Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Shock hipovolemic merupakan keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan yang disebabkan gangguan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh yang dapat
disbabkan oleh berbagai keadaan.Penyebab terjadiya syok hipoolemik diantaranya adalah
diare, Luka bakar, Muntah (dehidrasi),dan trauma maupun perdarahan karena obsetri. Syok
hipovolemik merupakan salah satu jenis syok dengan angka kejaian yang terbanyak
dibandingkan syok lainnya. Menurut Daljith Sing, paa tahun 2005, persentase angka
kejadian syok hipovolemik dibandingkan dngan syok jenis lainnya mencapai 35%.
Shock hipovolemik yang disebabkan oleh terjadinya kehilangan darah secara akut
(shock hemoragik) sampai saat ini merupakan salah satu penyebab kematian di Negara
Negara dengan mobilitas penduduk yang tinggi. Salah satu penyabab terjadinya shock
hemoragik tersebut diantaranya adalah cedera akibat kecelakaan. Menurut WHO cedera
akibat kecelakaan setiap tahunnya menyebabkan terjadinya 5 juta kematian diseluruh dunia.
Angka kematian pada pasien trauma yang mengalami syok hipovolemik di Rumah sakit
dengan tingkat pelayanan yang lengkap mencapai 6% Sedangkan angka kematian akibat
trauma yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan peralatan yang kurang
memadai mencapai 36%. Syok hipovolemik juga terjadi pada wanita dengan perdarahan
karena kasus obsetri, angka kematian akibat syok hipovolemik mencapai 500.000 per tahun
dan 99% kematian tersebut terjadi di Negara berkembang. Sebagian besar penderita syok
hipovolemik akibat perdarahan meninggal setelah beberapa jam terjadinya perdarahan
karena tidak mendapat penatalaksanaan yang tepat dan adekuat. Diare pada balita juga
merupakan salah satu penyebab terjadninya syok hipovolemik. Menurut WHO, angka
kematian akibat diare yang disertai syok hipovolemik pada balita di Brazil mencapai
800.000 jiwa. Sebagian besar penderita meninggal karena tidak mendapat penganagan pada
waktu yang tepat.
Penatalaksanaan syok hipovolemik yang adekuat terutama pada fase kompensata
akan memberikan outcome yang cukup baik. Penelitian yang dilakukan oleh Daljit Singh
1
(2005) menunjukkan bahwa angka keberhasilan penaganan syok hipovolemik pada fase
kompensata di Rumah sakit India mencapai 98%, Sedangkan angka keberhasilan
penanganan syok hipovolemik fase dekompensata di Rumah sakit di India mencapai 40%.
Terapi cairan yang tepat meruapakan salah satu cara untuk penatalaksanaan syok
hipovolemik. Terapi caiarn yang tepat akan brdampak pada penurunan angka mortalitas
pasien syok hipovolemik, akan tetapi terapi cairan yang tidak tepat akan mengakibatkan
komplikasi yang dapat membahayakan pasien misalnya edem paru dan gangguan elktrolit.
2.
Tujuan
Memperoleh pengetahuan mengenai penatalaksanaan syok terutama mengenai terapi
cairan pada penderita syok hipovolemik.
3.
Manfaat
Menambah kepustakaan mengenai syok hipovolemik dan penatalaksanaannya bagi
bagian anestesiologi dan reaminasi Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo.
BAB II
Pembahasan
1.
Cairan Tubuh
Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat berubah
tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia < 1
tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia > 1 tahun
mengandung air sebanyak 70-75 %. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase
jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 5060% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50 % berat badan. Perubahan jumlah dan
komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah,
diare, dan puasa preoperatif maupun perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis
yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi
dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.Seluruh cairan tubuh didistribusikan
ke dalam kompartemen intraselular dan kompartemen ekstraselular. Lebih jauh
kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan intravaskular dan intersisial.5
Cairan intraselular adalah cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan
intraselular. Pada orang dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di
intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70
kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan
intraselular.5
Cairan ekstraselular adalah cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular.
Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir,
sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun,
jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini
sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.2 Cairan
ekstraselular dibagi menjadi :5
1. Cairan Interstitial
3
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter pada
orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap ukuran
tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang
dewasa. 5
2. Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume plasma).
Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya merupakan plasma,
sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.5
3. Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti serebrospinal,
perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Pada
keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam
jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.5 Selain air, cairan tubuh
mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.5
Elektrolit Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus
listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah
kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen). 2Kation
utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation utama dalam
cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding sel tubuh
yang memompa keluar sodium dan potassium ini. Anion utama dalam cairan ekstraselular
adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan
intraselular adalah ion fosfat (PO43-). Non elektrolit merupakan zat seperti glukosa dan urea
yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan
bilirubin.6
Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama
maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak
mencerminkan komposisi cairan intraseluler.6
a. Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di dalam
mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-145mEq/liter.12 Kadar
4
natrium dalam plasma diatur lewat beberapa mekanisme: Left atrial stretch reseptor,
Central baroreseptor, Renal afferent baroreseptor, Aldosterone (reabsorpsi di ginjal),
Atrial natriuretic factor, Sistem renin angiotensin, Sekresi ADH dan Perubahan yang
terjadi pada air tubuh total (TBW=Total Body Water). Kadar natrium dalam tubuh
58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi natrium
dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter. Kebutuhan
setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl).3 Natrium dapat bergerak cepat antara ruang
intravaskuler dan interstitial maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak
mengeluarkan natrium (muntah,diare) sedangkan pemasukkan terbatas maka akan terjadi
keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam
plasma akan diganti dengan air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila kehilangan
cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap
tidak dapat dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi. 6
b. Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan penting di
dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh
sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat
berpindah adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel. 3 Kadar kalium plasma
3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat
berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90
mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter. 6
c. Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90% dikeluarkan lewat
faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada intake,
besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh
kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar (99%)
ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat dalam
sel.6
d. Magnesium
Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa
5%, Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik
(akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.8
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari
konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik pembuluh
darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi
tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.8
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion natrium
keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke
dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaanhiperosmolar
di dalam sel.8
1.
hari, sedangkan kehilangan cairan terjadi dari ekskresi urin (rata-rata 1500 ml tiap hari, 4080 ml per jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg untuk pediatrik), kulit (insensible loss
sebanyak rata-rata 6 ml/kg/24 jam pada rata-rata orang dewasa yang mana volume
kehilangan bertambah pada keadaan demam yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1
derajat celcius pada suhu tubuh di atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya
tergantung dari tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan), paru-paru (sekitar 400 ml tiap
hari dari insensible loss), traktus gastrointestinal (100-200 ml tiap hari yang dapat meningkat
sampai 3-6 L tiap hari jika terdapat penyakit di traktus gastrointestinal), third-space loses.5
2.
3.
Telah diketahui dengan baik respons tubuh saat kehilangan volum sirkulasi. Tubuh
secara logis akan segera memindahkan volum sirkulasinya dari organ non vital dan dengan
demikian fungsi organ vital terjaga karena cukup menerima aliran darah. Saat terjadi
perdarahan akut, curah jantung dan denyut nadi akan turun akibat rangsang baroreseptor di
aortik arch dan atrium. Volume sirkulasi turun, yang mengakibatkan teraktivasinya saraf
simpatis di jantung dan organ lain. Akibatnya, denyut jantung meningkat, terjadi
vasokonstriksi dan redistribusi darah dari organ-organ nonvital, seperti di kulit, saluran
cerna, dan ginjal. Secara bersamaan sistem hormonal juga teraktivasi akibat perdarahan akut
ini, dimana akan terjadi pelepasan hormon kortikotropin, yang akan merangsang pelepasan
glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar pituitary posterior akan melepas vasopressin,
yang akan meretensi air di tubulus distalis ginjal. Kompleks Jukstamedula akan melepas
renin, menurunkan MAP (Mean Arterial Pressure), dan meningkatkan pelepasan aldosteron
dimana air dan natrium akan direabsorpsi kembali. Hiperglikemia sering terjadi saat
perdarahan akut, karena proses glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat akibat
pelepasan aldosteron dan growth hormone. Katekolamin dilepas ke sirkulasi yang akan
menghambat aktifitas dan produksi insulin sehingga gula darah meningkat. Secara
keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik mengikuti
kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak dimana pasokan aliran
darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP (Mean Arterial Pressure). Ginjal
juga mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan
aliran darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari splanknik.
Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah
kerusakan organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.9
4.
Manifestasi Klinis
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting
untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung. Syok
hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis.
Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan,
letargi, atau perubahan status mental.5
9
2.
3.
Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh
darah.
4.
Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung.
Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung, atau
nyeri panggul.
5.
6.
7.
Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat
kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien
dengan riwayat hematemesis sejak sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau
varises esophagus.
