Anda di halaman 1dari 16

Permasalah konflik tidak terlepas dari adanya interaksi antara suku bangsa didalam penguasaan sumber

daya yang ada di dalam lingkup teritorialnya. Pada awalnya masyarakat yang berada di Sampit sangat
konformitas terhadap persinggungan budaya hal ini dikarenakan tragedy sampit yang menjatuhkan
korban jiwa yang cukup banyak dari suku Madura merupakan kompleksitas dari tragedy-tragedi kecil
yang sebelumnya pernah terjadi. Sehingga masyarakat suku dayakmemberikan label terhadap suku
Madura sebagai suku antagonis sehingga atas ketidakberdayaannya melawan pengaruh-pengaruh
penguasaan suku pendatang secara dominan terhadap suku yang seharusnya menjadi milik territorial
sumberdaya dominan yang dilakukan oleh Suku Madura yang menyebabkan kecemburuan secara social
dan ekonomi.

Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan asasi manusia baik langsung maupun tidak
langsung. Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu terdesak dan selalu mengalah. Dari kasus
dilarangnya menambang intan di atas tanah adat mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin
penambangan. Hingga kampong mereka yang harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah
dari pada penebang kayu yang mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini
diperburuk oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang
menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus-kasus tersebut.

Tidak sedikit kasus-kasus pembunuhan orang Dayak ( yang sebagian besar disebabkan oleh aksi
premanisme etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka tidak bisa
ditangkap dan diadili oleh aparat penegak hukum.

Etnis Madura juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak
dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat suku Madura sebagai pendatang).

Sering terjadinya kasus pelanggarang tanah larangan orang Dayak oleh penebang kayu dari suku
Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu perang antar etnis Dayak-Madura.

Dari cara mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka terkadang dianggap
terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat banjar sekali pun. Banyak cara-
cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka. Banyak pula tipu-daya yang
mereka lakukan. Tidak semua suku Madura bersifat seperti ini. Namun, hanya segelintir saja.

Ada yang mengungkapkan bahwa pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan Dayak dipicu rasa
etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang mendasari solidaritas
antar-anggota suku di Kalimantan. Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda,
bahkan mungkin berbenturan. Missal, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit
kemanapun pergi membuat orang Dayak melihat sang tamu-nya selalu siap berkelahi. Sebab, bagi
orang Dayak membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang atau berburu.
Tatkala di antara mereka terlibat keributan dari soal salah menyambit rumput sampai kasus tanah amat
mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, melahirkan manusia-manusia tak bernyawa
tanpa kepala saat terjadi pembantaian Sampit entah bagaimana cara mereka (suku Dayak) yang tengah
dirasuki kemarahan membedakan suku Madura dengan suku lainnya yang jelas suku-suku lainnya luput
dari serangan orang-orang Dayak.

Begitu pula adanya catatan ingatan dari suku asli tentang perlakuan-perlakuan yang tidak adil terhadap
suku asli yang menyebabkan meningkatnya konformitas dan identitas kesukuan yang dibangkitkan oleh
masyarakat Dayak. Ada beberapa peristiwa yang menjadi catatan ingatan dari masyarakat Dayak yang
menurut mereka adalah perlakuan yang tidak wajar terhadap masyarakat suku Dayak, antara lain:

Tahun 1972, seorang gadis Dayak diperkosa di Palangka Raya. Atas kejadian itu diadakan
perdamaian secara hukum adat.

Tahun 1982, terjadi pembunuhan orang Dayak yang pelakunya merupakan orang Madura. Tidak
ada penyelesaian hukum dan pelaku tidak tertangkap.

Tahun 1983, warga Kasongan yang ber-etnis Dayak dibunuh di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan.
Diadakan perdamaian, dilakukan peniwahan itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan. Perdamaian
ditandatangani kedua pihak dan jika pihak Madura melakukan perbuatan jahatnya, mereka siap untuk
keluar dari Kalteng.

Tahun 1996, seorang gadis Dayak diperkosa dan dibunuh di gedung bioskop Panala di Palangka
Raya, ternyata hukumannya sangat ringan.

Tahun 1997, di desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura
dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan semua orang Madura meninggal pada kejadian
tersebut. Orang dayak mempertahankan diri dengan ilmu beladiri. Dan orang Dayak dihukum berat.

Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota kecamatan Kaltingan Tengah, seorang anak mati
terbunuh oleh seorang tukang sate etnis Madura. Anak itu hanya kebetulan lewat setelah tukang sate
tersebut bertikai dengan para anak muda.

Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok empat pemuda Madura hingga meninggal,
pelakunya dinyatakan melarikan diri dan kasus tidak diselesaikan secara hukum.

Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang Madura karena
masalah sengketa tanah. 2 orang Dayak meninggal dunia.

Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas ketertiban umum dibacok oleh orang Madura,
pelaku ditahan di polresta Palangka Raya, namun dibebaskan keesokan harinya tanpa tuntutan hukum.

Tahun 1999, di Pangkut, ibukota kecamatan Arut Utara, kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi
perkelahian missal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas suku
dayak. Perkelahian banyak menimbulkan korban pada kedua pihak. Tak ada penyelesaian hukum.

Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-istri. Tindakan tersebut
dilakukan untuk balas dendam, namun salah alamat.

Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, sekeluarga Dayak dibunuh oleh orang Madura, pelaku
lari tanpa penyelesaian hukum.

Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 orang Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku Madura di depan
gereja Imanuel. Pelaku lari tanpa penyelesaian hukum.

Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pengeroyokan oleh
suku Madura. Pelaku kabur tanpa penyelesaian hukum.
Tahun 2001, di Sampit (17-20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena dibantai. Suku
Madura lebih dulu menyerang warga Dayak.

Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga dayak terbunuh diserang suku
Madura.

Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan suku lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan
suku Madura. Lalu terjadilah peristiwa kerusuhan pada 25 Februari yaitu peristiwa Sampit yang
mencekam.

