicarakan dalam bilingualisme. Lalu, yang dimaksud dengan multirasial adalah terdapatnya etnis
yang berbeda, yang biasanya dapat dikenali dari ciri-ciri fisik tertentu atau dari bahasa dan budaya
yang melekat pada etnis tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan multikultural adalah terdapatnya
berbagai budaya, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda dari penduduk yang mendiami negara
tersebut.
Biasanya ciri etnis, bahasa, dan kultur terikat menjadi satu, menandai ras (suku bangsa) tertentu
yang membedakannya dari ras lainnya. Negara Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan India
merupakan contoh negera yang multi lingual, multirasial, dan multikultural, yang memerlukan adanya
kebijakan bahasa, agar masalah pemilihan atau oenentuan bahasa tertentu sebagai alat komunikasi
di dalam negara itu tidak menimbulkan gejolak konflik horizontal yang pada akhirnya akan dapat
menggoyahkan kehidupan bangsa di negara tersebut. Di Negara Indonesia, kebijakan tersebut sudah
54 Sosiolinguistik

termaktub dalam Pembukaan UUD 45, dan sumpah pemuda, sehingga tidak pernah terjadi komplik
sebagaimana di tersebut di atas, karena semua bangsa, etnis sudah memiliki komitmen berbahasa
satu bahasa Indonesia, dan berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia.

9.2 Kebijaksanaan Bahasa


Kalau kita mengikuti rumusan yang disepakati dalam seminar Politik Bahasa Nasional yang
diadakan di Jakarta tahun 1975, maka kebijaksanaan bahasa itu dapat diartikan sebagai suatu
pertimbangan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberikan perencanaan,
pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan
masalah kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional. Jadi, kebijaksanaan bahasa itu
merupakan satu pegangan yang bersifat nasional, untuk kemudian membuat perencanaan bagaimana
cara membina dan mengembangkan bahassa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan
secara tepat diseluruh negara, dan dapat diterima oleh segenap warga secara lingual, etnis, dan kultur
yang berbeda.
Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi setiap bangsa adalah tidak sama, sebab tergantung
pada situasi nkebahasaan yang ada dalam negara itu sendiri. Negara-negara yang sudah memiliki
sejarah kebahasaan yang cukup, dan di dalam negara itu hanya ada satu bahasa saja( meskipun
dengan sekian dialek dan ragamnya) cenderung tidak mempunyai masalah kebahasaan yang serius.
Negara yang demikian, misalnya, Saudi Arabia, Jepang, Belanda, dan Inggri. Tetapi di nega-negara
yang terbentuk, dan memiliki sekian banyak bahasa daerah akan memiliki persoalan kebahasaan
yang cukup serius, dan mempunyai kemungkinan untuk timbulnya gejolak sosial dan politik
akibat persoalan bahasa itu. Indonesia sebagai negara yang relatif baru dengan masalah-masalah
kebahasaan yang bisa terjadi di negara lain, secara historis buah bahasa, yaitu (1) bahasa nasional
Indonesia, (2) bahasa daerah, dan (3) bahasa asing. Jauh sebelum kebijaksanaan bahasa diambil untuk
menetapkan fungsi ketiga bahasa itu, paa pemimpin perjuangan Indonesia, berdasarkan kenyataan
bahwa bahasa Melayu telah sejak berabad-abad yang lalu telah digunakan secara luas sebagai liguna
franca di seluruh Nusantara dan Melayu itu menjadi bahasa persatuan untuk seluruh Indonesia, dan
memberinya nama bahasa Indonesaia.
Peristiwa pengangkatan bahasa indonesia yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam
satu ikrar yang disebut Soempah Pemoeda itu tidak pernah menimbulkan protes atau reaksi negatif
dari suku-suku bangsa lain di Indonesia, meskipun jumlah penuturnya lebi banyak berlipat ganda.
Kemudian, penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa negara dalam Undang-Undang Dasar
1945 pun tidak menimbulkan masalah. Oleh karena itulah, para pengambil keputusan dalam
menentukan kebijaksanaan bahasa yang menetapkan fungsi-fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah,
dan bahasa asing dapat melakukannya dengan mulus. Bahasa Indonesia ditetapkan, sesuai dengan
kedudukannya, sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, sebagai lambang kebanggaan nasional,
dan sebagai alat komunikasi nasional kenegaraan atau intrabangsa; bahasa daerah berfungsi sebagai
lambang kedaerahan dan alat komunikasi intrasuku; sedangkan bahasa asing berfungsi sebagai alat
Politik Bahasa 55

komunikasi antar- bangsa dan alat penambah ilmu pengatahuan. Ketiga bahasa itu dengan fungsinya
masing-masing tidak menimbulkan masalah dan peningkatan penggunaan bahasa Indonesia dari
para warga bangsa Indonesia, sebab hingga kini penguasaan mereka akan bahasa Indonesia masih
jauh dari yang diharapkan (lihat Chaer 1993).
Masalah kebahasaan yang dihadapi bangsa Filipina agak mirip dengan keadaan di Indonesia,
tetapi tampaknya persoalan yang mereka hadapi lebih ruwet. Di Filipina, seperti di Indonesia,
terdapat banyak bahasa daerah dan dua bahasa asing bekas penjajahannya yang sangat melekat
pada bangsa itu, yaitu bahasa Spanyol dan bahasa Inggris. Ketika merdeka dan memerlukan simbol
indentitas bangsa, mereka menetapkan dan mengangkat bahasa Tgalog, salah satu bahasa daerah,
menjadi bahasa nasional yang diberi nama baru bahasa Filipino. Berbeda dengan bahasa Melayu
(yang menjadi dasar bahasa Indonesia), bahasa Tagalog ( sebagai dasar bahasa Filipino) sebelumnya
belum digunakan secara meluas di seluruh wilayah Filipina. Oleh karena itu, penerimaan waraga
Filipina terhadap bahasa Filipino ini tidak begitu menggembirakan; lebih-lebih karena mereka punya
kesan bahwa bahasa Filipina ini hanya didasarkan pada bahasa Tagalog (based on Tagalog). Untuk
lebih menggalakan penerimaan bahasa dan pengunaan bahasa Pilipino ini pada tahun 1973 Majelis
Konstituante Filipina mengganti nama Pilipino dengan nama Filipino dengan janji bahwa bahasa
Filipino akan didasarkan pada semua bahasa daerah yang ada fi Filipina. Bagaimana caranya, entahlah.
Yang jelas ingga saat ini untuk komunikasi kenegaraan dan komunikasi antarsuku masih digunkan
bahasa inggris, diselruh wilayah Filipina. Dengan bahasa Inggris mereka dapat berkomunikasi
intrabangsa, tetapi dalam bahasa Filipino belum dilakukan.
Masalah kebahsaan yang dihadapi negara Singapur juga cukup ruwet; tetapi tampaknya pemerintah
Singapur telah dapat melakukan kebijaksanaan bahasa dengan tepat. Republik Singapur adalah
negaa kecil yang warganya multilingual, multirsial, dan multikultural. Maka menyadarai keadaan itu,
pemerintah Singapur mula-mula membedakan adanya dua hal, yaitu fungsi bahasa dan penggunaan
bahasa. Dalam hal fungsi bahasa ini, mereka membedakan adanya bahasa nasional dan bahasa
resmi. Mereka mengkui punya satu bahasa nasional, yaitu bahasa Melayu yang menjadi lambang
kenasionalan negara itu, seperti dalam lagu kebangsaan, aba-aba kemiliteran, dan slogan-slogan lain.
Di samping itu Singapur mengakui adanya empat buah bahasa resmi, yang dapat digunakan dalam
segala urusan resmi kepemerintahan. Keempat bahasa resmi itu adalah (1) bahasa Melayu, (2) bahasa
Mandarin(bahasa-bahasa cina), (3) bahasa Tamil( termasuk bahasa india lainnya),dan (4) bahasa
Inggris. Dari urutannya secara emosional paling terhormat kedudukannya adalah bahasa Melayu,
namun, penggunaanya relatif kecil. Sebaliknya bahasa Inggris berada dalam kedudukan yang paling
rendah, tetapi frekuensi penggunaanya paling tinggi.
Penanganan masalah kebahasaan di India tampaknya mirip dengan di Singapur; hanya skalanya
lebih besar. Kalau Singapur mengakui satu bahasa nasioal dan dapat dapat diterima dengan baik oleh
waga Singapur secara keseluruhan, karena di samping satu bangsa nasional itu (yang lebih bersifat
lambang kenasionalan) ditetapkan uga adanya empat bahasa resmi ( termasukbahasa Melayu) yang
56 Sosiolinguistik

dapat digunakan dengan kedudukan sederajat (walaupun dalam kenyataannya frekuensi penggunaan
bahasa Inggris lebih tinggi). Bahasa India juga menetapkan adanya satu bahasa nasional, yaitu bahsa
Hindia, dua bahasa resmi kenegaraan, yaitu bahasa Hindia dan bahasa Inggris, serta sejumlah bahasa
resmi kedaerahan ( lihat Moeliono 1983). Bahasa nasional, bahasa Hindia, tidak dapat digunakan
secara luas alay komunikasi yang dapat digunakan untuk keperluan itu adalah bahasa Inggris, bahasa
bekas penjajahanya, yang sejak dulu memang telah menjadi liguna franca.
Keperluaan suatu negara atau negara untuk memiliki sebuah bahasa yang menjadi indentitas
nasionalnya dan satu bahasa, atau lebih, yang menjadi bahasa resmi kenegaraan (bisa bahasa yang
sama dengan bahasa nasional) tidak selalu bisa dipenuhi kebutuhan oleh bahasa atau bahasa-bahasa
asli pribumi yang dimiliki. Indonesia dapat memenuhi kebutuhan itu dari bahasa asli pribumi;
Filipina dapat memenuhi sebagian; sedangkan Somalia tidak dapat sama sekali. Berkenaan dengan itu
dalam perencanaan bahasa dikenal adanya negara tipe endoglosi, seperti Indonesia;tipe eksoglosik-
endoglosik, seperti Filipina; dan tipe eksoglosik, seperti Somalia. Lebih lanjut lihat bagan berikut
yang diangkat dari Moeliono 1983.
Kalau kita mengikuti rumusan yang disepakati dalam seminar Politik Bahasa Nasional yang
diadakan di Jakarta tahun 1975, maka kebijaksanaan bahasa itu dapat diartikan sebagai suatu
pertimbangan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberikan perencanaan,
pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan
masalah kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional. Jadi, kebijaksanaan bahasa itu
merupakan satu pegangan yang bersifat nasional, untuk kemudian membuat perencanaan bagaimana
cara membina dan mengembangkan bahassa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan
secara tepat diseluruh negara, dan dapat diterima oleh segenap warga secara lingual, etnis, dan kultur
yang berbeda.
Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi setiap bangsa adalah tidak sama, sebab tergantung
pada situasi nkebahasaan yang ada dalam negara itu sendiri. Negara-negara yang sudah memiliki
sejarah kebahasaan yang cukup, dan di dalam negara itu hanya ada satu bahasa saja( meskipun
dengan sekian dialek dan ragamnya) cenderung tidak mempunyai masalah kebahasaan yang serius.
Negara yang demikian, misalnya, Saudi Arabia, Jepang, Belanda, dan Inggri. Tetapi di nega-negara
yang terbentuk, dan memiliki sekian banyak bahasa daerah akan memiliki persoalan kebahasaan
yang cukup serius, dan mempunyai kemungkinan untuk timbulnya gejolak sosial dan politik
akibat persoalan bahasa itu. Indonesia sebagai negara yang relatif baru dengan masalah-masalah
kebahasaan yang bisa terjadi di negara lain, secara historis buah bahasa, yaitu (1) bahasa nasional
Indonesia, (2) bahasa daerah, dan (3) bahasa asing. Jauh sebelum kebijaksanaan bahasa diambil untuk
menetapkan fungsi ketiga bahasa itu, paa pemimpin perjuangan Indonesia, berdasarkan kenyataan
bahwa bahasa Melayu telah sejak berabad-abad yang lalu telah digunakan secara luas sebagai liguna
franca di seluruh Nusantara dan Melayu itu menjadi bahasa persatuan untuk seluruh Indonesia, dan
memberinya nama bahasa Indonesaia.
Politik Bahasa 57

Peristiwa pengangkatan bahasa indonesia yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam
satu ikrar yang disebut Soempah Pemoeda itu tidak pernah menimbulkan protes atau reaksi negatif
dari suku-suku bangsa lain di Indonesia, meskipun jumlah penuturnya lebi banyak berlipat ganda.
Kemudian, penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa negara dalam Undang-Undang Dasar
1945 pun tidak menimbulkan masalah. Oleh karena itulah, para pengambil keputusan dalam
menentukan kebijaksanaan bahasa yang menetapkan fungsi-fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah,
dan bahasa asing dapat melakukannya dengan mulus. Bahasa Indonesia ditetapkan, sesuai dengan
kedudukannya, sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, sebagai lambang kebanggaan nasional,
dan sebagai alat komunikasi nasional kenegaraan atau intrabangsa; bahasa daerah berfungsi sebagai
lambang kedaerahan dan alat komunikasi intrasuku; sedangkan bahasa asing berfungsi sebagai alat
komunikasi antar- bangsa dan alat penambah ilmu pengatahuan. Ketiga bahasa itu dengan fungsinya
masing-masing tidak menimbulkan masalah dan peningkatan penggunaan bahasa Indonesia dari
para warga bangsa Indonesia, sebab hingga kini penguasaan mereka akan bahasa Indonesia masih
jauh dari yang diharapkan (lihat Chaer 1993).
Masalah kebahasaan yang dihadapi bangsa Filipina agak mirip dengan keadaan di Indonesia,
tetapi tampaknya persoalan yang mereka hadapi lebih ruwet. Di Filipina, seperti di Indonesia,
terdapat banyak bahasa daerah dan dua bahasa asing bekas penjajahannya yang sangat melekat
pada bangsa itu, yaitu bahasa Spanyol dan bahasa Inggris. Ketika merdeka dan memerlukan simbol
indentitas bangsa, mereka menetapkan dan mengangkat bahasa Tgalog, salah satu bahasa daerah,
menjadi bahasa nasional yang diberi nama baru bahasa Filipino. Berbeda dengan bahasa Melayu (
yang menjadi dasar bahasa Indonesia), bahasa Tagalog ( sebagai dasar bahasa Filipino) sebelumnya
belum digunakan secara meluas di seluruh wilayah Filipina. Oleh karena itu, penerimaan waraga
Filipina terhadap bahasa Filipino ini tidak begitu menggembirakan; lebih-lebih karena mereka punya
kesan bahwa bahasa Filipina ini hanya didasarkan pada bahasa Tagalog (based on Tagalog). Untuk
lebih menggalakan penerimaan bahasa dan pengunaan bahasa Pilipino ini pada tahun 1973 Majelis
Konstituante Filipina mengganti nama Pilipino dengan nama Filipino dengan janji bahwa bahasa
Filipino akan didasarkan pada semua bahasa daerah yang ada di Filipina. Bagaimana caranya, entahlah.
Yang jelas ingga saat ini untuk komunikasi kenegaraan dan komunikasi antarsuku masih digunkan
bahasa inggris, diselruh wilayah Filipina. Dengan bahasa Inggris mereka dapat berkomunikasi
intrabangsa, tetapi dalam bahasa Filipino belum dilakukan.
Masalah kebahsaan yang dihadapi negara Singapur juga cukup ruwet; tetapi tampaknya pemerintah
Singapur telah dapat melakukan kebijaksanaan bahasa dengan tepat. Republik Singapur adalah
negaa kecil yang warganya multilingual, multirsial, dan multikultural. Maka menyadarai keadaan itu,
pemerintah Singapur mula-mula membedakan adanya dua hal, yaitu fungsi bahasa dan penggunaan
bahasa. Dalam hal fungsi bahasa ini, mereka membedakan adanya bahasa nasional dan bahasa
resmi. Mereka mengkui punya satu bahasa nasional, yaitu bahasa Melayu yang menjadi lambang
kenasionalan negara itu, seperti dalam lagu kebangsaan, aba-aba kemiliteran, dan slogan-slogan lain.
Di samping itu Singapur mengakui adanya empat buah bahasa resmi, yang dapat digunakan dalam
58 Sosiolinguistik

segala urusan resmi kepemerintahan. Keempat bahasa resmi itu adalah (1) bahasa Melayu, (2) bahasa
Mandarin(bahasa-bahasa cina), (3) bahasa Tamil( termasuk bahasa india lainnya),dan (4) bahasa
Inggris. Dari urutannya secara emosional paling terhormat kedudukannya adalah bahasa Melayu,
namun, penggunaanya relatif kecil. Sebaliknya bahasa Inggris berada dalam kedudukan yang paling
rendah, tetapi frekuensi penggunaanya paling tinggi.
Penanganan masalah kebahasaan di India tampaknya mirip dengan di Singapur; hanya skalanya
lebih besar. Kalau Singapur mengakui satu bahasa nasioal dan dapat dapat diterima dengan baik oleh
waga Singapur secara keseluruhan, karena di samping satu bangsa nasional itu (yang lebih bersifat
lambang kenasionalan) ditetapkan uga adanya empat bahasa resmi ( termasukbahasa Melayu) yang
dapat digunakan dengan kedudukan sederajat (walaupun dalam kenyataannya frekuensi penggunaan
bahasa Inggris lebih tinggi). Bahasa India juga menetapkan adanya satu bahasa nasional, yaitu bahsa
Hindia, dua bahasa resmi kenegaraan, yaitu bahasa Hindia dan bahasa Inggris, serta sejumlah bahasa
resmi kedaerahan ( lihat Moeliono 1983). Bahasa nasional, bahasa Hindia, tidak dapat digunakan
secara luas alay komunikasi yang dapat digunakan untuk keperluan itu adalah bahasa Inggris, bahasa
bekas penjajahanya, yang sejak dulu memang telah menjadi liguna franca.
Keperluaan suatu negara atau negara untuk memiliki sebuah bahasa yang menjadi indentitas
nasionalnya dan satu bahasa, atau lebih, yang menjadi bahasa resmi kenegaraan (bisa bahasa yang
sama dengan bahasa nasional) tidak selalu bisa dipenuhi kebutuhan oleh bahasa atau bahasa-bahasa
asli pribumi yang dimiliki. Indonesia dapat memenuhi kebutuhan itu dari bahasa asli pribumi;
Filipina dapat memenuhi sebagian; sedangkan Somalia tidak dapat sama sekali. Berkenaan dengan itu
dalam perencanaan bahasa dikenal adanya negara tipe endoglosi, seperti Indonesia;tipe eksoglosik-
endoglosik, seperti Filipina; dan tipe eksoglosik, seperti Somalia. Lebih lanjut lihat bagan berikut
yang diangkat dari Moeliono 1983.
Negara tipe Endoglosik

No Negara Bahasa Nasional Bahasa Resmi Kenegaraan Bahasa Resmi Kedaerahan


1 Indonesia Indonesia Indonesia -
2 Malaysia Malaysia Malaysia I -
3 Thailand - Thai -
4 Belgia - Belanda -
Prancis
5 R.R Cina Putunghua Putunghua (2) -
Politik Bahasa 59

Keterangan :
1. Antara tahun 1957, tahun proklamasi kemerdekaan persatuan Tanah Melayu, sampai tahun
1967 bahasa Melayu dan bahasa Inggris kedua-duanya merupakan bahasa resmi di Malaysia.
Sejak tahun 1967 bahasa Malaysia yang menjadi bahasa resmi.
2. Putunghua( atau pu-tung-hua) bahasa bersama adalah bahasa nasional Cina sejak tahun 1955. Di
Taiwan disebut Guoyu bahasa Cina dialek kota Bejing.

Negara Tipe Eksoglosik-Endoglosik

Negara Bahasa Bahasa Resmi Kenegaraan Bahasa Resmi Kedaerahan


Nasi-
onal
1 Filipina Pilipino Pilipino, -
1
Inggris, Spanyol 2 -
-
2 India Hindia Hindi (sebelas bahasa berdasarkan konsti-
tusi, a.l Telugu, Tamil, dan Benggali
Inggris
3 Singapura Melayu Melayu -
Mandarin -
Tamil Inggris -
4 Tanzania Swahili Swahili -
Inggris -
5 Ethiopia Amhar Amhar -
Inggris -

Keterangan :
1. Antara tahun 1946-1972 nama bahasa nasional Filipina adalah Pilipino(dengan huruf P) yang
berdasarkan pada bahasa Tagalog lalu setelah itu diubah menjadi Filipino semua bahasa
daerah(dengan huruf F) yang akan diusuhakan berdasarkan unsur semua bahasa daerah yang
ada di Filipina.
2. Bahasa Spanyol hanya menjadi bahasa resmi antara tahun 1946 sampai 1972, setelah itu tidak
lagi.
60 Sosiolinguistik

Negara Tipe Eksoglosik

Negara Bahasa Nasional Bahasa Resmi Kenegaraan Bahasa Resmi


Kedaerahan
1 Somalia Somalia Inggris -
Arab Italia -
2 Haiti Kreol Prancis -
3 Senegal Wolof Prancis -
4 Liberal - Inggris -
5 Mauritania Arab Prancis -
6 Sudan Arab Inggris(lalu di ganti arab -
7 Papua Nugini Tok Pisin Inggris -
Hiri Mott
8 Nigeria - Inggris Hausa
9 Ghana Prancis Inggris -
10 R.R Kongo - Prancis Kiruba
Luba
Lingala
Swahili

Pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan bahasa oleh para pemimpin negara untuk
menetapkan suatu bahasa yang akan digunakan sebagai bahasa resmi kenegaraan biasanya juga
berkaitan dengan keinginan untuk memajukan suatu bangsa. Umpamanya, Mustafa Kemal Atturk,
presiden pertama Republik Turki(Proklamasi Turki menjadi sebuah negara republik adalah tanggal
19 Oktober 1923) demi modernisasi san kemajuan bangsa, menghapuskan penggunaan huruf Arab
yang sudah berabad-abad lamanya digunaka, dan menggantinyadengan huruf latin. Suatu keputusan
yang berani dan luar biasa. Dengan motivasi yang mirip dengan Turki, untuk mencapai kemajuan
pengatahuan teknologi Barat, Nehru.
Tujuan Keijiksanaan bahasa adalah dapat berlasungnya komunikasi kenegaraan dan komunisi
inrtabangsa dengan baik, tanpa menimbulkan gejolak sosial dan emosional yang dapat mengganggu
stabilitas bangsa. Oleh karena itu, kebijaksanaan bahasa yang telah diambil di Indonesia, Filifina, India,
dan Singapura, meskipun dalam perwujudan yang berbeda, suah dapat dianggap mencapai sasaran
dan tujuan. Indonesia tampaknya telah dapat dengan tepat menyelesaikan masalah kebahasaan ini
dengan menetapkan fungsi dan dtatus bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing pada
Politik Bahasa 61

tempatnya masing-masing. Singapura pun demikian juga, yaknindengan mengangkat keempat


bahasa milik warganya yang multirasial sebagai bahasa resmi yang kedudukannya sederajat, dan
mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa nasional.
Kebijaksanaan bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsauntuk menentukan dan
menetapkan dengan tepat fungsi dan status bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar
komunikasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik.

