Anda di halaman 1dari 83

Epidemiologi Penyakit Saraf Tepi

Penyakit saraf tepi merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dan diagnosa
dibuat berdasarkan gambaran klinis dan biasanya juga dibantu dengan pemeriksaan neurofisiologis.
Beberapa penyakit saraf perifer yang sering dijumpai adalah Sindroma Guillain Barre (SGB),
Neuropati, Miastenia Gravis dan Nyeri Punggung Bawah.
AFP, semua lumpuh layuh dari motorneuron, radix, plexus, saraf tepi, neuron motor junction
dan otot.
Penyakit AFP (Acute Flaccid Paralysis / Parese yang Akut dan Layuh) sindrom Guillain Barre
(SGB) dengan berbagai variannya menempati tempat teratas dan merupakan penyakit yang paling
banyak diteliti selama 40 tahun terakhir. Insidensi SGB diluar negeri adalah antara 0,6-1,9 per 100.000
penduduk, dan angka di Jakarta adalah sekitar 1 – 1,6 per 100.000 penduduk. Sehingga bila
diperkirakan untuk penduduk Indonesia, maka akan dijumpai sekitar 300.000 kasus setahun dengan 2
puncak yaitu pada permulaan dan akhir musim hujan yaitu sekitar Maret-April dan Oktober-Desember.
Penyakit saraf perifer lain yang paling banyak ditemukan adalah neuropati. Prevalensi
sekitar 3 – 7 % dari populasi, dimana 43,7% dari angka tersebut adalah penderita diabetes. Dinegara
yang maju, peranan faktor metabolik pada neuropati menunjukkan angka yang lebih tinggi, misalnya
di Jepang 16,6% dan USA 13,2 %, sedangkan di Indonesia walaupun belum ada angka pasti, berkisar
antara 3,9 %. Sebaliknya faktor defisiensi merupakan penyebab yang terbanyak di Indonesia yaitu 21,8
% sedangkan di Jepang 10,9 % dan di USA 3,8 %.
Miastenia Gravis merupakan penyakit saraf perifer yang lain,yang menyerang paut saraf-
otot. Penyakit ini bisa menyerang otot-otot mata terlebih dahulu dan kadang-kadang berlanjut dan
mengenai otot menelan, mengunyah, berbicara dan 12-16 % diantara pasien MG akan mengalami
kelumpuhan otot pernafasan sehingga memerlukan perawatan di ICU karena mengalami suatu krisis
miastenia. Insidensinya adalah 1-3 per 100.000 penduduk, sehingga dalam setahun di Indonesia bisa
dijumpai 2000 – 6000 penderita. Penelitian di Hongkong menunjukkan rata-rata usia penderita MG
adalah 36,7 tahun yang merupakan usia produktif.
Nyeri punggung bawah / Low Back Pain (LBP) adalah penyakit yang sangat sering dijumpai
sehari-hari. Insidensi penyakit ini adalah 5 % per tahun dan prevalensinya adalah 60-90 %.
Diperkirakan sekitar 80 % dari semua orang mempunyai pengalaman minimal sekali episode nyeri
pinggang dalam hidup mereka dengan point prevalence berkisar antara 15 sampai 39 %. Di Eropa dan
USA, lifetime prevalence NP adalah antara 60 % dan 90 %, dan sekitar 25 % orang dewasa
melaporkan pengalaman nyeri pinggang dalam 1 tahun. Di Malang, Indonesia dilaporkan prevalensi
seumur hidup LBP antara 59,3 – 62,4 % dan prevalensi tahunan antara 20,9 – 31,2 % dan point
prevalence adalah antara 19,9 – 20,4 %.

Kegawatdaruratan Neuromuskular
Kelemahan akut yang diakibatkan oleh suatu gangguan neuromuskular dapat terjadi pada
seseorang karena terjadinya disfungsi pada kornu anterior, saraf perifer, paut saraf – otot
(neuromuscular junction), atau otot (tabel I ). Walaupun mula-mula penyebab gangguan
neuromuskular belum dapat ditegakkan dengan tepat, dan juga diagnosa pasti belum dapat ditegakkan
juga, penting diperhatikan fungsi-fungsi vital pasien seperti fungsi kardiopulmonal dan bila perlu
memberikan tindakan-tindakan suportif untuk menyelamatkan hidup. Setelah fungai kardiopulmonal
stabil, harus dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan lokasinya pada salah
satu dari 4 area tersebut diatas dan menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan kelemahan yang
disebabkan oleh disfungsi di sentral yaitu di susunan saraf ( KHS / NCV = nerve conduction velocity.
Biopsi otot atau saraf dapat dilakukan agar dapat dibuat suatu diagnosis yang pasti sehingga dapat
diberikan pengobatan yang lebih optimal.
Umumnya kegawatdaruratan neuromuskular berkembang sebagai suatu problema sekunder
pada pasien yang diketahui mempunyai suatu penyakit neuromuskular atau sistemik ( Tabel 2 ). Hal ini
penting sekali untuk mengantisispasi terjadinya komplikasi sehingga pengobatan dapat dilakukan

0
secara berkesinambungan untuk mencegah terjadinya suatu krisis yang tiba-tiba, malahan juga
termasuk tindakan-tindakan untuk menunjang kehidupan, bila kelemahan yang terjadi ireversibel.

Tabel 1.
Penyebab kelemahan yang akut pada penderita yang sebelumnya sehat
Sel kornu anterior :
Poliomelitis / enterovirus yang lain
Motor Neuron Disease (MND) (subakut)
Saraf perifer :
AIDP (sindroma Guillain-Barre)
Paralisis oleh gigitan serangga
Difteri
Intoksikasi logam berat
Paut saraf-otot
Miastenia gravis
Miastenia yang disebabkan oleh obat-obatan
Eaton Lambert (myasthenic) syndrome (ELS)
Botulism
Keracunan organofosfat
Otot
Polimiositis
Paralisis periodik (PP)
Miopati toksik
Mioglobinuri / rabdomiolisis
Neuroleptic Malignant Syndrom (NMS)

Tabel 2:
Keadaan emergensi pada penderita penyakit neuromuskuler yang diketahui:
Kegagalan respiratorik atau disfungsi bulber
Gangguan neuromuskuler yang resersibel :
Miastemia gravis
AIDP
Polimiositis
Gagguan neuromuskuler yang ireversibel :
Motor Neuron Disease (MND)
Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Spinal muscular atrophies (SMA)
Distrofi muskuler
Duchenne’s/ Becker’s (X-linked)
Miotonik
Gelang bahu/ gelang panggul
Defisiensi asam maltase
Defisiensi karnitin
Komplikasi pada jantung :
Gangguan konduksi
Distrofi miotonik
Polimiositis
Sindroma Kearns-Sayre
Sindroma lain dengan oftalmoplegi eksternal yang progresif
Distrofi muskuler Emery-Dreyfuss
Disfungsi otonomik
AIDP
Gangguan elektrolit
Paralis periodik

1
Kelemahan Akut Akibat Gangguan Saraf Perifer :
Acute Inflamatory Demyelinating Polyneuropathy ( AIDP, atau Guillan Barre Syndrome/
GBS) mengenai kira-kira 0, 75 – 2,00% per 100 100.000 penduduk setahun. (Ropper, 1992). Semua
golongan umur di berbagai daerah geografis rentan terhadap terjadinya serangan sistem imun pada
selaput mielin perifer yang tidak bersifat keturunan (non-familial) ini. Telah disebutkan adanya suatu
autoreactive limfosit T yang spesifik untuk mielin antigen dan antibodi, dan juga untuk berbagai
macam glikoprotein dan glikolipid. (Hartung et al, 1995). Biasanya ada suatu infeksi pada saluran
nafas atau gastrointestinal yang mendahuluinya, juga bisa berupa imunisasi, kehamilan, atau
pembedahan pada bulan sebelum terjadinya AIDP yang menjadi pencetus terjadinya penyakit ini.
Salah satu infeksi utama yang sering menyebabkan AIDP adalah campylobacater jejuni, dan pada
beberapa pasien ini bisa didefiniskan sebagai suatu subgroup yang berbeda secara klinis dan
merupakan suatu bentuk AIDP yang lebih berat.
Yang khas pada AIDP adalah, bahwa gejala dimulai dengan parestesi bagian distal diikuti
dengan terjadinya paresis yang subakut, yang relatif simetris yang mengenai otot-otot bagian distal
maupun proksimal. Kelemahan bulbar dan ataksia atau disfungsi otot-otot pernafasan bisa lebih
menonjol, dan dapat terjadi juga gangguan otonom seperti aritmia jantung dan tekanan darah
fluktuatif. Seringkali, mula-mula pasien mengeluh nyeri pada otot-otot disertai ”cramps”, dan dapat
terjadi suatu iritasi radiks yang terdeteksi dengan suatu tes mengangkat tungkai secara lurus. Paresis n
facialis bisa terjadi pada 50% pasien. Derajat kelemahan bervariasi yang melibatkan ekstremitas dan
otot-otot yang dipersarafi saraf kranial, dan juga terjadi hiporefleksi atau arefleksi
(tabel 3).
Beberapa varian dari AIDP yang jarang telah dilaporkan dan melibatkan kelemahan brakhial-
servikal-pharingeal, paraparesis, ptosis yang berat tanpa oftalmoparesis, dan nyeri yang akut dan berat
di tulang belakang. Suatu kategori kecil dari kasus AIDP simptomatik bisa saja muncul pada suatu
penyakit sistemik seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE), penyakit Hodgkin, sarkoidosis, atau
infeksi dengan Human Immunodeficieency Virus (HIV).
Bila ada kecurigaan adanya AIDP perlu dilakukan pemeriksaan fungsi lumbal untuk melihat
peningkatan protein cairan likuor yang tanpa disertai pleositosis. Walaupun disosiasi sito-albuminik ini
merupakan suatu tanda khas pada AIDP, namun kadang-kadang ditemukan hasil likuor yang normal
pada 72 – 96 jam pertama dari penyakit ini. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS = Nerve
Conduction Velocity/ NCV) dan juga termasuk EMG sangat bernilai dalam mengkonfirmasi diagnosa
AIDP. Tanda-tanda demielinisasi terlihat dari masa laten yang memanjang, penururnan kecepatan
hantar saraf, blok hantar saraf (conduction block) atau dispersi temporal, dan gelombang F (F-
wave) yang hilang atau memanjang.
Kelainan hantar saraf paling dini tampak setelah 3 sampai 10 hari dan terjadi F-wave yang melambat
karena terkenanya radiks, diikuti kemudian oleh adanya tempat-tempat yang cenderung terkena
kompresi yang menyebabkan terjadinya suatu blok hantar saraf (conduction block) dan kemudian akan
mengenai badan sarafnya sendiri yang terlihat dari adanya penurunan kecepatan hantar saraf yang
menunjukkan adanya suatu demielinisasi.
Perjalanan penyakit AIDP pada kira-kira 95% kasus adalah monofasik dengan kelemahan yang
progresif selama 4 -6 minggu, diikuti suatu penyembuhan motorik yang datar (plateau in strenght),
lalu perlahan-lahan mengalami perbaikan. Derajat kelemahan sangat bervariasi, dimana sekitar ¼ dari
jumlah pasien mmerlukan dukungan ventilator. Ventilator seharusnya digunakan bila kapasitas vital
menurun kurang dari 8000 mL. Karena sistem otonom umumnya terkena, maka harus waspada
terhadap terjadinya aritmia dan hipotensinya. Pragnosis untuk penyembuhan sangat baik, lebih dari
90% pasien mengalami perbaikan tanpa meninggalkan defisit yang bermakna, Nmun pada 3 – 5%
pasien bisa berkembang menjadi khronis (CIDP = Chronic Inflamatory Demyelinating
Polyneuropathy) atau gejala-gejala berulang (CRPN = Chronic Reccurent Polyneuropathy). Alat untuk
menentukan prognosa yang paling bermakna dari perbaikan yang terjadi adalah dengan mengukur
degenerasi aksonal yang ditunjukkan dengan adanya Low Amplitude Coumpound Motor Amplitude
Potential (CMAPs) pada pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS = NCV)
Adalah penting sekali untuk mengobservasi pasien secara teliti untuk melihat progresivitas
penyakitnya. Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi otot-otot

2
pernafasan harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmaferesis atau imunoglobulin secara intravena
(IVIg). Plasmaferesis menggunakan suatu plasma exchange lebih kurang 20 L (200 – 250 mL/ kg
selama beberapa hari) secara bermakna menurunkan lama dan beratnya disability pada AIDP, namun
beberapa penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari IVIg. Suatu tim The Dutch
Guillan-Barre Study Group mengemukakan pengobatan dengan IVIg (0,4/kg selama 5 hari) sama
atau malahan lebih superior dibandingkan plasma exchange. IVIg merupakan pengobatan lini pertama
yang lebih praktis yang tidak diragukan lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah, dan
mudah digunakan, namun sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga yang terlatih
dan peralatan yang tidak selalu dapat tersedia dengan biaya yang juga mahal, namun lebih murah dari
IVIg. Tidak ada studi tentang keuntungan mengabulkan penggunaan kombinasi / bersamaan IVIg dan
plasma exchange, sehingga hanya salah satu saja terapi yang direkomendasikan.
Penyakit yang secara klinis menyerupai AIDP, namun terjadi lebih banyak karena degenerasi
akson daripada demielinisasi dan banyak ditemukan di Cina Utara dan juga secara sporadis di seluruh
dunia adalah Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) yang merupakan suatu penyakit non-
inflamasi dengan degenerasi akson yang selektif pada radiks mototrik dan saraf perifer tanpa
terjadinya demielinisasi. Kebanyakan kasus didahului oleh adanya suatu infeksi C. Jejuni, dan
biasanya KHS/NCV tak dapat diukur.
Penderita AMAN pada umumnya mempunyai suatu prognosa yang buruk dibandingkan dengan
pasien-pasien AIDP, dan lebih banyak penderita AMAN mengalami penyembuhan yang tidak lengkap
dan tidak banyak perbaikan yang terjadi dengan plasma exchange dan IVIg
Suatu keadaan yang menyerupai AIDP, tapi berkembang menjadi pasien-pasien yang dirawat di
ICU, adalah critical illness polyneuropathy yang merupakan suatu polineuropati yang terjadi setelah
suatu penyakit yang berat. Polineuropati jenis ini seharusnya dipertimbangkan pada penderita yang
mengalami kelemahan otot-otot secara umum setelah menderita suatu penyakit kritis. Sindroma ini
berkembang lebih sering pada 70% penderita yang menggunakan ventilator dengan sepsis dan
kegagalan multiorgan dan menjadi perhatian bila pasien sulit lepas dari ventilator.
Secara klinis penderita mengalami suatu paralisis flaccid umum yang berat, disertai refleks yang
menurun dimana otot-otot bulbar tidak terkena.

Tabel 3
Pertimbangan adanya emergensi pada AIDP :
Klinik :
Arefleksia/ atau refleks yang menurun sekali
Kelemahan yang relatif simetris dan progresif
Pemeriksaan straight leg raising yang positif
Gangguan sensorik obyektif yang minimal
Infeksi yang terjadi sebelumnya atau imunisasi
Laboratoris:
CSF dengan peningkatan potein disertai sel kurang dari 10 (mononuklear)
(disosiasi sito-albuminik)
EMG dengan F-wave yang memanjang,
KHS/NCV yang menurun atau
Adanya conduction block
Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap HIV

Penatalaksanaan :
Rawat di rumah sakit
Pertimbangkan plasmaferesis atau pemberian IVIg
Evaluasi fungsi pernafasan secara berkala dan serial, adakan ventilasi bila perlu
Monitor aritmia kardial dan hipotensi
Tetapkan progresivitas penyakit
Berikan dorongan/support yang adekwat
Perawatan kulit dan respiratori infeksi yang rekuren harus diobati

3
Beratnya penyakit yang mendasarinya yang juga seringkali disertai dengan suatu ensefalopati dan juga
pemakaian obat-obatan non depolarizing neuromuscular blocking agents dan pemakaian ventilator
menyebabkan gejala-gejala dini dari penyakit ini sukar dikenali dan baru diketahui setelah ada
kesukaran untuk mencabut ventilator (Gutmann & Gutmann, 1999)
Pemeriksaan cairan likuor adalah penting.
EMG menunjukkan adanya suatu polineuropati aksonal dengan penurunan atau hilangnya aksi
potensial otot-otot (CMAP) dengan disertai fibrilasi dan suatu penurunan jumlah potensial motor unit
(Foley & Ringel, 1999) :
Umumnya terdapat suatu aksonopati yang distal dengan degenerasi distal dari akson motorik dan
sensorik tanpa adanya inflamasi.
Penyebab terjadinya degerasi aksonal berhubungan dengan kurangnya otoregulasi vaskuler dan
meningkatnya permeabilitas mikrovaskuler sehingga terjadi suatu oedema endoneurial dan oklusi
kapiler (Bolton et al, 1984 & 1993)
Outcome pada penderita critical illness polyneuropathy dalam jangka waktu yang panjang adalah
baik.
Nilai perkiraan positif yang sangat penting adalah keberhasilan pengobatan penyakit kritis yang
mendahului, karena kematian biasanya disebabkan oleh komplikasi yang berhubungan dengan
penyakit kritis tersebut dan bukan disebabkan oleh polineuropatinya.
Dengan keberhasilan pengobatan penyakit kritis yang mendahuluinya dengan dukungan perawatan,
termasuk dukungan nutrisi dan menghindari terjadinya neuropati kompresi, penderita akan membaik
secara gradual dalam beberapa bulan.

Gangguan saraf perifer lain yang membutuhkan penanganan yang cepat adalah kelemahan akut
yang biasanya dapat terdeteksi dengan anamnesis riwayat penyakit yang teliti dan pemeriksaan
fisik. Gangguan ini adalah :
1). Tick paralysis (yang disebabkan oleh gigitan serangga) bisa menunjukkan gambaran klinis yang
mirip AIDP dan dapat dibedakan dengan adanya riwayat bekerja di suatu daerah hutan kayu dan
penemuan suatu serangga (tick) , biasanya pada scalp penderita. Perbaikan terjadi dengan cepat setelah
serangganya disingkirkan.
2). Porphyria, yang menghasilkan kelemahan motorik progresif, juga dihubungkan dengan cramp
abdominal yang berat, kejang, gejala-gejala psikiatri, dan peningkatan eksresi asam alfa amino-
levulenat dan porfobilinogen.
3). Diphteria (Corynebacterium Diphtheriae ) diawali dengan suatu ISPA, dan suatu pseudomembran
tampak ditenggorokan. Suatu neuropati simetris berkembang 1 – 2 minggu kemudian.
Disfungsi saraf kranialis umumnya bisa terjadin, termasuk kelemahan palatum, gangguan akomodasi
visual, dan pupil dilatasi. Sindroma ini reversibel dengan pemberian antibiotik yang tepat.
4). Arsen dan timah bisa menghasilkan suatu neuropati motorik yang predominan, namun
progresivitas dari gejala dan tanda-tanda intoksikasi kronik adalah lambat.
5). Intoksikasi logam berat yang akut, dapat dijumpai ensefalopati dan gejala sistemik yang lain.
Bila ada kecurigaan adanya intoksikasi logam berat seharusnya dilakukan pemeriksaan secara cepat
kadar serum logam berat dan arsen yang diambil dari rambut atau kuku.
6). Gangguan kornu anterior yaitu polio menghasilkan onset kelemahan secara cepat yang sering
asimetris atau melibatkan hanya salah satu ekstremitas. Sebagai tambahan terdapat tanda-tanda
rangsang meningeal dan pleositos pada cairan likuor yang membedakannya dengan AIDP. Dengan
meratanya imunisasi pada polio di negara-negara berkembang, penyakit ini saat ini lebih jarang terjadi.
Di USA sejak 1985 hampir semua penyakit polio yang terjadi disebabkan oleh karena vaksin oralnya
sendiri dengan risiko 1 per 2,4 juta dosis.

Kelemahan akut akibat gangguan paut saraf-otot (Neuromuscular Junction) adalah Myasthenia
Gravis.
Myasthenia Gravis (MG) adalah suatu gangguan pada paut saraf –otot (neuromuscular
junction) yang biasanya menyebabkan suatu kelemahan yang subakut dan fluktuatif tanpa gejala-gejala
gangguan sensorik. Terdapat antibodi terhadap reseptor asetilkholin (Acethylcholine receptor Antibody
= AchR Ab ) yang menyebabkan terjadinya kesalahan transmisi pada paut saraf-otot (neuromuscular

4
junction) karena mencegah asetilkholin untuk menstimulasi otot-otot untuk berkontraksi.Peningkatan
titer AchR Ab terlihat pada 90% penderita dengan Myasthenia Gravis yang umum (generalized) tapi
dalam evaluasi kasus-kasus kegawat daruratan, kegunaannya terbatas karena waktu dan hasil
pemeriksaan yang lama.
Diagnosa dapat ditegakkan dengan suatu stimulasi repetitif dengan frekwensi 3 / detik pada
suatu saraf motorik, dimana suatu respon dekremental dengan penurunan amplitudo CMAP yang
melebihi 10% adalah positif. Kekuatan (dan amplitudo CMAP) seharusnya mengalami perbaikan
yang cepat dengan pemberian edrofonium (tensilon) iv. (endrofonium adalah suatu inhibitor
asetilkholinesterase yang secara transient membuat lebih banyak asetilkholinesterase yang tersedia
untuk menstimulasi reseptor post-sinaps)
Umumnya gejala MG adalah penglihatan ganda (diplopia) disertai ptosis. Disfungsi okular,
juga sering didapatkan pada lebih dari 80% penderiita MG. Dapat juga terjadi gangguan mengunyah,
berbicara dan menelan dan kelemahan otot-otot leher dan otot-otot proksimal. Jarang terjadi disfungsi
bulbar yang bisa menyebabkan suatu dispnoe atau suatu pneumonia aspirasi. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada wanita usia 15 – 30 tahun dan pria > 40 tahun
Diagnosa ditegakkan, bila kelemahan dapat ditimbulkan dengan terjadinya fatique. Pada
pemeriksan penderita dengan gejala-gejala okular, pasien disuruh melihat ke atas terus selama 1 menit.
(persistent upward gaze) dan harus diobservasi akan terjadinya ptosis progresif.

Tabel 4.
Pertimbangan emergency pada miastenia gravis :
Klinis :
Kelemahan yang fluktuatif, ptosis atau diplopia
Gejala-gejala yang bilateral
Gangguan bulber (disfagia/disartri) dengan respons pupil yang normal
Kelemahan proksimal lebih dari distal
Aktivitas yang terus menerus akan memperberat gejala
Refleks dan sensibilitas normal
Laboratories :
 ElektroDiagnosis
 Serologis
Yang dikerjakan adalah :
Tes tensilon (edrofonium) yang positif
Penurunan amplitudo (decrement) pada stimulasi repetititf
AchR Ab yang positif – Blocking Anti Muscle
Modulating
Binding
Penatalaksanaan akut :
Monitoring fungsi pernafasan dan menelan
Periksa dan obati infeksi, hipokalemia dan gangguan pada tiroid
Pertimbangkan plasmafereis atau pemberian IVIg
Bila tidak ada perbaikan dengan tensilon, hentikan pemberian inhibitor kholinesterase

Bila keluhan penderita adalah kelemahan ekstremitas setelah kecapaian (fatique), suatu
pemeriksaan berulang dengan melipat lutut atau lengan terhadap tahanan akan menyebabkan
kelemahan lebih tampak lagi. Tidak seperti AIDP atau AMAN, refleks tetap ada pada pasien dengan
MG. (Tabel 4).
Tes tensilon adalah pemeriksaan tambahan pada evaluasi kasus-kasus emergency, tapi
interpretasi secara subjektif dari suatu respon yang ringan sampai sedang dapat mengarah ke suatu mis
diagnosis. Setelah pemberian suatu dosis 2 mg tensilon, diobservasi efek kholinergik yang tidak
dikehendaki (takhikardi, sinkop) disususl dengan pemberian 8 mg untuk mengobservasi perbaikan
klinis.

5
Beberapa obat-obatan dapat menimbulkan gejala-gejala miastenik pada individu yang normal.
Gejala sekunder D-penicillamine (yang juga meningkatkan titer AchR Ab) dan aminoglikosid akan
berubah bila salah satu dari obat-obatan tersebut dihentikan. Obat-obatan tertentu juga dapat
mempererat gejala-gejala MG (Tabel 5)
Magnesium sulfat pada wanita miastenik dengan pre-eklamsi atau eklamsi terutama bisa
mengganggu karena obat ini mendepresi pelepasan Ach di presinaps dan bisa mengakibatkan
perburukan klinis yang mendadak.

Tabel 5
Obat-obtan yang memperburuk mistenia gravis :
Antibiotika : Neomisin Antikonvulsan :
Streptomisin Fenition
Kanamisin Trimetadon
Gentamisisn Obat-obatan psikotropik
Tobramisin Garam litium
Polimiksin B Khlorpromasin
Kolistin Hormon :
Oksi tetrasiklin Kortikosteroid(pd permulaan)
Lincomisin ACTH
Klindamisin Hormon tiroid
Obat-obatan antireumatik : Obat-obatan lain :
d-penisilamin Garam magnesium
khloroquin Narkotika
Obat-obatan kardiovaskuler : Barbiturat
Lidokain
Kinin
Kuinidin
Prokainamid
Propanolol
Oksprenolol

Penatalaksanaaan myasthenia gravis pada penderita yang baru didiagnosa sebagai


myasthenia gravis tergantung pada beratnya gejala-gejalanya.
Evaluasi segera harus dilakukan terhadap fungsi paru-paru dan menilai resiko terjadinya aspirasi bila
fungsi menelan terganggu. Pengobatan dapat dimulai dengan pemberian piridostigmin (Mestinon)
dosis rendah, 30 – 60 mg setiap 4 jam, dimana terjadi perbaikan simptomatik, sambil mengevaluasi
secara keseluruhan.
Suatu evaluasi yang lengkap termasuk stimulasi saraf berulang (repetitive nerve stimulation),
mengukur AchR Ab, suatu CT scan dada untuk mengevaluasi adanya suatu timoma dan persiapan
timektomi dan juga tes fungsi tiroid.
Timektomi selalu diindikasikan pada pasien dengan suspek thymus persistent, hyperplasi thymus,
thymoma dan memberikan keuntungan / benefit pada semua penderita mistenia yang sedang dan berat.
Timektomi sebaiknya dipertimbangkan hanya pada penderita dimana gejala-gejala telah stabil dan
sebaiknya tidak dilakukan sebagai suatu prosedur emergency
Imunosupresan dengan prednison atau azatioprin, cellcept, cyclophosphamide atau dua-
duanya, efektif pada penyakit autoimun ini, dimulai dengan dosis rendah, secara alternating,
peningkatan dosis prednison perlahan-perlahan akan meminimalkan perburukan yang mungkin terjadi
pada 10 hari pertama akibat efek steroid induced blockade. Azathioprin lebih baik diberikan pada
penderita yang berespons tidak lengkap terhadap kortikosteroid, efek samping steroid, atau terdapat
suatu kontraindikasi terhadap penggunaan steroid.
Karena efektivitas imunosupresan dan timektomi, banyak penderita akhirnya tidak perlu melanjutkan
terapi dengan piridostigmin.

6
Hal penghentian obat piridostigmin ini penting, karena pada pemberian yang terlalu lama dengan dosis
tinggi, piridostigmin bisa menurunkan pengaturan reseptor di post-sinaps (down regulation), yang
membuat inhibisi asetilkholinesterase oleh piridostigmin tidak efektif lagi.
Plasmaferesis, IVIg dan imunoadsorbsi dari plasma memberi hasil perbaikan yang cepat
dengan keuntungan yang menetap selama beberapa minggu atau bulan. Penggunaan plasmaferesis atau
IVIg pada krisis miastenia atau persiapan operasi adalah menguntungkan.
Krisis miastenia merupakan suatu keadaan dimana terjadi keadaan klinis yang memburuk
sebagai akibat penyakitnya sendiri atau adanya suatu keadaan akut yang mempresipitasi seperti suatu
infeksi yang interkuren, hipokalemia, penyakit tiroid, atau pemberian obat-obatan yang menyebabkan
terjadinya neuromuscular blocking (tabel 4-5). Krisis miastenia yang terjadi pada penderita yang
diketahui menderita penyakit miastenia ditandai dengan adanya kelemahan yang akut dan progresif
yang jika tidak diobati , menghasilkan suatu kuadriparesis, disfungsi bulbar, kemungkinan aspirasi dan
kegaagalan ventilasi. Sebelum ditemukanya terapi imunosupresan, krisis kholinergik sekunder sebagai
akibat dari overdosis pemberian inhibitor kholinesesterase dan juga depolarisasi dari motor end plate
merupakan penjelasan yang lain mengapa terjadi perburukan tersebut. Dengan adanya pilihan
pengobatan yang beragam akhir-akhir ini, krisis kholinergik dan efek samping muskarinik lainnya,
seperti diare, kejang perut, keringat dan salivasi berlebihan, dapat diminimalkan dengan penggunaan
inhibitor kholinesterase yang lebih bijaksana. Bila pasien diberikan atropin untuk meredakan efek
samping muskarinik, kelemahan yang bertambah mungkin merupakan tanda-tanda satu-satunya
adanya ekses kholinergik. Respon terhadap edrofonium iv bisa menolong membedakan apakah satu
kelemahan pasien bersifat miastenik atau kholinergik.
Pada krisis miastenik, gejala-gejala akan tetap tidak berubah dan pada krisis kholinergik gejala-gejala
menjadi lebih buruk, karena kelemahan diakibatkan oleh kelebihan kholinergik.
Plasma exchange (55mL/kg/hr selama 3 - 5 hari) adalah pilihan terapi untuk pengobatan
kelemahan yang membahayakan hidup. Perbaikan biasanya tampak pada pemberian ke-3 dan
seharusnya menetap dalam 2-4 minggu.
Suatu studi terbatas menduga bahwa IVIg kurang menguntungkan dalam pengobatan krisis mistenik
dibandingkan dengan plasmaferesis, namun penyelidikan – penyelidikan yang lebih banyak
dibutuhkan untuk menjelaskan isu tersebut.
Dosis tinggi kortikosteroid (prednison 40-60 mg/hr) atau Azatioprine (2-4 mg/kg/hr) atau dua-duanya
diberikan setelah plasma exchange akan melindungi pasien dari suatu krisis yang berulang bila efek
perbaikan dari plasma exchange mulai berkurang.
Suatu gangguan neuromaskuler yang lain yang menyebabkan kelelahan dan bisa menyerupai
myasthenia gravis adalah Eaton-Lambert Syndrome (ELS), yang terjadi pada 3-5% penderita small
cell carcinoma dari paru-paru dan jarang pada penderita dengan gangguan autoimun yang lain.
Kelemahan proksimal pada otot gelang panggul dan bahu disertai penurunan refleks ditemukan pada
lebih dari 90% kasus. Keterlibatan bulbar yang ringan, lebih sering ptosis, dan disfungsi otonom
ditemukan pada 2/3 pasien.
Gejala klinis Eaton-Lambert Syndrome (ELS) adalah kelemahan yang fluktuatif dan progresif
secara perlahan-lahan. Secara paradoks, maka kekuatan justru bisa mengalami perbaikan sementara
setelah kontraksi otot yang berulang-ulang. Perbaikan setelah pemberian tensilon tidak begitu jelas dan
AchR Ab tidak dapat dideteksi.
Terjadinya pembesaran CMAP lebih dari 40% setelah kontraksi volunter maksimal selama 15 detik
atau setelah stimulasi repetitif dengan frekwensi 50/detik konsisten dengan diagnosa ELS (increment >
10 %).
Terapi awal pada ELS termasuk identifikasi dan pengobatan keganasan yang menyertai atau
gangguan autoimun (bila ada). Zat-zat kholinergik, seperti guanidine hyrokholid atau 3-4
diaminopiridin, yang memudahkan pelepasan Ach, dan kortikosteroid efektif mengurangi gejala-
gejala.
Gejala dari Botulism secara superfisial bisa menyerupai myasthenia gravis. Bagaimanapun
onset biasanya mendadak dan progresif secara cepat disertai gejala-gejala gastrointestinal. Toksin
botulinum mempengaruhi pelepasan Ach dari membran presinaptik. Bila dosis toksin rendah, akan
terjadi suatu kelemahan yang ringan dan disfagia.

7
Kebanyakan penderita botulism menderita kelemahan, pandangan yang kabur, nausea dan
vomitus dalam 18-36 jam setelah terkena toksin. Reaksi pupil yang menghilang membantu
membedakan botulismus dari gangguan paut saraf-otot (neuromuscular junction) yang lain. Bantuan
ventilator untuk otot-otot pernafasan sering kali diperlukan. Serum dan feses seharusnya diperiksa
untuk menemukan toksin botulinum dan C. Botulinum. Sebagai tambahan makanan yang dicurigai
sebagai penyebab seharusnya juga diperiksa.
Pada stimulasi repetitif dengan frekwensi 3/detik, tampak suatu penurunan amplitudo (decrement)
CMAP, sedangkan adanya fasilitasi respons motorik dengan stimulasi dengan frekwensi cepat 50/detik
mendukung suatu diagnosis botulism.
Bila dicurigai suatu botulism, iv infus 2 vial trivalent (ABE) antitoksin botulism (10.000 IU
dari setiap vial ) harus diberikan segera.
Diperlukan kewaspadaan terhadap suatu kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis karena derivat
antitoksin ini berasal dari serum kuda. Antitoksin tidak menetralisir toksin yang mengikat reseptor tapi
efektif sebagai antidotum terhadap toksin sebelum ia mengikat reseptor tersebut; dengan demikian
gejala-gejala klinis mungkin tidak mengalami perbaikan segera.
Katartik dan enema bisa menurunkan level toksin, gastric lavage dan emetika sebaiknya diberikan,
juga harus dihindari terjadinya aspirasi karena kelemahan bulbar.

Kelemahan akut akibat gangguan pada otot :


Miopati inflamasi (polimiositis dan dermatomiositis) dapat menghasilkan kelemahan yang
nonfluktuatif secara akut dan subakut. Biasanya kelemahan lebih banyak di proksimal, termasuk otot-
otot leher, berkembang dalam beberapa minggu sampai bulan, dan bisa berhubungan dengan disfagia,
mialgia, artralgia dan kemerahan pada kulit. Kadangkala kelemahan tidak begitu dominan, dimana
nyeri otot lebih utama. Gejala yang khas dari kelemahan proksimal adalah kesukaran dari duduk
hendak berdiri dari kursi, kesulitan menaiki anak tangga dan mengangkat tangan di atas kepala, dan
suatu gaya berjalan bergoyang. Creatinine phosphokinase (CPK) meningkat pada 2/3 penderita, dan
EMG menunjukkan adanya aktivitas spontan yang akut dengan gambaran motor unit dengan
amplitudo kecil-kecil dan polifasik, dan pada biopsi otot terlihat adanya inflamasi (Tabel 6)
Terapi awal biasanya dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi (prednison 50-100 mg).
Pada beberapa penderita yang berat penyakitnya, diperlukan pemberian makanan secara parenteral,
monitoring jantung, dan kadangkala alat bantu pernafasan.
Follow-up klinis yang ketat mengenai derajat kelemahannya dan peningkatan CPK diperlukan untuk
menentukan lama dan besarnya dosis steroid yang diberikan.
Pasien yang intoleran atau refrakter terhadap steroid lebih baik menggunakan imunosupresan yang lain
seperti azathioprine, siklofosfamid dan metotreksat.

