Anda di halaman 1dari 14

A.

Pendahuluan

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari


sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi
adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam
pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah berpoliferasi secara tidak teratur
dan tidak terkendali sehingga fungsinya pun menjadi tidak normal. Oleh karena
proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga
menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik. Leukimia akut dibagi
atas akut limfoblastik leukemia (ALL) dan akut non limfoblastik leukemia
(ANLL).1

B. Epidemiologi

Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan.


Insidens rata-rata 4-4,5 kasus/tahun/100.000 anak dibawah 15 tahun. Di negara
berkembang 83% ALL, 17% ANLL, lebih tinggi pada anak kulit putih
dibandingkan kulit hitam. Di Asia kejadian leukemia pada anak lebih tinggi dari
anak kulit putih. Di Jepang mencapai 4/100.000 anak, dan diperkirakan tiap tahun
terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidennya
mencapai 2,76/100.000 anak usia 1-4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5-6
pasien leukemia baru setiap bulan di RSUP dr. Sardjito Yojyakarta, sementara di
RSU dr. Soetomo sepanjang tahun 2002 dijumpai 70 kasus leukemia baru.1

Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak,
dan terdiri dari 2 tipe yaitu akut limfoblastik leukemia (ALL) 82% dan akut non
limfoblastik leukemia (ANLL) 18%. Leukemia kronik mencapai 3 % dari seluruh
leukemia pada anak. Di RSU Dr. Sardjito ALL 79%, ANLL 9%, dan sisanya
leukemia kronik, sementara itu di RSU Dr, Soetomo pada tahun 2002 ALL 88%,
ANLL 8% dan 4% leukemia kronik.1

Rasio pada laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk ALL dan mendekati
1 untuk LMA. Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit
putih dengan ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-ALL pada rentang

1
usia ini. Kejadian ini tidak tampak pada kulit hitam. Kemungkinan puncak
tersebut merupakan pengaruh faktor-faktor lingkungan di negara industri yang
belum diketahui.1

C. Etiologi

Sampai saat ini apa yang menjadi penyebab leukemia belum diketahui
dengan pasti. Sementara apa yang menjadi faktor risiko dapat diketahui dari
beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya adalah penggunaan
pestisida, medan listrik, riwayat keguguran pada ibu, radiasi, bahan kimia
(benzene), virus, kelainan genetik, ibu yang umurnya relatif tua saat melahirkan,
ibu yang merokok saat hamil, konsumsi alkohol saat hamil, penggunaan
marijuana saat hamil, medan magnet, pekerjaan orangtua, berat lahir, urutan lahir,
radiasi prenatal dan postnatal, vitamin K, diet.2

Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal.
Moskow melaukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan
paternal/maternal terhadap pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat
peningkatan resiko leukemia pada keturunannya.1

Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti dilaporkan di


Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan
radiasi dosis tinggi in utero secara sifnifikan tidak mengarah pada peningkatan
insiden leukemia, demikian juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal
ini masih merupakan perdapatan. Pemeriksaan X-ray abdomen selama trimester 1
kehamilan menunjukan peningkatan kasus ALL sebanyak 5 kali. Selama 40
tahunan metode ini digunakan secara rutin, tetapi saat ini pemeriksaan tersebut
amat jarang dan hanya sedikit kasus yang bisa dijelaskan hubungannya dengan
faktor ini.1

Kontroversi tentang paparan bidang elektromagnetik masih ada. Beberapa


studi tidak menemukan peningkatan, tapi studi terbaru menunjukkan peningkatan
2 kali diantara anak-anak yang tinggal di jalur listrik tegangan tinggi, namun tidak
signifikan karena jumlah anak yang terpapar sedikit.1

2
Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-
anak adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves
(Greaves, Alexander 1993). Ia mempercayai ada dua langkah mutase pada sistem
imun. Pertama selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun
pertama kehidupan sebagai konsekuensi dari respons terhadap infeksi pada
umumnya.1

Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor resiko terjadinya leukemia


pada anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingius dkk. (1995). Faktor-faktor
tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia,
berat badan lahir > 4500 gram, dan hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu dkk.
(1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol meningkatkan
resiko terjadinya leukemia pada bayi, terutama ANLL.1