Apa yang membuat suku Dayak begitu marah dengan menghadapi suku Madura. Hamper semua tokoh
Dayak menunjukan kebanyakan etnis Madura lah penyebab akar permasalahannya. Maka dari itu ,
terpapar diatas bahwasanya persinggungan penguasaan sumberdaya yang tidak terdistribusi secara
merata dalam persaingan dan kerjasama sebelum meningkat menjadi konflik juga dipicu karena
permasalahan lebel dari masyarakat suku Dayak terhadap suku Madura dalam segi budaya yang
menimbulkan etnosentrisme sehinggan terjadi konflik.\

Konflik Di Dayak dengan etnik Madura

Di Kalteng, konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura pada awal 2001. Konflik tersebut, sebenarnya
merupakan ulang-an dari konflik antara kedua etnik itu yang terjadi beberapa tahun sebelumnya di
Kalbar. Bahkan 8 atau 9 kali berturut-turut dalam waktu dari lima tahun. Kalau konflik itu dapat berkali-
kali terjadi di Kalbar dan kemudian disusul di Kalteng maka ada dua hal yang perlu diperhatikan:

(1) penyelesaian konflik di Kalbar dulu tidak tuntas, artinya tidak dilakukan secara mendalam sampai
pada akar-akar-nya;

(2) konflik seperti yang teru-lang di Kalteng itu dapat terjadi lagi, mungkin di daerah lain.

konflik antara suku Dayak dengan Madura di Kalteng berada dalam hubungan antar kedua etnik. Di
Kalbar dan Kalteng kedua suku itu hidup berdamping-an di suatu tempat atau lokasi dan mereka bisa
melakukan interaksi. Dalam hubungan antara suku Da-yak dengan suku-suku pendatang selain suku
Madura tidak ada masalah sosial atau ekonomi. Tetapi masalah yang bertentangan itu ada dalam
hubungan antara suku Da-yak dengan suku Madura.

Pada dasarnya terdapat persamaan antara konflik etnik di Kalteng pada 2001 dengan yang terjadi di
Kalbar pada 1999 dan sebelumnya, baik dalam stereotip etnik maupun pola penyerangan. Dengan
mengacu pada model analisis kebudayaan dominan yang dikembangkan Bruner, penelitian Suparlan
(2000), menyebutkan bahwa kekerasan etnik yang terjadi di Sambas karena adanya produk dan corak
hubungan antaretnis yang didominasi oleh cara-cara kekeras-an yang terpola yang telah dilaku-kan
secara sepihak oleh orang-orang Madura. Dengan kata lain, kekerasan yang dilakukan orang-orang
Melayu Sambas dapat dilihat sebagai imbas balik dari pendomi-nasian dengan cara-cara main ka-yu,
ancaman, dan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Madura Sambas sebelum terjadinya keru-
suhan Sambas. Kekerasan orang-orang Melayu Sambas terhadap orang-orang Madura Sambas yang
berupa pembunuhan dan penghan-curan rumah serta segala harta milik mereka, secara simbolik dapat
dilihat sebagai sebuah upacara pembersihan atau penyucian terha-dap kekotoran yang menimpa kehi-
dupan mereka yang dikarenakan oleh keberadaan dan perbuatan-perbuatan orang-orang Madura.

Temuan penelitian Suparlan menunjukkan, hubungan antar et-nik yang relatif tidak berlangsung secara
harmonis seperti yang terjadi antara Orang Melayu-Madura dan antara Orang Dayak-Madura di Sambas,
hubungan antarpribadi atau perorangan di antara mereka tidak berlaku umum. Yang ada adalah
hubungan antar stereotip yang berupa label yang dihasilkan dari hubungan antarkategori atau label
yang tidak menunjukkan ciri-ciri kemanusiaan. Orang Madura dilihat oleh Orang Melayu sebagai
kategori hewan yang kotor, yaitu anjing. Sebaliknya, Orang Madura melihat Orang Melayu sebagai
penakut dan hanya kelihatan besar tetapi kropos seperti krupuk. Sedangkan Orang Dayak melihat orang
Madura sebagai hewan hama dan buruan mereka yang rakus yaitu babi hutan, dan sebaliknya Orang
Madura melihat Orang Dayak sebagai kafir dan mahluk terbela-kang. Konflik antarindividu yang
menghasilkan kerusuhan antar su-ku bangsa dan yang mewujud sebagai kekerasan dapat dipahami
dengan mengacu pada stereotip sukubangsa yang mereka punyai masing-masing dan yang mereka
gunakan. Yaitu, kekerasan telah terwujud karena pihak lawan tidak lagi dilihat sebagai kategori manusia
atau orang-perorang tetapi sebagai kategori hewan atau benda yang sudah sewajarnya untuk dihancur-
kan.

Kemudian, kesamaan yang cukup jelas antarkedua etnik baik di Sambas maupun di Kalteng adalah
terutama dalam pola penyerangan terhadap orang-orang Madura sebagaimana dilakukan oleh orang-
orang Melayu dan Dayak terhadap mereka di Sambas pada 1999, yaitu bunuh orang-orangnya,
hancurkan rumah dan harta bendanya, dominasi seluruh wilayah konflik dengan teror dan ketakutan,
sehingga orang Madura harus mengungsi dari wilayah tersebut. Berbeda dengan orang-orang Melayu,
tokoh-tokoh Dayak di Kalteng masih bersedia berdamai dengan orang Madura sebagaimana terjadi
berulang kali di Sambas. Suparlan (2000), mempertanyakan mengapa kerusuhan massal tersebut baik
antaretnis maupun yang bukan di masa dan setelah kejatuhan Orde Baru selalu terwujud dalam bentuk
kekerasan? Hal itu terjadi dengan selalu didasari oleh adanya perasa-an tertekan dan ketakutan yang
meluas dalam masyarakat, serta dipicu oleh adanya perlawanan yang dilakukan oleh korban pemalakan,
atau kejahatan, atau tindakan se-wenang-wenang terhadap sumber kesewenang-wenangan tersebut.

Perlawanan yang dilakukan oleh orang-perorang berubah men-jadi perlawanan oleh kelompok, dan
berkembang menjadi perlawanan massal yang berupa amuk massal. Karena perlawanan yang dilakukan
oleh perorangan tersebut merupa-kan keinginan yang mendalam da-lam hati mereka yang juga merasa-
kan penderitaan karena kesewe-nang-wenangan tersebut. Perlawan-an yang kemudian berubah
menjadi amuk massa tersebut dapat dilihat sebagai puncak dari keberanian un-tuk menghancurkan
ketakutan dan teror yang mereka derita secara massal yang sudah tidak tertahan-kan.

