Anda di halaman 1dari 27

3.

1 Dampak Ekonomi Pabrik Pengolahan Dan Pemurnian Nikel

Sesuai amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral


dan Batubara, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi
wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam
negeri sebagai bagian dari upaya meningkatkan nilai tambah mineral
dan/atau batubara (Pasal 102 dan Pasl 103 ayat (1)). Khusus untuk mineral
nikel, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun
2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan
Pengolahan dan Pemurnian Di Dalam Negeri, menjelaskan bahwa mineral
nikel wajib dimurnikan terlebih dulu sebelum dijual ke luar negeri. Ini berarti
mineral nikel harus diekspor dalam bentuk logam, bukan konsentrat. Oleh
karena itu, pembangunan smelter nikel di Kabupaten Mimika Provinsi
Papua akan menghasilkan logam nikel dalam bentuk nikel mate, logam
paduan, logam nikel, dan lain-lain. Dengan adanya rencana pembangunan
pabrik pengolahan (smelter) nikel di Kabupaten Mimika Provinsi Papua
akan memberikan dampak, baik positif maupun negatif, bagi wilayah
tersebut. Dampak positif dari rencana pembangunan pabrik pengolahan
dan pemurnian nikel terhadap ekonomi dan sosial di Kabupaten Mimika
Provinsi Papua secara langsung akan mengakibatkan meningkatnya
kegiatan perekonomian dan pembangunan daerah termasuk masyarakat di
dalamnya, sehingga akan menyebabkan:

1. meningkatnya perekonomian daerah berupa peningkatan Produk


Domestik Regional Bruto (PDRB)
2. bertambahnya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan
(meningkatnya lapangan pekerjaan)
3. adanya peningkatan pendapatan setiap rumah tangga
4. adanya pengaruh keterkaitan dari kegiatan ekonomi backward
linkage (pengaruh keterkaitan kebelakang) maupun forward lingkage
(pengaruh keterkaitan ke depan).

Adapun dampak negatif yang mungkin muncul adalah:


1. kehilangan pendapatan sementara dari sektor pertambangan
karena berhentinya kegiatan tambang, hingga pabrik pengolahan
selesai dan produksi dimulai (comissioning)
2. terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sementara hingga pabrik
pengolahan selesai, sehingga terdapat angka pengangguran
terhadap tenaga kerja langsung dan tidak langsung untuk
sementara.
3. laju pertumbuhan ekonomi bawah terhambat disebabkan CSR/
Comdev dari yang selama ini diperoleh dari perusahaan tambang
untuk sementara berhenti
4. untuk sementara terjadi keresahan sosial dari masyarakat yang
selama ini hidup tergantung dari pekerjaan tambang
5. terganggunya pasar dunia yang selama ini tergantung kepada bahan
mentah Indonesia.
4.1.1. Dampak terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Bruto (PDB) adalah jumlah nilai tambah barang


dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha ekonomi dalam
suatu negara selama satu tahun, termasuk hasil produksi dan jasa yang
dihasilkan perusahaan/orang asing yang berada di negara
bersangkutan. Sedangkan pengertian Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa akhir yang
dihasilkan oleh seluruh unit usaha ekonomi dalam wilayah / kabupaten
/ kota / provinsi selama satu tahun, termasuk hasil produksi dan jasa
yang dihasilkan perusahaan/ orang asing yang berada di wilayah
bersangkutan. PDB maupun PDRB, baik atas dasar harga berlaku
maupun atas dasar harga konstan, merupakan indikator penting untuk
mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode
tertentu.

a) PDB maupun PDRB atas dasar berlaku menggambarkan nilai


tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang
berlaku pada setiap tahun untuk mengetahui pergeseran dan struktur
ekonomi wilayah/kabupaten/kota/provinsi/negara bersangkutan;

b) PDB maupun PDRB atas dasar harga konstan menggambarkan


nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang
berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar untuk mengetahui
pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun wilayah / kabupaten / kota /
provinsi / Negara bersangkutan.

Perhitungan Produk Regional Bruto

Ada 3 (tiga) pendekatan untuk menghitung PDB maupun PDRB, yaitu:

1. Metode Nilai Produksi

Untuk menghitung pendapatan nasional dengan menjumlahkan dari


seluruh nilai tambah barang dan jasa yang dalam 1 tahun. Apabila dalam 1
tahun ada 100 barang dan jasa, maka 100 barang dan jasa tersebut harus
dikalikan dengan harga satuannya masing-masing, kemudian dijumlahkan.
Untuk menghitung PDB/PDRB dengan pendekatan ini dapat dirumuskan :

Y = ((Q1 X P1) + (Q2 X P2) + (Qn X Pn) )

Keterangan :

Y = Besaran PDB/PDRB

Q = kuantitas

P = harga

Jumlah output masing-masing sektor merupakan jumlah output seluruh


perekonomian. Ada kemungkinan output yang dihasilkan suatu sektor
perekonomian berasal dari output sektor lain atau dapat juga merupakan
input bagi sektor ekonomi yang lain lagi. Jika tidak berhati-hati akan terjadi
penghitungan ganda (double counting) bahkan multiple counting. Akibatnya
angka PDB bisa sangat besar sekali dari angka sebenarnya. Untuk
menghindari hal tersebut, maka dalam perhitungan PDB dengan metode
nilai produksi, yang dijumlahkan adalah nilai tambah (value added) masing-
masing sektor.

2. Metode Pengeluaran / Konsumsi

Untuk menghitung pendapatan nasional dengan metoda pengeluaran atau


konsumsi yaitu dengan menjumlahkan seluruh pengeluaran yang dilakukan
seluruh rumah tangga ekonomi / pelaku Ekonomi (RTK, RTP, RTG, RT Luar
Negeri) dalam suatu Negara selama satu tahun. Untuk menghitung
PDB/PDRB dengan pendekatan ini dapat dirumuskan :

Y = C + I + G + (X M)

Keterangan :

Y = Besaran PDB/PDRB

C = Household Consumption

I = Investment Expenditure

G = Government Expenditure

X = Ekspor

M = Impor

a. Pengeluaran RT Konsumen/Masyarakat (Household consumption)


Pengeluaran rumah tangga dipakai untuk konsumsi akhir, baik barang dan
jasa yang habis dalam tempo setahun atau kurang (durable goods) maupun
barang yang dapat dipakai lebih dari setahun/barang tahan lama (non-
durable goods) untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga seperti membeli
beras/lauk pauk/bayar listrik dan lain-lain.

b. Pengeluaran RT Perusahaan (Investment Expenditure)

Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) merupakan


pengeluaran sektor dunia usaha (perubahan stok, baik berupa barang jadi
maupun barang setengah jadi). Ada dua macam pengeluaran RT
Perusahaan (Investment Expenditure):

1) Investasi untuk pembelian modal tetap (investasi gedung/ mesin).