9.3 Perencanaan Bahasa


Melihat urutan dalam penanganan dan pengolahan masalah-masalah kebahasaan dalam negara
yang multilingual, multirasial, dan multikultural, maka perencanaan bahasa merupakan kegiatan
yang harus dilakukan sesudah melakukan kebijaksaan bahasa. Atau dengan kata lain, perencanaan
bahasa, itu disusun berdasarkan ketentua-ketentuan yang telah digariskan dalam kebijaksanaan
bahasa. Tetapi sebelunya perlu diketahui ada pula pakar yang memasukan bahasa kebijaksanaan
bahasa itu sebagai satu tahap dalam perencanaan bahasa.
Istilah perencanaan bahasa(language planing) mula-mula digunakan oleh Haugen (1959)
pengertian usaha untuk membingbing perkembangan bahasa ke arah yang diingninkan oleh para
perencana. Menurut Haugen selanjutnya, perancanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan
masa depan berdasarkan dari yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan
usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan. Sebagai contoh usaha perencanaan itu
disebutkan pembuatan tata ejaan yang normatif, penyusunan tata bahasa dan kamus yang akan dapat
dijadikan pedoman bagi para penutur di dalam masyarakat yang heterogen.
Dalam perkembangannya, setelah Haugn melancarkan istilah language planing itu, pengertian
perencanaan bahasa itu yang banyak dikemukakan para pakar memang menjadi bervariasi, baik
baikdari segi luasnya kegiatan, pelaku yang berperan di dalamnya, maupun peristilahnya. Keberhasilan
perencanaan bahasa itu sangat bergantung pada jaringan komunikasi sosial yang ada dan pada
mobilitas kekuatan sosial.
Di Indonesia kegiatan yang serupa dengan language planninh ini sebenarnya sudah berlasung
sebelum nama itu diperkenalkan oleh Hauge(Moeliono 1983), yakni sejak zaman pendudukan
Jepang ketika ada komisi Bahasa Indonesia sampai ketika Alisjahbana menerbitkan majalah pembina
Bahasa Indonesia tahun 1948. Malah kalau mau dilihat lebih jauh, language planning di Indonesia
sudah dimulai sejak Van Ophuijsen menyusun ejaan bahasa melayu (Indonesia) pada tahun 1901,
disusul dengan berdirinya Commisie voor Volkslectuur tahun 1908, yang pada tahun 1917 berubah
namnya menjadi Balai Pustaka; lalu disambung dengan Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemudian
Kongres Bahasa I tahun 1938 di kota Solo.
Istilah yang digunakan Alijsahbana adalah language engineering, yang dianggapnya lebih tepat
daripada istilah language planning yang terlalu sempit maksudnya. Cita-cita Alijahbana dalam language
engineering ini adalah pengembangan bahasa yang teratur di dalam konteks perubahan sosial,
62 Sosiolinguistik

budaya, dan teknologi yang lebih luas berdasarkan perencanaan yang cermat. Menurut Alijsahbana
masalah language engineering yang penting adalah (1) pembakuan bahasa, (2) pemoderenan bahasa,
dan (3) penyediaan alat perlengkapan seperti buku pelajaran dan buku bacaan.
Istilah lain dalam perencanaan bahasa ini ada juga digunakan glottopolitics dan language reform.
Istilah glottopolitics digunakan oleh Hall (1951) dalam tulisannya mengenai keadaan bahasa di Haiti.
Istilah tersebut digunakan untuk mengacu pada penerapan linguistik pada kebijaksanaan pemerintah
dalam penentuan sarana komunikasi yang paling cocok. Sedangkan istilah language reform digunakan
oleh Heyd (1954) dan Galagher (1971) yang masing-masing menguraikan reformasi bahasa di Turki.
Istilah itu juga digunakan oleh De Francis (1950) dan Serruys (1962) yang menulis tentang reformasi
bahasa dan gerakan pemberantasan buta huruf di Cina. Terakhir dalam keputusan Inggris da juga
digunkan istilah language development dalam arti yang sama dengan language planning.
Di Indonesia lembaga yang terlibat dalam perencanaan dan pengembangan bahasa dimulai
dengan berdirinya Comissie voor de Volksectuur yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda
pada tahun 1908, yang pada tahun 1917 berubah menjadi Balai Pustaka. Lembaga ini dengan
majalahnya Sari Pustaka, Pandji Pustaka, dan Kedjawen dapat dianggap sebagai perencana da
pengembang bahasa.
Masalah berikutnya dalam perencanaan dalam bahasa ini adalah, apakah sasaran perencanaan
bahasa itu. Dari berbagai kajian dapat kita lihat sasaran perencanaan bahasa itu (yang dilakukan
setelah menetapkan kestatusan bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan), yaitu (1) pembinaan
dan pengembangan bahasa yang direncanakan (sebagai bahasa nasiona, bahasa resmi kenegaraan,
dan sebagainya);, dab (2) khalayak di dalam masyarakat yang diharapkan akan menerima dan
menggunakan saran yang disusulkan dan ditetapkan.
Pelaksanaan perencanaan bahasa ini kemungkinan besar akan megalami hambatan yang mungkin
akibat dari perencanaannya yang kurang tepat bisa juga dari para pemegang tampuk kebijakan, dari
kelompok sosial tertentu dari sikap bahasa para penutur, maupun dari dana dan ketenangan. Berhasil
dan tidak nya usaha perencanaan bahasa ini adalah masalah evluasi. dalam hal ini memang dapat
dikatakan evaluasi keberhasilan perencanaan bahasa itu memang sukar dilaksanakan.

--o0o--
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 63

BAB X

PEMBELAJARAN BAHASA
BERBASIS KONTEKS SOSIOKULTURAL

10.1 Urgensi Pembelajaran Konteks Sosiokultural

U nesco (1994) mengemukakan dua prinsip pendidikan, pertama: pendidikan harus diletakkan
pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning
to do), belajar hidup (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
Kedua, belajar seumur hidup (life long education). Kultur yang demikian harus dikembangkan dalam
pembangunan manusia, karena pada akhirnya aspek kultur dari kehidupan manusia lebih penting
dari pertumbuhan ekonomi (Mulyana 2002: 5).
Untuk kepentingan tersebut diperlukan perubahan yang cukup mendasar dalam sistem
pendidikan nasional. Perubahan mendasar berkaitan dengan kurikulum, yang dipandang dapat
mampu membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan yang sesuai dengan tuntutan jaman
dan tuntutan reformasi melalui perencaanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan
secara efektif, efisien, dan berhasil guna. Kurikulum yang dimaksud adalah Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Perubahan kurikulum tentu menuntut perubahan pada komponen-komponen
pendidikan lain, yang salah satunya perubahan desain pembelajaran dan materi ajar yang senafas
dengan KTSP.
64 Sosiolinguistik

10.2 Materi Ajar


Pengertian materi (bahan) dalam pembelajaran ialah sesuatu (benda) atau kegiatan yang diberikan
oleh guru kepada siswa dalam proses belajar mengajar, yang dapat mencerminkan isi silabus, yang
disari dari tujuan umum yang luas menjadi sesuatu yang dapat dilaksanakan (Dubin 1997:68). Richard
(2002:251) juga menyatakan bahwa materi ialah suatu komponen dalam program pembelajaran,
mungkin berupa textbook, paket dari sekolah, sesuatu yang dibuat sendiri oleh guru, yang dipakai
sebagai dasar untuk memberikan masukan (input) bagi siswa di dalam kelas. Untuk guru yang
belum berpengalaman, kata Richard, materi ajar juga berfungsi sebagai latihan mengajar. Dikatakan
demikian sebab guru tersebut harus memberikan ide bagaimana harus mengajarkannya, bagaimana
format pembelajarannya, metode apa yang harus digunakan, bagaimana model evaluasinya dan
sebagainya.
Dalam proses pembelajaran bahasa saat ini, guru tidak dapat mengelak untuk menggunakan
materi komersial yang berbentuk a) cetakan, seperti buku pelajaran, buku latihan dan sebagainya.
b) barang elektronik seperti kaset, atau hasil rekaman gambar maupun suara, disket, komputer dll.
c) materi yang berbentuk cetakan maupun tidak, misalnya mengakses sendiri materi di internet.
(Seringkali, materi ajar ini tidak mudah dipahami oleh siswa dan kemungkinan juga bagi guru).
Materi ajar bisa dikatakan valid apabila dapat mencukupi kebutuhan guru dan siswa dalam
pembelajaran, dan mungkin sekali hal ini dapat tersaji dengan baik dalam suatu buku ajar. (Dubin
1997:68).
Berdasarkan perannya, Cunningsworth (1995) membagi materi menjadi 6 jenis yaitu: a) bahan
untuk presentasi (lisan dan tulis) b) bahan untuk kegiatan praktek komunikasi c) bahan untuk grammar,
kosakata, pronunciation (pelafalan) dan sebagainya. d) bahan untuk simulasi kegiatan kelas e) silabus
yang mencerminkan tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan e) suatu panduan bagi guru yang
belum berpengalaman supaya percaya diri.
Untuk tujuan pembelajaran bahasa Inggris khusus, Dudley Evan dan St John (dalam Richard
2002:251) membagi materi berdasarkan fungsinya menjadi 4 jenis yaitu 1) sebagai sumber bahasa
(source of language) 2) sebagai alat bantu belajar (learning support) 3) sebagi alat untuk memberikan
motivasi dan stimulasi (motivation and stimulation) dan 4) sebagai bahan rujukan (reference).
Berdasarkan tujuannya dalam pembelajaran, Dubin membagi materi ajar menjadi dua jenis,
yaitu a) materi yang menfokuskan proses dan b) materi yang memfokuskan produk. Untuk materi
yang memfokuskan proses, hal ini menjadi mungkin bila kompetensi berkomunikasi menjadi tujuan
dari kurikulum. Penulis kurikulum akan mencari jalan utuk memasukkan komponen sosiokultural
atau muatan bahasa lainya ke dalam proses pembelajaran dengan mengutamakan kelayakan
penggunaan pola-pola dalam materi yang mereka susun. Bagaimanapun, hal-hal yang berhubungan
dengan norma sosial dalam suatu bahasa, akan lebih cocok untuk proses secara keseluruhan (holistic
process), dibandingkan dengan pemfokusan pada elemen-elemen bahasa yang rinci seperti fonologi
(phonology), gramatika (grammar) dan kosakata (vocabulary).
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 65

Untuk materi yang memfokuskan produk, penulis kurikulum harus menjembatani dengan
langkah-langkah dari teori sampai ke praktik. Contohnya, untuk mengajarkan reading, penyusun
kurikulum harus membuat sintesa dalam materi pembelajaran tentang a) teori pembelajaran yang
dikhususkan pada model pembelajaran membaca untuk tingkatan tertentu, b) syarat-syarat memilih
bacaan atau analisis teks, c) syarat-syarat khusus untuk kebutuhan membaca siswa dan sebagainya.
Jenis yang kedua ini jarang dijumpai, mengingat target pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia
ialah kompetensi berkomunikasi.

10.3 Kedudukan Materi Ajar dalam Pembelajaran


Menurut Cunningsworth (1995: 4) rancangan materi ajar (buku) terdiri atas buku siswa, buku
guru dan buku kerja (LKS). Buku siswa adalah buku pelajaran yang terpenting dalam PBM, mengingat
buku tersebut, disamping digunakan oleh siswa, juga digunakan oleh guru yaitu dalam kaitannya
dengan manajemen kelas ketika proses kegiatan belajar mengajar berlangsung. Buku guru digunakan
oleh guru sebagai pedoman pelaksanaan KBM, terutama berkenaan dengan metodologi pengajaran.
Buku kerja (LKS) digunakan oleh siswa untuk mengerjakan tugas-tugas atau latihan dalam pelaksanaan
KBM.
Buku siswa memiliki kedudukan terpenting dalam konteks materi ajar. Buku siswa sering disebut
dengan buku pelajaran. Kedudukan buku pelajaran bahasa Inggris memiliki fungsi yang penting dan
strategis dalam KBM. Menurut Cunningsworth dalam Sumardi dan Richard, fungsi-fungsi tersebut
ialah sebagai:
(1) Sumber bahan yang disajikan untuk pelatihan bahasa lisan dan tulis
(2) Sumber kegiatan siswa dalam latihan berkomunikasi
(3) Sumber acuan siswa untuk belajar tata bahasa, kosa kata, lafal dan sebagainya.
(4) Sumber gagasan dan dorongan kegiatan-kegiatan belajar mengajar di kelas.
(5) Perwujudan silabus yang di dalamnya tujuantujuan pembelajaran telah digariskan.
(6) Sumber belajar dan tugas mandiri.
(7) Bantuan bagi guru yang kurang pengalaman untuk mengembangkan kepercayaan diri.
Mengingat pentingnya fungsi materi (buku) ajar dalam PBM, Cunningsworh lebih jauh mengatakan
bahwa tidak ada sesuatu yang mampu mempengaruhi bahan dan suasana belajar mengajar lebih dari
buku pelajaran. Walaupun ketujuh fungsi itu mengakomodasi kepentingan siswa dan guru, nyatanya
kepentingan siswa lebih banyak terwadahi. Hal ini sejalan dengan perkembangan baru dalam dunia
pendidikan, dimana kegiatan dan perhatian semuanya terpusat pada siswa.

10.4 Prosedur dan Prinsip-Prinsip Pengembangan Materi Ajar


Graves (1996:12) menyatakan bahwa pengembangan materi ajar dapat dibagi menjadi beberapa
komponen dan subproses, sesuai dengan pengembangan kurikulum. Kerangka pengembangan yang
berdasarkan komponen bermanfaat karena beberapa alasan,diantaranya ialah; a) dapat menyajikan
proses yang rumit secara tertata, terorganisir sehingga lebih mudah dikerjakan, b) dapat menyajikan
66 Sosiolinguistik

domain pertanyaan untuk guru dimana setiap komponen mempunyai ide dan masalah bagi guru
untuk dipecahkan c) dapat menyajikan seperangkat terminologi atau daftar istilah yang digunakan
dalam pengembangan pembelajaran sehingga menjadi daftar kosakata professional yang dapat
memberikan masukan bagi orang lain. Kerangka yang dikembangkan di sini ialah kegiatan guru,
bukan untuk yang lain. Setiap proses harus dipertimbangkan waktu dan perhatiannya. Lebih jauh,
prosesnya tidak selalu berurutan, mungkin dapat dilaksanan sewaktu merencanakan, mengajar
maupun merencanakan perubahan pada pengembangan pembelajaran. Berikut ini tabel kerangka
komponen yang disarankan oleh Graves.
Table 3. Kerangka Komponen Pengembangan Materi Ajar

No. Komponen Penjelasan


1. Needs assessment Mencari kebutuhan siswa, sehingga guru dapat
memberikan materi secara tepat

2. Determining Goals and Objectives Apa sebenarnya tujuan dari pembelajaran dan
apa yang dibutuhkan siswa atau bagaimana cara
siswa untuk mencapai tujuan ini?
3. Selecting and Developing materials Memilih dan mengembangkan materi, termasuk
and activities kegiatannya, bagaimana dan dengan cara apa
guru dapat mengajarkannya? Apa peran guru, apa
peran siswa
4. Organization of content and Bagaimana guru mengatur isi dan kegiatan dalam
activities PBM?
5. Evaluation Bagaimana cara guru menilai apa yang sudah
dipelajari siswa? Bagimana guru menilai
keefektifan PBM?
6. Consideration of resources and Pertimbangan dan sumber-sumber lain yang
constraints digunakan. Apa manfaat dari situasi semacam ini?

10.5 Kriteria Materi Ajar yang Baik


Menurut Purwo (1990:89), materi ajar yang baik untuk pembelajaran bahasa memuat tentang
topik-topik yang dapat memancing dan mendorong siswa untuk mengutarakan buah pikirannya
dalam bahasa, dan sekaligus menajamkan daya pemahamannya secara lisan. Dengan demikian,
siswa akan terlibat secara langsung pada kegiatan nyata itu, dan tanpa disadari mereka sebenarnya
belajar berbahasa.
Mengingat materi ajar diposisikan sebagai salah satu penunjang keberhasilan dalam pembelajaran,
materi ajar perlu dirancang dengan baik. Rancangan model materi ajar buku direalisasikan pada
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 67

unsur-unsur yang terdapat dalam materi yang dikembangkan. Menurut Sumardi (2000:8-13), unsur-
unsur tersebut meliputi: (1) rancangan dan organisasi, (2) muatan kebahasaan, (3) keterampilan
berbahasa, (4) topik dan bahan, (5) apresiasi sastra, dan (6) metodologi pengajaran. Berikut paparan
lebih lengkap mengenai tiap-tiap unsur yang terdapat dalam meteri ajar.
a. Rancangan dan organisasi
Materi ajar (buku) dapat dirancang tunggal atau dirancang dalam satuan yang lebih besar
bersama buku guru, buku kerja siswa, rekaman kaset, dan sebagainya. Kedua pola rancangan itu
akan mempengaruhi isi buku pelajaran. Hal itu sejalan dengan ketujuh fungsi buku yang di sampikan
oleh Cunningworth (1995:25). Misalnya, kalau buku pelajaran itu dirancang tunggal tanpa guru,
buku siswa harus dapat memenuhi fungsinya sebagai penunjang guru dalam melaksanakan KBM.
Hal ini berarti buku pelajaran siswa itu selain berisi perintah untuk siswa juga berisi informasi tentang
apa yang harus dilakukan oleh guru. Informasi ini dapat tersirat pada apa yang harus dikerjakan oleh
siswa.
Buku pelajaran merupakan sebuah komposisi atau sebuah satuan yang terdiri dari satuan- satuan
yang lebih kecil. Yang terakhir ini biasa disebut satuan pelajaran atau unit pelajaran.satuan atau
unit pelajaran ini merupakan sebuah komposisi yang utuh.kumpulan unit pelajaran membentuk
satuan komposisi yang lebih besar, yaitu satuan buku pelajaran. Sebagai suatu komposisi, satuan unit
pelajaran dan satuan buku pelajatan terikat pada kaidah-kaidah komposisi seperti kaidah keterkaitan
atau keterpaduan, keseimbangan, dan keselarasan.
Ada beberapa cara untuk menyusun organisasi atau komposisi buku pelajaran bahasa., misalnya
mengikuti struktur bahasa, fungsi-fungsi bahasa, topik, dan keterampilan bahasa (membaca, menulis,
mendengar, dan berbicara). Selanjutnya, juga ada berbagai cara untuk menyusun satuan atau
unit pelajaran. Cara itu misalnya berdasar tingkat kekompleksitasannya, keterbelajarannya, dan
kemaanfaatan bahasanya (Cunningworth 1995: 57-60)
Pengorganisasian isi buku pelajaran itu juga harus memperhitungkan gradasi tingkat kesulitan
dan perkembangan rangkaiaannya. Gradasi dan perkembangan itu harus terlihat dan sesuai dengan
kemampuan siswa. Pengorganisasian isi buku pelajaran juga harus memperhitungkan pengulangan-
pengulangan. Bahan atau latihan yang sulit perlu diulang. Berapa kali bahan atau latihan itu diulang
tergantung pada tingkat kesulitan dan kemampuan serta kenyamanan siswa (Dubin and Olhtain
1992:47)
Aspek visual pengorganisasian buku pelajarn juga perlu diperhatikan tata letak dan tata huruf
yang baik akan memudahkan siswa memperoleh gambaran keseluruhan isi buku pelajaran dan isi
setiap unit pelajaran, menemukan hal-hal penting yang dicari, dan menumbuhakan minat dan rasa
senang.
68 Sosiolinguistik

b. Muatan kebahasaan
Buku pelajaran bahasa bukanlah buku ilmu bahasa. Kalaupun ada unsur-unsur ilmu bahasa yang
diambil seperti tata bahasa selalu diakaitkan dengan penerapannya. Hal ini dimaksudkan sebagai
landasan pengembangan keterampilan berbahasa.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Johnson (1982:10) yang mengatakan bahwa sepanjang
sejarah pengajaran bahasa, pembelajaran setruktur atau tata bahasa tidak pernah hilang, tetapi gradasi
penekanannya berbeda-beda.
Muatan kebahasaan itu antara lain mencakupi sebaran tata bahasa yang sesuai dengan konteks
penggunaan dan keperluan untuk menunjang keterampilan berbahasa siswa. Tata bahasa ini
mencakupi tata kata sampai pada tata kalimat. Pengembangan kosa kata dan kemampuan pengucapan
juga termasuk dalam muatan kebahasaan ini.
c. Keterampilan berbahasa
Secara konvensional dikenal ada empat aspek keterampilan berbahasa, yaitu: mendengar,
membaca, berbicara, dan menulis. Keterampilan mendengar dan membaca sering pula disebut
keterampilan reseptif, keterampilan menerima atau memahami wacana yang disampaikan orang
lain. Keterampilan berbicara dan menulis sering disebut keterampilan produktif, keterampilan
menggunakan bahasa atau menghasilkan wacana untuk orang lain.
Pembelajaran empat keterampilan itu dapat berimbang atau menekankan pada aspek tertentu
sesuai dengan tujuan dan situasi pembelajaran. Yang jelas pembelajaran empat keterampilan tidak
dapat selalu berimbang bobotnya pada semua situasi. Tujuan pembelajaran itu erat kaitanya dengan
tujuan pendidikan/pengajaran dan kebutuhan kebahasaan siswa. Satu hal yang perlu diperhatikan
ialah keseimbangan kemajuan pembelajaran empat keterampilan berbahasa itu deng kemajuan
pembelajaran kebahasaan (tata bahasa dan kosa kata) yang menjadi landasan pengembangan keempat
keterampilan berbahasa tersebut.
Hal yang lain perlu diperhatikan ialah apakah bahan dan bentuk pelatihan keempat keterampilan
berbahasa itu kontekstual dan realistic. Ukuran kontekstual dan realistik ini tentu saja adalah siswa,
baik dalam kaitan dengan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, maupun kebutuhan akademiknya.
d. Topik dan bahan
Bahan atau wacana pembelajaran bahasa sebaiknya dipilih berdasarkan konteks sosial, budaya,
kebahasaan, dan kehidupan siswa (Nunan 1995:211). Bahan yang konstekstual seperti itu akan
mampu menarik minat siswa.
Untuk memperoleh bahan yang kontekstual seperti itu dapat dipilih bahan-bahan yang otentik
dari kehidupan yang nyata, seperti karya sastra yang unggul, artikel dari surat kabar, dan wacana
percakapan yang nyata.
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 69