D. Patofisiologi dan klasifikasi morfologik

Neutrofil merupakan sel darah putih yang paling banyak pada manusia,
berukuran 12-15m, banyaknya sekitar 50-70% dari seluruh sel darah putih di
dalam darah, sekitar 10 triliun sel diproduksi tiap hari. Rata-rata umur neutrofil di
dalam darah 12 jam. Setelah teraktivasi, neutrofil masuk ke dalam jaringan dan
hanya bertahan hidup 1-2 hari. Neutrofil normalnya terdapat dalam pembuluh
darah, namun pada saat fase inflamasi akibat inflamasi dan beberapa keganasan,
neutrofil bermigrasi ke sumber inflamasi mengikuti sinyal kimia (interleukin-8,
interferon gamma, dan C5a) yang diproduksi oleh endothelium, mast sel dan
makrofag.3

3
Tabel 1. Jumlah leukosit normal berdasarkan umur.4

Jumlah neutrofil normal di dalam darah pada bayi baru lahir umumnya
tinggi (6.000-26.000/ml) , dan menurun pada umur 1 minggu. Setelah 6 bulan,
jumlah neutrofil berkisar antara 1.500-8.000 sel/ml.4

Kegagalan mempertahankan jumlah neutrofil yang normal dapat terjadi


karena beberapa hal, yaitu kelainan perkembangan sumsum tulang dan pelepasan
leukosit di sirkulasi darah, penurunan lama hidup leukosit di sirkulasi darah, atau
kombinasi dari kedua mekanisme tersebut. 4 Etiologi secara lengkap terdapat pada
Tabel 2 dibawah.

Tabel 2. Etiologi Neutropenia 5

4
Pasien leukemia akut terjadi gangguan produksi maupun maturase
neutrofil sehingga secara kuantitaif maupun fungsional yang terganggu,
mengakibatkan tingginya resiko terkena infeksi bakterial gram negatif. 6

Terapi intervensi pada psien leukemia seperti kortikosteroid, kemoterapi,


transplantasi stem sel dan radiasi dapat menyebabkan menurunnya jumlah
maupun fungsi neutrofil sehingga terjadi defisiensi pertahanan tubuh. Selain itu
terapi tersebut juga mengakibatkan gangguan pertumbuhan kulit dan mukosa di
saluran pencernaan sehingga rentan terhadap infeksi bakteria.1

Gambar 1. Dikutip dari Gerald dkk7. Patofisiologi terjadinya penyakit


pada penderita keganasan.

Leukemia sebenarnya merupakan suatu istilah untuk beberapa jenis


penyakit yang berbeda dengan manifestasi patofisiologis yang berbeda pula.
Mulai dari yang berat dengan penekanan sumsum tulang yang berat pula seperti

5
pada leukemia akut sampai kepada penyakit dengan perjalanan yang lambat dan
gejala ringan (indolent) seperti pada leukemia kronik. Pada dasarnya efek
patofisiologi berbagai macam leukemia akut mempunyai kemiripan tetapi sangat
berbeda dengan leukemia kronik.1

Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal
mula gugus sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan
morfologi, kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap
sel normal.1

Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang
berploriferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat
terdeteksi. Walau etiologi leukemia pada manusia belum diketahui benar, tetapi
pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada binatang percobaan
ditemukan bahwa penyebab (agent)nya mempunyai kemampuan melakukan
modifikasi DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi
(mungkin suatu kelainan) genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi, dan
mutase onkogen seluler. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia
dimulai dari suatu mutase somatik yang mengakibatkan terbentuknya gugus
(clone) abnormal.1

Dari analisis mengenai sitogenetik, isoensim dan fenotip sel, dapat ditarik
kesimpulan bahwa transformasi sel pada LMA dapat terjadi diberbagai tempat
pada jalur perkembangan sel induk. Dengan demikian ekspresinya berupa
perkembangan gugus sel tertentu pada sel induk pluripotent, yang akan mengenai
eritrosit dan trombosit atau terjadi pada gugus sel induk yang telah dijuruskan
untuk granulositopoisis atau monositopoisis.1