2) Investasi untuk pembelian persediaan (investasi bahan baku/bahan


setengah jadi dan bahan jadi).

Dalam metoda penghitungan berdasarkan Pengeluaran = Pengeluaran


Perusahaan & Pengeluaran Pemerintah disatukan dalam komponen
pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) dan komponen
perubahan stok.

c. Pengeluaran RT Pemerintah (Government Consumption) / G

Pengeluaran Pemerintah yang digunakan untuk membeli barang dan jasa


akhir (government expenditure). Sedangkan pengeluaran-pengeluaran
untuk tunjangan-tunjangan sosial tidak masuk dalam perhitungan konsumsi
pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat, ada dua macam
pengeluaran RT pemerintah:

1) Pengeluaran untuk konsumsi (perlengkapan dan peralatan kantor/ bayar


gaji pegawai).

2) Pengeluaran untuk investasi (bangun jembatan/irigasi/ pembangkit


listrik/jalan, dan lain-lain).

d. Ekspor Neto (Net Export)/selisih nilai ekspor dengan impor

Ekspor neto yang positif menunjukkan ekspor lebih besar daripada impor.
Perhitungan ekspor neto dilakukan bila perekonomian melakukan transaksi
dengan perekonomian lain (dunia). Ekspor (menjual barang ke LN sehingga
nilainya perlu diperhitungkan), Impor (membeli barang ke LN sehingga
nilainya tidak perlu diperhitungkan dalam pendapatan nasional). Yang
harus diperhitungkan adalah Ekspor Netonya [X - M].

3. Metode Pendapatan
Untuk menghitung pendapatan nasional dengan metode pendapatan
adalah dengan menjumlahkan seluruh pendapatan (sewa/rent, gaji/wage,
bunga/interest, keuntungan/profit) yang diterima pemilik faktor produksi
(pemilik tanah/gedung, tenaga kerja, pemilik modal/uang/aset, pengusaha)
dalam suatu negara selama satu tahun.

Y=R+W+I+P

Keterangan :

Y = Besaran PDB/PDRB

R = Pendapatan rent

W = Pendapatan wage

I = Pendapatan interest

P = Pendapatan profit

Dari ketiga metoda perhitungan pendapatan nasional tersebut, maka


dengan metoda pengeluaran yaitu:

Y = C + I + G + (X M)

dapat dihitung dampak adanya pembangunan pabrik pengolahan dan


pemurnian nikel di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, terhadap
peningkatan pendapatan regional daerah tersebut. Sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel 4.2, seluruh rencana pembangunan pabrik pengolahan
dan pemurnian nikel yang berjumlah 20 perusahaan akan menanamkan
modalnya dalam bentuk investasi sebesar USD5.904,9 juta atau setara Rp
84 triliun lebih (kurs rupiah per Oktober 2015 sebesar Rp14.250/1 USD) dan
Rp1 triliun lebih, sehingga total investasi dari seluruh smelter berjumlah
Rp85,23 triliun. Dengan rencana pembangunan seluruh smelter tersebut
selesai antara tahun 2016 2018, maka rata-rata investasi selama tiga
tahun mencapai Rp28,41 triliun. Dengan demikian, keberadaan pabrik
pengolahan dan pemurnian nikel di Kabupaten Mimika Provinsi Papua akan
memberikan dampak positif yang sangat besar bagi pengembangan
wilayah daerah tersebut dalam bentuk meningkatnya pendapatan regional
Kabupaten Mimika Provinsi Papua setelah berjalannya pabrik pengolahan
dan pemurnian mulai tahun 2016 sebesar jumlah investasi yang
ditanamkan oleh pabrik tersebut, yaitu sebesar:

Y = C + I (Rp 28.409.941.666.000/Rp 28,41 triliun) + G + (X M)


Sebagaimana diketahui, PDRB Kabupaten Mimika Provinsi Papua
berdasarkan harga konstan tahun 2010, pada tahun 2012 tercatat sebesar
Rp59,78 triliun dengan jumlah penduduk sebanyak 2.345.465 jiwa, maka
pendapatan perkapita sebesar Rp25.489.785. Di tahun 2013, pendapatan
regional meningkat menjadi Rp64,27 triliun dengan jumlah penduduk
sebanyak 2.369.713 jiwa dan pendapatan perkapita sebesar
Rp26.817.472. Pada tahun 2014, pendapatan regional meningkat lagi
menjadi Rp68,30 triliun dengan jumlah penduduk sebanyak 2.448.081 jiwa
dengan pendapatan per kapita sebesar Rp27.898.883.

Dengan adanya investasi dari pabrik pengolahan dan pemurnian selama


tahun 2016 2018 rata-rata sebesar Rp28,41 triliun, maka PDRB
Kabupaten Mimika Provinsi Papua pada tahun 2016 meningkat menjadi
Rp68.298.724,30 juta + investasi pabrik (Rp28.409.941,66 juta) =
Rp96.708.665,96 juta (Rp 96,71 triliun). Tahun 2017 meningkat menjadi
Rp96,71 triliun + Rp28,41 triliun = Rp125,12 triliun. Pada tahun 2018,
setelah seluruh pabrik selesai, akan meningkat lagi menjadi Rp125,12 triliun
+ Rp28,41 triliun = Rp153,53 triliun.

