Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Syok adalah sindrom gangguan perfusi dan oksigenasi sel secara menyeluruh
sehingga kebutuhan metabolisme jaringan tidak terpenuhi. Akibatnya, terjadi
gangguan kesadaran, fungsi pernafasan, system pencernaan, perkemihan, serta system
sirkulasi itu sendiri. Sebagai respons terhadap menurunnya pasokan oksigen,
metabolisme anaerobic. Keadaan ini hanya dapat ditoleransi tubuh untuk sementara
waktu, dan jika berlanjut, timbul kerusakan nirpulih pada jaringan organ vital yang
menyebabkan kematian. Syok bukanlah suatu penyakit dan tidak selalu disertai
kegagalan perfusi jaringan. Syok dapat terjadi setiap waktu pada siapapun.10
Syok hipovolemik merupakan jenis syok yang paling banyak ditemukan, dan
hamper semua jenis syok memiliki komponen syok hipovolemik didalamnya akibat
menurunnya beban hulu ( Preload). 10
Secara patofisiologis syok merupakan gangguan hemodinamik yang
menyebabkan tidak adekuatnya hantaran oksigen dan perfusi jaringan. Gangguan
hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di
arteri, berkurangnya darah balik, penurunan pengisian ventrikel dan sangat kecilnya
curah jantung. Gangguan faktor-faktor tersebut disbabkan oleh bermacam-macam
proses baik primer pada sistim kardiovaskuler, neurologis ataupun imunologis.
Diantara berbagai penyebab syok tersebut, penurunan hebat volume plasma
intravaskuler merupakan faktor penyebab utama. Terjadinya penurunan hebat volume
intravaskuler dapat terjadi akibat perdarahan atau dehidrasi berat, sehingga
menyebabkan yang balik ke jantung berkurang dan curah jantungpun menurun.
Penurunan hebat curah jantung menyebabkan hantaran oksigen dan perfusi jaringan
tidak optimal dan akhirnya menyebabkan syok. Pada tahap awal dengan perdarahan
kurang dari 10%, gejala klinis dapat belum terlihat karena adanya mekanisme
kompensasi sisitim kardiovaskuler dan saraf otonom. Baru pada kehilangan darah
mulai 15% gejala dan tanda klinis mulai terlihat berupa peningkatan frekuensi nafas,
jantung atau nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, penurunan tekanan nadi,
kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler yang lambat dan produksi urin berkurang.
Perubahan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi akibat adanya mekanisme
kompensasi tadi, sehingga pemeriksaan klinis yang seksama harus dilakukan.1

1
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 DEFINISI
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya
volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat
(hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke
ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka
bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paing sering
ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal juga
dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma
hebat pada organ-organ tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka
ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama.1
II.2 ETIOLOGI
Syok hipovolemik dapat disebabkan oleh kehilangan volume massive
yang disebabkan oleh: perdarahan gastro intestinal, internal dan eksternal
hemoragi, atau kondisi yang menurunkan volume sirkulasi intravascular atau
cairan tubuh lain, intestinal obstruction, peritonitis, acute pancreatitis, ascites,
dehidrasi dari excessive perspiration, diare berat atau muntah, diabetes insipidus,
diuresis, atau intake cairan yang tidak adekuat. Kemungkinan besar yang dapat
mengancam nyawa pada syok hipovolemik berasal dari penurunan volume darah
intravascular, yang menyebabkan penurunan cardiac output dan tidak adekuatnya
perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang anoxia mendorong perubahan
metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi anaerob. Hal ini menyebabkan
akumulasi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolic.1
Ketika mekanisme kompensasi gagal, syok hipovolemik terjadi pada
rangkaian keadaan di bawah ini:
1) Penurunan volume cairan intravascular
2) Pengurangan venous return, yang menyebabkan penurunan preload dan stroke
volume
3) Penurunan cardiac output
4) Penurunan Mean Arterial Pressure (MAP)
5) Kerusakan perfusi jaringan
6) Penurunan oksigen dan pengiriman nutrisi ke sel
7) Kegagalan multisistem organ

2
Secara khas, riwayat pasien meliputi kondisi-kondisi yang
menyebabkan penurunan volume darah, seperti gastrointestinal hemoragi, trauma,
diare berat dan muntah. Pengkajian yang didapatkan meliputi: kulit pucat,
penurunan sensori, pernafasan cepat dan dangkal, urin output kurang dari
25ml/jam, kulit teraba dingin, clammy skin, MAP dibawah 60 mm Hg dan nadi
melemah, penurunan CVP, penurunan tekanan atrial kanan, penurunan PAWP,
dan penurunan cardiac output. Indikasi parameter pada pemeriksaan/ pengkajian
dalam mengestimasi kehilangan volume cairan:2

Table 1. Indikasi parameter pada pemeriksaan/ pengkajian dalam mengestimasi kehilangan volume cairan:
Kehilangan cairan minimal : Kehilangan cairan sedang : Kehilangan cairan berat :
(Kehilangan volume cairan (Kehilangan volume cairan (Kehilangan volume cairan
intravascular 10%-15%) intravascular sekitar 25%) 40% atau lebih)
Tanda gejala Tanda gejala Tanda gejala :
Tachycardia ringan Nadi cepat dan lemah Tachycardia yang nyata
Tekanan darah supinasi Hipotensi supinasi Hipotensi yang nyata
normal Kulit dingin Nadi perifer lemah dan
Penurunan sistol lebih Urin output sekitar 10 menghilang
dari 16 mmHg atau sampai 30% ml/jam Kulit dingin dan sianosis
peningkatan denyut nadi Sangat kehausan Urin output kurang dari
lebih dari 20 x/menit Gelisahm bingung,cepat 10%
Peningkatan capillary marah Penurunan kesadaran
refill lebih dari 3 detik
Urin output lebih dari
30ml/jam,
Kulit pucat dan dingin

(Dikutip : dari jurnal Dewi, Ernita. 2010)

II.3 PATOFISIOLOGI
Jalur akhir dari syok adalah kematian sel. Begitu sejumlah besar sel
dari organ vital telah mencapai stadium ini, syok menjadi ireversibel dan
kematian terjadi meskipun dilakukan koreksi penyebab yang mendasari.4