8.
apakah
mereka
hamil.
Tes
kehamilan
negatif
bermakna
untuk
darah yang hilang dan lamanya pendarahan. Bila pendarahan terjadi di rumah atau di
lapangan, maka harus ditaksir jumlah darah yang hilang. Untuk pendarahan pada saluran
cerna sangatlah penting dicari asal darah dari rektum atau dari mulut. Karena cukup sulit
menduga jumlah darah yang hilang dari saluran cerna bagian bawah. Semua darah segar
yang keluar dari rektum harus diduga adanya perdarahan hebat, sampai dibuktikan
sebaliknya. Pendarahan saat trauma kadang sulit ditaksir jumlahnya. Karena rongga pleura,
kavum abdominalis, mediastinum dan retroperitoneum bisa menampung darah dalam jumlah
yang sangat besar dan bisa menjadi penyebab kematian. Perdarahan trauma eksternal bisa
ditaksir secara baik, tapi bisa juga kurang diawasi oleh petugas emergensi medis. Laserasi
kulit kepala bisa menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar. Fraktur multipel
terbuka, juga bisa mengakibatkan kehilangan darah yang cukup besar.8
Tabel 2.1 Lokasi & Estimasi Perdarahan
Lokasi
Estimasi Perdarahan
1.5-2 liter
Fr.Tibia tertutup
0.5 liter
Fr. Pelvis
3 liter
Hemothorax
2 liter
150 ml
500 ml
500 ml
11
pasien trauma. Dimana kedua tipe perdarahan ini biasanya ditegakkan dan ditangani secara
bersamaan. 6
Syok umumnya memberi gejala klinis kearah turunnya tanda vital tubuh, seperti:
hipotensi, takikardia, penurunan urin output dan penurunan kesadaran. Kumpulan gejala
tersebut bukanlah gejala primer tapi hanya gejala sekunder dari gagalnya sirkulasi tubuh.
Kumpulan gejala tersebut merupakan mekanisme kompensasi tubuh, berkorelasi dengan usia
dan penggunaan obat tertentu, kadang dijumpai pasien syok yang tekanan darah dan nadinya
dalam batas normal. Oleh karena itu pemeriksaan fisik menyeluruh pada pasien dengan
dilepas pakaiannya harus tetap dilakukan.9
Gejala umum yang timbul saat syok bisa sangat dramatis. Kulit kering, pucat dan
dengan diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi dan tidak sadar. Pada fase awal nadi
cepat dan dalam dibandingkan denyutnya. Tekanan darah sistolik bisa saja masih dalam
batas normal karena kompensasi. Konjungtiva pucat, seperti yang terdapat pada anemia
kronik. Lakukan inspeksi pada hidung dan faring untuk melihat kemungkinan adanya darah.
Auskultasi dan perkusi dada juga dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat gejala
hematothoraks, dimana suara nafas akan turun, serta suara perkusi redup di area dekat
perdarahan. 6
Periksa pasien lebih lanjut dengan teliti dari ujung kepala sampai ujung kaki, yang
dapat mengarahkan kita terhadap kemungkinan adanya luka. Periksa adakah perdarahan di
kulit kepala, apabila dijumpai perdarahan aktif harus segera diatasi bahkan sebelum
pemeriksaan lainnya. Periksa juga apakah ada darah pada mulut dan faring.12
Periksa abdomen dari tanda perdarahan intra-abdominal, misal: distensi, nyeri
palpitasi, dan perkusi redup. Periksa panggul apakah ada memar/ekimosis yang mengarah ke
perdarahan
retroperitoneal.
Adanya
distensi,
nyeri
saat
palpasi
dan
ekimosis
12
hilangnya darah dalam jumlah banyak, sehingga harus segera diimobilisasi dan ditraksi
secepatnya. Tes diagnostik lebih jauh perlu dilakukan untuk menyingkirkan perdarahan yang
< 750 ml
750-1500 ml
1500-2000 ml
>2000 ml
Nadi
< 100
> 100
> 120
> 140
Tek. sistolik
Normal
Normal
Menurun
Menurun
Nafas
Normal
20-30 x/m
>35 x/m
Kesadaran
Sedikit cemas
Agak cemas
Cemas, bingung
Bingung, lesu
Penderita yang mengalami perdarahan, menghadapi dua masalah yaitu berapakah sisa
volume darah yang beredar dan berapakah sisa eritrosit yang tersedia untuk mengangkut oksigen
ke jaringan. 12
13
Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa jam.