4.1.2. Dampak terhadap Tenaga Kerja (SDM)

Kesempatan kerja secara tidak langsung berkaitan dengan pendapatan


nasional/PDB atau pendapatan regional/PDRB. Tingginya jumlah pekerja
akan menyebabkan naiknya PDRB. Makin banyak barang dan jasa yang
dihasilkan karena besarnya angkatan kerja, makin tinggi PDRB wilayah
tersebut, yang memungkinkan dilakukannya tabungan yang selanjutnya
dapat digunakan untuk investasi, selanjutnya investasi akan memperbesar
kesempatan kerja. Masalah lain yang berkaitan dengan PDRB dan
kesempatan kerja adalah tingkat produktivitas tenaga kerja wilayah
tersebut. PDRB Kabupaten Mimika Provinsi Papua akan naik jika terjadi
peningkatan angkatan kerja juga peningkatan produktivitas tenaga kerja di
wilayah tersebut. Hal sebaliknya, pengangguran kerja secara tidak
langsung berkaitan juga dengan PDRB. Tingginya jumlah pengangguran di
wilayah bersangkutan akan menyebabkan turunnya PDRB. Makin banyak
pengangguran makin sedikit barang dan jasa yang dihasilkan, makin kecil
PDRB wilayah tersebut, yang memungkinkan tabungan wilayah tersebut
makin kecil, selanjutnya pendapatan untuk investasi juga menurun, dan
akan memperkecil peluang kesempatan kerja.
Selama kurun waktu 2009-2014 angkatan kerja di Kabupaten Mimika
Provinsi Papua meningkat rata-rata setiap tahunnya sebesar 1,71%. Pada
tahun 2009 tenaga kerja di Kabupaten Mimika Provinsi Papua berjumlah
998.195 jiwa dan meningkat menjadi 1.085.509 jiwa pada tahun 2014.

Dengan adanya pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di Provinsi


Sulawesi, memberikan dampak positif dengan adanya penyerapan tenaga
kerja mulai tahun 2015 sebanyak 8.104 jiwa dan akan terus meningkat
setiap tahunnya sesuai dengan dimulainya operasi pabrik pengolahan dan
pemurnian nikel di wilayah tersebut. Sehingga jumlah tenaga kerja di
Provinsi Sulwesi Tenggara pada tahun 2015 berjumlah 1.085.509 jiwa +
8.104 jiwa menjadi 1.093.613 jiwa, dan akan terus meningkat sesuai
dengan rencana penyelesaian pabrik pengolahan.

4.1.3. Dampak terhadap Pendapatan Rumah Tangga (RTK)

Menghitung pendapatan nasional dengan memakai metoda


pendapatan, yaitu dengan menjumlahkan seluruh pendapatan yang
diperoleh oleh faktor-faktor produksi antara lain dengan menjumlahkan
seluruh pendapatan sewa yang diterima oleh faktor produksi pemilik
gedung/tanah ditambah dengan penjumlahan seluruh gaji atau seluruh
pendapatan rumah tangga yang diterima oleh faktor produksi tenaga kerja
ditambah penjumlahan bunga (interest) yang diterima faktor produksi
pemilik modal/aset ditambah penjumlahan seluruh keuntungan yang
diterima pemilik faktor produksi Pengusaha dalam suatu negara selama
satu tahun, yang dirumuskan:

Y=R+W+I+P

Keterangan :

Y = Besaran PDB/PDRB

R = Pendapatan rent

W = Pendapatan wage

I = Pendapatan interest

P = Pendapatan profit

Oleh sebab itu rencana pembangunan pabrik pengolahan dan


pemurnian nikel di Kabupaten Mimika Provinsi Papua yang berjumlah 20
perusahaan, berdasarkan analisis sebelumnya akan meningkatkan
pendapata PDRB Kabupaten Mimika Provinsi Papua (Y).

Berdasarkan analisis sebelumnya, adanya investasi dari pabrik


pengolahan dan pemurnian selama tahun 2016 2018 rata-rata sebesar
Rp28,41 triliun, sehingga PDRB Kabupaten Mimika Provinsi Papua pada
tahun 2016 meningkat menjadi Rp68,3 miliar + investasi pabrik (Rp28.41
triliun = Rp96.71 triliun. Tahun 2017 meningkat menjadi Rp96,71 triliun +
Rp28,41 triliun = Rp 125,12 triliun. Dan pada tahun 2018, setelah seluruh
pabrik selesai, meningkat menjadiRp125,12 triliun + Rp28,41 triliun =
Rp153,53 triliun.

Dengan meningkatnya PDRB (Y) dari Rp68,30 triliun (2014) menjadi


Rp153,53 triliun (2018), maka peningkatan PDRB di Kabupaten Mimika
Provinsi Papua akibat beroperasinya pabrik smelter nikel akan memberikan
dampak positif dari sisi pendapatan rumah tangga, yaitu meningkatkan
pendapatan/gaji yang diterima rumah tangga atau pendapatan/gaji yang
diterima faktor produksi tenaga kerja.

Ada beberapa aspek yang dapat meningkatkan pendapatan rumah


tangga atau pendapatan yang diperoleh oleh tenaga kerja akibat
meningkatnya PDRB di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, yang secara
langsung adalah meningkatnya UMR (upah minimum regional) yang akan
berubah setelah selesainya pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di
wilayah tersebut. Aspek kedua, yang juga dapat meningkatkan pendapatan
rumah tangga/tenaga kerja, adalah peningkatan upah karena adanya
peningkatan keahlian yang diberikan tenaga kerja, yang biasanya sebagai
tenaga kerja buruh yang bekerja pada sektor pertambangan penghasil
bahan mentah, menjadi tenaga kerja yang berkeahlian (profesional) yang
bekerja pada sektor pertambangan penghasil bahan olahan.

Peningkatan pendapatan Produk Domestik Regional Bruto di


Kabupaten Mimika Provinsi Papua dapat meningkatkan pendapatan rumah
tangga atau pendapatan gaji yang diterima oleh tenaga kerja di wilayah
tersebut dapat dirumuskan, sebagai berikut:

Y (meningkat) = R (meningkat) + W (meningkat) + I (meningkat) + P


(meningkat)

dengan peningkatan secara fluktuatif dimana salah satu indikator bisa tidak
meningkat dan indikator yang lain meningkat lebih besar. R = pendapatan
rent/sewa dari pemilik tanah/bangunan, W = pendapatan wage/gaji dari
rumah tangaga/tenaga kerja, I = pendapatan interest/bunga dari pemilik
modal/aset, P = pendapatan profit/laba dari pengusaha/pemilik
enterpreneur/ kewirausahaan.

4.1.4. Backward Linkage (Keterkaitan Ke Belakang) dan Forward


Linkage (Keterkaitan Ke Depan)
Menurut Hirscman, dalam sektor produksi mekanisme pendorong
pembangunan (inducement mechanism) yang tercipta sebagai akibat
adanya hubungan antara berbagai industri dalam menyediakan barang-
barang yang digunakan sebagai bahan mentah dalam industri lainnya
dibedakan menjadi dua macam, yaitu pengaruh keterkaitan ke belakang
(backward linkage effects) dan pengaruh keterkaitan ke depan (forward
linkage effects).

