Anda di halaman 1dari 38

BAB I

Pendahuluan

1.

Latar Belakang
Shock hipovolemic merupakan keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan yang disebabkan gangguan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh yang dapat
disbabkan oleh berbagai keadaan.Penyebab terjadiya syok hipoolemik diantaranya adalah
diare, Luka bakar, Muntah (dehidrasi),dan trauma maupun perdarahan karena obsetri. Syok
hipovolemik merupakan salah satu jenis syok dengan angka kejaian yang terbanyak
dibandingkan syok lainnya. Menurut Daljith Sing, paa tahun 2005, persentase angka
kejadian syok hipovolemik dibandingkan dngan syok jenis lainnya mencapai 35%.
Shock hipovolemik yang disebabkan oleh terjadinya kehilangan darah secara akut
(shock hemoragik) sampai saat ini merupakan salah satu penyebab kematian di Negara
Negara dengan mobilitas penduduk yang tinggi. Salah satu penyabab terjadinya shock
hemoragik tersebut diantaranya adalah cedera akibat kecelakaan. Menurut WHO cedera
akibat kecelakaan setiap tahunnya menyebabkan terjadinya 5 juta kematian diseluruh dunia.
Angka kematian pada pasien trauma yang mengalami syok hipovolemik di Rumah sakit
dengan tingkat pelayanan yang lengkap mencapai 6% Sedangkan angka kematian akibat
trauma yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan peralatan yang kurang
memadai mencapai 36%. Syok hipovolemik juga terjadi pada wanita dengan perdarahan
karena kasus obsetri, angka kematian akibat syok hipovolemik mencapai 500.000 per tahun
dan 99% kematian tersebut terjadi di Negara berkembang. Sebagian besar penderita syok
hipovolemik akibat perdarahan meninggal setelah beberapa jam terjadinya perdarahan
karena tidak mendapat penatalaksanaan yang tepat dan adekuat. Diare pada balita juga
merupakan salah satu penyebab terjadninya syok hipovolemik. Menurut WHO, angka
kematian akibat diare yang disertai syok hipovolemik pada balita di Brazil mencapai
800.000 jiwa. Sebagian besar penderita meninggal karena tidak mendapat penganagan pada
waktu yang tepat.
Penatalaksanaan syok hipovolemik yang adekuat terutama pada fase kompensata
akan memberikan outcome yang cukup baik. Penelitian yang dilakukan oleh Daljit Singh
1

(2005) menunjukkan bahwa angka keberhasilan penaganan syok hipovolemik pada fase
kompensata di Rumah sakit India mencapai 98%, Sedangkan angka keberhasilan
penanganan syok hipovolemik fase dekompensata di Rumah sakit di India mencapai 40%.
Terapi cairan yang tepat meruapakan salah satu cara untuk penatalaksanaan syok
hipovolemik. Terapi caiarn yang tepat akan brdampak pada penurunan angka mortalitas
pasien syok hipovolemik, akan tetapi terapi cairan yang tidak tepat akan mengakibatkan
komplikasi yang dapat membahayakan pasien misalnya edem paru dan gangguan elktrolit.

2.

Tujuan
Memperoleh pengetahuan mengenai penatalaksanaan syok terutama mengenai terapi
cairan pada penderita syok hipovolemik.

3.

Manfaat
Menambah kepustakaan mengenai syok hipovolemik dan penatalaksanaannya bagi
bagian anestesiologi dan reaminasi Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo.

BAB II
Pembahasan
1.

Cairan Tubuh
Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat berubah
tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia < 1
tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia > 1 tahun
mengandung air sebanyak 70-75 %. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase
jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 5060% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50 % berat badan. Perubahan jumlah dan
komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah,
diare, dan puasa preoperatif maupun perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis
yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi
dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.Seluruh cairan tubuh didistribusikan
ke dalam kompartemen intraselular dan kompartemen ekstraselular. Lebih jauh
kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan intravaskular dan intersisial.5
Cairan intraselular adalah cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan
intraselular. Pada orang dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di
intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70
kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan
intraselular.5
Cairan ekstraselular adalah cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular.
Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir,
sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun,
jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini
sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.2 Cairan
ekstraselular dibagi menjadi :5
1. Cairan Interstitial
3

Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter pada
orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap ukuran
tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang
dewasa. 5
2. Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume plasma).
Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya merupakan plasma,
sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.5
3. Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti serebrospinal,
perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Pada
keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam
jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.5 Selain air, cairan tubuh
mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.5
Elektrolit Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus
listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah
kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen). 2Kation
utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation utama dalam
cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding sel tubuh
yang memompa keluar sodium dan potassium ini. Anion utama dalam cairan ekstraselular
adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan
intraselular adalah ion fosfat (PO43-). Non elektrolit merupakan zat seperti glukosa dan urea
yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan
bilirubin.6
Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama
maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak
mencerminkan komposisi cairan intraseluler.6
a. Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di dalam
mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-145mEq/liter.12 Kadar
4

natrium dalam plasma diatur lewat beberapa mekanisme: Left atrial stretch reseptor,
Central baroreseptor, Renal afferent baroreseptor, Aldosterone (reabsorpsi di ginjal),
Atrial natriuretic factor, Sistem renin angiotensin, Sekresi ADH dan Perubahan yang
terjadi pada air tubuh total (TBW=Total Body Water). Kadar natrium dalam tubuh
58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi natrium
dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter. Kebutuhan
setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl).3 Natrium dapat bergerak cepat antara ruang
intravaskuler dan interstitial maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak
mengeluarkan natrium (muntah,diare) sedangkan pemasukkan terbatas maka akan terjadi
keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam
plasma akan diganti dengan air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila kehilangan
cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap
tidak dapat dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi. 6
b. Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan penting di
dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh
sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat
berpindah adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel. 3 Kadar kalium plasma
3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat
berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90
mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter. 6
c. Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90% dikeluarkan lewat
faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada intake,
besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh
kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar (99%)
ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat dalam
sel.6
d. Magnesium

Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk pertumbuhan + 10


mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces. 6
e. Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil akhir
daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali bikarbonat
yang akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat
penting peranannya dalam keseimbangan asam basa. 6

Gambar 2.1 Pembagian Cairan Tubuh

B. Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme
transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energy sedangkan
mekanisme transpor aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme
transpor pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang
memerlukan ATP.5 Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung
secara:
a. Osmosis
6

Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membrane semipermeabel


(permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih
tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeable terhadap air,
sehingga tekanan osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran
semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun tidak dapat dilalui
zat terlarut misalnya protein.

Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L.

Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa
5%, Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik
(akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.8
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari
konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik pembuluh
darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi
tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.8
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion natrium
keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke
dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaanhiperosmolar
di dalam sel.8

1.

Asupan dan kehilangan cairan dan elektrolit pada keadaan normal


Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah oleh stres
akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera pada paru-paru,
kulit atau traktus gastrointestinal.5 Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air ratarata sebanyak 2000-2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan
kehilangan cairan ratarata 250 ml dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml
kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.5
Kepustakaan lain menyebutkan asupan cairan didapat dari metabolisme oksidatif dari
karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar 250-300 ml per hari, cairan yang diminum
setiap hari sekitar 1100-1400 ml tiap hari, cairan dari makanan padat sekitar 800-100 ml tiap
7

hari, sedangkan kehilangan cairan terjadi dari ekskresi urin (rata-rata 1500 ml tiap hari, 4080 ml per jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg untuk pediatrik), kulit (insensible loss
sebanyak rata-rata 6 ml/kg/24 jam pada rata-rata orang dewasa yang mana volume
kehilangan bertambah pada keadaan demam yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1
derajat celcius pada suhu tubuh di atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya
tergantung dari tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan), paru-paru (sekitar 400 ml tiap
hari dari insensible loss), traktus gastrointestinal (100-200 ml tiap hari yang dapat meningkat
sampai 3-6 L tiap hari jika terdapat penyakit di traktus gastrointestinal), third-space loses.5

2.

Definisi Syok Hipovolemik


Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi
yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Syok hipovolemik merupakan kondisi terjadinya
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan
oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat.
Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok
hemoragik).9 Syok hipovolemik adalah kehilangan akut volume peredaran darah yang
menyebabkan suatu kondisi dimana perfusi jaringan menurun dan menyebabkan
inadekuatnya hantaran oksigen dan nutrisi yang diperlukan sel. Keadaan apapun yang
menyebabkan kurangnya oksigenasi sel, maka sel dan organ akan berada dalam keadaan
syok.9 Penyebab syok hipovolemik diantaranya adalah kehilangan darah atau syok
hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura
limpa, dan kehamilan ektopik terganggu. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat
menampung kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500
1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 10001500 ml perdarahan. Kehilangan
cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau cairan
ekstraseluler, misalnya pada: Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison. Penyebab lainya diantaranya Luka bakar
(kombustio).8

3.

Patofisiologi Syok Hipovolemik


8

Telah diketahui dengan baik respons tubuh saat kehilangan volum sirkulasi. Tubuh
secara logis akan segera memindahkan volum sirkulasinya dari organ non vital dan dengan
demikian fungsi organ vital terjaga karena cukup menerima aliran darah. Saat terjadi
perdarahan akut, curah jantung dan denyut nadi akan turun akibat rangsang baroreseptor di
aortik arch dan atrium. Volume sirkulasi turun, yang mengakibatkan teraktivasinya saraf
simpatis di jantung dan organ lain. Akibatnya, denyut jantung meningkat, terjadi
vasokonstriksi dan redistribusi darah dari organ-organ nonvital, seperti di kulit, saluran
cerna, dan ginjal. Secara bersamaan sistem hormonal juga teraktivasi akibat perdarahan akut
ini, dimana akan terjadi pelepasan hormon kortikotropin, yang akan merangsang pelepasan
glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar pituitary posterior akan melepas vasopressin,
yang akan meretensi air di tubulus distalis ginjal. Kompleks Jukstamedula akan melepas
renin, menurunkan MAP (Mean Arterial Pressure), dan meningkatkan pelepasan aldosteron
dimana air dan natrium akan direabsorpsi kembali. Hiperglikemia sering terjadi saat
perdarahan akut, karena proses glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat akibat
pelepasan aldosteron dan growth hormone. Katekolamin dilepas ke sirkulasi yang akan
menghambat aktifitas dan produksi insulin sehingga gula darah meningkat. Secara
keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik mengikuti
kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak dimana pasokan aliran
darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP (Mean Arterial Pressure). Ginjal
juga mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan
aliran darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari splanknik.
Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah
kerusakan organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.9

4.

Manifestasi Klinis
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting
untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung. Syok
hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis.
Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan,
letargi, atau perubahan status mental.5
9

Gejala-gejala syok seperti kelemahan, gelisah, dan kebingungan, sebaiknya dinilai


pada semua pasien.Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa
informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera
akibat tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor). 11
1.

Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri.

2.

Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat.

3.

Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh
darah.

4.

Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung.
Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung, atau
nyeri panggul.

5.

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan tentang


hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-inflamasi non
steroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting.

6.

Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan.

7.

Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat
kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien
dengan riwayat hematemesis sejak sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau
varises esophagus.

8.

Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi


mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik,
perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada saluran
vagina, dan nyeri. Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk
meyakinkan

apakah

mereka

hamil.

Tes

kehamilan

negatif

bermakna

untuk

menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.


Gejala klinis tunggal jarang saat diagnosa syok ditegakkan. Pasien bisa mengeluh
lelah, kelemahan umum, atau nyeri punggung belakang (gejala pecahnya aneurisma aorta
abdominal). Penting diperoleh data rinci tentang tipe, jumlah dan lama pendarahan, karena
pengambilan keputusan untuk tes diagnostik dan tatalaksana selanjutnya tergantung jumlah
10

darah yang hilang dan lamanya pendarahan. Bila pendarahan terjadi di rumah atau di
lapangan, maka harus ditaksir jumlah darah yang hilang. Untuk pendarahan pada saluran
cerna sangatlah penting dicari asal darah dari rektum atau dari mulut. Karena cukup sulit
menduga jumlah darah yang hilang dari saluran cerna bagian bawah. Semua darah segar
yang keluar dari rektum harus diduga adanya perdarahan hebat, sampai dibuktikan
sebaliknya. Pendarahan saat trauma kadang sulit ditaksir jumlahnya. Karena rongga pleura,
kavum abdominalis, mediastinum dan retroperitoneum bisa menampung darah dalam jumlah
yang sangat besar dan bisa menjadi penyebab kematian. Perdarahan trauma eksternal bisa
ditaksir secara baik, tapi bisa juga kurang diawasi oleh petugas emergensi medis. Laserasi
kulit kepala bisa menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar. Fraktur multipel
terbuka, juga bisa mengakibatkan kehilangan darah yang cukup besar.8
Tabel 2.1 Lokasi & Estimasi Perdarahan