Selain bahan yang otentik, ada dua jenis bahan yang lain yang dapat dimanfaatkan, yaitu bahan
rekayasa dan bahan otentik yang disederhanakan. Semua jenis bahan itu (otentik, otentik yang
disederhanakan, dan rekayasa) mesti mengandung topik-topik yang menarik minat siswa. Sebab,
topik-topik yang tidak relefan dan tidak menarik minat siswa akan cepat kehilangan perhatian atau
membosankan siswa (Cunningworth 1995:88).
Bahan yang kontekstual, yang mengandung topik yang menarik itu akan mampu memberi
informasi, keterampilan, dorongan, memperkaya pengalaman, meningkatkan kepekaan batin dan
sosial, mengembangkan kepercayaan diri, mengembangkan kemampuan memperhitungkan dan
mengumpulkan, meningkatkan keberanian para siswa dalam mengambil keputusan yang memang
sudah menjadi sifat dasar bahasa/pembelajaran bahasa.
e. Apresiasi sastra
Adanya tujuan pengajaran apresiasi sastra ialah agar siswa mampu atau memiliki kegemaran
membaca atau menikmati karya sastra untuk meningkatkan kepribadian mempertajam perasaan dan
memperluas wawasan kehidupannya. Untuk mencapai tujuan yang ideal itu, diperlukan bahan karya
sastra anak yang unggul dan metode pembelajaran yang efektif.
Bahan sastra dalam buku pelajaran bahasa Inggris, selain dilihat dari segi pencapaian tujuan
apresiasi sastra, hendaknya juga dilihat dalam konteks pengembangan keterampilan berbahasa anak
dan sosiokulturalnya. Hal ini sejalan dengan prinsip pengajaran terpadu antara empat keterampilan
berbahasa (membaca, mendengar, berbicara, dan menulis) dan antara pengajaran bahasa dengan
sastra.
f. Metodologi pengajaran
Menurut Subyakto-Nababan (1993:3), metedologi pengajaran bahasa adalah tata cara untuk
lebih memudahakan pengajaran bahasa di sekolah. Pengertian ini akan lebih jelas apabila ditambah
dengan catatan Nunan berikut. Apabila desain silabus berkaitan dengan pilihan dan peningkatan
kebahasaan serta muatan pengalamannya. Metodologi berkaitan dengan pilihan dan pengelompokan
tugas-tugas serta kegiatan belajar. Apabila desain silabus berkaitan dengan apa, mengapa,dan kapan,
metodologi berkaitan dengan bagaimana bahan diajarkan (Nunan 1995:2)
Sehubungan dengan pengertian metodologi yang mendasar seperti itu, ada beberapa hal yang
perlu mendapat perhatian mendalam pada buku pelajaran bahasa. Pertama, pendekatan atau metode
apa yang digunakan pada buku pelajaran itu. Apakah pendekatan atau metode itu sesuai dengan
kebutuhan kebahasaan siswa, situasi belajar mengajar, dan sarana yang tersedia. Kedua, seberapa
jauh siswa diharapkan terlihat aktif dalam proses pembelajaran, secara individu dan atau secara
berkelompok. Hal ini dapat terlihat pada perintah-perintah tugas dalam buku pelajaran. Ketiga,
metode atau teknik-teknik apa yang digunakan untuk mengajarkan keempat keterampilan berbahasa.
Apakah metode atau teknik yang disarankan itu berpeluang efektif jika dilaksanakan.
70 Sosiolinguistik

Pembahasan unsur-unsur materi ajar pembelajaran bahasa ini diharapkan dapat diperoleh
gambaran hakikat buku pelajaran bahasa yang utuh dan memadai. Gambaran yang utuh ini dapat
digunakan untuk mengembangkan rambu-rambu analisis materi ajar pembelajaran bahasa.

10.6 Paradigma Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa


Bahasa ialah suatu sistem arbitrer dari simbol vocal, yang dipakai oleh anggota komunitas atau
budaya tertentu, atau orang lain yang sudah mempelajari budaya itu, untuk bekerjasama, berinteraksi
dan beridentifikasi diri (Kridalaksana 1993:20; Finocchiaro, 1974:3). Pandangan lain juga dikemukakan
oleh Brown (1987) bahwa bahasa berisi komponen simbol (vokal atau visual), sistem dan arti yang
disepakati, dipakai untuk berkomunikasi. Berdasarkan dua definisi di atas, bahasa, karenanya, dapat
difahami berdasarkan fungsinya sebagai alat untuk berkomunikasi. Di samping itu, kemampuan
berbahasa bukanlah suatu yang didapat melalui keturunan, tapi dari belajar (Templeton, 1991).
Pit Corder (1975: 12 13) mengemukakan tiga aras sebagai rambu-rambu dalam melakukan
pengoperasian pengajaran bahasa. Pertama, adalah putusan politik, yakni putusan yang dilkukan
pemerintah menyangkut persoalan seperti bahasa yang diajarkan, mengapa dan untuk apa diajarkan,
kepada siapa bahasa itu diajarkan, berapa biaya operasinya, pada jenjang sekolah mana bahasa
itu diajarkan, dst. Pada aras ini peran sosiolinguistik sangat diperlukan. Dalam kasus di Indonesia,
penentuan bahasa Indonesia untuk diajarkan di semua sekolah jelas merupakan putusan politik,
mungkin tanpa pertimbangan detil tentang segi lain seperti ekonomi, biaya, psikologi, dsb.
Kedua, implementasi putusan, yang pada umumnya berkisar pada persoalan seperti apa yang
harus diajarkan dam bagaimana specific limitations of time and money. Buku teks dan bahan ajar
merupakan realisasi konkret dari implementasi itu. Ketiga, pengajaran bahasa di dalam kelas. Pada
aras ini diperlukan sumbangan psikolinguistik, yang memberi arahan bagaimana siswa (pembelajar)
belajar bahasa. Di saming itu, diperlukan juga pertimbangan paedagogis, berkaitan dengan motivasi,
sikap, intelegensi dan kepribadian. Di sini yang tahu banyak adalah guru karena berhubungan dengan
bagaimana mengajar, metode dan teknik apa yang tepat.
Pandangan di atas mengisyaratkan bahwa dalam spesifikasi pembelajaran, terdapat kebebasan dan
kesempatan yang luas bagi guru sebagai pengelola kelas. Guru harus dapat meramalkan keterampilan
apa saja yang diperlukan oleh siswa secara berjenjang, bertahap dan berkesinambungan. Kemampuan
meramalkan itu berdasarkan asumsi bahwa guru adalah orang yang paling memahami kemampuan,
kesiapan belajar siswa, dan mengetahui situasi lingkungan maupun fasilitas yang dimiliki.
Azas komunikatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia dioperasionalkan dalam pendekatan
komunikatif. Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa didasarkan pada pandangan bahwa
(1) bahasa harus dipelajari dalam situasi yang memberikan makna kepada satuan-satuan bahasa yang
dipelajari, dan (2) materi pembelajaran bahasa itu harus disajikan sesuai dengan situasi dan konteks
berbahasa. Pendekatan komunikatif ini sangat ditekankan dalam kurikulum yang saat ini berlaku,
sehingga dapat dikatakan bahwa pengembangan kurikulum tersebut didasarkan pada kompetensi
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 71

komunikatif yang dimiliki siswa (Nababan, 1993:80).


Kompetensi komunikatif merupakan kemampuan yang diharapkan oleh pembelajar untuk
menyampaikan dan menafsirkan serta mengartikan makna dalam interaksi berbahasa sesuai dengan
konteksnya. Kompetensi ini akan tampak dalam perilaku berbahasa baik lisan maupun tulisan dalam
proses komunikasi. Terdapat tiga aspek perilaku berbahasa yang memadai kompetensi komunikatif,
yaitu (1) kecermatan berbahasa, (2) ketepatan berbahasa, dan (3) kemahiran berbahasa.
Kecermatan berbahasa adalah cara berbahasa yang didasari oleh kesadaran akan kaidah bahasa
(gramaticality). Kecermatan berbahasa akan menghasilkan perilaku berbahasa yang berkesan benar
dan kritis. Artinya, bahwa pembicara/penulis mampu menampilkan pemakaian bahasa sedemikian
sehingga terhindar dari kesalahan dalam berbahasa. Dan jika suatu saat terdapat kesalahan akan
segera dibetulkan karena sadar akan adanya kaidah berbahasa.
Ketepatan berbahasa merupakan cara berbahasa yang disesuaikan dengan fungsi komunikasi.
Sebagai alat komunikasi, bahan berujud varian-varian yang pemakaiannya diselaraskan dengan
kebutuhan penutur dalam konteks sosialnya. Kepada siapa ia akan berbahasa, bahasa apa yang
dipergunakan, kapan dan dimana bahasa itu digunakan merupakan gambaran tentang ketepatan
berbahasa. Sebagai contoh jika seorang guru yang sedang mengajar di depan kelas ia tidak akan
memilih ragam bahasa seperti ketika ia bertemu dengan teman lamanya di pinggir jalan.
Kecermatan dan ketepatan berbahasa harus ditunjang berbahasa sebab cermat dan tepatnya
berbahasa kurang berarti jika tidak disertai dengan kemahiran (kelancaran berbahasa). Apa artinya
kesadaran akan adanya kaidah bahasa dan kesesuaian pemilihan ragam bahasa dengan konteks sosial,
jika penampilan bahasanya gagap dan tersendat-sendat. Pemakaian bahasa seperti itu memberi kesan
bahwa penuturnya tidak saja kurang menguasai bahasanya melainkan juga menunjukkan bahwa
penataan penalarannya kurang teratur.
Sehubungan dengan semua hal yang tersebut, dalam pembelajaran bahasa, Parera (1996: 79)
menawarkan asas lima kon yaitu: kontekstual, kontemporer, konkret, konsepsual, dan konversasi.
Pembelajaran bahasa yang kontekstual menunjukkan bahwa pembelajaran selalu berorientasi pasa
konteks. Berbahasa berarti berkomunikasi dengan alam sekitar. Oleh karena itu bahasa merupakan
reaksi terhadap alam sekitarnya. Hal ini berarti pula bahwa berbahasa terikat pada waktu, tempat
peserta bicara/orang yang diajak berkomunikasi, pokok pembicaraan, tujuan pembicaraan, dan
modus pembicaraan. Pembelajaran bahasa tidak dapat dilepaskan dari situasi dan konteks yang
terjadi di alam sekitarnya. Pembelajaran bahasa harus berguna dan bermanfaat bagi pemakai dan
lingkungannya, dan berhubungan dengan alam sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pembelajaran
ditentukan tema sebagai sarana penciptaan konteks. Tema bukan menjadi tujuan pembelajaran tetapi
hanya sebagai sarana kontekstual. Pembelajaran komponen-kompoenen kebahasaan dan kosakata
harus terikat pada konteks. Yang tidak boleh diabaikan pula bahwa semua itu harus berguna bagi
siswa dan lingkungannya. Dengan demikian guru bahasa Indonesia dapat mengetahui bahwa materi
72 Sosiolinguistik

yang telah dipilih sengaja untuk memunculkan konteks yang sesuai, sehingga dapat memperlancar
proses pemahaman dan penggunaan bahasa Indonesia yang wajar.
Yang dimaksud pembelajaran bahasa kontemporer yaitu pembelajaran yang cocok dan sesuai
zaman. Di muka telah disebutkan bahwa tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah siswa memiliki
keterampilan berbahasa Indonesia untuk berbagai keperluan. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa
memilih tema sebagai perekat yang kontekstual dan sekaligus pencipta iklim kontemporer. Tema
yang kontemporer menunjukkan kepada kepada siswa bahwa pembelajaran bahasa Indonesia bukan
untuk bahasa Indonesia tetapi untuk tujuan dan keperluan luas. Dengan demikian tema yang cocok
dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah tema yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pembelajaran bahasa yang konkret yaitu pembelajaran yang menyajikan materi secara konkret.
Contoh yang diberikan harus dekat dengan siswa, dapat dilihat, didengar, dirasakan, diraba, dan
dialami oleh para siswa. Kekonkretan dapat diejawantahkan dengan tingkah laku, peragaan, atau
demonstrasi. Kekonkretan dapat ditunjukkan dengan gambar, model-model tertentu, atau dengan
diskusi-diskusi tentang suatu kasus. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa Indonesia, contoh-
contoh kalimat yang disajikan harus mengarah kepada manfaat praktis dan konkret berbahasa. Artinya
contoh yang diberikan tidak hanya kalimat yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa tetapi juga
dikaitkan dengan kondisi nyata. Pembelajaran bahasa Indonesia yang berguna adalah pembelajaran
yang memungkinkan siswa memahami bahasa dalam situasi konkret dan dapat menggunakan bahasa
Indonesia demi kepentingan dan keperluan yang konkret.
Pembelajaran bahasa konseptual mengisyaratkan bahwa guru tidak boleh berbicara dan
menguraikan dengan panjang lebar tentang kaidah-kaidah bahasa. Guru hanya menyampaikan konsep
dan kaidah-kaidah bahasa yang berguna dan diperlukan. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia
guru menyampaikan dan memperkenalkan konsep dan kaidah bahasa yang benar dan baik secara
bertahap, berjenjang, dan bergilir sesuai dengan kebahasaan siswa. Oleh karena itu pembelajaran
bahasa Indonesia mengarah kepada penanaman konsep-konsep bahasa yang penting, berguna dan
kreatif. Hal ini jauh dari kenyataan di lapangan, pembelajaran bahasa Indonesia masih membawa
siswa dalam hafalan istilah-istilah kebahasaan.
Pembelajaran bahasa bentuk konversasi menunjukkan pembelajaran yang membawa siswa
dalam situasi percakapan untuk memperlancar pemakaian suatu bahasa yang dipelajari. Hal ini
mengisyaratkan betapa pentingnya keterlibatan dan pelibatan siswa dalam proses belajar mengajar.
Ini berarti tidak terjadi monolog dari guru kepada siswa. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia guru
sedapat mungkin memberikan kesempatan dan waktu agar siswa dapat berkomunikasi dengan guru
dan antar siswa dalam bahasa Indonesia. Siswa tidak hanya mendapat kesempatan untuk bertanya
tentang apa yang belum dipahaminya, tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk bertukar pikiran
dan pendapat dengan guru dan temannya baik tertulis maupun lisan. Ini berarti sepanjang pengajaran
terdapat dialog.
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 73

Ada beberapa cara untuk membuka dialog anatara guru dan siswa, antara siswa dengan siswa.
Salah satu cara ialah teknik bertanya. Guru bertanya kepada, siswa bertanya kepada guru, atau siswa
bertanya kepada siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan bahasa lisan maupun bahas tulis, dalam
kalimat yang lengkap atau tidak lengkap sesuai dengan tujuan pertanyaan. Dalam pembelajaran
bahasa konversasi, teknik bertanya perlu diperhatikan. Bertanya berarti menggunakan bahasa
kalimat tanya bukan kalimat perintah. Kalau guru menggunakan kalimat perintah maka siswa akan
menerimanya sebagai perintah. Hal ini akan merusak penciptaan suasana konversasi yang diharapkan.
Oleh karena itu konversasi mengarahkan pada teknik bertanya. Dalam bertanya jawab yang perlu
diperhatikan pertama kali adalah apa yang hendak disampaikan siswa. Langkah kedua barulah guru
memperhatikan kepada aspek kebahasaan yang digunakan siswa. Dengan kata lain guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan amanat, pesan, kesan, ide sampai selesai walaupun
guru telah mengidentifikasikan kesalahan bahasa yang digunakan siswa.
Di samping itu, menurut Anthony (dalam Richard dan Rodgers 1986;16), pendekatan (approach)
dalam pembelajaran bahasa berhubungan dengan teori tentang sifat alami bahasa dan pembelajaran
bahasa yang berfungsi sebagai sumber praktik dalam pembelajaran. Sedikitnya ada tiga teori yang
berbeda mengenai pandangan bahasa (language views) yang mempengaruhi pendekatan dan
metodologi dalam pembelajaran bahasa. Yang pertama ialah pendekatan struktur (structural view)
yang berpendapat bahwa bahasa ialah suatu sistem dari beberapa elemen yang berhubungan secara
struktural untuk menyatakan arti. Jelas ditegaskan di sini bahwa sasaran pembelajaran bahasa ialah
penguasaan sistem, yang biasanya didefinisikan ke dalam penguasaan unit phonology (phonemes),
unit gramatika (klausa, frasa dan kalimat) dan unit leksikal (kata tugas dan kata isi). Yang kedua ialah
pendekatan fungsional (functional view) yang menyatakan bahwa bahasa ialah alat atau kendaraan
untuk mengekspresikan arti. Teori ini menekankan dimensi semantik dan komunikasi daripada sifat
gramatika bahasa tersebut, dan mengarah pada pengkhususan dan pengorganisasian isi pembelajaran
dengan katagori arti dan fungsi dibanding elemen struktur dan gramatika. Yang ketiga ialah pandangan
interaksional (interactional view) yang menyatakan bahwa bahasa ialah alat untuk merealisasikan
hubungan interpersonal dan untuk menyatakan transaksi sosial antar individu. Teori interaksional
menekankan pola-pola move, aksi, negosiasi, dan interaksi yang terdapat dalam percakapan.
Kompetensi komunikatif (communicative competence atau discourse competence) merupakan
tujuan dari pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia saat ini, dari tingkat yang paling rendah (SD)
sampai yang paling tinggi (SMA) meskipun penekannya berbeda. Pendidikan bahasa Inggris di SD/
MI misalnya, dimaksudkan untuk mengembangkan kempampuan berinteraksi dalam kegiatan kelas
dan sekolah (Diknas 2006:402). Kemampuan berbahasa yang dimaskudkan disini ialah kemampuan
berbahasa yang digunakan untuk menyertai tindakan atau disebut dengan language accompanying
action. Pada tahapan ini, bahasa Inggris yang digunakan untuk interaksi bersifat here and now, topik
pembicaraan bersifat pada hal-hal yang ada dalam konteks situasi. Untuk mencapai kompetensi ini,
tugas guru ialah memajankan berbagai macam pasangan bersanding (adjacency pairs) dalam teachers
74 Sosiolinguistik

talk atau ujaran-ujaran guru saat mengajar, yang merupakan dasar menuju kemampuan berinteraksi
yang lebih komplek (Diknas 2006:403)
Kompetensi komunikatif juga sudah menjadi target pembelajaran sejak periode pendekatan
komunikatif (communicative approach) pada tahun 1994 hingga tahun 2004 (Competence Based
Curriculum) dan 2006 (KTSP) dimana pembelajaran bahasa dimulai dari teori bahasa sebagai alat
komunikasi. Dalam kurikulum 1994, (communicative approach), tujuan pembelajaran bahasa Inggris
di Indonesia ialah meningkatkan kompetensi komunikatif. Richard dan Rodgers (1986: 69) mengutip
apa yang dikatakan Hymes (1972) sebagai kompetensi komunikatif yang berbeda dari pengertian
kompetensi yang dikemukakan oleh Chomsky. Sedang Harmer (2001: 84) berpendapat bahwa
(communicative approach) atau pendekatan komunikatif atau pembelajaran bahasa komunikatif
adalah nama yang diberikan pada seperangkat cara yang tidak hanya menguji kembali aspek apa
yang perlu diajarkan dalam pembelajaran bahasa, tapi juga suatu giliran penekanan (emphasis) dalam
pembelajaran.
Konsep kompetensi komunikatif pertama kali dikemukakan oleh Dell Hymes dalam makalahnya
berjudul On Comunicative Competence. Kompetensi komunikatif Dell Hymes ini sebagai reaksi
kompetensi kebahasaan Chomsky, yang oleh Dell Hymes dipandang terlalu sempit, hanya menyangkut
aspek gramatika. Dell Hymes (1972) mengemukakan bahwa penggunaan bahasa meliputi hal-hal
yang lebih sekadar mengetahui penyusunan kalimat yang benar secara secara gramatikal. Ada banyak
faktor lain dalam komunikasi yang menentukan aktualisasi pemakaian bahasa secara umum disebut
konteks.
Kompetensi komunikatif merupakan kemampuan untuk menerapkan kaidah gramatikal suatu
bahasa dalam membentuk kalimat-kalimat yang benar dan untuk mengetahui kapan, di mana, kepada
siapa kalimat-kalimat itu diujarkan (Tarigan 1988:40-41). Dengan berbekal kemampuan komunikatif,
seseorang dapat menyampaikan dan megintepretsikan suatu pesan atau menegosiasikan makna
secara interpersonal dalam konteks yang spesifik (Brown 1987:199).
Kompetensi komunikatif lebih menekankan pada fungsi bahasa dalam komuunikasi sesungguhnya
daripada menguasai bentuk dan kaidah kebahasaan. Kaidah-kaidah kebahasaan itu hanya berfungsi
untuk memonitor suatu bentuk ujaran (Krashen 1988:12).
Kompetensi komunikasi meliputi pengetahuan penggunaan bahasa dan kemampuan meng-
gunakannya dalam berbagai konteks atau situasi komunikasi. Savignon (1983:8-9) menyebutkan lima
karakteristik kompetensi komunikatif.
1. kompetensi komunikatif bersifat dinamis, bergantung pada negosiasi makna antara dua penutur
atau lebih yang sama-sama mengetahui kaidah pemakaiaan bahasa. Dalam pengertian ini
kemampuan komunikasi dapat dikatakan bersifat interpersonal.
2. kompetensi komunikatif meliputi pemakaian bahasa, baik sevara tertulis maupun lisan, juga
sistem simbolik yang lain.
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 75