Pengaruh keterkaitan ke belakang adalah tingkat rangsangan yang


diciptakan oleh pembangunan suatu industri terhadap perkembangan
industri-industri yang menyediakan input (bahan baku) bagi industri
tersebut, sedangkan pengaruh keterkaitan ke depan adalah tingkat
rangsangan yang diciptakan oleh pembangunan suatu industri terhadap
perkembangan industri-industri yang menggunakan produk industri yang
pertama sebagai input (bahan baku) mereka.

Setiap industri membutuhkan hubungan atau keterkaitan dengan


industri lainnya dalam mewujudkan keberlanjutan industrinya. Kebutuhan
bahan mentah, pertukaran informasi, dan proses pemasaran menjadi faktor
dalam keterkaitan antar industri. Hal inilah yang disebut linkage industri.

Dalam menyediakan barang-barang yang digunakan sebagai bahan


mentah dalam industri lainnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu
keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan
(forward linkage). Keterkaitan ke belakang merupakan keterkaitan yang
terjadi ketika suatu industri menyebabkan pertumbuhan industri-industri
lainnya yang menyediakan input (bahan baku) bagi industri tersebut,
sedangkan keterkaitan ke depan merupakan keterkaitan yang terjadi ketika
barang produksi dari suatu industri digunakan sebagai input (bahan baku)
bagi industri yang lain.

Di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, salah satu industri yang


mempunyai backward dan forward linkage adalah industri pemurnian nikel.
Dalam keterkaitan ke belakang (backward linkage), industri pengolahan
nikel yang sangat dominan berpengaruh atau dipengaruhi oleh sektor
penambangan dan penggalian (kesiapan jumlah bijih nikel sebagai input
bahan baku industri pengolahan sebesar 12,494 juta ton dibanding produksi
saat ini yang hanya mencapai 9,493 juta ton), selanjutnya industri listrik
gas dan air bersih, infrastuktur jalan dan jembatan, konstruksi,
perdagangan, hotel & restoran, pengangkutan, komunikasi, perbankan, dan
industri jasa.

Dalam keterkaitannya ke depan (forward linkage), sifatnya sangat


meluas dan terkait dengan begitu banyak industri lainnya. Industri
pemurnian nikel terkait dengan industri nikel katoda, nikel mate, dan NPI,
dan logam nikel. Masing-masing industri tersebut kemudian akan terkait
lagi dengan industri lainnya hingga menjadi produk barang jadi baik berupa
industri besi baja slab, industri besi baja billet, nikel platting, nikel paduan.
Dari industri tersebut terkait lagi dengan industri peralatan rumah tangga,
industri pembuatan kapal, industri konstruksi, industri elektronik, dan lain-
lain.

4.2. Dampak terhadap Pengembangan Masyarakat Sekitar Smelter

Pengembangan masyarakat merupakan bagian dari Corporate Social


Responsibility (CSR), yaitu bentuk kontribusi perusahaan untuk
keberlangsungan kehidupan masyarakat di sekitar proyek, baik secara
sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat. Menurut World Bank, CSR
adalah komitmen dari bisnis untuk berkontribusi bagi pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas kehidupan
sehingga berdampak baik bagi bisnis sekaligus baik bagi kehidupan sosial.
Para pengamat bisnis juga mengartikan CSR sebagai bentuk komitmen
usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan
berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan
kualitas hidup karyawan beserta keluarganya, masyarakat lokal, dan
masyarakat secara lebih luas.
Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan
perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi aspek
keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan (disebut triple bottom line).
Sinergi dari tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Upaya CSR yang berkelanjutan
dimaksud untuk mendorong dunia usaha lebih etis dalam menjalankan
aktivitasnya agar tidak berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan
hidupnya, sehingga pada akhirnya dunia usaha akan dapat bertahan secara
berkelanjutan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang menjadi tujuan
dibentuknya dunia usaha.

Tanggung jawab sosial perusahaan memberikan implikasi positif bagi


peningkatan kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan
pembangunan pemerintah, memperkuat investasi dunia usaha, serta
semakin kuatnya jaringan kemitraan antara masyarakat, pemerintah
dengan dunia usaha (Wahyudi, I., 2008). Tanggung jawab sosial
perusahaan merupakan strategi bisnis yang dapat digunakan untuk
menjaga kelangsungan hidup suatu perseroan, termasuk perusahaan
pembangunan smelter nikel di Kabupaten Mimika Provinsi Papua. Dalam
hal ini, terdapat tiga komponen yang harus diperhatikan oleh perseroan
yaitu (Widjaja, G., 2008):

1) Sustainability Ekonomi

Dalam melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan,


perusahaan wajib memenuhi tujuan dasarnya, yaitu mencari keuntungan.
Perusahaan akan dapat menjaga sustainability sosial dan lingkungan jika
perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan. Bisnis perusahaan smelter
terkait dengan beberapa hal, antara lain: pasokan bahan baku, pengolahan
dan pemurnian hasil tambang, konstribusi terhadap pendapatan negara
baik dari pajak maupun PNBP, serta penguatan fiskal pemerintah Pusat dan
Daerah.
2) Sustainability Sosial

Berdirinya sebuah perusahaan ditengah masyarakat tentunya akan


membawa dampak tertentu pula bagi masyarakat setempat. Sustainability
sosial terkait dengan upaya perusahaan dalam mengutamakan nilai-nilai
yang tumbuh di masyarakat.

3) Sustainability Lingkungan

Perusahaan seringkali dipandang memiliki andil yang besar dalam


terjadinya global warming. Program CSR merupakan investasi bagi
perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability)
perusahaan. Hal ini berarti CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost
center) melainkan sebagia sentra laba (profit center) di masa mendatang
(Widjaja A.T, 2008).

Limbah B3 yang dihasilkan dari proses produksi smelter harus sesuai


dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni zero waste
melalui 3R (reuse, recycle, recovery). Hal yang penting adalah masyarakat
sekitar jangan hanya dikasih limbahnya saja, tapi program CSR dan
pengembangan masyarakat smelter harus diberikan.