Lokasi

Estimasi Perdarahan

Fr. Femur tertutup

1.5-2 liter

Fr.Tibia tertutup

0.5 liter

Fr. Pelvis

3 liter

Hemothorax

2 liter

Fr. Iga (tiap satu)

150 ml

Luka sekepal tangan

500 ml

Bekuan darah sekepal

500 ml

Pemeriksaan klinis pasien syok hemoragik dapat segera langsung berhubungan


dengan penyebabnya. Asal sumber perdarahan dan perkiraan berat ringannya darah yang
hilang bisa terlihat langsung. Bisa dibedakan perdarahan pada pasien penyakit dalam dan

11

pasien trauma. Dimana kedua tipe perdarahan ini biasanya ditegakkan dan ditangani secara
bersamaan. 6
Syok umumnya memberi gejala klinis kearah turunnya tanda vital tubuh, seperti:
hipotensi, takikardia, penurunan urin output dan penurunan kesadaran. Kumpulan gejala
tersebut bukanlah gejala primer tapi hanya gejala sekunder dari gagalnya sirkulasi tubuh.
Kumpulan gejala tersebut merupakan mekanisme kompensasi tubuh, berkorelasi dengan usia
dan penggunaan obat tertentu, kadang dijumpai pasien syok yang tekanan darah dan nadinya
dalam batas normal. Oleh karena itu pemeriksaan fisik menyeluruh pada pasien dengan
dilepas pakaiannya harus tetap dilakukan.9
Gejala umum yang timbul saat syok bisa sangat dramatis. Kulit kering, pucat dan
dengan diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi dan tidak sadar. Pada fase awal nadi
cepat dan dalam dibandingkan denyutnya. Tekanan darah sistolik bisa saja masih dalam
batas normal karena kompensasi. Konjungtiva pucat, seperti yang terdapat pada anemia
kronik. Lakukan inspeksi pada hidung dan faring untuk melihat kemungkinan adanya darah.
Auskultasi dan perkusi dada juga dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat gejala
hematothoraks, dimana suara nafas akan turun, serta suara perkusi redup di area dekat
perdarahan. 6
Periksa pasien lebih lanjut dengan teliti dari ujung kepala sampai ujung kaki, yang
dapat mengarahkan kita terhadap kemungkinan adanya luka. Periksa adakah perdarahan di
kulit kepala, apabila dijumpai perdarahan aktif harus segera diatasi bahkan sebelum
pemeriksaan lainnya. Periksa juga apakah ada darah pada mulut dan faring.12
Periksa abdomen dari tanda perdarahan intra-abdominal, misal: distensi, nyeri
palpitasi, dan perkusi redup. Periksa panggul apakah ada memar/ekimosis yang mengarah ke
perdarahan

retroperitoneal.

Adanya

distensi,

nyeri

saat

palpasi

dan

ekimosis

mengindikasikan adanya perdarahan intra-abdominal. Palpasi pula kestabilan tulang pelvis,


bila ada krepitasi atau instabilitas mengindikasikan terjadinya fraktus pelvis dan ini dapat
mengancam jiwa karena perdarahan terjadi pada rongga retroperitoneum. Kejadian yang
sering dalam klinis adalah pecahnya aneurisma aorta yang bisa menyebabkan syok tak
terdeteksi. Tanda klinis yang bisa mengarahkan kita adalah terabanya masa abdomen yang

12

berdenyut, pembesaran skrotum karena terperangkapnya darah retroperitoneal, kelumpuhan


ekstremitas bawah dan lemahnya nadi femoralis. 12
Fraktur pada tulang panjang ditandai nyeri dan krepitasi saat palpasi di dekat fraktur.
Semua fraktur tulang panjang harus segera direposisi dan digips untuk mencegah perdarahan
di sisi fraktur. Yang perlu diperhatikan terutama fraktur femur, karena dapat mengakibatkan

hilangnya darah dalam jumlah banyak, sehingga harus segera diimobilisasi dan ditraksi
secepatnya. Tes diagnostik lebih jauh perlu dilakukan untuk menyingkirkan perdarahan yang

mungkin terjadi di intratorakal, intra-abdominal,atau retroperitoneal.12


Jangan lupa pula untuk melakukan pemeriksaan rektum / rectal toucher. Bila ada
darah segar curiga hemoroid interna atau externa. Pada kondisi yang sangat jarang curigai
perdarahan yang signifikan terutama pada pasien dengan hipertensi portal. Pasien dengan
riwayat perdarahan vagina lakukan pemeriksaan pelvis lengkap, dan lakukan tes kehamilan
untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik. 4
Lakukan pemeriksaan sistematik pada pasien trauma termasuk pemeriksaan
penunjang primer dan sekunder. Luka multipel bisa terjadi dan harus mendapat perhatian
khusus, hati-hati perdarahan bisa menjadi pencetus syok lainnya, seperti syok neurogenik.
Tabel 2.2. Perdarahan & tanda-tandanya
Perdarahan

< 750 ml

750-1500 ml

1500-2000 ml

>2000 ml

Nadi

< 100

> 100

> 120

> 140

Tek. sistolik

Normal

Normal

Menurun

Menurun

Nafas

Normal

20-30 x/m

> 30-40 x/m

>35 x/m

Kesadaran

Sedikit cemas

Agak cemas

Cemas, bingung

Bingung, lesu

Penderita yang mengalami perdarahan, menghadapi dua masalah yaitu berapakah sisa
volume darah yang beredar dan berapakah sisa eritrosit yang tersedia untuk mengangkut oksigen
ke jaringan. 12
13

Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa jam.
Penyebab kematian adalah syok progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan. Hipovolemia
menyebabkan beberapa perubahan : 9
1. Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan organ primer (otak,
jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
2. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerob dengan produk
asam laktat yang menyebabkan asidosis asam laktat.
3. Asidosis asam laktat menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada organ-organ primer
dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan merata,
4. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskular sampai 10% EBV tidak
mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan yang lebih dari 25% atau bila terjadi
syok/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan intrasel ikut terganggu. Bila dalam
terapi hanya diberikan sejumlah kehilangan plasma volume (intravaskular), penderita masih
mengalami defisit yang menyebabkan syoknya irreversibel dan berakhir kematian.7

Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah: 8
(cardiac output x saturasi O2 x kadar Hb x 1,34) + (cardiac output x pO2 x 0,003)
Unsur cardiac output x pO2 x 0,003 karena hasilnya kecil dapat diabaikan, maka
tampak bahwa persediaan oksigen untuk jaringan tergantung pada curah jantung / cardiac
output, saturasi O2 dan kadar Hb. Karena kebutuhan oksigen tubuh tidak dapat dikurangi
kecuali dengan hipotermia atau anestesi dalam, maka jika eritrosit hilang, total Hb
berkurang, curah jantung harus naik agar penyediaan oksigen jaringan tidak terganggu. Pada
orang normal dapat menaikkan curah jantung hingga 3 x normal dengan cepat, asalkan
volume sirkulasi cukup (normovolemia). Faktor Hb dan saturasi O2 jelas tidak dapat naik.
Hipovolemia yang terjadi akan mematahkan kompensasi dari curah jantung. Dengan
mengembalikan volume darah yang telah hilang asal segera normovolemia, maka curah
jantung akan mampu berkompensasi. Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi curah jantung

14

dapat naik sampai 3 x, maka penyediaan oksigen ke jaringan masih tetap normal.
Pengembalian volume mutlak diprioritaskan daripada pengembalian eritrosit.
5.