3
Mekanisme patogenetik yang menyebabkan kematian sel tidak
seluruhnya dimengerti. Satu dari denomiator yang lazim dari ketiga bentuk syok
adalah curah jantung rendah. Pada pasien dengan syok hipovolemik, syok
kardiogenik, dan syok obstruktif ekstrakardiak serta pada sebagian kecil syok
distributif, timbul penurunan curah jantung yang berat sehingga terjadi penurunan
perfusi organ vital. Pada awalnya, mekanisme kompensasi seperti vasokonstrikisi
dapat mempertahankan tekanan arteri pada tingkat yang mendekati normal.
Bagaimanapun, jika proses yang menyebabkan syok terus berlangsung,
mekanisme kompensasi ini akhirnya gagal dan menyebabkan manifestasi klinis
sindroma syok. Jika syok tetap ada, kematian sel akan terjadi dan menyebabkan
syok ireversibel.
Orang dewasa sehat dapat mengkompensasi kehilangan 10% volume
darah total yang medadak dengan menggunakan mekanisme vasokonstriksi yang
diperantarai sistem simpatis. Akan tetapi, jika 20 sampai 25 persen volume darah
hilang dengan cepat, mekanisme kompensasi biasanya mulai gagal dan terjadi
sindroma klinis syok. Curah jantung menurun dan terdapat hipotensi meskipun
terjadi vasokonstriksi menyeluruh. Pengaturan aliran darah lokal
mempertahankan perfusi jantung dan otak sampai pada kematian sel jika
mekanisme ini juga gagal. Vasokonstriksi yang dimulai sebagai mekanisme
kompensasi pada syok mungkin menjadi berlebihan pada beberapa jaringan dan
menyebabkan lesi destruktif seperti nekrosis iskemik intestinal atau jari-jari.
Faktor depresan miokard telah diidentifikasi pada anjing dengan syok hemoragik
tetapi faktor ini tidak dikaitkan secara jelas dengan gangguan fungsi miokard
klinis. Akhirnya, jika syok terus berlanjut, kerusakan organ akhir terjadi yang
mencetuskan sindroma distres respirasi dewasa, gagal ginjal akut, koagulasi
intravaskuler diseminata, dan gagal multiorgan yang menyebabkan kematian.4
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-
rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inlah yang menimbulkan
penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan
menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ:5
a. Mikrosirkulasi5
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan
berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi
yang cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit

4
dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk
pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua
sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehingga
keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi
sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi
kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata
(mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga <60 mmHg, maka aliran ke
organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.
b. Neuroendokrin5
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh
baroreseptor dan kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam
respons autonom tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain.
c. Kardiovaskular5
Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap
tekanan ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam
mengontrol volume sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam
perfusi jaringan adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi jantung.
Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada
akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi
jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.
d. Gastrointestinal5
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka
terjadi peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri
gram negatif yang mati di dalam usus. Hal ini memicu pelebaran
pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki
nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.
e. Ginjal5
Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan
hipoperfusi. Frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya
pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi kini adalah nekrosis
tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang
nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara
fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam

5
dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen
meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama
dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab terhadap
menurunnya produksi.
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya
volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat
(hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke
ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka
bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paing sering
ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal juga
dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma
hebat pada organ-organ tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka
ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama.1

II.3.1 Peranan Fisiologis Sisitim Kardiovaskuler dan Saraf pada Syok

Untuk memahami patofisiologi atau memahami proses terjadinya


berbagai jenis syok terutama syok hipovolemik, maka pemahaman fisiologi
jantung, sirkulasi dan sisitim saraf sangat diperlukan.1

II.3.2 Peranan Fungsi Kardiovaskuler

Jantung merupakan organ yang berfungsi untuk memompakan darah


keseluruh tubuh. Jantung bergerak secara otonom yang diatur melalui mekanisme
sistim saraf otonom dan hormonal dengan autoregulasi terhadap kebutuhan
metabolime tubuh. Mekanisme otonom aktifitas otot jantung ini berasal dari
cetusan listrik (depolarisasi) pada otot jantung itu sendiri. Depolarisai otonom
otot jantung berasal dari sekelompok sel-sel yang menghasilkan potensial listrik
yang disebut dengan nodus sinoatrial [sinoatratrial (SA) node]. SA node terletak
di atrium kanan berdekatan dengan muara vena cava superior.1
Impuls listrik yang dihasilkan oleh SA node akan dialirkan keseluruh
otot-otot jantung (miokardium) sehingga menyebabkan kontraksi. Mekanisme
penyebaran impuls ini teratur sedemikian rupa sesuai dengan siklur kerja jantung.
Pertama impuls dialirkan secara langsung ke otot-otot atrium kiri dan kanan
sehingga menyebabkan kontraksi atrium. Atrium kanan yang berisi darah yang
berasal dari sistim vena sitemik akan dipompakan ke ventrikel kana, dan darah

6
pada atrium kiri yang berasl dari paru (vena pulmonalis) akan dialirkan ke
ventrikel kiri. Selanjutnya impuls diteruskan ke ventrikel melalui sistim konduksi
nodus atrioventrikuler [atrioventricular (AV) node], terus ke atrioventricular
(AV) bundle dan oleh serabut purkinje ke seluruh sel-sel otot ventrikel jantung.
Impils listrik yang ada di ventrikel terjadinya depolarisasi dan selanjutnya
menyebabkan otot-otot ventrikel berkontraksi. Kontraksi ventrikel inilah yang
dikenal sebagai denyut jantung. Denyut ventrikel kanan akan mengalirkan darah
ke paru untuk pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, dan denyut
ventrikel kiri akan mengalirkan darah ke seleuruh tubuh melalui aorta. Denyut
jantung yang berasal dari depolarisai SA node berjumlah 60-100 kali permenit,
dengan rata-rat 72 kali permenit.1
Kontraksi ventrikel saat mengeluarkan darah dari jantung disebut
sebagai fase sitolik atau ejeksi ventrukuler. Jumlah darah yang dikeluarkan dalam
satu kali pompan pada fase ejeksi ventrikuler disebut sebagai volume sekuncup
atau stroke volume, dan pada dewasa rata-rata berjumlah 70 ml. Dengan jumlah
kontraksi rata-rata 72 kali permenit, maka dalam satu menit jumlah darah yang
sudah melewati dan diponpakan oleh jantung sekitar 5 liter, yang dsiebut sebagai
curah jantung (cardiac output). Secara matematis fisiologis dapat dirumuskan
sesuai gambar 1
Gambar1 . factor-faktor yang mempengaruhi curah jantung