Pelaksanaan CSR di bidang pertambangan mineral dan batubara di


Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara
lain: UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor
19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dan UU Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pengaturan CSR di antara
undang-undang yang ada saat ini tidak seragam. UU Nomor 25 Tahun 2007
mewajibkan seluruh penanam modal melaksanakan program CSR
perusahaan, sedangkan UU Nomor 40 Tahun 2007 hanya mewajibkan
korporasi yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Pengaturan sumber pembiayaan CSR juga masih belum seragam.
Menurut Pasal 88 UU Nomor 19 Tahun 2003, dana CSR diambil dari laba
bersih perusahaan yang berarti bukan merupakan biaya bagi perusahaan,
sedangkan menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 74 ayat (2), sumber pembiayaan CSR wajib dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya bagi perseroan. Dengan disahkannya UU
Nomor 40 Tahun 2007, pelaksanaan CSR oleh perseroan yang sebelumnya
merupakan tanggung jawab nonhukum berubah menjadi tanggung jawab
hukum (liability).

CSR sebagai tanggung jawab sosial perusahaan harus dimaknai bukan


lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus
dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan
sanksi. Tanggung jawab sosial perusahaan dalam konteks penanaman
modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis
yang tidak etis (Sukarmi, 2013). Berkaitan dengan biaya CSR, UU Nomor
36 Tahun 2008, yang merupakan perubahan keempat atas UU Nomor 7
Tahun 1983, telah mengakomodasikannya dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i
sampai m, yang mengatur jenis-jenis sumbangan sehubungan dengan
tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat dibiayakan oleh perusahan,
yaitu: sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional,
penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, pembangunan
infrastruktur sosial, fasilitas pendidikan serta pembinaan olahraga yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini berarti semakin
banyak biaya terkait CSR yang boleh menjadi pengurang penghasilan bruto
yang diatur dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008.

Pengaturan lebih lanjut biaya CSR diatur melalui PP Nomor 93 Tahun


2010 yang memuat persyaratan yang cukup ketat bagi perusahaan yang
memperoleh insentif perpajakan terkait biaya CSR, yaitu: hanya
perusahaan/Wajib Pajak yang telah memperoleh keuntungan secara fiskal
yang dapat membebankan biaya tanggung jawab sosial perusahaan
(memperoleh insentif pajak penghasilan). Wajib Pajak yang belum
memperoleh keuntungan secara fiskal (menurut laporan SPT Tahunan)
tindak memperoleh insentif PPh atau tidak dapat membebankan biaya-
biaya terkait pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan.

Adanya perlakukan yang berbeda terhadap Wajib Pajak yang


berkomitmen melaksanakan tanggung jawab social perusahaan dalam
rangka memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 74 UU
Nomor 40 Tahun 2007 dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak dalam
membayar pajak (tax compliance) dan bahkan dapat mendorong Wajib
Pajak untuk melakukan upaya penghindaran pajak (tax avoidance). Adanya
kewajiban bagi perseroan untuk menganggarkan biaya CSR pada awal
tahun berdampak adanya ketidakpastian apakah memperoleh insentif pajak
atau tidak, tergantung kinerja perseroan pada akhir tahun. Penelitian yang
dilakukan Spicer, Song, dan Yarbrough menemukan hubungan yang
signifikan antara tax fairness dan tax evasion, dimana ketika pembayar
pajak menganggap bahwa sistem pajak adalah adil maka tingkat
penghindaran pajak (tax avoidance) akan berkurang, atau dengan kata lain
pembayar pajak semakin patuh dalam membayar pajaknya.

Program CSR berdampak positif bagi masyarakat tergantung kepada


orientasi dan kapasitas perusahaan smelter, dan terutama pemerintah
(Pusat dan Daerah) sebagai pengelola sumber daya alam. Orientasi dan
kapasitas perusahaan smelter sangat ditentukan oleh sejauh mana
pemahamannya terhadap CSR sebagai salah satu investasi social untuk
keberlangsungan bisnisnya, yaitu:

1) Meningkatkan citra perusahaan. Melakukan kegiatan CSR,


konsumen dapat lebih mengenal perusahaan sebagai
perusahaan yang selalu melakukan kegiatan yang baik bagi
masyarakat.
2) Memperkuat citra (brand) perusahaan. Melalui kegiatan
memberikan product knowledge kepada konsumen dengan cara
membagikan produk secara gratis, dapat menimbulkan
kesadaran konsumen akan keberadaan produk perusahaan
sehingga dapat meningkatkan citra perusahaan.
3) Mengembangkan kerja sama dengan para pemangku
kepentingan. Melaksanakan kegiatan CSR, perusahaan tentunya
tidak mampu mengerjakan sendiri, jadi harus dibantu dengan
para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah,
masyarakat, dan universitas lokal. Maka perusahaan dapat
membuka relasi yang baik dengan para pemangku kepentingan
tersebut.
4) Membedakan perusahaan dengan pesaingnya. Jika CSR
dilakukan sendiri oleh perusahaan, perusahaan mempunyai
kesempatan menonjolkan keunggulan komparatifnya sehingga
dapat membedakannya dengan pesaing yang menawarkan
produk atau jasa yang sama.
5) Menghasilkan inovasi dan pembelajaran untuk meningkatkan
pengaruh perusahaan. Memilih kegiatan CSR yang sesuai
dengan kegiatan utama perusahaan memerlukan kreativitas.
Merencanakan CSR secara konsisten dan berkala dapat memicu
inovasi dalam perusahaan yang pada akhirnya dapat
meningkatkan peran dan posisi perusahaan dalam bisnis global.

Studi Bank Dunia (Lawrence, 2003) menunjukkan peran pemerintah


terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan
pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR,
menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk
Indonesia, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah,
kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat
mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi
hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan
keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan
sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR.
Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi
fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah
memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan
bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat
mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok
lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses
manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain. Intinya
manfaat CSR bagi masyarakat yaitu dapat mengembangkan diri dan
usahanya sehingga sasaran untuk mencapai kesejahteraan tercapai.

