Pendahuluan
B. Epidemiologi
Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak,
dan terdiri dari 2 tipe yaitu akut limfoblastik leukemia (ALL) 82% dan akut non
limfoblastik leukemia (ANLL) 18%. Leukemia kronik mencapai 3 % dari seluruh
leukemia pada anak. Di RSU Dr. Sardjito ALL 79%, ANLL 9%, dan sisanya
leukemia kronik, sementara itu di RSU Dr, Soetomo pada tahun 2002 ALL 88%,
ANLL 8% dan 4% leukemia kronik.1
Rasio pada laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk ALL dan mendekati
1 untuk LMA. Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit
putih dengan ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-ALL pada rentang
1
usia ini. Kejadian ini tidak tampak pada kulit hitam. Kemungkinan puncak
tersebut merupakan pengaruh faktor-faktor lingkungan di negara industri yang
belum diketahui.1
C. Etiologi
Sampai saat ini apa yang menjadi penyebab leukemia belum diketahui
dengan pasti. Sementara apa yang menjadi faktor risiko dapat diketahui dari
beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya adalah penggunaan
pestisida, medan listrik, riwayat keguguran pada ibu, radiasi, bahan kimia
(benzene), virus, kelainan genetik, ibu yang umurnya relatif tua saat melahirkan,
ibu yang merokok saat hamil, konsumsi alkohol saat hamil, penggunaan
marijuana saat hamil, medan magnet, pekerjaan orangtua, berat lahir, urutan lahir,
radiasi prenatal dan postnatal, vitamin K, diet.2
Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal.
Moskow melaukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan
paternal/maternal terhadap pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat
peningkatan resiko leukemia pada keturunannya.1
2
Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-
anak adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves
(Greaves, Alexander 1993). Ia mempercayai ada dua langkah mutase pada sistem
imun. Pertama selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun
pertama kehidupan sebagai konsekuensi dari respons terhadap infeksi pada
umumnya.1
Neutrofil merupakan sel darah putih yang paling banyak pada manusia,
berukuran 12-15m, banyaknya sekitar 50-70% dari seluruh sel darah putih di
dalam darah, sekitar 10 triliun sel diproduksi tiap hari. Rata-rata umur neutrofil di
dalam darah 12 jam. Setelah teraktivasi, neutrofil masuk ke dalam jaringan dan
hanya bertahan hidup 1-2 hari. Neutrofil normalnya terdapat dalam pembuluh
darah, namun pada saat fase inflamasi akibat inflamasi dan beberapa keganasan,
neutrofil bermigrasi ke sumber inflamasi mengikuti sinyal kimia (interleukin-8,
interferon gamma, dan C5a) yang diproduksi oleh endothelium, mast sel dan
makrofag.3
3
Tabel 1. Jumlah leukosit normal berdasarkan umur.4
Jumlah neutrofil normal di dalam darah pada bayi baru lahir umumnya
tinggi (6.000-26.000/ml) , dan menurun pada umur 1 minggu. Setelah 6 bulan,
jumlah neutrofil berkisar antara 1.500-8.000 sel/ml.4
4
Pasien leukemia akut terjadi gangguan produksi maupun maturase
neutrofil sehingga secara kuantitaif maupun fungsional yang terganggu,
mengakibatkan tingginya resiko terkena infeksi bakterial gram negatif. 6
5
pada leukemia akut sampai kepada penyakit dengan perjalanan yang lambat dan
gejala ringan (indolent) seperti pada leukemia kronik. Pada dasarnya efek
patofisiologi berbagai macam leukemia akut mempunyai kemiripan tetapi sangat
berbeda dengan leukemia kronik.1
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal
mula gugus sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan
morfologi, kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap
sel normal.1
Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang
berploriferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat
terdeteksi. Walau etiologi leukemia pada manusia belum diketahui benar, tetapi
pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada binatang percobaan
ditemukan bahwa penyebab (agent)nya mempunyai kemampuan melakukan
modifikasi DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi
(mungkin suatu kelainan) genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi, dan
mutase onkogen seluler. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia
dimulai dari suatu mutase somatik yang mengakibatkan terbentuknya gugus
(clone) abnormal.1
Dari analisis mengenai sitogenetik, isoensim dan fenotip sel, dapat ditarik
kesimpulan bahwa transformasi sel pada LMA dapat terjadi diberbagai tempat
pada jalur perkembangan sel induk. Dengan demikian ekspresinya berupa
perkembangan gugus sel tertentu pada sel induk pluripotent, yang akan mengenai
eritrosit dan trombosit atau terjadi pada gugus sel induk yang telah dijuruskan
untuk granulositopoisis atau monositopoisis.1
6