Tabel 6
Pertimbangan emergency pada polimiositis :
Klinis:
Kelemahan yang proksimal dan non-fluktuatif
Rash atau penyakit jaringan ikat yang berhubungan
Muscle tenderness
Refleks seringkali masih ada
Laboratoris :
Peningkatan CK
EMG dan biopsi yang abnormal
Penatalaksanaan :
Evaluasi penyakit autoimun yang berhubungan dan malignancy
Terapi imunosupresif
Follow-up klinis dan laboratoris yang ketat
Bila berfluktuasi maka lakukan evaluasi kardiologis dan pernafasan

Paralisis Periodik (PP) adalah suatu sindroma klinis dengan kelemahan akut yang mencolok
pada anak dan dewasa muda. Penyakit yang berat dapat dimulai pada masa anak-anak, sedangkan

8
kasus-kasus yang ringan seringkali mulai pada dekade ketiga. Mula-mula serangan jarang terjadi,
namun dengan berjalannya waktu serangan-serangan terjadi lebih sering, malahan bisa tiap hari.
Penderita mengalami kelemahan bagian proksimal ekstremitas yang cepat dan progresif, tapi otot-otot
kranial dan pernafasan biasanya terhindar dari kelemahan.
Serangan dapat menyebabkan kelemahan yang asimetris dengan derajat kelemahan yang berbeda pada
beberapa golongan otot saja sampai pada suatu kelumpuhan umum.
Kelemahan biasanya menghilang dalam beberapa jam, namun defisit yang permanen bisa terjadi pada
penderita yang sering mendapatkan serangan.
Tingkat kesadaran umumnya normal (tabel 7)
Diagnosa yang cepat umumnya menunjukkan adanya suatu gangguan pada serum kalium (K)
dan perbaikan klinis sesuai dengan kadar K yang kembali normal.
Bentuk lain hiperkalemia dan hipokalemia sering terjadi, dan hipokalemia paling sering
terjadi dan biasanya berhubungan dengan tireotoksikosis.
Patofisiologi dari keadaan-keadaan ini belum begitu jelas, namun agaknya disebabkan oleh pergeseran
intraseluler dari kalium dan kemungkinan juga fosfat yang disebabkan oleh perubahan pada aktivitas
pompa Na/K adenosine-trifosfatase atau voltage gated calcium channels.
Hipokalemia yang berat bisa menyebabkan kelemahan pada orang normal, namun kelemahan yang
terjadi tak pernah separah penderita yang memang menderita penyakit hipokalemi sebelumnya.
Pada PP dengan hipokalemi primer, biasanya serangan dapat terjadi setelah makan karbohidrat yang
banyak atau exercise, bila ada riwayat dalam keluarga adanya serangan-serangan serupa. Pada orang
tua sering karena gastroenteritis, dehidrasi, intake kurang.
Pada biopsi otot sering ditemukan vakuola sentral selama suatu serangan yang spontan atau setelah
pemberian infus glukosa dan insulin (yang mempresipitasi kelemahan).
Pada hiperkalemi biasanya serangan lebih pendek (beberapa menit sampai jam) dan bisa dihambat
dengan pemberian glukosa. Infus dengan kalium akan memperberat kelemahan dan pada EMG
seringkali terlihat adanya miotoni.
Serangan akut pada PP hipokalemi primer dan PP tireotoksik (hipokalemi) berespon terhadap
pemberian kalium secara oral Kalaium iv tidak direkomendasikan, karena dapat menghasilkan
hiperkalemia yang membahayakan hidup (life threatening). Terapi profilaksis dengan azetasolamid
dosis rendah efektif dalam mencegah serangan berulang dari PP hipokalemia primer, sedangkan
propanolol terlihat lebih efektif pada PP tireotoksik.
Pengobatan terhadap PP hiperkalemia barangkali tidak perlu, bila penderita dapat menghilangkan
kelemahan dengan memakan glukosa.
Seperti juga pada polineuropati ma ka pada miopati juga bisa terjadi suatu critical illness
myopathy yang juga seringkali tidak terdeteksi keberadaannya karena secara klinis mirip dengan
critical illness polineuropathy.
Dalam kepustakaan disebutkan dengan berbagai nama yang berbeda-beda antara lain miopati akut,
miopati kwadriplegia akut, critical care myopathy, acute necrotizing myopathy, miopati akut
disertai kehilangan selektif filamen miosin.
Biasanya dimulai dengan adanya suatu gangguan pernafasan yang akut seperti acute respiratory
distress syndrome, pneumania atau asma berat yang berhubungan dengan pemakaian iv, steroid
dengan dosis tinggi, non depolarizing blocking agents dan aminoglikosida, juga transplantasi hati dan
paru, kegagalan hepar (hepatic failure) dan asidosis.
Bahwa seringkali terjadi critical illnes polinueropathy dan myopathy secara berbarengan membuat
penegakan diagnosa semakin sulit.
Terdapatnya sensory nerve action potentials (SNAP) yang normal dengan CMAP yang kecil-kecil
menunjukkan adanya critical illness myopathy, namun perlu disebutkan bahwa SNAP yang kecil atau
hilang, yang menunjukkan adanya suatu neuropati, tidak mengesampingkan diagnosa critical illness
myopathy
Kecepatan hantar saraf yang lambat disertai conduction block tidak konsisten keberadaannya baik pada
critical illness polineuropathy maupun myopati.
Motor unit potensials yang kecil, polifasik dengan duration yang pendek dengan suatu interference
pattern walaupun ada kelemahan otot, menunjukkan bahwa ada suatu miopati. Fibrilasi bisa ada,

9
namun bisa juga tidak ada pada pemeriksaan EMG dan juga kadar CK seringkali normal, sehingga
sukar membedakan miopati dengan neuropati.
Dengan demikian maka biopsi otot memang sangat diperlukan dan menentukan.
Prognosa critical illnesss myopathy tergantung dari penyakit yang mendasarinya dan umur penderita.
Pada penderita yang masih muda dengan status asthmaticus penyembuhan yang senpurna terjadi
dalam 2-3 bulan. (Gutmann & Gutmann,1999)
Tabel 7
Pertimbangan emergency pada paralisis periodik:
Klinis:
Onset yang cepat dengan kelemahan prokismal dan tanpa disertai nyeri
Otot-otot kranial dan pernafasan masih baik
Tidak ada gangguan sensibilitas
Biasanya terjadi sebelum umur 30 tahun dan ada riwayat dalam keluarga
Laboratoris:
Gangguan serum kalium (K+)
Bila K+ rendah, periksa fungsi tiroid
Bila K+ tinggi: cari apa ada obat-obatan yang menyebabkan CK normal
Penatalaksanaan:
Pemberian oral atau iv glukosa bila K tinggi
Pemberian oral K bila K rendah
Monitoring jantung sampai kalium normal
Tes provokasi setelah episode akut berlalu untuk menetapkan diagnosa

Mioglobinuri dan Rabdomiolisis:


Nekrosis otot akut (rabdomiolisis) menyebabkan perlepasan mioglobin kedalam sirkulasi,
protein dengan berat molekul yang kecil ini secara cepat di filtrasi glomerulus ginjal dan menghasilkan
urine yang coklat kemerahan bila konsentrasi mencapai 1 mg /ml atau lebih. Dengan menggunakan
dipsticks kedalam urine yang biasanya dipakai untuk memeriksa adanya darah (Hemastix), juga dapat
digunakan untuk mendeteksi adanya mioglobin. Mioglobinuri harus dicurigai bila dipsticks urine
adalah heme positif dan sedimen urine yang mengandung beberapa sel darah merah atau pigmentasi
granuler yang gelap.
Serum dan urine sebaiknya diperiksa untuk melihat adanya mioglobin. Semua penderita pigmentasi
granuler yang gelap.
Komplikasi utama dari mioglobinuri adalah gagal ginjal yang akut (acute renal failure/ ARF)
sebagai akibat dari nekrosis tubular. Kegagalan respirasi juga dapat terjadi bila kelemahan otot-otot
berat, dan dapat pula terjadi suatu aritmia jantung sekunder yang fatal sebagai akibat dari hiperkalemia
atau hipokalemia. Karena bisa terjadi komplikasi-komplikasi yang fatal ini, maka adalah penting sekali
untuk segera menegakkan diagnosa sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai (Tabel 8)
Gejala rabdomiolisis antara lain adalah nyeri dan bengkak pada ekstremitas, kelemahan, nyeri
kepala, nausea dan vomitus. Jika berat, penderita bisa kolaps dan koma. Urine menjadi gelap sampai
24 jam setelah suatu episode. Otot-otot anggota gerak yang besar sering kali terkena, sedangkan otot-
otot kranial dan pernafasan jarang terlibat. Otot terasa seperti ”adonana’ ((doughy) saat dipalpasi.
Latihan berat yang tak lazim dilakukan dan dehidrasi (dikenal dengan ”march myoglobimuria”
pada latihan ketentaraan) bisa menghasilkan rabdomiolisis.
Mioglobuinuri juga bisa terjadi setelah suatu kecelakaan (major crush injuries) atau setelah kerusakan
otot langsung pada konvulsi atau setelah kena shok listrik yang berat atau bila dalam keadaan tidak
sadar badan menekan pada suatu ekstremitas.
Iskemia, berbagai toksin, obat-obatan, dan infeksi virus juga dapat menyebabkan mioglobinuri (Tabel
9)

Tabel 8
Pertimbangan emergency pada rabdomiolisis dan mioglobinuri :
Klinis :
Kelemahan akut dari otot-otot yang bengkak dan nyeri

10
Sebelumnya telah melakukan latihan yang berat
Iskemia otot.
Terkena mitoksin
Ada riwayat urine yang berwarna gelap
Ada riwayat kramp bila melakukan latihan
Laboratories :
Urine : heme positif tapi tak ada eritosit dalam sedimen
Periksa terhadap adanya mioglobin
Serum : CK, K, Ca. P
Kreatinin, BUN
Tentukan adanya mioglobin
Periksa adanya toksin : mikotoksin
Periksa kemungkinan adanya dic (dissemination intravascular coagulation)
Pengobatan :
Hidrasi yang agresif
Elektrolit yang abnormal dikoreksi
Monitoring terhadap gagal ginjal dan aritmia jantung
Hilangkan bila ada mikotoksin

Defisiensi enzim yang spesifik yang dibutuhkan untuk metabolisme glikogen atau lipid secara
berulang-berulang dapat menyebabkan mioglobinuri yang dipresipitasi oleh exercise, dan yang paling
sering adalah penyakit Mc Ardle.
Mioglobinuri juga bisa terjadi pada penderita miopati inflamasi dan distrofi muskuler dan
penyakit neuromuskuler khronis yang lain setelah kelakuan psikiatrik yang hebat dan seringkali pula
obat-obatan neuroleptik menjadi penyebabnya.
Akhir-akhir ini juga terdapat kasus rabdomiolisis yang dihubungkan dengan pemakaian obat-
obatan derivat statin antara lain Baycol atau Lipobay yang telah ditarik dari pasaran. Baycol/Lipobay
ditarik setelah dihubungkan dengan insidens terjadinya rabdomiolisis yang lebih tinggi dibandingkan
dengan statin yang lain yang telah berada di pasaran. Penemuan dari Bayer corporation adalah bahwa
beberapa orang yang memakan Lipobay/ Baycol mengalami rabdomiolisis, suatu keadaan yang
membahayakan jiwa yang menyebabkan pemecahan otot yang hebat dan isi sel otot masuk kedalam
aliran darah. Hal ini akhirnya dapat menyebabkan suatu gagal ginjal dan kematian FDA telah
melaporkan adanya 31 kematian di USA yang berhubungan dengan pemakaian Baycol/Lipobay akibat
rabdomiolisis.
Gejala yang timbul adalah nyeri otot, terutama di bagian punggung bawah dan betis disertai kelemahan
dan nyeri, urine yang gelap, nausea, muntah disertai panas.
Rabdomiolisi yang fatal paling sering dilaporkan bila dipakai
 Pada dosis tinggi
 Pada pasien-pasien tua
 Bila digunakan bersamaan dengan fibrat (gemfibrozil/lopid)/ suatu obat penurun kholesterol
yang lain.
Semua penderita rabdomiolisis seharusnya dimonitor untuk mendeteksi adanya kegagalan ginjal dan aritmia
jantung. Hidrasi yang agresif, alkalinisasi urine, dan pembersihan beberapa obat toksik perlu dilakukan .
Pemeriksaan serial CKs, kreatinin, BUN (blood urea nitrogen), dan elektrolit, termasuk kalsium dan fosfor perlu
dilakukan. Dialisis diperlukan jika kegagalan ginjal progresif.
Hipokalsemia akibat hiperfosfatemi dari pemecahan sel (cellular breakdown) seringkali terjadi pada permulaan
rabdomiolisis akibat gagal ginjal. Bila urine telah mengalir kembali, maka dapat terjadi hiperkalsemia. Dengan
demikian kalsium hanya diberikan pada komplikasi yag membahayakan hidup pada fase oliguri.
Hiperkalemia akibat celluler brekdown dan disfungsi ginjal biasa terjadi dan membutuhkan terapi dengan
natrium bicarbonat, infus glukosa-insulin, resin atau dialisis.

Tabel 9
Penyebab mioglobinuri :
Setelah melakukan pekerjaan yang berat :
Kejang yang lama

11
Pekerjaan yang sangat berat (gerak jalan yang dipaksakan)
Aktivitas berlebihan pada keadaan psikiatrik
Adanya penyakit otot yang menyertai
Trauma/ iskemia : Infeksi
Crush injuries Influenza
Koma dgn kompresi otot Legionella pneumoniae
Shock Pneumonia pneumokok
Prosedur pembedahan Neuromuskuler :
Shock listrik atau petir Miositis/ dermatomiositis
Okulasi arteril Hipertemia malignan
Compartment syndrome Miopati dgn hipertermi malignan
Toksik : central core disease
Alkohol sindroma miotonia
Heroin distrofi Duchenne
Amfetamin Neuroleptic Malignant Syndrome
Kokain Miopati lipid :
Lovastatin Defisiensi karnitin palmitil transferase
Klofibrat Glycogen storage disorder :
Barbitural Defisiensi asam maltase
Suksinilkholin Defisiensi miofosforilase(peny Mc Ardle
Amfoterisin B Defisiensi fosfofruktokinase
Khlorokuin Defisiensi fosfogliserat kinase
Vinkristin Defisiensi fosfogliserat mutase
Likoris (glikorisat) Defisiensi laktat dehidrogenase
Toksin tetanus
Racun ular .

Etiologi dari neuroleptic malignant syndromr (NMS) belum diketahui dengan pasti, namun disangka
adanya hubungan dengan mekanisme dopaminergik.
NMS merupakan suatu gangguan yang bisa berakibat fatal dengan gejala perubahan status mental, rigiditas otot,
hipertemia disertai disfungsi otonom dan terjadi pada 0,2% penderita yang mendapatkan obat-obatan
neuroleptik. Faktor risiko untuk NMS adalah organic brain syndrome, ganggaun pada mood, dehidrasi, agitasi,
kecapaian, dan pemberian neuroleptik yang cepat atau secara parental.
Terapi NMS adalah pemberian cairan, penurunan suhu, monitoring jantung, pernafasan dan fungsi ginjal.
Walaupun ada yang mengatakan bahwa pemberian bromokriptin dan dantrolen dapat berguna, namun belum ada
uji klinik yang prospektif dan terkontrol yang menyatakan demikian.

Komplikasi Paru-paru karena Gangguan Neuromuskular :


Pasein-pasien dengan penyakit neuromuskular mempunyai risiko mendapatkan komplikasi paru-paru
yang membahayakan hidup pada setiap tingkatan penyakitnya, apakah saat sadar atau sedang tidur. Dokter yang
tidak waspada dan tidak mengenal gejala-gejala non-spesifik dari respiratory distress akan terperanjat dan tidak
siap bila seorang pasien dengan suatu ”kelemahan yang ringan ” tiba-tiba berkembang menjadi suatu kegagalan
respirasi (respiratory failure). Meskipun beberapa penderita gangguan neuromuskular dengan kegagalan
respirasi akan mengalami tanda-tanda klinis dari respiratory distress, termasuk retraksi interkostal dan
suprasternal, pernafasan cuping hidung, sianosis, namun ada juga penderita-penderita yang lain, dimana
kelemahannya menutupi gejala-gejala tersebut, hanya tampak confused, agitasi, atau penurunan kesadaran
(drowsy) atau mungkin mengeluh sakit kepala. Dengan gejala-gejala yang non-spesifik ini, semua pasien dengan
kelemahan akut seharusnya dimonitor di ICU dengan analisis gas darah serial dan tes fungsi paru. Suatu tIm
medis dan keperawatan yang siap mengantisipasi intubasi trakheal bila terjadi suatu kasus emergency.
Penderita dengan penyakit neuromuskular progresif yang koma, seperti penyakit cornu anterior
(Amyotropic Lateral Sclerosis/ ALS, Spinal Muscular Atrophies/ SMA) dan miopati dengan kelainan
genetik (Duchene, Becker, miopati pada gelang bahu dan panggul dan distrofi otot miotonik ) sering
meninggal akibat kegagalan otot-otot respirasi. Pada kelemahan diafragma dan otot-otot interkostal dan otot-
otot pendukung fungsi respirasi dibutuhkan ventilator. Disfungsi bulbar menyebabkan sukar batuk dan
meningkatkan resiko terjadinya pneuomonia karena aspirasi. Selain itu, gerakan ekstrimitas pasien yang terbatas
dapat menyebabkan deep venous thrombosis (DVT) dan emboli paru.

12
Pneumonia seringkali tak terlihat pada pasien dengan kelumpuhan dan yang menggunakan kursi roda. Pada
penderita-penderita ini, yang mempunyai reserve pulmonair hanya sedikit, maka suatu infeksi saluran
pernafasan yang menyebabkan kesukaran bernafas menjadi suatu emergensi.
Imunisasi terhadap influenza dan pneuomokokus sebagai profilaksis dianjurkan untuk semua pasien-pasein ini.
Kegagalan pernafasan telah dilaporkan pada berbagai penyakit neuromuskular seperti distrofi
miotonik, miopati kongenital, miopati okular, defisensi acid maltase dan poliomeielitis, dimana sebetulnya
kelemahan tidak begitu berat untuk menyebabkan kegagalan pernafasan tersebut. Respons ventilator yang
berkurang terhadap tekanan oksigen yang berkurang atau peninggian tekanan CO2 yang meninggi dianggap
sebagai penyebabnya sehingga sebetulnya kekuatan otot untuk bernafas masih ada, namun repons
khemoreseptor sentral yang kurang.
Hiporespons terhadap hipoksemi atau hiperkapnia menerangkan mengapa pada penderita penyakit
neuromuskuler terjadi kegagalan pernafasan pada anestesi umum atau sebagai akibat dari obat-obatan yang
menekan pernafasan.
Pada semua penderita penyakit neuromuskuler harus diantisipasi akan terjadinya komplikasi respiratoir
dan harus ditindak lanjuti untuk mengembalikannya pada keadaan-keadaan yang reversibel. Rontgen paru-paru
harus dibuat untuk menyingkirkan adanya infiltrat paru dan suatu EKG / elektrokardiogram perlu dibuat untuk
mengevaluasi adanya cor-pulmonale dan aritmia kardial. Bila terjadi kegagalan pernafasan yang diakibatkan
oleh kelemahan otot pernafasan adalah ireversibel, maka penggunaan ventilator perlu dipertimbangkan dengan
pembicaraan terlebih dahulu dengan penderita maupun keluarganya mengenai pembiayaannnya.

Komplikasi jantung karena gangguan neuromuskular:


Komplikasi jantung pada penyakit neuromuskular termasuk congestive heart failure dan disfungsi pada
sistim konduksi, disritmia atau blok jantung. Disfungsi jantung sebagai akibat ketidak stabilan otonom pada
AIDP, gangguan kalium pada periodic paralisys dan inflamasi miokard pada miopati inflamasi sudah dijelaskan
dibagian depan.
Lebih dari 2/3 dari pasien dengan myotonic dystrophy (MYD) mempunyai gambaran EKG yang
abnormal, termasuk blok pada induksi dan aritmia.
Kegagalan jantung tidak terlihat pada akhir penyakit ini, tatapi terjadinya sinkop dan kematian mendadak
merupakan gambaran adanya suatu blok jantung yang komplit atau takhikardi ventrikuler. Perlu
dipertimbangkan penggunaan suatu pacemaker bila terdapat gangguan konduksi yang progresif pada EKG
serial, dan juga pada simus bradikardi yang simptomatik.
Obat-obatan yang umumnya digunakan pada otot-otot myotonia (quinin, prokainamit, fenitoin) bisa menekan
konduksi jantung dan sebaiknya dihindari pada pasien dengan interval konduksi yang memanjang pada
gambaran EKG –nya.
Keterlibatan miokard dapat terjadi pada Duchenne’s Muscular Dystropy(DMD) tapi biasanya tidak
terdeteksi hingga stadium lanjut. Takhiaritmia umumnya terjadi dan kematian mendadak pernah dilaporkan,
namun congestive heart failure biasanya tidak terjadi, mungkin karena aktivitas pada penderita-penderita ini
terbatas sekali.
Digitalis dapat digunakan dengan keberhasilan terbatas pada pengobatan takhiaritmia dan gagal jantung pada
DMD.
Cor-pulmonale kadang-kadang dapat terjadi pada stadium akhir pada berbagai penyakit neuromuskuler yang
progresivitasnya lambat (spinal muscular atrophies, distrofi) sebagai akibat dari hipoksia kronik yang tak
terdeteksi.
Oleh sebab itu, maka oksigen per-nasal harus diberikan bila terjadi hipoksia.
Beberapa gangguan yang menimbulkan oftalmoplegi eksternal yang progresif terutama sindroma Kearns-Sayre
dapat terjadi kematian karena blok jantung yang komplit, dan pemasangan pace maker dapat mempertahankan
hidup.

KRISIS MIASTENIA
Krisis Miastenia (KM) terjadi bila kelemahan yang dijumpai pada miastenia gravis bertambah
sedemikian rupa sehingga perlu dilakukan intubasi untuk memberikan bantuan ventilator atau
melakukan proteksi jalan nafas agar tetap lancar. Pada perjalanan penyakitnya, yaitu biasanya dalam 2-
3 tahun setelah diagnosa ditegakkan, maka 12-16 % pasien miastenia gravis (MG) mengalami suatu
krisis miastenia.
KM terjadi bila kelemahan miastenik mempengaruhi otot-otot pernafasan sehingga pernafasan
terganggu dan merupakan keadaan yang membahayakan ; dalam keadaan ini volume udara didalam
paru-paru menurun, dan ini dikenal sebagai atelektasis. Pasien dengan KM menderita suatu kegagalan

13
pernafasan sehingga memerlukan intubasi dan ventilasi secara mekanis. Krisis dapat terjadi karena
infeksi (40%) atau secara spontan (30%). Kausa lain dari KM adalah aspirasi, kehamilan, obat-obatan
dan operasi. Kira-kira seperempat penderita KM dapat lepas dari ventilator dalam seminggu, 50%
dalam 2 minggu dan 75% dalam sebulan. Kira-kira sepertiga pasien KM akan mengalami suatu krisis
yang kedua.
Kemungkinan terjadinya krisis miastenia terutama pada pasien yang dalam riwayat penyakitnya
pernah krisis sebelumnya, ada kelemahan orofaringeal, atau timoma. Ada beberapa pencetus / trigger
antara lain infeksi, aspirasi, stress emosional dan fisik, dan perubahan pengobatan.
Penatalaksanaan KM dapat dilakukan dengan lebih baik, bila dilakukan dengan suatu pendekatan
yang terencana dengan baik, sehingga dapat menolong pasien MG dengan baik melalui krisis
miastenia-nya dalam waktu yang sependek mungkin, sehingga mencegah terjadinya disabilitas yang
permanen.
Penatalaksanaan pasien dalam krisis miastenia termasuk :
1. konfirmasi diagnosa Miastenia Gravis (MG),
2. mencari pencetus / trigger yang secara potensial dapat diobati dan
3. menentukan apakah pasien memerlukan intubasi atau pembatasan menelan.

Konfirmasi diagnosa
Pasien dalam KM dibagi dua, yaitu : yang sudah di diagnosa MG dan yang belum. Pemikiran para
klinisi mengenai penyebabnya ama untuk kedua golongan ini, karena beberapa hal :
* diagnosa yang dibuat sebelumnya adalah salah.
* kegagalan pernafasan yang subakut yang menyerupai KM dapat terjadi oleh karena :
 Miopati sekunder e.c. gangguan elektrolit atau defisiensi asam maltase
 Neuropati seperti pada Guillain Barre Sindrome (GBS) dan Motor Neuron Disease (MND)
 Penyakit pada paut saraf-otot yang lain (neuromuscular junction) seperti botulisme, toksisitas
yang disebabkan oleh organofosfat, overdosis inhibitor asetilkholinesterase dan Eaton Lambert
Sindrome (ELS) dan lesi sentral termasuk kompresi servikal atau batang otak karena suatu
massa yang mengekspansi.
Berdasarkan riwayat penyakit pasien dan penemuan dalam pemeriksaan fisik, maka seorang ahli saraf
dapat melokalisasi problema-nya dan menganjurkan berbagai tes tambahan untuk menunjang
diagnosa.

Gejala klinis Krisis Miastenia (KM) :


Kelemahan otot disebabkan oleh kekurangan jumlah Asetilkholin (Ach).
* Pada pemeriksaan tes tensilon akan terjadi perbaikan langsung pada kontraksi otot.
* Gejala – gejala utama adalah :
 Denyut nadi yang cepat
 Hilangnya refleks batuk dan menelan
 Respons positif terhadap tes Tensilon
Pasien yang akan memasuki KM menunjukkan gangguan bulber dan kelemahan eksremitas bagian
proksimal yang berat. Ini seringkali juga disertai ptosis yang jelas, kelemahan rahang dan kegagalan
pernafasan diafragmatik. Juga kelemahan akan lebih jelas pada tes-tes yang diulang-ulang. Tes yang
biasa dipakai adalah ”pump handle tes” dimana si pemeriksa secara berulang-ulang menekan lengan
pasien yang dalam keadaan abduksi kedada pasien, dimana pasien harus bisa melawan secara aktif.
Pada pasien yang lebih berat, maka rahang juga lemah dana agak menggantung. Suatu tes yang
karakteristik adalah menyuruh pasien melihat keatas dan memfiksasi kesuatu obyek, Dimana setelah
itu akan terjadi penurunan kelopak mata secara bertahap sampai menutup sama sekali. Otot-otot mata
ekstraokuler bisa melemah dalam abduksi dan aduksi sehingga bisa menyebabkan suatu paralisis
aduksi bilateral dengan kelemahan abduksi yang ringan yang menyerupai suatu oftalmoplegi yang
internuklear (INO)
Keraguan dengan adanya suatu lesi primer dibatang otak bisa terjadi. Kelemahan bulber masih
menjadi salah satu gejala utama, karena akan menyebabkan kegagalan untuk menjaga jalan nafas
pernafasan bagian atas (airway), karena pasien tidak bisa menelan sekresi air liur dengan baik. Pada
pasien yang tidak begitu berat akan tampak disartri bila disuruh membaca suatu kalimat tertentu.

14
Bila saliva harus disedot secara berkala, merupakan indikasi bahwa terdapat suatu kelemahan
nasofaringeal dan bulber yang jelas. Kelemahan otot muka secara bilateral biasanya menyebabkan
suatu tarikan muka seperti sedang geram sehingga tidak dapat memonyongkan bibir atau bersiul.
Tarikan muka geram tersebut biasanya menetap, karena fungsi m levator labii superior masih baik,
namun ada kelemahan dari m zygomaticus dan buccinator.
Suara yang serak dan berbunyi gemeretak menjadi khas dan biasanya akan tersedak oleh cairan
sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi. Kelemahan otot pernafasan mempunyai
karaketristik yang seharusnya gampang dikenal , namun seringkali tak terdeteksi. Bila ASTRUP
normal dan saturasi oksigen normal, belum berarti bahwa pasien sudah tidak dalam keadaan bahaya
lagi, karena berlainan dengan Guillain Barre Syndrome (GBS) atau penyakit neuromuskuler lainnya,
kegagalan pernafasan pada KM sangat sukar dinilai. Kegagalan pernafasan pada KM tidak bisa
berdasarkan pada kapasitas vital, tekanan inspiratoir dan ekspiratoir saja, karena ada fluktuasi yang
besar selama sehari, bahkan dalam satu jam. Keputusan untuk melakukan intubasi makanya menjadi
sangat sukar dan seringkali menyebabkan frustasi. Kegagalan pernafasan harus dideteksi secara dini
bila pasien sesak pada setiap perubahan posisi; yang paling jelas adalah bila pasien harus terlentang,
namun juga hanya dengan membuka baju pada pemeriksaan auskultasi bisa akan terjadi frekwensi
pernapasan yang meninggi. Suara pasien yang berbunyi gemertak juga akan seperti stakato dan pasien
harus berhenti berbicara berkali-kali untuk mengatakan suatu kalimat. Biasanya ada takhikardia dan
takhipnoe yang ringan. Alis biasanya agak berkeringat dan basah. Dan bila diperhatikan dengan
seksama, akan terlihat m accessories dipakai pada kontraksi. Pernapasan paradoksal, suatu fenomen
yang terjadi bila pasien pada inspirasi ada suatu gerakan kearah dalam (inward movement) dari
abdomen yang merupakan fenomen yang akan terjadi pada fase lambat dari suatu penyakit
neuromuskuler yang sudah lama dan terjadi karena diafragma gagal berkontraksi sehingga
menyebabkan gerakan dada keluar, namun karena tekanan negatif dari pleura akan terjadi suatu tarikan
kedalam dari abdomen.
Pemeriksaan neurologis juga harus termasuk meng-ases beratnya kelemahan bulber, kelemahan
ekstremitas atas, mengangkat kapala dan juga fungsi otot-otot pernafasan dan kontraksi diafragma.
Juga harus dicari semua pencetus / trigger yang bisa berpengaruh.
Trigger / Pencetus :
Beberapa kejadian sewaktu-waktu berhubungan dengan terjadinya krisis miastenia (KM)
sehingga bisa merupakan pencetus / trigger. Infeksi berhubungan dengan 30-40% krisis, dan yang
paling sering adalah infeksi jalan pernafasan atas yang disebabkan virus, bronkhitis, dan pneumonia
bakterial.
Aspirasi pneumoni berhubungan dengan 10% krisis dan juga ada hubungan dengan stress fisik,
seperti trauma fisik atau operasi, termasuk timektomi dan perubahan dalam pengobatan, juga dapat
ditrigger oleh pengobatan yang sebenarnya harus dihindari dan perubahan dosis inhibitor AChE dan
pemakaian baru atau tapering dari obat-obatan kortikosteroid. Pada 30-40% krisis tidak dapat
ditemukan pencetus / trigger.
Obat-obatan yang dapat menambah kelemahan pada MG dan menyebabkan krisis miastenia (KM)
adalah sbb :
Obat-obatan Anti-aritmia
Kuinidin
Procainamid hidrohhlorid (Procanbid, Pronestly)
Antibiotika
Aminoglikosid
Derivate kuinin termasuk kuinolon
Obat-obatan Anti-hipertensif
Penghambat Beta
Penghambat saluran kalsium (Calcium channel blockers)
Obat-obatan yang mengandung Magnesium
Magnesium sulfat dan sitrat
Neuromuscular blocking agents
Suksinilkholin khlorida (Anectine, Quelicin)
Derivate kurare

15
Kortikosteroid yang sebelumnya dipakai dalam dosis tinggi.

Trigger-trigger lain yang non spesifik adalah :


* Infeksi dan Influensa (virus)
* Aktivitas fisik
* Stres seperti keadaan emosional yang tinggi
* Kehamilan
* Operasi dengan anestesi umum (terutama yang menggunakan
nondepolarizing muscle relaxants)
* Hipotiroid
* Sewaktu, selama atau setelah siklus haid
* Perubahan suhu yang terlalu dingin atau terlalu panas.

Untuk mencari pencetus / trigger harus diperiksa dengan teliti sistem-sistem organ dengan
memperhatikan adanya febris, menggigil, batuk, sakit dada, disfagia, regurgitasi cairan dihidung dan
disuri. Harus dibuat riwayat penyakit yang teliti dengan menelusuri apakah ada trauma, operasi dan
pemakaian obat-obatan.
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan memeriksa suhu, telinga, hidung dan tenggorokan, auskultasi dada
dan pemeriksaan abdomen.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan memeriksa leukosit dengan diferensial dan pengukuran
elektrolit, pewarnaan dengan Gram dan kultur sputum dan analisa urin berikut juga rontgen dada ; juga
kultur darah diperlukan bila ada panas.

Fungsi respiratorik :
Kriteria untuk intubasi dan ekstubasi pada penyakit-penyakit neurologis, biasanya diperuntukan
untuk pasien dengan kelemahan yang menetap, seperti pada stroke dan trauma. Karena kelemahan
pada penyakit paut saraf-otot (neuromuscular junction) berfluktuasi, maka tidak bisa dipergunakan
suatu parameter yang tunggal untuk menetapkan, kapan pasien penderita MG memerlukan bantuan
pernafasan. Kegelisahan pada pasien disertai takhkardia dan takhipnoe bisa merupakan tanda-tanda
pertama dari ”kelaparan” udara (air hunger).
Beberapa penyelidik mengemukakan, bahwa angka kapasitas vital kurang dari 15 mL/kg, tidal volume
kurang dari 5 mL/kg, negative inspiratory force kurang dari 20 cm H2O, atau positive expiratory force
kurang dari 40 cm H2O merupakan indikasi untuk dilakukannya intubasi. Penyelidik lain, yang melihat
secara antara angka-angka pembatas ini dengan intubasi yang setelah itu dilakukan pada pasien MG.
Saturasi oksigen dan pengukuran analisa gas darah arterial biasanya dianggap tidak ideal untuk
menentukan keputusan, apakah diperlukan intubasi pada populasi pasien dengan MG, karena nilai dari
angka-angka tersebut berubahnya lambat dalam siklus dekompensasi.
Semua pasien MG dengan status respiretorik yang diragukan sebaliknya dirawat dalam intensive care
unit (ICU) , dimana dapat diukur anxiety rate, nadi, pernafasan, vital capacity, tidal volume, negative
inspiratory force, dan positive expiratory force setiap 2 - 4 jam. Bila keadaan memburuk, maka dapat
dilakukan intubasi dini yang konservatif dengan segera.
Evaluasi dari weaning dimulai, bila pasien telah bebas dari trigger yang menyebabkan krisis, telah
nyaman dan secara obyektif telah menjadi kuat pada pemeriksaan. Vital capacity harus sudah menjadi
lebih dari 10 mL/kg, negative inspiratry force lebih dari 20 cm H2O dan positive expiratory force lebih
dari 40 cm H2O. Selama proses weaning, anksietas pasien, nadi dan pernafasan dan tidal volume harus
dicatat secara periodik dan sering. Apakah sudah siap untuk ekstubasi dilihat dari sudut respiratorik,
tergantung dari performance pasien selama weaning.

Menelan
Pada penatalaksanaan pasien MG dengan fungsi menelan yang memburuk, harus dibuat 2 keputusan :
1. Kapan merestriksi diet dan
2. Kapan melakukan intubasi untuk memproteksi jalan nafas.

16
Dalam menentukan keputusan tentang sistem respiratorik ini, maka keputusan –keputusan itu menjadi
lebih sukar karena adanya sifat dinamis dari kelemahan pasien. Harus selalu ditanyakan tentang
kesukaran menelan yang belum lama terjadi, salah menelan, batuk setelah makan dan regurgitasi nasal.
Selain itu suatu tes disamping tempat tidur yang dilakukan secara sederhana namun efektif dapat
dilakukan dengan meminta pasien untuk menghirup 3 oz air lalu memantau apakah ada batuk atau
keselek. Bila ada riwayat penyakit atau pada tes ini dianggap sugestif ada disfagia, maka pemasukan
makanan secara oral (oral intake) harus dihentikan. Penentuan apakah pasien memerlukan intubasi
atau airway protection dibantu dengan melihat apakah ada suara yang basah, dengan gurgling atau
stridor.
Aritmia kardial
Pada pasien KM terdapat suatu insidens tinggi dari aritmia (11-14%) selama dirawat dirumah sakit
untuk KM. Aritmia yang terjadi bervariasi dari benigne (seperti atrial fibrillation) sampai ventricular
fibrillation yang fatal dan asystole.
Kebanyakan pasien telah menderita suatu penyakit jantung sebelumnya atau telah mendapatkan
piridostigmin bromid i.v. (Regonol); walaupun demikian semua pasien yang dirawat dengan KM
sebaiknya selalu harus dimonitor jantungnya secara kontinu.
Penatalaksanaan : selain memberikan terapi dan perawatan suportif, disertai dengan menghilangkan
trigger, maka dalam penatalaksanaan dari KM, harus termasuk pengobatan underlying MG, dimana
peranan ahli saraf sangat menentukan.
Beberapa terapi yang bisa dipakai antara lain adalah inhibitor AChE, plasma excharge, imunoglobulin
i.v. (IVIg), dan obat-obat imunosupresif termasuk kortikosteroid.

Menghilangkan trigger
Bila ada bukti adanya infeksi, harus diberikan antibiotika dengan pemilihan yang selektif dimana
aminoglikosid dan kuinolon harus dihindari, karena dapat memperburuk kelemahan pada pasien MG :
risiko terjadinya superinfeksi dengan Clostridium difficile, yang berhubungan dengan memanjangkan
krisis, selalu harus menjadi pemikiran pada penentuan jenis antibiotika yang akan diberikan. Juga
obat-obtan lain yang bisa men-tigger krisis harus dihindari dan dihentikan.