Keterangan :
CO : Cardiac Output (curah jantung)
HR : Heart Rate (laju atau frekuensi denyut jantung )
SV : Stroke Volume ( volume sekuncup)
SVR : Systemic Vascular Resistant ( tahanan pembuluh darah sistemik)
(Dikutip dari : jurnal Hardisman, 2013)

7
Aktifitas listrik pada SA node yang menyebabkan kontraksi otot jantung
terjadi secara otonom tanpa kontrol pusat kesadaran yang dipengaruhi oleh sistim
saraf otonom simpatis dan parasimpatis. Dengan demikian seperti yang terlihat
pada gambar-1, sistim saraf otonom sangat berperan dalam pengaturan
kardiovaskuler dengan mempengaruhi frekuensi denyut dan kontraktilitas otot
jantung. Disamping itu sisitim saraf otonom juga mempengaruhi pembuluh darah
terhadap perubahan resistensi pembuluh darah.
Curah jantung mempunyai peranan penting sebagai salah satu faktor
untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi atau perfusi kejaringan sebagai tujuan dari
fungsi kardiovaskuler. Kecukupan perfusi jaringan ditentukan oleh kemampuan
fungsi sirkulasi menghantarkan oksigen ke jaringan yang disebut sebagai oxygen
delivery (DO2), dan curah jantung adalah faktor utama yang menentukan DO2
ini, sebagaimana yang dapat dilihat pada gambar 21
Gambar 2. Perhitungan Oxygen Delivery dan Hubungannya dengan
Curah Jantung

Keterangan:
DO2 : Oxygen Delivery (kapasitas pengangkutan oksigen ke jaringan)
CO : Cardiac output (curah jantung)
CaO2 : Arterial oxygen content (kandungan oksigen dalam arteri)
PaO2 : Tekanan parsial oksigen arteri
SaO2 : Saturasi oksigen
(Dikutip dari jurnal : hardisman. 2013)
Gangguan pada faktor-faktor yang mepengaruhi curah jantung dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi dan berujung kepada syok. Misalnya
kehilangan volume plasma hebat akan mengurangi preload dan dapat
mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik, gangguan kontraktilitas dapat

8
mengakibatkan terjadinya syok kardiogenik, dan gangguan resistensi vaskuler
sitemik dapat berujung ada syok distributif. 1

II.3.3 Peranan Fungsi Sistim Saraf Otonom

Sistim saraf otonom dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistim saraf
simpatis dan para simpatis. Sistim saraf simpatis merupakan sistim saraf yang
bekerja secara otonom terhadap respon stress psikis dan aktifitas fisik. Respon
simpatis terhadap stress disebut juga sebagai faight of flight response
memberikan umpan balik yang spesisfik pada organ dan sistim organ, termasuk
yang paling utama adalah respon kardiovaskuler, pernafasan dan sistim imun.
Sedangkan sistim para simpatis mengatur fungsi tubuh secara otonom terutama
pada organ-organ visceral, produksi kelenjar, fungsi kardiovaskuler dan berbagai
sistim organ lainnya dan bukan respon terhadap suatu stressor ataupun aktifitas
fisik.1
Sistim saraf simpatis berasal dari medulla spinalis pada segmen
torakolumbal, tepatnya segmen torakal-1 sampai lumbal-2, dengan pusat ganglion
sarafnya berada di daerah paravertebre. Sistim saraf simpatis menimbulkan efek
pada organ dan sistim organ melalui perantra neurotrasmiter adrenalin (epinefrin)
atau noradrenalin (norepinefrin) endogen yang dhasilkan oleh tubuh. Adrenalin di
sekresikan oleh kelenjar adrenal bagian medula, sedangkan noradrenalin selain
dihasilkan oleh medulla adrenal juga disekresikan juga oleh sel-sel saraf (neutron)
simpatis pascaganglion.1
Respon yang muncul pada organ-organ target tergantung reseptor yang
menerima neurotrasmiter tersebut yang dikenal dengan reseptor alfa dan beta
adrenergik. Pada jantung terdapat resesptor beta, rangsangan simpatis pada otot
jantung atau reaksi adrenalin dengan reseptor beta-1 menyebabkan peningkatan
frekuensi (kronotropik) dan kontraktilitas otot jantung (inotropik). Efek
adrenergik pada pembuluh terjadi melalui reaksi neurotrasmiternya dengan
reseptor alfa-1, yang menyebabkan terjadinya vasokontriksi arteri dan vena.
Sedangkan efek pada saluran pernafasan terutama bronkhus adalah dilatasi
(melalui reseptor beta-2).1
Sistim parasismpatis dari segmen kraniosakral, yaitu dari saraf kranial
dan medulla spinalis sekmen sakralis. Saraf kranial merupakan saraf tepi yang
langsung keluar dari batang otak dan terdapat 12 pasang, namun yang

9
memberikan efek parasimpatis yaitu nervus-III (okulomotorius), nervus-VII
(fasialis), nervus-IX (glosofaringeus) dan nervus-X (vagus). Rangsangan
parasimpatis pada masing-masing saraf tersebut memberikan efek spesifik pada
masing-masing organ target, namun yang memberikan efek terhadap fungsi
kardiovaskuler adalah nervus vagus. Sedangkan yang berasal dari medulla
spinalis yang menimbulkan efek parasimpatis adalah berasal dari daerah sakral-2
hingga 4. 1
Efek parasimpatis muncul melalui perantara neurotrasnmiter asetilkolin,
yang disekresikan oleh semua neuron pascaganglion sisitim saraf otonom
parasimpatis. Efek parasimpatis ini disebut juga dengan efek kolinergik atau
muskarinik. Sebagaimana halnya sistim saraf simpatis, sistim saraf parsimpatis
juga menimbulkan efek bermacam-macam sesuai dengan reaksi neurotransmitter
asetilkolin dengan reseptornya pada organ target. Efek yang paling dominan pada
fungsi kardiovaskuler adalah penurunan frekuensi jantung dan kontraktilitasnya
(negatif kronotropik dan inotropik) serta dilatasi pembuluh darah. 1
Dalam kedaan fisiologis, kedua sistim saraf ini mengatur funsgi tubuh
termasuk kardiovaskuler secara homeostatik melalui mekanisme autoregulasi.
Misalnya pada saat aktifitas fisik meningkat, tubuh membutuhkan energi dan
metabolisme lebih banyak dan konsumsi oksigen meningkat, maka sistim
simpatis sebagai respon homestatik akan meningkatkan frekuensi denyut dan
kontraktilitas otot jantung, sehingga curah jantung dapat ditingkatkan untuk untuk
mensuplai oksigen lebih banyak. Begitu juga bila terjadi kehilangan darah, maka
respon simpatis adalah dengan terjadinya peningkatan laju dan kontraktilitas
jantung serta vasokontriksi pembuluh darah, sehingga kesimbangan volume
dalam sirkulasi dapat terjaga dan curah jantung dapat dipertahankan. Namun bila
gangguan yang terjadi sangat berlebihan, maka kompensasi autoregulasi tidak
dapat lagi dilakukan sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis.1