Dalam hubungan antara suku lokal Dayak dan suku pendatang Madura di Kalbar dan Kalteng tampaknya
prasangka nega-tif dari suku Dayak terhadap suku Madura lebih mendalam daripada prasangka yang
positif, kalau pun ada. Lagi pula unsur budaya suku Madura di bidang ekonomi yang lebih kuat
ketimbang dalam kebu-dayaan suku Dayak membawa suku Madura pada tingkat dominan di atas suku
Dayak. Suku Dayak merasa tidak senang di daerah asalnya sendiri didominasi oleh suku lain yang datang
dari daerah lain. Sementara pada pihak suku Madura berpendapat bahwa masya-rakatnya memberi
sumbangan be-sar pada perkembangan ekonomi umum, baik di Kalbar maupun di Kalteng. Tanpa
kegiatan ekonomi suku Madura, ekonomi di kedua daerah itu tidak akan menjadi setinggi seperti
sekarang.
Warga etnik Madura yang minoritas di tengah-tengah suku Dayak yang mayoritas dikenal sebagai
pekerja keras sekaligus memiliki tingkat kesetiaan ke dalam (kelompok) yang kuat dan terus berusaha
menggalang kekuatan sosial dalam identitas etnisnya yang kuat pula. Akan tetapi hal itu kurang
diimbangi dengan upaya melakukan akulturasi dengan suku Dayak, sehingga di mata orang-orang Dayak
orang-orang Madura lebih dilihat sebagai orang asing. Dalam konteks demikian, jika kita bertanya
mengapa suku Dayak bermusuhan dengan suku penda-tang yang Madura saja dan tidak suku pendatang
lainnya? Menurut Soemardjan (2001), karena suku-suku lain seperti Jawa, Bugis, Minangkabau, Batak,
dan lain sebagainya pandai berakulturasi dengan suku Dayak, sehingga mereka dapat bekerjasama atau
setidak-tidaknya berkoeksistensi dengan suku mayoritas itu. Suku Madura bersikap berbeda dengan
akibat konflik. Di antara kedua suku itu (Dayak-Madura) timbul suasana konflik budaya. Semula bersifat
laten (tertutup), tetapi lama-lama cukup kuat untuk meledak menjadi konflik manifest (terbuka) yang
diwujudkan dengan interaksi yang berisikan permusuhan disertai keke-rasan yang tak terkendalikan.

Di samping itu, ada kecende-rungan orang-orang Dayak merasa bahwa orang-orang Madura tidak
menghargai harkat martabat mere-ka sebagai manusia dan sebagai penduduk setempat, dan juga me-
mandang sebelah mata adat-istiadat yang mereka junjung tinggi sebagai pedoman etika dan moral
dalam kehidupan mereka. Orang-orang Madura telah memperoleh keun-tungan secara berlebihan
(tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan ekono-mi, jasa, dan bisnis,
monopoli eksploitasi atas sumber-sumber da-ya alam yang ada) dengan cara-cara curang, ancaman,
pemerasan, dan kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan. Orang-orang
Madura tidak pernah merasa bersalah terhadap warga masyarakat setempat maupun seca-ra umum
adalah salah dan secara hukum juga melanggar ketentuan hukum.

Jarak keyakinan, corak ke-budayaan, dan karakteristik ma-sing-masing yang sangat jauh itu ditambah
dengan stereotipe dan/ atau label negatif dari masing-masing etnik terhadap yang lain menjadi
penopang semangat dan keberanian yang luar biasa kedua belah pihak ketika terjadi peristiwa-peristiwa
tertentu yang dinilai mengusik sentimentalisme etnisitas mereka. Kenyataan itulah yang sesungguhnya
menjadi akar masa-lah dalam kerusuhan demi keru-suhan dan konflik demi konflik antara etnik Dayak
dengan etnis Madura baik di Kalteng maupun Kalbar.

Agaknya karena begitu kuat-nya citra negatif terhadap etnik Madura oleh etnik Dayak, telah
membangkitkan rasa nasionalisme etnisitas masyarakat untuk mengu-sir orang-orang etnik Madura dari
bumi Kalimantan Tengah. Pasca tragedi Sampit, Pangkalan Bun, dan Palangkaraya, lewat LMMDD-KT
(Lembaga Musyawarah Masyarakat Masyarakat Dayak dan Daerah Kali-mantan Tengah), masyarakat
etnik Dayak hampir tak memberikan sedikit pun peluang bagi orang-orang etnik Madura untuk kembali
ke Kalteng. Kalau pun diperkenan-kan kembali, maka syarat-syarat yang ditentukan sangatlah berat.

Dalam konteks stereotip etnis dan berbagai kekecewaan lainnya (misalnya di bidang ekonomi) dari
orang-orang Dayak terhadap orang-orang Madura, maka hanya dengan latar pemicu yang sepele saja
meledaklah kerusuhan dalam wajah konflik etnik Dayak-Madura di Sampit, Palangkaraya, dan Pangka-
lan Bun, Kalteng pada awal 2001 itu, yang membawa ribuan korban nyawa dan terbanyak di pihak etnik
Madura. Orang-orang Madura yang masih hidup baik yang tinggal di kota maupun yang tersebar di
banyak desa di bumi Borneo itu terpaksa memilih lari keluar ber-amai-ramai karena jiwanya teran-cam,
dan mereka itulah saat ini yang menjadi pengungsi di Pulau Madura.
ecara kronologi kasus Bank Century dimulai dengan tahun 1989 oleh Robert Tantular yang mendirikan
Bank Century Intervest Corporation (Bank CIC). Tahun 1999 pada bulan Maret Bank CIC melakukan
penawaran umum terbatas pertama dan Robert Tantular dinyatakan tidak lolos uji kelayakan dan
kepatutan oleh Bank Indonesia.

Pada tahun 2002 Auditor Bank Indonesia menemukan rasio modal Bank CIC amblas hingga minus
83,06% dan CIC kekurangan modal sebesar Rp 2,67 triliun.

Tahun 2003 bulan Maret bank CIC melakukan penawaran umum terbatas ketiga.

Bulan Juni Bank CIC melakukan penawaran umum terbatas keempat. Pada tahun 2003 pun bank CIC
diketahui terdapat masalah yang diindikasikan dengan adanya surat-surat berharga valuta asing sekitar
Rp 2 triliun yang tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan sulit dijual.

