Anda di halaman 1dari 12

Gangguan Gerak Terkait dengan Radioterapi dan Prosedur Bedah

Bharath Kumar Surisetti, Shweta Prasad, Vikram Venkappayya Holla, Nitish


Kamble, Ravi Yadav, dan Pramod Kumar Pal

Abstrak
Pada beberapa kasus, gangguan gerak dapat terjadi setelah prosedur
intervensi seperti namun tidak terbatas pada radioterapi, prosedur dental,
dan operasi jantung, otak, dan medulla spinalis. Sebagian besar kelainan
ini cenderung merupakan gejala sisa yang tidak terduga dengan
fenomenologi dan latensi yang beragam, dan seringkali menyebabkan
disabilitas lebih berat dibandingkan penyakit utama yang menyebabkan
prosedur tersebut dilakukan. Karena rendahnya pengetahuan dan
kesadaran akan masalah ini, keterlambatan diagnosis sering terjadi,
begitu pula kesalahan diagnosis sebagai Gangguan gerak fungsional.
Tinjauan naratif ini membahas fenomenologi, patofisiologi, dan potensi
pengobatan berbagai gangguan gerak yang disebabkan oleh prosedur
intervensi seperti radioterapi serta pembedahan dan prosedur neurologis
dan non-neurologis.
Kata kunci: Bedah jantung, Distonia, Mioklonus, Parkinsonisme, Radiasi,
Tremor

PENDAHULUAN
Gangguan gerak iatrogenik mengacu pada gangguan gerak yang
terjadi akibat efek samping terkait pengobatan. Meskipun gangguan gerak
iatrogenik paling sering dikaitkan dengan obat-obatan, seperti gangguan
tardif; berbagai intervensi, baik medis atau bedah, telah terlibat dalam
munculnya gangguan tersebut, mencakup agen kemoterapi dan anestesi,
antipsikotik, radioterapi, dan operasi neurologis dan non-neurologis.
Dalam konteks ini, gangguan gerak dapat terjadi setelah prosedur
intervensi (Gambar 1), seperti namun tidak terbatas pada radioterapi,
prosedur dental, operasi jantung, otak dan medulla spinalis, serta
stimulasi otak dalam (DBS). Kelainan ini cenderung jarang terjadi dengan
prevalensi dan insidensi yang tidak pasti. Sebagian besar kasus
merupakan gejala sisa yang tidak terduga dengan fenomenologi dan
latensi yang bervariasi, dan seringkali menyebabkan disabilitas lebih berat
dibandingkan penyakit utama yang menyebabkan prosedur tersebut
dilakukan. Karena kurangnya pemahaman dan kesadaran akan masalah
ini, keterlambatan dalam mendiagnosis kondisi ini sering terjadi, begitu
pula kesalahan diagnosis sebagai gangguan gerak fungsional. Saat ini,
belum ada sistem klasifikasi yang pasti untuk gangguan ini, dan latensi
timbulnya penyakit sangat bervariasi, bahkan dengan prosedur dasar
yang sama (Gambar 2). Selain itu, mekanisme yang mendasarinya
berbeda-beda menurut prosedur penyebab, dengan variabilitas untuk
fenomenologi yang sama (Gambar 3)

Gambar 1. Klasifikasi berdasarkan fenomenologi. Berbagai fenomenologi


dapat dilihat pada gangguan gerak yang berhubungan dengan radioterapi
dan prosedur pembedahan. Dengan pengecualian ataksia yang
dilaporkan hanya pasca radioterapi, semua penyakit lainnya bersifat
fenomenologi dengan berbagai penyebab. VP, ventrikuloperitoneal.

Gambar 2. Klasifikasi berdasarkan latensi. Diamati variabilitas onset


latensi yang tinggi, bahkan dengan prosedur dasar dan fenomenologi
yang sama.

Gambar 3. Klasifikasi berdasarkan mekanisme yang mendasarinya.