Penyebab kematian adalah syok progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan. Hipovolemia
menyebabkan beberapa perubahan : 9
1. Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan organ primer (otak,
jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
2. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerob dengan produk
asam laktat yang menyebabkan asidosis asam laktat.
3. Asidosis asam laktat menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada organ-organ primer
dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan merata,
4. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskular sampai 10% EBV tidak
mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan yang lebih dari 25% atau bila terjadi
syok/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan intrasel ikut terganggu. Bila dalam
terapi hanya diberikan sejumlah kehilangan plasma volume (intravaskular), penderita masih
mengalami defisit yang menyebabkan syoknya irreversibel dan berakhir kematian.7
Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah: 8
(cardiac output x saturasi O2 x kadar Hb x 1,34) + (cardiac output x pO2 x 0,003)
Unsur cardiac output x pO2 x 0,003 karena hasilnya kecil dapat diabaikan, maka
tampak bahwa persediaan oksigen untuk jaringan tergantung pada curah jantung / cardiac
output, saturasi O2 dan kadar Hb. Karena kebutuhan oksigen tubuh tidak dapat dikurangi
kecuali dengan hipotermia atau anestesi dalam, maka jika eritrosit hilang, total Hb
berkurang, curah jantung harus naik agar penyediaan oksigen jaringan tidak terganggu. Pada
orang normal dapat menaikkan curah jantung hingga 3 x normal dengan cepat, asalkan
volume sirkulasi cukup (normovolemia). Faktor Hb dan saturasi O2 jelas tidak dapat naik.
Hipovolemia yang terjadi akan mematahkan kompensasi dari curah jantung. Dengan
mengembalikan volume darah yang telah hilang asal segera normovolemia, maka curah
jantung akan mampu berkompensasi. Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi curah jantung
14
dapat naik sampai 3 x, maka penyediaan oksigen ke jaringan masih tetap normal.
Pengembalian volume mutlak diprioritaskan daripada pengembalian eritrosit.
5.
Penatalaksanaan Perdarahan
Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah mengetahui
tanda-tanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat mendiagnosis syok. Diagnosis
awal didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul akibat dari perfusi organ dan oksigenasi
jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok sebagai ketidak-normalan dari sistem peredaran
darah yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat juga
menjadi perangkat untuk diagnosis dan terapi.Langkah kedua dalam pengelolaan awal
terhadap syok adalah mencari penyebab syok, yang untuk penderita trauma berhubungan
dengan mekanisme cedera. Kebanyakan penderita trauma akan mengalami syok
hipovolemik.8 Dokter yang bertanggung jawab terhadap penatalaksanaan penderita harus
mulai dengan mengenal adanya syok. Terapi harus dimulai sambil mencari kemungkinan
penyebab dari keadaan syok tersebut.8 Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara
simultan. Untuk hampir semua penderita trauma, penanganan dilakukan seolah olah
penderita menderita syok hipovolemik, kecuali bila ada bukti jelas bahwa keadaan syok
disebabkan oleh suatu etiologi yang bukan hipovolemia. Prinsip pengelolaan dasar yang
harus dipegang ialah menghentingan perdarahan dan mengganti kehilangan volume.8
1. Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmaninya diarahkan lepada diagnosis cedera yang mengancam nyawa dan
meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting
untuk memantau respons penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tandatanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci
akan menyusul bila keadaan penderita mengijinkan.12
1. Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran
ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi
oksigen lebih dari 95%.
2. Circulation (Sirkulasi Kontrol Perdarahan)
15
resusitasi,
jumlah
cairan
yang
diperlukan
untuk
memulihkan
atau
17
penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui atau penyebab
lain untuk syok.12
Penderita datang dengan perdarahan
sampel darah
Hemodinamik baik
Hemodinamik buruk
Teruskan cairan
- Urin ml/kg/jam
Hemodinamik buruk
Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada kasus
B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau hematokrit kurang dari 25%, transfusi
sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan
suatu perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber perdarahan terkuasai dulu.
Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu
perdarahan masih berlangsung terus (continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan
terlalu lama dan anemia terlalu berat, sehingga terjadi hipoksia jaringan.13
Pada jam pertama setelah perdarahan, apabila diukur Hb atau Ht, hasil yang
diperoleh mungkin masih normal. Harga Hb yang benar adalah hasil yang diukur setelah
penderita kembali normovolemia dengan pemberian cairan. Penderita dalam keadaan
18
anestesi, dengan nafas buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir hematokrit 10
15%. Tetapi pada penderita biasa, sadar, dan dengan nafas sendiri, memerlukan Hb 8 gr/dL
atau lebih agar cadangan kompensasinya tidak terkuras habis.13
4.
sampai 20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan kristaloid untuk mengisi ruang
intravaskular diberikan sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid
diberikan dengan jumlah sama.8,9 Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat
perioperatif dengan tujuan untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume
intravaskular. Kalau hanya menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau
kristaloid. Indikasi transfusi darah antara lain:5
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan paru,
kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.9
TS I
TS II
TS III
Sesak nafas
Ringan
++
Tekanan darah
Turun
Tak teratur
Nadi
Cepat
Sangat cepat
Tak teraba
Urin
Oliguria
Anuria
Kesadaran
Disorientasi
Gas darah
N
pO2
/ pCO2
/ Koma
pO2
/ pCO2
CVP
Rendah
Sangat rendah
Sampai 10%
Sampai 30%
Lebih 50%
20
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Sampai 750
750 1500
1500 - 2000
>2000
30% - 40%
>40%
<100
>100
>120
>140
Tekanan darah
Normal
Normal
Menurun
Menurun
Tekanan nadi
Normal /
Frekuensi pernapasan
14-20
20 -30
30-40
>35
>30
20-30
5-15
<5
CNS/Status mental
Cemas,
Bingung,
Bingung
Lesu
Penggantian cairan
(hukum 3:1)
Kristaloid
Koloid
darah
darah
22
Kehilangan
lebih
dari
50%
volume
darah
penderita
mengakibatkan
5.
Sedang
Berat
Defisit
3-5%
6-8%
> 10%
Hemodinamik
takikardia
takikardia
takikardia
nadi lemah
Jaringan
volume collapse
akral dingin
hipotensi ortostatik
sianosis
lidah kering
lidah keriput
atonia
turgor turun
turgor kurang
turgor buruk
Urine
pekat
jumlah turun
Oliguria
SSP
mengantuk
apatis
coma
mempertimbangkan kebutuhan cairan untuk rumatan, defisit cairan dan kehilangan cairan
yang sedang berlangsung. Beberapa pendekatan terangkum dalam tabel 5.5 Strategi untuk
rehidrasi adalah dengan memperhitungkan defisit cairan, cairan rumatan yang diperlukan
dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung disesuaikan . Cara rehidrasi : 6
1.
Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 4 di atas), banyak cairan yang diberikan
(D) = derajat dehidrasi (%) x BB x 1000 cc
2. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24 jam atau
rumus holliday-segar seperti untuk anak-anak)
3. Pemberian cairan :
24
cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi volume cairan ekstraselular
yang berat terjadi.5
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium
menjadi
isonatremik
(130-150
mEq/L),
hiponatremik
(<139
mEq/L)
atau
timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia
(SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah,
third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat
diterapi dengan restriksi cairan (Na+ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.12 Koreksi hiponatremia yang
sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahanlahan, sedangkan untuk hiponatremia
akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan
rumus : 5
Na= Na1 Na0 x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)
b. Hipernatremia
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental,
letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan
(diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang,
asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5%
dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) xBB x 0,6}: 140. 6
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari
cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium
tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG
(QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot
skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor
presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai
10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai
40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai
perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).13 Rumus untuk menghitung defisit
kalium :15
26
K = K1 K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat
yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik).
Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan
otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk
hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium
bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.15
3. Perubahan komposisi
Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg). Kondisi ini berhubungan
dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan ventilasi alveolar pada pasien
bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk
obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen atas,
distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennya melibatkan
koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis
bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah
sangat penting.14
Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg). Kondisi ini disebabkan
ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang dibantu. Pada fase akut,
konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan
PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari
termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik,
dan koreksi defisit potasium yang terjadi.15
Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L). Kondisi ini disebabkan oleh
retensi atau penambahan asam atau kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum
27
termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat.
Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2.
Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang
berlebihan dan keracunan metanol. Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan
yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat
dan hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.15
Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L) . Kelainan ini merupakan
akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat dan diperburuk oleh
hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedahadalah
hipokloremik,
hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah sodium
klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus gradual
selama perode 24 jam denganpengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.8
6.