Penatalaksanaan Perdarahan
Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah mengetahui
tanda-tanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat mendiagnosis syok. Diagnosis
awal didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul akibat dari perfusi organ dan oksigenasi
jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok sebagai ketidak-normalan dari sistem peredaran
darah yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat juga
menjadi perangkat untuk diagnosis dan terapi.Langkah kedua dalam pengelolaan awal
terhadap syok adalah mencari penyebab syok, yang untuk penderita trauma berhubungan
dengan mekanisme cedera. Kebanyakan penderita trauma akan mengalami syok
hipovolemik.8 Dokter yang bertanggung jawab terhadap penatalaksanaan penderita harus
mulai dengan mengenal adanya syok. Terapi harus dimulai sambil mencari kemungkinan
penyebab dari keadaan syok tersebut.8 Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara
simultan. Untuk hampir semua penderita trauma, penanganan dilakukan seolah olah
penderita menderita syok hipovolemik, kecuali bila ada bukti jelas bahwa keadaan syok
disebabkan oleh suatu etiologi yang bukan hipovolemia. Prinsip pengelolaan dasar yang
harus dipegang ialah menghentingan perdarahan dan mengganti kehilangan volume.8
1. Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmaninya diarahkan lepada diagnosis cedera yang mengancam nyawa dan
meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting
untuk memantau respons penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tandatanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci
akan menyusul bila keadaan penderita mengijinkan.12
1. Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran
ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi
oksigen lebih dari 95%.
2. Circulation (Sirkulasi Kontrol Perdarahan)
15

Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat


terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan.
Perdarahan dari luka di permukaan tubuh (eksternal) biasanya dapat dikendalikan
dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan. Cukupnya perfusi jaringan
menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi
untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.
3. Disability (Pemeriksaan neurologis)
Dilakukan pemeriksaan neurologis singkat untuk menentukan tingkat kesadaran,
pergerakana mata dan respons pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini
bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi
dan meramalkan pemulihan. Perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu
disebabkan cedera intrakranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang
kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan
tersebut dapat dianggap berasal dari cedera intrakranial.
4. Exposure (Pemeriksaan Tubuh Lengkap)
Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, sluruh pakaian
penderita dibuka dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki sebagai bagian dari
mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting dilakukan tindakan untuk
mencegah hipotermia. Pemakaian penghangat cairan, maupun cara-cara penghangatan
internal maupun eksternal sangat bermanfaat dalam mencegah hipotermia.
5. Dilatasi lambung Dekompresi
Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-anak, dan
dapat mengakibatkan hipotensi dan disritmia jantung yang tidak dapat diterangkan,
biasanya berupa bradikardi dari stimulasi saraf vagus yang berlebihan. Distensi
lambung membuat terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar, distensi
lambung membesarkan risiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi
yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukkan
selang/pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada
penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Namun, walaupun penempatan pipa sudah
baik, masih ada kemungkinan terjadi aspirasi.
16

6. Pemasangan kateter urin


Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan
evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.
2. Akses pembuluh darah
Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling penting dilakuakan
dengan memasukkan dua kateter intravenaukuran besar sebelum dipertimbangkan jalur
vena sentral.12
3. Terapi awal cairan
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi
intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular dengan cara
menggantikan cairan berikutnya ke dalam ruang interstitial dan intraselular. Larutan
ringer laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua.
Walupun NaCl fisiologis merupakan pengganti yang baik namun cair ini memiliki
potensi untuk terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila
fungsi ginjalnya kurang baik. Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan
cepat sebagai bolus. Dosis awal adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa dan 20 ml/kg pada
anak. Respons penderita terhadap pemberian cairan ini dipantau, dan keputusan
pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut akan tergantung pada respons ini.13
Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada evaluasi
awal penderita. Perkiraan kehilangan cairan dan darah, dapat dilihat cara menentukan
jumlah cairan dan darah yang mungkin diperlukan oleh penderita. Perhitungan kasar
untuk jumlah total volume kristaloid yang secara akut diperlukan adalah mengganti setiap
mililiter darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan
resusitasi volume plasma yang hilang kedalam ruang interstitial dan intraselular. Ini
dikenal sebagai hukum 3 untuk 1 (3 for 1 rule). Namun lebih penting untuk menilai
respons penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ
yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer. Bila,
sewaktu

resusitasi,

jumlah

cairan

yang

diperlukan

untuk

memulihkan

atau

mempertahankan perfusi organ jauh melebihi perkiraan tersebut, maka diperlukan

17

penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui atau penyebab
lain untuk syok.12
Penderita datang dengan perdarahan

Pasang infus jarum besar

Catat tekanan darah, nadi, ambil ambil

sampel darah

perfusi, (produksi urin)

Ringer Laktat atau NaCl 0,9%


20ml/kgBB cepat, ulangi.
1000-2000 ml dalam 1 jam

Hemodinamik baik

Hemodinamik buruk

- Tekanan sistolik 100, nadi 100,


- Perfusi hangat, kering,

Teruskan cairan

- Urin ml/kg/jam

2-4 x estimated loss


Hemodinamik baik

Hemodinamik buruk

Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada kasus
B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau hematokrit kurang dari 25%, transfusi
sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan
suatu perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber perdarahan terkuasai dulu.
Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu
perdarahan masih berlangsung terus (continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan
terlalu lama dan anemia terlalu berat, sehingga terjadi hipoksia jaringan.13
Pada jam pertama setelah perdarahan, apabila diukur Hb atau Ht, hasil yang
diperoleh mungkin masih normal. Harga Hb yang benar adalah hasil yang diukur setelah
penderita kembali normovolemia dengan pemberian cairan. Penderita dalam keadaan
18

anestesi, dengan nafas buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir hematokrit 10
15%. Tetapi pada penderita biasa, sadar, dan dengan nafas sendiri, memerlukan Hb 8 gr/dL
atau lebih agar cadangan kompensasinya tidak terkuras habis.13

4.