BI menyarankan merger untuk mengatasi ketidakberesan pada bank ini. Tahun 2004, 22 Oktober
dileburlah Bank Danpac dan Bank Picco ke Bank CIC. Setelah penggabungan nama tiga bank itu menjadi
PT Bank Century Tbk, dan Bank Century memiliki 25 kantor cabang, 31 kantor cabang pembantu, 7
kantor kas, dan 9 ATM. Tahun 2005 pada bulan Juni Budi Sampoerna menjadi salah satu nasabah
terbesar Bank Century Cabang Kertajaya Surabaya.

Tahun 2008, Bank Century mengalami kesulitan likuiditas karena beberapa nasabah besar Bank Century
menarik dananya seperti Budi Sampoerna akan menarik uangnya yang mencapai Rp 2 triliun. Sedangkan
dana yang ada di bank tidak ada sehingga tidak mampu mengembalikan uang nasabah dan tanggal 30
Oktober dan 3 November sebanyak US$ 56 juta surat-surat berharga valuta asing jatuh tempo dan gagal
bayar.

Keadaan ini diperparah pada tanggal 17 November Antaboga Delta Sekuritas yang dimiliki Robert
Tantular mulai tak sanggup membayar kewajiban atas produk discreationary fund yang dijual Bank
Century sejak akhir 2007.

Pada 20 November 2008, BI melalui Rapat Dewan Gubernur menetapkan Bank Century sebagai bank
gagal berdampak sistemik. Keputusan itu kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani
selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Kemudian KSSK mengadakan rapat pada 21
November 2008.

BAB II

KASUS BANK CENTURY

Hancurnya Bank Century sehingga harus diselamatkan oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) melalui suntikan dana Rp 6,7 triliun terjadi karena perpaduan pengurusan bank yang
mengarah pada tindak kriminal serta krisis ekonomi global yang terjadi.
Berdasarkan audit BPK, rapat tertutup itu dihadiri oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai ketua
KSSK, Raden Pardede selaku Sekretaris KSSK, Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program
Reformasi (UKP3R) Marsilam Simanjuntak, dan Gubernur BI Boediono sebagai anggota KSSK.

Rapat itu kemudian ditindaklanjuti dengan rapat Komite Koordinasi yang dihadiri oleh Ketua KSSK,
Gubernur BI, dan Dewan Komisioner Lempaga Penjamin Simpanan (LPS). Peserta rapat sepakat
menyatakan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan menerima aliran dana
penanganan Bank Century melalui LPS.

Saat rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani
untuk memutuskan nasib Bank Century, Marsilam masih menjabat sebagai Ketua UKP3R. Akan tetapi
keikutsertaanya dalam kapasitas sebagai penasihat Menteri Keuangan RI dan seagai narasumber.

Dari rapat tersebut diputuskan menyuntikkan dana ke Bank Century sebesar Rp 632 miliar untuk
menambah modal sehingga dapat menaikkan CAR menjadi 8%. Enam hari dari pengambilalihan LPS
mengucurkan dana Rp 2,776 triliun pada Bank Century untuk menambah CAR menjadi 10%. Karena
permasalahan tak kunjung selesai Bank Century mulai menghadapi tuntutan ribuan investor Antaboga
atas penggelapan dana investasi senilai Rp 1,38 triliun yang mengalir ke Robert Tantular.

Pada 5 Desember 2008 LPS menyuntikkan dana kembali sebesar Rp 2,2 triliun untuk memenuhi tingkat
kesehatan bank. Akhir bulan Desember 2008 Bank Century mencatat kerugian sebesar Rp 7,8 triliun.

Bank yang tampak mendapat perlakuan istimewa dari Bank Indonesia ini masih tetap diberikan kucuran
dana sebesar Rp 1,55 triliun pada tanggal 3 Februari 2009. Padahal bank ini terbukti lumpuh.

Pada Bulan Juni 2009 Bank Century mencairkan dana yang telah diselewengkan Robert sebesar Rp 180
miliar pada Budi Sampoerna. Namun, dibantah oleh Budi yang merasa tidak menerima sedikit pun uang
dari Bank Century. Atas pernyataan itu LPS mengucurkan dana lagi kepada Bank Century sebesar Rp 630
miliar untuk menutupi CAR. Sehingga, total dana yang dikucurkan kepada Bank Century sebesar Rp
6,762 triliun.

Resiko Sistemik

Beberapa Menkeu saat itu Sri Mulyani menyatakan bahwa alasan menyelamatkan Bank Century karena
bank ini berpotensi sistemik dalam merusak sistem perbankan nasional. Karena ada resiko sistemik
maka Negara dalam hal ini LPS bertanggung jawab untuk menyuntikkan dana 6,7 triliun rupiah ke
bank tersebut.

Sebuah argumen yang masih layak diperdebatkan, apakah sistemik yang dimaksud ?. Benarkah hipotesis
bahwa kalau Bank Century tidak diselamatkan alias langsung ditutup saja akan ada potensi kerusakan
sistemik ?.

Ataukah itu hanya imajinasi paranoid dari para bankir sayap kanan ideologi yang sama yang
meruntuhkan perbankan pada 1998 dan Amerika pada dekade ini ?.

Menkeu juga berkali-kali menyatakan bahwa kebijakan itu sah. Bahwa kebijakan ini telah melalui
prosedur formal yang benar, sesuatu yang kemudian terbantahkan sebagian oleh kenyataan bahwa
Perpu JPS telah ditolak DPR; dan bukti bahwa keputusan itu tanpa ijin/persetujuan lebih dahulu dari
pemegang mandat politik, yaitu Tuan Presiden / Wapres.

Khusus untuk Presiden, sampai hari ini tidak ada konfirmasi apakah SBY menyetujui hal ini pada
pertemuan tanggal 13 November 2008.

Beberapa pengamat diantaranya Tuan Antonius Tony Prasetyantono, Chief Economist BNI dan dosen
FE-UGM menyatakan bahwa tidak ada potensi kerugian dalam kasus ini.

Seperti juga Kepala LPS, Tuan Firdaus Djaelani, mereka menyatakan bahwa kerugian negara dalam kasus
Bank Century adalah hipotetis karena bisa dijual dengan harga lebih mahal daripada dana suntikannya,
sebuah mitos yang sejak BLBI pertama tidak pernah terbukti. Mungkin kita masih ingat, recovery rate
eks BPPN hanyalah sebesar 28%.

Kita perlu mengujinya satu per satu beberapa argumen yang ditawarkan pada publik belakangan ini.