Telah pula dapat dibedakan masing-masing sel leukemia yang termasuk


LMA yang berasal dari sel induk granulosit-monosit yang relative tua (mature)
dari sel induk yang lebih muda fenotipnya. Perbedaan ini mudah dikenal oleh para
ahli dan berdasarkan hal ini dibuatlah klasifikasi jenis leukemia yang termasuk

6
golongan LMA dan yang sekarang dianut, adalah klasifikasi morfologik menurut
FAB (Perancis, Amerika Serikat, British) seperti berikut1,8:

Gambar 2.Klasifikasi FAB pada LMA

Dikutip dari Kligman,dkk (Nelson:Textbook of Pediatrics)

Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan


bahwa sebagian besar ALL mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel
blas dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia itu
berasal dari sel tunggal. Oleh karena homogenitas itu maka dibuat klasifikasi ALL
secara morfologik untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik, sebagai
berikut1:

- L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin


homogen, anak inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.
- L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi,
kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.
- L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin
berbercak, banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik
dan bervakuolisasi.

Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin


banyak akan menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal, dan bagi
faal tubuh maupun dampak karena infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh.1

7
Kegagalan hematopoiesis normal merupakan akibat yang besar pada
patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat
sedikit diketahui. Bahwa tidak selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan
desakan populasi sel leukemia, terlihat pada keadaan yang sama (pansitopenis)
tetapi dengan gambaran sumsum tulang yang justru hiposeluler.1

Kematian pada pasien leukemia akut pada umumnya diakibatkan


penekanan sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula
disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia tersebut ke organ tubuh pasien.1

Imunofenotip

Seperti disebutkan diatas sel-sel leukemia adalah hasil dari mutase pada
tahap perkembangan awal hematopoetik. Klasifikasi imunfenotip sangat berguna
dalam mengklasifikasikan leukemia sesuai tahap-tahap maturase normal yang
dikenal. Kebanyakan kelompok saat ini mengklasifikasikan ALL dalam precursor
sel-B atau leukemia sel-T. prekursor sel-B termasuk CD 19, CD 20, CD 22, dan
CD 79.1

Karakteristik sel-B matur adalah immunoglobin pada permukaan,


sementara sel-T membawa imunofenotip CD 3, CD 7, CD 5 atau CD 2. Petanda
sel-B dana tau pertanda sel T kadang-kadang dapat dideteksi pada konsentrasi
rendah. Sel leukemia dapat menunjukkan antigen myeloid dan limfoid pada saat
yang bersamaan, leukemia tersebut dianggap befenotip.1

E. Diagnosis

Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk


menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dan dilengkapi dengan pemeriksaan
radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang
lain. Cara ini mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi
molekuler.1

8
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah
hitung jenis leukosit, dan trombistopenia. Bisa terdapat eosinophilia reaktif. Pada
pemeriksaan preparat apus darah tepi didapatkan sel-sel blas. Berdasarkan
protokol WK-ALL dan protokol nasional (protokol Jakarta) pasien ALL
dimasukkan dalam kategori resiko tinggi bila jumlah leukosit <50.000, ada massa
mediastinum, ditemukan leukemia susunan saraf pusat (SSP) serta jumlah sel blas
total setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason lebih dari 1000/mm3. Massa
mediastinum tampak pada radiografi dada. Untuk menentukan adanya leukemia
SSP harus dilakukan aspirasi cairan serbrospinal dan dilakukan pemeriksaan
sitologi1. Diagnosis dari ALL secara garis besar dapat diketahui dari apusan darah
tepi yang mengindikasikan kagagalan sumsum tulang. Anemia dan
trombositopenia merupakan yang tersering ditemukan. Kebanyakan pasien dengan
ALL akan memiliki nilai hitung leukosit <10.000/uL. Sel leukemik jarang
ditemukan pada pemeriksaan apusan darah tepi rutin, namun apabila ditemukan
sel leukemik akan memberi gambaran sel limfosit atipikal. Sel leukemia atipikal
ini bukan merupakan pertanda khas ALL akan tetapi merupakan pertanda tindak
lanjut untuk pemeriksaan sel malignansi. Saat hasil dari pemerisaan darah tepi
menunjukan kecurigaan pada leukemia maka pemeriksaan sumsum tulan (BNP)
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis. 9

