Anda di halaman 1dari 3

Clinical Review : Cauda Equina Syndrome

TREATMENT
Menurut guideline terbaru mengenai managemen dari pasien dengan nyeri belakang dan dari
pemeriksaan neurologis didapatkan kecurigaan sindrom cauda equina maka tindakan operasi untuk
dekompresi (apabila penyebab yang mendasari adalah HNP) dapat segera dipikirkan. Pada salah satu
referensi, intervensi kurang dari 48 jam setelah onset dapat memperbaiki prognosis penyakit kearah lebih
baik (Lavy, et al., 2009).

Kasus sindrom cauda equina dan sindrom conus medullaris dapat pula dikarenakan oleh trauma, suatu
trauma tumpul karena kecelakaan atau trauma tusuk karena benda tajam atau peluru. Pada penelitian
oleh Flores, et al., 45 pasien dengan luka tembak, 60% diantara bermanifestasi klinis sebagai cauda equina
syndrome. Pada kasus tersebut 53% pasien yang dilakukan laminektomi dapat memperbaik gejala.
Sedangkan pada kasus trauma tumpul diagnosis dini dan penatalaksanaan cepat tepat adalah kunci utama,
imobilisasi kolumna spinalis dan memperbaiki tanda vital (tekanan darah dan perfusi jaringan). Pemberian
methylprednisolone menurut National Acute Spinal Cord Injury Study secara intravena dapat diberikan
pada onset 8 jam setelah trauma terjadi. Menurut Gok, et al., methylprednisolone memiliki efek
neuroprotektif apabila diberikan sebelum rentang waktu 8 jam setelah trauma terjadi (Harrop, et al.,
2004).

Pada penelitian yang dilakukan McAfee et al. mengevaluasi 48 pasien dengan fraktur segmen thorak-
lumbal yang akan menjalani operasi dekompresi anterior. 16 pasien dengan sindrom cauda equina, 2
sindrom conus medullaris dan 30 pasien dengan keduanya. Hanya 12 pasien dari 32 pasien dengan
sindrom conus medullaris memiliki fungsi berkemih dan defekasi yang baik setelah menjalani operasi
(Kingwell, et al., 2008).

Rahimi-Mohavgar dkk., meneliti 24 pasien dengan sindrom conus medullaris sekunder (trauma) pasca
dekompresi 6 bulan lalu. 60% pasien mengalami cedera neurologis komplit. 41,6 % mengalami
penyembuhan, dengan peningkatan skor Frankel 1.5 dan peningkatan skor motorik sebanyak 15 poin.
Fungsi berkemih mengalami perbaikan pada 63.6% dan penyembuhan medulla spinalis terjadi pada 83%
pasien (Kingwell, et al., 2008).

Manajemen fungsi seksual dan berkemih. Sindrom conus medullaris menyebabkan sindom upper motor
neuron (UMN) sedangkan sindrom cauda equina menyebkan sindrom lower motor neuron (LMN).
Kerusakan pada conus medularis menyebabkan gangguan kandung kemih yang bervariasi tergantung
struktur neuroanatomis. Sindrom LMN dikarakteristikkan sebagai kerusakan pada sel anterior horn S2-S4
yang menyebabkan kelemahan aktivitas detrusor. Kelemahan (flaccid) pada otot detrusor menyebabkan
retensi utin atau inkontinensia overflow. Secara klinis reflex bulbokavernosus berkurang dan tonus
sphincter analis berkurang. Intemiten kateterisasi dapat dilakukan untuk memastikan pengosongan
kandung kemih. Tujuan utama dari manajemen berkmih adalah untuk mencegah distensi kandung kemih
yang berlebihan dan aliran retrograde ke ginjal yang dapat menyebakan pyelonephritis. Pada lesi UMN
pusat miksi pada segmen sakral dan lengkung reflex sakral terus bekerja (tidak dipengaruhi oleh batang
otak dan pusat miksi pada korteks). Sindrom ini menyebabkan disinergia detrusor-spinchter dengan
hiperrefleks detrusor. Hal tersebut dapat menyebabkan tekanan kandung kemih yang meningkat dan
memiliki potensi terjadinya aliran retrograde. Pengobatan dengan antikolnergik ataupun pada kasus
resisten dapat digunakan toxin botulinum data digunakan, untuk mengurangi hiperrefleks detrusor dan
urin dapat keluar melalui kateter (Kingwell, et al., 2008).

Pada gangguan seksual, pria dengan lesi LMN memilki kesulitan untuk ereksi oleh rangsangan taktil
dikarenakan gangguan pada lengkung refleks parasimpatis (S2-S4). Ereksi oleh rangsangan psikogenik
yang dimediasi oleh lengkung reflex simpatis (T10-T12) masih dapat terjadi pada lesi LMN. Kebalikannya
pada lesi UMN, ereksi oleh rangsangan psikogenik akan hilang namun rangsangan taktil maish dapat
terjadi. Penatalaksaan sangat dipengaruhi oleh tingkatan lesi, hal tersebut harus dikonsultasikan ke
urologist ataupun ginekologist (Kingwell, et al., 2008).

Prognosis. Sulit untuk menilai prognosis dari sindrom cauda equina karena kompleksitas dari penyakit ini,
namun dapat diperkiran dari beberapa informasi yang ada (Gardner, et al., 2011):

 Sekitar setengah dari kasus CES berupa CES-R (sindrom cauda equina tipe retensi) saat dirujuk ke
rumah sakit,
 Banyak kasus dari klasifikasi CES-I (sindrom cauda equina tipe inkomplit) dengan tindakan operasi
memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan CES-R,
 Sekitar 75% dari semua kasus CES akan memiliki fungsi urological yang baik, meskipun disertai
dengan nyeri belakang kronik dan deficit motoric maupun sensorik pada perineum maupun
ekstremitas bawah,
 Sekitar 20% dari semua pasien dengan diagnosa CES memiliki prognosis buruk dan sering
memerlukan tindakan lebih lanjut seperti manajemen disfungsi seksua, kateterisasi, kolostomi,
rehabilitasi dan psiko-sosial support.

2
REFERENCES
Gardner, A., Gardner, E. & Morley, T., 2011. Cauda equina syndrome: a review of the current clinical and
medico-legal position. Eur Spine J, Volume 20, pp. 690-697.

Harrop, J., Hunt, G. & Vaccaro, A., 2004. Conus medullaris and cauda equina syndrome as a result of
traumatic injuries: management principles. Neurosurgery Focus, Volume 6, p. 4.

Kingwell, S., Curt, A. & Dvorak, M., 2008. Factors affecting neurological outcome in traumatic conus
medullaris and cauda equina injuries. Neurosurgery Focus, Volume 25, p. 5.

Lavy, C., James, A., Wilson-MacDonald, J. & Fairbank, J., 2009. Cauda Equina Synrome. BMJ, Volume 338,
p. 3.

Anda mungkin juga menyukai