Pertama, sistemik. Sampai hari ini BI dan Menkeu sebagai KKSK tidak pernah menjelaskan dengan
gamblang apa itu resiko sistemik dan bagaimana itu bisa terjadi.

Yang parah bahwa penjelasan sistemik itu barangkali tidak sampai di telinga Presiden dan Wapres
sampai konfirmasi terakhir tanggal 25 November 2008 saat Sri Mulyani melapor pada Wapres, 2 hari
setelah pengucuran pertama sebesar 2,7 triliun pada tanggal 23 Nov.

Sistemik telah berubah menjadi loncatan logika yang ngawur. Sebuah problem di sebuah bank kecil yang
diawali oleh kesalahan kriminal para bankirnya dipetakan sebagai punya potensi pengaruh pada
keseluruhan sistem perbankan nasional.

Imajinasi yang dibangun bahwa bila dibiarkan atau ditutup maka hal ini akan menciptakan rush pada
perbankan nasional perlu diuji : apakah benar ?.

Adakah penjelasan teknis mengenai hal ini ?. Ataukah jangan-jangan ada deposan besar tertentu yang
perlu dilindungi atau ditalangi oleh LPS ?.

Bagaimana saling terkait dengan bank atau institusi lain sehingga berpotensi sistemik ?.

Berbagai gosip di dunia bawah tanah perbankan menduga bahwa ada deposan besar yang tersangkut
uangnya dan harus ditalangi; mengganggu dan menuntut penjelasan apa yang dimaksud sistemik
tersebut.

Yang menyakitkan adanya pikiran bahwa karena kesalahan kriminal di sebuah bank ingat kasus Bank
Century diawali oleh tindak penerbitan reksadana bodong dan eksposure kredit yang nakal dapat
dibantu negara ketika ia bersifat sistemik. Apa ini ?.

Makalah riyan hidayat

Seperti berpesan : jadilah penjahat yang punya pengaruh sistemik, pastilah dibantu negara.

Para pengamat dan juga Menkeu selalu bilang bahwa uang talangan bukanlah uang negara. Apa benar
?.
Setoran awal LPS senilai 4 T merupakan uang negara. Premi dari peserta penjaminan LPS pada akhirnya
sebenarnya adalah uang rakyat.

Ketika premi dihabiskan atau menjadi mahal karena resiko sistemik yang diciptakan para bankir nakal
maka bebannya ditaruh pada pundak para deposan dan kreditur.

SBI 6,5% tapi KPR 15%, selisih yang besar karena ada resiko pada sistem, harus ditanggung dengan
membebankan premi pada biaya. Dan jatuhlah pada tanggungan Anda, para nasabah bank.

Pradjoto mengatakan bahwa yang menjadi masalah sebetulnya adalah mengapa Bank Century bisa
dikatakan sistemik. Hanya saja, lanjut Pradjoto, hal itu sulit diukur karena tidak mungkin menggunakan
parameter yang berlaku saat ini untuk menjangkau masa lampau.

Menurutnya Jika terjadi keadaan bank seperti yang dahulu dialami Century pada saat ini, kemungkinan
besar bank bersangkutan akan ditutup. Artinya, persoalan sistemik yang dialami Century sangat
dipengaruhi krisis ekonomi global saat itu.

Mengapa kita harus mengukur potensi sitemik dengan parameter yang berlaku saat ini ?. Justru yang
paling tepat adalah menggunakan parameter saat lalu.

Ketidaktepatan pengambilan keputusan penyelamatan tidak hanya tergantung pada potensi sistemik
tetapi juga pada aspek kecukupan dan kelengkapan pertimbangan lainnya seperti aspek cost, benefit
dan risiko juga tergantung pada sudah diidentifikasinya semua alternatif pilihan penggambilan
keputusan.

Tidak tercapainya tujuan pengambilan keputusan pada saat ini bisa juga dianalisis dari kecukupan hal-
hal tersebut.

Kedua, soal sah. Menkeu selalu berlindung pada argumen bahwa kebijakan ini diambil secara sah.
Menkeu lupa bahwa dalam azas kebijakan publik, sah saja tidak pernah cukup. Ada azas lain yang lebih
penting, yaitu adil.

Semua kebijakan Pak Harto juga sah; bahkan praktis semua kasus korupsi modern juga sah karena
secara administratif telah memenuhi syarat formal.

Korupsi modern diatur dalam ruang aturan legal yang ketat, melalui proses tender, ditetapkan melalui
aturan formal dan sah. Kesalahan kriminal segelintir orang kok ditanggung oleh kita bersama ?.

Ketiga, potensi kerugian. Beberapa pengamat seperti Toni bilang bahwa tidak ada kerugian negara
dalam kasus Bank Century. Apakah benar ?.

Bahkan bila Toni memperhitungkan PV (present value) dari suntikan dana ini pada 3 tahun mendatang;
apakah tidak ada potensi kerugian ?.

Benarkah kita bisa menjamin bahwa pada 3 tahun mendatang nilai penjualan Bank Century lebih besar
dari 6,7 triliun ?.

Siapakah yang mau membeli dengan nilai lebih dari 6,7 triliun ketika aset dan resiko manajemennya jauh
lebih rendah dari angka itu ?.

Apalagi mengingat pengalaman 1998 ketika recovery rate aset eks bank hanyalah 28% ?.
Yang lebih tidak masuk akal adalah wacana yang dilontarkan pengamat misalnya Toni ini dinyatakan
sebelum audit (BPK) dilakukan.

Tidak ada laporan faktual yang kredibel yang menjelaskan posisi aset sebenarnya Bank Century, berapa
kewajibannya, berapa Dana Pihak Ketiganya serta berapa aset bersih wajarnya ?.

Baiklah barangkali para anggota di DPR yang membongkar kasus ini punya pretensi dengan bayangan
kerugian besar tapi menyatakan bahwa Century tidak berpotensi kerugian merupakan imajinasi sesat.

Keempat, yang paling mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa beberapa pihak yang terlibat
merupakan jantung dari kabinet SBY, sekarang dan kabinet mendatang.

BI bersalah karena gagal melakukan pengawasan yang baik; pimpinannya waktu itu adalah Boediono
yang sekarang jadi Wapres terpilih.

Boediono bahkan ditunjuk Jenderal SBY untuk memimpin penyusunan program kerja 100 harinya. Pihak
lain yang terlibat adalah Nyonya Sri Mulyani, Menkeu sekarang dan dipastikan salah satu jantung mesin
ekonomi SBY di kabinet mendatang.