RESPONS SEMENTARA
TANPA
CEPAT
Tanda vital
Kembali ke normal
RESPONS
Perbaikan sementara, tensi dan
Tetap abnormal
Minimal
Berat
(10 - 20%)
(20 - 40%)
(> 40%)
28
Kebutuhan kristaloid
Sedikit
Banyak
Banyak
Kebutuhan darah
Sedikit
Sedang-banyak
Segera
Persiapan darah
Specific
type
Emergensi
crossmatch
Operasi
Mungkin
Sangat mungkin
Hampir pasti
Perlu
Perlu
Perlu
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi ginjal.
Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal yang cukup, bila
tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin merupakan salah
satu dari pemantauan utama resusitasi dan respons penderita.13
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran darah
ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar
0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam
untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin turunnya produksi urin dengan
berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini
menuntut ditambahnya penggantian volume dan usaha diagnostik.5
Respons penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk menentukan
terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara berdasarkan evaluasi
awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah pengelolaannya berdasarkan respons
penderita pada resusitasi cairan awal. Dengan melakukan observasi terhadap respons
penderita pada resusitasi awal dapat diketahui penderita yang kehilangan darahnya lebih
besar dari yang diperkirakan, dan perdarahan yang berlanjut dan memerlukan pengendalian
perdarahan internal melalui operasi. Dengan resusitasi di ruang operasi dapat dilakukan
kontrol langsung terhadap perdarahan oleh ahli bedah dan dilakukan pemulihan volume
intravaskular secara simultan. Resusitasi di ruang operasi juga membatasi kemungkinan
transfusi berlebihan pada orang yang status awalnya tidak seimbang jumlah kehilangan
darah. Adalah penting untuk membedakan penderita dengan hemodinamik stabil dengan
hemodinamik normal. Penderita yang hemodinamik stabil mungkin tetap ada takikardi,
29
takipneu, dan oliguri, dan jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih syok. Sebaliknya,
penderita yang hemodinamik normal adalah yang tidak menunjukkan tanda perfusi jaringan
yang kurang memadai. Pola respons yang potensial dapat dibahas dalam tiga kelompok:
respons cepat, respons sementara, respons minimum atau tidak ada pada pemberian cairan.5
a. Respons cepat
Penderita kelompok ini cepat memberi respons kepada bolus cairan awal dan tetap
hemodinamik normal setelah bolus cairan awal selesai dan cairan kemudian diperlambat
sampai kecepatan rumatan/maintenance. Penderita seperti ini biasanya kehilangan
volume darah minimum. Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus cairan tambahan
atau pemberian darah lebih lanjut. Jenis darahnya dan crossmatch nya tetap dikerjakan.
Konsultasi dan evaluasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal, karena
intervensi operatif mungkin masih diperlukan.8
b. Respons sementara
Kelompok yang kedua adalah penderita yang berespons terhadap pemberian cairan,
namun bila tetesan diperlambat hemodinamik penderita menurun kembali karena
kehilangan darah yang masih berlangsung, atau resusitasi yang tidak cukup. Jumlah
kehilangan darah pada kelompok ini adalah antara 20 - 40% volume darah. Pemberian
cairan pada kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respons
terhadap pemberian darah menentukan penderita mana yang memerlukan operasi segera.8
c. Respons minimal atau tanpa respons
Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, kondisi hemodinamik pasien tetap
buruk dengan respons minimal atau tanpa respons, ini menandakan perlunya operasi
segera. Walaupun sangat jarang, namun harus tetap diwaspadai kemungkinan syok nonhemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard. Kemungkinan adanya syok
non-hemoragik harus selalu diingat pada kelompok ini.8
7. Jenis Cairan Intravena
Ada 4 pilihan pokok yang selama bertahun tahun menjadi perbantahan sengit, yaitu:
a. Transfusi darah
30
Ini adalah pilihan pokok apabila terdapat donor yang cocok. Hemodilusi dengan cairan
tidak bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan hemodinamik dan perfusi
yang baik sementara darah donor tetap perlu ditransfusikan dalam memberikan koreksi
defisit cairan ekstraselular (ECF). Bila darah golongan yang sesuai tidak tersedia, dapat
digunakan universal donor yaitu golongan O dengan titer anti A rendah (Rh negatif) atau
Packed Red Cell-O. Sebaiknya darah universal ini selalu tersedia di UGD.12
b. Plasma Expander
Cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran, gelatin, hydroxy-ethyl
starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih lama di
intravaskular. Namun, sayangnya defisit ECF tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander.