3. kompetensi komunikatif bersifat kontekstual. Komunikasi selalu terjadi pada variasi situasi
tertentu. Keberhasilan komunikasi bergantung pada pengetahuan partisipan terhadap konteks
dan pengalaman. Komunikasi ini memerlukan ketepatan partisipan dalam memillih register dan
style.
4. Berkaitan dengan dikotomi kompetensi dan performansi, kompetensi mengacu pada apa yang
diketahui, sedangkan performansi mengaci pada apa yang dilakukan. Hanya performansi saya
yang dapat diamati. Hanya melalui performansi, kompetensi dapat dikembangkan, dipertahankan,
dan dievaluasi.
5. Kompetensi komunikatif bersifat relatif, tidak absolut, dan bergantung pada kerja sama antara
partisipan. Hal inilah yang menyebabkan adanya tingkat-tingkat kompetensi komunikatif.
Berkaitan dengan parameter keberterimaan dan kegramatikalan dalam kompetensi dan
performansi, Dell Hymes mengemukakan bahwa teori lingustik seharusnya diintegrasikan dengan teori
komunikasi dan budaya. Untuk itu, parameter dalam komunikasi tidak hanya cukup keberterimaan
dan kegramatikalan. Hymes (1972) mengemukakan empat parameter sistem aturan yang mendasari
perilaku komunikatif, yaitu sebagai berikut.
1. Apakah komunikasi itu memungkinkan untuk dilakukan secara formal?
2. Apakah komunikasi itu mudah dilakukan?
3. Apakah komunikasi itu tepat (memadai, menyenangkan, berhasil) bila dikaitkan dengan konteks
di mana bahasa itu digunakan dan dinilai?
4. Apakah komunikasi itu dapat dilaksanakan dalam situasi yang sesungguhnya, aktual, dan
menyeluruh?
Penerapan empat parameter tersebut untuk melihat apakah suatu bentuk tuturan bersifat komu-
nikatif atau tidak. Hal ini mencerminkan bahwa komponen komunikatif tidak hanya memperhatikan
masalah kegramatikalan, melainkan juga kesesuaiannya dengan faktor sosial dan kultural.
Model Kompetensi Komunikatif yang dipakai pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun
2004 di Indonesia, ialah model dari Celce-Murcia, Thurrell dan Dornye (1995). Model ini dibangun
berdasarkan model yang sudah ada dan dipilih karena untuk keperluan pendidikan bahasa. Model
Celce Murcia et.al. dipandang dapat mengakomodasi keperluan pengetahuan tentang kompetensi
apa saja yang perlu dikembangkan jika siswa diarahkan untuk memperoleh kompetensi komunikatif.
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, model kompetensi komunikatif dari Celce Muria
dipandang sangat relevan sebab mengakomodasi masalah sosiokultural yang merupakan bagian tak
terpisahkan dalam pembelajaran bahasa.
76 Sosiolinguistik

Gambar 1. Model Kompetensi Komunikatif (Celce Murcia et.al. 1995:10)


Kompetensi Komunikatif (KK) adalah kemampuan untuk berkomunikasi menggunakankan bahasa
dalam berbagai konteks baik dalam ragam lisan maupun tulis. Sebagaimana disebutkan terdahulu,
KK tidak sama dengan communicative approach yang dikenal selama ini. Communicative approach
adalah salah satu pendekatan/cara yang digunakan untuk mencapai KK di samping beberapa
pendekatan yang lain.
Mengapa kompetensi komunikatif menjadi tujuan pembelajaran bahasa di Indonesia? Ketika
membicarakan perencanaan dalam pembelajaran bahasa (languange planning), Pit Corder (1975:12
13) mengemukakan tiga aras sebagai rambu-rambu dalam melakukan pengoperasian pembelajaran
bahasa. Pertama, adalah putusan politik, yakni putusan yang dilakukan pemerintah menyangkut
persoalan seperti bahasa yang diajarkan, mengapa dan untuk apa diajarkan, kepada siapa bahasa
itu diajarkan, berapa biaya operasinya, dan pada jenjang sekolah mana bahasa itu diajarkan. Pada
aras ini peran sosiolinguistik sangat diperlukan. Dalam kasus di Indonesia, penentuan bahasa untuk
diajarkan di semua sekolah jelas merupakan putusan politik, mungkin tanpa pertimbangan detil
tentang segi lain seperti ekonomi, biaya, dan psikologi.
Kedua, implementasi putusan, yang pada umumnya berkisar pada persoalan seperti apa yang
harus diajarkan dan bagaimana specific limitations of time and money. Buku teks dan bahan ajar
merupakan realisasi konkret dari implementasi itu.
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 77

Ketiga, pengajaran bahasa di dalam kelas. Pada aras ini diperlukan sumbangan psikolinguistik,
yang memberi arahan bagaimana siswa (pembelajar) belajar bahasa. Di samping itu, diperlukan juga
pertimbangan paedagogis, berkaitan dengan motivasi, sikap, intelegensi dan kepribadian. Di sini
yang tahu banyak adalah guru karena berhubungan dengan bagaimana mengajar, metode dan teknik
apa yang tepat.
Pandangan di atas mengisyaratkan bahwa dalam spesifikasi pembelajaran, terdapat kebebasan dan
kesempatan yang luas bagi guru sebagai pengelola kelas. Guru harus dapat meramalkan keterampilan
apa saja yang diperlukan oleh siswa secara berjenjang, bertahap dan berkesinambungan. Kemampuan
meramalkan itu berdasarkan asumsi bahwa guru adalah orang yang paling memahami kemampuan,
kesiapan belajar siswa, dan mengetahui situasi lingkungan maupun fasilitas yang dimiliki.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astika (1994) menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa yang
menekankan aturan-aturan bahasa (formal learning) tidak banyak membantu untuk mengembangkan
kemampuan berkomunikasi (berbicara) dalam bahasa yang dipelajari (bahasa sasaran). Para ahli
sekarang percaya bahwa untuk dapat menggunakan bahasa sasaran, seorang siswa harus belajar
bahasa dengan cara yang tidak sama seperti cara-cara belajar bahasa formal (formal learning), yaitu
cara belajar yang berorientasi pada penguasaan tata bahasa saja. Pengetahuan tata bahasa mungkin
hanya bermanfaat sebagai monitor. Oleh karena itu, pengetahuan tata bahasa memiliki fungsi yang
terbatas dalam belajar bahasa kedua (asing), misalnya diperlukan untuk memperbaiki kesalahan-
kesalahan, baik lisan maupun tertulis.
Kebutuhan komunikatif dalam pembelajaran bahasa Inggris dioperasionalkan salah satunya,
dalam pendekatan komunikatif. Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa didasarkan
pada pandangan bahwa (1) bahasa harus dipelajari dalam situasi yang memberikan makna kepada
satuan-satuan bahasa yang dipelajari, dan (2) materi pembelajaran bahasa itu harus disajikan sesuai
dengan situasi dan konteks berbahasa.
Kompetensi komunikatif merupakan kemampuan yang diharapkan oleh pembelajar untuk
menyampaikan dan menafsirkan serta mengartikan makna dalam interaksi berbahasa sesuai dengan
konteksnya. Kompetensi ini akan tampak dalam perilaku berbahasa baik lisan maupun tulisan
dalam proses komunikasi. Untuk tingkat lanjut (dewasa) terdapat tiga aspek perilaku berbahasa yang
memadai kompetensi komunikatif, yaitu (1) kecermatan berbahasa, (2) ketepatan berbahasa, dan (3)
kemahiran berbahasa (Hamid 1987).
Kecermatan berbahasa adalah cara berbahasa yang didasari oleh kesadaran akan kaidah bahasa
(gramaticality). Kecermatan berbahasa akan menghasilkan perilaku berbahasa yang berkesan benar
dan kritis. Artinya, bahwa pembicara/penulis mampu menampilkan pemakaian bahasa sedemikian
sehingga terhindar dari kesalahan dalam berbahasa. Dan jika suatu saat terdapat kesalahan akan
segera dibetulkan karena sadar akan adanya kaidah berbahasa.
78 Sosiolinguistik

Ketepatan berbahasa merupakan cara berbahasa yang disesuaikan dengan fungsi komunikasi
(Hamid 1987). Sebagai alat komunikasi, bahasa berujud varian-varian yang pemakaiannya diselaraskan
dengan kebutuhan penutur dalam konteks sosialnya. Kepada siapa ia akan berbahasa, bahasa apa
yang dipergunakan, kapan dan dimana bahasa itu digunakan merupakan gambaran tentang ketepatan
berbahasa. Sebagai contoh seorang guru yang sedang mengajar di depan kelas tidak akan memilih
ragam bahasa seperti ketika ia bertemu dengan teman lamanya di pinggir jalan.
Kecermatan dan ketepatan berbahasa harus ditunjang dengan kemahiran berbahasa sebab cermat
dan tepatnya berbahasa kurang berarti jika tidak disertai dengan kemahiran (kelancaran berbahasa).
Apa artinya kesadaran akan adanya kaidah bahasa dan kesesuaian pemilihan ragam bahasa dengan
konteks sosial, jika penampilan bahasanya gagap dan tersendat-sendat. Pemakaian bahasa seperti
itu memberi kesan bahwa penuturnya tidak saja kurang menguasai bahasanya melainkan juga
menunjukkan bahwa penataan penalarannya kurang teratur.
Sedangkan untuk tingkat anak-anak, Labov dan Fanshel (1977:20) meyatakan bahwa anak
mendapatkan dan mengembangkan kompetensi komunikatif dengan cara ssebagai berikut:
(1) Kompetensi komunikatif didapatkan secara simultan dengan kompetensi linguistik, mereka tidak
belajar secara terpisah, misalnya tata bahasa dulu kemudian belajar menerapkannya dalam
percakapan, melainkan secara terpadu dalam percakapan interaktif yang penuh makna.
(2) Kompetensi komunikatif yang dikembangkan anak mencakup penggunaan dan interpretasi
tentang penggunaan bahasa untuk tujuan yang beragam, dengan menggunakan bentuk yang
beragam pula. Bahasa yang diadaptasi secara beragam oleh anak, akan terasa lebih layak bagi
masyarakat sekitarnya.
(3) Anak memperoleh kompetensi komunikatif dalam suatu lingkungan yang interaktif dengan cara
melibatkan dalam komunikasi yang bermakna.
(4) Anak sangat aktif dalam perkembangan bahasa, termasuk diantaranya membuat hipotesa, testing,
merevi apa yang mereka dapat. Dalam beberapa tahun, akan sangat terlihat perkembangan
kompetensi komunikatifnya.
Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran bahasa secara umum, Parera (1996:79)
menawarkan asas lima kon yaitu: kontekstual, kontemporer, konkret, konsepsual, dan konversasi.
Pembelajaran bahasa yang kontekstual menunjukkan bahwa pembelajaran selalu berorientasi pasa
konteks. Berbahasa berarti berkomunikasi dengan alam sekitar. Oleh karena itu bahasa merupakan
reaksi terhadap alam sekitarnya. Hal ini berarti pula bahwa berbahasa terikat pada waktu, tempat
peserta bicara/orang yang diajak berkomunikasi, pokok pembicaraan, tujuan pembicaraan, dan
modus pembicaraan. Pembelajaran bahasa tidak dapat dilepaskan dari situasi dan konteks yang
terjadi di alam sekitarnya. Pembelajaran bahasa harus berguna dan bermanfaat bagi pemakai dan
lingkungannya, dan berhubungan dengan alam sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pembelajaran
ditentukan tema sebagai sarana penciptaan konteks. Tema bukan menjadi tujuan pembelajaran tetapi
hanya sebagai sarana kontekstual. Pembelajaran komponen-kompoenen kebahasaan dan kosakata
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 79

harus terikat pada konteks. Yang tidak boleh diabaikan pula bahwa semua itu harus berguna bagi
siswa dan lingkungannya. Dengan demikian guru bahasa Inggris dapat mengetahui bahwa materi
yang telah dipilih sengaja untuk memunculkan konteks yang sesuai, sehingga dapat memperlancar
proses pemahaman dan penggunaan bahasa Inggris yang wajar.
Yang dimaksud pembelajaran bahasa kontemporer yaitu pembelajaran yang cocok dan sesuai
zaman. Di muka telah disebutkan bahwa tujuan pembelajaran bahasa Inggris adalah siswa memiliki
keterampilan berbahasa Inggris untuk berbagai keperluan. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa
memilih tema sebagai perekat yang kontekstual dan sekaligus pencipta iklim kontemporer. Tema
yang kontemporer menunjukkan kepada kepada siswa bahwa pembelajaran bahasa Inggris bukan
untuk bahasa Inggris tetapi untuk tujuan dan keperluan luas. Dengan demikian tema yang cocok
dalam pembelajaran bahasa Inggris adalah tema yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dengan penyajian tema yang menarik dan berguna, siswa tergugah untuk membacanya. Tema
yang menarik dan berguna adalah tema yang kontemporer. Tema yang kontemporer dibahasakan
dengan bahasa yang kontemporer. Pembelajaran peribahasa misalnya, tidak semua peribahasa yang
pernah ada disajikan semua, tetapi siswa diajak memahami dan menerapkan peribahasa yang sesuai
dengan perkembangan zaman.
Pembelajaran bahasa yang konkret yaitu pembelajaran yang menyajikan materi secara konkret.
Contoh yang diberikan harus dekat dengan siswa, dapat dilihat, didengar, dirasakan, diraba, dan
dialami oleh para siswa. Kekonkretan dapat diejawantahkan dengan tingkah laku, peragaan, atau
demonstrasi. Kekonkretan dapat ditunjukkan dengan gambar, model-model tertentu, atau dengan
diskusi-diskusi tentang suatu kasus. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa Inggris, contoh-
contoh kalimat yang disajikan harus mengarah kepada manfaat praktis dan konkret berbahasa. Artinya
contoh yang diberikan tidak hanya kalimat yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa tetapi juga
dikaitkan dengan kondisi nyata. Pembelajaran bahasa Inggris yang berguna adalah pembelajaran
yang memungkinkan siswa memahami bahasa dalam situasi konkret dan dapat menggunakan bahasa
Inggris demi kepentingan dan keperluan yang konkret.
Pembelajaran bahasa konseptual mengisyaratkan bahwa guru tidak boleh berbicara dan
menguraikan dengan panjang lebar tentang kaidah-kaidah bahasa. Guru hanya menyampaikan
konsep dan kaidah-kaidah bahasa yang berguna dan diperlukan. Dalam pembelajaran bahasa Inggris
guru menyampaikan dan memperkenalkan konsep dan kaidah bahasa yang benar dan baik secara
bertahap, berjenjang, dan bergilir sesuai dengan kebahasaan siswa. mengingat Bahasa Inggris sebagai
bahasa ibu, setiap siswa paling tidak telah memiliki dan menguasai sejumlah kaidah bahasa dan
kosakata secara alami. Oleh karena itu pembelajaran bahasa Inggris mengarah kepada penanaman
konsep-konsep bahasa yang penting, berguna dan kreatif. Hal ini jauh dari kenyataan di lapangan,
pembelajaran bahasa Inggris masih membawa siswa dalam hafalan. Model seperti ini tentu tidak
mengarah kepada pembelajaran bahasa yang konseptual. Jadi inti pembelajaran bahasa secara
konseptual adalah penanaman sikap disiplin berbahasa dan penumbuhan sikap kreatif berbahasa.
80 Sosiolinguistik

Pembelajaran bahasa bentuk Conversation (percakapan) menunjukkan pembelajaran yang


membawa siswa dalam situasi percakapan untuk memperlancar pemakaian suatu bahasa yang
dipelajari (target language). Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya keterlibatan dan pelibatan
siswa dalam proses belajar mengajar. Ini berarti tidak terjadi monolog dari guru kepada siswa. Dalam
pembelajaran bahasa Inggris guru sedapat mungkin memberikan kesempatan dan waktu agar siswa
mengambil peran secara komunikatif.

10.7 Panduan Pengembangan Materi Ajar Berbasis Konteks Sosiokultural


Pengidentifikasian kemampuan guru dalam menyusun materi ajar memberikan masukan
untuk menyusun model materi ajar berbasis konteks sosiokultural. Untuk itu, diperlukan panduan
yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan materi ajar. Pedoman ini didasarkan
pada perkembangan psikologi anak dan sosiokultural dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini
dilakukan.
Konsep panduan pengembangan materi ajar ini disusun dalam bentuk materi ajar. Pada
pembelajaran bahasa Indonesia materi ajar hanya digunakan sebagai pedoman bagi guru dalam
pelaksanaan PBM. Pengembangan materi ajar dilakukan mengikuti syarat-syarat sebagai berikut.

10.7.1 Acuan
Pengembangan materi ajar bahasa Indonesia hendaknya menggunakan acuan yang lengkap,
yaitu: (1) satu kurikulum yang berlaku, (2) ilmu-ilmu yang relevan, seperti ilmu pendidikan,
pengajaran bahasa, sosiologi bahasa (sosilinguistik), psikologi, dan ilmu sastra, (3) kebutuhan bahasa
anak atau siswa, dan (4) hasil-hasil buku-buku pelajaran bahasa dan atau kegiatan belajaran mengajar
di kelas.
Penulisan yang hanya menggunakan acuan pertama, yaitu kurikulum, baru memperoleh
pegangan tentang apa yang diajarkan dan kapan mengajarkannya. Sedangkan bagaimana kedalaman
dan keluasan materi, bagaimana cara menyajikan yang efektif, apa yang minati dan sesuai dengan
kebutuhan serta kemampuan siswa baru dapat dijawab oleh acuan kedua, ketiga, dan keempat.
Kurikulum yang menjadi acuan ini adalah kurikulum yang dikembangkan Kurikulum ini mengacu
pada pendekatan komunikatif dan fungsional sebagaimana dipaparkan di atas.

10.7.2 Rancangan
Pengembangan materi ajar menggunakan rancangan yang jelas dengan memperhatikan taksonomi
bahan ajar yang baku, yaitu : (1) buku siswa, (2) buku kerja dan (3) buku guru. Pada kasus yang diteliti
terjadi kerancuan antara buku pelajaran dan buku kerja siswa. Hal ini mengakibatkan pemborosan
dana, tenaga, dan waktu dalam pengajaran bahasa.
Penulisan buku kerja siswa harus berinduk pada buku pelajaran. Artinya, bahan pelajaran, tugas,
dan atau latihan dimuat pada buku pelajaran, sedangkan pengerjaan tugas atau latihan itu dilakukan
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 81

pada buku kerja siswa (juga dapat dilakukan dibuku tulis siswa). Dalam kaitan ini, buku pelengkap
atau bahan pengayaan hendaknya diperhatikan seperti buku pelajaran. Ia juga dijadikan induk
penyusunan buku atau lembar kerja siswa.
Dengan rancangan yang benar ini, buku pelajaran dapat dipakai berulang kali atau diwariskan
dan efektifitas pengajaran bahasa dapat ditingkatkan.

10.7.3 Organisasi
Pengorganisasian materi ajar, termasuk satuan-satuan unit pelajaran, hendaknya meliputi prinsip
atau kaidah-kaidah komposisi yang baik sehingga menarik dan memudahkan siswa belajar.
Salah satu prinsip komposisi yang baik itu adalah prinsip keterpaduan. Dalam penulisan buku
pelajaran bahasa Indonesia yang mengacu kepada Kurikulum. Tema adalah perekat atau benang
merah yang dapat memadukan satuan unit pelajaran. Satu alat atau kendaraan yang efektif untuk
menjadikan tema sebagai benang merah itu adalah tokoh dan alur.
Organisasi yang memudahkan siswa belajar atau memahami satuan-satuan unit pelajaran
bahasa adalah organisasi yang mempertimbangkan tingkat kematangan kognitif siswa seperti yang
dikemukakan oleh ahli psikologi perkembangan Swiss, Jean Piaget (1896-1980). Organisasi unit-unit
pelajaran harus sederhana sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif siswa itu.
Ada berbagai cara untuk menyusun organisasi atau komposisi buku pelajaran bahasa, topik, tema,
atau keterampilan bahasa. Cara mana yang dipilih, hendaknya mempertimbangkan pendekatan dan
tujuan pengajaran bahasa yang dipilih, serta kebutuhan bahasa siswa. Yang jelas, cukup satu cara
yang dipilih. Gabungan lebih dari satu cara akan membingungkan anak-anak.

10.7.4 Kebahasaan
Ada pendapat awam bahwa buku pelajaran bahasa Indonesia yang ditulis berdasarkan konteks
sosiokultural tidak boleh memuat bahan pelajaran kebahasaan, seperti kosakata, tata bahasa, dan
ejaan. Pendapat awam itu tidak benar. Ahli pengajaran bahasa, Keith Johnson (1982) mengatakan
bahwa sepanjang sejarah pengajaran bahasa, pengajaran tata bahasa tidak pernah hilang, walaupun
gradasi penekanannya berbeda-beda.
Yang perlu adalah bahwa pengajaran tata bahasa itu harus diletakkan dalam konteks untuk
memperkuat pengajaran keterampilan bahasa (membaca, menulis, berbicara dan menyimak).
Pengajaran tata bahasa itu tidak boleh berorientasi kepada pengetahuan, tetapi mesti berorientasi
kepada penerapannya. Pengajaran tata bahasa harus kontekstual, tidak boleh lepas-lepas. Hal
ini berarti pelajaran struktur dapat dipadukan atau diteruskan dengan pelajaran membaca. Ekstra
tantangan atau daya pikat diberikan lagi, yaitu setelah anak memahami isi wacana, mereka ditugasi
mendiskusikan (praktik keterampilan berbahasa lisan). Judul wacana itu sengaja belum diberikan,
tetapi disediakan tempatnya.
82 Sosiolinguistik

10.7.5 Keterampilan Berbahasa


Sejak pembaruan pengajaran bahasa dicetuskan oleh Komisi Eropa tahun 1970-an, kebutuhan
bahasa siswa menjadi fokus pengajaran bahasa. Kebutuhan bahasa siswa yang utama adalah
keterampilan bahasa. Oleh karena itu, penulis buku pelajaran bahasa Indonesia perlu memberi
perhatian khusus pada pengembangan bahan dan metode pengajaran keterampilan berbahasa itu.
Penulis perlu menggerakkan daya kreativitas dan intuisi terbaiknya agar menghasilkan bahan dan
metode yang menantang, menarik dan fungsional bagi siswa.
Sesuai dengan prinsip pendekatan komunikatif dapat menyeimbangkan keempat keterampilan
berbahasa (membaca, menulis, berbicara, menyimak) atau memberi penekanan kepada salah satu
keterampilan berbahasa itu. Berapa dan yang mana penekanan akan diberikan, semuanya sah-sah
saja, teapi kewajaran atau kesesuaian dengan kemampuan siswa, tema, topik, wacana atau bahan
perlu diperhitungkan.