Dampak pengembangan masyarakat sekitar smelter ditelusuri


berdasarkan perpajakan di atas dapat dikelompokan sebagai berikut:

1) Pelaksanaan CSR tanpa melalui lembaga tidak mendapat insentif


Pajak kepada Wajib Pajak

Pelaksanakan program CSR secara langsung dengan


menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan
bantuan/sumbangan ke masyarakat tanpa melalui lembaga resmi tidak
dapat membebankan biaya yang dikeluarakan (tidak memperoleh insentif
pajak). Pasal 2 PP Nomor 93 Tahun 2010 mengatakan bahwa perusahaan
yang mengeluarkan biaya CSR agar dapat membebankan biaya yang
dikeluarkan harus memenuhi syarat bahwa lembaga yang menerima
sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali
badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam
UU Nomor 36 Tahun 2008. Dari sisi Pajak Pertambahan Nilai, korporasi
yang melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dengan
memberikan barang kena pajak hasil produk perusahaan secara langsung
ataupun melalui lembaga resmi harus membayar PPN sebesar 10% dari
nilai barang yang diserahkan yang dikategorikan sebagai PPN atas
pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena
Pajak sebagaimana diataur dalam Pasal 1A ayat (1) huruf d UU Nomor 42
Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM.
2) Penggunan dana CSR untuk lingkungan hidup memperoleh insentif
pajak.

Perusahaan dalam menerapkan CSR yang berkaitan dengan lingkungan


hidup dan proses produksi, yang meliputi pengendalian polusi dalam
menjalankan operasi bisnis, pencegahan dan perbaikan kerusakan
lingkungan akibat pemrosesan sumber daya alam dan konversi sumber
daya alam. Dilihat dari ketentuan pajak penghasilan sebagaimana diatur
dalam UU Nomor 36 tahun 2008 pasal 6 ayat (1) berbunyi biaya
pengolahan limbah merupakan biaya yang dapat dikurangkan sebagai
pengurang Penghasilan Kena Pajak. Untuk perusahaan yang bergerak di
sektor pertambangan pada Pasal 9 ayat (1) huruf c butir 5 diatur bahwa
pembentukan atau pemupukan dana cadangan biaya reklamasi untuk
usaha pertambangan dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak.
Terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai, pembelian material yang
merupakan Barang Kena Pajak untuk membangun fasilitas pengolahan
limbah tetap terutang PPN. Demikian juga atas pembayaran jasa atau
imbalan dalam pembangunan fasilitas pengolahan limbah akan terhutang
PPh Pasal 21/Pasal 26 atau Pasal 23/Pasal 26 UU Nomor 36 Tahun 2008.

3) Praktek CSR dalam bentuk pemberian hasil produk secara cuma-


cuma tidak memperoleh insentif pajak.

Perusahaan yang melakukan promosi dengan membagi-bagikan


produknya sebagai sampel di masyarakat, berdasarkan UU Nomor 36
Tahun 2008 biaya yang dikeluarkan tersebut bukan biaya yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto (tidak memperoleh insentif pajak)
karena merupakan pemberian kenikmatan atau natura seperti yang diatur
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008. Apabila
perusahaan memilih untuk menyerahkan produknya untuk program
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) maka perusahan harus
membayar PPN sebesar 10% dari nilai produk yang disumbangkan kepada
masyarakat.
4) CSR di bidang pendidikan dan kesehatan diberikan insentif pajak.

Perusahaan dapat melaksanakan program tanggung jawab sosialnya ke


masyarakat berupa aktivitas di bidang pendidikan dan kesehatan. Dalam
bidang pendidikan, yang dapat diberikan oleh perusahaan berupa
pemberian beasiswa kepada siswa-siswa berprestasi ataupun siswa yang
tidak mampu, ataupun sumbangan untuk penyediaan sarana dan
prasarana sekolah. Di bidang kesehatan, perusahaan biasanya
memberikan bantuan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan seperti
puskesmas, program khitanan massal, imunisasi untuk masyarakat umum
dan program lainnya. Apabila program CSR dilaksanakan dalam bentuk
pemberian beasiswa, maka berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf g UU Nomor
36 Tahun 2008 dapat dibiayakan oleh perusahaan pemberi beasiswa. Dari
sisi penerima beasiswa, beasiwa tersebut merupakan penghasilan yang
tidak termasuk sebagai Obyek Pajak sebagaimana diatur dalam pasal 4
ayat (3) huruf l UU Nomor 38 Tahun 2008.
5) CSR untuk pengembangan regional dan komunitas memperoleh
fasilitas pajak dalam mengembangkan wilayah.

Perusahaan pertambangan dan perkebunan membangun infrastruktur yang


sesuai dengan kebutuhan perusahaan, isu perpajakan yang dapat ditarik
dari permasalahan tersebut adalah pembangunan infrastruktur wilayah itu
akan berakibat positif bagi mobilitas perusahaan dan wilayah sekitar.
Sehingga perkembangan perekonomian masyarakat sekitar dapat
meningkat. Perusahaan dapat mengurangi biaya-biaya yang terjadi karena
ketiadaan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur tersebut dapat
dikurangkan sebagai pengurang dalam penghasilan bruto. Sehingga dalam
jangka panjang akan terjadi penurunan biaya produksi yang akan berakibat
pada meningkatnya laba perusahaan.

Program pengembangan masyarakat (CSR) merupakan salah satu


kebijakan Sektor ESDM mengenai peningkatan nilai tambah komoditas
pertambangan, di samping melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian
dalam negeri, peningkatan muatan lokal (local content), dan penyerapan
tenaga kerja dari lokal. Di Sektor ESDM, community development (comdev)
adalah bagian dari tanggung jawab korporat (Corporate Social
Responsibility, CSR) yang merupakan komitmen bisnis untuk berkontribusi
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan
perusahaan, keluarga karyawan tersebut berikut komunitas setempat
(lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan
kualitas kehidupan. Keseluruhan peran sektor ESDM memiliki satu muara
tujuan, yaitu mengkonversi keunggulan potensi sumber daya alam yang
dimiliki oleh Indonesia, berupa potensi energi dan mineral, yang dikenal
sebagai comparative advantage yang merupakan keunggulan yang bersifat
sementara menjadi keunggulan potensi Sumber Daya Manusia (SDM)
yang dikenal sebagai competitive advantage yang merupakan keunggulan
yang bersifat kualitas. Upaya mengkonversi comparative advantage
menjadi competitive advantage yang paling potensial adalah melalui
peningkatan kualitas SDM dalam bidang pendidikan. Pendidikan
berdampak besar dalam meningkatkan kualitas SDM yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (ability), dan budi
pekerti (attitude). Implementasi program CSR secara nyata, yaitu dengan
pemberian beasiswa, bantuan sarana dan prasarana pendidikan dan
sarana olah raga, pelatihan, bantuan tenaga guru, dan pelatihan bagi guru,
pembangunan tempat ibadah, pengadaan air bersih, pemberdayaan
pertanian dan peternakan secara modern. Pada tahun 2013, realisasi dana
comdev dan CSR sektor ESDM yang digunakan untuk pengembangan
masyarakat dan untuk mendukung kegiatan di masyarakat sebesar
Rp1,688 triliun dari target yang telah ditetapkan sebesar Rp2,12 triliun atau
79,77%, realisasinya mencapai Rp 2.26 triliun.