Mekanisme yang mendasarinya dapat diklasifikasikan secara luas sebagai
cedera langsung pada otak/medulla spinalis pada area tertentu atau
melalui cedera hipoksia/iskemik difus, atau karena perubahan otak yang
disebabkan oleh cedera perifer. PKD, diskinesia kinesigenik paroksismal;
VP, ventrikuloperitoneal.

Tinjauan naratif ini bertujuan untuk meninjau fenomenologi,


patofisiologi, dan potensi pengobatan berbagai gangguan gerak yang
disebabkan oleh radioterapi serta prosedur bedah neurologis dan non-
neurologis. Gangguan gerak terkait DBS sebagian besar disebabkan oleh
stimulasi dan telah ditinjau di tempat lain. Oleh karena itu tidak disertakan
dalam tinjauan ini.

GANGGUAN GERAK PASCA RADIOTERAPI


Radioterapi merupakan modalitas pengobatan yang penting pada
berbagai penyakit neurologis, seperti tumor dan malformasi arteriovenosa
(AVM). Namun, radiasi seringkali dapat menyebabkan cedera neurologis
yang signifikan karena kerusakan jaringan normal. Efek samping pasca
radiasi sebelumnya dibagi menjadi segera, subakut (< 6 bulan) dan
tertunda (> 6 bulan). Meskipun komplikasi segera dan subakut mungkin
bersifat reversibel, komplikasi yang tertunda dianggap bersifat permanen.
Hampir semua gangguan gerak utama, seperti parkinsonisme, distonia,
tremor, mioklonus, dan ataksia, pernah dilaporkan pasca radioterapi
(Tabel 1). Meskipun lokasi cedera pasti untuk setiap fenomena ini mungkin
berbeda-beda, komplikasi segera diperkirakan disebabkan oleh gangguan
sawar darah-otak akibat apoptosis endotel, yang menyebabkan edema
vasogenik dan peningkatan tekanan intrakranial. Komplikasi subakut
diperkirakan terjadi karena demielinasi, dan komplikasi tertunda dapat
terjadi melalui kerusakan pembuluh darah, misalnya hilangnya pembuluh
darah normal atau fibrosis progresif dengan atau tanpa neovaskularisasi.
Parkinsonisme pasca radioterapi
Parkinsonisme pasca radioterapi dapat terjadi dalam rentang
latensi yang luas, antara beberapa minggu hingga 39 tahun pasca
radioterapi, dan hingga saat ini, hanya sedikit kasus yang dilaporkan
(Tabel 1). Kecuali untuk satu kasus yang menunjukkan parkinsonisme
dominan tremor, semua kasus lainnya menunjukkan parkinsonisme rigid-
akinetik. Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada kasus subakut
menunjukkan hiperintensitas globus pallidus yang dominan, sedangkan
pada kasus dengan onset tertunda, terlihat jelas hiperintensitas
substansia alba difus yang konsisten dengan ensefalopati radiasi. Selain
itu, pemindaian transporter dopamin menunjukkan penurunan serapan di
putamen. Patofisiologi yang mendasari mungkin berbeda berdasarkan
waktu timbulnya gangguan gerak. Pada parkinsonisme pasca radioterapi
subakut, mekanisme yang diduga adalah edema vasogenik, sedangkan
vaskulopati akibat hipoksia diduga menyebabkan parkinsonisme pasca
radioterapi yang tertunda (lebih dari 2 bulan). Pengobatan dengan
levodopa biasanya tidak memuaskan karena patologi parkinsonisme
pasca radiasi terletak di pasca sinaptik. Namun, pada kasus jarang
mungkin responsif dan reversibel dengan levodopa.
Distonia pasca radioterapi