10.7.6 Pengembangan Konteks Sosiokultural


Pengembangan materi ajar memanfaatkan wacana, khususnya wacana yang dekat dengan lingkunan
siswa seperti upacara adat, dongeng, maupun cerita rakyat untuk memperkenalkan sosikultural yang
dimiliki dalam diri anak. Misalnya menegnai Lawang Sewu. Pengenalan sosiokultural yang ada
disekitar anak diharapkan memberikan muatan nilaia-nilai positif. Seperti, hormat menghormati atas
perbedaan yang ada. Yang paling utama siswa maun mengenal, mengembangkan, dan melestarikan
(mereksa) khazanah budaya yang dimilikinya. Pengenalaan konteks sosiokultural ini dapat disajikan
melalui bacaan (teks) yang memuat kondisi sosiokultural dan tugas-tugas observasi ataupun tugas
wawancara dalam menggali dan mengenal kondisi sosiokultural sekitar. Misalnya, cerita rakyat yang
digunakan dalam pembelajaran sastra dipilih berdasarkan cerita rakyat yang ada di daerah tersebut.

10.7.7 Topik dan Wacana


Pengembangan materi ajar mempertimbangkan pemilihan wacana atau teks sebagai bahan utama
pengembangan buku pelajaran bahasa Indonesia. Wacana-wacana itu harus mengandung topik-topik
yang variatif dan aktual sehingga menarik bagi anak-anak. Wacana itu harus mengandung informasi
atau nilai-nilai yang diperlukan dan sesuai dengan kemampuan siswa. Untuk memperoleh wacana
seperti itu, pemilihan hendaknya mempertimbangkan konteks akademis, sosial, budaya, bahasa, dan
kehidupan siswa seperti yang disarankan oleh Nunan.
Selain pertimbangan topik, informasi, dan nilai ada pertimbangan lain yang sangat penting, yaitu
wacana itu harus mengandung potensi besar untuk pengembangan pelajaran keterampilan bahasa.
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 83

10.8 Panduan Model Pengembangan Proses Belajar Mengajar dalam pencapai


Kompetensi Komunikatif Siswa
Pengembangan proses belajar mengajar (PBM) dengan pendekatan komunikatif berbasis konteks
sosiokultural siswa dikembangkan dengan mempertimbangkan (1) prinsip pembelajaran, (2) tujuan
pembelajaran, (3) ruang lingkup, dan (4) pelaksanaan pembelajaran, dan (5) evaluasi pembelajaran.

10.8.1 Prinsip Pembelajaran


Pembelajaran dikembangkan dengan prinsip-prinsip berikut. Pertama, pengajaran dilakukan
mengedepankan konteks sosiokultural siswa. Pembelajaran diarahkan pada pengenalan sosiokultural
yang tersedia di lingkungan siswa.
Kedua, interaksi edukatif dilakukan sesuai dengan usia anak. Anak sekolah SMP adalah anak
yang masih suka bermain. Oleh karena itu, baik bahasa maupun kegiatan selama PBM hendaknya
disesuaikan dengan usia mereka. Namun demikian, dalam setiap kesempatan yang tepat guru harus
mencontohkan tuturan yang benar, baik dari segi kosakata maupun tatabahasa.
Ketiga, bahan ajar hendaknya terdiri dari bahan yang syarat muatan budaya. Bahan ajar ini
hendaknya dipilah sesuai dengan usia dan digali nilai luhurnya oleh guru untuk disampaikan secara
implisit kepada siswa.
Keempat, sarana pendukung yang tidak biasa disiapkan harus diadakan. Sarana ini tidak perlu
mahal, beberapa bisa hanya berupa fotokopi gambar atau sekantong permainan. Idealnya, sekolah
menyiapkan tape recorder beserta kaset dan semacamnya.

10.8.2 Tujuan Pembelajaran


Tujuan pembelajaran dikembangkan berdasarkan tujuan pembelajaran umum dan tujuan
pembelajaran khusus. Tujuan pembelajaran umum mengacu pada tujuan pembelajaran yang
dicapai dalam pembelajaran pada kelas tertentu. Tujuan pembelajaran khusus mengacu pada
tujuan pembelajaran yang dicapai pada tiap-tiap SK dan KD. Tujuan pembelajaran khusus disusun
berdasarkan tujuan pembelajaran umum.

10.8.3 Ruang Lingkup


Ruang lingkup pembelajaran yang dikembangkan dengan model pembelajaran fungsional ini
mencakup kemampuan berbahasa dan sikap. Kemampuan berbahasa mencakup pemahaman bahasa
dan penggunaan bahasa. Sikap terdiri atas keaktifan dan kerjasama.
Pokok bahasan yang dikembangkan memanfaatkan sumber-sumber budaya lokal seperti dolanan,
tembang, dongeng dan wacana lokal lain. Pertimbangannya adalah selain untuk melestarikan kekayaan
budaya lokal juga dengan materi yang dekat dengan lingkungan sosial budaya siswa memungkinkan
pembelajaran bahasa Jawa lebih menarik minat siswa. Wacana lokal tersebut digunakan sebagai
sarana dalam pembelajaran bahasa.
84 Sosiolinguistik

10.8.4 Pelaksanaan Pembelajaran


Pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia dengan model fungsional dapat dilakukan baik di
dalam kelas maupun di luar kelas seperti halaman sekolah dan lapangan. Guru dapat menentukan
tempat yang sesuai untuk proses pembelajaran tersebut. Apabila proses pembelajaran tersebut
memanfaatkan dolanan, misalnya yang menurut pertimbangan guru akan lebih tepat dilakukan di
luar kelas, maka guru dapat memilih tempat di luar kelas.
Materi ajar yang dikembangkan diusahakan dari lingkungan siswa. Dengan demikian, diharapkan
materi itu akrab dengan siswa. Materi yang digali dari lingkungan sosial budaya yang dekat dengan
siswa seperti dongeng, permaianan tradisional, dan wacana lokal selain sebagai materi ajar juga
dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran bahasa Indonesia. Penerapan materi ini perlu kreativitas
guru untuk mengarahkan minat siswa pada pembelajaran bahasa Indonesia. Diupayakan agar guru
tidak terjebak pada permainan atau lagu dan melupakan unsur pembelajaran bahasa.
Pembelajaran dengan model ini dilakukan secara interaktif. Upaya untuk membangkitkan
keberanian siswa untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam proses pembelajaran perlu dilakukan
guru. Semaksimal mungkin proses pembelajaran tidak didominasi oleh guru. Interaksi komunikatif
dalam pembelajaran perlu dikembangkan. Pada tiap akhir pelajaran ditutup dengan penegasan nilai-
nilai moral yang baik (terjandung dalam sosiokultural yang digunakan) dari materi pembelajaran.
Berikut ini paradigma pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah adalah sebagai berikut.
1. Terkait dan bertahap, yaitu pembelajaran bahasa bertolak dari apa yang telah dikenal, dipahami,
dan dikuasai siswa, serta memperhatikan perkembangan dan kemampuan siswa. Siswa dapat
belajar bahasa dengan baik apabila apa yang dipelajarinya terhubung dengan apa yang telah
dimilikinya. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa harus beranjak dari yang mudah ke yang
sukar, dari yang sederhana ke yang rumit, dari yang dekat ke yang jauh, dan dari yang konkret
ke yang abstrak. Apabila yang dipelajari siswa terlalu mudah, maka akan membosankan mereka;
sebaliknya, bila terlalu sukar akan memfrustasikan mereka. Kedua hal itu akan menjadikan
kegiatan belajar tidak bermakna.
2. Imersi, yaitu pembelajaran bahasa dilakukan dengan menerjunkan siswa secara langsung
dalam kegiatan berbahasa yang dipelajarinya. Contoh, ketika siswa belajar mengarang, ia
diterjunkan langsung dalam kegiatan mengarang. Berikan ia pengalaman bagaimana dan seperti
apa mengarang itu dengan memintanya menulis sebuah karangan dengan topik tertentu. Jika
siswa kesulitan, berikan ia model atau contoh karangan yang sesuai. Selanjutnya, guru memandu
siswa untuk dapat menggali dan menemukan sendiri teori atau tata cara mengarang yang efktif
dan efisien berdasarkan pengalaman yang dilaluinya.
3. Pengerjaan (employment), yaitu pembelajaran bahasa dilakukan dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan berbahasa yang bermakna, fungsional,
dan otentik. Bermakna artinya kegiatan berbahasa yang dilakukan siswa dapat menghasilkan
wawasan, sikap, atau keterampilan baru yang secara bertahap dapat meningkatkan kemampuan
berbahasanya. Fungsional artinya aktivitas berbahasa yang dilakukan siswa memiliki tujuan yang
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 85

jelas dalam berkomunikasi, yang mengarah pada salah satu atau lebih dari tujuh fungsi bahasa
sebagaimana dipaparkan pada Bab I. Otentik artinya aktivitas berbahasa siswa terjadi dalam
konteks yang jelas, yang memang lazim digunakan dalam kenyataan berbahasa di luar kelas. Ini
berarti, kalau siswa harus membuat satu kalimat atau wacana, siswa harus dapat membayangkan
untuk apa dan dalam situasi berbahasa apa ia membuat kalimat atau wacana tersebut. Dengan
paradigma ini diharapkan tidak terjadi lagi adanya tugas atau kegiatan siswa yang asal-asalan
atau hanya sekedar rekaan, yang tidak pernah ada dalam kegiatan berbahasa sehari-hari. Kita
tidak akan lagi menemukan guru bahasa mengajarkan kalimat aktif dan pasif yang lepas konteks,
seperti:
(1) Budi memukul anjing.
(2) Anjing dipukul Budi.
4. Demonstrasi, yaitu siswa belajar bahasa melalui demonstrasi ---dengan pemodelan dan
dukungan--- yang disediakan guru. Model atau contoh merupakan upaya pembelajaran yang
dapat menjadikan sesuatu (konsep, sikap, keterampilan) yang abstrak, rumit, atau sulit menjadi
konkret, seder-hana, atau mudah, karena gambaran yang ditampilkannya. Model itu dapat berupa
manusia (guru atau sumber lain) atau sesuatu yang lain. Ketika siswa belajar membacakan berita,
akan lebih efektif apabila mereka diberikan model pembacaan berita dengan mendengarkan
radio, melihat TV, atau melihat contoh yang ditampilkan guru. Dari model itu siswa akan meng-
inspirasi atau mencontoh secara kreatif apa dan bagaimana membacakan berita itu dilakukan.
Demonstrasi itu tidak hanya sesuatu yang dicontohkan secara langsung kepada siswa, tetapi
juga yang tidak langsung melalui penyediaan berbagai sumber belajar bahasa yang kaya dan
menarik.
5. Integratif, yaitu pembelajaran aspek-aspek bahasa (kebahasaan, kesastraan, keterampilan
berbahasa yang terdiri atas menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dilakukan secara
terpadu ------baik antaraspek dalam bahasa Indonesia itu sendiri maupun dengan bidang studi
lain----- serta terkait dengan kehidupan nyata.
6. Uji-coba (trial-error), yaitu pembelajaran bahasa yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk melakukan kegiatan dari perspektif atau sudut pandang siswa. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, kesalahan dalam belajar bahasa merupakan bagian dari proses belajar bahasa
itu sendiri. Oleh karena itu, siswa akan lebih percaya diri dalam belajar apabila ia mengerti
bahwa gurunya tidak hanya menekankan pada ketepatan, tetapi memberinya kesempatan untuk
memperbaiki atau menyempurnakan hasil kerjanya melalui uji-coba yang dilakukan siswa
7. Tanggung jawab (responsibility), yaitu pembelajaran bahasa memberikan pelu-ang kepada siswa
untuk memilih aktivitas berbahasa yang akan dilakukan-nya. Upaya ini akan bermanfaat bagi
siswa untuk (1) menyalurkan minat dan keinginannya dalam belajar bahasa, dan (2) menjadikan
siswa lebih percaya diri dan bertanggung jawab atas tugas atau kegiatan yang dipilih dan
dilakukannya. Kalau siswa mendapat tugas membaca suatu karya sastra cerpen, misalnya, siswa
diberi kesempatan untuk memilih salah satu karya sastra yang dibacanya. Siswa pun diberikan
kebebasan untuk memilih bentuk respon terhadap karya sastra yang dibacanya.
86 Sosiolinguistik

8. Berpengharapan (expectation), artinya siswa akan berupaya untuk sukses atau berhasil dalam
belajar, jika dia merasa bahwa gurunya mengharapkan dia menjadi sukses. Sikap guru itu
ditunjukkan melalui perilakunya yang mau memperhatikan, mengerti, dan membantu kesulitan
siswa; mendorong atau membesarkan hatinya apabila siswa melakukan kesalahan disertai
dengan pemberian masukan; serta memberikannya penguatan apabila siswa melakukan hal yang
benar.
Dengan kedelapan prinsip tersebut, maka prinsip-prinsip pembelajaran bahasa seperti
mengaktifkan siswa, otentik dan kontekstual, bermakna, dan lingkungan yang kaya dengan sumber
belajar bahasa, dengan sendirinya terkandung di dalamnya.
Selanjutnya, berdasarkan paradigma pembelajaran bahasa tersebut, guru dapat memilih dan
mengembangkan metode dan strategi pembelajaran bahasa Indonesia. Apapun strategi pembelajaran
yang digunakan guru tidak menjadi masalah selama sesuai dengan hakikat bahasa, hakikat belajar,
tujuan dan cara belajar bahasa anak, serta paradigma pembelajaran bahasa.

10.8.5 Evaluasi Pembelajaran


Penilaian dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kemajuan dan hasil belajar dalam
ketuntasan pengusaan kompetensi (mastery learning). Implikasinya: (1) semua kompetensi perlu
dinilai menggunakan acuan kriteria berdasarkan pada indikator hasil belajar; dan (2) pencapaian
hasil belajar ditetapkan dengan ukuran atau tingkat pencapaian kompetensi yang memadai dan dapat
dipertanggung-jawabkan sebagai prasyarat penguasaan kompetensi lebih lanjut.
1. Penilaian di dilakukan dalam pelbagai bentuk (lisan, tulis, perbuatan), melalui proses dan produk,
serta dilakukan secara formal maupun informal, dengan menggunakan pelbagai metode dan alat
penilaian (tes dan nontes, termasuk portofolio) untuk memantau kemajuan dan hasil belajar
peserta didik.
2. Penilaian melibatkan siswa melalui refleksi dan pemberian balikan yang me-mungkinkannya
menemukan kekuatan dan kelemahannya dalam belajar, serta merancang upaya peningkatan
kekuatan dan perbaikan kelemahannya.
3. Penilaian kelas sebagai bagian integral dari kegiatan pembelajaran dilakukan oleh guru. Dalam
pelaksanaan penilaian kelas, guru berwenang untuk menentukan kriteria keberhasilan, cara, dan
jenis penilaian.
4. Hasil penilaian diinformasikan kepada siswa, orang tua, dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Informasi memuat deskripsi kemajuan dan hasil belajar secara utuh dan menyeluruh. Hasil
penilaian dapat digunakan untuk mendiagnosis dan memberikan umpan balik untuk perbaikan
pembelajaran dan program.
Konsep panduan evaluasi pembelajaran bahasa dikembangkan dengan menggunakan penilaian
kualitatif, yaitu penyajian hasil penilaian dengan menggunakan bentuk pernyataan verbal berupa baik
(B), sedang (S) dan kurang (K). Guru wajib memberi catatan terhadap siswa yang mendapat nilai K pada
Pembelajaran Bahasa Berbasis Konteks Sosiokultural 87

kolom yang disediakan dalam format penilaian. Aspek yang dievaluasi meliputi dua hal. Pertama,
kemampuan berbahasa yang meliputi pemahaman dan penggunaan; hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pengamatan kemampuan berbahasa meliputi: (1) pilihan kata, (2) penggunaan kalimat, (3)
ketepatan intonasi, dan (4) penalaran (kelogisan isi). Kedua, sikap yang meliputi keaktifan dan kerja
sama; keaktifan maksudnya adalah bagaimana siswa terlibat dalam permainan dan berbahasa; kalau
terdapat anak yang bersifat pendiam guru harus dapat merangsang siswa tersebut; yang dimaksudkan
kerja sama adalah komunikasi dalam arti jawaban siswa tidak kurang dan tidak berlebih.
Pengembangan evaluasi dilakukan melalui lembar evaluasi yang disusun berdasarkan kolom-
kolom, yang terdiri atas kolom: 1) nomor, 2) nama siswa, 3) kemampuan berbahasa, 4) sikap, dan 5)
catatan. Contoh lembar evaluasi sebaai berikut.
Lembar Pengamatan
Pertemuan ke : .....

No Nama Siswa Kemampuan Sikap Catatan


3 4
1 2 5
B S K B S K
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Keterangan:
1. Kemampuan = Pemahaman dan penggunaan bahasa
2. Sikap = keaktifan berkomunikasi/berpartisipasi
B = Baik; S = Sedang; K = Kurang
88 Sosiolinguistik
Komunikasi Lintas Budaya 89

BAB X

PEMBELAJARAN BAHASA
BERBASIS KONTEKS SOSIOKULTURAL

11.1 Urgensi Komunikasi Lintas Budaya

I ndonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia (Yaqin, 2005:3). Kebenaran
pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural dan geografis yang begitu beragam dan
luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sekitar
17.000 pulau besar dan kecil, populasi penduduk berjumlah lebih dari 210 juta jiwa, terdiri atas 300
suku yang menggunakan hampir 700 lebih bahasa yang berbeda. Selain itu, mereka juga menganut
agama dan kepercayaan yang beragam. Bahkan, dalam kepustakaan sosiolinguistik Fishman (1972)
memandang Indonesia sebagai raksasa sosiolinguistik dengan keragaman budaya, bahasa dan variasi
ragam yang ada.
Keragaman budaya merupakan khazanah bangsa yang sangat bernilai, tetapi di sisi lain, keragaman
yang tidak terkelola akan dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti yang sekarang dihadapi
bangsa ini. Ketimpangan ekonomi, sosial, politik, dan ketidakmampuan masyarakat dalam memahami
keragaman mengakibatkan terjadinya pertikaian antarkelompok. Sebagai contoh, pertikaian antaretnis
telah terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Surat Kabar Kompas menyajikan data tentang
sebagian dari peristiwa kerusuhan sosial yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 1994-2001
(lihat tabel 1).
90 Sosiolinguistik

Tabel 1. Pertikaian SARA di Indonesia Tahun 1994-2001

Tanggal Lokasi Pemicu


10 Okt. 1994 Situbondo, Bermula dari perbedaan pendapat antara santri muda
Jawa Timur dan seorang kiai senior karena dianggap melecehkan
agama, masyarakat menuntut santri muda itu dihukum
mati. Namun, pengadilan hanya menjatuhkan vonis 5
tahun penjara. Terjadilah amuk massa dengan memba-
kar gereja dan penjarahan toko milik etnis Cina.
1 Jan. 1997 Sanggau Ledo, Kali- Perkelahian antara pemuda etnis Dayak dan etnis Mad-
mantan Barat ura pada malam menyambut Tahun Baru yang berbun-
tut aksi balas dendam.
15 Sept. 1997 Makassar, Sulawesi Berawal dari terbunuhnya seorang anak berusia 9 ta-
Selatan hun oleh seorang pengidap sakit jiwa keturunan Cina.
Akibatnya massa menjadi marah, mereka menyerang
dan membakar rumah, toko, tempat hiburan milik
etnis Cina serta vihara.
19 Jan. 1998 Ambon, Maluku Dipicu oleh perkelahian antara pengemudi kendaraan
umum dan penumpang yang akhirnya menjadi perti-
kaian antaragama.
13 dan 14 Mei Jakarta dan seki- Kerusuhan rasial yang diikuti dengan penjarahan dan
1998 tarnya pembakaran tempat-tempat bisnis serta pelecehan sek-
sual terhadap perempuan keturunan Cina.
21 Feb. 1999 Sambas, Kaliman- Bermula dari seorang penumpang angkutan umum
tan Barat yang tidak mau membayar, sehingga terjadi perkela-
hian yang melukai sopir dari etnis Dayak yang dilaku-
kan oleh penumpang etnis Madura. Kejadian tersebut
berbuntut pada aksi balas dendam etnis Dayak.
27 Juli 1999 Batam, Riau Pertikaian etnis terjadi akibat rebutan penumpang anta-
ra warga etnis Flores dan warga etnis Batak. Pertikaian
tersebut akhirnya menjadi kerusuhan massa antara
kedua kelompok etnis tersebut.
6 Okt. 2000 Wamena, Irian Jaya Penurunan bendera Bintang Kejora oleh aparat Brimob
yang mengakibatkan kemarahan penduduk asli Papua.
Komunikasi Lintas Budaya 91

Tanggal Lokasi Pemicu


18 Feb. 2001 Sampit, Kalimantan Empat anggota dari keluarga etnis Madura dibunuh.
Tengah Diduga pelakunya orang Dayak. Kemudian, ratusan
etnis Madura menyerang satu keluarga etnis Dayak.
Ribuan warga etnis Dayak bahkan dari pedalaman
memasuki kota dan melakukan pembersihan etnis
Madura.
Sumber: Surat Kabar Kompas, 4 Maret 2001

Setakat ini, usaha untuk membangun bangsa yang multikultural, yaitu kondisi masyarakat yang
memberi apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan kultural, ras, dan etnis (Speight dalam Deetz 1993:
433) atau pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama
dan memberi manfaat satu sama lain (Rogers & Steinfatt 1999:238) masih dalam tahapan mencari
bentuk. Dalam perspektif komunikasi, Robinson (2000) memandang bahwa sebagai bagian dari
masyarakat multikultural, selama ini kita belum melakukan komunikasi lintas budaya yang bermakna,
yang mampu memberi ruang bagi sebuah relasi antarmanusia dalam meminimalkan kesalahan
budaya. Interaksi antarindividu dan antarkelompok budaya selama ini tidak lebih dari komunikasi
yang semu, tidak sungguh-sungguh. Selain itu, tindak komunikasi yang dilakukan cenderung tidak
mencerminkan adanya ketulusan kedua belah pihak, yaitu tidak mengatakan apa yang sebenarnya,
apa yang hidup dalam pikiran dan hatinya. Dalam keadaan demikian, komunikasi sekadar basa-basi.
Komunikasi tidak menyampaikan pesan yang sebenarnya.
Dalam studi komunikasi lintas budaya, ketidaktulusan dalam menjalin interaksi dicerminkan
oleh sebuah konsep yang dikenal dengan ketidakbermaknaan komunikasi (Ting-Toomey 1999:46).
Artinya, ketika melakukan kontak lintas budaya dengan orang lain, aktivitas komunikasinya seperti
automatic pilot yang tidak dilandasi dengan kesadaran dalam berpikir (conscious thinking). Individu
tersebut lebih berada pada tahapan reaktif daripada proaktif. Karena itu, untuk mencapai keadaan yang
bermakna dalam komunikasi lintas budaya, maka seseorang perlu menyadari bahwa ada perbedaan-
perbedaan dan kesamaan-kesamaan dalam diri masing-masing anggota kelompok budaya, perlu
pemahaman pula bahwa pihak-pihak yang berkomunikasi (communicators) merupakan individu-
individu yang unik. Dalam deskripsi yang lebih konkret, Ruben dan Stewart 1998 (dalam Rahardjo,
2005: 12) mengatakan bahwa kebermaknaan dalam komunikasi terjadi ketika seseorang: (1) memberi
perhatian pada situasi dan konteks, (2) terbuka terhadap informasi baru, dan (3) menyadari adanya
lebih dari satu perspektif
Tuntutan adanya komunikasi lintas budaya yang bermakna mengharuskan perlunya rekayasa
bahasa yang mengarah pada vitalisasi kode, status, dan pendidikan bahasa. Rekayasa bahasa
tersebut diharapkan mampu memberikan fungsi dan perannya dalam menciptakan komunikasi lintas
budaya dalam masyarakat multikuktural. Implementasinya diharapkan tampak terutama dalam ranah
pendidikan yang menghargai pluralisme, demokrasi, dan humanisme. Pada gilirannya diharapkan,
92 Sosiolinguistik

bahwa permasalahan bangsa ini yang timbul karena ketidakmampuan dalam mengelola keberagaman
dapat diminimalkan, karena generasi kita adalah generasi multikultural. Paparan ini mencoba
mengungkap strategi mengembangkan komunikasi lintas budaya dalam masyarakat multikultural
ditinjau dari perspektif sosiolinguistik.