Kewajiban untuk melaksanakan CSR telah diatur dalam Pasal 74


ayat (1) dan (2) UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Sejalan dengan hal tersebut, maka sesuai dengan Pasal 108 dan Pasal 109
UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK) wajib menyusun program comdev. Program comdev
dilakukan dalam rangka mempersiapkan kehidupan pasca tambang (life
after mining) bagi daerah maupun masyarakat sekitarnya serta sebagai
investasi yang memiliki nilai keuntungan jangka panjang, yaitu dengan
diperolehnya social license to operate.

Realisasi comdev dikatakan berhasil apabila mampu menciptakan


kemandirian masyarakat, bukan ketergantungan, sehingga tujuan dan cita-
cita konsep pembangunan berkelanjutan benar-benar dapat dicapai dan
dapat memberikan kontribusi optimal terhadap perekonomian Indonesia
secara keseluruhan dan daerah khususnya. Pembangunan subsektor
mineral dan batubara akan terus berkelanjutan bila dalam implementasinya
memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan tanggung jawab sosial
terhadap masyarakat, tentunya dengan didukung oleh program dan alokasi
dana yang tepat sasaran.

Adapun yang menjadi hambatan dan permasalahan tidak


terealisasinya target kinerja jumlah anggaran comdev subsektor mineral
dan batubara disebabkan oleh tidak stabilnya harga pasar internasional
akibat over supply bagi beberapa komoditas mineral dan batubara
berdampak pada sebagian perusahaan menghentikan kegiatan operasi
produksi, dan hal ini tentunya mengurangi alokasi peruntukan dana
comdev. Perusahaan PKP2B yang melaksanakan comdev sebanyak 68
perusahaan, antara lain PT. Berau Coal, PT. Kaltim Prima Coal, PT. Adaro
Indonesia, PT. Arutmin, dan PT. Gunung Bayan Pratama Coal. Sedangkan
perusahaan KK yang melaksanakan comdev sebanyak 17 perusahaan,
antara lain PT. Freeport Indonesia, PT. Newmont Nusa Tenggara, PT. Nusa
Hamahera Minerals, PT. Vale Indonesia, dan PT. Natarang Mining.
Pertumbuhan anggaran comdev untuk IUP/BUMN dalam kurun waktu lima
tahun terakhir sebesar 55%/tahun.
Pertumbuhan anggaran comdev untuk PKP2B dalam kurun waktu
lima tahun terakhir sebesar 18,3% dan pertumbuhan anggaran comdev
untuk KK dalam kurun waktu lima tahun terakhir rata-rata mengalami
penurunan sebesar -6,8%. Namun demikian, ditengah lesunya
perekonomian dunia akibat tekanan resesi di beberapa negara tujuan
ekspor komoditas mineral dan batubara, anggaran comdev untuk
keseluruhan KK/PKP2B dan IUP/BUMN mencatatkan pertumbuhan yang
positif sebesar 1,8%/tahun.

Realisasi anggaran comdev dilaksanakan oleh perusahaan melalui


program-program sebagai berikut:

1) Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Perusahaan untuk keperluan


a) Pelatihan pemuda/masyarakat dalam keahlian khusus yang dimiliki
oleh perusahaan, seperti; mengelas, bubut, bengkel.
b) Pelatihan keterampilan kreatif dengan memanfaatkan bahan limbah
industri, dan penyaluran penjualannya (bekerja sama dengan dinas
terkait).
2) Pemberdayaan masyarakat berupa Peningkatan Ekonomi Penduduk
sekitar
a) Membentuk kelompok untuk membantu meningkatkan kualitas,
kuantitas dan packaging, serta jaringan menjual
b) Memanfaatkan hasil produksi untuk dimanfaatkan sebagai gift
perusahaan.
c) Melatih tenaga kerja local yang mempersiapkan rehabilitasi lahan
pertambangan.
3) Pelayanan Masyarakat, berupa Bantuan Bencana Alam dan Donasi/
Charity/Filantropi
a) Peningkatan Pendidikan Penduduk Sekitar
b) Pemberian beasiswa bagi murid sekolah berprestasi
c) Pemberian bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
4) Pengembangan Infrastruktur, berupa Sarana, seperti Sarana
Ibadah, Sarana Umum, Sarana Kesehatan, dan lainnya.
Berdasarkan perkiraan dampak pembangunan smelter
terhadap pengembangan masyarakat sekitar proyek di Kabupaten
Mimika Provinsi Papua adalah di antaranya:
1) Pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar dan
masyarakat Indonesia secara keseluruhan sehingga bisa
meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat,
2) Pembangunan infrastuktur publik dan fasilitas sosial, operasi
smelter akan membangun berbagai fasilitas publik untuk mendukung
operasinya dan dalam aktivitasnya diharapkan juga membangun
fasilitas sosial untuk karyawan smelter yang dalam insteraksi
sosialnya tidak tertutup kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat di sekitar proyek,
3) Program Pendidikan, dimana perusahaan terkait memberikan
bantuan baik berupa program beasiswa untuk anak-anak sekolah
dan gerakan pembasmian buta huruf lainnya,
4) Gerakan penghijauan, dimana usaha pembangunan smelter nikel
ini diharapkan sebagai ujung tombak gerakan pelestarian lingkungan
yang berkesinambungan,
5) Pemeliharaan biosatwa untuk mendukung upaya perlindungan
satwa-satwa di daerah pusat pendirian pabrik, sehingga ekosistem
alam yang tetap terjaga dan lestari,
6) Pemeliharaan amdal lingkungan, sebagai usaha minimalisasi
dampak terhadap kerusakaan lingkungan dari aktifitas pabrik
sehingga keseimbangan alam tetap terjaga, dan
7) Pemberdayaan masyarakat sekitar, yaitu pemberian latihan-
latihan yang bersifat edukatif temasuk bantuan modal bagi warga
sekitar sehingga terbentuk masyarakat yang mandiri baik secara
ekonomi maupun secara psikologis. Begitu besar peranan dari
dibangunnya smelter nikel di Kabupaten Mimika Provinsi Papua
tentunya harus didasarkan kepada kebijakan Pemerintah serta pro
rakyat dan lingkungan sehingga terjadi timbal-balik yang saling
menguntungkan; tidak untuk saat ini, namun juga untuk masa yang
akan datang. Usaha pendirian smelter harus terencana sehingga
arah pembangunan makin jelas dan berdampak positif bagi
masyarakat, lingkungan, dan kultur sosial masyarakat Kabupaten
Mimika Provinsi Papua.

