Abstrak
Pada beberapa kasus, gangguan gerak dapat terjadi setelah prosedur
intervensi seperti namun tidak terbatas pada radioterapi, prosedur dental,
dan operasi jantung, otak, dan medulla spinalis. Sebagian besar kelainan
ini cenderung merupakan gejala sisa yang tidak terduga dengan
fenomenologi dan latensi yang beragam, dan seringkali menyebabkan
disabilitas lebih berat dibandingkan penyakit utama yang menyebabkan
prosedur tersebut dilakukan. Karena rendahnya pengetahuan dan
kesadaran akan masalah ini, keterlambatan diagnosis sering terjadi,
begitu pula kesalahan diagnosis sebagai Gangguan gerak fungsional.
Tinjauan naratif ini membahas fenomenologi, patofisiologi, dan potensi
pengobatan berbagai gangguan gerak yang disebabkan oleh prosedur
intervensi seperti radioterapi serta pembedahan dan prosedur neurologis
dan non-neurologis.
Kata kunci: Bedah jantung, Distonia, Mioklonus, Parkinsonisme, Radiasi,
Tremor
PENDAHULUAN
Gangguan gerak iatrogenik mengacu pada gangguan gerak yang
terjadi akibat efek samping terkait pengobatan. Meskipun gangguan gerak
iatrogenik paling sering dikaitkan dengan obat-obatan, seperti gangguan
tardif; berbagai intervensi, baik medis atau bedah, telah terlibat dalam
munculnya gangguan tersebut, mencakup agen kemoterapi dan anestesi,
antipsikotik, radioterapi, dan operasi neurologis dan non-neurologis.
Dalam konteks ini, gangguan gerak dapat terjadi setelah prosedur
intervensi (Gambar 1), seperti namun tidak terbatas pada radioterapi,
prosedur dental, operasi jantung, otak dan medulla spinalis, serta
stimulasi otak dalam (DBS). Kelainan ini cenderung jarang terjadi dengan
prevalensi dan insidensi yang tidak pasti. Sebagian besar kasus
merupakan gejala sisa yang tidak terduga dengan fenomenologi dan
latensi yang bervariasi, dan seringkali menyebabkan disabilitas lebih berat
dibandingkan penyakit utama yang menyebabkan prosedur tersebut
dilakukan. Karena kurangnya pemahaman dan kesadaran akan masalah
ini, keterlambatan dalam mendiagnosis kondisi ini sering terjadi, begitu
pula kesalahan diagnosis sebagai gangguan gerak fungsional. Saat ini,
belum ada sistem klasifikasi yang pasti untuk gangguan ini, dan latensi
timbulnya penyakit sangat bervariasi, bahkan dengan prosedur dasar
yang sama (Gambar 2). Selain itu, mekanisme yang mendasarinya
berbeda-beda menurut prosedur penyebab, dengan variabilitas untuk
fenomenologi yang sama (Gambar 3)
KESIMPULAN
Karena gangguan gerak terkait prosedur radioterapi dan pembedahan
merupakan diagnosis yang diasumsikan berdasarkan kaitannya setelah
prosedur, maka perlu dipahami adanya keterbatasan diagnosis yang tidak
akurat. Pertama, frekuensi kejadian jarang terjadi, terdapat berbagai faktor
(intensitas radiasi, periode, dll) dalam satu jenis prosedur, dan spektrum
periode latensi dari prosedur ke kejadian sangat luas. Beberapa kelainan,
seperti chorea pasca pompa, bersifat sementara; namun, sebagian besar
bersifat progresif dengan respons terhadap pengobatan yang tidak
memuaskan. Kesadaran dokter yang merawat akan entitas ini serta
evaluasi dan konseling neurologis sebelum prosedur yang tepat
diperlukan untuk memastikan identifikasi gangguan gerak pasca prosedur
yang baru terjadi.