II.4 MANIFESTASI KLINIS


Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika
kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini
masih dapat dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan tahanan pembuluh
dan frekuensi dan kontraktilitas otot jantung. Bila perdarahan terus berlangsung
maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-

10
gejala klinis. Secara umum syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan
frekuensi jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin
dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ektremitas yang dingin dan pengisian
kapiler yang lambat.1
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok
hipovolemik tersebut pemeriksaan pengisian dan frekuesnsi nadi, tekanan darah,
pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-uung jari (refiling kapiler), suhu dan
turgor kulit. Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok hipovolemik
dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium. Stadium syok dibagi
berdasarkan persentase kehilangan darah sama halnya dengan perhitungan skor
tenis lapangan, yaitu 15, 15-30, 30-40, dan >40%. Setiap stadium syok
hipovolemik ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis tersebut.
1) Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah hingga
maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh
mengkompensai dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi
penurunan refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit cemas atau
gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi nadi dan
nafas masih dalam kedaan normal.
2) Syok hipovolemik stadium-II afalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%.
Pada stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu menkompensasi fungsi
kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi, penurunan tekanan darah terutama
sistolik dan tekanan nadi, refiling kapiler yang melambat, peningkatan
frekuensi nafas dan pasien menjadi lebih cemas.
3) Syok hipovolemik stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%.
Gejala-gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi
nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit, peningkatan frekuensi
nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi dan tekanan darah sistolik
sangat menurun, refiling kapiler yang sangat lambat.
4) Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari 40%.
Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian lemah
sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III terus
memburuk. Kehilangan volume sirkulasi lebih dari 40% menyebabkan
terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan disertai dengan
penurunan kesadaran atau letargik.1

11
Selengkapnya stadium dan tanda-tanda klinis pada syok hemoragik
dapat dilihat ada tabel-2
Table 2. Stadium Syok Hipovolemik dan Gambaran Klinisnya

(Dikutip dari jurnal Hardisman, 2013)


Berdasarkan perjalanan klinis syok seiring dengan jumlah kehilangan
darah terlihat bahwa penurunan refiling kapiler, tekanan nadi dan produksi urin
lebih dulu terjadi dari pada penurunan tekanan darah sistolik. Oleh karena itu,
pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan. Pemeriksaan yang
hanya berdasarkan perubahan tekanan darah sitolik dan frekuensi nadi dapat
meyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosoa dan penatalaksanaan
(neglected cases).1
Tekanan nadi (mean arterial pressure: MAP) merupakan merupakan
tekanan efektif rata-rata pada aliran darah dalam arteri. Secara matematis tekanan
ini dipadapatkan dari penjumlahan tekanan sistolik dengan dua kali tekanan
diastolik kemudian dibagi tiga (seperti yang terlihat pada gambar-3).

12
Gambar 3. Perhitungan Tekanan Nadi Rata-Rata

Keterangan:
TN : Tekanan Nadi Rata-Rata
TS : Tekanan Darah Sistolik
TD : Tekanan Darah Diastolik
(Dikutip dari jurnal Hardisman, 2013)

Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya


mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal
terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistim saraf simpatis yang
mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan
demikian pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun
kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuuh perifer sehingga telah
terjadi penurunan diastolik sehingga secara bermakna akan terjadi penurunan
tekanan nadi rata-rata.1
Berdasarkan kemampuan respon tubuh terhadap kehilangan volume
sirkulasi tersebut maka secara klinis tahap syok hipovolemik dapat dibedakan
menjadi tiga tahapan yaitu tahapan kompensasi, tahapan dekompensasi dan
tahapan irevesrsibel. Pada tahapan kompensasi, mekanisme autoregulasi tubuh
masih dapat mempertahankan fungsi srikulasi dengan meningkatkan respon
simpatis. Pada tahapan dekompensasi, tubuh tidak mampu lagi mempertahankan
fungsinya dengan baik untuk seluruh organ dan sistim organ. Pada tahapan ini
melalui mekanisme autoregulasi tubuh berupaya memberikan perfusi ke jaringan
organ-organ vital terutama otak dan terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas.
Akibatnya ujung-ujung jari lengan dan tungkai mulai pucat dan terasa dingin.
Selanjutnya pada tahapan ireversibel terjadi bila kehilangan darah terus berlanjut

13
sehingga menyebabkan kerusakan organ yang menetap dan tidak dapat
diperbaiki. Kedaan klinis yang paling nyata adalah terjadinya kerusakan sistim
filtrasi ginjal yang disebut sebagai gagal ginjal akut.1