Distonia pascaradioterapi terutama terdiri dari distonia servikal,
oromandibular (OMD) dan segmental, yang kejadiannya dekat dengan
lokasi radioterapi (Tabel 1). Mirip dengan parkinsonisme pasca
radioterapi, terdapat latensi yang bervariasi pada timbulnya distonia pasca
radioterapi, yang dapat berkisar dari 3 minggu hingga 5 tahun.
Distonia servikal pasca radioterapi pernah dilaporkan pada pasien
yang menerima radioterapi untuk karsinoma laring dan paru-paru. Pada
pasien ini, aktivitas otot tonik dan kokontraksi otot yang terlibat sesuai
dengan distonia diamati pada elektromiografi (EMG) tanpa adanya
potensial neuropatik atau miopati. Pencitraan biasanya normal; namun,
dalam satu kasus dengan distonia servikal pasca radioterapi, MRI spinal
menunjukkan hiperintensitas pada medulla spinalis servikal dari segmen
C3 hingga C6 tanpa efek massa. Sangat penting untuk membedakan
distonia dari kontraktur dimana terlihat atrofi otot yang terlibat, dan bukan
hipertrofi.
OMD pasca radioterapi pernah dilaporkan paska radioterapi untuk
karsinoma nasofaring. Dalam kedua kasus yang dilaporkan, pasien
mengalami distonia penutupan-rahang dengan keterlibatan maseter
setelah masa latensi 3 minggu hingga 3 bulan, dan EMG menunjukkan ko-
kontraksi otot yang terkena (masseter dan platysma), sesuai dengan
distonia. OMD pasca radioterapi diduga merupakan kelainan gerakan
terkait cedera perifer, dimana cedera saraf trigeminal ringan namun
berulang akibat radioterapi fokal menyebabkan reorganisasi dari
representasi somatosensorinya di talamus. Mekanisme lain yang diduga
dalam kasus ini adalah keterlibatan pons karena kedekatannya dengan
medan radiasi. Pons memiliki fungsi penghasil pola sentral, dan
keterlibatannya dapat menyebabkan perubahan impuls ke struktur
subkortikal yang lebih tinggi, yang menyebabkan gerakan abnormal
seperti distonia.
Terakhir, distonia segmental pasca radioterapi yang melibatkan
bahu dan badan telah dilaporkan pada 3 pasien yang menerima
radioterapi untuk karsinoma payudara. Pasien-pasien ini mengalami nyeri
dan penurunan rentang gerak pada area yang terlibat, dan EMG
menunjukkan potensial motorik involunter dan pelepasan muatan
miokemik.
Semua bentuk distonia pasca radioterapi memberikan respons
yang buruk terhadap obat anti distonik, termasuk benzodiazepin, baclofen,
dan biperiden. Namun, mereka memberikan respons yang baik terhadap
injeksi toksin botulinum, yang merupakan obat pilihan untuk distonia
pasca radioterapi.
Mioklonus pasca radioterapi
Mioklonus pasca radioterapi telah dilaporkan bersifat ortostatik atau
spinal, dengan latensi bervariasi mulai dari 4 minggu hingga 6 tahun
(Tabel 1). Mioklonus ortostatik pasca radioterapi telah dilaporkan pada
dua pasien yang menjalani iradiasi seluruh otak untuk meningioma dan
gliosarcoma lobus kanan frontal, dengan latensi bervariasi dari subakut
hingga kronis. Kedua pasien menunjukkan short bursts dengan amplitudo-
tinggi pada rekaman EMG dari tibialis anterior, kuadrisep, dan hamstring
saat berdiri; bursts ini hilang saat pasien duduk. Kerusakan akibat radiasi