Supportive care
Dalam melakukan intubasi beberapa ahli menganjurkan dipakainya cara nasotrakheal, dan bukan cara
orotrakheal, karena yang pertama lebih enak dipakai sehingga jarang terjadi displacement Dan
dianjurkan memakai suatu cuff yang empuk dan bertekanan rendah (soft, low-pressure cuff).
Biasanya tidak diperlukan trakheostomi, karena lamanya intubasi biasanya kurang dari 2 minggu.
Bila diperlukan suatu respirator, maka biasanya dimulai dengan suatu synchronized intermittent
mandatory ventilation (Mayer, 1997). Tidal volume yang besar sampai 10 mL/kg, disertai dengan
suatu tekanan (pressure support) 5 – 15 cmH2O dan positive end-expiratory pressure 5 – 15 cm H2O,
akan membatasi terjadinya atelektasis, bila peak airway pressures bila dipertahankan dibawah 40 cm
H2O. Supplementasi oksigen dianjurkan, bila kadar oksigen dalam arteri (arterial blood oxygen levels)
jatuh dibawah 70 – 80 mm Hg. Inspired gas humidity harus sekitar 80 % pada 370 C.
Pada pasien dengan retensi karbon secara khronik (yang terlihat dengan meningginya kadar serum
karbonat) maka PCO2 harus dipertahankan diatas 45 mmHg untuk menghindari alkalosis dan
bicarbonate wasting, yang akan membuat weaning lebih sukar lagi.
Harus dilakukan pengukuran tekanan darah (cuff pressure) secara sereingkali dan juga, tube placement
dan analisa gas darah dianjurkan.
Penyedotan secara aseptik (aseptic suctioning) juga harus dilakukan secara berulang.
Percobaan weaning harus selalu dilakukan pagi dini hari. Mula-mula pasien dilepas pada suatu nilai
tetap pada pressure support mode. Bila ini dapat ditoleransi untuk beberapa jam, maka pressure
support diturunkan dengan 1 – 2 cm H2O setiap hari. Bila hasil dari beberapa kali percobaan
menandakan adanya kelelahan, maka pasien dikembalikan lagi pada level ventilatory support yang
sebelumnya.
Dalam hal nutrisi, maka intake kalori harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya balans energi
yang negatif, yang akan menggangu weaning. Pada pasien yang tidak bisa menelan, maka feeding
tubes, harus dipasang secara dini dan pemberian makanan diberikan sesuai yang diperlukan. Karena

17
tube yang kecil (small-bore tubes), yang berakhir di duodenum akan memperkecil risiko aspirasi, maka
kebanyakan ahli lebih senderung menggunakan ini daripada yang besar (large-bore tubes), yang
berakhir di lambung.
Selain tindakan-tindakan yang telah disebut tadi, maka terapi hipokalemi dan hipofofatemia, yang akan
memperburuk kelemahan, harus dilakukan secara agresif. Anemia dapat juga menambah kelemahan
dan beberapa ahli menganjurkan dilakukannya transfusi bila hematokrit menurun dibawah 30%.
Profilaksis untuk mencegah terjadinya deep vein thrombosis, seperti pemberian Na-heparin secara
subkutan atau penggunaan pneumatic compression boots dianjurkan.

Diagnosa Diferensial
Suatu krisis miastenik (KM) harus dibedakan dengan krisis-krisis lain pada MG.
Suatu krisis kholinergik lebih susah lagi terdeteksi , namun biasanya khas dengan adanya salivasi
yang berlebihan, sekresi bronkhus yang kental dan diare. Fasikulasi yang jelas pada otot-otot mata dan
otot pundak proksimal dapat terlihat paralel dengan kelemahan otot yang bermakna.
Suatu krisi kholinergik pada MG biasanya disebabkan karena pengurangan berat penyakit yang
spontan karena blokade ganglionik nikotinik, karena kelebihan pemberian obat (overmedication)
dalam klinik, sehingga harus dibedakan dari KM, dan penambahan mestinon secara gradual tidak akan
memperbaiki kelemahan otot, malahan menambah efek-efek samping lebih banyak lagi. Obat-obatan
sebaiknya dihentikan dengan segera.
Gejala-gejalanya krisis kholinergik dapat disingkat sebagai berikut :
o Respons negatif terhadap tes Tensilon
o Nausea dan muntah
o Bradikardia dan hypotensi
o Fasikulasi
o Diplopia
o Diare dan kramp abdominal
Suatu jenis krisis ketiga pada MG adalah yang terjadinya setelah timektomi, namun biasanya
disebabkan karena fungsi pernafasan yang kurang baik (poor baseline respiratory function), aspirasi
dan kadang-kadang memburuknya kegagalan diafragma, karena kerusakan intraoperatif dari
phrenicus. Kebanyakan gangguan pernafasan setelah timektomi dapat diatasi dengan satu kali
plasmaferesis sebelum operasi timektomi dilakukan atau infuse IVIg.
Krisis lain adalah brittle : yang berhubungan dengan gangguan bulber yang berat dan seringkali
dijumpai pada pasien dengan timoma dengan keadaan krisis miastenik dan kholinergik yang
bergantian.
Diagnosa diferensial dengan penyakit-penyakit lainnya adalah :
Sindroma miastenik (Lambert_Eaton) :
* adanya small cell hug cancer (+/-50%)
* antibody saluran kalsium (Calcium channel antibodies)
* pada pemeriksaan EMG : stimulasi repetitif terlihat amplitudo menurun
(decrement) pada 3 Hz dan pembesaran amplitudo (increment) pada 10 Hz.

Sindroma Guillain-Barre (Bulber atau varian Miller-Fisher)


* Arefleksia
* protein CFS meninggi dengan sel normal
* Conduction block pada pemeriksaan EMG/NCV
* Parestesia
Botulism
Mulut kering, pupil tidak bereaksi dan tanda-tanda ileus.

Tes diagnostik yang esensial


o IV Tensilon (edrofonium khlorid) 2 – 10 mg setelah 0.5 mg atropin sulfate
o EMG / Electromiografi : stimulasi repetitif (penurunan amplitudo melebihi 10% dari CMAP
{compound motor action potential} antara respon pertama dan ke-empat.

18
o Single fibre EMG bila memungkinkan
o CT sken thoraks untuk mencari timoma
o Pemeriksaan Acetylcholine receptor blocking antibodies dalam serum
o Thyroid antibodies
o Tiroksin, T3, TSH

Tes Tensilon
Kelemahan yang disebabkan oleh suatu transmisi neuromuskuler yang abnormal, akan membaik
setelah pemberian edrofonium khlorid (Tensilon) secara intravena. Tes Tensilon dianggap positif, bila
terlihat perubahan yang dramatis, yaitu perbaikan fungsi otot, yang dilihat sendiri oleh si kelemahan
otot mata atau bicara nasal. Kekuatan motorik setelah tes tensilon juga akan membaik pada motor
neuron disease dan pada lesi n oculomotorius.
Bila akan melakukan tes tensilon harus dipilih beberapa fungsi otot saja untuk di evaluasi dan diamati
derajat kelemahannya pada otot-otot ini untuk beberapa menit lamanya, sebelum memberikan tensilon.
Dosis tensilon terbaik, bervariasi diantara pasien dan tidak dapat ditentukan sebelumnya. Pemberian 10
mg dalam dosis terbagi direkomenadasikan. Setelah suatu suntikan inisial 2 mg, maka respons pada
otot-otot tertentu dimonitor selama 60 detik. Setelah itu diberikan suntikan 3 dan 5 mg. Bila terlihat
perbaikan yang pasti dalam 60 detik, setelah dosis yang manapun, maka tidak diperlukan pemberian
suntikan tambahan lagi.
Dosis total pada anak adalah 0.15mg/kg. Harus disediakan suatu kantong AMBU bila memberikan
tensilon, karena beberapa orang sangat hipersensitif pada pemberian tensilon , walaupun dosis sangat
kecil. Pemburukan dari kelemahan setelah pemberian tensilon (“paradoxical response”) juga
merupakan suatu indikasi, bahwa terdapat suatu gangguan neurotransmisi.
Bradikardia bisa merupakan suatu efek samping, terutama pada pasien manula. Suatu syringe berisi
sulfas atropin, yang bila perlu digunakan, harus selalu tersedia bila menyuntikan tensilon.
Pemberian tensilon secara buta, nilainya dipertanyakan dan tidak perlu dilakukan, bila endpoint-nya
telah ditentukan dengan baik seperti hilangnya ptosis. Beberapa pasien yang tidak berespons terhadap
tensilon, bisa ada respons terhadap neostigmin yang mempunyai waktu kerja yang lebih lama dan ini
terutama berguna pada anak dan bayi, yang responsnya terhadap tensilon terlalu pendek untuk dapat
diobservasi. Pada beberapa pasien, suatu percobaan pemberian piridostigmin per oral untuk beberapa
hari dapat menunjukkan perbaikan yang tidak bisa dilihat pada pemberian suatu dosis tunggal tensilon
atau neostigmin.

STIMULASI REPETITIF (EMG)


Pemeriksaan elekrodiagnostik diperlukan untuk menunjukkan adanya transmisi neuromuskuler yang
abnormal dan untuk menyingkirkan penyakit-penyakit lain dari motor unit yang menyerupai atau ikut
menyumbang adanya gejala klinis tersebut. Pemeriksaan-pemeriksaan demikian juga akan berguna
untuk mengukur derajat gangguannya dan menunjukkan adanya perubahan, bila penyakit memburuk.
Pemeriksaan elektrodiagnostk yang paling sering digunakan pada gangguan transmisi neuromuskuler
adalah stimulasi repetitif dari suatu saraf motorik (repetitive nerve stimulation / RNS) , sewaktu
merekam compound muscle action potentials (CMAP) dari suatu otot yang dipersarafi oleh saraf
tersebut. Hasilnya adalah abnormal bila secara progresif lebih sedikit serabut otot yang ber-respons
terhadap stimulasi saraf selama suatu rentetan stimulus ( a train of stimuli), sehingga menghasilkan
suatu dekremen (= penurunan amplitudo) pada CMAP. Walaupun tehnik langsungnya dan kelihatannya
sederhana, Namur bukannya tanpa kesukaran untuk yang tidak berpengalaman. Kebanyakan kesalahan
terjadi karena bergeraknya elektrode perekam, variasi dari intensitas stimulus dan kurangnya
pemanasan dari otot yang akan diperiksa.
Tehnik merekam :
Elektrode kulit / tempel dipakai sebagai electrode perekam, sehingga akan terjadi statu defleksi inicial
yang tajam yang negatif (arahnya menuju keatas) pada stimulasi saraf secara supramaksimal, sehingga
menunjukkan, bahwa elekrode aktif berada diatas motor point dari otot. Elekrode referens harus
ditempatkan disuatu titik distal, dimanan aktivitas listrik otot paling sedikit. Elektrode jarumjangan
digunakan untuk merekam respons tu, karena tidak dapat dipertahankan pada statu posisi yang constan

19
selama perangsangan saraf. Sendi-sendi harus di-imobilisasi dengan fiksasi yang benar agar artefak
gerakan bisa dihindari.

Suhu otot :
Respons dekremen (pengecilan aplitudo) pada MG berkurang bila ototnya dalam keadaan dingin.
Bila kelainannya ringan, maka tidak akan terlihat statu dekremen, kecuali ototnya dipanaskan terlebih
dahulu. Otot-otot tangan dan kaki harus dipanaskan terlebih dahulu sampai tercapai suhu minimal 34 C
untuk menghasilkan statu sensitivitas diagnostik yang maksimal. Pendinginan bukan merupakan factor
yang besar pada otot proksimal, sehingga tidak perlu dipanaskan terlebih dahulu sebelum dilakukan.
Tehnik stimulasi :
Stimulasi dari statu saraf motorik biasanya dialakukan dengan elektrode kulit / tempel. Stimulasi juga
bisa dilakukan dengan elektrode jarum yang mendeteksi saraf (near-nerve needle electodes), dimana
digunakan impuls stimulasi dengan durasi yang lebih pendek dan intensitas yang lebih rendah,
sehingga tidak begitu menyebabkan nyeri bila electrode jarum ditempatkan dengan sempurna. Agar
supaya mendapatkan respons maksimal, sepanjang tes dilakukan, maka intensitas stimulus harus 10 –
25 % lebih besar daripada yang diperlukan untuk mengaktivitasi semua serabut otot. Statu respons
dekremental pada MG paling baik diperhatikan dengan frekwensi stimulus antara 3-5 Hz. Dekremen
akan bertambah, bila frekwensi stimulus ditingkatkan sampai 10 Hz. Pada frekwensi stimulus lebih
dari ini, maka besarnya CMAP bisa membesar selama stimulasi (= potensisasi ) dan artefak karena
bergerak lazim terlihat.
Inkremen (= pembesaran amplitudo ) sampai 50 % adalah biasa dan telah dilaporkan pada otot normal
dengan frekwensi stimulus 10 – 50 Hz.
Potensisasi dapat terjadi, dari penambahan jumlah serabut otot yang dia aktivasi (=fasilitasi) atau
karena penambahan amplitude atau sumasi dari aksi potencial dari serabut otot yang individual ( =
pseudos-fasilitasi ). Fasilitasi terjadi bila 2 atau lebih aksi potencial saraf terjadi dalam statu periode
yang pendek, sehingga menghasilkan statu penambahan transient dari asetilkholin (ACh) yang
dilepaskan dari statu saraf motorik. Setiap kali terjadi statu depolarisasi saraf, maka kalsium akan
dilepaskan kedalam ruangan periterminal (periterminal space), sehingga akan meningkatkan
konsentrasi kalsium local dalam waktu yang pendek. Bila saraf mengalami depolarisasi selama period
itu, maka kalsium yang meningkat akan meninggikan jumlah ACh yang dilepaskan. Bila ada gangguan
transmisi neuromuskuler, maka perlepasan ACh yang lebih besar ini dapat memperbaiki transmisi
sinaptiksebentar saja, sehingga menghasilkan statu fasilitasi.
Pseudofasilitasi dihubungkan dengan adanya sinkhronisasi yang bertambah dari aksi potensial serabut
otot yang bertambah, atau karena hiperpolarisasi membran serabut otot, karena meningkatnya kerja
pompa Na-K (increased sodium-potassium pumping). Pada otot normal, pseudofasilitasi bisa
meningkatkan amplitudo CMAP samapai 50% dengan frekwensi stimulus samapai 50 Hz dan hal ini
dapt menutupi (masking) respons (true facilitation).
Tehnik mengukur :
Besarnya CMAP dapat diukur dengan mengukur amplitudo atau area dari puncak negatif dari CMAP.
CMAP harus dilihat dengan statu fastoscilloscope sweep speed (50-100 msec sweep duration) selama
stimulasi repetitif untuk mendeteksi artefak tehnis. Bila electrode stimulasi bergerak maka otot
menghasilkan pattern yang ireguler dari perubahan besarnya CMAP selama rentetan stimulus (trains
of stimuli) dan pattern ini tidak sesuai dengan pattern pada MG.
Pada MG, maka pattern yang khas adalah adanya dekremen yang progresif dari respons kedua sampai
ke-empat atau kelima, lalu sedikit balik kembali ke besarnya semula. (ada 4 pattern yang khas yang
berbeda).
Perubahan besarnya CMAP dihitung dan dikalkulasi sebagai presentase perubahan amplitudo (atau
area) antara respons pertama dan respons yang lain, biasnya respons yang ke empat atau relima dalam
statu rentetn stimulus (train).
Statu stimulus dengan frekwensi 3-5 Hz dapat menghasilkan statu dekremen samapai 8% pada otot
yang normal. Suatu dekremen yang melebihi 10% biasanya adalah abnormal.
Observasi dari hal-hal berikut dapat membantu membedakan dekremen yang benar dari yang
artefaktual dari besarnya CMAP.
1. Reprodusibilitasi. Dekremen harus sama, bila stimulus diulang setelah suatu periode istirahat.

20
2. Bentuk Sampul / Envelop : Perubahan selama suatu rentetan stimulus ( train of stimuli ) harus
sesuai dengan pattern dari suatu penyakit, tanpa adanya variasi yang mendadak atau ireguler
antara respons yang berurutan.
3. Activation cycle : Perubahan yang disebabkan oleh aktivasi harus mempunyai pattern yang bisa
diterima (aceptable pattern).
4. Respons terhadap tensilon : Pemberian Tensilon secara iv biasanya mengurangi atau
menghilangkan dekremen yang disebakan oleh transmisi neuromuskuler yang abnormal. Pada
beberapa kasus statu respons paradoksal terhadap edrofonium dapat dilihat, dimana statu
dekremen memburuk atau hanya timbal estela pemberian tensilon. Kedua respons menunjukkan
adanya gangguan pada transmisi.
5. Aktivasi : Statu periode aktivasi diikuti oleh 2 fase yang berurutan. Selama fase yang pertama
yaitu fasilitasi, setiap impuls saraf melepaskan Ach yang lebih banyak daripada sebelum aktivasi,
sedangkan selama fase yang kedua yaitu postactivation exhaustion lebih sedikit ACh dilepaskan
oleh setia implas saraf. Exhaustion maksimum 2-5 menit setelah terakhir di-aktivasi. Saraf
diaktivasi dengan statu stimulasi saraf dengan frekwensi tinggi (20-50) Hz atau dengan
mengkontraksi otot secara maksimal selama 10 – 30 detik dan yang terakhir ini tidak begitu
menyebabkan nyeri. Untuk menunjukkan adanya fasilitasi seperti LEMS ; maka aktivasi volunter
selama 10 detik biasanya sudah optimal, sedangkan statu periode aktivasi yang lebih lama (30-
120 detik) diperlukan untuk menghasilkan kelelahan / exhaustion pada MG. Statu rentetan
stimulus dengan frekwensi yang rendah diberikan selama 10 detik setelah akhir aktivasi untuk
menunjukkan adanya fasilitasi dan dengan interval sampai 10 menit setelahnya untuk
menunjukkan adanya postactivation exhaustion.
6. Pemilihan otot : RNS (repetitive neve stimulation) lebih sering ditemukan abnormal pada otot-
otot proksimal atau otot muka. Untuk mendapatkan maximum diagnostic yield, diperlukan
pemeriksaan beberapa otot, termasuk yang terkena klinis.

Otot-otot tangan paling enak untuk diperiksa dan perekaman dapat dilakukan dari m hypothenar atau
m interosseus dorsalis I dan stimulasi dilakukan dari n ulnaris di pergelangan tangan atau juga bisa
pada otot thenar dengan stimulasi n medianus (hanya 70% sensibilitasnya). Juga bisa dilakukan
stimulasi n musculocutancus di axilla dan merekam di m bíceps. Saraf ini dapat distimulasi dengan
electrode kulit / tempel dengan menekan kencang pada batas posterior dari kepala yang pendek dari m
bíceps dalam jarak 1 inci pada pinggir inferior dari lipatan axilia. Stimulasi yang demikian tidak
mengenakan, terutama bila lama atau bila digunakan rentetan frekwensi yang tinggi. Suatu elektrode
stimulasi jarum dapat dimasukkan dekat saraf akan mengurangi discomfort dan agaknya tidak akan
pindah bergerak selama stimulasi dan aktivasi.
Pemeriksaan m deltoid dapat dilakukan dengan menempatkan electrode aktif di pusat otot dan referens
pada akromion. Stimulasi dilakukan pada titik Erb’s dengan statu electrode permukaan yang ditekan
dengan kencang dibelakan clavicula. Stimulasi dengan cara ini tidak mengenakan, karena stimulasi
otot-otot lain tidak bisa dihindari.
Muskulus trapezius merupakan otot dibahu yang paling mudah diperiksa dan pasien diperiksa sambil
dudukdi cursi dengan lengan yang menggantung lupus ke bawah. Electrode aktif ditempatkan diatas
trapezius pada sudut antara leher dan bahu dan electrode referens diletakkan di akromion. N spinalis
accesorius distumulasi pada batas posterior dari m sternocleidomastoideus dibelakang telinga. Saraf
berjalan superficial pada titik ini dan dapat distimulasi secara maksimal dengan intensitas yang rendah,
yang mengurangi discomfort dan menghindari stimulasi dari otot-otot lain.
Otot-otot muka dapat diperiksa dengan menempatkan electrode aktif dinasalis dan electrode referens
lateral dari mata. Secara alternatif bisa diperiksa m orbicularis inferior dengan menempatkan referens
pada hidung. N facialis distimulasi di bawah telinga. Namun gerakan artefak seringkali membatasi
interpretasi respons dari otot-otot facialis dan banyak pasien tidak bisa tahan terhadap stimulasi di
tempat itu.
Metode untuk memperjelas atau memprovokasi suatu respons dekremen
Bila tidak terlihat dekremen sebelum atau setelah aktivasi, maka abnormalitas yang ringan pada MG
dapat terdeteksi selama exhaustion period, yang terjadi setelah stimulasi saraf yang lama dengan

21
frekwensi rendah. ( 3Hz selama 4-5 menit ). Menghasilkan iskemia pada otot yang diperiksa selama
periode stimulasi yang lama disusul exhaustion dapat memperbesar sensitivitas tehnik ini lebih lanjut.
Untuk menentukan ini maka suatu manset tekanan darah dipasang melingkari lengan atas dan dipasang
diatas tekanan sistolik dan suatu saraf yang distal distimulasi. Pada pasien dengan MG yang
mempunyai hasil RNS yang normal pada otot-otot tangan, maka tes ini menunjukkan sensitivitas yang
sedikit lebih tinggi daripada RNS pada trapezius, namun 60% dibandingkan sensitivitas SFEMG (
single-fiber electromyography ) dari otot tangan.

EMG
Transmisi neuromuskuler yang abnormal dapat terlihat pada pemeriksaan EMG dan terlihat sebagai
variabilitasi dalam bentuk atau amplitudo dari MUAP (motor unit action potentials). MUAP yang
tidak stabil juga terlihat pada penyakit denervasi, terutama pada MND (motor neuron disease), sehinga
tidak spesifik untuk MG. Bila terlihat tanpa bukti lain dari penyakit neuronal, maka suatu MUAP yang
tidak stabil harus diperiksa terhadap kemungkinan adanya MG atau penyakit lain dengan gangguan
transmisi neuromuskuler.

Single-fiber ENG (SFEMG) adalah suatu tes elektrodiagnostik yang paling sensitif untuk mendeteksi
suatu kelainan neuromuskuler. SFEMG memperlihatkan jitter yang bertambah pada suatu ekstreminas
atau otot muka pada hampir semua pasien MG. Karena sensitivitasnya, maka SFEMG juga
memperlihatkan jitter yang abnormal pada penyakit saraf dan otot yang lain, sehingga hasilnya harus
di-interpretasikan bersamaan dengan klinis.

Penatalaksanaan krisis miastenia yang akut


Pemakaian ventilator
Krisis yang paling sering ditemukan adalah krisis miastenia (KM), sehingga adalah sangat penting
untuk segera menata fungsi respiratorik neuromuskuler. Jarang sekali intubasi endotrakheal dapat
dihindari dengan fisioterapi atau spirometri, dan tindakan-tindakan ini lebih penting
sewaktumelakukan weaning untuk melepas dari ventilator. Kadangkala pasien memberikan respons
yang dramatis setelah mendapatkan plasmaferesis, sihingga bisa menghindari pemberian support
ventilasi. Indikasi intubasi endotrakheal masih belum pasti dan berubah-ubah, namun dianjurkan suatu
intubasi low-threshold. Ketidak mampuan untuk menelan dan batuk yang mengeluarkan dahak akan
menyababkan atelektasis, shunting, hipoksemia, lalu menjadi lelah dan akhirnya bisa terjadi aspirasi.
Biasanya pada pasien dengan KM harus dibuat foto rontgen dan biasanya sudah ada atelektasis atau
permulaan infiltrat. Hipoksemi bisa terjadi dengan nilai PO2 sekitar 40 dengan infiltrat lobus kanan
bawah. Adanya infiltrat dan paru sangat penting diketahui, karena banyaknya pemakian kortikosteroid
pada pengobatan inisial KM.

Karena bila ada infiltrat, pemakaian kortikosteroid bisa membahayakan, maka harus dimulai dengan
suatu regimen antibiotika yang harus mengandung antara lain imipenem, tikarsilin atau sefalosporin
generasi terakhir.
Pemeriksaan serial kapasitas vital perlu dilakukan setiap 3 jam pada pasien KM, namun seringkali
pembacaannya agak sukar, karena juga ada kelemahan bulber yang bermakna pula dan juga adanya
fluktuasi yang besar selama sehari. Kapasitas vital bisa berkisar antara 15-25 mL/kg pada pasien yang
mulai masuk KM.
Walaupun demikian, suatu penurunan kapasitas vital yang melebihi 50% merupakan suatu indikasi
untuk intubasi dan ventilasi mekanis. Pasien dengan kelemahan bulber, hipoksemi, tes fungsi paru
yang marginal dan gejala klinis kelelahan, dahi yang berpeluh basah, takhikardia dan takhipnoe pada
setiap perubahan posisi harus di-intubasi secara efektif. Pasien harus mendapatkan intermittent
mandatory ventilation (IMV). Dengan standard mode ventilasi mekanis, maka FIO2 dapat dipasang
sekitar 0,5 dan frekwensi pernafasan kira-kira setelah > 2 minggu.
Pengobatan
8 – 10 per menit dengan volume tidal yang besar sekitar 10 to 15 mL/kg, dan PEEP sampai 5 cm H 2O.
Dengan setting ventilator seperti ini, maka kebanyakan pasien dengan KM harus merasa lebih enak di
bantu dengan ventilator ini. Trakheostomi harus ditunda, karena adanya kemungkinan pasien dilepas

22
dari ventilator dalam 2 minggu setelah terapi spesifik. Namun trakhoestomi harus dipertimbangkan,
bila pasien tetap tak ada kemajuan pada kelemahan bulber yang menetap dan terjadi aspirasi yang
berulang
Inhibitor AChE Obat ini bukan untuk mengobati hanya untuk test. Cara kerjanya adalah memblok
kerja dari asetilkholinesterase, sehingga memperpanjang efek asetilkholin dan menghasilkan perbaikan
Edrofonium (Tensilon). kelemahan. Suntikan edrofonium akan dengan cepat menghasilkan perbaikan
pada kebanyakan pasien penderita MG. Tensilon ini biasanya digunakan untuk tes mendiagnosa MG.
Suatu obat lain neostigmin juga dapat dipakai, namun sekarang obat ini sukar didapatkan lagi.
Peridostigmin (Mestinon) adalah obat yang biasanya dipakai. Seperti juga edofonium, maka
piridostigmin memblok asetilkholinesterase. Kerja obat lebih lama dan diberikan per oral dan toleransi
lebih baik. Kombinasi dari kehilangan responsif terhadap obat dan progresivitas penyakit dapat
menyebabkan kehilangan efek piridostigmin pada dosis-dosis yang bisa di tolerir oleh pasien.
Infus priridostigmin i.v. 1-2 mg/jam telah dipakai pada pasien selama krisis. Berrouschot (1997)
mengemukakan hasil suatu studi retrospektif yang kecil, dimana pasien dengan infus piridostigmin i.v
menunjukkan hasil yang sama dengan plasma excharge. Namun harus diingat, bahwa beberapa pasien
mengalami aritmia kardial yang bermakna dan kadang-kadang fatal sewaktu menerima infus
piridostigmin i.v.
Inhibitor AchE juga bisa menyebabkan sekresi yang berlebihan, yang akan menghalangi pemberian
makanan (feeding) atau endotracheal tubes, dan menyebabkan penyumbatan oleh mukus dan
menyebabkan atelektasis.
Overdosis dengan inhibitor AchE juga bisa menyebabkan bertambahnya kelemahan dan juga
menyebabkan sukarnya menilai respons pasien terhadap terapi lain dan beberapa ahli juga
mengemukakan bahwa suatu periode withdrawal dapat meninggikan sensitivitas pasien terhadap obat
ini.
Oleh karena alasan ini maka kebanyakan ahli menganjurkan menghentikan pemberian inhibitor AchE
pada pasien dengan KM dan memberikannya kembali secara oral, bila pasien menjadi lebih kuat dan
akan dilakukan ekstubasi (Oosterhuis 1997 Mayer 1997, 1998, Rieder 1995). Sebaiknya dimulai
kembali dengan dosis rendah dan ditingkatkan sampai dosis yang jelas memberikan suatu kemajuan
(benefit).
Pemberian mestinon pada KM masih selalu diperdebatkan. Bila pasien mempunyai sekresi pulmoner
yang kental, kramp abdominal, diare dan banyak berkeringat, maka mestinon harus dihentikan selama
kira-kira 2 minggu atau lebih cepat bila infiltrat pulmoner telah hilang, penghentian secara total dari
mestinon akan melemahkan pasien dan menunjukkan bahwa gejala-gejala kholinegik adalah hasil dari
pemberian mestinon yang tinggi sebelumnya.
Banyak pasien merasakan bahwa bertambahnya kelemahan setelah suatu libur mestinon (Mestinon
Holiday) sangat tidak mengenakan, sehingga sebaiknya hanya dihentikan, bila ada gejala kholinergik
yang bermakna dan terdapat infeksi pada paru. Pada pasien-pasien lain, maka sebaiknya pemberian
mestinon tetap pada dosis semula, diikuti peningkatan dosis yang bertahap dengan pertambahan 30
mg. Dosis maksimal mestinon belum ditentukan dengan pasti, namun pasien yang memakai 120 mg
mestinon secara oral setiap 3 jam (kecuali pada malam hari, supaya tidur cukup) mungkin merupakan
dosis maksimal. Adalah meragukan, bahwa dosis yang lebih besar dapat memberikan perbaikan. Harus
pula disadari bahwa efek maksimal dari prednison juga baru tercapai setelah 6 minggu pemberian.

Injeksi Prostigmin

Plasma exchange / plasmaferesis adalah imunoterapi yang paling sering digunakan untuk KM atau
pada pasien-pasien MG yang sangat lemah sebelum dilakukan timektomi. Pada prosedur ini maka
plasma di ambil dan diganti dengan plasma yang telah dimurnikan dari oto-antibodi dan dapat
menghasilkan perbaikan sementara pada gejala-gejala, namun adalah terlalu mahal untuk pengobatan
jangka panjang.
Dikatakan, bahwa plasma excharge memberikan kemajuan yang cepat dan segera pada 75% pasien
MG dengan kelemahan yang berat, walaupun sebenarnya belumpernah ditunjukkan, bahwa akan
memperpendek lamanya waktu KM dan/atau morbiditas maupun mortalitas yang berhubungan

23
dengannya. Biasanya 2 – 3 liter plasma diangkat 3 kali seminggu sampai terlihat kemajuan yang
bermakna.
Tanda-tanda kemajuan biasanya terlihat pada plasma exchange ke 3 atau 4 dan kebanyakan pasien
memerlukan total 5 -6 kali plasma exchange. Kemajuan terlihat trasient dan hanya bertahan selama
beberapa minggu, kecuali bila plasma excharge dilanjutkan atau mulai diberikan bentuk lain
imunosupresi seperti kortikosteroid.
Setelah ventilator dipasang, maka plasmaferesis bisa dimulai, dan dianjurkan pemberian 5 kali untuk 2
hari yang berturut-turut, lalu diikuti dengan 3 x pada hari yang selang seling. Kortikosteroid sampai
dosis (60 mg/hari) harus mulai diberikan dan di lanjutkan selama paling sedikit 4 minggu.
Efek dari plasmaferesis biasanya lebih cepat dan sudah dapat terlihat dalam minggu pertama. Bila
tidak terlihat perubahan yang jelas pada plasmaferesis, maka dapat diberikan IVIg (imunoglobulin
intervena) dengan dosis 0.4 g/kg selama 5 hari berturut-turut. Ada beberapa pasien yang tidak ada
respons dengan plasmaferesis bereaksi sangat baik terhadap IVIg.
Komplikasi yang terjadi akibat prosedur ini adalah :
1. hipotensi, yang dapat di obati dengan infus volume expander.
2. paresthesia yang bisa diobati dengan suplementasi kalsium. Bila tak ada
akses perifer, maka komplikasi lain sebagai akibat central line
placement bisa terjadi, seperti trombosis, pneumotoraks dan infeksi dan
harus diperhitungkan dalam risk-benefit.
Plasma exchange / plasmaferesis sebaiknya digunakan sebagai first-line therapy pada semua pasien
dengan KM, kecuali bila ada hipotensi yang berat atau infeksi atau merupakan kasus yang tidak bagus
untuk peripheral central line placement.

IVIg (Intravenous immunoglobulins)


Pemakaian IVIg juga dapat memulihkan kekuatan motorik pada pasien MG. Gajdos (1997)
mengemukakan bahwa IVIg sama efektifnya dengan plasma excharge pada pengobatan pasien dalam
KM, namun mayer (1998) mengemukakan bahwa tidak ada perbaikan pada pemberian IVIg, namun
ada respons dengan plasma excharge.
Dengan pemberian IVIg dengan dosis 2g/kg bb selama 2 – 5 hari, maka diharapkan ada perbaikan
dalam 1 minggu.
Pendapat lain adalah bahwa keuntungannya pemberian IVIg adalah : tidak memerlukan alat yang
khusus dan dosisnya pada MG biasanya kecil, hanya 400 mg per kg/hari selama 5 hari berturut-turut.
(literature terakhir, dosis 2x)
Seperti juga pada plasmaferesis, maka perbaikan biasanya transient dan bertahan selama beberapa
minggu sampai beberapa bulan, kecuali bila dilanjutkan atau diberikan bentuk lain imunosupresi.
Efek samping yang dijumpai antara lain adalah: nyeri kepala, mengigil, febris dan bisa dikurangi
dengan premedikasi asetaminofen dan difenhidramin khlorid. Jarang sekali timbul efek samping yang
lebih berat, misalnya gagal ginjal dan bisa terjadi anafilaksis terhadap komponen IgA. Dianjurkan
mengukur fungsi ginjal dan kadar IgA, dan pemberian tes dosis ringan dahulu sebelum infus yang
sebenarnya dan memonitor fungsi ginjal selama pengobatan. Dan biasanya IVIg diberikan pada
pasien-pasien yang tak cocok dengan plasmaferesis.
Kortikosteroid
Kostikosteroid adalah suatu bentuk imunosupresi yang kuat untuk pasien MG. Regimen yang memulai
dengan 60 – 100 mg prednison sehari menghasilkan remisi yang komplit pada 30% pasien dan
perbaikan pada 45%. Namun perbaikan baru akan optimal setelah beberapa minggu. Selain itu, 30%
pasien mengalami eksaserbasi gejala-gejalanya pada beberapa hari pada awal terapi dimulai, sehingga
para ahli biasanya menyimpan kortikosteroid samapi pasien mulai bereaksi terhadap plasmaferesis
atau IVIg. Biasanya pemberian plasmaferesis atau IVIg diteruskan, sambil mulai memberikan
prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari dan dilanjutkan sebagai terapi jangka panjang, akhirnya
digantikan dengan pemberian selang-seling (alternate-day schedule), lalu diturunkan (tapering off) ke
suatu dosis yang kecil. Pasien yang keluar dari krisis, harus diobservasi secara hati-hati selama
beberapa hari dalam suatu setting inpatient, setelah kortikosteroid dimulai untuk mengantisipasi bila
kelemahan memburuk.

24
Kortikosteroid biasanya merupakan kontra-indikasi pada pasien MG yang menderita diabetes yang
berat, ada infeksi yang sedang berjalan, atau ada osteoporosis yang berat. Tuberculosis juga sebaiknya
harus disingkirkan trlebih dahulu sebelum memulai terapi dengan kortikosteroid atau bentuk
imunosupresi khronik yang lain.
Walaupun ada kemungkinan perburukan gejala pada awal pemberian kortikosteroid, namun lebih baik
menghadapi hal ini pada fase dini penyakitnya, dimana bisa dilakukan tindakan-tindakan yang
adekwat.
Harus diketahaui, bahwa bila kortikosteroid diberikan pada pasien yang baru membaik dari krisis
inisial, dapat menyebabkan pasien harus di intubasi ulang lagi.
Bila terjadi perburukan yang besar pada pemberian kortikosteroid, harus dipertimbangkan
plasmaferesis ulang lagi. Kostikosteroid harus dikurangi dengan 10 mg setiap 3 minggu setelah 1
bulan atau dirubah selang-seling sehari, di ikuti dengan pengurangan yang bertahap ( gradual
tapering ). Terus waspada pada gastritis dan terus diingat bahawa tidak boleh memberikan obat yang
mengandung Mg.

Imunosupresan lain : Azatioprin sodium (Imuran), siklosporin (Neoral, Sandimmune, SangCya) dan
bentuk lain dari imunosupresan jangka panjang telah dipakai untuk mengobati MG, yang tidak
berespons terhadap, atau yang mempunyai toleransi rendah terhadap pemberian prednison dengan
dosis rendah dengan pemberian selang-seling. Hasil dari pengobatan ini biasanya tak terlihat untuk
beberapa minggu sampai beberapa bulan dan biasanya golongan ini bukan merupakan bagian penting
dari pengobatan pada KM : Memang bisa digunakan untuk menggantikan prednison, bila
kortikiosteroid merupakan suatu kontradikasi.

Timektomi : merupakan opsi lain yang penting untuk beberapa pasien MG dan sebaiknya dilakukan
setelah mencoba mengurangi kelemahan pasien terlebih dahulu. Timektomi sebetulnya
direkomendasikan untuk semua pasien yang mempunyai thymus persistent, hyperplasia thymus dan
thymoma dan juga dianggap sebagai pengobatan inisial yang baik pada penderita MG dengan
kelemahan umum yang usianya kurang dari 60 tahun, walaupun tidak mempunyai timoma. Hal ini
akan dibicarakan lebih lanjut dalam penatalaksanaan jangka panjang.
Kadang-kadang pun timektomi bisa dianjurkan pada pasien yang usianya lebih dari 60 tahun. Kira-kira
30% pasien MG yang menjalani timektomi akan mengalami remisi klinis dan 50% yang lain akan
mengalami sedikit perbaikan, namun harus diingat bahwa perbaikan memerlukan waktu lama dari
beberapa bulan sampai beberapa tahun. Operasi timektomi memerlukan perawatan di rumah sakit
selama beberapa hari dan suatu periode penyembuhan selama beberapa minggu.
Pasien yang memburuk MG setelah postoperatif bisa diberikan plasmaferesis dan dosis mestinon yang
ditambah. Nyeri postoperatif akibat pembukaan thoraks setelah timektomi harus diatasi dengan baik
dan kerusakan pada n phrenicus, walaupun jarang, dapat diatasi dengan pemakaian pacer.
Pada fase postoperatif perlu diberikan perawatan pulmoner yang agresif, bersamaan dengan pompa
analgesik untuk mengurangi nyeri (patient-controlled analgesic pumps) .
Morfin secara epidural bisa diperlukan pasien dengan nyeri postoperatif yang bermakna. Adanya
problema pernafasan setelah operasi juga bisa menandakan adanya pembentukan suatu
pneumothoraks.
Pasien yang tidak bisa menelan setelah operasi harus di ubah pengobatannya ke neostigmin bromid
secara i.v. Dosis 60 mg mestinon oral adalah setara dengan 2 mg iv.
Pengobatan alternatif dengan pemberian Nestigmin metilsulfat (Prostigmin) 0.5 mg secara iv dapat
dipertimbangkan pula.