II.5 DIAGNOSIS
Anamnesis pada pasien syok hipovolemik terutama untuk menentukan
penyebabnya. Pasien biasanya mengeluh haus, berkeringat, dan kesulitan
bernafas. Kesadaran pasien umumnya normal, kecuali pada syok berat pasien
menjadi apatis atau kebingungan. Untuk diagnosis klinis syok, dapat ditemukan
hipotensi dan tanda klinis iskemi organ. Tanda klinis ini tidak sensitif pada
kehilangan darah yang sedikit. Sensitivitas ini dapat dinilai dengan menggunakan
indeks syok, yaitu frekuensi jantung dibagi dengan tekanan darah sistolik. Klinisi
dapat menentukan syok bila terdapat penurunan tekanan darah sistolik di bawah
90 mmHg atau penurunan tekanan darah lebih dari 40 mmHg di bawah tekanan
darah sebelum syok, dengan penurunan tekanan nadi.6
Diagnosis klinis dari syok hipovolemik tidak sulit bila ditemukan
hipotensi dan kehilangan cairan yang terlihat seperti pada trauma (misalnya
fraktur), perdarahan saluran cerna dan paru, luka bakar dan diare. Perdarahan
internal akibat ruptur aneurisma aorta, trauma tumpul abdomen, dan hemotoraks
sulit didiagnosa kecuali dari anamnesis dan tanda fisik yang nyata, seperti redup
pada perkusi dada, nyeri dan distensi abdomen menunjukkan kemungkinan
adanya perdarahan internal. Pada kasus perdarahan saluran cerna bagian atas,
harus dicari tanda-tanda penyakit hati kronis, seperti eritema palmar, spider nevi,
dan hipertensi portal (asites), karena hal ini dapat menunjukkan perdarahan
varises yang menyebabkan syok hipovolemik. Warna kecoklatan pada telapak
tangan dan membran mukosa menunjukkan adanya insufisiensi adrenokortikal,
serta adanya bau aseton pada udara ekspirasi menunjukkan diabetes mellitus yang
tidak terkontrol (ketoasidosis).6

Tabel 3. Derajat Syok Hipovolemik setelah Perdarahan


Class I Class II Class III Class IV
Blood loss (mL) >750 750-1500 1500-2000 >2000
Blood loss (%) >15% 15-30% 30-40% >40%
Heart rate/min <100 >100 >120 >140

14
Systolic Blood Nomal Normal Decreased Decreased
Pressure
Pulse Pressure Normal Decreased Decreased Decreased
Respiratory rate 14-20 20-30 30-40 <35
Capilary refill Delayed Delayed Delayed Delayed
Urine ouput >30 20-30 5-15 Minimal
(mL/hr)
Mental status Slightly Anxious Confused Confused and
anxious lethargic
Dikutip : Parillo JE, Dellnger RP. Critical Care Medicine: Principle and Management in the Adult. 3rd
Edition.p.499.Copyright Elsevier; 2008.

Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa


ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan.
Diagnosis akan sulit bila perdarahan tak ditemukan dengan jelas atau berada
dalam traktus gastrointestinal atau hanya terjadi penurunan jumlah plasma dalam
darah. Setelah perdarahan maka biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak
langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi, atau terjadi penggantian
cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak menjadi pegangan sebagai
adanya perdarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi,
kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini
semakin meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia.5

II.6 PENATALAKSANAAN
II.6.1 PENDARAHAN
Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan
tanda-tanda vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal.
Selanjutnya kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada
kondisi satabil. Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut yang utama
terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang. Jika
ditemukan oleh petugas dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan
syok harus dilakukan secara komprehensif yang meliputi penatalaksanaan
sebelum dan di tempat pelayanan kesehatan atau rumah sakit. 1

15
Penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan harus
memperhatikan prinsip-prinsip tahapan resusitasi. Selanjutnya bila kondisi
jantung, jalan nafas dan respirasi dapat dipertahankan, tindakan selanjutnya
adalah adalah menghentikan trauma penyebab perdarahan yang terjadi dan
mencegah perdarahan berlanjut. Menghentikan perdarahan sumber
perdarahan dan jika memungkinkan melakukan resusitasi cairan secepat
mungkin. Selanjutnya dibawa ke tempat pelayaan kesehatan, dan yang perlu
diperhatikan juga adalah teknik mobilisai dan pemantauan selama
perjalanan. Perlu juga diperhatikan posisi pasien yang dapat membantu
mencegah kondisi syok menjadi lebih buruk, misalnya posisi pasien trauma
agar tidak memperberat trauma dan perdarahan yang terjadi, pada wanita
hamil dimiringkan kea rah kiri agar kehamilannya tidak menekan vena cava
inferior yang dapat memperburuh fungsi sirkulasi. Sedangkan saat ini posisi
tredelenberg tidak dianjurkan lagi karena justru dapat memperburuk fungsi
ventilasi paru.1
Pada pusat layanan kesehatan atau dapat dimulai sebelumnya harus
dilakukan pemasangan infus intravena. Cairan resusitasi yang digunakan
adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian awal adalah
dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter
pada orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan
pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan
hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus dilanjutnya. Pemberian
cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan volume darah yang hilang
dalam waktu satu jam, karena istribusi cairan koloid lebih cepat berpindah
dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika tidak terjadi perbaikan
hemodinamik maka pilihannya adalah dengan pemberian koloid, dan
dipersiapkan pemberian darah segera1.
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok
hipovolemik antara lain:
1) Memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan
ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan
memperbaiki aliran darah. Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera
dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga
suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti

16
pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu
pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar
dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi
tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang
mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari. Sebaiknya dibuat
dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan
bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan
berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena
yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting
daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena
antecubiti, vena saphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan
menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis
maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6
tahun dapat digunakan jalur intraosseus.
Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan
pengalaman. Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring
tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.
Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk
resusitasi adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline
Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien
anak), dan respon pasien dinilai. Jika tanda vital sudah kembali normal,
pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk
dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid
dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi
tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah
O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita
usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut). Jika pasien
sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan
darah tipe O.
Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang
diberikan harus berdasarkan kondisi pasien. Posisi pasien dapat digunakan
untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan kedua kaki
pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat

17
adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah
kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan
meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien
dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi
Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat
mengganggu pertukaran udara.
2) Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, Kontrol perdarahan
tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah.
Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan
sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan
intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk
mengurangi kehilangan darah. Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di
unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi
emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga
suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera
dibawa di ruang operasi. Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal,
vasopressin intravena dan H2 bloker telah digunakan.
Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti
hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh
karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2
Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan. Infus somatostatin
dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan
gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini
membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.
Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-
Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan
balon esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon
esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan
akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi
mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan
hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim. Pada dasarnya
penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan
ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran)
memerlukan intervensi bedah.Konsultasi segera dan penanganan yang tepat