pada area motorik tambahan dan korteks prefrontal diduga berkontribusi
terhadap asal usul mioklonus, yang dilaporkan tidak responsif terhadap
levetiracetam, levodopa, dan clonazepam.
Mioklonus medulla spinalis pasca radioterapi telah dilaporkan
dalam 3 kasus hingga saat ini, dengan periode latensi berkisar antara 3
bulan hingga 6 tahun pasca radioterapi. Dalam semua kasus yang
dilaporkan, pasien menerima radioterapi yang melibatkan medulla
spinalis: khususnya, servikal, thorakal, kraniospinal dan seluruh medulla
spinalis. Myoclonus diamati di daerah sekitar lokasi radioterapi. Tingkat
keparahannya bervariasi, dengan mioklonus yang cukup parah hingga
menyebabkan fraktur asetabular pada satu kasus. Dalam kasus lain,
karena masa laten yang panjang yaitu 6 tahun, etiologi fungsional pada
awalnya dipertimbangkan. Kemungkinan mioklonus pasca radioterapi
hanya dipertimbangkan setelah hilangnya potensi Bereitschafts yang
terkait dengan gerakan tersebut. Pencitraan dilaporkan normal pada
semua kasus, dan tidak dilaporkan dasar spesifik untuk mioklonus.
Namun, berdasarkan perbaikan dengan obat GABAergic pada 2 kasus,
kemungkinan hipereksitabilitas pasca radiasi dapat dipertimbangkan.
Morfin intratekal mungkin bermanfaat dalam kasus tidak responsif
terhadap clonazepam, dantrolene, atau valproate.
Tremor pasca radioterapi
Tremor pasca radioterapi dapat terjadi sebagai tremor palatal atau
tremor Holmes, setelah radioterapi diarahkan ke pons dan otak tengah
melalui gamma knife radiosurgery (GKRS) untuk AVM atau paska iradiasi
seluruh otak.
Berbeda dengan gangguan gerak pasca radioterapi lainnya, tremor
pasca radioterapi, baik palatal maupun Holmes, memiliki rentang latensi
yang relatif lebih pendek (2 minggu – 3,5 bulan). Kedua kasus tremor
palatal pasca radioterapi yang dilaporkan ditemukan mengalami
degenerasi olivari hipertrofik. Berbagai pengamatan pencitraan dilaporkan
pada tremor Holmes pasca radioterapi. Meskipun diamati lesi hiperintens
pada nukleus rubra pada kasus yang menjalani GKRS untuk AVM, tidak
ada lesi nukleus merah jelas yang diamati setelah radiasi seluruh otak.
Pada kasus radiasi seluruh otak, ada kemungkinan bahwa setelah radiasi,
kontraksi hamartoma menyebabkan distorsi mesencephalon, yang
berikutnya menyebabkan tremor Holmes. Tidak ada pengobatan khusus
yang dilaporkan untuk tremor palatal, sedangkan tremor Holmes pasca
GKRS berespons dengan baik terhadap amantadine dan trihexyphenidyl,
dan tremor Holmes pasca radiasi seluruh otak teratasi sepenuhnya
setelah reseksi bedah hamartoma.
Ataksia pasca radioterapi
Ataksia pasca radioterapi sebagian besar dilaporkan setelah
iradiasi seluruh otak untuk kanker metastatik. Latensi dapat berkisar dari 5
bulan hingga beberapa tahun pasca radioterapi. Pasien juga mungkin
mengalami demensia progresif, ataksia, dan inkontinensia urin, yang
mungkin menyerupai hidrosefalus tekanan normal. Leukoensefalopati
akibat radiasi dianggap berkontribusi terhadap ataksia, dan tidak ada
rekomendasi pengobatan khusus, dimana kortikosteroid dan pirau
ventrikuloperitoneal menghasilkan pemulihan inkomplit.