11.2 Realitas Multikultural di Indonesia


Sebelum membahas realitas multikultural kita pahami terlebih dahulu terminologi sosiolinguistik
di dalam tulisan ini. Sosiolinguistik merupakan bidang linguistik yang mengkaji hubungan bahasa
dengan perilaku sosial, the studi of language in social behavior (Hudson, 1996:1). Sosiolinguistik
memfokuskan kajiannya pada hubungan antara bahasa dan faktor-faktor sosial (Fishman 1972;
Wardhaugh 1986; Holmes 1992: 1; Hudson 1996: 1). Bahasa dalam disiplin sosiolinguistik tidak
didekati sebagai struktur formal semata sebagaimana dalam kajian linguistik teoretis, melainkan
didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa
dan masyarakat, yang mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal
bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardhaugh, 1986). Istilah sosiolinguistik
baru muncul pada tahun 1952. Jurnal sosiolinguistik baru terbit pada tahun 70-an, yakni Language
in Society (1972) dan Internasional Journal of Society of Language (1974). Dari kenyataan itu dapat
dimengerti bahwa sosiolinguistik merupakan bidang yang relatif baru.
Multikulturalisme dalam catatan Rogers & Steinfatt (1999:238), merupakan pengakuan bahwa
beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu
sama lain atau pengakuan terhadap pluralisme kultural. Multikulturalisme menghargai dan berusaha
melindungi keragaman budaya (Suryadinata, 2000). Mengacu pada konsep tersebut, dapat kita
katakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultural. Semboyan Bhineka Tunggal Ika
dari buku Sutasoma karya Empu Tantular yang diajarkan kepada kita sedari dini di bangku sekolah
menjadi pembenar ikhwal itu. Dari perspektif linguistik, apabila kita mengacu pada catatan jumlah
bahasa yang ada di Indonesia, kita akan menemukan realitas masyarakat multikultural bangsa kita.
Sebagaimana diketahui, dinamika bahasa selalu memunculkan dialek-dialek yang berbeda-beda.
Bisa dibayangkan jika satu bahasa memiliki sejumlah dialek, maka jumlah ini akan berubah berlipat
ganda. Bahasa Jawa saja, misalnya memiliki dialek Jawa Banyumasan, dialek Joglo, dan dialek Jawa
Timuran. Budayanya pun menjadi varian yang berbeda dari budaya induknya dan belum bahasa-
bahasa etnis di luar Jawa.
Pertemuan antara bahasa Indonesia dengan berbagai dialeknya, bahasa asing, dan bahasa-bahasa
daerah (juga dengan berbagai dialeknya) yang berdasarkan penelitian terus menerus bertambah
jumlahnya, yakni 200 buah berdasarkan peta Esser tahun (1951), menjadi 418 berdasarkan peta
Lembaga Bahasa Nasional atau Pusat bahasa (1972), menjadi 583 menurut Language Atlas of the
Pacific Area (Wurm and Hattori 1984), dan menjadi 698 menurut The Languages of the World
(Grimes, 2000), membuat konstelasi sosiolinguistik di Indonesia menjadi salah satu mozaik situasi
kebahasaan yang paling menarik di dunia.
Komunikasi Lintas Budaya 93

Berbagai topik menarik dapat diangkat melalui situasi itu. Topik-topik menarik yang telah
dijadikan bahan kajian para ahli mengenai situasi kebahasaan di Indonesia itu sangat bemacam-
macam. Sejumlah ahli tertarik merumuskan fungsi dan peranan bahasa daerah dalam hubungannya
dengan bahasa nasional, seperti yang dilakukan oleh Muhajir (1979) dan Lumintaintang (1976) tentang
Dialek Jakarta, Isman (1981) tentang bahasa Minang di Sumatera Barat. Ada pula yang mengamati
masalah pemilihan bahasa-bahasa itu beserta permasalahan-permasalahannya (alih kode, campur
kode, dsb.), seperti yang dilakukan oleh Kumanireng (1983); Suwito (1987); Alimuddin (2003); dan
Rokhman (2003). Sementara itu, pengaruh negatif dan positif yang terjadi akibat pertemuan bahasa-
bahasa itu telah pula dibicarakan oleh sejumlah ahli, seperti Suhardi dkk. (1985) tentang interferensi,
Rusyana (1975), Manurung (1996), Poedjosoedarmo (1970), Sudarmaningtyas (1996), dan Sudjiman
(1986). Topik lain, yakni adanya dominasi satu bahasa terhadap bahasa yang lainnya menjadi fokus
kajian Wijana (2001 dan 2003), Purwo (2000) dan Gunarwan (1994).
Realitas masyarakat multikultural dapat dilihat pula dari adanya permainan bahasa yang hidup
dalam masyarakat kita sebagai akibat kontak antarbahasa. Permainan bahasa adalah eksploitasi unsur
(elemen) bahasa, seperti bunyi, suku kata, bagian kata, kata, frase, kalimat, dan wacana sebagai
pembawa makna atau amanat (maksud) tuturan sedemikian rupa sehingga elemen itu secara gramatik,
semantik, maupun pragmatis akan hadir tidak seperti semestinya (Wijana, 2001). Berikut merupakan
contoh permainan bahasa yang hidup dalam masyarakat multikultural.
(1) Irama Melayu
Melayu Ngalor dan Melayu Ngidul
Golek utangan
(kumpulan kartun Dari Angka sampai Zodiac, hlm 47)
(2) + Sudah lho Mas!
- Apaan, masih togang begini kok dikatakan lomas.
+ Sudah tho Mas, sudah tho Mas!
- Bagaimana kamu ini, aku Tobing kau bilang Thomas.
(Sumber: Humor Mahasiswa)

(3) + Kata orang Jogja: Monumen Jogja Kembali.


- Kata orang Banyumas: Monumen balik maning.
(4) + Kata Orang Betawi: Lapangan Banteng
- Kata orang Tegal: Bulakan sapi lanang.
(5) Turis : Can you sepak English?
Ojek : Hah? Cimanggis Oh, yah, saya tahu, Mister.
Turis : What?
94 Sosiolinguistik

Ojek : Kuat dong, masak ngga kuat nganterin mister.


Turis : How Much?
Ojek : Wah... nama saya bukan Amat tuh, nama saya Paijo, Mister.
Turis : Are youe crazy?
Ojek : Ah, Mister tau aje saya orang Bekasi.
Turis : Allright, okey, lets go...
Ojek : Hah? Yang bener aje, Mister. Masak sejauh itu ceng go?
(Sumber : Mulyana, 2002: 169)

Contoh-contoh tersebut secara sekilas menyiratkan bahwa kontak ketiga bahasa, yakni bahasa
Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Inggris merupakan permainan bahasa dalam masyarakat
multikultural yang menjadi kekayaan budaya. Bahkan, menjadi sumber inspirasi para kartunis,
pembuat teks iklan, atau bahkan para humoris lain di dalam menciptakan karya-karyanya.
Selain bahasa, sastra Indonesia juga dapat menjadi indikator realitas bangsa Indonesia yang
multikultural. Karya sastra bisa menjadi pandangan dunia dan atau cermin latar belakang sosial
penulis. Seringkali penulis mengangkat khazanah budaya yang akrab digaulinya. Penulis mengangkat
tanah kelahirannya sebagai setting penceritaannya. Namun, ada pula sastrawan yang menggali
kekhasan budaya lain untuk bahan tulisannya, meskipun ia bukan dari budaya itu. Dengan kental
dapat terbaca setting budaya di Minang dalam cerpen Robohnya Surau Kami oleh A. A Navis.
Adat tradisi beragama masyarakat Minang bisa dibaca dari cerpen itu. Pengakuan Pariyem karya
Linus Suryadi secara tegas memaparkan pandangan dunia wanita dari kalangan kawulo di Jawa dan
kosmologi budaya Jawa. Demikian Sang Guru karya Gerson Poyk menjelaskan perjalanan seorang
guru di nusantara ini sampai pada perjalanannya di kawasan Indonesia Timur, kawasan asal sang
penulis. Ada juga puisi Taufik Ismail yang meskipun ia berasal dari Sumatra, ia mempuisikan tanah
Sumba sebagai bentuk kerinduan saat ia di Uzbekistan.
Karya sastra-karya sastra itu menunjukkan keanekaragaman budaya yang ada di masyarakat
Indonesia. Meskipun pesan-pesan sastra itu diartikulasikan dalam bahasa Indonesia, gagasan dan
ide kreatif penulis mencerminkan keunikan dan keberagaman latar belakang sosial budaya. Dengan
meninjau realitas multikultural bangsa Indonesia dari segi bahasa dan sastra, tantangan bagi dunia
pendidikan adalah bagaimana membelajarkan anak didik mengelola realitas multikultural itu sesuai
dengan yang diidealkan melalui pembelajaran bahasa.

11.3 Pengembangan Kesadaran Multilingual


Tantangan utama dalam masyarakat yang multikultural dan multilingual adalah tumbuhnya sikap
primordialisme kebahasaan. Ini artinya, akan timbul rasa bahwa kelompok sendiri lebih baik dari
bahasa-bahasa kelompok lainnya. Pada akhirnya, primordialisme kebahasaan semacam ini dapat
menimbulkan berbagai masalah yang sering tidak disadari, seperti tumbuhnya sikap prejudis atau
deskriminasi terhadap bahasa yang digunakan orang lain. Misalnya, penggunaan bahasa yang ada
dalam sinetron di berbagai stasiun televisi. Dalam beberapa kisah sinetron, entah disengaja atau tidak,
Komunikasi Lintas Budaya 95

ada pelabelan terhadap bahasa atau dialek tertentu. Dialek Jawa, Madura, Betawi (bahasa Indonesia
yang berdialek Jawa, Madura, dan Betawi) diidentikkan dengan bahasa-bahasa orang pinggiran yang
berstatus sosial rendah. Ini dapat dilihat dari seringnya dialek-dialek tersebut digunakan oleh peran-
peran yang identik dengan orang-orang pinggiran tersebut seperti pembantu rumah tangga, penjual
sate, dan kelompok masyarakat yang tinggal di tengah-tengah perkampungan kumuh di pinggiran
kota Jakarta. Contoh ini sebenarnya bukan sebuah permasalahan diskriminasi bahasa yang serius.
Namun, persoalan ini akan menjadi serius apabila dibiarkan. Diskriminasi bahasa (aksen dan dialek)
secara terus menerus terjadi terhadap kelompok pengguna bahasa tertentu.
Untuk itu, mengacu pada kondisi seperti di atas, dalam pendidikan multikultural, salah satu
pokok bahasan utamanya adalah membangun kesadaran peserta didik agar mampu melihat secara
positif keragaman bahasa yang ada. Dengan demikian, diharapkan bahwa kelak mereka akan menjadi
generasi yang mampu menjaga dan melestarikan keragaman bahasa yang merupakan warisan
budaya yang tak ternilai itu. Selanjutnya, agar harapan-harapan ini tercapai, tentunya, seorang guru
harus mempunyai wawasan yang cukup yang berkaitan dengan keragaman bahasa ini. Sehingga
nantinya dia mampu memberikan tauladan terhadap peserta didiknya tentang bagaimana seharusnya
menghargai dan menghormati keragaman bahasa atau bahasa-bahasa yang digunakan oleh orang-
orang yang ada di sekitarnya.
Pelarangan penggunaan bahasa tertentu adalah salah satu bentuk diskriminasi kultur yang
seharusnya tidak boleh terjadi. Pelarangan ini pernah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Paling
sedikit ada dua bahasa yang pernah terkena imbas secara langsung dari adanya undang-undang
penggunaan bahasa tertentu ini. Kedua bahasa itu adalah bahasa Tionghoa dan bahasa Inggris.
Diskriminasi terhadap bahasa Tionghoa sudah dapat dirasakan sejak diterbitkannya beberapa
undang-undang penggunaan bahasa Tionghoa yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Undang-
undang tersebut seperti; larangan penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa
Cina (SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/1988). Undang-undang tentang penggantian istilah Tiongkok dan
Tionghoa menjadi Cina (SE Presidium Kabinet RI; SE-06/Pres-Kab/6/1967). Peraturan ganti nama bagi
WNI memakai nama Cina (Presidium Kabinet Ampera RI; Kep. Presidium No. 127/U/Kep/12/1966).
Akibat dari adanya undang-undang ini, para warga keturunan Tionghoa tidak bisa menggunakan
bahasa mereka dalam berbagai aktivitas umum atau sebagai tanda bagi identitas pribadi. Mereka
menggunakan bahasa Tionghoa, baik untuk nama diri atau nama usaha, hanya di dalam keluarga
secara informal. Untuk urusan-urusan formal mereka harus menggunakan nama Indonesia.
Dikriminasi terhadap bahasa Inggris terjadi di akhir Orde Baru berkuasa. Sekitar akhir tahun
1996 pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang digunakannya istilah, kata atau kalimat
berbahasa Inggris untuk tulisan, iklan atau papan nama. Akibat kebijakan ini, masyarakat harus
mengeluarkan biaya ekstra yang tidak dapat dibilang sedikit untuk mengganti papan nama, pamflet,
papan iklan yang sudah mereka buat.
96 Sosiolinguistik

Kedua kebijakan ini lebih memberikan dampak kurang baik. Secara umum, kebijakan yang dida-
sari oleh kepentingan politis ini justru mematikan perkembangan sebagai identitas budaya kelompok
etnis tertentu yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Akibat kebijakan ini, masyarakat kehilangan
kesempatan untuk belajar saling mamahami dan menghargai bahasa orang lain secara alamiah.
Langkah yang seharusnya ditempuh oleh pemerintah dalam menghadapi problematika seperti ini
adalah menghapus undang-undang yang diskriminatif seperti di atas dan menerbitkan undang-undang
baru yang memberikan peluang bagi semua bahasa untuk berkembang secara alami. Pemerintah
dapat membuat undang-undang yang tidak diskriminatif terhadap salah satu bahasa. Undang-undang
yang dapat mengakomodir semua bahasa untuk berkembang. Undang-undang yang mengharuskan
pada pengguna bahasa untuk keperluan tertentu seperti periklanan, papan nama, nama fasilitas publik
untuk memakai beberapa bahasa yang secara umum dipakai di wilayah tersebut. Sebagai contoh, para
pengiklan, pemilik toko dan pengelola gedung swasta atau umum di wilayah Yogyakarta diwajibkan
untuk menggunakan dua bahasa atau lebih; bahasa Indonesia, Inggris, Mandarin, dan Jawa. Dengan
adanya aturan semacam ini, perkembangan beberapa bahasa yang ada di masyarakat tidah terhambat.
Di samping itu, masyarakat juga dapat belajar untuk mengenal dan memahami keragaman bahasa
yang ada di sekitarnya. Dengan langkah seperti ini, diharapkan perkembangan semua bahasa yang
ada di masyarakat dapat berkembang sebagaimana mestinya secara alamiah.

11.4 Pengembangan Komunikasi Lintas Budaya


Rogers & Steinfatt (1999:79) mengatakan bahwa budaya dapat diberi batasan sebagai keseluruhan
cara hidup (the total way of life) yang tersusun berdasarkan pola-pola perilaku, nilai-nilai, norma-
norma, dan objek-objek material yang mereka pelajari dan pertukarkan. Meskipun budaya merupakan
sebuah konsep yang sangat umum, tetapi budaya memiliki efek yang sangat kuat terhadap perilaku
individu, termasuk perilaku komunikasi. Budaya tidak hanya dimiliki oleh kelompok bangsa atau
kelompok etnis, tetapi juga komunitas, organisasi, dan sistem-sistem lain.
Budaya mencakup 3 (tiga) hal penting, yaitu: 1) Istilah budaya merujuk pada keragaman pool
of knowledge, realitas-realitas yanng dipertukarkan, dan norma-norma yang dikelompokkan yang
membentuk sistem-sistem makna yang dipelajari dalam masyarakat partikular; 2) sistem-sistem makna
yang dipelajari tersebut dipertukarkan dan ditransmisikan melalui interaksi sehari-hari di antara para
anggota kelompok budaya dan dari satu generasi ke generasi berikutnya; dan 3) budaya memfasilitasi
kapasitas para anggota untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan eksternal lainnya.
Budaya sebagai komponen esensial dari usaha manusia untuk bertahan hidup (survive) dan
berkembang dalam lingkungan partikular mereka, memiliki beberapa fungsi (Ting-Toomey,1999:12-
15), yaitu:
a. Identity Meaning Function:
Budaya memberikan kerangka referansi untuk menjawab pertanyaan yang paling mendasar dari
keberadaan manusia: Siapa saya? Keyakinan-keyakinan budaya, nilai-nilai, dan norma-norma
Komunikasi Lintas Budaya 97

memberikan titik pijak di mana seseorang dapat memberikan makna dan nilai penting bagi
indentitasnya. Makna indentitas yang didapat dari budaya dikonstruksikan
b. Group Inclusion Function:
Budaya menyajikan fungsi inklusi dalam kelompok yang bisa memuaskan kebutuhan seseorang
terhadap afiliasi keanggotaan dan rasa ikut memiliki. Budaya menciptakan sebuah kawasan yang
nyaman di mana seseorang dapat mengalami inklusi dalam kelompok dan membedakan antara
in-group dengan out-group. Di dalam kelompoknya sendiri, seseorang akan merasakan adanya
keamanan, inklusi, dan penerimaan.
c. Intergroup boundari regulation function:
Fungsi budaya ini membentuk sikap seseorang tentang in-group dan aut-group berkaitan dengan
orang yang secara budaya tidak sama (dissimilar). Sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari
yang mempengaruhi perilaku seseorang. Budaya membantu seseorang untuk membentuk sikap
evaluatif terhadap interaksi in-group dan out-group. Sikap evaluatif bisa memiliki konotasi positif
atau negatif.
d. The Ecological Adaptation Function:
Budaya memfasilitasi proses-proses adaptasi di antara diri (self), komunitas budaya, dan lingkungan
yang lebih besar (misal: milieu ekologis atau habitat). Budaya bukanlah sebuah sistem yang
statis. Ia bersifat dinamis dan berubah. Budaya menyusun sistem reward and punishment yang
jelas meneguhkan perilaku-perilaku non-adaptif tertentu dan memberi sanksi terhadap perilaku-
perilaku non-adaptif sepanjang waktu.
e. The Cultural Communication Function:
Budaya mempengaruhi komunikasi dan komunikasi mempengaruhi budaya. Komunikasi budaya
memberikan seperangkat hal-hal yang ideal tentang bagaimana interaksi sosial dapat dijalankan
dengan lancar di antara individu-individu dalam suatu komunitas. Budaya mengikat orang secara
bersama-sama melalui kode-kode linguistik yang dipertukarkan, norma-norma, dan scripts, yaitu
rangkaian interaksi atau pola-pola komunikasi yang dipertukarkan oleh sekelompok orang dalam
suatu komunitas ajaran.
Mengingat betapa kuatnya hubungan antara kebudayaan dan komunikasi, Edward T. Hall
(1960 dalam Liliwer, 2005: 364) membuat sebuah definisi yang sangat kontroversial. Kata dia
Kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan. Hall sebenarnya bahwa
hanya manusia berbudaya yang berkomunikasi, dan ketika manusia berkomunikasi dia dipengaruhi
oleh kebudayaannya. Manusia menyatakan dan mungkin juga menginterpretasikan kebudayaannya
kepada orang lain, dan sebaliknya, orang lain menginterpretasikan kebudayaan. Kebudayaan memberi
pedoman agar kita dapat memulai (termasuk menafsirkan pesan).
Ungkapan Hall dia atas sama seperti kata Clifford Geertz dalam Emphasizing Interpretation: from
the Interpretation of Cultres (1973), yang berisi tentang etnografi orang Jawa pada 1926 (Liliweri 005:
362). Pendekatan interpreatatif diperlukan untuk memahami kebudayaan manusia dalam konteks
pertemuan antarbudaya (baca: komunikasi lintas budaya, komunikasi antar budaya). Interpretasi
98 Sosiolinguistik