golongan LMA dan yang sekarang dianut, adalah klasifikasi morfologik menurut
FAB (Perancis, Amerika Serikat, British) seperti berikut1,8:
7
Kegagalan hematopoiesis normal merupakan akibat yang besar pada
patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat
sedikit diketahui. Bahwa tidak selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan
desakan populasi sel leukemia, terlihat pada keadaan yang sama (pansitopenis)
tetapi dengan gambaran sumsum tulang yang justru hiposeluler.1
Imunofenotip
Seperti disebutkan diatas sel-sel leukemia adalah hasil dari mutase pada
tahap perkembangan awal hematopoetik. Klasifikasi imunfenotip sangat berguna
dalam mengklasifikasikan leukemia sesuai tahap-tahap maturase normal yang
dikenal. Kebanyakan kelompok saat ini mengklasifikasikan ALL dalam precursor
sel-B atau leukemia sel-T. prekursor sel-B termasuk CD 19, CD 20, CD 22, dan
CD 79.1
E. Diagnosis
8
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah
hitung jenis leukosit, dan trombistopenia. Bisa terdapat eosinophilia reaktif. Pada
pemeriksaan preparat apus darah tepi didapatkan sel-sel blas. Berdasarkan
protokol WK-ALL dan protokol nasional (protokol Jakarta) pasien ALL
dimasukkan dalam kategori resiko tinggi bila jumlah leukosit <50.000, ada massa
mediastinum, ditemukan leukemia susunan saraf pusat (SSP) serta jumlah sel blas
total setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason lebih dari 1000/mm3. Massa
mediastinum tampak pada radiografi dada. Untuk menentukan adanya leukemia
SSP harus dilakukan aspirasi cairan serbrospinal dan dilakukan pemeriksaan
sitologi1. Diagnosis dari ALL secara garis besar dapat diketahui dari apusan darah
tepi yang mengindikasikan kagagalan sumsum tulang. Anemia dan
trombositopenia merupakan yang tersering ditemukan. Kebanyakan pasien dengan
ALL akan memiliki nilai hitung leukosit <10.000/uL. Sel leukemik jarang
ditemukan pada pemeriksaan apusan darah tepi rutin, namun apabila ditemukan
sel leukemik akan memberi gambaran sel limfosit atipikal. Sel leukemia atipikal
ini bukan merupakan pertanda khas ALL akan tetapi merupakan pertanda tindak
lanjut untuk pemeriksaan sel malignansi. Saat hasil dari pemerisaan darah tepi
menunjukan kecurigaan pada leukemia maka pemeriksaan sumsum tulan (BNP)
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis. 9
9
menunjukkan hiperseluler, kadang-kadang hipoplastik yang kemudian menjadi
leukemia akut. 1
Analisis aspirasi sumsum tulang dan biopsi pada pasien LMA memberikan
gambaran hiperselular yang terdiri dari pola monoton dari sel sumsum tualng.
Flow Cytometry dan pewarnaan khusus dapat mengidentifikasi.1
F. Diagnosis Banding
Diagnosis banding leukemia pada anak yang perlu dipikirkan antara lain
anemia aplastik, gangguan mieloproliferatif, PTI, keganasan lain, penyakit
reumatologi atau penyakit kolagen, vaskular dan sindrom hemofagosit familial
atau induksi virus, infeksi virus Ebstein-Barr, infeksi mononucleosis, reaksi
leukemoid dan sepsis. 1
G. Tata Laksana
10
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif
meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan
komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian
antibiotic, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur,
pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek psikososial. 1
Terapi ALL
Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang
berbeda (deksametason, vinkristin, L-asparaginase, dan atau antrasiklin.
Kemungkinan hasil yang dapat dicapai remisi komplit, remisi parsial, atau gagal.
Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah remisi komplit dan
untuk profilaksi leukemia pada susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan adalah
tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kualitas remisi. Lebih dari
95% pasien akan mendapatkan remisi pada fase ini. Terapi SSP dikombinasi
dengan infus berulang metotreksat dosis sedang (500mg/m2) atau dosis tinggi (3-
5gr/m2). Di beberapa pasien resiko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih
efektif dengan memberikan radiasi cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian
sistemik dosis tinggi. 1
11
survival 50-60%. Terapi relaps harus lebih agresif untuk mengatasi resistensi obat.
1
Secara keseluruhan survival setelah relaps adalah 20-40% pada seri yang
berbeda. Survival meningkat dari 53% (1981-1985), sampai 68% (1986-1991)
sampai dengan saat ini 81% (1992-1995). Alasan utama perbaikan ini adalah lebih
intensifnya terapi untuk semua faktor resiko. 1
Terapi LMA
12
terbesar dari terapi retinoic ATRA adalah komplikasi perdarahan yang tidak bisa
dihindari. 9
13
Referensi
4. FA, Oski. Neutropenia in Pediatric Practice. s.l. : Pediatric Rev, 2008. pp. 12-
23.
14