GANGGUAN GERAK PASCA BEDAH


Prosedur non neurologis
Prosedur dental
Distonia oromandibular (OMD) adalah bentuk gangguan gerak
pasca prosedur dental yang banyak dilaporkan, dan melibatkan berbagai
prosedur seperti pencabutan gigi, pemasangan gigi palsu yang tidak pas,
bedah mulut, implan gigi, perawatan saluran akar, gingivektomi,
apikoektomi, ostektomi, bedah artroskopi TMJ, dan perubahan oklusal
(Tabel 2). Prevalensi yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada wanita
berusia antara 40 dan 70 tahun, dengan latensi pasca prosedur berkisar
dari beberapa jam hingga beberapa tahun. OMD dapat berkembang
menjadi laringospasme, atau keterlibatan lidah dan leher dapat
menyebabkan distribusi segmental, jarang menjadi distonia menyeluruh.
Dasar dari prosedur OMD pasca-dental mungkin mirip dengan distonia
akibat trauma perifer, dimana trauma perifer dapat menyebabkan
perubahan organisasi somatotropik di thalamus dengan perubahan
berikutnya pada sirkuit subkortikal, yang menyebabkan perubahan
transmisi di dalam ganglia basal. Beberapa pasien melaporkan perbaikan
sementara dengan trik sensorik, dan injeksi toksin botulinum memberikan
perbaikan yang memuaskan. Beberapa pasien memiliki riwayat bruxism
sebelum OMD; oleh karena itu, masih belum pasti apakah pasien tersebut
mempunyai kecenderungan untuk mengalami OMD setelah prosedur
perawatan dental. Diskinesia pada wajah (membuka rahang, spasme
menutup rahang, blefarospasme) juga telah dilaporkan setelah prosedur
dental, dengan periode latensi beberapa hari hingga satu tahun setelah
prosedur.
Operasi kardiotoraks
Operasi aorta
Sindrom progressive supranuclear palsy (PSP)-like, seperti sindrom
Mokri, pertama kali ditemukan pada tahun 2004. Terjadi setelah operasi
aorta, sindrom yang relatif jarang ini ditandai dengan trias kelumpuhan
pandangan supranuklear, disartria, dan gangguan pandangan (Tabel 3).
Meskipun diduga prevalensi sindrom ini lebih tinggi pada pria, hal ini
kemungkinan besar disebabkan oleh prevalensi aneurisma aorta toraks
dan diseksi aorta abdomen yang lebih tinggi pada pria.
Penyakit ini bersifat bifasik, dengan fase segera dan fase laten.
Pada fase segera, dapat terlihat kelumpuhan pandangan supranuklear
dengan gangguan gait ringan, disartria, dan tremulousness. Fase awal ini
membaik atau stabil dalam beberapa minggu. Selanjutnya, setelah masa
laten beberapa bulan, dapat terjadi kelumpuhan progresif pandangan-ke-
bawah supranuklear dengan gaya berjalan ataksik, disartria, dan disfagia.
Gangguan pandangan horizontal lebih sering dilaporkan dibandingkan
gangguan pandangan vertikal.
Salah satu penjelasan yang mungkin untuk sindrom Mokri adalah
penggunaan hipotermia berat (12,5°C hingga 30°C) selama operasi aorta
dibandingkan dengan operasi jantung lainnya. Meskipun hipotermia
dianggap sebagai strategi neuroprotektif, pasien dapat mengalami iskemia
jika penghangatan kembali dilakukan dengan cepat. Selain itu, iskemia ini
selanjutnya dapat berdampak pada pasien yang mengalami hiperglikemia
selama hipotermia. Selain itu, tatalaksana asam basa yang tidak tepat
dapat menyebabkan edema serebral. Semua faktor ini dapat
menyebabkan vasokonstriksi dan gangguan mikrosirkulasi. Mekanisme
lain yang diusulkan adalah emboli multipel pada sirkulasi posterior;
namun, pencitraan struktural ditemukan normal pada sebagian besar
kasus. Meskipun AV-1451 tau PET normal pada satu kasus,
fluorodeoxyglucose-positron emission tomography (FDG-PET)