terhadap budaya umumnya merupakan interpretasi simbolik, dan itu tak lain adalah sistem makna
(systems of meaning) yang berkaitan dengan kebudayaan sehingga, menurut Geertz, interpretasi
terhadap budaya akan sangat esensial hanya melalui semiotika. Geertz mengutip ungkapan Max
Webber bahwa manusia adalah makhluk simbol. Manusia menganalisis kebudayaan melalui
pengalaman keilmuannya, lalu mencocokkannya dengan hukum-hukum yang berlaku. Setelah itu,
ia menginterpretasikan kebudayaan melalui penelusuran makna yang, menurut tafsiran saya, dapat
dikomunikasikan lewat proses komunikasi budaya. Perilaku manusia, termasuk perilaku komunikasi
budaya, dapat dipandang sebagai tindakan-tindakan simbolis, seperti tekanan suara dalam percakapan,
warna-warna dalam gambar, garis-garis dalam tulisan, irama musik, yang semuanya berkaitan dengan
bagaimana pola-pola budaya itu tersusun dalam sebuah frame.
Clifford Geertz (dalam Liliweri 2005: 362) merujuk pada kerja antropolog berasumsi bahwa
kebudayaaan ibarat cermin bagi manusia (baca: berkomunikasi mencerminkan kebudayaan
komunikator) Mirror of Man sehingga dia menganjurkan interpretasi terhadap makna budaya
sebagai: (1) keseluruhan pandangan hidup manusia; (2) sebuah warisan sosial yang dimiliki oleh
individu dari kelompoknya; (3) cara berpikir, perasaan, dan mempercayai; (4) abstraksi dari perilaku;
(5) cara-cara sekelompok orang menyatakan kelakukannya; (6) sebuah gudang pusat pembelajaran; (7)
suatu unit standarisasi orientasi untuk mengatasi pelbagai masalah yang berulang-ulang; (8) perilaku
yang dipelajari; (9) sebuah mekanisme bagi pengaturan regulatif atas perilaku; (10) sekumpulan
teknik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan lain dan orang lain; (11) lapisan atau endapan
dari sejarah manusia; dan (12) peta perilaku, matriks perilaku dan saringan perilaku.
Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan, termasuk keadaan sosial-budaya, keadaan psikologi
budaya, berpengaruh terhadap cara-cara seseorang berkomunikasi. Aspek-aspek ini antara lain
merupakan objek yang dipelajari oleh komunikasi lintas budaya maupun komunikasi antarbudaya.
Bagan berikut menunjukkan bahwa A sebagai seorang komunikator berkomunikasi dengan
komunikan B. Kedua peserta mempunyai kebudayaan masing-masing. Komunikator A melakukan
encoding pesan dan mengirim pesan itu kepada B sebagai komunikan, kemudian B melakukan
decoding atas pesan dan menerimanya; B lalu bertindak sebagai komunikator, mengirimkan kembali
pesan itu kepada A. Seluruh proses komunikasi dengan model lingkaran yang diajukan Gudykunst
dan Kim (1997).
Komunikasi Lintas Budaya 99

E encoding of messages, D decoding messages


Gambar 1. Pengaruh kebudayaan terhadap perilaku komunikasi
Beberapa definisi komunikasi lintas budaya berikut ini dapat membantu kita memahami makna
komunikasi lintas budaya. Pertama, pada hakikatnya, sebutan komunikasi lintas budaya (cross
culture) sering mengunakan para ahli untuk menyebut makna komunikasi antarbudaya (interculture).
Perbedaananya barangkali letak pada wilayah geografis (negara) atau dalam konteks rasial (bangsa).
Sebutan ini juga digunakan untuk menyebut dan membandingkan satu fenomena kebudayaan
dengan fenomena kebudayaan yang lain (generally refer to comparing phenomena across cultures),
tanpa dibatasi konteks geografis maupun ras dan etnik, semisal kajian lintas budaya tentang peran
wanita di masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Itulah sebabnya, komunikasi lintas budaya
didefinisikan sebagai analisis perbadingan yang memprioritaskan relativitas kegiatan kebudayaan (a
kind of comparative analysis wich priorities the relativity of cultural activities). Adapun hubungannya
dengan komunikasi multikultural, komunikasi lintas budaya umumnya lebih terfokus pada hubungan
antarbangsa, tanpa harus membentuk kultur baru sebagaimana terjadi dalam komunikasi antarbudaya
(Purwasito 2003).
Kedua, lintas budaya adalah salah satu studi komparatif yang bertujuan untuk membandingkan:
(1) variabel budaya tertentu; (2) konsekuensi atau akibat dari pengaruh kebudayaan, dari dua konteks
kebudayaan atau lebih yang berbeda. Melalui studi atau analisis perbandingan sepeti ini, diharapkan
setiap orang akan dapat memahami kebudayaannya sendiri dan mengakui bahwa ada isu kebudayaan
dominan, yang dimiliki oleh orang lain dalam relasi antarbudaya. Artinya, komunikasi antarbudaya
dapat dilakukan kala kita mengetahui kebudayaan kita dan kebudayaan orang lain.
Ketiga, komunikasi lintas budaya adalah proses komunikasi untuk membandingkan dua
kebudayaan atau lebih melalui sebuah survei lintas budaya, seperti pengaruh lintas budaya terhadap
kerja seniman. Dalam konteks website ini, hubungan antara lintas budaya dan komunikasi ditunjukkan
100 Sosiolinguistik

oleh hubungan antara dua kebudayaan atau lebih, yang secara khusus mempelajari komunikasi
antarindividu dari kebudayaan yang latar belakangnya berbeda.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi lintas budaya adalah
analisis lintas budayasering disebut sebagai analisis komparatif, metode umum yang sering
digunakan para ilmuwan sosial, terutama ilmu komunikasi, untuk melakukan komparasi dan
menguji perbedaan antarbudaya. Metode ini seringkali bersifat krusial untuk membedakan aspek-
aspek universal dari kebudayaan manusia dan organisasi sosial dari sebagian kelompok sosial atau
individu dari masyarakat tertentu. Dengan mengamati atau mengobservasi variasi dalam kebudayaan
dan organisasi sosial secara mendalam, kita, misalnya, dapat mendalami pengembangan individu,
keluarga, gender, kontrol terhadap kejahatan, ketidakseimbangan sosial, dan lain-lain. Atau kita dapat
mengatakan bahwa gagasan dasar dari komunikasi lintas budaya terletak pada: (1) komunikasi antara
orang-orang dan kelompok yang berbeda budaya, yang dipengaruhi oleh perbedaan sikap, sumber
daya, sejarah dan banyak faktor lain; dan (2) proses interpretasi dan interaksi yang dipengaruhi oleh
partisipan dalam komunikasi itu.
Komunikasi lintas budaya sering melibatkan perbedaan-perbedaan ras dan etnis, namun
komunikasi lintas budaya juga berlangsung ketika muncul perbedaan-perbedaan yang mencolok tanpa
harus disertai perbedaan-pebedaan ras dan etnis. Dalam perkembangannya kemudian (Gudykunst
& Kim 1997:19), komunikasi lintas budaya dipahami sebagai proses transaksional, proses simbolik
yang melibatkan atribusi makna antara individu-individu dari budaya yang berbeda. Ting-Toomy
(1999:16-17) menjelaskan, komunikasi lintas budaya sebagai proses pertukaran simbolik di mana
individu-individu dari dua (atau lebih) komunitas budaya yang berbeda menegosiasikan makna yang
dipertukarkan dalam sebuah interaksi yang interaktif.
Usaha untuk menjalin komunikasi lintas budaya dalam praktiknya bukanlah persoalan yang
sederhana. Lewis & Slade (1994:128-130) menguraikan 3 (tiga) kawasan yang paling problematik
dalam lingkup pertukaran lintas budaya, yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai, dan perbedaan pola
perilaku budaya. Kendala bahasa merupakan sesuatu yang tampak, namun hambatan tersebut lebih
mudah untuk ditanggulangi daripada dua hambatan lainnya, karena bahasa dapat dipelajari.
Kendala yang kedua yaitu perbedaan nilai. Menurut Lewis & Slade, perbedaan nilai merupakan
hambatan yang serius terhadap munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua orang yang
berasal dari kultur yang berbeda melakukan interaksi, maka perbedaan-perbedaan tersebut akan
menghalangi pencapaian kesepakatan yang rasional tentang isu-isu yang penting.
Sumber utama ketiga dari kesalahpahaman lintas budaya adalah perbedaan pola-pola perilaku
budaya ini lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan masing-masing kelompok budaya untuk memberi
apresiasi terhadap kebiasaan-kebiasaan (costum) yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya
tersebut. Dalam catatan Lewis & Slade, perbedaan-perbedaan dalam bahasa, nilai-nilai, dan pola-
pola perilaku budaya merupakan sumber kemacetan dalam komunikasi lintas budaya.
Komunikasi Lintas Budaya 101

Usaha untuk mencapai komunikasi lintas budaya yang efektif, di samping dihadapkan pada ketiga
sumber kemacetan seperti yang diuraikan di atas, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor penghambat
(inhibitors), yaitu etnosentrisme, stereotip, dan prasangka. Etnosentrisme merupakan tingkatan di
mana individu-individu menilai budaya orang lain sebagai infirior terhadap budaya mereka (Rogers
& Steinfatt 1999:50; Lewis & Slade 1994:131; Samovar dkk. 1981:123). Prasangka merupakan
sikap yang kaku terhadap suatu kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau prakonsepsi yang
keliru, juga dapat dipahami sebagai penilaian yang tidak didasari oleh pengetahuan atau pengujian
terhadap informasi yang tersedia (Rogers dan Steinfatt 1999:55; Lewis dan Slade 1994:131; Samovar
dkk. 1981:123). Stereotip merupakan generalisasi tentang beberapa kelompok orang yang sangat
menyederhanakan realitas.
Komunikasi lintas budaya yang bermakna dapat dikembangkan ketika masing-masing pihak
yang menjalin kontak atau interaksi dapat meminimalkan kesalahpahaman budaya, yaitu usaha
untuk mereduksi perilaku etnosentris, prasangka dan stereotip. Di samping itu kebermaknaan dalam
komunikasi lintas budaya juga akan tercapai apabila kedua belah pihak dapat mengelola dengan baik
kecemasan dan ketidakpastian yang dihadapi.
Ketidakpastian dan kecemasan merupakan sebab-sebab mendasar dari kegagalan komunikasi
lintas budaya. Namun demikian, ketidakpastian dan kecemasan tidak selalu berkonotasi negatif.
Kemampuan untuk mengelola ketidakpastian dan kecemasan justru akan memberikan motivasi
kepada individu-individu dalam usaha mereka untuk mengurangi kesalahpahaman budaya. Dengan
demikian, jalinan komunikasi lintas budaya antara kedua belah pihak akan berlangsung dengan lebih
baik.
Gudykunst menggunakan istilah komunikasi efektif (effective communication) untuk merujuk pada
proses meminimalkan kesalahpahaman. Teoretis lain memakai beragam istilah untuk menyampaikan
gagasan yang sama seperti komunikasi efektif, yaitu accuracy, fidelity, atau undestanding. Menurut
Gudykunst, komunikasi efektif antara individu-individu yang berbeda latar belakang budaya bukan
dipahami karena terciptanya keakraban, berbagi sikap yang sama, atau bahkan berbicara yang
jelas, tetapi komunikasi efektif lebih dicerminkan apakah kedua belah pihak dapat secara akurat
mempredeksikan dan menjelaskan perilaku masing-masing. Triandis (dalam Gudykunst & Kim,
1997:250) menegaskan bahwa efektifitas dalam komunikasi (lintas budaya) merupakan usaha untuk
menciptakan apa yang disebutnya sebagai isomorphic attributions, yaitu penetapan kualitas atau
karateristik terhadap sesuatu supaya menjadi sama.
Gudykunst dan Kim (1997) menyebutkan 4 (empat) tataran dari kompetensi komunikasi, yaitu:
a) Unconscious incompetence. Seseorang salah mengiterpretasikan perilaku orang lain dan tidak
menyadari apa yang sedang ia lakukan.
b) Conscious in competence. Seseorang mengetahui bahwa ia salah menginterpretasikan perilaku
orang lain, namun ia tidak melakukan sesuatu.
102 Sosiolinguistik

c) Conscious competence. Seseorang berpikir tentang (kecakapan) komunikasinya dan secara terus
menerus berusaha mengubah apa yang ia lakukan supaya menjadi lebih efektif.
d) Unconsious competence. Seseorang telah mengembangkan kecakapan komunikasinya.
Ketidakpastian dan kecemasan merupakan sebab-sebab mendasar dari kegagalan komunikasi
dalam situasi lintas budaya. Menurutnya, dua sebab kesalahan interprestasi tersebut saling berkaitan.
Ketidakpastian bersifat kognitif, sedangkan kecemasan bersifat efektif. Ketidakpastian merupakan
pikiran, sementara kecemasan merupakan perasaan. Pengalaman menunjukan bahwa ketidakpastian
dan kecemasan berkaitan dengan tingkat perbedaan kultur dari in-group dengan budaya dari the
strangers. Dalam pernyataan hipotesis : semakin lebar kesenjangan budaya, maka semakin tinggi
tingkat ketidakpastian dan kecemasan yang dialami oleh setiap orang (Rahardjo, 2005).
Kecemasan dan ketidakpastian tidak selalu bermakna buruk. Menurut Gudykunst, kecemasan
dan ketidakpastian yang rendah akan menghindarkan individu-individu dari kemalasan dan
kebosanan. Kecemasan dan ketidakpastian justru akan memotivasi mereka untuk berkomunikasi
dengan lebih baik. Namun, bila kemalasan dan kebosanan sudah melewati batas ambang, maka
kecemasan dan ketidakpastian akan menjadi penyebab kegagalan komunikasi. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan mengalami penurunan dan peningkatan dalam
suatu pertemuan lintas budaya. Faktor-faktor tersebut adalah motivasi, pengetahuan, dan kecakapan
(Wiseman dalam Gudykunst & Mody (ed.) 2002:211-212).
Motivasi merujuk pada seperangkat perasaan, kehendak, kebutuhan, dan dorongan yang
diasosiasikan dengan antisipasi atau keterlibatan dalam komunikasi lintas budaya. Faktor-faktor seperti
kecemasan, jarak sosial yang dipersepsikan, etnosentrisme, dan prasangka dapat mempengaruhi
keputusan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Jika ketakutan, ketidaksukaan, dan
kecemasan yang lebih menonjol, maka seseorang akan mempunyai motivasi yang negatif, dan ia
akan menghindari interaksi dengan orang lain, sedangkan pengetahuan merujuk pada kesadaran atau
pemahaman terhadap informasi yang diperlukan dan tindakan-tindakan supaya seseorang memiliki
kompetensi secara lintas budaya. Komunikator yang berpengetahuan membutuhkan informasi tentang
orang, aturan-aturan komunikasi, konteks, harapan-harapan normatif yang mengatur interaktif dengan
anggota dari budaya lain. Kecakapan merujuk pada kinerja perilaku yang sebenarnya yang dirasakan
efektif dan pantas dalam konteks komunikasi.
Faktor-faktor motivasi, pengetahuan, dan kecakapan, oleh Gudykunst disebut sebagai kompetensi
komunikasi (lintas budaya) yang secara konseptual diberi arti sebagai kecakapan-kecakapan (skills)
yang dibutuhkan oleh satu pihak untuk berkomunikasi dengan pihak lain yang berbeda latar
belakang budayanya. Dalam definisi lain dikemukakan bahwa kompetensi komunikasi lintas budaya
merupakan kemauan untuk menegosiasikan makna antarpribadi dalam konteks lintas budaya.
Kecakapan-kecakapan tersebut diperlukan untuk mencapai komunikasi lintas budaya yang mindful
(Lewis & Slade 1994:137; Dodd 1998:173; Jandt 1998:41).
Komunikasi Lintas Budaya 103

Gudykunst & Kim (1997:252-253) mengatakan bahwa paling tidak ada dua pandangan mengenai
sifat kompetensi. Pandangan pertama menegaskan bahwa kompetensi itu within the communicator;
sedangkan pandangan kedua berpendapat bahwa kompetensi itu betwen the comunicators. Young
Yun Kim yang mewakili pandangan pertama menjelaskan bahwa kompetensi komunikasi lintas
budaya seharusnya ditempatkan di dalam diri seseorang sebagai kapasitas atau kapabilitas orang
tersebut untuk memfasilitasi proses komunikasi antara individu-individu dari latar belakang budaya
yang berbeda dan guna memberi kontribusi bagi keberhasilan interaksi. Kompetensi komunikasi lintas
budaya dipertimbangkan sebagi kondisi yang necessary, tetapi tidak sufficient. Pandangan kedua
mengenai kompetensi mengasumsikan bahwa penilaian tentang kompetensi muncul dari interaksi
yang melibatkan kedua belah pihak. Pandangan satu pihak tentang kompetensi komunikasinya tidak
akan sama dengan pandangan pihak lain ketika mereka berkomunikasi. Karena itu, pemahaman
mengenai kompetensi komunikasi minimal mempersyaratkan satu pihak untuk mempertimbangkan
perspektif dirinya sendiri dan perspektif orang lain. Dengan kata lain, kompetensi bukanlah sesuatu
yang intrinsik melekat dalam perilaku seseorang.
Dalam pandangan Jandt (1998:41-44), komunikasi lintas budaya yang bermakna membutuhkan
4 (empat) kecakapan, yaitu kekuatan kepribadian (personality strength), kecakapan-kecakapan
komunikasi (comunication skills), penyesuaian psikologis (psychological adjustment) dan kesadaran
budaya (cultural awareness). Sifat kepribadian (personality traits) yang mempengaruhi komunikasi
lintas budaya adalah konsep diri (self-consept), pengungkapan diri (self-disclosure), pemantauan diri
(self monitoring), dan relaksasi sosial (social relaxation). Konsep diri merujuk pada suatu cara di
mana seseorang memahami dirinya sendiri. Pengungkapan diri merujuk pada keinginan individu-
individu untuk secara terbuka dapat mengungkapkan informasi tentang diri mereka kepada orang
lain. Pemantauan diri merujuk pada penggunaan informasi komparasi sosial guna mengontrol dan
melakukan modifikasi terhadap presentasi diri dan perilaku ekspresif. Kemudian, relaksasi sosial
merupakan kemampuan untuk mengurangi tingkat kecemasan dalam berkomunikasi.
Individu-individu perlu memiliki kompetensi dalam perilaku verbal maupun nonverbal mereka.
Kecakapan-kecakapan komunikasi lintas budaya mempersyaratkan kecakapan-kecakapan yang
berkaitan dengan pesan (behavioral flexibility), menajemen interaksi (interaction management), dan
kecakapan-kecakapan sosial (social skills).
Kecakapan-kecakapan yang berkaitan dengan pesan merujuk pada kemampuan untuk memahami
dan menggunakan bahasa serta umpan balik. Keluwesan berperilaku merujuk pada kemampuan
memilih sebuah perilaku yang sesuai dalam konteks yang berbeda-beda. Manajemen interaksi
adalah mengelola aspek-aspek prosedural dari suatu percakapan, seperti misalnya kemampuan untuk
memprakarsai suatu percakapan. Manajemen interaksi memberi penekanan pada kemampuan untuk
berorientasi kepada orang lain dalam suatu percakapan, seperti misalnya memberi perhatian yang
penuh (attentiveness) dan bersikap responsif (responsiveness). Sementara itu kecakapan-kecakapan
sosial terekspersikan dalam bentuk empati dan pemeliharaan identitas. Empati adalah kemampuan
104 Sosiolinguistik

untuk berpikir (think) dan merasakan (feel) sama seperti yang dilakukan orang lain. Pemeliharaan
identitas adalah kemampuan untuk memelihara identitas mitra interaksi dengan mengkomunikasikan
kembali pemahaman yang akurat tentang identitas orang tersebut. Dengan kata lain, komunikasi
dengan beragam orang dalam situasi yang berbeda.
Komunikator-komunikator yang efektif harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
baru. Mereka harus dapat mengatasi perasaan gegar budaya (culture shock) seperti frustasi, stress,
dan alienasi dalam situasi-situasi ambigu yang disebabkan oleh lingkungan yang baru.
Bagan berikut menggambarkan model hubungan antar komponen dalam komunikasi yang
bermakna.

Gambar 2. Model komunikasi lintas budaya yang bermakna


Supaya memiliki kompetensi dalam komunikasi lintas budaya, maka individu-individu harus
memahami kebiasaan-kebiasaan sosial dan sistem-sistem sosial dari host culture. Memahami
bagaimana orang berpikir dan berperilaku merupakan sesuatu yang essensial untuk berkomunikasi
secara efektif dengan mereka. Dalam perspektif sosiolinguistik, untuk kompetensi tersebut digunakan
terminologi kompetensi komunikatif (communicative competence) seperti yang dikembangkan
Komunikasi Lintas Budaya 105

oleh Canale 1993, dan Calce-Murcia et al 1995. Seseorang agar dapat melakukan komunikasi yang
bermakna dalam berbagai konteks sosio-kultural memerlukan kompetensi komunikatif yang meliputi:
kompetensi linguistik, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana, dan kompetensi strategis.
Kompetensi linguistik meliputi penguasaan aturan-aturan kebahasaan, baik dalam menggunakan
bahasa lisan maupun tulis. Kompetensi sosiolinguistik mengacu pada aturan-aturan sosiokultural dan
menggunakan aturan wacana. Kompetensi wacana mengacu pada kemampuan memadukan bentuk-
bentuk gramatikal dan makna agar tercipta teks lisan maupun tulis yang utuh dalam berbagai laras.
Kompetensi strategis digunakan dalam bentuk tindak tutur untuk menyampaikan maksud tutur secara
strategis untuk meningkatkan efektivitas komunikasi.