18
adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk
menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab
perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin.
Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus
dilakukan segera. Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat
mengindikasikan telah terjadi cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma)
harus diberitahukan segera tentang kedatangan pasien. Pada pasien yang
berusia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai contohnya, ultrasonografi
abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya aneurisma aorta
abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus
dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
3) Resusitasi Cairan.
Pasang kanul intravena ukuran besar, lakukan pemeriksaan
laboratorium (croosmatch, hemoglobin, hematocrit, thrombosit, elektrolit,
creatinin, analisis gas darah dan pH, laktat, parameter koagulasi,
transamine, albumin). Nilai kebutuhan oksigen, intubasi, atau ventilasi
(PO2 > 60 mmHg dan saturasi oksigen > 90%).
Resusitasi cairan dilakukan dengan perbandingan kristaloid dan
koloid sebesar 3:1. Bila kehilangan darah>25% maka perlu diberikan
eritrosit konsentrat, sementara kehilangan darah > 60% maka perlu juga
diberikan fresh frozen plasma (setelah 1 jam pemberian konsentrasi eritrosit
atau lebih cepat jika fungsi hati terganggu). Tujuan utama terapi syok
hipovolemik adalah penggantian volume sirkulasi darah. Penggantian
volume intravascular sangat penting untuk kebutuhan cardiac output dan
suplai oksigen ke jaringan. Syok hipovolemik yang disebabkan oleh
kehilangan darah dalam jumlah besar sering perlu dilakukan transfusi
darah. Adapun indikasi transfusi darah atau komponen darah pada syok
hipovolemik yaitu:
Tabel 4. Indikasi transfusi komponen darah

Indication for blood component therapy


Component Indication Usual strating dose

19
Packed RBC Replacement of Oxygen- 2-4 units IV
carrying capacity

Platelets Thrombocytopenia with 6-10 units IV


bleeding
Fresh frozen plasma Coagulopaty 2-6 units IV
Crycoprecipitate Coagulopaty with fibrinogen 10-20 units IV

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien,


konsentrasi elektrolit dan kelainan metabolic yang ada. Berbagai larutan
parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai
kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu
aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan
pasien.
Terdapat beberapa jenis cairan resusitasi yaitu cairan koloid,
kristaloid dan darah. koloid merupakan cairan dengan tekanan osmotik
yang lebih tinggi dibandingkan plasma (cairan hiperonkotik). Hipertonik
dan hiperonkotik adalah cairan plasma expander karena kemampuan untuk
memindahkan cairan intrselular dan interstisial selama resusitasi dan
dengan cepat menggantikan volume plasma (seperti albumin, dextran, dan
starch). Cairan kristaloid adalah cairan yang mengandung air, elektrolit dan
atau gula dengan berbagai campuran. Cairan ini bisa isotonik, hipotonik,
dan hipertonik terhadap cairan plasma. Sedangkan cairan koloid yaitu
cairan yang Berat Molekulnya tinggi. Cairan kristaloid terdiri dari:
a) Cairan Hipotonik
Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh
karena itu penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan intraseluler
seperti pada dehidrasi kronik dan pada kelainan keseimbangan elektrolit
terutama pada keadaan hipernatremi yang disebabkan oleh kehilangan
cairan pada diabetes insipidus. Cairan ini tidak dapat digunakan sebagai
cairan resusitasi pada kegawatan (dextrosa 5%).
b) Cairan Isotonik
Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer
laktat dan plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi
intravaskuler yang adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar

20
dari kehilangannya. Cairan ini cukup efektif sebagai cairan resusitasi dan
waktu yang diperlukan relatif lebih pendek dibanding dengan cairan koloid.
c) Cairan Hipertonik
Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler
utama. Oleh karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan
intraseluler ke dalam ekstraseluler.Peristiwa ini dikenal dengan infus
internal. Disamping itu cairan natrium hipertonik mempunyai efek inotropik
positif antara lain memvasodilatasi pembuluh darah paru dan sistemik.
Cairan ini bermanfaat untuk luka bakar karena dapat mengurangi edema
pada luka bakar, edema perifer dan mengurangi jumlah cairan yang
dibutuhkan, contohnya NaCl 3%.
Beberapa contoh cairan kristaloid :
a. Ringer Laktat (RL)
Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4
mEq/l, Klorida 109mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat
pada larutan ini dimetabolisme didalam hati dan sebagian kecil
metabolisme juga terjadi dalam ginjal. Metabolisme ini akan terganggu
pada penyakit yang menyebabkan gangguan fungsi hati. Laktat
dimetabolisme menjadi piruvat kemudian dikonversi menjadi CO2 dan
H2O (80% dikatalisis oleh enzimpiruvat dehidrogenase) atau glukosa (20%
dikatalisis oleh piruvat karboksilase). Kedua proses ini akan membentuk
HCO3. Sejauh ini Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan karena
komposisi elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit plasma.
Cairan ini digunakan untuk mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler yang
akut. Cairan ini diberikan pada dehidrasi berat karena diare murni dan
demam berdarah dengue. Pada keadaan syok, dehidrasi atau DSS
pemberiannya bisa diguyur.
b. Ringer Asetat
Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium
4 mEq/l, Kalsium 3mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat
mengoreksi keadaan asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena
asetat dimetabolisir di dalam otot, sedangkan laktat didalam hati. Laju
metabolisme asetat 250 400 mEq/jam, sedangkan laktat 100
mEq/jam.Asetat akan dimetabolisme menjadi bikarbonat dengan cara asetat