Komplikasi
Terdapat 4 jenis komplikasi yang berhubungan dengan perawatan yang lama pada krisis miastenia
(KM) yaitu : Atelektasis, infeksi dengan C difficile, anemia yang bermakna dan penyakit jantung yang
kongestif . Bila komplikasi bertambah berat, perlu diobati secara dini dan progresif.

Penatalaksanaan jangka panjang

25
Pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang dramatis setelah penatalaksanaan KM yang baik,
mungkin harus diobati dengan imunosupresan lain, a.l. siklosporin A dengan dosis inisial 5 mg/kg
dibagi dalam 2 dosis. Namun banyak pasien menghentikan pemakaian siklosporin, karena efek
sampingnya, terutama hipertensi dan nefrotoksisitas.
Pengalaman baru dengan obat imunosupresif lain yaitu micofenolat mofetil (CellCept), memuaskan
dengan kejadian neutropeni yang jarang dan hampir tak ada hipertensi. Obat-obat lain sebagai
alternatif untuk jang panjang adalah azathioprin 2 mg/kg/hari, yang seringkali dikombinasi dengan
kortikosteroid.
Timektomi masih merupakan tindakan yang penting pada pasien dengan MG dan beberapa penyelidik
berpendapat bahwaperjalanan penyakit MG tidak bisa dirubah secara dramatis tanpa tindakan ini
dilakukan. Timektomi dilakukan secara trans-sternal.
Namun maih diperlukan uji klinik yang baik yang dilakukan secara acak untuk membuktikan efek
jangka panjangnya, sebab beberapa penyelidik lain mengemukakan pula bahwa ada remisi spontan
pada MG, malahan juga remisi jangka panjang yang permanen.
Sebaiknya dilakukan timektomi trans-sternal dan pengangkatan timus menghasilkan remisi permanen
sampai 40%, yang diawali sejak 6 bulan. Rekurensi timoma dengan cara ini sangat jarang terjadi dan
rekurensi terjadi karena transformasi menjadi suatu timoma yang malignan juga sangat jarang.
Penatalaksanaan secara preoperatif memerlukan kewaspadaan terhadap pemakaian anestesi umum dan
juga tidak boleh diberikan inhibitor antikholinesterase pada pagi hari operasi.
Pemakaian relaksan otot (nondepolarizing muscle relaxants) harus dihindari dan harus digunkan
atrakurium karena lebih bisa di ramalkan eliminasinya.
Penatalaksanaan pernafasan secara jangka panjang harus dilakukan pada pasien yang berat
penyakitnya, yang tidak ada respons terhadap pemakaian obat-obatan imunosupresif yang multipel.
Kadang-kadang perlu dilakukan trakheostomi dan pernafasan bisa ditunjang dengan alat (BIPAD),
yang bisa memberikan hidup yang lumayan nyaman dan bisa berguna untuk weaning pula.

Prognosis
Rerata hospitalisasi dari krisis miastenia (KM) adalah 1 bulan. Biasanya setengahnya dijalankan di
ICU dan intubasi 25% pasien sudah bisa di ekstubasi pada hari rawat ke 7, 50 % pada hari ke 13 dan
75% pada hari ke 31. Faktor risiko untuk intubasi yang lama termasuk pasien yang berumur lebih dari
50 tahun, sewaktu pre-intubasi kadar karbon dioksid melebihi 30 mg/dL, dan vital capacity tertinggi
adalah kurang dari 25 mL/kg selama minggu pertama dilakukan intubasi.
Thomas (1997) mengemukakan bahwa 73 episode krisis, risikonya terjadinya intubasi yang lama (> 2
minggu) adalah 10%, bila tidak dijumpai factor-factor risiko diatas, dan 20% pada yang mempunyai 1
faktor risiko dan 50% bila ada 2 faktor risiko dan 90% bila dijumpai 3 faktor risiko.
Lamanya intubasi adalah suatu prediktor yang penting dari keluaran fungsional (functional outcome)
setelah keluar dari krisis. 77% pasien yang diintubasi selama lebih dari 2 minggu, mempunyai suatu
ketergantungan fungsional setelah keluar dari rumah sakit dibandingkan dengan 36% pasien yang di
intubasi kurang dari 2 minggu.
Kira-kira seperempat penderita KM dapat lepas dari ventilator dalam seminggu, 50% dalam 2 minggu,
75% dalam sebulan. Kira-kira sepertiga pasien KM akan mengalami suatu krisi yang kedua.
Angka kematian selama dirawat unuk krisis miastenia (KM) telah menurun dari sekitar 50% pada awal
1960-an menjadi antara 3-6 % saat ini. Dengan angka kejadian krisis miastenia (KM) yang stabil
selama 30 tahun terakhir ini, maka penurunan angka mortalitas mencerminkan kemajuan dalam
penatalaksanaan (assessment and management) di ICU. Dengan support ventilasi yang baik, maka
prognosis KM adalah baik dengan angka kematian sekitar 5%

NEUROPATI DIABETIKA & PENATALAKSANAANNYA


Neuropati diabetika merupakan suatu gangguan yang mengenai saraf, yang disebabkan oleh diabetes.
Bila menderita diabetes lama, maka terjadi kerusakan pada saraf diseluruh badan. Neuropati
menyebabkan kesemutan dan kadang-kadang nyeri dan kelemahan ditangan, lengan, kaki, tungkai dan
juga bisa terjadi sindroma terowongan karpal. Juga bisa terjadi gangguan pada system organ, termasuk
traktus digestivus,jantung dan organ seks. Penderita dibetes bisa mengalami gangguan pada saraf pada
setiap waktu, namun risiko akan menjadi lebih besar, bila menderita diabetes lebih lama.

26
Sekitar 50% 1 (60-70%) penderita diabetes menderita suatu bentuk neuropati, namun tidak semuanya
mempunyai gejala. Persentase tertinggi neuropati diabetika terjadi pada penderita yang telah menderita
diabetes lebih dari 25 tahun.
Neuropati diabetika juga lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan gula darah tidak terkontrol,
kadar lipid darah yang tinggi, tekanan darah tinggi, berat badan berlebihan dan yang berumur lebih
dari 40 tahun.
Harus diingat, bahwa gangguan saraf perifer yang berat pada diabetes merupakan penyebab yang ikut
banyak menentukan dilakukannya amputasi pada eksremitas inferior.
Definisi neuropati diabetika (Medline NLM definition of Diabetic Neuropathies) Merupakan suatu
gangguan pada saraf perifer, otonom dan sarf cranial yang ada hubungannya dengan diabetes militus.
Keadaan ini biasanya disebabkan oleh kerusakan mikrovaskuler yang disebabkan oleh diabetes yang
meliputi pembuluh darah yang kecil-kecil yang memperdarahi saraf (vasa nervorum). Keadaan yang
relatif biasanya terjadi pada neuropati diabetika adalah parese N.II, mononeuropati multipleks,
amiotrofi diabetika, painful neuropathy, neuropati otonom dan neuropati torako-abdominal.
Definisi paling sederhana dari neuropati diabetika yang dipakai untuk praktek sehari-hari disetujui
pada suatu International Consensus Meeting for the Outpatient Management of Neuropathy dan
disebutkan sebagai “ adanya gejala atau tanda dari disfungsi saraf perifer pada penderita diabetes,
setelah eksklusi penyebab-penyebab yang lain ”.
Neuropati diabetika dibagi dalam berbagai sindrom, dimana setiap jenis mempunyai suatu pattern
tertentu dari saraf perifer yang terkena dan seringkali terjadi sindrom yang multipel dan overlapping
dari gejala-gejala sindrom yang berlainan. Secara historis neuropati dianggap sebagai suatu akibat
daripada penyebab dari diabetes (Marchal de Calvi’s 1864 observations).

Patofisiologi
Dasar patofisiologi penyebab neuropati pada diabetes belum dimengerti seluruhnya dan terdapat
banyak hipotesis, dan pada saat ini dianggap suatu proses yang multifaktorial/ kombinasi dari
berbagai faktor. Berikut ini beberapa teori yang banyak diterima yaitu :
 Teori Metabolik
 Teori Neurovaskuler / Vaskuler (iskemik-hipoksik)
 Teori Oto-imun
 Teori perubahan support neurotropik (Altered neurotrophic support theory)
 Teori laminin
 Gangguan mekanis
 Faktor keturunan (inherited traits)
 Faktor cara hidup (lifestyles).
 Gangguan pada proses perubahan asam lemak esensial (essential fatty acid / EFA) menjadi
asam gama-linoleik (gamma-linolenic acid (GLA).

Teori Metabolik
Teori ini mengemukakan, bahwa hiperglikemia menyebabkan kadar glucose intraseluler yang
meningkat, sehingga terjadi kejenuhan (saturation) dari jalur glikolitik yang biasanya digunakan
(normally used glycolytic pathway). Glukosa yang berlebihan di alirkan ke jalur poliol (polyol
pathway) dan diubah menjadi sorbitol dan fruktosa oleh enzim aldose reduktase dan sorbitor
dehidrogenase. Penumpukan dari sorbitol dan fruktosa menyebabkan mengurangnya mioinositol dalam
saraf, menurunnya aktivitas membrane Na+/K+-ATPase, terganggunya transport akson dan
penghancuran struktur saraf (structural breakdown of the nerve) sehingga menyebabkan menurunnya
kecepatan hantar saraf. Dengan ini jelas bagaimana inhibitor aldose reduktase bekerja dan
memperbaiki kecepatan hantar saraf.

Teori Neovaskuler / Vaskuler (iskemik-hipoksik)


Menurut teori ini, maka terjadi iskemia endoneurial karena meningginya resistensi endoneurial-
vaskuler terhadap darah yang hiperglikemik. Berbagai faktor metabolik termasuk pembentukan dari
produk akhir glikosilasi yang lanjut (formation of advanced glycosylation end products) juga

27
memegang peranan sampai terjadi kerusakan kapiler dan meng-inhibisi transport aksonal dan aktivitas
Na+/K+-ATPase sehingga akhirnya terjadi degenerasi akson. Semua ini juga terjadi karena kerusakan
pada pembuluh darah, yang membawa oksigen dan nutrient ke saraf.

Teori Auto-imun
Anggapan, bahwa neuropati auto-imun merupakan mekanisme yang menyebabkan terjadinya
neuropati diabetika, karena menyebabkan inflamasi pada saraf selalu menarik perhatian. Neuropati
oto-imun bisa terjadi karena perubahan imunogenik dasi sel endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat
menerangkan, mengapa penggunaan imunoglobulin intravena (IVIg) bisa berhasil untuk mengobati
neuropati diabetika.

Teori Perubahan Support Neurotropik (Altered neurotophic support theory)


Faktor neurotopik penting untuk mempertahankan, pembentukan dan regeneasi dari elemen-elemen
yang responsif dari sitem saraf. Nerve growth factor (NGF) merupakan yang telah paling banyak
diselidiki. Protein ini memperbaiki survival dari factor-faktor simpatetik dan small fiber, yang berasal
dari neural crest di system saraf perifer. Pada hewan yang menderita diabetes, baik produksi dan
transport dari NGF terganggu Anti-oksidan dapat dipakai untuk meningkatkan efek NGF.

Teori laminin
Laminin adalah suatu glikoprotein heteromerik, kurariform yang besar dan terdiri dari suatu rantai alfa
yang besar dan 2 rantai beta yang lebih kecil, yaitu beta 1 dan beta 2. Laminin memperbaiki ekstensi
neurit dengan jalan kultur neuron. Bila terjadi kekurangan ekspresi dari gen laminin beta 2 dapat
terjadi neuropati diabetika.

Gangguan mekanis pada saraf : seperti sindrom terowongan karpal


Faktor keturunan (inherited traits) yang membuat saraf lebih rentan
Faktor cara hidup (lifestyles) seperti merokok dan alcohol.

Staging
Terdapat beberapa skor klinis nerologis untuk meng-ases tingkatan dari polineuropati diabetika,
termasuk Neuropathy Impairment Scale (NIS), Vibration Detection Threshold (VDT), Code Detction
Scale (CDT) dan Heel Pain (HP), namun secara umum biasanya dipakai staging.
Ada beberapa tingkat staging neuropati diabetika sbb :
 NO - > tak ada neuropathy
 N1a - > neuropati asimptomatik yang dideteksi dengan abnormalitas KHS paling sedikit di 2
saraf
 N1b - > N1a + pemeriksaan neurologis yang abnormal
 N2a - > Simptomatik neuropati diabetika yang ringan dengan gejala sensorik, motorik atau
otonom dan pasien masih bisa berjalan diatas tumit.
 N2b - > neuropati diabetika yang simptomatik yang berat (seperti pada N2a, namun pasien
tidak mampu untuk berjalan diatas tumit)
 N3 - > polineuropati diabetika yang menyebabkan cacat (disabling).

Physical
 Neuropati diabetika biasanya dimualai sebagai suatu disfungsi umum serabut saraf perifer
yang asimptomatik. Biasanya disfungsi dini yang paling sering ditemukan adalah kecepatan
hantar saraf yang abnormal atau penurunan respons denyut jantung terhadap nafas dalam
atau terhadap tes valsalva.
o Tanda klinis pertama yang biasanya timbul bersamaan dengan menurunnya kecepatan
hantar saraf adalah menurunnya / hilangnya refleks tumit atau menurunnya / hilangnya
sensasi vibrasi pada jari-jari kaki.

28
o Bla penyakit berlanjut, akan timbul rasa nyeri dengan derajat yang berbeda-beda,
gangguan sensorik pada jari-jari kaki, kaki dan tungkai distal, gangguan refleks
fisiologis disertai kelemahan otot-otot kecil dan kaki.
 Diperlukan 5 kriteria untuk menetapkan diagnosa polinerupati diabetika :
o Pasien menderita diabetes mellitus berdasarkan kriteria National Diabetes Data Group
o Diabetes mellitus telah menyebabkan hiperglikemia khronis untuk waktu yang lama.
o Pasien terutama menderita polineuropati yang predominan distal sensorimotorik pada
ekstremitas bawah
o Retinopati diabetika atau nefropati hampir sama dengan polineuropati
o Kausa lain dari polineuropati sensorimotorik bisa disingkirkan.
Pada DM tipe 1 (IDDM), polineuropati distal biasanya terjadi setelah hiperglikemia khronis untuk
waktu yang lama. Sebaliknya pada DM tipe 2 (NIDDM), terjadinya setelah beberapa tahun adanya
kontrol gula darah yang kurang baik dan kadang-kadang malahan neuropati diabetika sudah ditemukan
pada waktu ditegakkan diagnosa DM.
 Karena neuropati diabetika bisa timbul dalam berbagai bentuk gejala sensorik motorik dan
otonom, harus dibuat suatu daftar yang terstruktur untuk anamnesia.
o Gejala sensorik bisa merupakan gejala negatif atau positif, difus atau lokal.
Gejala sensorik yang negatif adalah rasa tebal, tak merasa (deadness) gangguan
berupa sarung tangan / kaus kaki, seperti berjalan diatas tongkat jangkauan (stilts) dan
kehilangan keseimbangan terutama bila mata ditutup dan luka-luka yang tidak terasa
sakit.
Gejala yang positif adalah rasa seperti terbakar, nyeri yang menusuk, rasa yang seperti
kesetrum (electric shocklike feelings), rasa kencang dan hipersensitif terhadap raba
halus.
o Gejala motorik dapat menyebabkan kelemahan yang distal, proksimal atau fokal.
Gejala motorik distal termasuk gangguan koordinasi halus dari otot-otot tangan, tak
dapat membuka kaleng atau memutar kunci, memukul2 kaki dan lecetnya jari kaki.
Gejala kelemahan proksimal adalah gangguan menaiki tangga, kesukaran bangun dari
posisi duduk atau berbaring, jatuh karena lemasnya lutut dan kesukaran mengangkat
lengan diatas pundak.
o Gejala otonom dapat berupa gangguan sudomotorik (kulit kering, keringat yang
kurang, keringat yang berlebihan pada area tertentu), gangguan pupil (gangguan
adaptasi pada keadaan gelap, sensitif terhadap cahaya yang terang), gangguan
kardiovaskuler (kepala terasa enteng pada posisi tertentu, pingsan), gangguan pada
miksio (urgency, inkontinensia, menetes), gastrointestinal (diare nocturnal, konstipasi,
memuntahkan makanan yang telah dimakan) dan gangguan seksual (impotensi dalam
ereksi dan gangguan ejakulasi pada pria dan tak bisa mencapai klimaks seksual pada
wanita).
 Klasifikasi neuropati diabetika yang diterima secara umum adalah pembagian luas dalam
neuropati yang simetris dan asimetris. Gejala biasanya dapat timbul pada setiap derajat
gangguan neuropati atau malahan tidak timbul sama sekali. Terjadinya gejala tergantung dari
lamanya terkena hiperglikemi (total hyperglycemic exposure) dan lain-lain factor risiko.
Pemeriksaan yang teliti diperlukan untuk menetapkan diagnosa karena pada 5-10% pasien
terjadi gejala-gejala, yang bukan disebabkan oleh polineuropati diabetika.

Klasifikasi neuropati diabetika


Neuropati diabetika dapat diklasifikasi sebagai neuropati perifer, otonom, proksimaldan fokal dan
setiap tipe mengenai bagian badan yang berlainan dengan cara yang berbeda pula.
* neuropati perifer menyebabkan nyeri atau kehilangan rasa pada jari-jari kaki, kaki, tungkai, tangan
dan lengan.
* neuropati otonom menyebabkan perubahan pada pencernaan, usus, fungsi kandung kemih, respons
seksual dan perspirasi. Juga dapat mempengaruhi saraf-saraf yang mengurus jantung dan tekanan
darah, saluran pencernaan, traktus urinarius, organ seks, kelenjar keringat dan mata.

29
Neuropati otonom juga bisa menyebabkan tidak sadarnya adanya suatu hipoglikemia (hypoglycemia
unawareness of low blood sugar), dimana penderita tidak lagi bisa merasakan tanda-tanda akan
terjadinya hipoglikemia.
* Neuropati proksimal menyebabkan nyeri dipaha, panggul atau pada bokong dan bisa menyebabkan
kelemahan pada tungkai.
* Neuropati fokal menyebabkan kelemahan mendadak dari satu saraf atau kumpulan saraf yang
menyebabkan kelemahan otot atau rasa nyeri dan setiap saraf di badan dapat terkena dan bisa
mengenai mata, otot muka, telinga, pelvis, panggul bawah, paha dan abdomen.

Neuropati perifer
Jenis neuropati ini merusak saraf di lengan dan tungkai, dimana kaki dan tungkai biasanya lebih dulu
terkena daripada tangan dan lengan ; Pada banyak penderita diabetes dapat ditemukan gejala neuropati
pada pemeriksaan, akan tetapi penderita tidak merasakannya sama sekali.
Gejala-gejala biasanya dirasakan lebih berat pada malam hari. Neuropati perifer juga bisa
menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks, terutama releks tumit yang menyebabkan
perubahan cara jalan (gait/walking) dan juga bisa terjadi deformitas pada kaki seperti hammertoes dan
kollaps dari midfoot. Bisa terlihat luka-luka pada kaki (blister/sores) yang terjadi pada daerah yang
kurang rasa, karena kerusakan yang disebabkan oleh tekanan (pressure injuries) Bila tidak diobati
dengan segera, maka bisa terjadi infeksi sampai ke tulang dan bisa harus dilakukan amputasi. Berbagai
penyelidik berpendapat, bahwa kurang lebih setengah jumlah amputasi bisa dicegah, bila problema-
problema itu dapat di antisipasi secara dini dan diobati pada waktunya.

Neuropati otonom
Jenis neuropati ini mengenai saraf yang mengontrol jantung, mengurus tekanan darah dan mengatur
kadar gula darah. Juga mengenai organ dalam yang menyebabkan gangguan pada pencernaan,
pernafasan, miksio, respons seksual dan penglihatan. Selain itu sistem yang memperbaiki kadar gula
ke normal setelah terjadi suatu episode hipoglikemia bisa terkena, sehingga terjadi hilangnya tanda-
tanda peringatan terjadinya hipoglikemia seperti keringat dingin dan palpitasi (hypoglycemia
unawareness of low blood sugar).
 Tidak sadarnya adanya suatu hipoglikemia (hypoglycemic unawareness of low blood
sugar) : biasanya akan terjadi gejala-gejala seperti gemetar, bila gula darah menurun sampai
dibawah 70 mg%, sedangkan pada neuropati otonom hal ini tidak terjadi sehingga hipoglikemi
sukar dideteksi. Namun ada beberapa problema lain yang bisa menyebabkan ini, sehingga hal
ini tidak selalu berarti adanya kerusakan saraf.
 Jantung dan sistem sirkulatoir adalah bagian dari sistem kardiovaskuler, yang mengontrol
sirkulasi darah. Kerusakan pada saraf di system kardiovaskuler menggangu kemampuan badan
untuk mengatur tekanan darah dan denyut jantung sehingga tekanan darah dapat turun dengan
mendadak setelah duduk atau berdiri dan menyebabkan penderita merasakan kepala yang
enteng atau malahan pingsan.
Kerusakan pada saraf yang mengatur denyut jantung dapat menyebabkan denyut yang tetap
tinggi ( tidak naik dan turun ) sebagai respons terhadap fungsi badan yang normal dan pada
latihan / exercise.
 Sistem pencernaan : Kerusakan saraf pada saluran pencernaan biasanya menyebabkan
konstipasi. Selain itu bisa juga menyebabkan pengosongan lambung yang terlalu lambat
sehingga bisa menyebabkan gastroparesis. Gastroparesis yang berat menyebabkan nausea dan
muntah yang persisten, bertahak dan tidak nafsu makan. Gastropareis juga bisa menyebabkan
fluktuasi gula darah, yang disebabkan oleh pencernaan makanan yang abnormal. Kerusakan
pada oesophagus juga bisa menyebabkan kesukaran menelan, sedangkan kerusakan pada usus
menyebabkan konstipasi bergantian dengan diare yang sering dan tak terkontrol terutama pada
malam hari dan problema-problema ini dapat menyebakan turunnya berat badan.
 Traktus urinarius dan organ seks : Neuropati otonom seringkali mempengaruhi organ-organ
yang mengontrol miksio dan fungsi seksual. Kerusakan saraf menghalangi pengosongan
sempurna dari kandung kemih, sehingga bakteri dapat tumbuh dalam kandung kemih dan ginjal
sehingga dapat menyebabkan infeksi pada traktus urinarius. Bila saraf yang mengurus kandung
30
kemih terganggu dapat terjadi inkontinensia urin karena tidak merasakan kapan kandung kemih
penuh atau tidak bisa mengontrol otot-otot yang melepaskan urin. Neuropati juga akan
mengurangi respons seksual pada pria dan wanita, walaupun sex drive tidak berubah. Penderita
pria bisa mengalami gangguan ereksi atau bisa mencapai klimaks seksual tanpa ejakulasi dan
penderita wanita mengalami kesukaran lubrikasi, arousal dan orgasme.
 Kelenjar keringat : Neuropati otonom dapat mengenai saraf-saraf yang mengurus keringat.
Kerusakan saraf mencegah bekerjanya kelenjar keringat dengan baik, sehingga badan tak dapat
mengatur suhu dengan baik dan ini bisa menyebabkan keringatan yang banyak pada malam
hari atau sewaktu makan.
 Mata :
Neuropati otonom juga bisa menyebabkan gangguan pada pupil sehingga menjadi kurang
responsif terhadap cahaya dan mengalami penglihatan yang kurang jelas bila cahaya
dinyalakan dalam kamar yang gelap atau mengalami kesukaran mengemudikan kendaraan pada
malam hari.

Neuropati proksimal
Neuropati proksimal seringkali juga disebut pleksus neuropati lumbosakral, neuropati femoral atau
amiotrofi diabetika, yang dimulai dengan nyeri di paha, panggul, bokong atau tungkai, biasanya pada
satu sisi badan. Neuropati tipe ini lebih sering terjadi pada diabetes tipe 2 dan pada lansia.
Bisa terjadi kelemahan pada tungkai, yang bermanifestasi dalam kesukaran bangun dari posisi duduk
ke posisi berdiri tanpa pertolongan orang lain. Biasanya diperlukan pengobatan untuk kelemahan dan
nyerinya, dan lamanya periode penyembuhan (recovery period) tergantung dari tipe kerusakan saraf
yang terjadi.

Neuropati fokal
Kadang-kadang neuropati diabetika timbul mendadak dan mengenai saraf perifer terutama di kepala,
torso atau tungkai.
Neuropati fokal bisa menyebabkan :
* gangguan memfokuskan mata
* melihat dobel (double vision)
* nyeri dibelakang satu mata
* Bell’s palsy
* Nyeri hebat di punggung bawah atau pelvis
* Nyeri di bagian depan paha
* Nyeri di dada, perut atau samping badan
* Nyeri di sebelah luar atau sebelah dalam kaki
* Nyeri dada atau abdominal yang sering disalah diagnosa sebagai suatu penyakit
jantung, serangan jantung atau appendicitis.

Neuropati fokal biasanya menimbulkan nyeri dan tidak dapat diramalkan kapan terjadinya dan
biasanya terjadi pada lansia, namun biasanya akan membaik sendiri setelah beberapa minggu / bulan
dan tidak menyebabkan kerusakan dalam waktu yang lama.
Pada penderita diabetes biasanya juga terjadi kompresi saraf (entrapment syndromes) antara lain
sindrom terowongan karpal yang seringkali terjadi dan menyebabkan rasa tebal dan tingling di tangan
dan kadang-kadang disertai kelemahan atau nyeri. Bisa terjadi entrapment saraf lain yang
menyebabkan nyeri di sebelah luar atau dalam bagian kaki.
Pembagian lain dari Mount Sinai of Medicine adalah sbb: Polineuropati yang simetris mengenai saraf
yang multipel, secara difus dan simetris dan dibagi dalam :
* polineuropati yang distal simetris
* neuropati serabut kecil (Small-fiber neuropathy)
* neuropati serabut besar (Large-fiber neuropathy)
* neuropati diabetika otonom
* Diabetic neuropathic cachexia.

31
Neuropati yang asimetrik termasuk mononeuropati kranial yang tersendiri ataupun yang multipel,
misalnya neuropati n medianus pada pergelangan tangan (median neuropathy of the wrist [MNW]),
neuropati ulnaris di siku (ulnar neuropathy of the elbow [UNE]), monoradikulopati yang tersendiri
ataupun multipel, radikulopleksoneuropati lumbosakral dibetika (diabetic lumbosacral
radiculoplexoneuropathy [DLSRPN]), amiotrofi diabetika, radikuloneuropati torakolumbal diabetika
(diabetic thoracolumbar radiculoneuropathy [DTLRN]), dan otonomia diabetika. Sindrom-sindrom ini
dapat dibedakan dari bentuk polineuropati diabetika distal yang khas yang lain dari :
1. timbulnya secara akut atau subakut
2. perjalanan penyakitnya monofasik
3. hubungannya lebh banyak dengan diabetes tipe 2 (NIDDM) daripada tipe 1 (IDDM)
4. beberapa ada hubungan dengan adanya angitis inflamatoir dan iskemia seperti
DLSRPN
5. mempunyai hubungan yang lebih lemah dengan hiperglikemi (total hyperglycemic
exposure) dibandingkan dengan neuropati yang simetris.

Neuropati yang asimetris yang ditemukan pada DM antara lain adalah :


o Mononeuropati kranial
o Mononeuropati somatik
o Poliradikulopati diabetika
o Neuropati torakoabdominal
o Radikulopleksopati lumbosakral
o Neuropati akut dengan nyeri (Acute painful neuropathy / diabetic cachexia)
o Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP)

Gejala-gejala
Gejala-gejala tergantung dari tipe neuropati dan saraf mana yang terkena. Beberapa penderita malahan
tiak mempunyai gejala sama sekali, dan sebagian lain menderita rasa tebal, tingling, dan kadang-
kadang nyeri pada kaki merupakan gejala yang pertma kali timbul. Bisa terjadi keluhan nyeri dan rasa
tebal secara bersamaan.
Biasanya mula-mula gejala hanya ringan, dan karena kerusakan pada saraf terjadi selama beberapa
tahun, maka seringkali kasus-kasus yang ringan tidak terdeteksi untuk waktu yang lama. Gejala bisa
meliputi sistem saraf sensorik maupun motorik dan juga pada sistem saraf otonom. Pada beberapa
kasus, timbulnya nyeri bisa mendadak dan hebat, terutama bila menderita neuropati fokal.

Gejala-gejalanya adalah sbb :


* Gejala neuropati perifer antara lain adalah :
- rasa tebal atau kurang merasakan nyeri dan /atau suhu
- Rasa seperti geli / tingling, seperti terbakar atau seperti ditusuk-tusuk.
- Nyeri yang tajam atau kramp dan nyeri terasa di jari kaki, kaki, tungkai,
tangan, lengan dan jari tangan.
- Rasa berlebihan terhadap sentuhan
- Kehilangan keseimbangan dan koordinasi
- Kelemahan
- Mengecilnya otot-otot kaki atau tangan.
dan biasanya gejala-gejala ini dirasakan lebih berat pada malam hari
* Gangguan pencernaan, nausea atau muntah
* Diare atau konstipasi
* Rasa mabuk atau mau pingsan (dizznes / faintness) yang disebabkan oleh
menurunnya tekanan darah postural.
* Gangguan miksio
* Disfungsi erektil (impotensi) atau mengeringnya vagina
* Kelemahan.

32
Selain itu bisa terjadi beberapa gejala yang bukan merupakan gejala neuropati, namun sering
menyertainya yaitu :
* penurunan berat badan &
* depresi

Mencegah timbulnya neuropati diabetika


Cara terbaik mencegah timbulnya neuropati diabetika adlah dengan jalan mengatur kadar gula darah
pada level normal dan dengan mempertahankan kadar gula darah pada level yang aman akan
melindungi terjadinya kerusakan saraf di seluruh badan.

Diagnosa
Neuropati di diagnosa berdasarkan gejalanya dan pemeriksaan fisik, dimana harus di periksa tekanan
darah, denyut jantung, kekuatan otot, refleks, dan sensitivitas terhadap posisi, vibrasi suhu dan raba
halus.
Juga dapat dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk membantu menentukan tipe dan seberapa
beratnya kerusakan saraf yang terjadi :
* pemeriksaan kaki yang komprehensif : dengan cara memeriksa kulit, sirkulasi dan sensasi dengan
menggunakan monofilamen nilon; bila ada gangguan kehilangan sensasi protektif akan ada risiko
terjadinya luka pada kaki yang sukar sembuh.
* Juga perlu diperiksa pemeriksaan refleks dan vibrasi yang lebih sensitif dari rasa raba / tekanan.

Pemeriksaan penunjang
* Pemeriksaan Laboratorium
Harus diperiksa laboratorium dan menyingkirkan kausa-kausa lain dari neuropati, Semua hasil-
hasil harus normal kecuali gula darah dan HbA1c pada diabetes yang tidak terkontrol dengan baik
atau yang belum diketahui (undiagnosed diabetes).
* Eritrosit * leokosit & diff
* Elektrolit
* Gula darah puasa dan HbA1c (glycosylated hemoglobin) : HbA1c bisa tinggi, walaupun
belum ada korelasi yang berlangsung anatara beratnya peninggian HbA1c dengan beratnya
neuropati diabetika.
* Vitamin B-12 dan kadar asam folat.
* Thyroid-stimulating hormone dan tiroksin.
* LED (Erythrocyte sedimentation rate)
* Pemeriksaan Imajing
* MRI servikal, torakal dan / atau lumbal untuk menyingkirkan kausa sekunder dari neuropati.
* CT mielogram adalah suatu pemeriksaan alternatif untuk menyingkirkan lesi kompresi dan
keadaan patologis lain di kanalis spinalis pada radikulopleksopati lumbosakral dan neuropati
torakoabdominal.
* Imajing otak biasanya MRI, digunakan untuk menyingkirkan aneurisma intracranial, lesi
kompresi dan infark pada kelumpuhan n okulomotorius.
* Pemeriksaan elektrofisiologis
 Pemeriksaan elektrofisiologis dari fungsi saraf perifer adalah yang paling sensitif, dapat
dipercaya dan dapat di-ulang (reproducible), yang juga ada korelasinya dengan penemuan
morfologis pada biopsy saraf. Walaupun bisa ditentukan dan menjumlah disfungsi saraf
secara kuantitatif, kelainan yang ditimbulkan tidak khas untuk diabetes, namun untuk
neuropati pada umumnya.
 Beberapa skor, yang mengkombinasikan nilai klinis, kuantitatif, sensorik dan
elektrofisiologis, seringkali digunakan pada penyelidikan perjalanan penyakit dan
efektivitas. Contohnya adalah Neuropathy Impairment Score in the Lower Limbs +7 dan
Michigan Diabetic Neuropathy Score. Pada yang terakhir, mula-mula pasien diperiksa
dengan suatu kwestioner sederhana dan pemeriksaan klinis dan skor yang abnormal, di-ases
lebih lanjut dengan pemeriksaan neurologist yang lebih teliti dan pemeriksaan
elektrofisilogis.

33
 Elektromiografi (EMG) dan Kecepatan Hantar Saraf (KHS/NCV)
 KHS motorik di montor dengan amplitudo dari CMAP (Componed muscle action
potentials) atau diukur kecepatan hantar saraf motorik-nya. Kelainanan hantaran saraf
menggambarkan kehilangan serabut saraf yang bermielin yang berdiameter besar dan
biasanya tungkai lebih terkena daripada lengan. Hal ini mencerminkan degenerasi
serabut saraf berdiameter besar, yang tergantung dari panjangnya saraf.
 KHS motorik tak boleh menurun lebih dari 50% dibandingkan dengan rerata normal (
normal mean ) ; bila menurun lebih banyak lagi, harus dicari kausa lain; juga tak boleh
ada counduction block.
 Kelainan pada kecepatan hantar sensorimotorik dapat ditemukan pada pasien diabetes,
walaupun secara klinis belum ada gejala polineuropati distal simetris. Abnormalitas
kecepatan hantar saraf umumnya ditemukan di saraf-saraf sensorik (n suralis, n
peroneus dan n medianus).
 Sensory nerve action potentials (SNAP) menunjukkan amplitudo yang menurun, atau
tidak ada respons sama sekali / menurunnya kecepatan ditemukan di n peroneus.
Respons lambat (F waves, H refleks n tibialis) memanjang atau tidak timbul.
Secara umum ini menggambarkan perubahan patologis primer dari suatu degenerasi
aksonal.
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) memeriksa transmisi elektris melalui saraf
dan penurunan KHS menandakan adanya kerusakan pada saraf, dan dengan
pemeriksaan KHS dapat diperiksa berbagai sara di tungkai dan lengan.

Elektromigrafi (EMG) menunjukkan bagaimana respons otot terhadap signal


elektris yang di transmisi oleh saraf dan ini dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan KHS. Pemeriksaan EMG pada otot-otot distal pada ekstremitas
bawah menunjukkan adanya denervasi dalam bentuk PSW (positive sharp
waves) dan fibrilasi (spontaneous discharges). Perubahan re-inervasi seperti
unit potensial yang mempunyai amplitudo tinggi, duration yang panjang dan
polifasis mencerminkan adanya suatu gangguan yang khronis. Kelainan pada
otot-otot paraspinal dengan pemeriksaan dengan jarum menunjukkan
spontaneous discharges, yang ditemukan secara bilateral dan menunjukkan
adanya suatu poliradikulopati.
* Quantitative sensory testing (QST) menggunakan suatu repons terhadap
stimuli seperti tekanan, vibrasi dan suhu untuk memeriksa ada tidaknya
neuropati. QST ini makin sering digunakan untuk mengenal kehilangan
sensasi dan iritabilitas pada saraf yang berlebihan.

* Variabilitas denyut jantung : menunjukkan respons jantung terhadap nafas


dalam dan juga terhadap perubahan tekanan darah dan postur.

 USG / Ultasound menggunakan gelombang suara untuk menimbulkan image dari organ
dalam misalnya kandung kemih sehingga bisa menunjukkan bagaimana fungsi organ-organ
tersebut berfungsi setelah pengosongan.

 Biopsi kulit / saraf terutama untuk research. Biopsi saraf suralis pada saat ini jarang
dilakukan lagi, karena dianggap prosedur yang invasif dan tidak mengenakan dan mahal
dan ada problema untuk reproducibility dari tindakan tersebut dan juga karena tidak ada
patokan untuk prediksi dari abnormalitas yang ditemulan. Pada saat ini ada hal-hal baru
dalam bidang ini yaitu Skin punch biopsy dan immunohistochemical staining dari saraf
perifer, namun belum diketahui dengan pasti hasilnya.