menunjukkan pimple sign, yang sesuai dengan gambaran PSP; namun,
DAT scan menunjukkan hasil normal. Sindrom Mokri tidak responsif
terhadap levodopa dan memiliki prognosis yang buruk.
Bypass kardiopulmoner
Chorea pasca pompa mengacu pada gerakan koreiform yang
terjadi pada anak-anak yang menjalani operasi jantung besar yang
memerlukan bypass kardiopulmoner dan deep hypothermia circulatory
arrest (DHCA). Entitas ini pertama kali ditemukan pada tahun 1960, dan
kejadian chorea pasca pompa bervariasi antara 1–18. Hal ini jarang
terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh penelitian terbaru oleh Ahn dkk, yang
mengidentifikasi 2 pasien dengan chorea pasca pompa yang terjadi pada
orang dewasa dari 5.338 orang dewasa yang menjalani bypass
kardiopulmoner. Meskipun lebih sering terjadi pada anak-anak, penyakit
ini dapat terlihat pada orang dewasa setelah operasi endarterektomi paru,
arkus aorta, dan penggantian katup. Chorea biasanya bersifat umum dan
terjadi setelah latensi satu hari hingga satu minggu pasca operasi. Selain
chorea umum, diskinesia orofasial, disfagia, kehilangan tonus, dan
disartria dapat terjadi. Faktor risiko dapat berupa usia muda (anak-anak),
durasi bypass kardiopulmoner yang lama, durasi henti sirkulasi total yang
lebih lama, hipotermia, dan durasi klem aorta.
Mekanisme yang diusulkan adalah vasokonstriksi serebral akibat
hipokapnia dan alkalosis selama penghangatan kembali dan peningkatan
viskositas darah. Hipotermia juga dapat menyebabkan vasokonstriksi
serebral yang menyebabkan gangguan iskemik. Globus pallidus interna
(GPi) dan striatum rentan terhadap kerusakan hipoksia, yang
mengakibatkan gerakan abnormal. MRI menunjukkan hiperintensitas
ganglia basal bilateral di kaudatus, putamen dan globus pallidus. FDG-
PET menunjukkan hipometabolisme pada ganglia basal bilateral.
Perjalanan penyakit kondisi ini bervariasi. Penyakit ini dapat bersifat
sementara pada beberapa pasien dan mereda setelah pengobatan
dengan neuroleptik dan dopamin blocker. Sebaliknya pada kasus lain,
penyakit ini berat dan ireversibel, disertai defisit kognitif dan disabilitas.
GPi DBS dengan hasil yang baik telah dilaporkan dalam kasus chorea
pasca pompa yang berat. Tidak ada perbedaan usia, jenis kelamin atau
temuan bedah pada orang dewasa dengan chorea pasca-pompa yang
memiliki hasil yang baik dibandingkan mereka yang memiliki hasil yang
buruk. Namun, perubahan sinyal MRI awal pada kaudatus dan putamen
dikaitkan dengan hasil yang buruk.
Prosedur neurologis
Pirau ventrikuloperitoneal
Parkinsonisme pirau pasca ventrikuloperitoneal biasanya terjadi
akibat malfungsi pirau, dan bukan karena prosedur itu sendiri. Hal ini lebih
sering diamati pada pasien dengan hidrosefalus obstruktif akibat stenosis
aquaduktus. Latensi dapat berkisar antara 3 hari hingga 24 tahun setelah
pemasangan shunt awal dan sering kali terjadi setelah episode kegagalan
shunt yang berulang (Tabel 4). Jika terjadi kerusakan shunt, hidrosefalus
menyebabkan penekanan sirkuit ganglia basal, menyebabkan penurunan
keluaran dopaminergik, yang dapat menyebabkan munculnya gejala
parkinson akut. Khususnya, untuk hidrosefalus obstruktif, kerusakan
bottom-up dan top-down akibat gradien tekanan antara ruang infratentorial
dan supratentorial diduga berkontribusi terhadap parkinsonisme.
Manifestasi yang umum adalah parkinsonisme simetris dengan
bradikinesia, rigiditas, dan hipofonia. Namun, parkinsonisme mungkin juga