Luar biasa. Dengan orang-orang yang sama, cara berpikir yang sama serta cara mengelola kebijakan
publik yang sama; menurut saya mengkhawatirkan untuk membayangkan bagaimana mesin kabinet SBY
mengolah kebijakan publik di masa depan.

Dengan kasus yang identik di masa depan ataukah kasus lain, sulit mengharapkan adanya keluaran
kebijakan berbeda pada periode mendatang.

Orang yang sama, cara berpikir yang sama dan cara mengelola kebijakan publik yang sama merupakan
resiko yang melekat pada kabinet SBY mendatang.

Dan kasus Bank Century membuat gamblang bagaimana resiko sistemik yang melekat pada kabinet
mendatang.

B. Hasil audit BPK

Hasil audit interim BPK atas Century itu telah diserahkan kepada DPR pada 28 September 2008. Pada
tanggal 30 September laporan awal audit BPK mengungkapkan bahwa banyak kejangggalan dalam
masalah pengucuran dana pada Bank Century.

Pada akhirnya BPK menemukan 9 temuan dalam kasus Bank Century. Selain itu, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menyatakan bisa menangani sebagian besar dari sembilan temuan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dalam kasus Bank Century jika sesuai dengan kewenangan KPK dan ditemukan cukup
bukti.

Satu-satunya temuan BPK yang tidak bisa ditangani KPK adalah temuan ketujuh, tentang penggunaan
FPJP oleh manajemen Bank Century. Sementara enam temuan lain bisa ditangani KPK jika memenuhi
ketentuan dalam Undang-Undang KPK.

KPK membagi temuan BPK dalam tiga periode. Pertama periode sebelum pengucuran FPJP. Tiga temuan
BPK masuk dalam periode itu, yakni ketidaktegasan BI dalam menerapkan aturan akuisisi dan merger
tiga bank menjadi Bank Century, ketidaktegasan pengawasan BI, dan praktik tidak sehat oleh pengurus
Bank Century.

Kedua, setelah kucuran FPJP. Selain temuan ketujuh, temuan ketiga juga dimasukkan dalam periode ini.
Temua ketiga berupa pemberian FPJP dengan mengubah ketentuan BI. Ketiga, periode sejak ditangani
LPS. Temuan BPK yang masuk periode ini penentuan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik
tidak didasarkan data mutakhir (temuan keempat), penanganan oleh LPS dilakukan melalui Komite
Koordinasi yang belum dibentuk oleh undang-undang (temuan kelima).

Kemudian penanganan Bank Century oleh LPS tidak disertai perkiraan biaya penanganan sehingga
terjadi penambahan (temuan keenam), pembayarankepada pihak ketiga selama Bank Century berada
dalam pengawasan khusus (temuan ketujuh), dan penggelapan dana kas 18 juta dolar AS (temuan
kedelapan).

Uang LPS yang dikucurkan adalah uang negara meski sudah dipisahkan. Pengertian pemisahan dana LPS
adalah dipisahkan dari APBN. Dengan demikian, uang LPS sama statusnya dengan uang sejumlah Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai uang negara yang dpipisahkan dari APBN.

C. Panitia Khusus (Pansus) Century

Atas temuan BPK yang janggal tersebut DPR melakukan hak angket. Hak angket adalah hak anggota
badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan kembali.

Panitia Khusus Hak Angket yang dibentuk terdiri dari 139 anggota dari 8 fraksi, diketuai oleh Idrus
Marham. Tujuan dari pansus ini adalah mengadakan penyelidikan selama 3 bulan kepada pihak-pihak
yang bertanggung jawab dan yang berhubungan dengan bank Century dengan meminta kesaksian dari
ihak-pihak tersebut.

1. Kesaksian Menteri Keuangan saat itu Sri Mulyani

Menteri Keuangan saat Sri Mulyani bertanggung jawab penuh atas keputusan penyelamatan Bank
Century berdasarkan data awal nilai bailout dari BI sebesar Rp 632 miliar. Pada 13 November 2008, Sri
Mulyani pernah membicarakan krisis keuangan global dan perbankan nasional kepada Presiden dan
Wakil Presiden. Dalam pembicaraan tersebut diberitahukan bahwa keadaan bisa memburuk karena
Bank Century kalah kliring. SBY mengatakan perlu ada langkah-langkah pencegahan, sementara JK tidak
ingin ada penjamin penuh terhadap Bank Century.

Sri Mulyani telah melaporkan keputusan KSSK untuk memberikan dana talangan pada Bank Century
kepada Presiden SBY dan Wakil Presiden JK melalui SMS. SMS tersebut ia kirimkan pada 21 November
2008 sekitar pukul 8.30 WIB. Komisi XI DPR, pada saat rapat kerja pada 3 Desember 2008, juga
menyatakan perlunya penjamin penuh atas Bank century.

Selain itu, Sri Mulyani tidak puas atas berubah-ubahnya data yang diberikan BI terkait dana yang
dibutuhkan untuk penalangan. Pada 21 November 2008, tiga hari data terus berubah hingga mencapai
Rp 6,7 triliun.

Menurutnya, tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan dari bailout ini. Masyarakat justru
diuntungkan karena dana talangan mencegah Indonesia dari krisis ekonomi internasional saat itu. Bank
kecil seperti Bank Century, tidak termasuk ke dalam 15 bank besar yang disebut Systematically
Important Bank (SIP), juga bisa menimbulkan dampak sistemik dalam situasi krisis.

Krisis yang sudah terjadi di Indonesia bisa menjadi sistemik seperti 1998 lalu jika Bank Century tidak
diselamatkan. Tanda-tandanya sudah ada. Semenjak 21 November 2008, penanganan Bank Century oleh
Lembaa Penjamin Simpanan tak lagi menggunakan Perppu JPSK. Penanganan melalui bailout Rp 6,7
triliun tersebut berdasarkan UU LPS.

2. Kesaksian Mantan Gubernur BI Boediono

Makalah riyan hidayat

Boediono menyatakan, kehadiran Kepala Kerja Program Reformasi Marsilam Simanjuntak dalam rapat
KSSK sebagai narasumber. Boediono tidak ingat secara pasti detail rapat KSSK. Pemberian dana talangan
tidak wajib dilaporkan olehnya kepada Wakil Presiden.