21
bergabung dengan ko-enzim A untuk membentuk asetil ko-A., reaksi ini
dikatalisis oleh asetil ko-A sintetase danmengkonsumsi ion hidrogen dalam
prosesnya. Cairan ini bisa mengganti pemakaian Ringer Laktat. Glukosa
5%, 10% dan 20%Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter ,
200 gr/liter.9 Glukosa 5% digunakanpada keadaan gagal jantung sedangkan
Glukosa 10% dan 20% digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal ginjal
akut dengan anuria dan gagal ginjal akut dengan oliguria.
c. NaCl 0,9%
Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L
Klorida, yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai
awal untuk penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan
hiponatremia, hipokloremia atau alkalosis metabolik. Cairan ini digunakan
pada demam berdarah dengue dan renjatan kardiogenik juga pada sindrom
yang berkaitan dengan kehilangan natrium seperti asidosis diabetikum,
insufisiensi adrenokortikaldan luka bakar. Pada anak dan bayi sakit
penggunaan NaCl biasanya dikombinasikan dengancairan lain, seperti NaCl
0,9% dengan Glukosa 5%.
Adapun Jenis-jenis cairan koloid adalah :
1) Albumin.Terdiri dari 2 jenis yaitu:
Albumin endogen. Albumin endogen merupakan protein utama yang
dihasilkan dihasilkan di hati dengan BM antara 66.000 sampai dengan
69.000, terdiri dari 584 asam amino. Albumin merupakan protein serum
utama dan berperan 80% terhadap tekanan onkotik plasma. Penurunan
kadar Albumin 50 % akan menurunkan tekanan onkotik plasmanya 1/3nya.
Albumin eksogen. Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum
albumin, albumin eksogen yang diproduksiberasal dari serum manusia dan
albumin eksogen yang dimurnikan (Purified protein fraction)dibuat dari
plasma manusia yang dimurnikan.8Albumin ini tersedia dengan kadar 5%
atau 25% dalam garam fisiologis. Albumin 25% biladiberikan intravaskuler
akan meningkatkan isi intravaskuler mendekati 5x jumlah
yangdiberikan.Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan onkotik
plasma. Peningkatan inimenyebabkan translokasi cairan intersisial ke
intravaskuler sepanjang jumlah cairan intersisial mencukupi. Komplikasi

22
albumin adalah hipokalsemia yang dapat menyebabkan depresi fungsi
miokardium, reaksi alegi terutama pada jenis yang dibuat dari fraksi protein
yangdimurnikan. Hal ini karena factor aktivator prekalkrein yang cukup
tinggi dan disamping ituharganya pun lebih mahal dibanding dengan
kristaloid. Larutan ini digunakan padasindroma nefrotik dan dengue syok
sindrom.
HES (Hidroxy Ethyl Starch). Merupaka senyawa kimia sintetis yang
menyerupai glikogen. Cairan ini mengandung partikel dengan BM beragam
dan merupakan campuran yang sangat heterogen. Tersedia dalam bentuk
larutan 6% dalam garam fisiologis. Tekanan onkotiknya adalah 30 mmHg
dan osmolaritasnya 310 mosm/l. HES dibentuk dari hidroksilasi
aminopektin, salah satu cabang polimer glukosa. Pada penelitian klinis
dilaporkan bahwa HES merupakan volume ekspander yang cukup efektif.
Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam. Pengikatan cairan
intravasuler melebihi jumlah cairan yang diberikan oleh karena tekanan
onkotiknya yang lebih tinggi. Komplikasi yang dijumpai adalah adanya
gangguan mekanisme pembekuan darah. Hal ini terjadi bila dosisnya
melebihi 20ml/ kgBB/ hari.
Dextran. Merupakan campuran dari polimer glukosa dengan berbagai
macam ukuran dan berat molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc
mesenteriodes yang dikembangbiakkan di mediasucrose. BM bervariasi
dari beberapa ribu sampai jutaan Dalton. Ada 2 jenis dextran yaitu dextran
40 dan 70. Dextran 70 mempunyai BM 70.000 (25.000-125.000).
Sediaannya terdapat dalam konsentrasi 6% dalam garam fisiologis. Dextran
ini lebih lambat dieksresikan dibandingkan dextran 40. Oleh karena itu
dextran 70 lebih efektif sebagai volume ekspander dan merupakan pilihan
terbaik dibadingkan dengan dextran 40. Dextran 40 mempunyai BM 40.000
tersedia dalam konsentrasi 10% dalam garam fisiologis atau glukosa 5%.
Molekul kecil ini difiltrasi cepat oleh ginjal dan dapat memberikan efek
diuretik ringan. Sebagian kecil dapat menembus membran kapiler dan
masuk ke ruang intertisial dan sebagian lagi melalui sistim limfatik kembali
ke intravaskuler. Pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada syok dan
kegawatan menghasilkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan

23
transpor oksigen. Cairan ini digunakan pada penyakit sindroma nefrotik dan
dengue syok sindrom. Komplikasi antara lain payah ginjal akut, reaksi
anafilaktik dan gangguan pembekuan darah.
Gelatin. Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama
pada orang dewasa. Terdapat 2 bentuk sediaan yaitu:1.Modified Fluid
Gelatin (MFG) 2.Urea Bridged Gelatin (UBG). Kedua cairan ini punya BM
35.000. Kedua jenis gelatin ini punya efek volume expander yang baik pada
kegawatan. Komplikasi yang sering terjadi adalah reaksi anafilaksis. Cairan
ini digunakan sebagai cairan rumatan pada penyakit bronkopneumonia,
status asmatikus dan bronkiolitis.
Pemilihan cairan resusitasi pada syok hipovolemik hingga saat ini
masih menjadi perdebatan. Pemberian infus koloid (plasma/albumin) pada
syok hipovolemik post operative dapat meningkatkan pengambilan okisgen
lebih cepat dibandingkan infus kristaloid. Inisial resusitasi pada syok
hipovolemik sering dimulai dengan hypertonic dan isotonic kristaloid yang
kemudian dilanjutkan dengan cairan koloid dan infuse eritrosit dan plasma.
Resusitasi syok hipovolemik pada luka bakar dimana terjadi
kehilangan plasma maka dilakukan resusitasi dengan kombinasi kristaloid
dan koloid. Pada kasus diabetes yang tidak terkontrol, diare dan insufisiensi
korteks adrenal yang menyebabkan kehilangan cairan plasma dan elektrolit
maka cairan resusitasi terpilih adalah cairan kristaloid. Cairan ini dapat
mempertahankan volume intravascular, interstisial, dan intraselular.
Pembarian transfusi darah diindikasikan pada kasus dengan kehilangan
darah >40% atau syok derajat IV. Menurut CPG 2007 resusitasi cairan
optimal pada syok hipovolemik yang disebabkan oleh trauma adalah
penggunaan darah. Bila transfusi darah tidak tersedia maka penggunaan
kristaloid isotonic lebih dianjurkan karena kristaloid menghasilkan
peningkatan cardiac output yang dapat diperkirakan dan secara umum
didistribusikan ke ekstraselular. Compound Sodium Lactat adalah
alternative pilihan yang dianjurkan untuk resusitasi awal pasien
hipovolemik.compound sodium lactate mengandung precursor bicarbonate
yang ketika dimetabolisme dapat membantu memperbaiki asidosis
metabolic. Pemberian cairan ini dihentikan pada pasien dengan gangguan
hati. Alternative lain yang dapat diberikan yaitu normal saline (NaCl 0.9%)
24
meskipun pemberiannya dalam dosis besar dapat menyebabkan asidosis
metabolic.