Selain itu, dari segi harga, plasma expander jauh lebih mahal daripada Ringer Laktat (kirakira 10x lipat lebih mahal). Reaksi anaphylactoid dapat terjadi, baik karena dextran
maupun gelatin (0,03 - 0,08% pemberian). Reaksi ini dapat terjadi disertai dengan syok,
yang memerlukan adrenalin untuk mengatasinya. Apabila tidak segera ditangani dengan
baik dan tepat, reaksi ini dapat berakhir fatal. Dextran juga menyebabkan gangguan pada
crossmatch darah dan pada dosis lebih dari 10 - 15 ml/kgBB akan menyebabkan gangguan
pembekuan darah.13
c. Albumin
Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik dari segi volume
effect. Tetapi harganya sangat mahal, sekitar 70x lipat dari harga Ringer Laktat untuk
mendapatkan volume effect yang sama.13
d. Ringer Laktat atau NaCl 0,9%
Cairan ini paling mirip komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun pemberian infus IVF
diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah cairan
interstitial/ISF jenuh. Cairan lain seperti Dextrose dan NaCl 0,45% tidak dapat digunakan.7
31
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, tidak mengandung
molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular,
sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang.
Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang
intravaskular ke interstisial berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam
24 - 48 jam sebagai urin. Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel
dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.7
Tabel 2.7. Berbagai Cairan Kristaloid7
Cairan
Ringer
Na+
K+
Cl-
Ca++
HCO3
Tekanan Osmotik
(mEq/L)
(mEq/L)
(mEq/L)
(mEq/L)
(mEq/L)
(mOsm/L)
273
130
190
28
130
109
28#
273
154
308
Laktat
Ringer
Asetat
NaCl
0,9%
*
sebagai laktat
sebagai asetat
Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan
kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi
alergi dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut
dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.11
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan
hiponatremia, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis
yang paling mirip dengan cairan ekstraselular. RL dapat diberikan dengan aman dalam
jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik,
kombustio dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai
cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.14
Ringer Asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme
laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme
pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan
Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
32
hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat
membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.14
Jenis cairan berdasarkan tujuan terapi:
1. Cairan rumatan (maintenance).
Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut kurang dari konsentrasi cairan
intraselular/Intracellular Fluid (ICF); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas
< 270 mOsm/kg; misal: Dekstrosa 5%, Dekstrosa 5% dalam Saline / NaCl 0,22%
2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)
Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = ICF; tidak ada perpindahan cairan melalui
membran sel semipermeabel. Tonisitas 275 295 mOsm/kg; misal : NaCl 0,9%, Ringer
Laktat, koloid.
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > ICF; menyebabkan air keluar dari sel,
menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi. Tonisitas > 295 mOsm/kg; misal: NaCl 3
%, Manitol, Natrium-bikarbonat, Natrium laktat hipertonik.
4.
Penyulit
Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantungnya sendiri, pada proses
metabolisme atau pada paru.7
Dekompensasi jantung
Dekompensasi ditandai oleh kenaikan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge
Pressure). Bahaya terjadinya dekompensasi jantung sangat kecil, kecuali pada jantung yang
sudah sakit sebelumnya. Pada pemberian koloid dapat mengalami kenaikan PCWP 50% yang
potensial akan mengalami dekompensasi jantung.7
33
Edema paru
Adanya edema paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatnya rasio Qs/Qt.