Jumlah Kehilangan cairan (Perdarahan) dan Penanganannya


Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan patokan
berat badan. Walau dapat bervariasi, volume darah orang dewasa adalah kira-kira 7% dari
berat badan. Dengan demikian laki-laki yang berat 70 kg, mempunyai volume darah yang
beredar kira-kira 5 liter. Bila penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan
berdasarkan berdasarkan berat badan idealnya, karena bila kalkulasi didasarkan berat badan
sebenarnya, hasilnya mungkin jauh di atas volume sebenarnya. Volume darah anak-anak
dihitung 8% sampai 9% dari berat badan (80-90 ml/kg).8 Lebih dahulu dihitung EBV
(Estimated Blood Volume) penderita, 65 70 ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10%
EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih
banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk
sementara dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang
dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2 4 x volume yang
hilang.7Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Traumatic Status dari
Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan Ringer Laktat akan
meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan baru
antara Volume Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan Interstitial Fluid (ISF). Ekspansi ISF
ini merupakan interstitial edema yang tidak berbahaya. Bahaya edema paru dan edema otak
dapat terjadi jika semula organ-organ tersebut telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan
terjadi diuresis spontan. Jika keadaan terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan
furosemid setelah transfusi diberikan.7 Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin
normal, kehilangan darah sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan
kompensasi badan, maka cukup diberi cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15%
perlu transfusi darah karena ada gangguan pengangkutan oksigen. Sedangkan untuk orang
dewasa dengan kadar hemoglobin normal angka patokannya ialah 20%. Kehilangan darah
19

sampai 20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan kristaloid untuk mengisi ruang
intravaskular diberikan sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid
diberikan dengan jumlah sama.8,9 Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat
perioperatif dengan tujuan untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume
intravaskular. Kalau hanya menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau
kristaloid. Indikasi transfusi darah antara lain:5
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan paru,
kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.9

Tabel 2.3. Traumatic status dari Giesecke


Tanda

TS I

TS II

TS III

Sesak nafas

Ringan

++

Tekanan darah

Turun

Tak teratur

Nadi

Cepat

Sangat cepat

Tak teraba

Urin

Oliguria

Anuria

Kesadaran

Disorientasi

Gas darah

N
pO2

/ pCO2

/ Koma

pO2

/ pCO2

CVP

Rendah

Sangat rendah

Blood loss % EBV

Sampai 10%

Sampai 30%

Lebih 50%

20

Tabel 2.4. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah

Kehilangan darah (ml)

Kelas I

Kelas II

Kelas III

Kelas IV

Sampai 750

750 1500

1500 - 2000

>2000

30% - 40%

>40%

Kehilangan darah (% volume Sampai 15% 15% - 30%


darah)
Denyut nadi

<100

>100

>120

>140

Tekanan darah

Normal

Normal

Menurun

Menurun

Tekanan nadi

Normal /

Frekuensi pernapasan

14-20

20 -30

30-40

>35

Produksi urin (ml/jam)

>30

20-30

5-15

<5

CNS/Status mental

Sedikit Cemas Cemas

Cemas,

Bingung,

Bingung

Lesu

Penggantian cairan
(hukum 3:1)

Kristaloid

Koloid
darah

atau Kristaloid dan Kristaloid dan


darah

darah

1. Perdarahan Kelas I (Kehilangan volume darah sampai 15%)


Gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada
komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari
tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Untuk penderita yang
dalam keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini tidak perlu diganti. Pengisian
transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah
dalam 24 jam. Namun, bila ada kehilangan cairan karena sebab lain, kehilangan
jumlah darah ini dapat mengakibatkan gejala-gejala klinis. Penggantian cairan
untuk mengganti kehilangan primer, akan memperbaiki keadaan sirkulasi.5
21

2. Perdarahan Kelas II (Kehilangan volume darah 15% - 30%)


Gejala klinis termasuk takikardi, takipnoe, dan penurunan tekanan nadi.
Penurunan tekanan nadi ini terutama berhubungan dengan peningkatan dalam
komponen diastolik karena bertambahnya katekolamin yang beredar. Zat
inotropik ini menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh darah
perifer. Tekanan sistolik hanya berubah sedikit pada syok yang dini karena itu
penting untuk lebih mengandalkan evaluasi tekanan nadi daripada tekanan
sistolik. Penemuan klinis yang lain yang akan ditemukan pada tingkat kehilangan
darah ini meliputi perubahan sistem syaraf sentral yang tidak jelas seperti cemas,
ketakutan atau sikap permusuhan. Walau kehilangan darah dan perubahan
kardiovaskular besar, namun produksi urin hanya sedikit terpengaruh. Aliran air
kencing biasanya 20-30 ml/jam untuk orang dewasa. Kehilangan cairan tambahan
dapat memperberat manifestasi klinis dari jumlah kehilangan darah ini. 5
3. Perdarahan Kelas III (Kehilangan volume darah 30% - 40%)
Akibat kehilangan darah sebanyak ini dapat sangat parah. Penderita hampir selalu
menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan
takipnue yang jelas, perubahan penting dalam status mental, dan penurunan
tekanan darah sistolik. Dalam keadaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah
kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun.
Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hampir selalu memerlukan tranfusi
darah. Keputusan untuk memberi tranfusi darah didasarkan atas respons penderita
terhadap resusitasi cairan semula dan perfusi dan oksigenisasi organ yang
adekuat.5
4. Perdarahan Kelas IV (Kehilangan volume darah lebih dari 40%)
Dengan kehilangan darah sebanyak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-gejalanya
meliputi takikardi yang jelas, penurunan tekanan darah sistoluk yang cukup besar,
dan tekanan nadi yang sangat sempit. Produksi urin hampir tidak ada, dan
kesadaran jelas menurun. Pada kulit terlihat pucat dan teraba dingin. Penderita ini
sering kali memerlukan tranfusi cepat dan intervensi pembedahan segera.

22

Kehilangan

lebih

dari

50%

volume

darah

penderita

mengakibatkan

ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi dan tekanan darah.5

5.