11.5 Implikasi Multikultural bagi Pembelajaran Bahasa


Pembelajaran bahasa dalam perspektif sosiolinguistik dipandang sebagai aras dalam rekayasa
bahasa (language enginering). Rekayasa bahasa dapat didefinisikan sebagai upaya yang disengaja
untuk memfungsikan (ragam) bahasa (lokal, nasional, regional, global) untuk memenuhi tujuan
politik. Dapatlah dikatakan bahwa rekayasa bahasa merupakan mekanisme fungsionalisasi bahasa
dalam suatu masyarakat, sehingga dengan bahasa tersebut sekelompok orang memiliki akses terhadap
kekuatan politik dan sumber-sumber ekonomi. Dengan rekayasa bahasa inilah kelompok tertentu
membangun hegemoni dalam penggunaan bahasa. Kajian rekayasa bahasa lazim difokuskan pada
tiga topik utama, yaitu status, korpus, dan pemerolehan (Periksa Cooper: 1989).
Rekayasa korpus bahasa merujuk pada kegiatan terencana dalam pembuatan istilah, pembaruan
ejaan, atau adopsi sistem tulisan. Singkatnya: kreasi, modifikasi, atau seleksi kode bahasa baik lisan
maupun tulisan. Rekayasa status bahasa atau alokasi fungsionalisasi bahasa merujuk pada pengakuan
pemerintah akan suatu (ragam) bahasa relatif terhadap (ragam) bahasa lainnya. Peningkatan jumlah
pemakaian bahasa tertentu adalah rekayasa status. Sebaliknya peningkatan jumlah pemakai, pembelajar,
pembaca, dan penulis bahasa tertentu adalah rekayasa pemeroleh (penguasaan). Penyebaran bahasa
atau language spread adalah realisasi rekayasa status bahasa maupun pemerolehan bahasa. Dengan
demikian, pembelajaran bahasa dapat dianggap sebagai bagian dari rekayasa pemerolehan bahasa.
Berikut dipaparkan implikasi multikulutural dalam pembelajaran bahasa.
Pertama, pendekatan komunikasi lintas budaya melalui kesadaran multikultural dapat
dikembangkan sebagai alternatif dalam pembelajaran bahasa. Dengan pendekatan ini diharapkan
sejak usia dini anak didik diproyeksikan pada kearifan berbahasa yang pada giliranya meniscayakan
mereka memiliki kepekaan multikulturalisme yang berkelindan di lingkungan kita masyarakat
Indonesia.
Kedua, pembelajaran bahasa yang berupaya mengarusuta-makan multikulturalisme tidak cukup
dengan kompetensi gramatikal semata. Kompetensi ini perlu dilengkapi dengan kompetensi kearifan
berbahasa. Bahasa sebagai sumber daya dalam model pembelajaran bahasa berbasis kompetensi, dan
berkaiatan pula dengan pengembangan bakat dan kemampuan kebahasaan (language competence)
anak Indonesia pada masa peka bahasa, pembenahan sistem bahasa sebagai kesadaran kolektif dan
106 Sosiolinguistik

kekayaan kognisi, selayaknya ditujukan utuk mencapai kemampuan performance yang gramatikal,
sosial dan kultural, menghadirkan parole yang layak dan komunikatif (Mbete, 2003). Ini berarti
pula, pengembangan kemampuan ekspresif sebagai penunjang kebahasaan peserta didik menjadi
sangat penting. Pembelajaran bahasa sebagai kegiatan sosial-kultural didasarkan asumsi dasar bahwa
siswa dikaruniai bakat (talenta) kebahasaan, untuk menguasai lebih dari satu bahasa, khususnya pada
masa peka bahasa. Pada masa usia belajar bahasa itu, lingkungan sosial menunggalkan bahasa
yang dipelajari, apalagi hanya membelajarkan bahasa Indonesia dan atau bahasa Inggris saja, atau
juga hanya membelajarkan bahasa daerah saja, lingkungan sosial dan sekolah itu telah mengerdilkan
jiwanya, mematikan bakat kebahasaan anak, dan telah pula memperkosa hak kultural dan hak
lingual anak sebagai jabaran dari hak berkembang dan hak hidup anak.
Ketiga, pembelajaran bahasa selain mengasah kognitif harus mengasah ranah afektif. Berbahasa
tidak mengindikasikan kenormalan logika dan berpikir penutur, berbahasa juga merupakan indikasi
moral. Cara berbahasa dan isi bahasa penutur akan senantiasa disorot berdasarkan etika yang berlaku.
Bisa jadi konvensi budaya yang menentukan moralitas berbahasa berbeda. Satu ungkapan di etnis
tertentu dianggap biasa namun di etnis lain bisa jadi kasar dan keras. Tidak kalah pentingnya dari cara
menyampaikan adalah isinya. Seorang penutur yang bisa berbicara kurang santun akan mencitrakan
buruk diri penutur. Kebiasaan berbahasa yang kasar dan kurang santun ternyata berdampak pada
sikap mental. Untuk itu, pembelajaran bahasa di sekolah selain menargetkan kompetensi kognitif,
sangat perlu mengajarkan tata krama berbahasa dalam komunikasi lintas budaya. Ada maksim
berbahasa yang bisa diterjemahkan dalam pembelajaran. Maksim-maksim ini adalah kesantunan
(politeniss prinsiple) berbahasa: (1) maksim yang berusaha menghormati orang lain, (2) kemurahan,
maksim yang berusaha mendahulukan kepentingan orang lain, (3) kecocokan, maksim yang berusaha
mencari kecocokan dengan orang lain, tidak mudah bersilang pendapat, (4) simpatis, maksim yang
berusaha mengembangkan rasa simpati pada orang lain, dan (5) kerendahhatian, maksim yang
berusaha menghormati orang lain.
Kempat, pembelajaran bahasa hendaknya dikembangkan dengan pendekatan kontekstual.
Pembelajaran-pembelajaran bahasa perlu dikaitkan dengan konteks yang ada, baik konteks verbal
maupun konteks nonverbal. Dengan pembelajaran yang kontekstual, anak didik akan terbiasa peka
dengan situasi, suasana pembicaraan, lawan bicara dan penutur lain.
Kelima, pembelajaran bahasa perlu dipahami sebagai modalitas penjalin dunia. Kiranya tidak
ada yang dapat mengelak bahwa dunia, realitas alam itu menjadi bermakna bagi manusia ketika telah
bernama. Dengan kemampuan penamaan inilah manusia melakukan proses mengetahui. Bahasa
manusia menjadi simbol yang digunakan menamai alam, realitas yang diketahui manusia. Nama-
nama itu membantu manusia mengategorikan, memetakan dari realitas yang lain. Demikian pula
peristiwa-peristiwa sejarah sosial, ekonomi, politik semua dapat terindentifikasi manakala manusia
memberi nama. Dengan kemampuan menamai inilah sesungguhnya membantu manusia memainkan
keterampilan intelektualnya dalam mempersepsi, mengonsepsi, mencerna, mengindentifikasi.
Atas dasar proses penamaan, kiranya semua pengetahuan manusia terhadap objek pengetahuan
Komunikasi Lintas Budaya 107

itu disandarkan. Pembelajaran ini tidak sekadar menghafal ejaan, menghafalkan formula-formula
gramatikal, tetapi mengajarkan peserta didik mengecek penamaan, mengontruksi ide, memverifikasi
definisi-definisi yang mereka dapatkan sehari-hari dalam konteks komunikasi.

--o0o--
108 Sosiolinguistik
Daftar Pustaka 109

DAFTAR PUSTAKA

Agheyisi, Rebecca dan Joshua A. Fishman. 1970 Language Attitude Studies: A Brief Survey of
Methodological Approaches. Anthropological Linguistics 12: 137-157.
Alimuddin, 2003. Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Mandar: Studi Kasus Masyarakat Mandar di
Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Tesis S2, Program pasca
Sarjana UGM.
Ammon, Ulrich, Norbert Dittmar, dan Klaus J. Mattheier, ed. 1987 Sociolinguistics (dua jilid). Berlin:
Walter de Gruyter.
Baker, Colin. 1992. Attitudes and Language. Clevedon: Multilingual Matters.
Brown, H.D. 1993. TESOL at Twenty-fivw: What are the Issues? In Sandra Silbersten (Ed), Stated of
Art: TESOL Essays. Bloomington: Pantagraph Printing.
Brown, H.D. 1987 Principles of Language Learning and Teaching. Englewood Cliffs: Prentice Hall
Regents.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguitik Perkenalan Awal. Edisi Revisi. Jakarta:
Rineka Cipta
Canale, M. dan M. Swain, 1980. Theoretical bases of communicative approaches to second language
teaching and learning. Applied Linguistics 1.1.
110 Sosiolinguistik

Canale, Michael. 1983. From Communicative Competence to Communicative Language Pedagogy,


dalam Ricards dan Schmidt ed. Language and Communication. London: Longman, 2-27.
Celce-Murcia, M. Dornyei, Z. Thrurrell. S. 1995. Communicative Commpetence: A Pedagogically
Motivated Model with Content Specification, Issues in Applied Linguistics, 6/2, 5-35).
Chomsky, Noam. 1965 Aspect of the Theory of Syntax. Cambridge: The MIT Press.
Cooper, Robert L. 1989. Language Planning and Social Change. New York: Cambridge University
Press.
Corder, S. Pit. 1975. Introducing Applied Linguistics. Victoria: Penguin Books.
Cunningsworth. 1995 Choosing Your Course Book Oxford : Heineman
Deprez, Kas dan Yves Persoons. 1987 Attitude. Di dalam Ammon, Dittmar, dan Mattheier 1987:
125-152.
Dittmar, Norbert. 1976 Sociolinguistics. London: Edwar Arnold
Dodd, Carley H. 1998. Dynamics of Intercultural Communition (Fifth Edition). McGraw-Hill, New
York..
Dornyei, Zalton. 1997. Conceptualizing Motivating in the Foreign Language Learning. Language
Learning, 40: 1, Marc, hlm 45-78.
Dryden, Gordon & Voss, Jeannette (1999), the Learning Revolution: to Change the Way the World
Learns, (Torrance, California, USA: The Learning Web).
Dubin, Fraida and Olshtain Elite. 1997. Developing Programs and Materials for Language Learning.
New York. Cambridge University Press.
Eastman, Carol. 1983. Language Planning. San Francisco: Chandler and Sharp.
Edwards, John R. 1985 Language, Society, and Identity. Oxford: Basil Blackwell.
Fasold, Ralph. 1984 The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.
Fasold, Ralph. 1990 The Sociolinguistics of Language. Oxford: Basil Blackwell.
Finocchiaro, Mary and Brumfit, Chistopher. 1983. The Functional-National Approach: From Theory
to Practice. New York: Oxford University Press.
Fishbein, M. dan Ajzen, I. 1975 Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory
and Research. London: Wesley Publishing, Company.
Fishman, Joshua A. 1972 The Sociology of Language. Rowley: Newbury House.
Foley, Wiliam A. 2001. Anthropological Linguistics: An Introduction: Blackwell.
Daftar Pustaka 111

Gardner, Robert C. dan Wallace E. Lambert. 1972 Attitudes and Motivation in Second Language
Learning. Rowley, Mass.: Newbury House Publishers.
Griffin. A Firts 2000. Look At Communication Theory (Fourth Edition). McGraw-Hill, New York..
Grimes, Barbara. 2000. Languages of the World. Ethnologue. Dallas: Wycliffe Bible Translator.
Gudykunst, William B. 2002. Issues in Cross-Cultural Communication Research, dalam William
B. Gudykunst, Bella Mody (ed.), Handbook of International and Intercultural Communication
(Second Edition), Thousand Oaks, California, SAGE Pubications, Inc.,
Gudykunst, William B.& Young Yun Kim. 1997. Communication With Strangers, An Approuch to
Intercultural Communication (Third Edition). Mc-Graw-Hill, New York.
Gumperz, John dan Hymes, Dell (eds.). 1972 Direction in Sociolinguistics. New York: Holt, Rinehart,
and Winston.
Gumperz, John J. 1982. Language and Social Identity. London: Cambridege University Press.
Gunarwan, Asim. 1994. The Encroachment of Indonesian upon the Home Domainof the Lampung
Language Use: A Case Study of a Minor Language Shift. Makalah. Konferensi Internasional VII
Linguistik Austronesia, Leiden 22-27 Agustus.
Gunarwan, Asim. 1995. Kepatutan Ujaran di dalam Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa
Asing. Makalah pada Kongres Internasional BIPA 95 di Universitas Indonesia.
Hamid, Fuad Abdul, 1997. Faktor Pembelajaran dan Pemerolehan Bahasa: Kerangka dan Realita.
Makalah pada Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma Jaya Kesebelas di
Jakarta.
Holmes, Janet. 1992 An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman.
Hudson, R.A. 1996 Sociolinguistics (Second Edition). Cambridge: Cambridge University Press.
Hymes, Dell. 1971. On communicative competence. Dalam Pride J.B. dan Janet Holmes (ed).
Sociolinguistics. Middlesex: Penguin Books.
Hymes, Dell. 1972. On Communicative Competence. In J.B. Pride and J. Holmes (eds):
Sosiolinguistics. Harmondsworth: Penguin.
Isman, Jakob. 1983. Kedudukan Bahasa Indonesia dan Bahasa Minang di Sumatera Barat. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Jandt, Fred E. 1998. Intercultural Communication, An Introduction (Second Edition). Thousand Oaks,
California, SAGE Pubications, Inc.
Kartomihardjo, Soeseno. 1981. Ethnography of Communicative Codes in East Java. Disertasi, Pasific
Linguistics, Series D, No. 39, The Australian National University, Canberra.
112 Sosiolinguistik

Kartomihardjo, Soeseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Depdikbud.


Khashen, Stephen D. 1988. Second Language Acquisition and Second Language Learning. New
York: Prentice Hall.
Krech, David, Richard S. Crutcifld, dan Egerton L. Ballachey. 1982. Individual in Society. Barkley:
Mc. Graw-Hill Kogakusha, Ltd.
Kumanireng, Thress. 1983. Diglossia in Larantuka, Flores: A Study about Language Use and Language
switching among the Larantuka Community: Third Internasioan Conference on Austronesian
Linguistics. Denpasar.
Lambert, E. Wallace. 1972 Language, Psychology, and Culture. Disunting oleh Anwar S. Dil. Stanford:
Stanford University Press.
Lambert, E. Wallace. 1972 Language, Psychology, and Culture. Disunting oleh Anwar S. Dil. Stanford:
Stanford University Press.
Lanur, Alex. 1993. Hubungan Antarpribadi, dalam Majalah Filsafat Driyarkara, Th. XIX No. 2.
Lembaga Bahasa Nasional. 1972. Peta-Peta Bahasa Indonesia: Jakarta: Pusat Bahasa.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. London: Cambridge University Press.
Lewis, Glen, Christina Slade. 1994. Critical Communication. Australia, Prentice Hall.
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur.
Yogyakarta: LKiS.
Litlewood, W. 1984. Foreign and Second Language Learning: Language Acquisition Research and Its
Implications for The Classroom. Cambridge: Cambridge Univeristy Press.
Littlejohn, Stephen W. 1999. Theories of Human Communication (Sixth Edition). Belmont, California,
Wadsworth Publishing Company.
Lumintaintang. Yayah B. 1976. Fungsi dan Pemakaian Dialek Jakarta di SMA Jakarta: Pusat Bahasa.
Manurung, Barita S. 1996. The Interference of Indonesian Language as the Student First Language
in Learning of English. dalam Simposium Internasional Ilmu-ilmu Humaniora III. Fakultas Sastra
UGM.
Mbete, Aron Meko. 2003. Bahasa dan Budaya Lokal Minoritas: Asal-Muasal, Ancaman Kepunahan,
dan Ancaman Pemberdayaan dalam Kerangka Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan Universitas
Udayana. Orasi Ilmiah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Linguistik
Fakultas Sastra Universitas Udayana tanggal 25 Oktober 2003.
Mey, Jacob L. 1993. Pragmatics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishers.
Daftar Pustaka 113

Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1988 Qualitative Data Analysis. Terjemahan Tjetjep
Rohendi Rohidi. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.
Muhadjir. 1979. Fungsi dan Kedudukan Dialek Jakarta. Jakarta: Pusat bahasa.
Mulyana, Deddy. 2002. Komunikasi Jenaka. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia
Nunan, David. 1991. Design Task for Communicative Classroom. New York: Cambridge Languange
Teaching Library.
Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan
Kebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc.
Oppenheim, A.N.1976 Questionnaires Design and Attitude Measurement. London Heinemann.
Parera, J.D. 1996. Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar Bahasa: Landas pikir landas teori. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Parker, Frank. 1996. Linguistics for Non-Linguists. London: Routledge & Kegan Paul.
Pateda, Mansoer. 1992. Sosiolinguitik. Bandung: Angkasa.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1976. Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Balai Penelitian UGM.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1970. Javanese Influenece on Indonesia. Ithaca. Corenell University
Press.
Purwo, Bambang Kaswanti. 2000. Bangkitnya Kebhinekaan Dunia Linguistik dan Pendidikan. Jakarta:
Mega Media Abadi.
Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahadjo, Turnomo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultural: Minfulness dalam Komunikasi Antaretnis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Renadya, Willy A. 1996. Motivation Integratif and Instrumental: Sejauhmana Relevansinya dalam
Pembelajaran Bahasa Inggris. Makalah Pada Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atmajaya X
di Unika Jakarta 17-18 Agustus 1996.
Robinson, Kathryn. 2000. Ketegangan Antaretnis, Orang Bugis Indonesia dan Masalah Penjelasan,
dalam Jurnal Antrologi Indonesia, No.63 Tahun XXIV, September-Desember.
Rogers, Everett M., Thomas M. 1999. Steinfatt. Intercultural Communication. Illinois, Waveland
Press, Inc.,
Rokhman, Fathur et al. 1998. Model Pengembangan Sikap Integratif dan Instrumental Santri terhadap
Bahasa Inggris: Studi Sosiolinguistik di Pesantren Modern Jawa Tengah. Laporan Penelitian BBI
(Dua Tahap). IKIP Semarang.
114 Sosiolinguistik

Rokhman, Fathur. 1996 Sikap Bahasa Santri: Studi Sosiolinguistik Di Pesantren Al-Ihsan Beji
Banyumas. Tesis Universitas Indonesia.
Rokhman, Fathur. 1996 Sikap Bahasa Santri: Studi Sosiolinguistik Di Pesantren Al-Ihsan Beji
Banyumas. Tesis Universitas Indonesia.
Rokhman, Fathur. 2003. Pemilihan Bahasa Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosolinguistik di
Banyumas. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Rusyana, Yus. 1975. Interferensi Morfologi pada Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Anak-anak
yang Berbahasa Pertama Bahasa Sunda Murid Sekolah Dasar di Daerah Propinsi Jawa Barat.
Disertasi. Universitas Indonesia.
Sadtono, E. 1996. Wanted: Good Language Learners. Keynote paper presented at the TEFLIN Regional
Seminar, Universitas Sebelas Maret, March 1-2, 1996.
Samovar, Larry A., Richard E. Porter, Nemi C. Jain. 1981. Understanding Intercultural Communication.
Belmont, California, Wadsworth Publishing Company.
Savignon, Sandra. 1983. Communicative Competence: Theory and Classroom Practice. Massachusetts:
Addison Wesley Publishing.
Savile-Troike, M. 1982. The ethnography of communication.Oxford: Basil Blackwell.
Sudarmaningtyas, Erna R. 1996. Interferensi Fonologis dan Gramatikal Bahasa Madura dalam bahasa
Indoenesia di Kabupaten Jember. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
Sudjiman, Panuti. 1986. Unsur Gramatikal Asing dalam Bahasa Nasional di Indonesia. Majalah
Pembinaan Bahasa Indonesia. Th. 7. No. 1. Jakarta: Bhatara.
Suhardi, Basuki. 1993 Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif Atas Sekelompok Sarjana dan
Mahasiswa di Jakarta. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Suhardi, I Dewa Putu Wijana, Widya Kirana. 1982. Interferensi Leksikal Bahasa Jawa dalam Bahasa
Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Suryadinata, Leo. 2002. Indonesian State Policy toward Ethnic from Assimilation to Multicultural?
Dalam Simposium Internasional III. Jurnal Antropologi Indonesia 2002, Universitas Udayana
Bali.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda bekerja sama dengan Pustaka
Pelajar.
Suwito, 1987. Berbahasa dalam Situasi Diglosik: Kajian tentang Kendala Pemilihan dan Pemilahan
Bahasa di dalam Masyarakat Tutur Jawa di Tiga Kelurahan Kotamadya Surakarta. Disertasi.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Templeton, S. 1988. Teaching the Integrated languange Art. Boston: Houghton Mifflin Company.
Daftar Pustaka 115

Ting-Toomey, Stella. 1999. Communicating Across Cultures. New York, The Guilford Publications,
Inc.
Triandis, Marry C. 1971 Attitude and Attitude Change. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Trosborg, Anna. 1982. Stimulating interaction in the foreign language classroom through conversation
in small groups of learners. Dalam Singleton, D.M. dan D.G. Little (ed). Language learning in
formal and informal contexts. Dublin: IRAAL.
Trosborg, Anna. 1982. Stimulating interaction in the foreign language classroom through conversation
in small groups of learners. Dalam Singleton, D.M. dan D.G. Little (ed). Language learning in
formal and informal contexts. Dublin: IRAAL.
Trudgill, Peter. 1975 Accent Dialect and the School. London: Edward Arnold.
Wardaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolonguistics, Oxford: Basil Balackwell.
Wiseman, Richard L. 2002. Intercultural Communication Competence, dalam William B. Gudykunst,
Bella Mody (ed.) Handbook of International and Intercultural Communication (Second Edition).
Thousand Oaks, California, SAGE Publications, Inc.
Wurm, Stephen & Hattori, Shiro. 1984. Language Atlas Facific Area. Pacific Language. C 66.
Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural: Crosd-Cultural Understanding untuk Demokrasi
dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
116 Sosiolinguistik

Anda mungkin juga menyukai