Pemberian koloid yang diharapkan tidak merembes keluar IVF ternyata mengalami kenaikkan
Qs/Qt yang sama yaitu 16 + 1%. Akibat pengenceran darah, terjadi transient
hypoalbuminemia 2,5 0,1 mg% dari sebelumnya sebesar 3,5 0,1 mg%. Penurunan albumin
ini diikuti penurunan tekanan onkotik plasma dari 21 + 0,4 menjadi 13 + 1,0. Penurunan
selisih tekanan COP PCWP tidak selalu menyebabkan edema. Giesecke memberi batasan
bahwa kadar albumin terendah yang masih aman adalah 2,5 mg%. Kalau albumin perlu
dinaikkan, pemberian infus albumin 20 25% dapat diberikan dengan tetesan lambat 2
jam/100 ml. Dosis ini akan menaikkan kadar 0,25 -0,50 mg%.7
Jika masih terjadi edema paru, berikan furosemid, 1 - 2mg/kg. Gejala sesak nafas
akan berkurang setelah urin keluar 1000 - 2000 ml. Lakukan digitalisasi atau berikan dopamin
drip 5 10 microgram/kgBB/menit. Sebagai terapi simptomatik berikan oksigen, atau bila
diperlukan mendesak lakukan nafas buatan + PEEP. Insiden dari pulmonary insufficiency post
resusitasi cairan adalah 2,1%.7
Asidosis asam laktat
Pemberian Ringer Laktat tidak dapat menambah buruk asidosis asam laktat karena
syok. Asam laktat dirubah hepar menjadi bikarbonat yang menetralisir asidosis metabolik
pada syok. Perbaikan sirkulasi akibat pemberian volume justru menurunkan laktat darah
karena perbaikan transport oksigen ke jaringan, metabolisme aerobik bertambah.7
Gangguan hemostasis
Gangguan karena pengenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi sudah mencapai
1,5 x EBV. Faktor pembekuan yang terganggu adalah trombosit. Pemberian Fresh Frozen
Plasma tidak berguna karena tidak mengandung trombosit, sedangkan faktor V dan VIII
dibutuhkan dalam jumlah sedikit (5 - 30 % normal). Trombosit dapat diberikan sebagai fresh
blood, platelet rich plasma atau thrombocyte concentrate dengan masa simpan kurang dari 6
jam pada suhu 40C. Untuk hemostasis yang baik diperlukan kadar trombosit 100.000 per
mm3. Dextran juga dapat menimbulkan gangguan jika dosis melebihi 10 ml/kgBB.7
34
BAB III
Kesimpulan
35
1.
Syok hemoragik hipovolemik disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh.
2.
Cairan di tubuh manusia terdiri dari cairan intraselular dan cairan ekstraselular terbagi
dalam:
1. Cairan intravaskular
2. Cairan interstisial
3. Cairan transelular
3.
4.
Terapi cairan ataupun darah masih menjadi penatalaksanaan terbaik bagi syok hipovolemik.
5.
Penggunaan cairan terbaik antara kristaloid, koloid, maupun darah sampai saat ini masih
menjadi kontroversi namun secara umum masing masing cairan memiliki kelbihan dan
kekurangan yang tepat digunakan dengan indikasi indikasi tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
1.
A Clinical Profile of Shock in Punjab, India. Daljit Singh, Atul Chopra, Puneet Aulakh
Pooni and R.C. Bhatia. Indian Pediatric 2006 : 43.
2.
3.
Heckbert SR, Vedder NB, Hoffman W, et al. Outcome after hemorrhagic shock in trauma
patients. Journal of Trauma 1998;45(3):5459.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian
Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran;
Diunduh
dari:
http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan%20El
ektrolit%20Perioperatif2.pdf
Udeani; John; 2010; Hemorrhagic Krausz, Michael M; 2006; Initial Resuscitation of
Hemorrhagic Shock; Israel : Department of Surgery A, Rambam Medical Center, and the
Technion-Israel Institute of Technology, P.O.B 9602, Haifa 31096; Diunduh dari :
http://www.wjes.org/content/1/1/14
Leksana, Ery; 2010; Terapi Cairan dan Darah; Semarang; SMF/Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, RSUP Dr. Kariadi / Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro;
Diunduh
dari
:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/27_177Terapicairandandarah.pdf/27_177Terapicair
andandarah.pdf
Guyton AC, Hall JE; 1997; Textbook of Medical Physiology. 9th ed. Pennsylvania:
W.B.Saunders company;: 375-393;
Shock; New York: Department of Emergency Medicine, Charles Drew University/
UCLA
School
of
Medicine;
Diunduh
dari
http://www.scribd.com/doc/19834799/Hemorrhagic-Shock
10.
Heitz U, Horne MM. Fluid; 2005; Electrolyte and Acid Base Balance. 5th ed. Missouri:
Elsevier-mosby;.p3-227; Dikutip dari : Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan
Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran
Universitas
Padjadjaran;
Diunduh
dari
:http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan%20E
lektrolit%20Perioperatif2.pdf
11. Wirjoatmodjo, Karjadi; 2000; Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk
Pendidikan S1 Kedokteran; Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.
12. Steven, Parks N; 2004; Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors; Jakarta :
Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI).
37
13. Latief, Said A, dkk; 2002; Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua: Dikutip dari:
Transfusi Darah pada Pembedahan; Jakarta, Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
14. Mulyono, I., Jenis-jenis Cairan, dalam Symposium of Fluid and Nutrition Therapy in
Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta.
15.
Martin, Gregory S, MD, MS. An Update on Intravenous Fluids. 2005. Diunduh dari
:http://cme.medscape.com/viewarticle/503138
38