Kehilangan Cairan dan Penanganan


Penyebab kehilangan cairan tubuh lainnya selain perdarahan diantaranya adalah muntah,
diare , dan luka bakar. Kehilangan cairan secara akut akan menyebabkan terjadinya
dehidrasi dan dehidrasi berat yang tidak mendapat penanganan yang baik akan
menyebabkan terjadinya syok hipovolemik. Derajat dehidrasi diklasifikasikan dalam tabel
sebagai berikut :13

Tabel 2.5. Defisit Cairan


Ringan

Sedang

Berat

Defisit

3-5%

6-8%

> 10%

Hemodinamik

takikardia

takikardia

takikardia

nadi lemah

nadi sangat lemah

nadi tak teraba

Jaringan

volume collapse

akral dingin

hipotensi ortostatik

sianosis

lidah kering

lidah keriput

atonia

turgor turun

turgor kurang

turgor buruk

Urine

pekat

jumlah turun

Oliguria

SSP

mengantuk

apatis

coma

Kehilangan cairan tubuh yang menyebabkan terjadinya syok hipovolemik,


penaganan pertama dapat diberikan caiaran kristaloid sebanyak 1000-2000 ml yang
dihabiskan pada satu jam pertama dan dapat diulang, sedangkan pada anak anak diberikan
caiara 20 ml/kgBB yang diberikan dalam satu jam pertama. Selanjutnya tentukan derajat
defisit cairan dan lakukan rehidrasi Terapi untuk dehidrasi (rehidrasi) dilakukan dengan
23

mempertimbangkan kebutuhan cairan untuk rumatan, defisit cairan dan kehilangan cairan
yang sedang berlangsung. Beberapa pendekatan terangkum dalam tabel 5.5 Strategi untuk
rehidrasi adalah dengan memperhitungkan defisit cairan, cairan rumatan yang diperlukan
dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung disesuaikan . Cara rehidrasi : 6
1.

Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 4 di atas), banyak cairan yang diberikan
(D) = derajat dehidrasi (%) x BB x 1000 cc

2. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24 jam atau
rumus holliday-segar seperti untuk anak-anak)
3. Pemberian cairan :

6 jam I = D + M atau 8 jam I = D + M (menurut Guillot 17)


18 jam II = D + M atau 16 jam II = D + M (menurut Guillot 17)
4. Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 4 di atas), banyak cairan yang diberikan (D) = derajat
dehidrasi (%) x BB x 1000 cc
5. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24 jam atau
rumus holliday-segar seperti untuk anak-anak)
6. Pemberian cairan :
6 jam I = D + M atau 8 jam I = D + M (menurut Guillot 17)
18 jam II = D + M atau 16 jam II = D + M (menurut Guillot 17)
Secara umum Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling
umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling umum yang dapat menyebabkan
terjadinya defisit cairan adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah,
penyedot nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat berupa
kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis,
obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan
menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan

24

cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi volume cairan ekstraselular
yang berat terjadi.5
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium
menjadi

isonatremik

(130-150

mEq/L),

hiponatremik

(<139

mEq/L)

atau

hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering


terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10%
dari kasus. Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir
sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium
besarnya relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen
ekstravaskular. Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis).
Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang
hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular
berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume
intravaskular.Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis).
Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang
hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke
kompartemen intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume intravascular.
b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic
(pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl
ataupun pemberian cairan intravena glukosayang menyebabkan kelebihan air) ataupun
dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal
jantung kongestif. Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan
cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.5
2. Perubahan konsentrasi
a. Hiponatremia
Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi,
iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan
25

timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia
(SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah,
third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat
diterapi dengan restriksi cairan (Na+ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.12 Koreksi hiponatremia yang
sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahanlahan, sedangkan untuk hiponatremia
akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan
rumus : 5
Na= Na1 Na0 x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)
b. Hipernatremia
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental,
letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan
(diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang,
asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5%
dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) xBB x 0,6}: 140. 6
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari
cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium
tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG
(QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot
skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor
presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai
10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai
40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai
perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).13 Rumus untuk menghitung defisit
kalium :15
26

K = K1 K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat
yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik).
Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan
otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk
hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium
bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.15

3. Perubahan komposisi
Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg). Kondisi ini berhubungan
dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan ventilasi alveolar pada pasien
bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk
obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen atas,
distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennya melibatkan
koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis
bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah
sangat penting.14
Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg). Kondisi ini disebabkan
ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang dibantu. Pada fase akut,
konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan
PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari
termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik,
dan koreksi defisit potasium yang terjadi.15
Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L). Kondisi ini disebabkan oleh
retensi atau penambahan asam atau kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum
27

termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat.
Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2.
Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang
berlebihan dan keracunan metanol. Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan
yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat
dan hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.15
Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L) . Kelainan ini merupakan
akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat dan diperburuk oleh
hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedahadalah

hipokloremik,

hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah sodium
klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus gradual
selama perode 24 jam denganpengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.8

6.

Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ


Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk
diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respons penderita. Pulihnya
tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang
menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu, pengamatan
tersebut tidak memberikan informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada status sistem
saraf sentral dan peredaran kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi, tetapi
kualitasnya sukar ditentukan.8
Tabel 2.6. Jenis Respons Penderita terhadap Resusitasi Cairan Awal
RESPONS

RESPONS SEMENTARA

TANPA

CEPAT
Tanda vital

Kembali ke normal

RESPONS
Perbaikan sementara, tensi dan

Tetap abnormal

nadi kembali turun


Dugaan kehilangan darah

Minimal

Sedang, masih ada

Berat

(10 - 20%)

(20 - 40%)

(> 40%)

28

Kebutuhan kristaloid

Sedikit

Banyak

Banyak

Kebutuhan darah

Sedikit

Sedang-banyak

Segera

Persiapan darah

Specific

type

dan Specific type

Emergensi

crossmatch
Operasi

Mungkin

Sangat mungkin

Hampir pasti

Kehadiran dini ahli bedah

Perlu

Perlu

Perlu

Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi ginjal.
Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal yang cukup, bila
tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin merupakan salah
satu dari pemantauan utama resusitasi dan respons penderita.13
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran darah
ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar
0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam
untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin turunnya produksi urin dengan
berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini
menuntut ditambahnya penggantian volume dan usaha diagnostik.5
Respons penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk menentukan
terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara berdasarkan evaluasi
awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah pengelolaannya berdasarkan respons
penderita pada resusitasi cairan awal. Dengan melakukan observasi terhadap respons
penderita pada resusitasi awal dapat diketahui penderita yang kehilangan darahnya lebih
besar dari yang diperkirakan, dan perdarahan yang berlanjut dan memerlukan pengendalian
perdarahan internal melalui operasi. Dengan resusitasi di ruang operasi dapat dilakukan
kontrol langsung terhadap perdarahan oleh ahli bedah dan dilakukan pemulihan volume
intravaskular secara simultan. Resusitasi di ruang operasi juga membatasi kemungkinan
transfusi berlebihan pada orang yang status awalnya tidak seimbang jumlah kehilangan
darah. Adalah penting untuk membedakan penderita dengan hemodinamik stabil dengan
hemodinamik normal. Penderita yang hemodinamik stabil mungkin tetap ada takikardi,
29