Dana Yayasan Kesejahteraan Karyawan BI (YKKBI) di Century bukan alas an penyelamatan Bank Century.
Berapa pun besarnya kerugian yang diderita BI untuk menyelamatkan Bank Century di waktu krisis tidak
akan menjadi masalah, dibandingkan dengan harus menutup bank tersebut. Mutasi mantan Direktur
Pengawasan I Zainal Abidin pada bulan Desember 2008 bukan karena Zainal menentang perubahan
aturan pemberian FPJP. Mutasi Zainal Abidin pada saat itu bertujuan untuk meningkatkan kerja.

Boediono tidak mengumumkan pada public soal gagal kliring yang dialami Bank Century, shingga
menyebbakan bank tersebut rush. Definisi keuangan negara dalam LPS diserahkan pada ahli hokum tata
negara dan ahli hokum keuangan negara.

3. Kesaksian Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla

Mantan Wakil Presiden M. Jsufu Kalla menyatakan krisis yang mengganggu perekonomian nasional
hanya sebagai keadaan yang tidak biasa. Ada krisis, tetapi tidak signifikan. Pada tahun 2008 tidak ada
kepanikan. Pada 1998, inflasi mencapai 75%, tetapi pada 2008 inflasi hanya 3%. Selain itu, suku bunga
yang terjadi pada 1998 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga 2008. PPada 2008, kurs rupiah
anjlok hingga Rp 12.000 per dolar AS. Namun anjloknya nilai tukar saat itu dianggap wajar. Sebab, aliran
dana asing keluar dari Indonesia.

JK juga mengatakan bahwa Bank Century tidak mengalami rush atau kepanikan dengan penarikan dana
besar-besaran. Menurut JK yang terjadi adalah Bank Century kalah kliring dan itu bukan disebabkan
adanya rush. Bailout yang dikeluarkan untuk Bank Century berpotensi merugikan negara. Bank Century
seharusnya tidak perlu diselamatkan karena dananya dirampok oleh pemilik bank itu sendiri, Robert
Tantular.

Uang LPS masuk kategori uang negara. Hal ini disebabkan dalam Undang-Undang LPS, LPS bertanggung
jawab kepada Presiden. Selain itu, JK menolak usulan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4/2008, tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan atau Perppu JPSK. JK juga tidak menerima
laporan via SMS dari Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 21 November 2008. Laporan kebijakan melalui
SMS adalah suatu tindakan yang tidak patut untuk kebijakan penting.
JK baru mengetahui adanya masalah Bank Century saat Sri Mulyani dan Gubernur BI Boediono melapor
di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat, 25 November 2008 empat hari setelah Bank Century diputuskan
sebagai bank gagal berdampak sistemik. JK juga tidak pernah mengintervensi penangkapan mantan
pemilik Bank Century oleh polisi, melainkan memerintahkan penangkapan itu.

4. Kesaksian Mantan Kabareskrm Komisaris Jenderal Susno Duadji

Mantan Kabareskrim Komisaris Jenderal Susno Duadji mengatakan Bank Indonesia pernah melaporkan
pemilik Bank Century, Robert Tatular, ke Mabes Polri. Namun, laporan tersebut disampaikan setelah
Robert Tantular ditangkap Mabes Polri atas perintah Wakil Presiden Jusuf Kalla. BI menyerahkan berkas-
berkas laporannya itu dua hari setelah penangkapan Robert.

Susno Duadji mengakui bahwa Polri mendapat perintah penangkapan Robert Tantular dari Wakil
Presiden Jusuf Kalla. Pada 25 November 2008 saat dirinya memberitahukan kepada BI untuk mennagkap
pemilik Bank Century, petinggi BI menganggap bukti-buktinya belum cukup. Oleh karena itu, meski
Wakil Presiden Jusuf Kalla telah memerintahkan kapolri untuk menangkap Robert Tantular, baru setelah
dua jam Kapolri bisa menangkapnya. Ketika itu ada kekhawatiran Robert kabur mengingat semua
keluarganya sudah diungsikan ke luar negeri.

Menurut Susno, apa yang dilakukan Robert adalah murni perampokan. Uang nasabah yang dicuri lebih
kurang Rp 1,298 triliun yang disembunyikan di sejumlah negara dan sebagian sudah dibekukan.

D. Sidang Paripurna DPR

Hasil akhir dari kerja pansus Century selama 3 bulan dibahas dalam sidang Paripurna DPR yang
dilaksanakan tanggal 2 sampai 3 Maret 2010. Sidang Paripurna yang dilaksanakan 2 hari tersebut hanya
membahas 2 opsi kesimpulan dan rekomendasi penyelidikan yang dihasilkan oleh Pansus Century.

Inti Opsi pertama (A) menyatakan pemberian Fasilitas Peminjaman Jangka Pendek (FPJP) dan
Penyertaan Modal Sementara (PMS) tidak bermasalah karena dilakukan untuk mencegah krisis dan
sudah berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan opsi kedua (C), menyatakan
baik pemberian FPJP maupun PMS bermasalah dan merupakan tindak pidana.

Posisi sikap fraksi 6 : 3 untuk yang menganggap bailout bermasalah (opsi C). Enam fraksi memilih opsi C.
PKB, PD, dan PAN memilih opsi A.

Opsi A adalah posisi bagi mereka yang menganggap tidak ada penyalahgunaan wewenang. Layaknya
hitam putih, opsi C adalah sebaliknya, fraksi yang menengarai penyalahgunaan wewenang memilih opsi
ini

Dari 6 fraksi yang memilih opsi C, hanya empat yang akan menyebut nama.

Nama-nama yang disebut diletakkan di matrik di bawah poin ketiga kesimpulan akhir Pansus Century.
Kesimpulan disusun per opsi (A/C) berikut poin-poin pandangan fraksinya.
Inilah ironi di negeri ini. Koruptor yang makan uang rakyat bermiliar-miliar banyak yang lolos dari jeratan
hukum. Tapi nenek Minah dari Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten
Banyumas ini harus menghadapi masalah hukum hanya karena tiga biji kakao yang nilainya Rp 2.000.

Memang, sampai saat ini Minah (55) tidak harus mendekam di ruang tahanan. Sehari-hari ia masih bisa
menghitung jejak kakinya sepanjang 3 km lebih dari rumahnya ke kebun untuk bekerja.