ALL dapat didiagnosis apabila ditemukan pada pemeriksaan sumsum


tulang >25% dari total sel sumsum tulang merupakan limfoblast yang homogen.
Penentuan derajat/klasifikasi ALL dapat ditentukan dari pemeriksaan cairan
serebrospinal.9

Kadang-kadang diagnosis LMA diawali dengan prolonged preleukemia,


biasanya ditunjukkan adanya kekurangan produksi sel darah yang normal,
sehinggat terjadi anemia refrakter, neutropenia atau trombositopeni. Pemeriksaan
sumsum utlang tidak menunjukkan leukemia, tetapi ada perubahan morfologi
yang jelas. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodiplastik (MDS) dan
mempunyai klasifikasi FAB sendiri (Hasle 1994). Biasanya sumsum tulang

9
menunjukkan hiperseluler, kadang-kadang hipoplastik yang kemudian menjadi
leukemia akut. 1

Diagnosis, evaluasi, dan terapi anak yang menderita LMA belum


memuaskan bila dibandingkan dengan ALL. Pada LMA, hasil pemeriksaan darah
menunjukkan adanya anemia, trombistopenia, dan leukositosis. Kadar hemoglobin
sekitar 7.0 sampai 8,5 gr/dl, jumlah trombosit umumnya <50.000/ul dan jumlah
leukositnya sekitar 24.000/ul. Sekitar 20% pasien jumlah leukosit >100.000/ul. 1

Analisis aspirasi sumsum tulang dan biopsi pada pasien LMA memberikan
gambaran hiperselular yang terdiri dari pola monoton dari sel sumsum tualng.
Flow Cytometry dan pewarnaan khusus dapat mengidentifikasi.1

Pada saat diagnosis leukemia ditegakkan akan menimbulkan beberapa


permasalahan baik karena tindakan yang invasif maupun kondisi psikologis orang
tua dan keluarga. Aspirasi sum sum tulang dan pungsi lumbal dapat menimbulkan
nyeri dan ketakutan pada anak dan kekhawatiran pada orang tua, sehingga perlu
penjelasan dan edukasi, pemberian obat penenang dan pendekatan psikologi.
Tindakan tersebut juga perlu dilakukan pada saat mengevaluasi perkembangan
penyakit/kemajuan pengobatan, sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Edukasi dan
pendampingan orang tua pada saat dilakukan tindakan aspirasi sumsum tulang dan
pungsi lumbal adalah langkah yang berujuan untuk mengurangi rasa sakit dan
meningkatkan rasa percaya diri pasien.1

F. Diagnosis Banding

Diagnosis banding leukemia pada anak yang perlu dipikirkan antara lain
anemia aplastik, gangguan mieloproliferatif, PTI, keganasan lain, penyakit
reumatologi atau penyakit kolagen, vaskular dan sindrom hemofagosit familial
atau induksi virus, infeksi virus Ebstein-Barr, infeksi mononucleosis, reaksi
leukemoid dan sepsis. 1

G. Tata Laksana

10
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif
meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan
komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian
antibiotic, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur,
pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek psikososial. 1

Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukimianya


berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan
saraf pusat dan rumatan. Klasifikasi resiko normal atau resiko tinggi menentukan
protokol kemoterapi. Saat ini di Indonesia sudah ada dua protokol pengobatan
yang lazim digunakan untuk pasien ALL yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan
protokol WK-ALL 2000. 1

Terapi ALL

Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang
berbeda (deksametason, vinkristin, L-asparaginase, dan atau antrasiklin.
Kemungkinan hasil yang dapat dicapai remisi komplit, remisi parsial, atau gagal.
Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah remisi komplit dan
untuk profilaksi leukemia pada susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan adalah
tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kualitas remisi. Lebih dari
95% pasien akan mendapatkan remisi pada fase ini. Terapi SSP dikombinasi
dengan infus berulang metotreksat dosis sedang (500mg/m2) atau dosis tinggi (3-
5gr/m2). Di beberapa pasien resiko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih
efektif dengan memberikan radiasi cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian
sistemik dosis tinggi. 1

Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap


hari dan CCR (Continuous Complete Remission) dan 25-30% akan kambuh.
Sebab utama kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsum tulang
yang terjadi (dalam 18 bulan sesudah diagnosis) memperburuk prognosis (10-20%
long term survival) sementara relap yang terjadi kemudian setelah penghentian
terapi mempunyai prognosis lebih baik, khususnya relap testis dimana long-term

11
survival 50-60%. Terapi relaps harus lebih agresif untuk mengatasi resistensi obat.
1

Transplantasi sum-sum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk


sembuh, khususnya bagi anak-anak dengan leukemia sel T yang setelah relaps
mempunyai prognosis yang buruk dengan terapi sitostatika konvensional. 1

Secara keseluruhan survival setelah relaps adalah 20-40% pada seri yang
berbeda. Survival meningkat dari 53% (1981-1985), sampai 68% (1986-1991)
sampai dengan saat ini 81% (1992-1995). Alasan utama perbaikan ini adalah lebih
intensifnya terapi untuk semua faktor resiko. 1

Terapi LMA

Tiga metode terapi konsolidasi adaah kemoterapi sendiri, transplantasi


sumsum tulang autologous atau transplantasi alogenik dari donor dengan HLA
yang identic. Saat ini nampaknya transplantasi sumsum tulang autologous
menunjukkan hasil yang baik, namun transplantasi alogenik dari donor dengan
HLA yang identik masih merupakan yang terbaik untuk kesembuhan.1

Kemoterapi multiagen yang diberikan secara agresif sukses dalam


mengurangi remisi pada 85-90% pasien. Lebih dari 5% pasien meninggal
dikarenakan baik karena infeksi ataupun perdarahan sebelum remisi dapat
tercapai. Transplantasi sumsum tulang atau transplantasi stem sel telah
menunjukkan perbaikan pada penyakit LMA pada 60-70% pasien. 9

Leukimia Primielosistik Akut (M3)

M3 berjumlah sekitar 10-15%. Penyakit ini dikarakteristikkan dengan


t(15:17) dimana breakpoint pada gen untuk reseptor inti asam retinoik pada
kromosom 17 dan PML (promyelitic leukemia) berada pada kromosom 15. Tahun
1998 ilmuwan Cina melaporkan bahwa induksi remisi lengkap bisa terjadi pada
M3 engan menggunakan asam reinoik (ATRA) sebagai agen tunggal. Tentu saja
keterlibatan reseptor inti untuk asam reinoik mempengaruhi sensitivitas leukemia
terhadap vitamin ini, meskipun detail molekuler masih belum diketahui. Kerugian

12
terbesar dari terapi retinoic ATRA adalah komplikasi perdarahan yang tidak bisa
dihindari. 9

13
Referensi

1. Permono, B and Ugrasena, IDG. Leukimia Akut. Buku Ajar Hematologi


Anak. Jakarta : Dokter Anak Indonesia, 2012.

2. Ross, E, et al. Classification of pediatric acute lymphoblastic leukemia by gene


expression profiling. s.l. : the american society of hematology, 2003.

3. V, Witko-Sarsat, et al. Neutrophils: molecules, Functions and


Patophysiological Aspects. 80. s.l. : Lab Invest, 2000. pp. 617-53. 5.

4. FA, Oski. Neutropenia in Pediatric Practice. s.l. : Pediatric Rev, 2008. pp. 12-
23.

5. Gb, Segel and JS, Halterman. Neutropenia in Pediatric Practice. s.l. : J


Postgrad Med, 2005.

6. A, Sharman and N, Lokeshwar. Febrile Neutropenia in Haematological


Maliganancies. s.l. : J Postgrad Med, 2005.

7. GR, Donowitz, et al. Infection in the Neutropenic Patient-New Views of an Old


Problem. s.l. : American Society of Hematolog, 2001.

8. LL, Robinson and Me, Nesbit. Textbook of Febrile Neutropenia. London :


Martin Dunitz, 2001.

9. Kliegman, et al. Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia : ElSevier, 2011.

14

Anda mungkin juga menyukai