takipneu, dan oliguri, dan jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih syok. Sebaliknya,
penderita yang hemodinamik normal adalah yang tidak menunjukkan tanda perfusi jaringan
yang kurang memadai. Pola respons yang potensial dapat dibahas dalam tiga kelompok:
respons cepat, respons sementara, respons minimum atau tidak ada pada pemberian cairan.5
a. Respons cepat
Penderita kelompok ini cepat memberi respons kepada bolus cairan awal dan tetap
hemodinamik normal setelah bolus cairan awal selesai dan cairan kemudian diperlambat
sampai kecepatan rumatan/maintenance. Penderita seperti ini biasanya kehilangan
volume darah minimum. Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus cairan tambahan
atau pemberian darah lebih lanjut. Jenis darahnya dan crossmatch nya tetap dikerjakan.
Konsultasi dan evaluasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal, karena
intervensi operatif mungkin masih diperlukan.8
b. Respons sementara
Kelompok yang kedua adalah penderita yang berespons terhadap pemberian cairan,
namun bila tetesan diperlambat hemodinamik penderita menurun kembali karena
kehilangan darah yang masih berlangsung, atau resusitasi yang tidak cukup. Jumlah
kehilangan darah pada kelompok ini adalah antara 20 - 40% volume darah. Pemberian
cairan pada kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respons
terhadap pemberian darah menentukan penderita mana yang memerlukan operasi segera.8
c. Respons minimal atau tanpa respons
Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, kondisi hemodinamik pasien tetap
buruk dengan respons minimal atau tanpa respons, ini menandakan perlunya operasi
segera. Walaupun sangat jarang, namun harus tetap diwaspadai kemungkinan syok nonhemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard. Kemungkinan adanya syok
non-hemoragik harus selalu diingat pada kelompok ini.8
7. Jenis Cairan Intravena
Ada 4 pilihan pokok yang selama bertahun tahun menjadi perbantahan sengit, yaitu:
a. Transfusi darah
30

Ini adalah pilihan pokok apabila terdapat donor yang cocok. Hemodilusi dengan cairan
tidak bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan hemodinamik dan perfusi
yang baik sementara darah donor tetap perlu ditransfusikan dalam memberikan koreksi
defisit cairan ekstraselular (ECF). Bila darah golongan yang sesuai tidak tersedia, dapat
digunakan universal donor yaitu golongan O dengan titer anti A rendah (Rh negatif) atau
Packed Red Cell-O. Sebaiknya darah universal ini selalu tersedia di UGD.12
b. Plasma Expander
Cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran, gelatin, hydroxy-ethyl
starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih lama di
intravaskular. Namun, sayangnya defisit ECF tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander.
Selain itu, dari segi harga, plasma expander jauh lebih mahal daripada Ringer Laktat (kirakira 10x lipat lebih mahal). Reaksi anaphylactoid dapat terjadi, baik karena dextran
maupun gelatin (0,03 - 0,08% pemberian). Reaksi ini dapat terjadi disertai dengan syok,
yang memerlukan adrenalin untuk mengatasinya. Apabila tidak segera ditangani dengan
baik dan tepat, reaksi ini dapat berakhir fatal. Dextran juga menyebabkan gangguan pada
crossmatch darah dan pada dosis lebih dari 10 - 15 ml/kgBB akan menyebabkan gangguan
pembekuan darah.13

c. Albumin
Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik dari segi volume
effect. Tetapi harganya sangat mahal, sekitar 70x lipat dari harga Ringer Laktat untuk
mendapatkan volume effect yang sama.13
d. Ringer Laktat atau NaCl 0,9%
Cairan ini paling mirip komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun pemberian infus IVF
diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah cairan
interstitial/ISF jenuh. Cairan lain seperti Dextrose dan NaCl 0,45% tidak dapat digunakan.7

31

Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, tidak mengandung
molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular,
sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang.
Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang
intravaskular ke interstisial berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam
24 - 48 jam sebagai urin. Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel
dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.7
Tabel 2.7. Berbagai Cairan Kristaloid7
Cairan

Ringer

Na+

K+

Cl-

Ca++

HCO3

Tekanan Osmotik

(mEq/L)

(mEq/L)

(mEq/L)

(mEq/L)

(mEq/L)

(mOsm/L)

273

130

190

28

130

109

28#

273

154

308

Laktat
Ringer
Asetat
NaCl
0,9%
*

sebagai laktat

sebagai asetat
Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan
kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi
alergi dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut
dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.11
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan
hiponatremia, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis
yang paling mirip dengan cairan ekstraselular. RL dapat diberikan dengan aman dalam
jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik,
kombustio dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai
cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.14
Ringer Asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme
laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme
pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan
Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
32

hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat
membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.14
Jenis cairan berdasarkan tujuan terapi:
1. Cairan rumatan (maintenance).
Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut kurang dari konsentrasi cairan
intraselular/Intracellular Fluid (ICF); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas
< 270 mOsm/kg; misal: Dekstrosa 5%, Dekstrosa 5% dalam Saline / NaCl 0,22%
2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)
Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = ICF; tidak ada perpindahan cairan melalui
membran sel semipermeabel. Tonisitas 275 295 mOsm/kg; misal : NaCl 0,9%, Ringer
Laktat, koloid.
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > ICF; menyebabkan air keluar dari sel,
menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi. Tonisitas > 295 mOsm/kg; misal: NaCl 3
%, Manitol, Natrium-bikarbonat, Natrium laktat hipertonik.

4.