bersifat asimetris. Tremor jarang terjadi namun pernah dilaporkan
sebelumnya.
Penurunan aliran darah otak ke ganglia basalis diamati pada kasus
yang menjalani single-photon emission computerized tomography
(SPECT). Dalam beberapa kasus hidrosefalus, perbaikan pirau sederhana
meredakan gejala parkinsonisme, menunjukkan adanya komponen
kompresi ganglia basalis yang reversibel. Dalam kasus hidrosefalus
obstruktif, ventrikulostomi ketiga endoskopi mungkin bermanfaat. Episode
penyumbatan pirau yang berulang dapat menyebabkan kerusakan
permanen yang mungkin tidak membaik hanya operasi pirau saja dan
mungkin memerlukan terapi levodopa. Kondisi ini responsif terhadap
levodopa dan prognosis biasanya baik. Pada beberapa kasus,
penghentian levodopa dapat dilakukan.
Coiling aneurisma
Mirip dengan parkinsonisme yang terjadi setelah pirau
ventrikuloperitoneal, parkinsonisme telah dikaitkan dengan coiling
aneurisma, meskipun hal ini lebih mungkin disebabkan oleh kompresi
mekanis struktur oleh aneurisma atau kista yang berkembang pasca
coiling daripada komplikasi langsung akibat coiling. Hingga saat ini, telah
dilaporkan dua kasus hemiparkinsonisme setelah coiling aneurisma.
Dalam kasus pertama, hemiparkinsonisme terjadi empat minggu setelah
coiling aneurisma arteri serebral posterior, dan kompresi otak tengah oleh
kantung aneurisma terlibat sebagai penyebab parkinsonisme. Dalam
kasus lain, hemiparkinsonisme terjadi 15 bulan setelah coiling aneurisma
arteri serebral anterior, dan kompresi pedunkulus serebral ventrolateral
oleh kantung aneurisma terlibat dalam terjadinya parkinsonisme. Dalam
kedua kasus tersebut, parkinsonisme responsif terhadap trihexyphenidyl
dan levodopa-carbidopa
Operasi medulla spinalis
Gangguan gerak terkait pasca operasi medulla spinalis adalah jenis
gangguan gerak perifer yang terjadi akibat hubungan anatomi yang erat
dengan segmen yang dioperasi. Kebanyakan pasien mungkin mengalami
nyeri sebelum timbulnya gejala. Kejadian lebih sering setelah operasi
medulla spinalis servikal dibandingkan segmen lainnya, berbagai
gangguan gerak dapat diamati, seperti tremor, distonia fokal, distonia
kinesigenik paroksismal, dan mioklonus spinal (Tabel 5). Periode latensi
juga sangat bervariasi dan dapat berkisar dari beberapa hari hingga
beberapa tahun pasca operasi. Seperti pada prosedur OMD pasca-
operasi dental, perubahan yang disebabkan oleh cedera perifer telah
terlibat dalam patogenesis gangguan gerak pasca-operasi medula
spinalis. Clonazepam telah dilaporkan bermanfaat secara bervariasi.
Namun, injeksi toksin botulinum dapat terbukti berguna dalam kondisi
fokal.

KESIMPULAN
Karena gangguan gerak terkait prosedur radioterapi dan pembedahan
merupakan diagnosis yang diasumsikan berdasarkan kaitannya setelah
prosedur, maka perlu dipahami adanya keterbatasan diagnosis yang tidak
akurat. Pertama, frekuensi kejadian jarang terjadi, terdapat berbagai faktor
(intensitas radiasi, periode, dll) dalam satu jenis prosedur, dan spektrum
periode latensi dari prosedur ke kejadian sangat luas. Beberapa kelainan,
seperti chorea pasca pompa, bersifat sementara; namun, sebagian besar
bersifat progresif dengan respons terhadap pengobatan yang tidak
memuaskan. Kesadaran dokter yang merawat akan entitas ini serta
evaluasi dan konseling neurologis sebelum prosedur yang tepat
diperlukan untuk memastikan identifikasi gangguan gerak pasca prosedur
yang baru terjadi.

Anda mungkin juga menyukai