34
Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa
Harus dibedakan antara terapi simptomatik dan yang bisa merubah progresivitas (lambat) dari
neuropati dengan atau tanpa mempengaruhi gejala-gejala.
Kontrol glikemik
Langkah pertama adalah menurunkan gula darah ke level yang normal untuk mencegah terjadinya
kerusakan saraf lebih lanjut; diperlukan monitoring gula darah, pengaturan diet, exercise dan obat-obat
anti-diabetika oral atau suntikan untuk mengontrol kadar gula darah. Walaupun gejala-gejala mula-
mula bisa memburuk pada waktu gula darah diturunkan, namun lama kelamaan dengan berjalannnya
waktu, penurunan gula darah ke level yang normal akan membantu mengurangi gejala neuropati. Perlu
ditekankan pula, bahwa control gula darah yang baik akan membantu mencegah terjadinya kerusakan-
kerusakan yang lebih lanjut dan memperlambat progresi dari gejala-gejala neurologist. Peubahan gula
darah yang naik turun dengan perubahan yang cepat dari hipoglikemia ke hiperglikemia dianggap
dapat memperburuk dan menyebabkan nyeri neuropatik. Sehingga stabilitas daripada nilai sebenarnya
dari control glikemik lebih penting untuk menghilangkan nyeri neuropatik. Kontrol gula darah yang
ketat bisa menurunkan risiko neuropati dngan 60% dalam 5 tahun.
Penatalaksanaan lebih lanjut tergantung dari tipe kerusakan saraf dan gejala-gejalanya.
Terapi medikamentosa untuk menghambat progresivitas (memperlambat) neuropati atau
memacu regenerasi saraf
Dengan atau tanpa memperngaruhi gejala-gejala dengan maksud menurunkan morbiditas dan
menghindari komplikasi.
Inhibitor aldose-reduktase (alresbin, sorbinil, tolrestat)
Walaupun telah ada sejak 30 tahun lamanya, namun hanya beberapa saja yang pada saat ini ada
dipasaran dan hanya di beberapa negara saja. Golongan obat ini memlok rate-limiting enzyme di jalur
poliol neuropati daripada memberikan symptomatic relief.
Asam alfa lipoik : (aLA) adalah suatu ko-enzim yang esensial untuk produksi energi dan merupakan
suatu anti-oksigen yang kuat yang me-recycle vitamin C, E dan juga anti-oksidan enzimatik yang
penting yaitu : glutation, yang juga anti-hiperglikemik (seperti juga exercise fisik) sehingga dapat
menurunkan glukosa sampai 50% bila diberikan dalam dosis 1200 mg iv per hari yang kebetulan juga
merupakan dosis maksimal sebelum timbul efek samping
Suatu keuntungan lain bila memakai aLA adalah bahwa ia juga menurunkan glycosylated hemoglobin
melalui penurunan level gula darah.
Ziegler et al (1995) 6telah membuat sautu uji klinis multisenter dengan control placebo pada 382
pasien NIDDM dan neuropati simptomatik dan melaporkan pengurangan gejala simptomatik secara
sementara dan sebuah uji klinik lain pada neuropati otonom juga ada efek obat ini untuk
memperngaruhi perjalanan disfungsi otonom.
Asam gama linolenik (GLA / Gamma-linolenic acid) : Tahap pertama dari metabolisme asan lemak
esensial asam linolenik terganggu pada diabetes dan gangguan ini dapat di bypass dengan pemberian
GLA. Beberapa uji klinik menunjukkan perbaikan klinis dan elektrofisiologis pada fungsi saraf perifer
bila pasien neuropati diberikan GLA dan beberapa uji klinik sedang berjalan, memberikan hasil yang
menjanjikan bila GLA dikombinasikan dengan obat-obat lain.

Nerve growth factor


Defisiensi NGF endogen, yang berguna untuk serabut sensorik dan otonom dan pemberian NGF
eksogen dapat berguna pada neuropati diabetika. Pada saat ini sedang dilakukan uji klinik dengan NGF
parental.

Metilkobalamin
Merupakan satu2nya derivate aktif dari vitamin B12 yang mempunyai efek merangsang proteosintesis
sel2 Schwann dan dengan jalan transmetilasi dapat menyebabkan mlelogenesis dan regenerasi akson
saraf dan memperbaiki transmisi sinaps.

35
Penanggulangan rasa nyeri
Untuk menghilangkan rasa nyeri, rasa seperti terbakar dan rasa tebal, dapat digunakan aspirin atau
obat anti inflamasi non steroid misalnya ibuprofen.
Pemakaian NSAID pada penderita penyakit ginjal harus sangat hati-hati.
Dapat digunakan suatu cream topical/patch yang mengandung kapsaisin terutama untuk nyeri yang
lebih terlokalisasi.
Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin, imipramin atau nortriplin .
Antidepresan trisiklik ini masih merupakan obat first-line untuk menghilangkan nyeri neuropatik dan
efektivitasnya yang telah di buktikan dengan uji klinik berhubungan dengan kadar obat dlam plasma.
Onset hilangnya nyeri secara simptomatik lebih cepat daripada efek anti-depresan-nya.
Obat anti konvulsan seperti karbamasepin, gabapentin, pregabalin, phenitoin dan lamotrigin dapat
dipertimbangkan untuk menghilangkan nyeri neuropatik dan gejala parestesi pada neuropati.
Kodein bisa juga diberikan untuk jangka waktu yang pendek untuk menghilangkan nyeri yang hebat.
Meksiletin yang biasanya digunakan untuk mengatur denyut jantung dikatakan juga efektif.
Terdapat berbagai cara non-medikamentosa untuk menghilangkan nyeri seperti TENS (trancutaneous
electronic nerve stimulation), yang menggunakan listrik untuk memblok signal nyeri, dan dapat pula
digunakan hypnosis dan latihan relaksasi, biofeedback dan akupuntur. Berjalan secara tertur atau
memakai kaus kaki elastic (elastic stocking) dapat pula mengurangi nyeri di tungkai.
Terapi secara tradisional dengan akupuntur dikatakan dapat memberikan hasil yang baik pada nyeri
neuropatik .

Pengobatan untuk disfungsi otonom


Untuk mengobati disfungsi ereksi pada pria harus disingkirkan dulu apakah ada penyebab hormonal.
Ada beberapa metode untuk mengobati disfungsi ereksi yang disebabkan oleh neuropati, seperti obat-
obatan, menggunakan alat vakum atau menyuntikkan obat kedalam penis, yang bekerja sebagai
vasodilator atau suntikan prostaglandin sebelum seks karena akan meninggikan aliran darah ke dalam
penis. Dapat pula digunakan suatu ring konstriktor atau penile sling.
Sampai saat ini terapi untuk impotensi dalam ereksi, karena penyebab yang non-vaskuler dan non-
psikologik adalah pemberian injeksi intrakorpal dari zat-zat vasoaktif seperti papaverin. Juga
sildenafil secara oral telah dipakai untuk disfungsi ereksi dengan berbagai kausa, termasuk diabetes.
Sildenafil adalah suatu inhibitor yang poten dan kompetetif dari enzim V cyclic guanosine
monophosphate-specific phosphodiesterase, yang merupakan predominan suatu isoenzim dalam
korpus kavernosa manusia.
Beberapa pelumas vagina dapat berguna pada wanita bila neuropati telah menyebabkan keringnya
vagina dan untuk mengobati problema arousal dan orgasme kadang-kadang perlu di konsulkan ke
ginekolog.
Glikopirolat merupakan suatu zat anti-muskarinik, yang bila dioles secara topical di daerah tertentu,
dapat menyebabkan pengurangan keringatan bila sedang makan.

Gangguan pada traktus urinarius


Bila ada infksi pada tractus urinarius harus diberikan antibiotika dan meminum banyak cairan akan
mencegah terjadinya infeksi yang berulang. Penderita dengan inkontinensia harus mencoba untuk
miksio pada waktu yang sering, misalnya setiap 3 jam, karena tidak bisa merasakan dan
memberitahukan kapan kandung kemih penuh.

Gangguan gastrointestinal
Untuk menghilangkan gejala ringan gangguan pencernaan akibat gastroparesis (gastroparesis-
indigestion), bertahak, nausea atau muntah, dianjurkan makan dengan porsi yang kecil dan sering dan
menghindari lemak / fat dan makan lebih sedikit serat / fiber. Bila gejala lebih berat, dapat diberikan
eritromisin untuk memacu pncernaan, metoklopramid untuk mengurangi rasa enek dan obat-obat lain
yang bisa mengatur pencernaan atau mengurangi sekresi asamlambung.
Untuk menanggulangi diare dan gangguan lain pada usus, kadang-kadang perlu diberikan antibiotik
seperti tetrasiklin atau obat-obatan lain yang memadai.

36
Rasa mabuk dan lemah
Duduk dan berdiri secara perlahan-lahan dapat mengurangi rasa enteng di kepala, rasa mabuk dan
pingsan yang berhubungan dengan gangguan pada tekanan darah dan sirkulasi. Meninggikan letak
kepala ditempat tidur dan memakai kaus kaki elastis (elastic stockings) juga bisa menolong. Beberapa
pasien merasa lebih enak bila diberikan diet garam tinggi dan hormon yang menahan sekresi garam
(salt-retaining hormones)

Perawatan kaki
Penderita neuropati harus memerhatikan dan merawat kakinya dengan seksama. Saraf yang menuju
kaki adalah saraf yang terpanjang diseluruh badan dan merupakan saraf yang paling sering terkena
neuropati. Hilangnya persaan di kaki berarti, bahwa bila ada lecet dan luka, tidak akan diketahui dan
dapat menjadi suatu ulkus atau mengalami infeksi. Problema dalam sirkulasi darah juga akan
meningkatkan risiko terjadinya ulkus pada kaki.
Lebih dari setengah jumlah amputasi ekstremitas bawah di USA terjadi pada penderita diabetes
(86000/tahun) dan diperkirakan bahwa setengah dari jumlah yang telah diamputasi itu dapat dicegah
bila dilakukan perawatan kaki yang benar dan hati-hati yaitu dengan cara-caranya sbb:
 Kaki harus dibersihkan setiap hari dengan menggunakan air panas dan sabun yang lembut.
Harus dihindari pembasahan kaki yang berlebihan dan harus menggunakan handuk yang lunak
dan kaki di keringkan secara hati-hati terutama diantara jari-jari kaki.
 Kaki dan jari kaki harus diperiksa setiap hari dengan mencari adanya lecet, luka potong,
kemerahan, pembengkakan dan terjadinya kalkus dsb. Diperlukan cermin atau bantuan orang
lain untuk memeriksa telapak kaki.
 Pembasuhan kaki dengan lotion, namun harus dicegah jangan digunakan antara jari kaki.
 Setelah mandi (bath / shower) pengerasan kulit dan kalkus harus di gosok dengan batu asah.
 Bila perlu : pemotongan kuku kaki setiap minggu dan dibentuk sesuai dengan jari kaki dan
pinggirnya dihaluskan dengan kikir.
 Harus selalu memakai sepatu atau sandal untuk melindungi kaki jangan sampai lecet dan kulit
harus dicegah jangan sampai terjadi iritasi, dengan jalan memakai kaos kaki yang tebal, lunak
dan tak ada jahitannya.
 Pemakaian sepatu yang cocok dan harus diperhatikan bagian dalamnya agar supaya tidak ada
ujung-ujungnya yang tajam dan dapat melukai kaki.
 Bila perlu harus ke dokter spesialis kaki = podiatrist.

Pengobatan secara nutrisional


Tujuannya dari pengobatan nutrisional adalah :
* Merubahnya karakteristik lipid dari sel darah sehingga lebih deformabel.
* Meng-induksi angiogenesis (meregenerasi kapiler, sehingga menghilangkan
konsekwensi hipoksia neural yang terus-menerus)
* Memacu pertumbuhan saraf baru (Encourage nerve growth)
* Menambah kapasitas transportasi oksigen secara menyeluruh (overall oxygen-
delivery capacity)
Telah diketahui sejak lama bahwa perubahan asam lemak esensial (essential fatty acid / EFA) menjadi
asam gama-linoleik (gamma-linolenic acid (GLA) terganggu pada penderita diabetes, yang disebabkan
oleh karena deficit produksi enzim delta 6-desaturase. Pada kasusu yang lebih berat, metabolisme EFA
terganggu pada 2 tempat yaitu juga ada gangguan pada enzim delta-5-desaturase, pada rangkaian
konversi yang lebih awah. Dengan demikian akan terjadi kekurangan GLA dan metabolit-nya yaitu
prostasiklin dan prostaglandin. Neuropati diabetika merupakan suatu penyakit yang progresif yang bisa
disebabkan oleh efek dari defisiensi khronik dari protasiklin dan prostaglandin, yang merupakan
sentrum dari patogenesis neuropati diabetika. Prostasiklin (PGI2) adalah duatu molekul protektif
dengan fungsi fisiologis yang multiple dan yang penting untuk sintesa PGI2 adalah suatu enzim
siklooksigenase (COX).

37
Terdapat 2 bentuk COX yaitu COX1 yang memproduksi prostasiklin dan prostaglandin yang bersifat
anti-inflamasi dan COX2 yang memproduksi tromboksan A2 (TxA2) dan beberapa prostaglandin yang
menyebabkan inflamasi.
Tujuan pemberian analgetika adalah mengurangi nyeri dan inflamasi dengan jalan menghentikan
produksi prostaglandin yang menyebabkan efek itu. Analgetika yang ideal adalah menginhibisi COX2,
namun meninggalkan COX1 tetap utuh. Namun kebanyakan “pain killer” merusak COX1 dan COX2
sehingga dengan demikian menghentikan produksi prostasiklin yang sangat diperlukan dannjuga
prostaglandin yang anti-inflamasi. Dengan demikian pemakaian analgetika tanpa batas dan tanpa
pemikiran yang baik justru menyebabkan suatu gangguan yang tidak disengaja pada jalur konversi
GLA ke PGI2, yang berguna untuk menghilangkan rasa nyeri, sehingga dengan demikian akan
menyebabkan neuropati-nya lebih buruk dengan menimbulkan suatu defisiensi prostasiklin.
Namun dengan pemikiran yang matang, penggunaan “pain killer” dapat diatasi dengan pengetahuan
yang cukup mengenai sifat analgetika tsb.
Aspirin, naproksen, indometasin, piroksikam dan acetaminophen mencoba memblok produksi,
prostaglandin yang menyebabkan nyeri, namun semuanya kecuali aspirin memblok semua yang
dihasilkan oleh COX, termasuk prostasiklin.
Dari semua analgetika yang dipakai, maka aspirin meng-inhibisi prostasiklin paling sedikit (3-4 jam)
dan piroksikam yang terbanyak (3-4 hari).
Namun hal ini dapat diatur sehingga menguntungkan, karena dengan memakan satu aspirin setiap 3
hari memaksimalkan produksi prostasiklin, dan mengurangi produksi COX2 prostanoid TxA2, yang
menyebabkan hipertensi dan mempunyai peranan terjadinya suatu penyakit vaskuler. Karena TxA2
( suatu metabolit EFA yang ikut diproduksi dengan prostasiklin ) bekernya antagonistic dengan
prostasiklin dalam kebanyakan efeknya, maka dengan demikian criteria produksi maksimal PGI2
(relative terhadap TxA2) terpenuhi.
Selain aspirin setiap 3 hari, maka bila diperlukan penanggulangan nyeri, dianjurkan untuk memakai
obat-obat non-siklooksigenase inhibotor misalnya tramadol untuk nyeri yang berat atau yang ideal
inhibitor COX2 seperti nimesulid, vioxx atau selekosib dan juga bisa dipakai indubufen atau sulindak
/ clinoril.
Bila mengingini obat yang lebih lunak dapat dicoba kurkumin (ekstrak tumerik)
Perlu ditekankan disini agar tidak menggunakan parasetamol / acetaminophen.
Karena kadar prostasiklin / prostaglandin sangat rendah pada penderita diabetes, maka eritrositnya
rapuh dan tidak bisa berlekuk-lekuk (unable to be deformed). Akibatnya adalah, bahwa dengan
demikian eritrosit yang mentransportasi oksigen ini tidak bisa masuk ke pembuluh darah kapiler yang
diameternya kecil dan tidak bisa di desak masuk kedalamnya (not able to be “squeezed” into them).
Dengan demikian, bila pembuluh darah mikro di dalam saraf tesebut tidak dapat menerima oksigen,
maka sel saraf akan mati. Hal itu terjadi pada neuropati, dimana hasilnya adalah suatu hipoksia
endoneurial yang merupakan penyebab yang sudah jelas dari neuropati diabetika. Gejala dini dari
proses ini mencakup berbagai derajat iritasi sampai nyeri, terutama pada ekstremitas, sedangkan gejala
yang lebih berat termasuk gastroparesis dan impotensi.
Bila metabolisme EFA terganggu dan suplementasi GLA juga tidak akan menyebabkan produksi dari
zat-zat yang diperlukan dalam jumlah yang cukup (GLA dan metabolit-nya yaitu prostasiklin dan
prostaglandin), maka dapat ditambahkan pentoksifilin. Walaupun pentoksifilin dan GLA mempunyai
efek ganda, namun sebaiknya dimulai dengan menggunakannya secara bersamaan, dimana pentosifilin
mempunyai efek yang lebih segera, sedangkan GLA lebih lambat, namun GLA, walaupu kerjanya
lebih lambat, mempunyai spektrum yang lebih luas dalam menanggulangi dfisiensi asam lemak
esensial yang diderita pasien diabetes. Pentoksifilin harus digunakan secara hati-hati dan bijaksana dan
sebaiknya dihentikan setelah GLA sudah cukup efeknya, yaitu dalam 2-3 bulan dan dalam jangka
panjang maka tentu lebih baik untuk memproduksi prostasiklin secara alamiah dengan memakan GLA.
GLA mempunyai spectrum efek yang lebih luas dan lebih alamiah, namun GLA dan pentoksifilin
menanggulangi neuropati diabetika melalui perlepasan prostasiklin.
Bila tidak ada persediaan dari kedua zat tersebut, maka ada obat-obatan lain yang meninggikan GLA
yaitu :
 ACE-inhibitors (ie: kaptopril, lisinopril, perindopril and ramipril)
 EPA (asam eikosapentaenoik – dari minyak ikan)

38
 Ekstrak Gingkgo Biloba (standardized, ie:EGB 761)
 Vitamin C
 Vanadium
ACE-inhibitors menurunkan tekanan darah, melalui efek perlepasan prostasiklin dan juga dipakai
pada penderita diabetes untuk prevensi terjadinya gangguan pada ginjal dan jantung.
Ginkgo Biloba (EGB) dapat juga digunakan sebagai substitusi pentoksifilin atau ditambahkan pada
pentoksifilin karena juga dapat memproduksi prostasiklin dan juga mempunyai efek tambahan sebagai
anti oksidan yang kuat yang efektif untuk mencegah retinopati dan mengobati degenerasi makuler.
Vanadium adalah insulin mimetik yang dapat menekanTNFa-induced insulin resistance secara
sempurna dan menyebabkan perlepasan prostasiklin.
Antioksidan :
Penderita diabetes menderita stress oksidatif yang bermakna, sehingga dapat menyebabkan komplikasi
pada diabetes, yaitu neuropati, gagguan kardiovaskuler dan renal. Kahler et al (1993) mengemukakan
bahwa DM adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan radikal bebas (free radical-associated
disease) dan pemakaian anti-oksidan 600mg asam tioktat, vitamin E 1200m atau selenium 100mcg
dapat menyebabkan regresi dari komplikasi diabetes.
Ziegler (1997) menunjukkan bahwa asam alfa-lipoik 200 mg 4 kali sehari per oral selama 4 bulan
mengurangi secara bemakna gejala-gejala neuropati otonom kardinal pada penderita NIDDM.
Garrett (1997) mengemukakan bahwa asam tioktat lebih unggul daripada nerve growth factor dalam
menginduksi support neurotopik.
Rudich (1999) menunjukkan bahwa sel yang diberikan asam alfa lipoik dilindungi terhadap resistensi
insulin yang diakibatkan oleh stress oksidatif (oxidative stress-induced insulin resistance).
Androne (2000) menyimpulkan bahwa terapi antioksidan dengan asam lipoik memperbaiki dan
memprevensi neuropati diabetika.
Badan mempunyai 4 mekanisme defensive terhadap stress oksidatif yaitu satu yang non-enzimatik
dan 3 yang enzimatik yaitu Superokside dismutase (SOD), glutathione peroksidase (GSH) dan
katalase.
Curcio (1995) menunjukkan, bahwa SOD dan GSH mencegah hyperglycemia-induced free radical cell
damage dan dapat membantu mengurangi komplikasi vaskuler pada diabetes.

Vitamin E
Vitamin E mempunyai efek sinergistis dengan GLA, sehingga melindungi prostasiklin dan
mengencerkan darah. Pada tekanan hiperglikemi, maka vitamin E dapat memperbaiki produksi PGI2
oleh dinding pembuluh darah vaskuler yang tertekan dan juga melindungi prostasiklin dan
mengencerkan darah. Vitamin E juga akan memperlebar pembuluh darah, juga kepiler-kepiler kecil
sehingga memperbaiki sirkulasi darah dan permeabilitas kapiler. Vitamin E mempunyai efek mengikat
oksigen sehingga mengurangi jumlah yang diperlukan dan juga mempunyai efek anti-koagulan pada
vena dengan jalan mencegah pembekuan platelet. Vitamin E juga dapat mencegah ruptur eritrosit dan
mempercepat penyembuhan luka. Vitamin E harus mengandung berbagai tokoferol, terutama d-gama
tokoferol selain daripada alfa tokoferol yang biasa, karena akan menyebabkan perlindungan terhadap
elektrofil yaitu radikal yang sangat reaktif (extremely reactive radicals) yang menyebabkan oksidasi
LDL cholesterol dan penyakit jantung koroner.
Ceriello (1991) mengemukakan bahwa dengan pemberian vitamin E 600mg/hari, glycosylated protein
menurun 21,6% dibandingkan dengan placebo pada IDDM; dan dengan dosis 1200mg/hari
pengurangan yang terjadi adalah 31,1% dibandingkan dengan placebo.

Asetil karnitin (Actyl – Carnitine / ALC)


Karnitin adalah suatu asam amino dan penyelidikan telah menunjukkan, bahwa asam amino ini dalam
bentuk ALC dapat berguna dalam pengobatan neuropati dan memperbaiki kerusakan neuron. Suatu uji
klinik yang tersamar ganda dengan placebo menunjukkan adanya pengurangan gejala yang bermakna
bila diberikan ALC 2x500 mg im/hari (Glaxo, Italy). Harus diperhatikan bahwa absorbsi ALCA per-
oral tidal ekuivalen dengan pemberian secara i.m.
Harus pula diketahui, bahwa hanya bentuk L dai karnitin sintetik yang bisa digunakan pada
pengobatan neuropati diabetika, Karena bentuk D-karnitin adalah kardiotoksik.
39
ALC jangan digunakan selama kehamilan atau laktasi.

Khromium (Chromium)
Khromium merupakan mikro-nutrien yang utama, yang membantu menstabilisasi kadar gula darah,
karena mempengaruhi absorbsi seluler dan menyebakan insulin secara lebih efektif, namun tidak
menyebabkan peningkatan produksi insulin oleh pankreas.
Efek terbesarnya adalah pada diabetes tipe II dan penderita diabetes harus memonitor kadar gulanya
secara lebih seksama bila menggunakan chromium karena biasanya kebutuhan insulin akan berkurang.
Biotin
Konsentrasi biotin pada penderita diabetes secara bermakna lebih rendah dibandingkan dengan orang
sehat yang normal dan biotin dalam dosis yang tinggi dapat dianjurkan pemberiannya pada penderita
diabetes untuk mencegah dan untuk terapi neuropati perifer.
Maebashi (1993) mendemonstasikan bahwa kadar gula darh pada pasienNIDDM yang diberikan biotin
9mg/hari menurundari 12.9 +/-2.6 mmol/I menjadi 7.1 +/-1.2 mmoI/I (232.2 +/- 46.8mg/dl sampai
127.8 +/- 21.6 mg/dI) setelah pemberian biotin selama 1 bulan. Kadar insulin dalam serum tidak
berubah, dan setelah penghentian biotin kadar gula dalam plasma kembali ke level asal. Pada suatu
studi jangka panjang kadar gula darah menurun dalam 2 bulan dan tetap dalam batas normal selama
lebih dari 4 tahun selama studi berlangsung dan tidak dijumpai efek samping.

Niasin
Niasin (vitamin B3) memperbaiki sirkulasi darah dengan jalan memperbaiki polaritas listrik dalam sel
darah dan melebarkan kapiler; juga ikut dalam metabolisme glukosa sehingga niasin penting untuk
fungsi sistem saraf. Harus diketahui bahwa bentuk “time release” dari niasin harus dihindari, karana
dapat menyebabkan gangguan pada hati.

Inositol & Taurin


Penderita diabetes menseksresi vitamin inositol secara berlebihan sehingga terjadi suatu kekurangan
inositol. Inositol mempunyai peranan dalam metabolisme lemak dan melindungi serabut saraf dari
glukosa yang berlebihan. Stevens (1993) mengemukakan, bahwa ekuilibrium antara asam amino taurin
dan inositol menjadi terganggu karena kadar sorbitol yang berlebihan, yang disebabkan oleh
hiperglikemia. Dengan demikian berarti bahwa suplemen taurin sama pentingnya dengan pemberian
inositol.
Franconi (1995) menunjukkan bahwa diperlukan suplemen taurin 1.5g/hari untuk pasien IDDM untuk
mendapatkan kadar serum taurin yang sama dengan kontrol non-diabetik yang sehat. Defisiensi taurin
juga berpengaruh dalam pembentukan kardiomiopati.
Pada keadaan stress oksidatif, maka taurin diubah menjadi taurin khloramid yang bisa menurunkan
over-ekspresi TNFa, sehingga meningkatkan sensitivitas insulin.
Endotel vaskuler merupakan bagian yang tipis di lapisan monolayer yang paling dalam dari kapiler dan
pembuluh darah lain. Endotel merupakan suatu organ metabolik dan endokrin yang aktif yang
membentuk prostasiklin dan tromboksan diantara zat-zat yang esensial yang lain, namun endotel
vaskuler mudah rusak dan zink, taurin dan magnesium merupakan nutrient yang protektif dan kritis
untuk mempertahankan integritas endotel.

Magnesium
Beberapa penyelidikan telah menunjukkan bahwa defisiensi magnesium, yang lazim terjadi pada
diabetes, selain menyebabkan kerusakan yang hebat pada sistem vaskuler, juga dapat bermanifestasi
sebagai neuropati, sehingga sebaiknya suplementasi vitamin C kompleks yang dipilih untuk
meningkatkan GLA juga mengandung magnesium askorbat.
Magnesium orotat atau magnesium aspartat akan segera meningkatkan magnesium intraseluler yang
telah dipecahkan pada diabetes dan agaknya mungkin merupakan “missing link” pada poros diabetes-
diabetes (Paolisso, 1997) Bentuk lain dari magnesium biasanya hanya meninggikan magnesium secara
ekstraseluler.

Metilkobalamin

40
Yamatsu (1976) mengemukakan bahwa metilkobalamin merupakan satu-satunya derivat aktif dari
vitamin B12 yang mempunyai efek merangsang proteosintesis sel-sel Schwan dan dengan jalan
transmetilasi dapat menyebabkan mielogenesis dan regenerasi akson saraf dan memperbaiki
transmisi pada sinaps.
Telah dibuat suatu uji klinik yang tersamar ganda yang dilakukan secara acak dengan membandingkan
metilkobalamin dengan placebo pada 50 PASIEN yang menderita neuropati diabetik pada NIDDM
yang gula darahnya terkontrol dengan baik selama 8 minggu.
Setiap golongan mendapatkan 6 kapsul (3x250 ug metilkobalamin) atau 6 kapsul (3x2 kapsul) placebo
yang identik, dan terapi konkomitan dilarang selain pemberian obat antidiabetik oral.
Pasien terdiri dari 25 pasien yang mendapatkan metilkobalamin dan 25 pasien placebo sedangkan
drop-out masing-masing satu dalam setiap golongan.
Pada golongan metilkobalamin ada 14 wanita dan 10 pria, sedangkan pada golongan placebo ada 16
wanita dan 8 pria.
Methylcobalamin Plasebo
Umur berkisar antara 39 – 66 tahun 39 – 69 tahun
Rerata 53,1 tahun Rerata 53,8 tahun

Keluhan subyektif :
Total Perbaikan Tak ada perbaikan
M PI M PI M PI
Rasa terikat 14 (58%) 14 (58%) 6 (43%) 7 (50%) 8 (57%) 7 (50%)
Parestesi 20 (83%) 21 (97%) 18 (90%) 6 (29%) 2 (10%) 15 (71%)
Nyeri 14 (58%) 9 (38%) 10 (71%) 2 (22%) 4 (29%) 7 (78%)
Rasa lemah 6 (25%) 8 (33%) 5 (83%) 3 (38%) 1 (817%) 5 (62%)

Evaluasi elektrofisiologis :
Perbaikan % NCV :
Metilkobalamin Plasebo Kemaknaan
N medianus 9,33 % -0,04% p<0,01
N ulnaris 7,54 1,58 0,02<p<0,05
N peroneus 8,58 2,88 n.s
N tibialis 13,66 0,67 p<0,01
N suralis 15,08 0,17 p<0,01
F-wave 5,63 -0,58 p<0,01

Perbaikan interval interpotensial H-refleks : (H-M)


Metilkobalamin Plasebo Kemaknaan
-1,04 % 1,91 % p<0,01

Dengan demikian terlihat bermakna pada 5 dari 7 parameter.

Overall therapeutic effect :


Metilkobalamin Plasebo
Total 24 24
Sangat baik (11-14 points) 8 0
Baik ( 7 – 10 ) 11 6
Sedang (4-6) 3 4
Buruk (<4) 2 14

Gradasi dilakukan dengan sistem skoring, bila KHS membaik sama atau lebih dari 2 m/S mendapat
angka 2, 1 angka bila membaik kurang dari 2 m/S dan angka 0 bila tidak ada perbaikan, sehingga
angka maksimal yang dapat diperoleh dari 7 parameter adalah 14.

41
Hasil
 Metilkobalamin memperlihatkan perbaikan keluhan subyektif terutama parestesia, nyeri dan rasa
lemah.
 Dibandingkan placebo, metilkobalamin memperlihatkan hasil yang bermakna pada 5 dari 7
parameter, yaitu pada n medianus, tibialis dan suralis dan F-wave dan juga pada interval
interpotensial H-refleks (p<0,01)
 Metilkobalamin memberikan hasil yang bermakna pada terapi neuropati diabetik.
 Overall therapeutic effect lebih superior di group metilkobalamin (79% vs 25%) (p<0,01)

Beberapa hal yang harus diingat


Neuropati dapat mengenai berbagai saraf di badan dan menyebabkan rasa tebal, dan kadang-kadang
nyeri di tangan, lengan, kaki atau tungkai dan gangguan pada saluran pencernaan, jantung dan organ
seks.
Pertama-tama pengobatan harus ditujukan pada kontrol kadar gula darah ke level yang normal, karena
kontrol gula darah yang baik akan mencegah atau memperlambat terjadinya atau meluasnya problema-
problema lebih lanjut.
Perawatan kaki juga merupakan bagian terapi yang penting, dan penderita neuropati harus memeriksa
kakinya setiap hari untuk mencari adanya luka-luka, karena luka yang tidak diobati akan meninggikan
risiko terjadinya infeksi pada luka dan bisa mengakibatkan amputasi.
Pengobatan juga meliputi penanggulangan rasa nyeri dan juga obat-obatan lain tergantung dari tipe
kerusakan sarafnya.
Merokok secara bermakna akan meningkatkan risiko problem pada kaki dan amputasi, sehingga
sebaiknya merokok harus dihentikan.
Neuropati diabetika biasanya berhibungan dengan retinopati diabetika dan nefropati, sehingga pasien
dengan retinopati memerlukan konsultasi oftalmologik setiap tahun dan yang menderita nefropati perlu
memeriksakan protein dalam urin 24 jam dan kreatinin.
Penderita diabetes sebaiknya menghindari pemanis artefisial eperti aspasrtam, karena kemungkinan
dimetabolisme menjadi formaldehid dan methanol yang dapat menyebabkan gangguan yang luas,
sehingga dianjurkan untuk minum air putih biasa saja.

Komplikasi
 Adanya neuropati akan meningkatkan risiko terjadinya ulkus pada kaki dan terjadinya infeksi,
yang bila memberat bisa memerlukan amputasi.
 Beban ekonomis untuk merawat pasien neuropati diabetika adalah tinggi.
Prognosa
 Mengobati neuropati diabetika merupakan tugas yang sulit untuk dokter dan pasien.
Kebanyakan obat yang telah disebutkan diatas tidak dapat memberikan pengobatan yang tuntas
dalam menghilangkan gejala. Uji klinik yang baik diperlukan untuk membantu dalam diagnosa
dini dan penatalaksanaan yang lebih baik dari neuropati diabetika. Edukasi pasien juga sangat
penting agar program penatalaksanaan neuropati diabetika dapat berjalan dengan baik.

SINDROM TEROWONGAN KARPAL (CARPAL TUNNEL SYNDROME)


SINDROM TEROWONGAN KARPAL (STK) merupakan lesi saraf perifer oleh penyebab mekanisme
nontraumatis yang tersering di jumpai (45% dari 1574 pasien).
STK merupakan suatu neuropati cerutan, yang disebabkan oleh suatu tekanan atau jebakan n
medianus dibawah lig carpi transversum(= flexor retinaculum). (Mumenthaler et al,1991).
Pada mulanya tidak diketahui bahwa penyebabnya adalah tekanan mekanis pada n medianus,
walaupun gejalanya sudah dikenal.
Paget (1854) pertama-tama menggambarkan gejala STK setelah pemakaian bidai pada kasus stadium
lanjut fraktur radius bagian distal.

42
Baru dalam tahun 1913 Marie &Foix mengumumkan kelainan histopatologis yang ditemukan pada
STK, dan baru 17 tahun kemudian, yaitu dalam tahun 1930 dilakukan operasi pertama membelah lig
carpi tranversum di pergelangan tangan oleh Learmonth.
Karena gejalanya agak menyerupai meralgia paresthetica yang disebabkan oleh penekanan n cutaneus
femoralis lateralis, maka mula-mula STK disebut sebagai BRACHIALGIA STATICA
PARESTHETICA.karena secara salah diduga sebagai suatu penekanan statis (Druckneuritis) pada
plexus brachialis.
Walaupun setelah itu banyak penulis telah mengemukakan pendapat-pendapat mereka, namun Phalen
(1951, 1966, 1970, 1972, 1981 ) merupakan orang yang secara konsisten mempopulerkan istilah
neuritis n. medianus, yang pada waktu itu mendapatkan tentangan yang cukup besar.
Dengan demikian maka Phalen yang terkenal dengan tes Phalen pantas digelari sebagai bapak STK.
(Tackmann et al,1989).

PATOGENESIS
Gejala klinik STK khas dengan 2 golongan gejala, yaitu:
* nyeri dan parestesi, yang timbul khas pada malam hari dan pagi-pagi hari sekali.
Gejala-gejala ini yang timbul terlebih dahulu.
* gejala neurologis berupa gangguan sensori-motoris.
Setelah operasi dekompresi, maka gejala2 golongan pertama secara cepat membaik, namun gejala2
golongan kedua baru hilang kemudian secara perlahan-lahan.
Patogenesis kedua golongan gejala yang disebut di atas itu ternyata berbeda, karena nyeri dan parestesi
lebih disebabkan oleh iskemi n medianus, sedangkan gangguan sensori-motoris merupakan akibat dari
penekanan mekanis dari n.medianus.
Pada suatu kompresi akut suatu saraf perifer terjadi suatu kerusakan pada mielin dan akson, sehingga
secara cepat terjadi suatu gangguan transmisi saraf dan gangguan neurologis.
Pada suatu kompresi yang khronis seperti pada STK, maka perubahan2 baru terjadi dalam fase yang
lebih lanjut.
Terowongan karpal dibatasi oleh dinding2 yang keras sehingga dalam ruangan anatomis itu terjadi
suatu tekanan/tegangan yang disebabkan oleh berbagai sistem, yaitu:
tekanan dalam arteri2 dalam epineurium, tekanan dari kapiler2 dalam fasikel saraf, tekanan
intrafasikuler, tekanan dalam vena epinerium dan akhirnya tekanan dalam terowongan karpal sendiri.
Bila tekanan dalam terowongan karpal meninggi, akan terjadi suatu reaksi berantai, yaitu kompresi
pada vena, yang lalu menyebabkan suatu hiperemi, lalu bendungan, sehingga menyebabkan suatu
perlambatan aliran darah dalam epinerium dan fasikel.
Akibat selanjutnya adalah dilatasi kapiler, peninggian tekanan intrafasikuler dengan akibat tertekannya
serabut2 saraf.
Serabut saraf yang pertama-tama terkena adalah yang mempunyai sarung mielin yang tebal.
Nyeri dan parestesi pada malam hari atau pagi-pagi hari sekali disebabkan oleh memburuknya
peredarahan darah balik (pada vena).
Pada perbaikan sirkulasi dengan jalan menggerakan tangan dan lengan secara kuat (memompa vena),
maka gejala2 akan menghilang.
Bahwa gejala2 di atas disebabkan oleh iskemi,diperkuat oleh bukti, bahwa hal2 tsb akan bertambah
pada tes torniket, sehingga memang benar ada faktor penyebab vaskuler dari gejala2 subyektif
tersebut.
Karena n medianus di proksimal lig carpi transversum terletak lebih dipermukaan, sedangkan di bagian
distal letaknya lebih dalam, maka oedem dapat terlihat sebagai suatu pembengkakan di bagian
proksimal, tepat proksimal dari letak lig carpi transversum.
Bila tekanan pada n medianus berlanjut, maka terjadi proliferasi fibroblast ke dalam oedem, sehingga
terjadi suatu fibrosis interfasikuler dan epineural yang ireversibel dengan kerusakan2 pada serabut
saraf.
Perineum yang telah mengalami fibrosis akan mengkerut dengan akibat fasikel dan saraf yang menipis.
Akhirnya terjadi suatu circulus vitiosus: kompresi venula, stase kapiler dan anoksia, kerusakan
endotel, oedem endoneural, infiltrasi fibroblast, kerusakan pada epi- dan endo-neural dengan akibat
terjadinya kerusakan ireversibel pada serabut2 saraf.