Ketika ditemui sepulang dari kebun, Rabu (18/11) kemarin, nenek tujuh cucu itu seolah tak gelisah,
meskipun ancaman hukuman enam bulan penjara terus membayangi. Tidak menyerah, tapi pasrah
saja, katanya. Saya memang memetik buah kakao itu, tambahnya.

Terhitung sejak 19 Oktober lalu, kasus pencurian kakao yang membelit nenek Minah itu telah ditangani
pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto. Dia didakwa telah mengambil barang milik orang lain tanpa izin.
Yakni memetik tiga buah kakao seberat 3 kg dari kebun milik PT Rumpun Sari Antan 4. Berapa kerugian
atas pencurian itu? Rp 30.000 menurut jaksa, atau Rp 2.000 di pasaran!

Akibat perbuatannya itu, nenek Minah dijerat pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan
ancaman hukuman enam bulan penjara. Karena ancaman hukumannya hanya enam bulan, Minah pun
tak perlu ditahan.

Dalam surat pelimpahan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dikeluarkan Kejari Purwokerto, Minah
dinyatakan sebagai tahanan rumah. Saat ini, Minah sudah menjalani persidangan kedua di Pengadilan
Negeri Purwokerto.

Kasus kriminal yang menjerat Aminah bermula dari keinginannya menambah bibit kakao di rumahnya
pada bulan Agustus lalu. Dia mengaku sudah menanam 200 pohon kakao di kebunnya, tapi dia merasa
jumlah itu masih kurang, dan ingin menambahnya sedikit lagi.

Karena hanya ingin menambah sedikit, dia memutuskan untuk mengambil buah kakao dari perkebunan
kakao PT RSA 4 yang berdekatan dengan kebunnya. Ketika itu dia mengaku memetik tiga buah kakao
matang, dan meninggalkannya di bawah pohon tersebut, karena akan memanen kedelai di kebunnya.

Tarno alias Nono, salah seorang mandor perkebunan PT RSA 4 yang sedang patroli kemudian mengambil
ketiga buah kakao tersebut. Menurut Minah, saat itu Nono sempat bertanya kepada dirinya, siapa yang
memetik ketiga buah kakao tersebut. Lantas saya jawab, saya yang memetiknya untuk dijadikan bibit,
katanya.

Mendengar penjelasan tersebut, menurut Minah, Nono memperingatkannya bahwa kakao di


perkebunan PT RSA 4 dilarang dipetik warga. Peringatan itu juga telah dipasang di depan jalan masuk
kantor PT RSA 4, berupa petikan pasal 21 dan pasal 47 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang
perkebunan. Kedua pasal itu antara lain menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun
maupun menggunakan lahan kebun hingga menggangu produksi usaha perkebunen.

Minah yang buta huruf ini pun mengamininya dan meminta maaf kepada Nono, serta
mempersilahkannya untuk membawa ketiga buah kakao itu. Inggih dibeta mawon. Inyong ora ngerti,
nyuwun ngapura, tutur Minah menirukan permohonan maafnya kepada Nono, dengan meminta Nono
untuk membawa ketiga buah kakao itu.

Ia tak pernah membayangkan kalau kesalahan kecil yang sudah dimintakan maaf itu ternyata berbuntut
panjang, dan malah harus menyeretnya ke meja hijau.

Sekitar akhir bulan Agustus, Minah terkaget-kaget karena dipanggil pihak Kepolisian Sektor Ajibarang
untuk dimintai keterangan terkait pemetikan tiga buah kakao tersebut. Bahkan pada pertengahan
Oktober berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejari Purwokerto.

Melukai rasa keadilan

Amanah (70), salah seorang kakak Minah, mengaku prihatin dengan nasib adiknya. Apalagi penilaian
jaksa yang disampaikan dalam dakwaan dinilainya berlebihan, terutama untuk nilai kerugian.

Menurut dia, satu kilogram kakao basah saat ini memang harganya sekitar Rp 7.500. Namun kategori
kakao basah itu adalah biji kakao yang telah dikerok dari buahnya, bukan masih berada dalam buah.
Namun di dalam dakwaan disebutkan nilai kerugiannya Rp 30.000, atau Rp 10.000 per biji.

Padahal, dari tiga buah kakao itu, kata Amanah, paling banyak didapat 3 ons biji kakao basah. Jika dijual
harganya hanya sekitar Rp 2.000. Orang yang korupsi miliaran dibiarkan saja. Tapi ini hanya memetik
tiga buah kakao sampai dibuat berkepanjangan, kata Amanah membandingkan apa yang dialami
adiknya dengan berita-berita di tv yang sering dilihatnya.
Ahmad Firdaus, salah seorang anak Minah, mengatakan, keluarganya kini sangat mengharapkan adanya
rasa keadilan dalam penyelesaian kasus orangtuanya. Menurutnya, hukum memang tak memiliki hati,
tetapi otoritas yang memegang aturan hukum pasti memiliki hati. Kami hanya berharap agar hakim
dapat memberikan rasa keadilannya terhadap orang tua kami, jelasnya.

Hari Kamis (19/11) ini, Minah akan hadir untuk membela dirinya, tanpa didampingi pengacara. Sejak
pertama kali menjalani persidangan, dia mengaku, tak pernah didampingi pengacara. Saya tidak tahu
pengacara itu apa, ucapnya.

Humas PN Purwokerto, Sudira, mengatakan, majelis hakim yang menangani kasus Minah dipastikan
sudah menawarkan pengacara kepada Minah. Hal itu sudah mutlak harus disampaikan hakim. Tapi
kemungkinan Ibu Minah sendiri yang menolak, katanya.

Terkait keadilan, Sudira mengatakan, akan sangat ditentukan oleh keputusan majelis hakim. Untuk itu,
majelis hakim akan menimbang seluruh fakta persidangan. Hasilnya, akan sangat bergantung pada
pertimbangan majelis hakim, katanya.

https://dee3345.wordpress.com/e-book/artikel/

http://adetempe.blogspot.co.id/2016/03/integrasi-nasional-korusi-bank.html

http://luaxs-berjaya.blogspot.co.id/2012/01/kasus-bank-century.html

makalahme02.blogspot.co.id

Batarahutagalung.blogspot.co.id

indonesiaindonesia.com

heztin.blogspot.co.id

docs.askiven.com

nasional.news.viva.co.id

Anda mungkin juga menyukai