II.6.2 PENDARAHAN/ DEHIDRASI

Untuk memberikan rehidrasi pada pasien perlu dinilai dulu


derajat dehidrasi. Dehidrasi terdiri dari ringan, sedang, berat. Ringan
bila pasien mengalami kekurangan cairan 2-5% dari berat badan.
Sedang bila pasien mengalami kekurangan cairan 5-8% dari berat
badan. Berat bila pasien mengalami kekurangan cairan 8-10% dari
berat badan. 8
Prinsip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu
sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh.8
Macam pemberian cairan menggunakan Metode Pierce,
berdasarkan klinis :
a. Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x BB (kg)
b. Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x BB (kg)
c. Dehidrasi berat, kebutuhan cairan = 10% x BB (kg)
II.6.3 POSISI SHOCK
Angkat kedua tungkai dengan menggunakan papan setinggi
45o. 300 500 cc darah dari kaki pindah ke sirkulasi sentral.
Gambar 4. Posisi syok

Gunakan posisi ini jika penderita menunjukan tanda dan gejala


syok atau jika keseriusan masalah menyebabkan mungkin terjadi syok,
baringkan dengan posisi terlentang, gunakan selimut atau jaket untuk
menaikkan kaki setinggi 20-30 cm, tetapi tidak lebih dari itu untuk
membantu aliran darah kejantung dan otak. Hanya gunakan posisi ini
jika tidak ada dugaan adanya cedera tulang punggung.9

II.7 KOMPLIKASI
Jika syok terus berlanjut, kerusakan organ akhir terjadi yang
mencetuskan sindroma distres respirasi dewasa, gagal ginjal akut, koagulasi

25
intravaskuler diseminata, dan gagal multiorgan yang menyebabkan kematian.
Hipovolemia dianggap menimbulkan cedera vaskular alveolus akibat anoksia sel.
DIC terjadi akibat penggunaan PRC tanpa plasma dalam resusitasi selama syok
perdarahan hipovolemik akibat koagulopati dilusional.
Kerusakan ginjal
Kerusakan otak
Gangren dari lengan atau kaki, kadang-kadang mengarah ke
amputasi
Serangan jantung3

II.8 PROGNOSIS
Syok Hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala-
gejala dan hasil dapat bervariasi tergantung pada:
- Jumlah volume darah yang hilang
- Tingkat kehilangan darah
- Cedera yang menyebabkan kehilangan
- Mendasari pengobatan kondisi kronis, seperti diabetes dan jantung,
paru-paru, dan penyakit ginjal
Secara umum, pasien dengan derajat syok yang lebih ringan cenderung
lebih baik dibandingkan dengan syok yang lebih berat. Dalam kasus-kasus syok
hipovolemik berat, dapat menyebabkan kematian sehingga memerlukan perhatian
medis segera. Orang tua yang mengalami syok lebih cenderung memiliki hasil
yang buruk.7

26
BAB III
PENUTUP

Syok hipovolemik merupakan kegagalan perfusi jaringan yang disebabkan oleh


kehilangan cairan intravaskuler. Proses kegagalan perfusi akibat kehilangan volume
intravaskuler terjadi melalui penurunan aliran darah balik ke jantung (venous return) yang
menyebabkan volume sekuncup dan curah jantung berkurang.

Penurunan hebat curah jantung menyebabkan hantaran oksigen dan perfusi jaringan
tidak optimal yang dalam kedaan berat menyebabkan syok. Gejala klinis syok hipovolemik
baru jelas terlihat bila kekurangan volume sirkulasi lebih dari 15% karena pada tahap awal
perdarahan kurang mekanisme kompensasi sisitim kardiovaskuler dan saraf otonom masih
dapat menjaga fungsi sirkulasi dalam kedaan normal. Gejala dan tanda klinis juga tidak
muncul pada waktu bersamaan, seperti perubahan tekanan darah sitolik terjadi lebih lambat
dari adanya perubahan tekanan nadi, frekuensi jantung dan penurunan produksi urin. Oleh
karena itu pemeriksaan dan penatalaksanaan yang cermat harus dilakukan untuk
penatalaksanaan yang tepat, serta penanggulangan segera kasus-kasus yang beresiko agar
tidak jatuh kedalam kondisi syok.

Tujuan utama manajemen syok adalah menyediakan oksigenasi ke organ vital dan
mengembalikan volume sirkulasi darah. Pengelolaan perdarahan merupakan proses yang
sangat kompleks, termasuk di antaranya penanganan secara umum, seperti resusitasi,
monitoring kardiopulmoner, transfusi, pengobatan terhadap perdarahannya sendiri, dan
pencegahan terhadap komplikasi.

27
DAFTAR PUSTAKA
1. Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik:
Update dan Penyegar. Sumatera utara : Jurnal Kesehatan Andalas.
2. Dewi, Ernita.2010. Kegawat daruratan syok hipovolemik. Surakarta
3. Kolecki P. Hypovolemic Shock. 30 juli 2017. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview. 23 juli 2017
4. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL.
Harrison: prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 1. Edisi 13. Jakarta: EGC;
1999.Hal.259-62.
5. Wijaya IP. Syok hipovolemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
Keempat. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007.Hal.180-1
6. Harijanto E. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Jakarta : PP
IDSAI; 2009.Hal.22
7. Wolak E, Grant EJ, Hardin SR. Shock. In : Kaplow R, Hardi SR, editors. Critical
Care Nursing : Synergy For Optimal Outcome. London : Jones and Bartlett;
2007.Hal. 243-55
8. Fajar. 2012. Dehidrasi. Di unduh dari :
https://id.scribd.com/doc/101550810/referat-Dehidrasi-jadi . 31 juli 2017.
9. Jones. 2007. Pertolongan pertama dan RJP pada anak .Penerbit Arcan. Jakarta
Hal 49
10. Sjamsuhidajat. 2015. Buku ajar ilmu bedah dejong edisi 3. Jakarta : EGC Hal :
156

28
LAMPIRAN

29

Anda mungkin juga menyukai