43
Namun lesi pada serbut bukan merupakan akibat langsung dari iskemi, namun lebih disebabkan oleh
penekanan mekanis pada sarafnya sendiri. (Tackmann et al, 1989).

KAUSA LAIN
Walaupun sebagian besar STK disebabkan oleh suatu tekanan mekanis non traumatis yang umumnya
berhubungan dengan suatu pekerjaan tangan tertentu, namun kompresi khronis pada terowongan
karpal bisa juga disebabkan oleh kausa2 lain:
 perubahan2 pada pergelangan tangan: setelah fraktur, atau tbc dari tendon, gout, fasilitis
eosinofilik, tendomiopati, ganglion, perineural angioma, setelah infeksi pada telapak tangan,
hematoma setelah terapi antikoagulasi, dll.
 Poliartritis khronis primer: STK terjadi pada 23% pasien.
 Gangguan sirkulasi oleh kompresi n medianus yang persisten atau trombosis arteri.
 Hemodialisis: mekanisme multifaktor: iskemi, polineuropati uremik, tendosinovitis
granulomatosa dengan deposit amiloid. STK terjadi pada 75% pasien hemodialisis.
 Gangguan metabolik: mieloma multipel, amiloidisis, multipolisakharidosis menyebabkan
menyempitnya terowongan karpal, karena deposit bahan2 asing. Juga terjadi pada diabetes
mellitus, akromegali dan hipotiroidisme.
 Familial : menebalnya lig carpi transversum = flexor retinaculum
(Mumenthaler et al. 1991)

SIMPTOMATIK
STK terjadi 2x lebih banyak pada wanita daripada pada pria.
Lima puluh tujuh (57) % kasus terjadi pada usia 40-60 tahun.
Tujuh puluh enam (76) % kasus terjadi pada usia 40- 70 tahun (Phalen, 1966,1972).
Lebih sering terjadi pada klimakterium, juga selama atau segera setelah kehamilan, juga pada
penambahan berat badan.
Lebih sering terjadi pada tangan yang dominan, namun seringkali juga bisa terjadi pada kedua sisi.
(Reinstein,1981).
Bendler et al (1977) menemukan STK bilateral pada 61% dari 440 pasien STK.
Gejala2 subyektif :
Brachialgia paresthetica nocturna merupakan gejala yang klasik dengan parestesi pada malam hari,
namun sebetulnya tidak patognomonis untuk suatu tekanan khronis mekanis pada n medianus. Pada
malam hari pasien terbangun dengan perasaan tebal atau bengkak pada tangan.
Gerakan2 jari sukar dan lambat dan nyeri yang menarik dapat terasa di sepanjang lengan.
Kadang2 terasa nyeri sampai di pundak, bahkan sampai daerah punggung.
Dengan jalan mengebaskan tangan (Flick sign) dan lengan secara kuat dan juga dengan memijat-mijat
tangan, keluhan2 akan berkurang, namun belakangan akan timbul kembali, sehingga dapat
mengakibatkan terganggunya tidur.
Pada pagi hari, karena jari2 yang kaku dan tebal, maka pekerjaan2 yang harus dilakukan di rumah pada
pagi hari seringkali terganggu, dan kadang2 hal ini juga dapat terjadi
sepanjang hari. Sesuai persarafannya, maka seringkali gangguan tsb terjadi terutama pada jari ke 1 – 4.
Pekerjaaan2 yang berat seperti mencuci pakaian dan menyapu dapat menambah gejala2 tsb.
Gejala obyektif :
Pada fase permulaan seringkali tak dijumpai gejala, selain nyeri tekan pada n medianus diatas
terowongan karpal.
Kadang2 terlihat pembekakan hingga pada bagian volar pergelangan tangan, yang menyerupai suatu
tendofascitis tendo2 otot flexor.
Baru pada kompresi saraf yang lama, seringkali setelah bertahun2 terlihat paresis dan atrofi otot2
pangkal jempol (thenar) dengan atau tanpa gangguan sensibilitas.
Kadang2 dijumpai hanya gangguan sensibilitas saja.

Tanda dari LUTHY (Luthy’s sign/ Tanda Botol (Bottle sign ):

44
Penderita diperintahkan untuk menggenggam botol dengan melingkarkan ibu jari dan telunjuknya
pada benda tsb.
Kelemahan abduksi jempol menyebabkan penderita tak dapat memegang botol dengan tangan dengan
baik, dimana lipatan kulit antara jempol dan telunjuk tak dapat menyentuh / meliputi permukaan botol
dengan baik dan jempol tak dapat abduksi dengan baik untuk memegang botol tsb. (Bottle sign +).

Hoffman-Tinel sign:
Ketokan pada n. medianus di tempat kompresi menimbulkan perasaan terkena aliran listrik yang
menjalar dari tempat ketokan ke jari2.

TES PHALEN:
Dengan tes2 provokasi, gejala2 obyektif yang khas dapat ditimbulkan, misalnya dengan dorsoekstensi
atau volarfleksi dari pergelangan tangan, yang dipertahankan selama kira2 1 menit (tes Phalen).
(Mumenthaler et al, 1991).

TES TURNIKET GILLIAT-WILSON:


Tes provokasi lain ialah dengan tes torniket Gilliat-Wilson, selama1-2 menit, pada orang normal akan
timbul parestesi yang diffus pada lengan, sedangkan pada STK akan terjadi parestesi dan nyeri pada
jari 1 – 2 – 3 yang menyerupai keluhan2 pada malam hari. Umumnya tes Phalen dan Tinel dianggap
sangat sensitif untuk mendiagnosa STK. Sedangkan tes torniket kurang sensitif (Tackman et al, 1989).

DEFINISI & KLASIFIKASI :


Kriteria diagnostik dan klasifikasi STK masih belum seragam, baik yang diajukan oleh The Rochester,
Minnesota epidemiologic study(1988), maupun oleh The National Institute of Occupational safety and
Health (NIOSH, 1989) mendapat tantangan dari berbagai penulis. Bahkan Katz et al (1991)
mengemukakan 38% pasien yang diklasifikasi secara salah oleh NIOSH.
Juga pengukuran KECEPATAN HANTAR SARAF (KHS/NCV) yang oleh banyak penyelidik
dianggap sebagai “gold standard”, masih mendapat tantangan dari berbagai penulis (Rosenbaum et al,
1993).
Pembagian oleh Rosenbaum adalah :
Klas 0 : asimptomatik: tanpa gejala, tanpa tanda gejala klinis
Klas 1 :simptomatik intermiten: secara intermiten ditemukan gejala, dengan tes provokasi seringkali
positif, namun defisit neurologis negatif.
Klas 2 : simptomatik persisten ; gejala kontinu + atau –
Defisit neurologis kadang2 positif.
Klas 3 : berat : gejala +, neurologis + dengan gangguan aksonal.

DIAGNOSA BANDING:
Biasanya diduga adanya STK pada pasien2 dengan nyeri di tangan atau lengan, parestesia, kelemahan,
spasme dan atrofi, maka diagnosa banding adalah gangguan pleksus, radiks dan medulla spinalis
servikal atau jaringan lain di sekitar saraf, seperti sendi, tulang, tendon dan jaringan lunak.
(Rosenbaum,1993).

PEMERIKSAAN ELEKTROFISIOLOGIS / ELEKTRODIAGNOSA:


Pemeriksaan elektromiografi (EMG) dan kecepatan hantar saraf (KHS) sangat penting dan
memberikan kontribusi yang sangat berharga dan oleh banyak penulis dianggap sebagai “gold
standard” dalam menentukan diagnosa STK.
Nilai rujukan masa laten distal motorik (MLD/distal latency), yang diukur di pergelangan tangan 4,5-
5,5 cm dari elekrode perekam di m abd pollicis brevis, adalah antara 2,5 -4,3 mS.
Pada STK dijumpai pemanjangan MLD motorik pada 91% penderita STK dan terjadi pemanjangan
MLD sensorik pada 98 % penderita STK.
Perbandingan MLD dengan sisi lain mutlak diperlukan. Walaupun harus juga dipikirkan kemungkinan
adanya STK bilateral.
Perbedaan antara MLD kanan dan kiri yang melebihi 1,5 cm adalah patologis.

45
Juga pembandingan MLD antara pergelangan tangan dan telapak tangan penting (beda MLD WRIST
dengan PALM) yang a.l dikemukakan oleh (Kimura 1979) .
Perbedaan antara MLD pergelangan tangan antara n medianus dan n ulnaris lebih dari 1,5 mS adalah
patologis.
Juga perbedaan MLD n medianus di pergelangan tangan dan telapak tangan yang melebihi 1,5 cm
adalah patologis.
Amplitudo juga perlu diperhatikan, dimana perbandingan amplitudo antara n medianus dan n ulnaris
pada orang normal selalu melebihi 1, sedangkan pada STK biasanya rationya justru kurang dari 1.
Dengan EMG perlu pula diperhatikan bentuk potensial, amplitudo dan waktu (duration) potensial, dan
juga dicari tanda2 denervasi berupa fibrilasi.
Dengan EMG pula dapat ditentukan ada-tidaknya anomali pada n medianus dan n ulnaris berupa
anastomosis Martin-Gruber. (Mumenthaler et al, 1991).

TERAPI :
Yang tentunya terpenting adalah mencari kausa dan menghilangkan kausa.
Bila kausa jelas mekanis, perlu dihentikan gerakan2/ pekerjaan2 yang menyebabkan STK tsb.
Kausa2 lain yang bisa menyebabkan STK, yang telah disebutkan sebelumnya, harus dicari dan bila ada
dihilangkan.
Selanjutnya perlu ditentukan apakah diperlukan terapi konservatif atau tindakan operatif.

TERAPI KONSERVATIF :
Bila hanya ditemukan Brachialgia paresthetica nocturna, biasanya tak diperlukan operasi.
Pemakaian splint yang dipakai malam hari mencegah pergerakkan pada pergelangan tangan dan
mempertahankannya pada posisi neutral (mid-position), namun jari2 tetap bisa digerakkan.
Suntikan kortikosteroid berupa hidrokortison 25 mg (Mumenthaler, 1991), atau deksametason 8 mg
(Rosenbaum 1993) dapat dilakukan, dengan sebelumnya diberikan anestesik 1% tanpa adrenalin.
Jarum ditempatkan, sedikit ulnar dari garis tengah, dimasukkan 1,5-2 cm dalam, pada posisi ekstensi
ringan dari tangan.
Harus dijaga suntikan steroid jangan mengenai langsung n medianus; bila pada penusukan jarum terasa
nyeri, maka jarum ditarik sedikit dan dimasukkan agak lebih ke medial sedikit.
Pada suntikan tidak boleh terlihat pembengkakkan oleh obat, karena berarti jarum kurang dalam.
Sebaiknya suntikan hanya diberikan sekali saja, dan tak boleh diberikan bila sudah ada defisit
neurologis dan kelainan pada EMG & KHS dan MLD.
Ada yang memberikan suntikan kortikosteroid sampai 3x dengan interval 2 minggu, namun perlu
diketahui juga efek sampingnya:
- obat masuk ke saraf (nyeri).
- atrofi, hipopigmentasi, perdarahan
- robeknya tendon secara spontan
- radang dll.
Ada juga pendapat, bahwa sebaiknya kortikosteroid diberikan tanpa anestesi, karena cairan anestesi
hanya akan menambah volume di terowongan karpal, yang sudah sempit.
Setelah disuntik, bekas tusukan jarum ditekan dan pasien diminta menggerak-gerakkan jari tangannya
untuk memyebarkan steroid tsb. Tidak semua kasus membaik setelah terapi kortikosteroid. Dilaporkan
perbaikan pada 81% kasus selama rata2 45 bulan dengan kortikosteroid oral dapat juga diberikan.
Pemberian obat2-an yang memperbaiki regenerasi saraf dapat dipertimbangkan a.l.:
Lazimnya dapat diberikan NEUROTONIK, yaitu vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi, yang
dapat membantu regenerasi saraf.
METILKOBALAMIN yang merupakan derivat aktif B12 dan bekerja sebagai ko-enzim dalam
berbagai proses intraseluler, bersama asam folat berguna dalam sintesa asam nukleat pada
pembentukan inti sel baru, sehingga sangat berguna pada pertumbuhan dan regenerasi saraf.
Yamamatsu (1976) menunjukkan, bahwa metilkobalamin mempercepat pembelahan sel dan
pembentukan mielin pada saraf yang rusak, dan dengan jalan transmetilasi mempengaruhi biosintesa
protein.
Kumta et al (1993) telah mengemukakan manfaat metilkobalamin pada 60 kasus STK.

46
Fisioterapi juga memberikan manfaat yang baik, karena juga akan memperbaiki vaskularisasi
pergelangan tangan.

TERAPI OPERATIF :
Bila telah dijumpai defisit neurologis berupa parese dan atrofi, maka jelas diperlukan tindakan
operatif.
Pemeriksaan elektrodiagnosa merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif dari pemeriksaan klinis dan
bila ditemukan tanda2 denervasi dan atau MLD memanjang dan perbedaan 2 MLD yang telah
disebutkan sebelumnya lebih dari 1,5 mS, maka juga diperlukan operasi. Juga bila terapi konservatif
tak berhasil dan keluhan2 berat yang mengganggu perlu dipertimbangkan tindakan operatif.

PROGNOSIS:
Terapi konservatif pada kasus2 ringan umumnya memberikan prognosis yang baik.
Tindakan operatif umumnya prognosis juga baik, bila dilakukan pada waktu yang tepat.
Karena operasi umumnya hanya dilakukan pada kasus2 berat/lama maka penyembuhan terjadi
bertahap.
Mula2 nyeri menghilang, lalu diikuti perbaikan sensibilitas, terakhir baru perbaikan motorik dan
membaiknya atrofi otot, sehingga seluruh proses penyembuhan bisa memakan waktu 18 bulan. Bila
terapi operasi tidak memberikan perbaikan, mungkin penyebabnya adalah:
- salah diagnosis (jebakan terjadi ditempat yang lebih proksimal)
- n medianus telah rusak sehingga tak ada regenerasi lagi.
- timbul STK yang baru karena komplikasi operasi misalnya oedema atau perlengketan.
Perlu disebutkan juga, bahwa dengan terapi konservatif maupun operatif kadang2 STK kambuh lagi.
Keterangan dan informasi yang baik harus diberikan kepada pasien, untuk menghindari jenis
pekerjaan2 tangan yang dapat menyebabkan STK, sehingga menghindari rekurensi timbulnya STK.
Namun harus diwaspadai pula keluhan2 pada pekerja yang mendapat ganti rugi, karena mendapat
keuntungan dari keluhan2-nya.

PERAN ZAT NEUROTROPIK PADA PROSE REGENERASI SARAF TEPI


Beberapa tahun yang lalu, dianggap bahwa kerusakan pada sistem saraf, pada umunya tidak
dapat diperbaiki lagi, dan kehilangan neuron juga dianggap sebagai suatu proses yang ireversibel.
(Mehler et al, 1999)
Namun dimasa yang akan datang, dogma yang menyatakan, bahwa regenerasi sistem saraf tidak
mungkin, akan menjadi dongeng belaka. (Tuszynki et al, 1999)
Kemajuan yang besar dalam mempelajari faktor pertumbuhan (growth factors) dan mengenai sel
progenitor neural telah mengubah pandangan ini, karena akhir-akhir ini telah menjadi jelas, bahwa
otak dewasa dan medulla spinallis, responsif terhadap signal yang diberikan oleh berbagai golongan
molekul, yang dapat memperbaiki kelangsungan hidup neuron, menstimulasi pertumbuhan akson dan
malahan juga sampai mengadakan sendiri (self-replenishing) sel progenitor neural, yang dapat
membentuk sel neuron yang baru dan juga sudah ada pendekatan-pendekatan yang rasional dalam
mereparasi sistem saraf yang rusak dengan menggunakan transplantasi sel progenitor.
Faktor-faktor neurotropik telah menunjukkan kegunaannya untuk penyelamatan neuron (neuronal
rescue), menstimulasi pertumbuhan akson dan dapat menyebabkan penyembuhan fungsional, namun
uji klinik mengenai faktor-faktor neurotropik hanya menunjukkan efektivitas preliminer pada
neuropati perifer, dan belum menunjukkan hasil yang memuaskan pada penyakit-penyakit neurologis
yang lain.
Konsep yang timbul untuk menerangkan hal ini dalam penggunaan golongan molekul-molekul
ini untuk terapi pada sistem saraf adalah bahwa bagaimana cara pemberiannya adalah hal yang sangat
penting, karena faktor2 neurotropik tersebut harus diberikan secara spesifik dan dengan cara khusus
terbatas (regionally restricted fashion) tertuju pada target neuron-nya., dengan lokasi, jumlah dan saat
yang tepat.
Walaupun demikian, dalam masa yang akan datang, faktor-faktor neurotropik agaknya akan menjadi
tonggak dalam terapi neurologis, dengan memberikan bukan saja suatu cara untuk mengobati penyakit
sistem saraf, namun juga untuk mencegah atau mengurangi progresivitas suatu penyakit neurologis.

47
FAKTOR-FAKTOR PERTUMBUHAN
Faktor pertumbuhan adalah protein-protein, yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
pembelahan sel normal dan merupakan regulator yang penting dalam proses kelangsungan kehidupan
neuron, pertumbuhan akson, plastisitas sinapsis dan neurotransmisi dan dianggap mempunyai potensial
dalam mengobati berbagai penyakit neurologis.
Adanya faktor pertumbuhan telah diketahui selama beberapa dekade. Pada tahun 1951 faktor
pertumbuhan saraf pertama yaitu faktor pertumbuhan saraf (Nerve Growth Factor / NGF) ditemukan
dan ternyata dapat memperbaiki kelangsungan hidup dari neuron perifer sensorik dan simpatetik
selama pembentukan sistem saraf (Levi-Montalcini, 1987).
Selama 3 dekade berikutnya, dianggap bahwa peran faktor pertumbuhan pada sistem saraf
hanya terbatas untuk memodulasi kelangsungan hidup neuron selama pertumbuhan. Otak dewasa dan
medulla spinalis disangka tidak akan dapat merespons terhadap faktor-faktor pertumbuhan atau
terhadap molekul-molekul lain, yang mempengaruhi kelangsungan hidup neuron dan pertumbuhan.
Secara jelas anggapan ini telah berubah dalam 10-15 tahun terakhir ini, setelah ditemukan,
bahwa faktor neurotropik terdapat dalam sistem saraf pusat orang dewasa, dan mampu untuk
mencegah terjadinya kematian sejumlah neuron dengan populasi khusus setelah terjadinya suatu
cedera pada saraf dan disamping itu juga mampu untuk memodulasi sejumlah fungsi sistem saraf
termasuk efektivitas sinaptik dan penggantian neurotransmitter.
Faktor-faktor pertumbuhan yang dianggap mempunyai aktivitas sistemik, ternyata juga
mempunyai efek yang bermakna pada sistem saraf yang sedang tumbuh.
Faktor neurotropik dapat dibagi dalam berbagai famili, berdasarkan atas struktur, sekuens dan
kode.
Faktor faktor ini antara lain adalah :
* neurotrophin yang terdiri dari NGF dan homolog-nya :
Brain derived neurotropic factor (BDNF)
Neurotrophin-3 (NT-3),
Neurotrophin-4/5, dan
Faktor pertumbuhan non-mamalia neurotrophin-6 dan neurotrophin-7
* cytokine growth factor yang antara lain terdiri dari :
Ciliary neurotrophic factor (CNTF) dan
Leukimia inhibitory factor / cholinergik differentiation factor (LIF / CDF)
* acidic and basic fibroblast growth factor (FGF-1,FGF-2),
* epidermal growth factor (EGF),
* platelet derived growth factor (PDGF),
* insulin-like growth factor (IGF-1 dan IGF-II),
* transforming factor B growth factor (TGF-B) yang antara lain adalah
glial cell line-derived neurotrophic factor (GDNF)

Pada saat ini lebih dari 3 lusin faktor pertumbuhan saraf telah ditemukan dengan sifat-sifatnya
yang beraneka ragam a.1. mempunyai struktur, mekanisme pemberi signal pada reseptor, neuron-
neuron responsif dan efek biologis in vivo yang berbeda-beda.
Keberhasilan kerja faktor pertumbuhan spesifik ini tergantung dari lokasi, jumlah dan pada saat yang
tepat tersedianya faktor pertumbuhan tersebut dan juga tergantung pada adanya reseptor yang sesuai
untuk faktor tersebut pada sel target.
Dengan demikian keseimbangan spasial dan temporal antara faktor neurotropik dan adanya reseptor
yang sesuai, menentukan spektrum aktivitas biologiknya.
Berdasarkan ini, berbagai faktor pertumbuhan yang berlainan dapat berguna untuk mengobati berbagai
penyakit neurologis.
Berbagai uji klinik pada saat ini sedang berjalan untuk menentukan apakah faktor-faktor pertumbuhan
tersebut dapat mencegah atau melindungi terhadap degenerasi sel neuron.

GOLONGAN NEUROTROPIN KLASIK

48
Yang pertama ditemukan adalah golongan klasik yaitu Nerve Growth Factor (NGF), lalu
disusul dengan Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF), Neurotrophin-3 (NT-3), Neurotrophin-
4/5 (NT-4/5), dan factor pertumbuhan non-mamalia Neurotrophin-6 dan Neurotrophin-7.
Sewaktu penemuan NGF dalam tahun 1951, peranan NGF hanya dianggap sebagi faktor yang esensial
untuk kelangsungan hidup neuron perifer sensorik dan simpatetik selama pembentukan dari sistem
saraf.
Namun pentingnya NGF baru diterima sekitar 35 tahun kemudian, setelah dalam tahun 1979 menjadi
jelas, bahwa NGF ditransportasi dan diproduksi pada sistem saraf sentral dewasa dan juga mempunyai
efek neuroprotektif pada neuron kholinergik basal otak depan yang dewasa yang terkena cedera
sehingga merubah persepsi bahwa regenerasi sistem saraf tidak mungkin terjadi.
Faktor neurotropik kedua yang ditemukan adalah Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF) dalam
tahun 1982, yang merupakan suatu faktor ekstraseluler, lalu disusul dengan penemuan faktor-faktor
neurotropin yang lain.
Pola regional dari neurotropin pada otak dewasa menunjukkan spesifitas dan tumpang tindih (overlap),
sehingga menunjukkan bahwa setiap faktor neurotropin mempunyai peranan yang berbeda dalam
memodulasi fungsi neuronal.
Dengan demikian setiap neurotropin mempunyai potensial untuk memperbaiki regenerasi pada suatu
populasi neuron yang spesifik dan kombinasi dari faktor-faktor neurotropin dapat bekerja secara
sinergis dalam memperbaiki kelangsungan hidup dari suatu populasi neuron pada suatu penyakit
sistem saraf (Mitsumoto et al, 1994)
Cara kerja neurotropin adalah melalui sejumlah kelompok neuron dengan mengikat pada
reseptor transmembran yang spesifik.
Terdapat 2 golongan reseptor neurotropin, yaitu reseptor dengan afinitas rendah yang disebut p75,
dimana semua jenis neurotropin dapat mengikat dan reseptor yang terikat pada tirosine-kinase (trk),
yang mengikat berbagai neurotropin dengan cara yang unik dan spesifik.
Kebanyakan efek neurotropin pada neuron terjadi melalui reseptor trk dan terdapat 3 bentuk reseptor
trk, yaitu trk A, trk B dan trk C.
Setiap reseptor trk mempunyai ikatan yang spesifik , yaitu NGF terikat pada trk A, BDNF dan NT-4/5
terikat pada trk B dan NT-3 terutama terikat pada trk C.
Neurotropin yang terikat pada reseptor trk akan mengakibatkan aktivasi tirosine kinase dan
menyebabkan otofosforilase dari residu trk yang spesifik, yang lalu mengikat dan mengaktivasi sistem
messenger yang lain, terutama fosfolipase C-Y dan fosfatidilinositol 3-kinase.
Setelah itu kinase yang lain dan juga messenger yang kedua akan menjadi aktif juga sehingga
menyebabkan suatu respons biologik yang multipel didalam sel.
Dengan demikian neuron menunjukkan respons terhadap suatu faktor neurotropin tertentu dengan
jalan memberikan signal melalui reseptor tertentu yang spesifik. Walaupun semula dianggap behwa
fungsi primernya adalah sebagai suatu faktor kelangsungan hidup sel, namun sekarang faktor
neurotropik pada umumnya dan khususnya golongan neurotropin terbukti mampu memodulasi
berbagai aspek dari pertumbuhan dan fungsi sistem saraf, termasuk diferensiasi sel, pertumbuhan
akson, penemuan target akson, efektivitas sinaptik, plastisitas sinaptik, neurotransmisi dan penggantian
neurotansmiter.

PERANAN NEUOTROPIN PADA SISTEM SARAF PERIFER


Pada sistem saraf perifer, faktor neurotropin merupakan suatu faktor kelangsungan hidup
(survival factor) untuk berbagai golongan neuron.
Adanya NGF dalam jumlah terbatas dengan cara yang target-derived adalah esensial untuk
kelangsungan hidup neuron simpatetik dari ganglia paravertebralis dan untuk 70-80% dari neuron
sensorik (nociceptor) di ganglia radiks dorsalis.
Berbagai subpopulasi spesifik dari neuron sistem saraf perifer yang lain menunjukkan
ketergantungannya pada BDNF atau sitokin GDNF.
Setelah suatu neuron telah berhasil untuk menanggulangi periode kematian sel, maka ia akan
merendahkan ekspresinya terhadap suatu reseptor faktor topik sehingga akan gagal untuk bereaksi
terhadap faktor tropik tersebut, walaupun telah diberikan secara eksogen dari luar.

49
Sel juga dapat meningkatkan ekspresinya terhadap reseptor faktor tropik yang lain untuk memodulasi
suatu aspek lain dari fungsi sel.
NGF mempunyai peranan sebagai neuroregulator pada neuron-neuron dengan jalan mengubah
kadar neurotransmitter neuropeptide, termasuk substansi P dan kadar calcitonin generated peptide
(CGRP).
Berlainan dengan neuron sensorik, maka neuron simpatetik selalu membutuhkan NGF untuk
kelangsungan hidupnya menjadi dewasa.
Dengan demikian terdapat 3 golongan neuron yang berbeda, yang memerlukan NGF sebagai faktor
kelangsungan hidup selama pertumbuhan; berdasarkan ketergantungannya kepada NGF :
1. Golongan pertama yang secara permanen merendahkan regulasi ekspresi NGF reseptor dan
mempunyai respons terhadap suatu faktor pertumbuhan yang berbeda yaitu GDNF.
2. Golongan kedua berubah dari ketergantungan terhadap NGF untuk kelangsungan hidup menjadi
modulasi NGF dari ekspresi dan fungsi neurotransmitter.
3. Golongan ketiga mempertahankan ketergantungannya terhadap NGF untuk kelangsungan hidup
sampai dewasa.
Selain mengatur kelangsungan hidup dan fungsi neuron, neurotropin juga memodulasi diferensiasi
neuron, dan fungsi sinaps selama pertumbuhan sistem saraf perifer.
Pemberian anti-NGF immunoglobulin selama pertumbuhan akan menyebabkan kehilangan neuron
nosiseptif pada ganglia radiks dorsalis (dorsal root ganglia / DRG) dan menggantinya dengan D-hair
afferent neurons, yang menunjukkan bahwa NGF memodulasi diferensiasi neuron.
NGF juga memodulasi morfologi neuron, yang terbukti dari meningkatnya jumlah dendrit pada neuron
simpatetik yang diberi NGF.
Efek neurotropin pada tingkat sinaps ditunjukkan oleh BDNF dan NT-3, yang menyebabkan potensiasi
fungsi sinaps pada paut saraf-otot (neuro-muscular junction).
Dengan demikian neurotropin menunjukkan efek pada kelangsungan hidup sel, diferensiasi neuron,
fungsi sinaps dan regulasi neurotransmitter pada sistem saraf perifer. Pada banyak kasus, fungsi ini
terjadi terus sampai dewasa; neuron sensorik pada dewasa terikat dan secara retrograd mentransportasi
NGF, BDNF, NT-3 dan NT-4/5.
Sel Schwann yang menjadi sumber dari NGF, BDNF, NT-4/5, GDNF dan CNTF memproduksi lebih
banyak faktor neurotropin setelah cedera saraf perifer dan agaknya mempunyai peranan dalam
kelangsungan hidup dan pertumbuhan kembali dari neuron yang mengalami cedera pada keadaan
dewasa. (Tuszynski et al, 1999).

NEUROPATI PERIFER
Neuropati perifer mencakup suatu golongan penyakit yang besar dengan berbagai subklas
antara lain neuronopati, aksonopati dan neuropati dengan demielinisasi, tergantung dibagian mana
penyakit itu memanifestasikan dirinya secara primer patologis, misalnya dibadan sel neuron, akson, sel
Schwann, namun demikian biasanya pada kebanyakan neuropati penyebabnya adalah suatu kombinasi
dari beberapa faktor.
Bila faktor pertumbuhan pada suatu saat dapat merupakan suatu pengobatan yang efektif untuk
neuropati perifer, maka harus diperhatikan heterogenitas yang disebutkan diatas.
Faktor pertumbuhan yang bekerja terutama sebagai mitogen pada sel Schwann, misalnya faktor
pertumbuhan glial (glial growth factors), tidak akan mempan untuk terapi aksonopati primer.
Selain itu, neuron motorik, sensorik dan autonom masing-masing memerlukan kombinasi faktor-faktor
neurotropik yang berlainan untuk pemeliharaan (maintenance) dari kelangsungan hidupnya dan untuk
aksonogenesis.
Dengan demikian, agaknya akan diperlukan beberapa macam faktor pertumbuhan untuk pengobatan
suatu neuropati perifer dengan regimen terapi-nya yang disusun sesuai dengan manifestasi kliniknya
yang spesifik pula.
Sementara itu, perhatian telah dipusatkan pada peranan faktor-faktor pertumbuhan pada 3 golongan
neuropati yang berbeda, dimana kebanyakan uji klinik NGF sedang / telah dilakukan.
Terdapat beberapa bentuk neuropati diabetika dan yang paling sering adalah suatu
polineuropati sensorik, yang umumnya tidak diketahui kapan mulainya dan disebabkan oleh
degenerasi akson.

50
Defisiensi neurotropin telah disebut-sebut sebagai salah satu penyebab neuropati diabetik jenis ini dan
suatu model neuropati diabetik pada roden yang di induksi dengan streptozotosin yang menunjukkan
transport aksonal NGF yang retrograd dan lambat pada n.mesenterica dan n.ischiadicus.
Walaupun penemuan-penemuan ini tidak membuktikan adanya suatu hubungan yang kausal, namun
pada suatu studi ditemukan, bahwa peningkatan tail flick threshold temperature pada ekor roden dapat
dicegah dengan pemberian NGF 3x seminggu, segera setelah diabetes ditimbulkan oleh streptozotosin,
yang menandakan bahwa NGF dapat melindungi terdahap terjadinya neuropati diabetik sensorik.
Namun demikian, tentunya masih ada mekanisme vaskuler dan metabolik yang lain yang ikut menjadi
kausa, sehingga sekali lagi disebutkan bahwa agaknya diperlukan suatu kombinasi regimen untuk
mengubah perjalanan penyakitnya secara bermakna.
Neuropati yang disebabkan oleh obat-obat sitotoksik sangat baik untuk diobati dengan
faktor pertumbuhan, karena dapat diberikan secara bersamaan dengan obat yang menyebabkan
neuropatinya.
Strategi ini dapat mencegah adanya pembatasan dosis yang menyebabkan neurotoksisitas dari
beberapa obat-obat sitotoksik yang penting, misalnya taxol, yang dipakai pada pengobatan tumor solid
seperti melanoma maligna dan karsinoma ovarii, yang menyebabkan terjadinya suatu neuropati
sensorik, karena menyebabkan pengumpulan abnormal mikrotubul didalam sitoplasma.
NGF menyebabkan pengumpulan mikrotubul yang terkoordinasi dan dapat menghilangkan
pengumpulan abnormal mikrotubul.
Pada percobaan binatang telah dibuktikan, bahwa NGF yang diberikan bersamaan dengan taxol,
vinblastin dan cisplatin dapat mencegah atau menghambat perubahan-perubahan neuropatik.
Cedera pada saraf perifer juga bagus untuk diobati dengan faktor pertumbuhan. Setelah adanya
lesi saraf perifer yang ditimbulkan pada binatang, terlihat bahwa mRNA dari NGF, BDNF, CNTF dan
LIF/CDF semua meningkat, walaupun terlihat ekspresi yang berbeda dan kompleks pada sel Schwann
di sekeliling tempat lesi.
NGF, BDNF, CNTF dan LIF/CDF semuanya meningkatkan kelangsungan hidup neuron pada hewan
percobaan neonatus roden.
Namun perlu dibuat penyelidikan yang seksama pada keadaan dewasa untuk mengamati derajat
regenerasi akson perifer dengan pemberian NGF, sebelum strategi pengobatan dengan NGF dapat
digunakan untuk pengobatan saraf perifer yang mengalami cedera. (Drago et al, 1994).

PENYAKIT MOTOR NEURON (MND)


Penyakit pada sistem motorik mencakup beberapa kelainan yang belum begitu jelas dan
seringkali fatal, dan dimasukkan dalam suatu golongan, karena mempunyai proses patologis yang
sama, yang disebut neuronopati motorik yang progresif.
Selama beberapa tahun terakhir terdapat kemajuan-kemajuan dalam bidang biologi sel motor neuron
dan diketahui, bahwa terdapat suatu peranan yang potensial dari faktor-faktor pertumbuhan tertentu
yang spesifik dalam menunjang pertumbuhan motor neuron dan faktor-faktor pertumbuhan ini
dianggap dapat memperbaiki efek buruk yang ditimbulkan oleh MND.
CNTF, walaupun tidak dibutuhkan untuk pembentukan motor neuron yang normal, menunjang
kelangsungan hidup in vitro dan in vivo motor neuron yang tidak begitu berguna, yang biasanya mati
sewaktu embryogenesis, selama proses neuronal-modelling.
CNTF juga mencegah terjadinya degenerasi motor neuron, yang dipotong akson-nya pada roden
perinatal yang dibuktikan pada tikus pmn/pmn, namun masih merupakan suatu pertanyaan apakah hal
tersebut menyerupai keadaan pada MND, karena pada tikus tersebut terlihat suatu dying back
axonopathy, dan bukan suatu degenerasi neuronal primer.
Walaupun demikian telah diketahui bahwa gangguan pada gen CNTF akan menyebabkan suatu
degenerasi terbatas, namun bermakna dari motor neuron n facialis pada tikus dewasa, sehingga
diperkirakan, bahwa CNTF yang diproduksi oleh sel Schwann mempunyai peranan yang penting pada
pemeliharaan motor neuron pada roden dalam kehidupan post-natal.
Sebagai bandingan, defisiensi CNTF agaknya tidak mempunyai hubungan kausal dengan penyakit
neurologis pada manusia.
Namun ini tidak berarti, bahwa pemberian CNTF secara eksogen tidak berguna untuk berbagai
keadaan patologis seperti MND, namun pada 2 uji klinik dengan pemberian CNTF secara sistematik

51
harus diperhatikan bahwa, LIF mempunyai persamaan dalam strukturnya dengan CNTF dan
reseptornya mempunyai sub-unit bersamaan dengan reseptor CNTF, sehingga LIF juga memperbaiki
kelangsungan hidup motor neuron medulla spinalis embrional in vitro.
LIF juga ditransportasi secara retrograd oleh motor neuron, terutama setelah cedera saraf dan mRNA-
nya yang di-ekspresikan pada otot selama pertumbuhan dan pada segmen distal n.ischiadius dewasa
yang dipotong akson-nya. Secara in vivo LIF mencegah motor neuron neunatus tikus dari kematian
pada 2 uji klinik, dimana akson dipotong. Pemberian LIF secara sistematik pada roden, ternyata
menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki, sehingga harus dipikirkan dengan seksama dosis
dan cara pemberiannya, bila hendak dipakai secara klinis.
NGF sendiri tidak mempunyai efek pada motor neuron, namun derivat-nya yang lain, yang
termasuk dalam golongan neurotropin mempunyai efek yang bermakna, sehingga di masa yang akan
datang diperkirakan akan dapat dipakai pada pengobatan MND.
Sebagai contoh adalah BDNF, NT-3 dan NT-4 yang semuanya memperbaiki kelangsungan hidup dari
motor neuron embrio tikus dan juga reseptor dengan afinitas yang tinggi terhadap zat-zat ini, yaitu
reseptor trk B dan trk C terdapat pada motor neuron, sehingga dianggap bahwa neurotropin-
neurotropin ini bekerja langsung pada motor neuron pool.
Juga mRNA dan BDNF dan NT-3 diekspresikan pada otot skelet pada sinaptogenesis dan pada
keadaan dewasa, sehingga dianggap bahwa mereka bekerja sebagai faktor pertumbuhan dengan target
(target derived growth factors) untuk motor neuron in vivo. BDNF juga ditransportasi secara retrograd
pada motor neuron perinatal dan dewasa dan ekspresi mRNA dari BDNF pada binatang dewasa
diperbaiki pada otot yang mengalami degenerasi, sehingga menunjang hipotesa, bahwa adalah sangat
penting untuk mempertahankan integritas motor neuron.
Yang terpenting adalah bahwa BDNF mengurangi kematian motor neuron pada neonatus tikus, yang
aksonnya dipotong pada n facialis atau pada n.ischiadicus dan bila dihapus mutan trkB (murine
deletion mutant), maka terjadi kehilangan motorneuron di kranial dan spinal. Ada kemungkinan,
bahwa NT-4 yang juga bekerja melalui resptor trkB, mempunyai peranan pada kelangsungan hidup
motor neuron in vivo.
Faktor FGF-2 dan FGF-5 juga memperbaiki kelangsungan hidup dan perpanjangan neurit pada
motor neuron medulla spinalis ayam, namun pada penyelidikan akhir-akhir ini ternyata pemberian
FGF-1 dan FGF-2 tidak mencegah terjadinya kematian pada motor neuron n. facialis yang terkena
cedera pada neonatus roden.
Akhirnya insulin like growth factor-1 (IGF-1) merupakan suatu faktor yang efektif
mempertahankan kelangsungan hidup pada motor neuron roden, baik in vitro maupun in vivo.
Uji klinik sedang dilakukan untuk mengetahui efek dan keamanan dari BDNF dan IGF-1 untuk pasien-
pasien yang menderita MND.
Hasil preliminer dari salah satu uji klinik tersebut menyatakan, bahwa terdapat efek samping yang
berat dan sejumlah pasien secara bermakna mengalami kemunduran dalam kekuatan otot dibandingkan
dengan kontrol. (Drago et al, 1994).