Penyulit
Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantungnya sendiri, pada proses
metabolisme atau pada paru.7

Dekompensasi jantung
Dekompensasi ditandai oleh kenaikan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge
Pressure). Bahaya terjadinya dekompensasi jantung sangat kecil, kecuali pada jantung yang
sudah sakit sebelumnya. Pada pemberian koloid dapat mengalami kenaikan PCWP 50% yang
potensial akan mengalami dekompensasi jantung.7
33

Edema paru
Adanya edema paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatnya rasio Qs/Qt.
Pemberian koloid yang diharapkan tidak merembes keluar IVF ternyata mengalami kenaikkan
Qs/Qt yang sama yaitu 16 + 1%. Akibat pengenceran darah, terjadi transient
hypoalbuminemia 2,5 0,1 mg% dari sebelumnya sebesar 3,5 0,1 mg%. Penurunan albumin
ini diikuti penurunan tekanan onkotik plasma dari 21 + 0,4 menjadi 13 + 1,0. Penurunan
selisih tekanan COP PCWP tidak selalu menyebabkan edema. Giesecke memberi batasan
bahwa kadar albumin terendah yang masih aman adalah 2,5 mg%. Kalau albumin perlu
dinaikkan, pemberian infus albumin 20 25% dapat diberikan dengan tetesan lambat 2
jam/100 ml. Dosis ini akan menaikkan kadar 0,25 -0,50 mg%.7
Jika masih terjadi edema paru, berikan furosemid, 1 - 2mg/kg. Gejala sesak nafas
akan berkurang setelah urin keluar 1000 - 2000 ml. Lakukan digitalisasi atau berikan dopamin
drip 5 10 microgram/kgBB/menit. Sebagai terapi simptomatik berikan oksigen, atau bila
diperlukan mendesak lakukan nafas buatan + PEEP. Insiden dari pulmonary insufficiency post
resusitasi cairan adalah 2,1%.7
Asidosis asam laktat
Pemberian Ringer Laktat tidak dapat menambah buruk asidosis asam laktat karena
syok. Asam laktat dirubah hepar menjadi bikarbonat yang menetralisir asidosis metabolik
pada syok. Perbaikan sirkulasi akibat pemberian volume justru menurunkan laktat darah
karena perbaikan transport oksigen ke jaringan, metabolisme aerobik bertambah.7
Gangguan hemostasis
Gangguan karena pengenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi sudah mencapai
1,5 x EBV. Faktor pembekuan yang terganggu adalah trombosit. Pemberian Fresh Frozen
Plasma tidak berguna karena tidak mengandung trombosit, sedangkan faktor V dan VIII
dibutuhkan dalam jumlah sedikit (5 - 30 % normal). Trombosit dapat diberikan sebagai fresh
blood, platelet rich plasma atau thrombocyte concentrate dengan masa simpan kurang dari 6
jam pada suhu 40C. Untuk hemostasis yang baik diperlukan kadar trombosit 100.000 per
mm3. Dextran juga dapat menimbulkan gangguan jika dosis melebihi 10 ml/kgBB.7

34

BAB III
Kesimpulan

35

1.

Syok hemoragik hipovolemik disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh.

2.

Cairan di tubuh manusia terdiri dari cairan intraselular dan cairan ekstraselular terbagi
dalam:
1. Cairan intravaskular
2. Cairan interstisial
3. Cairan transelular

3.

Hipovolemia menyebabkan beberapa perubahan :


1. Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan organ primer (otak,
jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
2. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolism anaerobik dengan produk
asam laktat yang menyebabkan asidosis asam laktat.
3. Asidosis asam laktat menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada organ-organ primer
dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan merata.
4. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskular sampai 10% EBV tidak
mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan yang lebih dari 25% atau bila
terjadi syok/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan intrasel ikut terganggu.

4.

Terapi cairan ataupun darah masih menjadi penatalaksanaan terbaik bagi syok hipovolemik.

5.

Penggunaan cairan terbaik antara kristaloid, koloid, maupun darah sampai saat ini masih
menjadi kontroversi namun secara umum masing masing cairan memiliki kelbihan dan
kekurangan yang tepat digunakan dengan indikasi indikasi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

1.

A Clinical Profile of Shock in Punjab, India. Daljit Singh, Atul Chopra, Puneet Aulakh
Pooni and R.C. Bhatia. Indian Pediatric 2006 : 43.

2.

World Health Organization. Maternal mortality in 2005 : estimates developed by WHO,


UNICEF, UNFPA, and the World Bank. Geneva: WHO; 2007. Available from
http://whqlibdoc.who.int/publications/2007/9789241596213_eng.pdf
36

3.

Heckbert SR, Vedder NB, Hoffman W, et al. Outcome after hemorrhagic shock in trauma
patients. Journal of Trauma 1998;45(3):5459.

4.

Kwan I, Bunn F, Roberts I, WHO Pre-Hospital Trauma Care Steering Committee.


Timing and volume of fluid administration for patients with bleeding. Cochrane Database
of Systematic Reviews. 2003; 3:245.

5.

6.

7.

8.
9.

Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian
Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran;
Diunduh
dari:
http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan%20El
ektrolit%20Perioperatif2.pdf
Udeani; John; 2010; Hemorrhagic Krausz, Michael M; 2006; Initial Resuscitation of
Hemorrhagic Shock; Israel : Department of Surgery A, Rambam Medical Center, and the
Technion-Israel Institute of Technology, P.O.B 9602, Haifa 31096; Diunduh dari :
http://www.wjes.org/content/1/1/14
Leksana, Ery; 2010; Terapi Cairan dan Darah; Semarang; SMF/Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, RSUP Dr. Kariadi / Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro;
Diunduh
dari
:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/27_177Terapicairandandarah.pdf/27_177Terapicair
andandarah.pdf
Guyton AC, Hall JE; 1997; Textbook of Medical Physiology. 9th ed. Pennsylvania:
W.B.Saunders company;: 375-393;
Shock; New York: Department of Emergency Medicine, Charles Drew University/
UCLA

School

of

Medicine;

Diunduh

dari

http://www.scribd.com/doc/19834799/Hemorrhagic-Shock
10.

Heitz U, Horne MM. Fluid; 2005; Electrolyte and Acid Base Balance. 5th ed. Missouri:
Elsevier-mosby;.p3-227; Dikutip dari : Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan
Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran
Universitas
Padjadjaran;
Diunduh
dari
:http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan%20E
lektrolit%20Perioperatif2.pdf
11. Wirjoatmodjo, Karjadi; 2000; Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk
Pendidikan S1 Kedokteran; Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.
12. Steven, Parks N; 2004; Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors; Jakarta :
Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI).
37

13. Latief, Said A, dkk; 2002; Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua: Dikutip dari:
Transfusi Darah pada Pembedahan; Jakarta, Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
14. Mulyono, I., Jenis-jenis Cairan, dalam Symposium of Fluid and Nutrition Therapy in
Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta.
15.

Martin, Gregory S, MD, MS. An Update on Intravenous Fluids. 2005. Diunduh dari
:http://cme.medscape.com/viewarticle/503138

38

Anda mungkin juga menyukai