4.3. Dampak Terhadap Pendapatan / Perekonomian Nasional

Pembangunan ekonomi pada dasarnya mempunyai tiga dimensi


pokok, yaitu: sektoral, kewilayahan, dan waktu. Waktu merupakan dimensi
dinamis dalam kegiatan atau proses pembangunan. Pembangunan
ekonomi pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah
(value added). Dari dimensi pembangunan tersebut, dalam kurun waktu
tertentu akan dicapai dua nilai tambah pokok, yaitu: nilai tambah sektoral
atau vertikal yang memberi dampak pertumbuhan bagi pendapatan
nasional atau PDB, serta nilai tambah kewilayahan untuk memberi manfaat
sosial ekonomi bagi masyarakat se tempat (Soelistijo, dkk., 2003).

Dalam perspektif ekonomi makro, khususnya model input-output,


nilai tambah suatu sektor atau input primer merupakan selisih antara total
output dan input antara (intermediate input). Nilai tambah suatu sektor
merupakan pendapatan atau balas jasa yang diperoleh oleh faktor-faktor
produksi, antara lain pendapatan dari tenaga kerja (upah dan gaji) dan
surplus usaha (keuntungan) karena entrepreneurship.

Upaya untuk memperoleh nilai tambah yang lebih besar dari hasil
pertambangan pada dasarnya dimaksudkan agar pendapatan faktor-faktor
produksi di dalam negeri juga meningkat, baik pendapatan tenaga kerja,
keuntungan perusahaan maupun pajak pertambahan nilai untuk
kepentingan perekonomian domestik. Teori commodity trap atau jebakan
komoditas menyebutkan bahwa negara-negara sedang berkembang sulit
untuk keluar dari cara pandang agar dari bahan-bahan mentah (komoditas)
harus diolah terlebih dahulu sebelum diekspor. Negara-negara tersebut
sulit untuk keluar dari jebakan komoditas. Hal ini terkait dengan industri dan
kapitalisme global yang tak rela jika sebuah negara berkembang
meningkatkan diri sebagai negara pengolah bijih mineral, bukan lagi
sebagai penjual bijih mineral mentah (Didiek, 2014).

Dalam teori perdagangan internasional, kebijakan pembatasan


ekspor merupakan bagian dari politik perdagangan (proteksi) untuk
melindungi industri dalam negeri serta menjaga ketersediaan pasokan bagi
kebutuhan domestik. Dampak ekonomi jangka pendek hampir semuanya
negatif, karena akan mengganggu penerimaan negara, defisit neraca
perdagangan, melemahnya nilai tukar, penurunan pendapatan perusahaan
domestik, melambatnya pertumbuhan ekonomi, dan pada gilirannya
pengangguran. Dampak positifnya baru terlihat dalam jangka panjang,
berupa tumbuhnya industri dalam negeri, meningkatnya nilai tambah
produk, hingga pada gilirannya perluasan investasi, penguatan kapasitas
produksi dan kesempatan kerja. Itupun dengan catatan bahwa sebuah
kebijakan proteksi harus diikuti dengan peta jalan (roadmap) yang jelas,
terukur serta perlakuan yang komprehensif terhadap eksternalitas dan
dampak-dampak jangka pendek (Pattilouw, 2012). Kebijakan pembatasan
ekspor mineral pada dasarnya dimaksudkan untuk agenda jangka panjang
dan cenderung kurang memperhatikan proses serta dinamika jangka
pendek. Akibatnya, mekanisme operasional yang terbangun cenderung
bersifat reaktif. Ketidaksiapan kelembagaan birokrasi, infrastuktur, dan
energi merupakan faktor-faktor yang menghambat proses serta dinamika
atas kebijakan jangka pendek yang diberlakukan. Tentu saja untuk
mencapai sebuah tujuan jangka panjang, dinamika jangka pendek mesti
diperhitungkan dan disiasati secara tepat.

Pembahasan dampak pembangunan smelter terhadap pendapatan/


perekonomian nasional dalam bab ini akan dibatasi pada aspek investasi,
nilai tambah ketenagakerjaan dari aspek kewilayahan, nilai ekspor yang
memengaruhi pendapatan nasional atau PDB, dan penerimaan negara
yang terkait dengan pemberlakuan kebijakan PNT mineral sesuai amanat
UU Nomor 4 Tahun 2009. Analisis akan dilihat dampak secara nasional
kemudian dibandingkan dengan dampak smelter nikel di Kabupaten Mimika
Provinsi Papua. Dilihat dari rencana pembangunan pabrik smelter yang
akan dilakukan oleh perusahaan pertambangan berbagai jenis mineral
logam dan bukan logam, diperkirakan akan terjadi investasi besar-besaran
di wilayah yang menjadi pusat kegiatan pertambangan tersebut. Investasi
di bidang pertambangan besi tercatat paling besar, disusul kemudian oleh
pertambangan nikel dan bauksit. Total investasi diperkirakan mencapai
hampir USD18.867,29 juta. Adapun lokasi pembangunan smelter, investasi
terbesar berada Banten (USD7 miliar), disusul oleh Sulawesi Tenggara
(USD4,8 miliar), Kalimantan Barat (USD4,6 miliar), Sulawesi Tengah
(USD1,3 miliar), dan Kalimantan Selatan (USD1,1 miliar). Investasi di
provinsi lainnya, yaitu Maluku Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan
Tengah, dan Kepulauan Riau, antara USD48 juta USD300 juta (Yunianto,
2014).

Anda mungkin juga menyukai