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERJA ZAT NEUROTROPIK


Beberapa hal perlu diperhatikan, yaitu :
 Kebanyakan model binatang yang dipakai sekarang ini masih belum sempurna dan belum dapat
disamakan dengan penyakit neurodegeneratif yang ingin dicontoh, namun demikian percobaan
binatang adalah suatu langkah yang menentukan dan perlu diperlukan, sebelum uji klinik
dilakukan pada manusia.
 Farmakokinetik dari faktor-faktor pertumbuhna harus dipelajari dengan seksama, untuk
menentukan pemberian faktor pertumbuhan secara efektif pada tempat (site) penyakitnya dan
untuk mengurangi efek samping sistematik dan neurologis yang tidak di kehendaki.
 NGF mempengaruhi sistem imun dengan cara menstimulasi migrasi sel mast dan pelepasan
histamin dan dapat mempengaruhi sistemn reproduksi dan pengaruh fungsional dari pemberian
faktor pertumbuhan untuk waktu yang lama masih harus dievaluasi lebih lanjut.
 Perkembangan dari tehnik pemberian faktor-faktor pertumbuhan dengan cara yang terbatas pada
suatu populasi sel target akan memainkan peranan yang penting dalam menentukan keberhasilan
dari terapi dengan faktor neurotropik.
52
 Untuk menjaga bahwa pada pemberian faktor pertumbuhan secara eksogen, zat-zat tersebut tetap
aktif secara biologis adalah krusial untuk keberhasilan terapi dengan faktor pertumbuhan, karena
faktor pertumbuhan umunya merupakan suatu protein alami dan berbagai elemen dapat
mempengaruhi bioavailabilitas-nya setelah pemberian secara sistematik.
Selain itu proteolytic cleavage oleh peptidase yang non-spesifik dapat me-nonaktifkan
molekulnya, yang dianggap merupakan sebagian penyebab dari kegagalan uji klinik dengan
CNTF pada ALS.
Di lain pihak, berbagai faktor akan mengikatkan diri dengan zat-zat neurotropik yang diberikan
secara eksogen tersebut, sehingga akan menjadi tidak memungkinkan untuk zat neurotropik
tersebut terikat pada reseptornya di neuron.

PERANAN VITAMIN NEUROTOPIK PADA REGENERASI


Sebelum faktor-faktor pertumbuhan yang telah dibicarakn di atas ditemukan, biasanya vitamin-
vitamin neurotropik digunakan untuk memacu regenerasi.
Defisiensi vitamin B dapat merupakan kausa utama atau sebagai ko-faktor penyebab neuropati, dan
ada anggapan bahwa vitamin B dapat menyebabkan regenerasi pada saraf dan dikatakan juga, bahwa
vitamin B mempunyai efek analgesik pada berbagai neuropati (Rainers, 1992).
Defisiensi vitamin B1, B6 dan B12 ada hubungan dengan terjadinya berbagai lesi di saraf perifer,
sehingga menunjukkan bahwa vitamin-vitamin tersebut mempunyai peranan yang sangat penting pada
jaringan saraf perifer.
Vitamin-vitamin neurotropik ini saat ini banyak dipakai pada pengobatan berbagai penyakit saraf
perifer.
Kombinasi B1, B2 dan B12 lebih efektif daripada B12 saja dan kombinasi B1, B6 dan B12 tidak lebih
efektif daripada metilkobalamin. (Kikkawa, 1985).
TIAMIN (Vitamin B1) adalah suatu ko-enzim pada metabolisme glukosa dan terdapat bukti-bukti,
bahwa vitamin B1 dapat:
 Memperbaiki eksitasi saraf.
 Memperbaiki komunikasi sinaptik.
 Merupakan zat yang perlu ada pada fungsi saluran ion (ion channel) pada membran sel.
 Mempunyai peranan yang penting pada pemberian energi pada neuron (energy supply of
neurons).
 Diperlukan untuk regenerasi membran akson.

PIRIDOKSIN (Vitamin B6) :


 Membantu konversi triptofan menjadi N-metil nikotanmid
 Dapat membantu remielinisasi
 Adalah esensial untuk sintesa asam amino dan neurotransmiter yang penting
 Mempunyai pengaruh pada sintesa sfingolipid, yaitu komponen-komponen yang esensial di
membran sel pada sarung mielin.

SIANOKOBALAMIN (Vitamin B12)


 Berpengaruh pada metabolisme asam nukleat dan protein sistem saraf.
 Juga merupakan faktor yang penting pada pembentukan dan pemeliharaan sarung
myelin

METILKOBALAMIN :
 Merupakan satu-satunya derivat aktif dari vitamin B12
 Merupakan coenzim aktif B12
 Yang mempunyai efek merangsang poteosintesis & sintesis fosfolipid sel-sel Schwan
 Mempromosi sintesa fosfatidilkholin yang memperbaiki aktivitas Na+/K+-ATPase
 Dengan jalan transmetilasi dapat menyebabkan mielogenesis dan menstimulasi regenerasi akson
saraf dan memperbaiki transmisi pada sinaps.

53
 Mempunyai efek inhibisi terhadap degenerasi Wallerian, sehingga mengakselerasi perbaikan
(recovery) dan regenerasi serabut saraf. (Yamatsu, 1976).

PENGOBATAN NEUROPATI
Neuropati perifer mempunyai gejala-gejala yang begitu beraneka-ragam dan seringkali bertentangan
dengan diagnosis etiologi dan banyak yang tidak bisa diobati.
Kausa neuropati yang banyak ditemukan adalah neuropati diabetika, yang tampaknya sebagian besar
resisten terhadap terapi, walaupun pengaturan gula darah tampaknya menghambat terjadinya neuropati
(prevensi primer) dan memperlambat progesivitasnya (prevensi sekunder).
Neuropati toksis dan defisiensi, harus dikenali secara dini keberadaannya, karena pada mulanya akan
ada respon yang baik, setidaknya sebagian, bila toksin dihentikan atau defisiensi diperbaiki.
Faktor neurotropik memang memperbaiki regenerasi saraf dan agaknya mempunyai peranan yang
penting.
Namun apa yang telah berkembang dalam dekade terakhir adalah kesadaran (awareness) bahwa
peranan gangguan sistem imun sangat penting pada patogenesis neuropati.
Untuk neuropati yang sejak lama sudah diketahui mempunyai dasar oto-imun seperti GBS dan CIPD,
akhir-akhir ini daftarnya ditambah lagi dengan MMN ( multifocal motor neuropathy), dan juga
pleksopati lumbosakral yang idiopatik dan amiotropi diabetika.
Dengan demikian selain terapi neuropati yang konvensional, sekarang ditambah lagi dengan
perkembangan dari imunoterapi yang mutakhir

Tujuan terapi ada dua, yaitu menghilangkan kausa penyakit dan mengurangi gejala. Pengobatan dari
keadaan yang mendasarinya tergantung dari kausa, misalnya defisiensi vitamin bisa dikoreksi dengan
suplementasi oral atau suntikan dari vitamin yang defisien. Infeksi diobati dengan antibiotika atau obat
antiviral. Penyakit auto-imun seringkali diobati dengan plasmaferesis atau imunosupresi, dengan
menggunakan kortikosteroid, IVIg atau khemoterapi. Pada neuropati paraneoplastik, maka pengobatan
ditujukan terhadap menghilangkan tumornya. Neuropati toksis atau yang disebabkan oleh obat (drug-
induced neuropathies), diobati dengan menghilangkan zat-zat / obat-obat yang menyebabkannya. Pada
diabetes, maka kontrol hiperglikemia adalah yang utama, sehingga memperlambat terjadinya
progresivitas neuropati.

Pengobatan neuropati meliputi berbagai aspek:


 menghilangkan atau mengobati kausa / penyebabnya
 mencegah terjadinya komplikasi
 mengobati penyakit infeksi yang menyertainya bila ada
 mencari apakah ada pemakaian bahan-bahan / obat-obat yang neuro-toksis dan
menghentikan pemakaian bahan-bahan / obat-obat tsb., antara lain:
vinkristin, vinblastin, isoniazid, nitrofurantoin, khloroquin, hidralazin, kliokinol,
difenilhidantoin, khloramfenicol, disulfiram, heksakhlorofen, indometasin, amfetamin,
metakualon, metronidazol, dapson dan preparat-preparat garam emas.
 memperbaiki metabolisme
 kompensasi malnutrisi dan / atau malabsorbsi terutama vitamin B
 memberikan obat-obat yang dapat membantu / mempercepat regenerasi saraf a. l. dosis
tinggi vitamin B; metilkobalamin atau preparat kombinasi vitamin B : yang biasanya ada
adalah kombinasi vitamin B1 100 mg, vitamin B6 100 mg dan vitamin B12 200 ug, yang juga
disebut neurotonika.
Dyck et al (1987) menganjurkan pemberian Tiamin 25 mg, Niacin 100 mg,
Riboflavin 10 mg, asam Pantotenal 10 mg dan Piridoksin 5 mg.
Metilkobalamin diberikan 3X500 ug/hari selama 8 minggu.
 terapi simptomatik bila perlu
 nyeri neuropatik :
Antidepresan trisiklik : amitriptilin 3x25 mg/hari
Antikonvulasan : gabapentin/neurontin, karbamazepin 3x200mg,

54
fenitoin 300 mg/hari
Analgesik : tramadol, asam asetilsalisilat 600 mg tiap 4 jam,
kadang-kadang perlu codein 30 mg tiap 4 jam,
namun sebaiknya preparat opiate dihindari.
Vitamin B dosis tinggi
Pada nyeri DM neuropati dapat diberikan asam tioktat 20-30 mg/hari atau
karbamazepin 3 X200 mg/hari, Neurontin 3x1.
Nyeri nocturnal yang kadang-kadang terjadi di kaki dapat diobati dengan nokotilalkohol
dan fenobarbital.
 kramp & fasikulasi : teofilin, kinidin, benzodiazepine, relaksan otot : eperisone HCl, tizanidin
 disfungsi ortostatik : simptomimetika, fludokortison, dihidroergotamin
 gangguan gastro-intestinal : domperidon, metoklopramid
 disfungsi ereksi : Viagra atau penyuntikan dalam corpora cavernosa.
 menghentikan pengaruh auto-imun, bila ada juga mencari kausa imunologis HIV, CMV,
GBsy CIDP. Imunoterapi akan dibahas dengan lebih lengkap di akhir makalah.
 kortison atau ACTH kadang-kadang efektif, namun secara umum sebaiknya hanya
digunakan pada polineuropati yang kronis dengan relaps (CRPN = chronic recurrent
polineuropathy)
 untuk negara barat : mengobati alkoholisme
 Fisioterapi : semua jenis neuropati dengan gangguan motorik atau sensorik sampai ataksis
memerlukan fisioterapi, yang bukan hanya terbatas pada latihan pasif atau massage otot saja,
namun juga mencakup latihan aktif (active exercise) dan bila perlu menggunakan alat-alat
sehingga mencakup rehabilitasi secara menyeluruh.
 Memberikan MOTIVASI pada pasien agar tetap bersemangat dengan memberikan
pengharapan penyembuhan, dengan memberitahukan kepada pasien bahwa :
 perbaikan akan memakan waktu yang lama, karena regenerasi saraf hanya 1mm/hari
 regenerasi dapat berjalan lebih baik, bila tidak ada kerusakan yang masih berlanjut.

Imunoterapi
Dalam dekade terakhir timbul kesadaran (awareness) bahwa peranan gangguan system imun sangat
penting pada patogenesis neuropati.
Daftar neuropati yang sejak lama sudah diketahui mempunyai dasar auto-imun seperti GBS dan CIDP,
akhir-akhir ini ditambah lagi dengan MMN (multifocal motor neuropathy), dan juga pleksopati
lumbosakral yang idiopatik dan amiotrofi diabetika.
Dengan demikian selain terapi neuropati yang konvensional, sekarang ditambah lagi dengan
perkembangan dari imunotherapi yang mutakhir.

Imunoterapi pada CIDP


IVIg & PE
Selama dekade terakhir, intravenous-immunoglobulin (IVIg) telah menjadi pengobatan yang dipilih
pada CIDP dan efektivitasnya sama dengan plasma exchange (PE).
Perbandingan antara oral prednisolon dengan IVIg pada IVIg pada CIDP ternyata menghasilkan efek
yang sama, walaupun lebih baik pada IVIg namun tidak bermakna.
Banyak pasien yang telah diobati dengan obat-obatan imunosupresif, seperti azatioprin dan
siklofosfamid, namun efektivitasnya belum pernah diuji secara klinik dengan baik .
Pengobatan dengan IVIg maupun PE walaupun telah dibuktikan efektivitasnya sebagai obat yang
sudah estabilished, namun tidak selalu efektif pada semua pasien dan walaupun efektif mempunyai
banyak kekurangannya, karena pemberian terapi bisa melebihi tiga bulan. Kebanyakan uji klinis tidak
pernah dilakukan melebihi waktu 3 bulan itu.

Interferon α (INFα)

55
Belum ada uji klinik tersamar ganda yang dilakukan dengan obat ini pada CIDP walaupun hasil-hasil
yang dicapai menjanjikan. Perlu juga diketahui adanya laporan terjadinya CIDP setelah pengobatan
dengan INFα pada hepatitis C.
Pada saat ini INFα belum bisa disebutkan sebagai suatu estabillished drug untuk CIDP, walaupun
telah terjadi penyembuhan komplit pada beberapa pasien yang refrakter terhadap pengobatan obat-obat
lain, tetapi INFα memberikan suatu harapan sebagai suatu terapi alternatif bila dibandingkan dengan
pemberian siklofosfamid yang lebih toksik.

Interferon β (INF β)
Pada tahun 1999 dilaporkan hasil yang baik dengan pemakaian INF β pada 4 pasien CIDP, yang mula-
mula ada respons terhadap pengobatan konvensional, namun lalu menjadi resisten. Juga dengan
kombinasi IVIg menunjukkan adanya perbaikan melebihi 20%, namun studi tidak tersamar ganda
dengan n (jumlah pasien) kecil, sedangkan Hadden (1999) melaporkan tidak ada hasil menggunakan
obat ini.
Semua studi yang telah dilakukan biasanya menggunakan pasien yang sudah lama (durasi 8 – 11
tahun) yang telah gagal dengan terapi konvensional, dan dengan demikian memang merupakan pasien
yang telah resisten terhadap terapi yang lain.
Obat ini lebih bisa di toleransi dibandingkan kortikosteroid dan lebih murah dibandingkan IVIG dan
PE.

Pulsed metilprednisolon
Pulsed metilprednisolon secara iv dengan dosis 500 mg selama 5 hari disusul dengan 500 mg selama 2
hari setiap 2 minggu selama 3 bulan dapat memberikan hasil dan perbaikan dapat dipertahankan
selama terapi dan menurun lagi bila terapi dihentikan, dan terapi 2 mingguan diberikan lagi selama 2
tahun dengan hasil yang menetap, dan efek samping yang ringan
Akhir-akhir ini telah dicoba pula pada 3 pasien setelah IVIg dan metilprednisolon diberikan secara oral
tanpa diberikan terapi inisial pada 5 hari pertama, dengan hasil perbaikan yang dramatik.
Efek samping yang dijumpai adalah insomnia dan agitasi ringan pada hari mendapatkan terapi pada
semua pasien dan hiperglikemi pada hari terapi pada 1 pasien yang memang menderita NIDDM.
Walaupun uji klinik tidak tersamar ganda dan jumlah pasien kecil, namun pulsed metilprednisolon
adalah aman, dapat ditoleransi dengan baik dan efektif untuk jangka panjang pada CIDP, namun masih
perlu penyelidikan lebih lanjut.

Imunoterapi pada GBS


PE telah diterima sebagai suatu terapi yang estabilished untuk GBS pada tahun 1985 dan IVIg
dianggap sama efektif sejak tahun 1992.
Yuki (2000) dan Kuwabara (2001) menyebutkan bahwa pasien GBS yang mempunyai antibodi
terhadap GMI mempunyai respons yang lebih baik terhadap IVIg daripada terhadap PE.
Perbaikan terhadap tehnik PE termasuk double filtration PE, immuno absorbtion dan CSF filtration
tidak memberikan kelebihan dibandingkan terhadap IVIg atau PE standar
Tidak ada bukti yang dapat dipercayai bahwa relaps lebih tinggi pada IVIg dibandingkan dengan PE
Penyelidikan preliminer pada brain-derived neurotrophic factors (BDNF) menunjukkan tidak ada
perbedan yang bermakna antara BDNF dan plasebo.
Imunoterapi pada multifocal motor neuropathy (MMN)
MMN merupakan suatu penyakit yang khronik dan melumpuhkan dan kebanyakan mengenai penderita
usia muda sehingga memberikan berbagai tantangan dalam terapinya.
Terapi yang paling efektif pada MMN adalah IVIg.
IVIg tidak menyebabkan remisi dan walaupun ada laporan perbaikan kekuatan otot dan fungsi
neurologis setelah setiap pemberian IVIg, tidak dapat dipungkiri, bahwa tetap ada pemburukan yang
lambat yang tidak dapat dihindari.
Walaupun demikian terapi dapat memperlambat progresivitas, dimana pemburukan yang diukur
dengan neurologic disability scale sebelum terapi adalah 4,2 pertahun dibandingkan dengan 1,3
setelah terapi IVIg.

56
Biasanya perbaikan setelah pemberian IVIg bertahan selama 1-2 bulan, sehingga diperlukan pemberian
ulang.
Karena biaya yang sangat mahal, maka perlu dipikirkan terapi alternative lain.
MMN tidak membaik dengan pemberian kortikosteroid maupun PE, malahan bisa terjadi pemburukan
pada pemberian kedua-nya.
Siklofosfamid tersendiri atau dengan kombinasi dengan IVIg efektif, tapi tidak memberikan remisi
yang permanen dan mempunyai resikonya sendiri (bisa menyebabkan malignasi setelah bertahun-
tahun).
Pemakaian Interferon β (INFβ) pada MMN bisa memberikan hasil pada pasien yang telah resisten
terhadap terapi konvensional dan perbaikan terlihat 2-4 minggu dan mencapai puncak pada 6 bulan
lalu menjadi stabil.
Interferon β lebih murah dan toleransi baik, dan efek keamanan dan tolerabilitas jangka panjangnya
telah teruji pada MS.
Pada beberapa pasien MMN; titer antibody GMI gangliosid tinggi yang diproduksi oleh B limfosit.
Rituximab adalah suatu antibody monoclonal terhadap sel B dan telah dipakai pada limfoma dan
leukemia dan ternyata menghasilkan suatu penurunan 80% sel B.
Pemberian infus Rituximab setiap minggu untuk 4 minggu memberikan perbaikan pada pemberian
obat dan menetap selama 6 bulan.
Perbaikan klinis disertai dengan penurunan titer antibody GMI secara progresif, dan tidak dilaporkan
adanya efek samping.

Imunoterapi pada amiotrofi diabetik


Terdapat bukti kuat bahwa amiotrofi diabetic disebabkan oleh suatu mikrovaskulitis dan agaknya
immune mediated
Telah dilakukan pengobatan pada 12 episode amiotrofi diabetika pada 11 pasien.
Enam pasien menerima IVIg sebanyak 6 episode dan lima pasien lainnya mendapatkan pulsed
intravenous methylprednisolon, pemberian selama 2 hari berturut-turut setiap 2 minggu selama 1 – 3
bulan.
Hasil paling dramatik adalah pada nyeri : dengan pemberian IVIg 4 pasien mengalami perbaikan nyeri
dalam beberapa hari atau minggu, sedangkan dengan metilprednisolon, nyeri hilang atau perbaikan
dalam beberapa hari setelah pemberian obat yang terlihat pada 4 episode.
Pasien yang mendapatkan terapi dalam 2 bulan sejak timbulnya gejala mempunyai respons yang lebih
cepat dan dramatik dibandingkan yang telah menderita keluhan itu lebih dari 3 bulan, walaupun
perjalanan penyakitnya tidak banyak berubah.
Kelemahan membaik lebih lambat, umumnya dalam 10 – 20 minggu, namun masih lebih cepat dari
perjalanan penyakitnya sendiri (natural history of the disease)
Lamanya menderita penyakit meramalkan perbaikan kekuatannya.
Peranan Neurotropin pada system saraf perifer
Pada sistem saraf perifer, faktor neurotropin merupakan suatu faktor kelangsungan hidup (survival
factor) untuk berbagai golongan neuron.
Adanya NGF (Nerve Growth Factor) dalam jumlah terbatas dengan cara yang target-derived adalah
esensial untuk kelangsungan hidup neuron simpatetik dari ganglia paravertebralis dan untuk 70-80%
dari neuron sensorik (nociceptor) di ganglia radiks dorsalis.
Berbagai subpopulasi spesifik dari neuron sistem saraf perifer yang lain menunjukkan
ketergantungannya pada BDNF (Brain Derived Neurotrophic factor) atau sitokin GDNF (glial cell
line-derived neurotrophic factor).

TERAPI IMUNOGLOBULIN (IVIg) pada KASUS2 NEUROLOGIS


Dosis tinggi imunoglobulin intravena (IVIg) telah menjadi suatu terapi yang penting yang dipakai
untuk berbagai penyakit neurologis.
Karena terdapat interpretasi yang berbeda dari hasil-hasil uji klinik yang membandingkan keuntungan
terapi imunoglobulin intravena (IVIg) dengan terapi yang lain dan juga hal-hal yang menyangkut
mengenai keamanan, harga dan mekanisme kerjanya, maka diperlukan beberapa pengetahuan
mengenai imunoglobulin yang harus diketahui para dokter.

57
IVIg telah terbukti efektif pada terapi
* sindroma Guillain-Barre (Gbsy),
* neuropati motorik multifokal (MMN),
* chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP) &
* dermatomiositis
Pada beberapa uji klinik yang lain yang terbuka maupun yang tersamar ganda dengan kontrol dan juga
pada beberapa laporan kasus, IVIg menghasilkan perbaikan pada beberapa pasien yang menderita:
* sindroma miastenik Lambert-Eaton &
* miastenia gravis
dan IVIg memberikan sedikit hasil atau keuntungan ringan pada pasien-pasien dengan
* inclusion-body myositis,
* paraproteinemic IgM demyelinating polyneuropathy,
* polimiositis,
* sklerosis multipel
* neuritis optika dan
* stiff-man syndrome.
IVIg telah diakui oleh FDA (Food & Drug Administration) sebagaimaintenance treatment untuk :
* imunodefisiensi humoral primer (blood-based),
* trombositopenik purpura autoimun yang akut dan khronik

Efek samping utama yang ditemukan adalah:


* nyeri kepala
* meningitis aseptik
* reaksi pada kulit
* beberapa kejadian tromboembolik &
* nekrosis renal tubeler (jarang terjadi)
Efek imunnomoduler IVIg secara tunggal atau dalam kombinasi dengan obat lain yang paling penting
adalah:
* inhibisi complement deposition,
* neutralisasi sitokin
* modulasi Fc-receptor-mediated phagocytosis & downregulation produksi
autoantibodi.
Terapi IVIg efektif untuk beberapa penyakit autoimun dalam bidang neurologi, namun spektrum
efektivitasnya belum ditentukan dengan lengkap, sehingga masih dibutuhkan beberapa uji klinik yang
bermakna.
Walaupun demikian IVIg telah menjadi suatu terapi yang sangat bermakna untuk beberapa penyakit
neurologis. Dalam bidang neurologi, mungkin lebih daripada cabang ilmu lain dalam kedokteran,
pemakaian IVIg yang relatif mahal ini telah meningkat secara tajam, sehingga di luar negeri
menyangkut bidang
* asuransi kesehatan medis
* anggaran farmasi rumah sakit dan
* kemampuan finansial pasien sendiri.

Pembuatan dan keamanan


Setiap vial IVIg dibuat dengan cara cold ethanol fraction (proses Cohn) dari plasma human yang
diambil dari kumpulan 3000-10000 donor.
Obat ini lalu dimurnikan dengan cara enzimatik pada pH yang rendah yang diikuti dengan fraksinasi
dan khromatografi.
IVIg yang telah dimurnikan lalu distabilisasi dengan glukosa, maltosa, glisin, sukrosa, manitol atau
albumin
Produk akhir mengandung lebih dari 95% IgG,
kurang dari 2,5 % IgA &
sedikit IgM yang bisa diabaikan keberadaanya.
Subklas IgG : IgG1 55% - 70%,

58
IgG2 30% - 38%,
IgG3 0 % - 6 % dan
IgG4 0,7 % - 2,6%,
Yang tergantung dari besarnya dan komposisi pool donor yang dipakai pada awal pembuatan IVIg.
Produk-produk IVIg yang beredar di USA saat ini adalah aman terhadap transmisi beberapa virus dan
infeksi.
Pada donor telah diperiksa terhadap
* human immunodeficiency virus (HIV);
* human T-cell lymphotropic virus,
* virus hepatitis A, B, and C.
HIV dan virus hepatitis B virus telah ter-inaktivasi dengan proses fraksinasi dan efektivitas metode ini
telah dibuktikan dengan menambah HIV pada IVIg secara eksperimental dengan hasil yang
memuaskan.
Selain itu maka penambahan
* solven
* detergen, atau
* enzim dan
* inkubasi pada pH yang rendah,
saat ini dipakai dalam pembuatan obat ini sehingga membuat inaktivasi
* virus hepatitis C dan
* virus-virus yang lain.
HIV virus belum pernah ditularkan melalui pemakaian IVIg
Di USA sedikitnya 137 suspek pasien hepatitis C yang terkena dengan pemakaian Gammagard (Baxter
Healthcare Corp, Glendale, California) namun saat ini telah ditarik dari peredaran dan Gammagard
telah diganti dengan Gammagard-SD yang pembuatannya sudah memakai solven dan detergen.
Dengan alasan keamanan maka sebuah pabrik obat pernah juga menarik suatu golongan nomor produk
IVIg-nya karena salah satu dari ribuan donor-nya telah menderita penyakit Creutzfeldt-Jakob dan ini
hanya dilakukan berdasarkan dasar teori transmisi penyakit, walaupun protein prion sebetulnya belum
pernah terbukti bisa menyebabkan trasmisi penyakit secara eksperimental pada pemakaian produk2
yang mengandung darah.
Walaupun IVIg telah terbukti aman, dan pembuatanya juga secara teliti dan hati-hati oleh para
produsen obat, namun para klinisi tetap harus waspada terhadap adanya penyebab-penyebab infeksi
yang bisa dihubungkan dengan pemakaian jangka panjang IVIg.

Farmakologi klinik:
Setelah infus IVIg dengan dosis 2 g/kg berat badan yang merupakan dosis yang lazim dipakai pada
kasus neurologis, maka
* kadar serum IgG meningkat 2- 5 kali
* lalu menurun 50 % dalam 72 jam
* lalu kembali ke semula dalm 21-28 hari,
Penurunan kadar pada waktu awal menandakan adanya re-distribusi ekstravaskuler.

Status dari terapi IVIg pada penyakit2 neurologis


Pada beberapa penyakit neurologis dengan dasar patogenesis autoimun, maka beberapa uji klinik
dengan kontrol menyimpulkan efektivitas IVIg yang baik, walaupun kadang2 hasilnya tidak begitu
konsisten pada semua uji-2 uji klinik. Namun pada penyakit-pentakit lain bukti2 anekdot atau tak
terbukti.

Uji klinik tersamar ganda. (Controlled Clinical Trials)


Sindroma Guillain-Barre adalah suatu sindroma polineuropati yang akut disertai demielinisasi yang
mencapai puncaknya dalam 2 minggu onset dan menyebabkan
* Kelemahan yang berat atau

59
* Paralisis ekstremitas &
* Otot-otot pernafasan.
Walaupun target antigen-nya belum diketahui sampai saat ini, yang terbukti dari adanya hubungan
dengan mekanisme imun humoral dan terlihat dari
* aktivasi dari komplemen
* deposisi membranolytic attack complex di sarung myelin
* antigangliosid yang beredar
* antibodi glikolipid
* peningkatan jumlah produk aktivasi T-cell
* sitokin
* invasi sarung myelin oleh makrofag
Pada minggu pertama, terapi yang dianjurkan pada GBsy terutama bila penyakitnya berat dan
membutuhkan pertolongan sewaktu berjalan adalah plasmaferesis atau IVIg.
Pada uji klinik yang tersamar ganda, maka terlihat perbaikan pada 52 % pasien setelah plasmaferesis
dan 38 % pasien yang diberi sham aphresis (palsu). Terapi IVIg bersama dengan plasmafaresis
menyimpulkan bahwa IVIG juga efektif sebagai terapi first-line.
Pada studi ini maka:
52,7 % dari 74 pasien menerima IVIg
34 % dari 73 pasien menjalani plasmaferesis
Dan terlihat * perbaikan fungsional dari
* satu tingkatan atau lebih setelah 4 minggu
Walaupun IVIg jelas efektif, maka rekomendasi pemakaiannya sebagai alternatif dari plasmaferesis
dibantah karena hasil IVIG dibandingkan plasmaferesis pada studi ini inferior dibandingkan dengan
studi2 sebelumnya Hal ini menyebabkan dibuatnya uji klinik yang multinasional dan multisenter yang
membandingkan secara parallel
* Efektivitas IVIg secara tersendiri
* Plasmeferesis tersendiri
* Plasmaferesis diikuti dengan IVIg.
Setelah terapi selama 4 minggu dan follow-up selama 48 minggu ternyata tidak ada perbedaan yang
bermakna diantara golongan tsb sehingga mengkofirmasi efektivitas IVIg pada pengobatan GBS.
Pada suatu uji klinik yang memakai kombinasi IVIg dan metilprednison i.v (500 mg) ternyata
pemberian kombinasi ini lebih efektif daripada IVIg tersendiri sehingga dibuat lagi suatu uji klinik
yang lain.
Bisa terjadi suatu relaps dini pada waktu terapi awal plsmaferesis ataupun IVIg pada suatu uji klinik
tersamar ganda relaps yang terjadi hampir sama pada pasien yng menerima terapi plasmaferesis (8.3 %
) dan terapi IVIg (10.8%) dengan keluarannya (outcome) sama pada ke 2 golongan. Pada uji klinik
yang kecil maka terjadinya relaps dini adalah lebih tinggi pada pasien yang mendapat terapi IVIg dan
beberapa pasien yang mendapatkan relaps hanya bereaksi terhadap plasmaferesis.
Namun pada uji klinik multisenter yang kedua, maka diantara ke 2 regimen pengobatan tidak dijumpai
perbedaan yang bermakna sampai 48 minggu kemudian dalam penyembuhan dari disabilitas antara
pasien yang menerima IVIg dan plsmaferesis atau secara bersamaan IVIg dan plasmaferesis.
Akhirnya timbul pertanyaan yaitu terapi mana yang harus digunakan mula-mula, melihat
efektivitasnya hampir sama dan harga yang juga mahal, maka hal ini harus dipertimbangkan dengan
matang dari sudut kemudahan pemberiannya dan praktis tidaknya (convenience & practicality).
Terapi IVIg lebih mungkin diberikan
* pada pasien di daerah terpencil,
* pada rumah sakit dimana tidak tersedia plasmaferesis
* atau rumah sakit dimana plasmafresis tidak digunakan secara baik karena tidak ada ahlinya
* pada anak2 kecil dimana pemberian intravena merupakan
* sepsis
* disfungsi otonomik yang parah
* hemodinamika yang tidak stabil
Pada situasi2 lain, maka pemakaian IVIGg ataupun plasmaferesis kurang lebih sama.

60
Bila penyakit makin memburuk dalam 15 hari pertama, walupun telah diberikan plasmaferesis, maka
suatu pemberian IVIg dapat di-indikasikan.
Apakah suatu pemberian IVIg yang kedua setelah 3 minggu memberikan keuntungan belum dapat
ditentukan.
Pada umumnya bila pasien GBSy tetap lemah, walaupun tidak ada progresi dari penyakit lagi, maka
diperlukan kebijaksanaan, kesabaran, dan perawatan suportif dan bila perlu perwatan di ICU dengan
monitoring yang lengkap dari fungsi otonom dan kardiologis, yang semuanya tidak tergantung dari
terapi mana yang diberikan.
Bila diperlukan terapi yang lebih lanjut, maka agaknya pengulangan pemberian suatu regimen terapi
lebih bijaksana daripada menggunakan terapi alternatif yang lain.

CIDP (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy)


seringkali disebut juga GBS khronik karena persamaan imunopatologis dan elektrodiagnostik dengan
GBS.
CIDP adalah suatu polineuropati dengan demilienisasi yang jelas dan didapat (acquired) yang onsetnya
lambat dari beberapa minggu sampai beberapa bulan dengan gejala2:
* kelemahan
* arefleksia, dan
* gangguan sensibilitas.
berlainan dengan GBSy yang merupakan penyakit yang monofasik, maka CIDP memerlukan terapi
jangka panjang untuk mempertahankan hasil terapi yang baik.
Walaupun streoid merupakan terapi pilihan (first choice) pada CIDP, namun respons terhadap
pengobatan biasanya lambat dan berlarut-larut sehingga mepertinggi kemungkinan efek samping berat.
Selain itu banyak pasien berhenti berespons terhadap terapi steroid atau mendapatkan efek samping
yang tidak bisa diterima lagi sehingga memerlukan terapi jenis lain. Pada suatu uji klinik yang
tersamar ganda yang dilakukan secara acak dan cross-over dengan IVIg atau plasmaferesis pada 20
pasien dengan CIDP.
Ternyata kedua macam terapi itu sama efektifnya dalm hal:
* memperbaiki kekuatan otot dan gejala neuropati dan
* memperbaiki amplitude dari evoked muscle-action potentials.
Hal ini dipastikan juga dengan uji klinik yang lain yang juga dilakukan secara acak yang
mengemukakan bahwa suatu infus sekali sebulan dari 1 g (bukannya 2 g) IVIg dapat digunakan
sebagai maintenance therapy dengan memuaskan, namun ini masih perlu penyelidikan lebih lanjut.
Pemilihan pemakian terapi prednison, IVIg atau plasmaferesis harus dipertimbangkan berdasarkan
harga, efek samping jangka panjang, umur pasien, akses vena, beratnya penyakit dan penyakit2 lain
yang menyertainya.
Bila steroid merupakan kontraindikasi, memberikan efek samping yang berat atau tidak efektif, maka
IVIg merupaka terapi yang diutamakan, karena lebih mudah diberikan dibandingkan dengan
plasmaferesis. Dan sebaiknya plasmaferesis diperuntukan bagi pasien2 dimana terapi IVIg tidak
efektif.

MMN( Multifocal Motor Neuropathy)


Gejala dini dari MMN adalah
* onset yang sangat lambat dari kelemahan disertai dengan
* atrofi otot
* bisanya yang terkena ekstremitas atas disertai
* arefleksia sedangkan
* sensibilitas masih baik
Penentuan diagnosa adalah adanya blok konduksi (conduction block) dari akson motorik dan pada
kebanyakan pasien dengan adanya antibody terhadap gangliosid GM1.
Berlainan dengan CIDP, maka pada MMN tidak akan ada perbaikan dengan terapi streroid maupun
plasmaferesis.
Namun seperti yang dibuktikan pada uji klinik tersamar ganda dan beberapa studi terbuka, maka
MMN bereaksi baik sekali terhadap IVIg.

61
Bila gejala-gejala berkurang, maka blok konduksi elektrofisiologis akan berkurang namun titer
antibodi GMI tidak berubah.
Secara in-vitro IVIg akan menghambat ikatan antara antibody GM1 dengan target antigen.
Terapi dengan IVIg pada saat ini adalah terapi pilihan (treatment of choice) bila efektifitasnya IVIg
menurun setelah beberapa bulan, maka pemberian tambahan i.v siklofosfamid IVIg sebanyak 1 g/m2
luas permukaan badan bisa membantu.
Bukti anekdotal mengemukakan efektivitas IVIg pada MMN dan juga pada CIDP dan keadaan2 lain
dapat juga diperbaiki dengan pemberian plasmaferesis sebelum infus berikutnya.

Miastenia gravis (MG)


Dosis tinggi IVIg telah dipergunakan sebagai terapi yang sudah diterima dan merupakan terapi
konvensional pada berbagai penyakit neurologis.
Bisa dianggap sebagai kebalikan dari plasmaferesis, dan bukan dengan menghapus darah dari antibodi
abnormal, maka IVIg memenuhi darah dengan antibodi gamma globulin dari berbagai donor.
Walaupun harganya mahal, IVIg telah menjadi terapi utama atau ajuvan pada pengobatan berbagai
penyakit autotoimun, termasuk miastenia gravis.
IVIg juga telah memberikan perbaikan pada beberapa pasien MG, namun menghasilkan efek yang
tidak konstan pada beberapa pasien.
Miastenia gravis &IVIg
IVIg memberikan perbaikan yang pesat untuk membantu pasien MG melalui episode MG dengan
kelemahan miastenik yang berat
Keuntungannya adalah bahwa pemberian IVIg tidak memerlukan alat yang khusus dan dosisnya pada
MG biasanya kecil, hanya 400 mg per kg/ hari selama 5 hari berturut2.
Walaupun demikian maka statusnya adalah: merupakan suatu obat yang belum estabilished untuk MG.
Perbaikan dijumpai pada beberapa pasien MG, namun ada juga hasil yang tidak tetap dan tidak pasti
pada pasien2 lain.

Reaksi yang tidak dikehendaki (Adverse reaction)


Hanya terjadi pada kurang dari <<10 % pasien dan gejalanya umumnya adalah nyeri kepala, kelebihan
cairan dan jarang sekali gagal ginjal.
Pada pasien-pasien yang ada responsya maka perbaikan terjadi dalam 4—5 hari dan dapat
dipertahankan untuk beberapa minggu-bulan.
Mekanisme bekerjanya belum diketahui dan harga obat memang mahal.

Dermatomiositis adalah miositis yang didapatkan (acquired myopathy) dan gejala awalnya adalah
kelemahan otot proksimal dan rash pada muka dan ekstremitas.
Pada banyak kasus kadar keratin kinase meningkat dan secara imunopatologis terlihat suatu deposisi
dini dari membranolytic attack complex pada kapiler endomesial, sehingga terjadi destruksi kapiler,
iskemi otot dan inflamasi.
Penyakit ini biasanya berespons terhadap steroid namun seringkali menjadi resisten terhadap steroid
dan seringkali efek samping tidak dapat ditoleransi oleh pasien.
Azatioprin, metotreksat, atau siklosporin dapat memberikan sedikit kemajuan pada beberapa kasus.
Pada suatu uji klinik yang tersamar ganda pada dermatomiositis yang refrakter maka kekuatan motorik
pasien membaik dan ada perbaikan pada hasil biopsi otot histologis dan imunopatologis dan perbaikan
klinis jelas pada pemberian infus bulan kedua, namun perbaikan dengan pemberian IVIg hanya dalam
jangka waktu yang pendek dan diperlukan infus yang berulang-ulang sampai setiap 6-8 minggu untuk
mempertahankan kemajuan yang telah didapat.
Oleh karena dermatomiositis ada respons terhadap steroid, maka IVIg sebaiknya hanya di anjurkan
pada pasien yang resisten terhadap steroid atau dimana pemberian steroid merupakan kontraindikasi.
Hasil preliminer dari uji klinik yang tersamar ganda dan beberapa uji klinik lain yang dilakukan secara
terbuka dan juga beberapa laporan kasus memberikan laporan mengenai efektifnya IVIg pada berbagai
penyakit neurologis, namun karena mahalnya obat ini maka seringkali belum di tentukan kapan
indikasi obat ini yang paling tepat.
Beberapa penyakit neurologis yang bisa di obati dgn IVIg adalah:

62
* inclusion-body myositis
* sindroma miastenik Lambert-Eaton
* miastenia gravis
* paraproteinemic IgM demyelinating polyneuropathy dengan antibody antiglikolipid terhadap
saraf perifer
* sindroma Rasmussen
* beberapa pasien anak-anak dengan intractable childhood epilepsy,
* sindroma West atau
* sindroma Lennox-Gastaut yang diobati dengan IVIg dengan perkiraan bahwa penyebabserangan
kejang adalah ensefalitis post virus dan laporan anekdotal menyebutkan bahwa terjadi kontrol
kejang yang lebih baik setelah terapi IVIg.
* polimiositis.Terapi dengan IVIg memberikan hasil yang ringan sampai sedang pada 70% pasien
polymyiositis dan pada beberapa pasien sklerosis multipel yang sedang relaps (relapsing
remitting multiple sclerosis)
* neuritis optika
Terapi dengan IVIg menghasilkan perbaikan yang tidak tetap pada
* stiff-man syndrome
* paraneoplastic cerebellar degeneration dengan anti-Yo antibodies
* ensefalomielitis paraneoplastik
* neuropati sensorik dengan antibodi anti-Hu
* mielopati ec infeksi human T-cell lymphotropic virus- I
* vaskulitis sistemik
* neuropati diabetika yang otoimun
* neuropati disotonomik yang idiopatik dan akut atau sindroma Vogt-Koyonagi-
Harada (uveomeningitis yang berhubungan dengan depigmentasi kulit dan gejala2
susunan saraf pusat)
Namun agaknya IVIg tidak ada efek pada :
* ALS (amyotrophic lateral sclerosis)
* critical illness polineupathy, atau
* adrenoleukodistrofi,

Sklerosis multipel
Suatu uji klinik yang tersamar ganda membandingkan IVIg dengan plasebo pada148 pasien dengan
sklerosis multipel yang sedang relaps (relapsing-remitting multiple sclerosis) dengan pemberian infus
bulanan dari IVIg selama 2 tahun dengan perbaikan yang bermakna dalam hal disabilitas dan secara
bermakna mengurangi frekwensi relaps, namun perubahan pada lesi demielinisasi yang terlihat pada
MRI tidak dievaluasi

Efek Imunomodulator
Mekanisme bekerja IVIg sehingga menghasilkan sesuatu efek terapeutik pada berbagai penyakit
neurologis dengan berbagai penyebab belum diketahui dengan jelas, namun agaknya ada hubungan
dengan beberapa efek imunomodulator yang bekerjanya secara tersendiri atau dalam kombinasi.
IVIg memberikan antibodi anti-idiotipik yang terikat dan menetralisasi autoantibodi yang patogenik
yang menghalangi interaksi dengan autoantigen.
Terikatnya antibodi anti-idiotipik pada determinan antigen dan surface IgM / IgG pada sel B juga bisa
menghasilkan signal negatif pada sel B dan dapat menghasilkan downregulation produksi antibodi.
Selain itu, maka antibodi terhadap molekul CD5 pada IVIg akan men inaktivasi autoantibody-
producing CD20+(B1) subset dari sel B
IVIg mengandung high-affinity neutralizing antibodies terhadap
Interleukin-1 alfa,
Interleukin-6, dan
tumor nekrosis faktor-alfa dalam jumlah yang cukup untuk menekan sitokin patogenik yang
beredar atau melakukan downregulation pada sintesa sitokin oleh sel T.

63
IVIGg mengandung neutralizing antibodies against epitopes of superantigens & anti bodi terhadap V
beta3, V beta8, dan Vbeta 17 gene families dari reseptor peptid sel T
Karena superantigen (misalnya toksin bakteri, enterotoksin dan virus ) menstimulasi fraksi yang besar
dariVbeta chain-expressing unsensitized T cells dan sekresi sitokin, maka inhibisinya akan
menghalangi aktivasi dan ekspresi klonal dari superantigen-triggered cytotoxic T cells.

IVIg menyebabkan limfopeni yang transien dan mengurangi jumlah sel pembunuh alami (natural
killer cells)52,53 dan nampaknya meng-downregulation expression of lymphocyte function-associated
antigen-1 pada activated T cells. Selain itu juga adanya solube CD4, CD8, dan molekul MHC-II pada
IVIg secara teoritis dapat menghalangi pengenalan antigen oleh sel T (Blasczyk,1993). Fungsi CD8+T
cells juga akan diinhibisi oleh antibody IVIg yang diarahkan terhadap conserved region of MHC-I
molecules.

Pertimbangan pemberian terapi IVIg


Seleksi dan pemberian
Semua preparat IVIg pada saat ini kurang lebih sama dalam hal efektivitas, keamanan dan harga.
Walaupun perbedaan pool donor manusia yang digunakan oleh berbagai pabrik obat mengandung
suatu spesifitas antibodi anti-idiotipik yang luas, namun tidak dijumpai perbedaan dalam hal
efektivitas pada sebuah produk atau suatu golongan batch obat tertentu yang diberikan pada suatu
pasien untuk suatu penyakit tertentu
Dosis empiris IVIg adalah 2g/kg.
Walaupun beberapa dokter membagi dosis total infus dalam 5 dosis sehari yaitu 400mg/kg untuk setiap
dosis, namun mungkin lebih baik untuk membagi dosis dalam 2 dosis yang sama yaitu 1 g/kg, namun
harus diketahui dengan pasti bahwa pasien tidak menderita kegagalan jantung kongestif, insufisiensi
renal dan viskositas serum yang tinggi, namun menurut pengalaman, maka infus dua kali atau 5 kali
sehari tidak memberikan lebih banyak efek samping, asal pemberian tidak melebihi 200mL per jam
atau 0,08 mL/kg per menit.
Karena cepatnya obat terdifusi kedalam ruangan ekstravaskuler, maka mepertahankan suatu
konsentrasi yang tinggi dari IVIg dalam 2 hari akan meninggikan efektivitas.
Eksperimen in vitro maupun in vivo menyatakan, bahwa terdapat suatu efek yang superior pada
neutralisasi sitokin dan manipulasi Fc reseptor dan inhibisi pada fragmen C3 bila diberikan konsentrasi
IVIg yang setara dengan 2 g/kg berat badan dalam suatu infus bolus daripada dalam dosis yang
terbagi2.
Pada terapi jangka panjang, maka pemberian infus IVIg diulang setiap 4-8 minggu sesuai dengan
respons pasien dan gejala obyektif kambuhnya penyakit.
Efektivitas dosis rendah IVIg untuk mempertahankan kemajuan dalam terapi seperti yang dianjurkan
pada CDIP masih harus ditetapkan lebih lanjut. Reaksi yang tidak dikehendaki (adverse events ) dan
faktor risiko terhadap terapi IVIg biasanya minor dan hanya terjadi tidak lebih pada 10% pasien.
* nyeri kepala yang ringan sampai sedang yang dapat diatasi dengan NSAID biasa terjadi
* menggigil
* mialgia,atau
* rasa tidak enak di dada terjadi pada jam-jam pertama pemberian infus dan biasanya akan berhenti
bila infus dihentikan dan setelah 30 menit diberikan lagi dengan kecepatan infus yang lebih lambat.
Kelelahan, demam, atau nausea bisa terjadi setelah pemberian infus IVIg dan dapat bertahan 24 jam.
Kausa reaksi ini tidak begitu jelas namun aktivasi komplemen, oleh molekul imunoglobulin yang
teragregasi atau beberapa agen yang menstabilisasi dalam produk IVIg biasanya terlibat.
Pemberian infus secara perlahan-lahan dianjurkan pada pasien dengan gangguan pada sistem
kardiovaskuler atau bila ada kegagalan jantung kongestif untuk mencegah terjadinya overload cairan
yang terlau cepat.
Viskositas serum dan kejadian trombo-embolik.
Terapi dengan IVIg meningkatkan viskositas serum pada keadaan-keadaan sbb:
* krioglobulinemia,
* hiperkholesterolemia, dan
* pada hipergamaglobulinemia malahan viskositas meningkat lebih tinggi lagi.

64
meningkatkan risiko terjadinya kejadian trombo-embolik yang mungkin menjadi penyebab terjadinya
beberapa strok dan emboli pulmoner walaupun jarang terjadi setelah pemberian IVIg.
Terapi dengan IVIg juga dapat menyebabkab sindroma hipervikositas terutama pada anak dengan
infeksi HIV yang sebelumnya mempunyai kadar tinggi serum imunoglobulin.
Vasospasme serebral yang reversibel juga pernah terjadi pada seorang pasien yang mendapatkan IVIg.

Migraine Headache
Pada pasien dengan riwayat migren, maka pemberian IVIg bisa menyebabkan suatu serangan migren,
yang kadangkala dapat dicegah dengan pemberian profilaksis dengan propanolol
Insidens terjadinya meningitis aseptik juga tinggi pada pasien-pasien ini. Terapi dengan IVIg juga ada
hubungannya dengan terjadinya strok pada seorang pasien wanita muda dengan riwayat migren.

Meningitis aseptik
Bisa terjadi pada sebanyak 10% pasien yang mendapatkan IVIg dan tidak ada hubungannya dengan
asal pembikinan obat, produk IVIg, kecepatan infus atau penyakit yang dideritanya. Profilaksis dengan
steroid secara iv seringkali tidak efektif dan gejalanya akan hilang dengan analgetika yang kuat dan
akan berkurang setelah 24-48 jam.Tes diagnostik lain jarang diperlukan.

Reaksi pada kulit


setelah pemberian IVIg bisa terjadi reaksi pada kulit walaupun jarang dan timbulnya biasanya 2-5 hari
setelah pemberian infus dan dapat bertahan selama 30 hari. Dan timbulnya bisa dalam bentuk:
* urtikaria,
* pruritus pada telapak tangan dan
* petechiae pada ekstremitas.
Reaksi pada kulit yang berhubungan dengan pemberian IVIg yang bukan dengan lots/batch yang sama
terjadi pada pasien yang juga menderita krioglobulinemi.

Reaksi anafilaktik yang hebat (Severe Anaphylactic Reactions)


Dapat terjadi pada pasien yang mempunyai defisiensi dari
* IgA associated with anti-IgE atau
* anti-IgG antibodi terhadap IgA,
* yang bereaksi dengan IgA di dalam preparat IVIg
Reaksi anafilaktik ini jarang terjadi. Angka kejadian defisiensi IgA pada populasi umum adalah
1:1000, dengan kemungkinan sampai 30% bahwa ada antibodi anti IgA biasanya terjadi pada pasien
dengan common variable immunodeficiency.
Walaupun demikian, namun biasanya kadar serum IgA biasanya ditentukan terlebih dahulu sebelum
pemberian pengobatan IVIg.
Pemakaian IVIg yang biasanya mengandung IgA direkomendasikan pada pasien2 dengan kadar serum
Ig A yang rendah.
Hasil pada tes serologis: setelah pengobatan dengan IVIg maka LED akan meninggi lebih dari 6x
(erythroccyte sedimentation rate), yang mungkin disebabkan karena
* Pembentukan rouleaux yang meninggi
* Berkurangnya area permukaan yang disebabkan oleh infus IVIg
Peningkatannya bisa bertahan sampai 2-3 minggu dan tidak harus dihubungkan sebagai adanya tanda-
tanda vaskulitis.
Hiponatremia dengan kadar natrium serendah 130 mg/L (normal,135-145 mg/L), pernah terjadi pada
terapi dengan IVIg , dan tidak pernah terjadi pada plasebo.
Terjadinya hiponatremia biasanya berhubungan dengan metode assay dimana diperlukan pengenceran
lebih lanjut dari sampel karena tingginya konsentrasi serum protein.
Pemberian infus secara pasif dengan IVIg antibodi antiviral atau antibakterial akan meninggikan titer
virus dan dapat mempengaruhi hasil2 laboratorium selama 30 hari setelah pemberian IVIg.

Harga obat (Cost of Treatment)

65
Di USA rumah sakit atau apotik membeli dengan harga kurang lebih $18 -$25 per gram IVIg, namun
asuransi kesehatan dibebani $46-$80 per gram oleh rumah sakit dan yang memberi infus di rumah/
dokter yang memberikan obat itu.
Dengan demikian akhirnya harga obat adalah $6440 sampai $11 200 per bulan untuk obat itu saja
untuk mengobati seorang pasien yang beratnya 70kg.
Harga obat juga tergantung, dimana obat itu diberikan, apakah didalam rumah sakit atau poliklinik atau
infus dirumah dan apakah obat diberikan dalam 2 atau 5 hari.
Bila ongkos pemberian infus juga diperhitungkan dalam harga obat, maka penagihan total per bulan
bisa mencapai $8500 sampai $20000.
Tidak ada data perbandingan pengeluaran antara IVIg dengan obat-obat lain seperti plasmaferesis
maupun obat-obat imunosupresif lain.
Plasmaferesis biasanya sama mahalnya denganIVIg di USA dan lebih susah untuk memberikannya dan
tidak selalu tersedia dan biasanya mempunyai efek samping yang lebih banyak.
Kortikosteroid atau imunosupresan, walaupun lebih murah dari IVIg, bisa menjadi mahal bila timbul
komplikasi iatrogenik pada pemakaian jangka panjang dan juga bila diperhitungkan hilangnya uang
gaji bila tidak bisa bekerja karena penyakitnya.
Walaupun harga sebenarnya dalam dollar akan mempengaruhi pemilihan terapi yang diberikan, namun
faktor-faktor lain seperti efek samping, pemakaian jangka panjang, pembebanan pengobatan
komplikasi yang timbul dan juga keamanan pasien, kenyamanan, kualitas hidup dan potensi untuk
mendapatkan respons terapi yang lebih cepat dan lebih baik harus dipertimbangkan pula.

Arah dalam masa yang akan datang (Future Directions)


Terapi IVIg mempunyai efek yang cukup baik pada beberapa penyakit neurologis yang seringkali tidak
responsif terhadap imunoterapi lain. Namun terapi dengan obat ini sangat mahal. Walaupun suatu
penyakit monofasik seperti GBSy bisa diobati dengan baik dengan hanya beberapa kali infus,
sedangkan beberapa penyakit lain memerlukan pemberian infus yang berulang dan dengan sendiri
akan meninggikan biaya terapi.
Oleh karena itu diperlukan menentukan efektivitas terapi IVIg dengan melakukan berbagai uji klinik
yang tersamar ganda yang dievaluasi dengan sangat ketat.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai dosis yang optimal, frekuensi pemberian, efek sinergis, penetrasi,
seleksi donor untuk idiotipe yang spesifik, potensi terjadinya toksisitas pada pemakaian jangka
panjang dan juga mekanisme bekerjanya yang pasti masih belum bisa dijawab dan akan tetap tidak
terjawab dan akan berlanjut untuk menantang para ilmuwan yang melakukan uji klinik.
IVIG yang dipakai biasanya adalah yang 7s yang berupa:
* IVIg human
* telah dipreparasi dengan solvent detergent
* IgG dengan kemurnian yang tinggi memberikan aktivitas antibodi yang penuh (broad spectrum)
* memberikan proteksi terhadap berbagai pathogen
* Kemurnian tinggi dari IgG tidak menunjukkan adanya bukti serologis dari
transmisi virus pada uji klinik.
* telah dipreparasi dengan suatu cara inaktivasi virus dengan solvent detergent
* kepercayaan yang datang dari keamanan yang pasti
* diterima oleh FDA

SPINAL MUSCULAR ATROPHY (SMA)


SMA merupakan penyakit yang telah diketahui berhubungan dengan kelainan genetika.. Sebelum era
genetika, SMA di subklasifikasi dalam subtipe klinik, meskipun akhirnya diketahui ada ketidak
serasian antara kelainan genetik dengan fenotip dari subklasifikasi itu.Meskipun demikian, klasifikasi
berdasarkan lamanya onset dan fungsi maksimum berguna untuk melihat prognosis dan merencanakan
tatalaksana.
Subtipe ini terdiri dari :
SMA O Onset prenatal
Kontraktur sendi yang berat

66
Kelumpuhan fasial bilateral
Kegagalan nafas
SMA I Onset sebelum usia 6 bulan
SMA II Onset antara 6 dan 12 bulan
SMA III Onset saat anak anak sesudah 12 bulan
SMA IV Onset saat dewasa

Diagnosis / Tes yang dilakukan


Tes untuk diagnosis SMA berdasarkan atas molecular genetic testing. Dua gen yang berhubungan
dengan SMA adalah SMA1 dan SMA2. Gen SMA1 (Survival Motor Neuron1) dipercaya sebagai
penyakit pertama berdasarkan kelainan gen. Sekitar 95-98% individu dengan SMA adalah homozygot
yang tidak ada exons 7 dan 8 dari SMN1, dan sekitar 2-5% adalah compound heterozygotes dengan
tidak adanya exons 7 dan 8 dari SMN1 dan ada point mutation di SMN1 tersebut.

Deteksi pembawa gen dikenali dari jumlah exon 7 yang dikandung oleh gen SMN1 dari seorang
individu. Tes untuk pembawa gen SMA adalah PCR-based dosage assay yang dimungkinkan untuk
petanda klinis minimal. Pemeriksaan ini dapat mengkopi sejumlah gen SMN1. Tetapi carrier testing
ini sukar dideteksi oleh karena sejumlah oarang pembawa gen ini kadang mempunyai jumlah gen
SMN1 kopi yang normal, akibat dari ada dua gen SMN1 kopi di cis configuration dalam satu
kromosom atau SMN1 point mutation. Selanjutnya juga diketahui ada 2% dari individu dengan SMA
punya satu de novo mutation, yang berarti hanya ada satu orang tua adalah pembawa gen. Karena
sulitnya untuk deteksi awal pembawa gen ini, maka anjuran melakukan tes pembawa gen ini dilakukan
dan dibakukan dalam konteks formal konseling genetika.

Diskripsi Klinis
Karakteristik SMA :
- Kelemahan otot dan atrofi akibat dari degenerasi progresif dan kehilangan sel di
kornu anterior di medula spinalis (lower mator neuron) dan sel batang otak.
- Kelemahan ini selalu simetris dan progresif
- Onset penyakit dari masih janin dalam kandungan sampai remaja atau dewasa
muda.

Tabel
Spektrum SMA Fenotip
Phenotype Age of Life Span Motor Other Findings
Onset Milestones
SMA O Prenatal 2-6 months None Achieved
(Prenatal)
* Joint contractures
* No movement
Congenital * Facial diplegia
Axonal * Opthalmoplegia
Neuropathy Prenatal Days None Achieved * Respiratory failure at birth
(CAN) * Decreased fetal movement and
polyhydramnion are common

* Joint contractures at least two


regions of the body
* Normal to midly abnormal
Arthtogryposis Prenatal Unclear May progress facial movements
Multiplex to standing * Decreased fetal movement,
Congenita polyhydramnios and breech
(AMC) presentation are common
* Mild joint contractures often at

67
the knees and rarely at the
elbows
SMA I * Proximal, symmetric muscle
(Acute Spinal Before Most often Sit with weakness, lack of motor
Muscular six two years support only development, and poor muscle
Atrophy – months or less, but tone are the major clinical
Werdnig - may live manifestation
Hoffmann longer * Normal or minimal facial
disease) weakness
* Variable suck and swallow
difficulties
* Faciculation of the tongue in
most
* A postural tremor of the fingers
is seen only occasionally
SMA II
(Chronic * Postural tremor of fingers
Spinal 6-18 70% Independent
Muscular months alive at 25 sitting when
Atrophy – years old placed
Dubowitz
Disease)
* Walk independently but may
SMA III fall frequently or have trouble
(Juvenile walking up and down strairs at
Spinal After 12 Normal Independent age two to three years
Muscular months ambulation * Legs are more severely affected
Atrophy – than the arms
Kugelberg –
Welander)
SMA IV Adulthood Normal * The onset of muscle weakness is
usually in the second or third
decade of life

Komplikasi SMA
Komplikasi yang sering didapatkan pada SMA adalah :
- Berat Badan Kurang
- Sulit tidur
- Pneumonia
- Skoliosis
- Kontraktur Sendi
Komplikasi yang tidak dapat diterangkan yang didapatkan pada SMA ini adalah metabolokasidosis
berat dengan dicarboxylic aciduria serta level serum karnitin yang rendah selama periode sakit atau
saat puasa.Belum diketahui apakah asidosis ini akibat primer atau sekunder dari defek SMA.Beberapa
peneliti, mengajukan teori pada individu SMA yang kurang berat badannya, mempunyai massa otot
yang sedikit dan hal ini yang berisiko untuk terjadinya rekuren hipoglikemia atau ketosis. Kondisi ini
biasanya akan baik sendiri setelah dua atau empat hari.

Diagnosis Banding
 Arthrogryposis Multiplex Congenita (AMC)
Meskipun beberapa individu dengan AMC mempunyai SMN mutasi, tetapi ada
bayi dengan variasi tipe AMC tidak mempunyai gen SMN mutasi ini
 Congenital Axonal Neuropathy.
68
Dari suatu laporan kasus, ditemukan ada tiga saudara dengan penyakit SMN – mutasi
dilaporkan ada congenital hipomielinisasi neuropati atau aksonopati.
 Infants with perinatal respiratory distress with diaphragmatic and intercostals muscle
weakness
Terdapat denervasi pada EMG dan sejumlah otot ada atropi pada biopsy. Pasien ini
membutuhkan tes molekular. Pasien ini didapatkan kelainan pada kromosom 11q13-q21 dan
menunjukkan ada hubungannya dengan fungsi sel kornu anterior dan survival motor neuron
gene. Bentuk autosomal resesif tanpa respiratory distress telah ditemukan, yang ada di region
yang sama dengan bentuk diaphragm.
 Untuk SMA I dan SMA III, diferensial termasukkausa lain dari “floopy infant” :
-Central nervous system abnormalities
Kranial imajing mungkin dapat membantu mengidentifikasi
-Chromosomal abnormalities
High resolution chromosome analysis dan methylation analysis untuk
membedakan dengan Prader-Willi syndrome
-Peroxisome biogenesis disorders, Zellweger syndrome spectrum.
Dicurigai apabila seorang anak kehilangan kemampuan secara tiba
tiba atau ada hepatospenomegali. Pemeriksaan level plasma very long
chain fatty acid (VLCFA) menunjukkan adanya elevasi C26:0 dan
C26:1 dan rasio C24/C22 dan C26/C22. Ada mutasi pada 12 PEX
genes yang berbeda, dan diperlukan molecular genetic testing.
-Infantile acid maltase deficiency(Pompe disease, or glycogen stroge
disease type II)
Dicurigai apabila ada kardiomegali. Diperlukan Biochemical dan
Molecular testing
-Primary diseases of muscle
Untuk membedakan ini perlu bipsi otot dan atau tes genetika
-Congenital Myasthenia Gravis
Dikenali lewat respon EMG abnormal – stimulasi repetitif pada saraf
dan pada beberapa kasus, tes genetika

Untuk diagnosa banding ini, beberapa kondisi yang juga perlu dievaluasi adalah :
 Trauma servikal-medula spinalis terutama saat kelahiran, SMA dengan atropi serebelum pada
infantil, dan SMA yang berhubungan atropi otak.
 Neuropati perifer – Charcot-Marie-Tooth Hereditary Neuropathy termasuk juga GBS
 Regresi ketrampilan motorik – disebabkan penyakit pada massa putih seperti X-linked
adrenoleukodystrophy.
 SMA III dengan diagnosa banding Duchenne Muscular Dystrophy (DMD) apabila konsentrasi
serum kreatinin kinase 10 -20 kali lebih tinggi daripada normal. DMD ditegakkan dengan
molecular genetic dengan adanya DMD gene atau biopsi otot.
 Congenital myopathies, mungkin didapatkan ada clusmy gait dan kesulitan naik turun tangga.
Metabolic myopathies, termasuk glycogen stroge diseases dan lipid myopathies perlu untuk
dianalisa.
 SBMA – X-linked spinal dan bulbar muscular atrophy dikenal sebagai Kennedy disease, adalah
suatu kelainan neuromuskular yang progresif gradual pada laki-laki dewasa dengan
ditemukannya degenerasi dari lower motor neurons dengan gejala keleahan otot, atropi otot dan
fasikulasi yang mualai pada usia 20 dan 50 tahun. Identifikasi untu diagnostiknya, ada CAG
trinucleotide repeat ekspansi pada gen reseptor androgen
 Hexosaminidase A deficiency results in lysosomal storage of the spesific glycospingolipid,
GM2 ganglioside.Diagnostik dengan defisiensi ensim atau tes molekular
 Monomelic muscular atrophy
 Fazio-Londe disease

69
Adalah motor neuron disease yang hanya terlokasi (limited) di saraf kranial perifer dan dimulai
pada dekade kedua kehidupan dan progresif ke kematian dalam waktu 1 sampai 5 tahun
 Distal spinal muscular atrophy
 Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Pada molecular genetic testing perlu sedikitnya tiga gen yang berhubungan dengan ALS ini,
yaitu SOD1, ALS2 dan VAPB

Manajemen
 Nutrition / Feeding Assessment
- Time required to complete a feeding
- Evidance of fatique during a feeding meal
- Weigth plotted on standard growth curves
Bila diperlukan dilakukan feeding gastrotomy, yang kemudian bisa
diangkat apabila makan lewat oral sudah baik
 Respiratory Function Assessment
- Normal breathing pattern versus abdominal breathing pattern
- Forced Vital Capacity (FVC)
Pada anak berumur > 4 tahun, the hand-held spirometer cukup akurat.
Bila FVC > 40%, dekompensasi selama infeksi respiratori kurang baik
bila dibandingkan dengan FVC < 40%
Beberapa anak dengan SMA1, dapat hidup sampai usia 2 tahun bila
dilakukan trakeostomi atau bantuan respirasi yang non invasif.
Opsi manajemen termasuk ‘do not attempt to resuscitate’ harus
didiskusikan sebelum terjadi kegagalan nafas. Diskusi ini dimulai saat
FVC < 30%.Bantuan respirasi non invasif ini memerlukan perhatian
khusus dan dikerjakan pada fasilitas yang memungkinkan. Nasal
Intermittent Positive Pressure (NIPPV) malam hari dan siang hari sangat
beralasan bila dilakukan pada pasien dengan kegagalan nafas ini. Tetapi
tidak direkomendaskan pemakaian ini secara penuh waktu. (seharian
penuh). Anjuran lain adalah pemakaian MI-E ( Mechanical in-
exsufflator). Kerja MI-E ini adalah sebagai positive pressure insufflation
yang diikuti oleh expulsive exsufflation, mensimulasi batuk normal dan
membantu individu dengan SMA yang memerlukan manajemen untuk
mengatasi infeksi respirasi
 Sleep Assessment
Dilakukan analisa studi tidur bila anak saat tidur mengorok atau rasa kelelahan yang sangat saat
bangun pagi.
Dari hasil penelitian pada 7 orang dengan SMA, didapatkan gangguan tidur karena gangguan
nafas muncul sebelum kegagalan nafas. Suatu studi kasus pada seorang laki laki, berumur 46
tahun dengan SMA III yang merasa kelelahan sangat saat siang hari akibat mengorok dan
sesak nafas saat malam hari, berkurang keluhannya dengan menggunakan masker nasal untuk
terapi continuous positive airways pressure di malam hari.
 Activities of Daily Living (ADL)
Asesmen keperluan alat untuk aktivitas kehidupan keseharian, seperti kursi roda dan lain lain
baik untuk kemudahan pasien maupun orang yang membantu pasien (caregiver).
 Orthopedic Evaluation
Perhatian pada timbulnya kontraktur, skoliosis dan dislokasi panggul. Kondisi ini jarang
didapatkan pada SMA I oleh karena hidup penderitanya tidak lama. Skoliosis merupakan
problem utama pada SMA II dan separuh dari SMAIII. Perbaikan skoliosis dapat dilakukan
dengan aman apabila FVC > 40%. Apakah perbaikan skoliosis ini dapat mencegah perburukan
fungsi respirasi, masih belum jelas.
Dari data retrospektif, operasi tidak diperlukan pada asimptomatis dislokasi panggul..

70
Obat Obatan yang sedang dalam penelitian :

 Histone deacetylase (HDAC) inhibitor, dapat meningkatkan level fl-SMN


 Asam Valproat, meningkatkan SMN protein di fibroblast kulit
 Phenylbutyrate, meningkatkan full-length SMN2 transcripts di fibroblast kulit
 Hydroxyurea, memodifikasi ekspresi gen dan meningkatkan SMN level di fibroblast kulit
 Indoprofen, meningkatkan level SMN2 di fibroblast
 Riluzole (an open label pilot trial)
 Gabapentin (multisenter randomized – double blind study)

CONTOH KASUS
Kasus 1
Seorang ibu rumah tangga berusia 47 tahun datang dengan keluhan sering kesemutan pada kedua
tangannya sejak 2 minggu yang lalu. Kesemutan terutama pada tangan kanan di ibu jari, jari telunjuk
dan sebagian jari tengah. Keluhan ini dirasakan terutama pada malam hari saat sedang beristirahat.
Bila tangan dikibaskan maka rasa kesemutan tersebut akan sedikit berkurang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tinnel sign (+), Phalen sign (+) dan Luty sign (+).
Tampak juga atrofi pada otot-otot thenar.

Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 1 :


1). Dari ilustrasi kasus diatas, apa Diagnosis Kerja nya?
2). Gejala / Tanda apa saja yang kemungkinan didapatkan dari kasus ini? Apakah ada
pembagian berat-ringan dari penyakit ini?
3). Bagaimana patogenesisnya?
4). Pemeriksaan penunjang apa saja yang perlu dilakukan pada kasus ini ?
Apa indikasinya?
Terangkan tentang cara dan apa hasil yang diharapkan dari pemeriksaan penunjang?
Apa yang disebut dengan double crush?
5). Diagnosis klinis, topis, etiologis dan patologi-anatomik ?
6). Apa Diferensial Diagnosisnya?
7). Manajemen komprehensif –promotif - preventif- kuratif – rehabilitatif termasuk
kerjasama / konsultasi dengan departemen lain sesuai dengan kasusnya.
8). Indikasi operasi?
9). Prognosisnya bagaimana?
10). Pengetahuan apa saja yang akan diberikan dalam kegiatan Komunikasi Informasi
Edukasi (KIE) pasien, untuk tujuan prevensi dan terapi suportif
11). Sistem Rujukan

Diskusi / Jawaban Contoh Kasus 1


Sindroma Terowongan Karpal (STK) / Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
Kasus diatas merupakan contoh kasus Sindrom Terowongan Karpal ( Carpal Tunnel Syndrome=CTS) /
STK yang merupakan lesi saraf perifer oleh penyebab mekanis non traumatis (penyebab yang tersering
dijumpai). Insidensi dan prevalensi dari sindrom ini mencapai 45% dari 1574 pasien yang datang ke
RSCM khususnya ke bagian EMG & Evoked Potentials. Ratio perbandingan antara pria dan wanita
adalah 1:2. STK sering terjadi pada masa klimakterium, selama kehamilan dan segera setelah
kehamilan berakhir serta akibat dari penambahan berat badan. STK ini lebih sering terjadi pada tangan
yang dominan meski dapat pula terjadi pada kedua belah tangan (bilateral). Pada pasien dengan
Diabetes Mellitus, juga sering didapatkan adanya neuropati yang sebenarnya adalah sindroma
terowongan karpal

Rosenbaum membagi STK dalam beberapa kategori yaitu:


Kelas 0: asimptomatik: tanpa gejala, tanpa tanda gejala klinis.

71
Kelas 1: asimptomatik intermitten: secara intermitten ditemukan gejala, dengan tes
provokasi seringkali positif namun tanpa defisit neurologis.
Kelas 2:simptomatik persisten: gejala kontinu (+) atau (-), defisit neurologis terkadang
positif.
Kelas 3: berat: gejala (+), gejala neurologis (+) dengan gangguan aksonal.

Gejala klinis STK khas dengan golongan gejala, yaitu nyeri dan parastesi yang timbulnya khas pada
malam dan dini hari, gejala neurologis yang timbul berupa gangguan sensori-motoris.
Terowongan karpal ini dibatasi oleh dinding-dinding yang keras sehingga didalam ruang terowongan
itu secara anatomis sangat mudah terjadi berbagai tekanan yang berasal dari luar maupun dari dalam
terowongan itu sendiri.
Kompresi akut pada saraf perifer mengakibatkan kerusakan pada mielin dan akson, sehingga secara
cepat terjadi suatu gangguan transmisi saraf dan gangguan neurologis dari arteri dan vena dalam
epineurium, tekanan dari kapiler dalam vesikel saraf, tekanan intrafasikuler, dan tekanan dalam
terowongan karpal itu sendiri.
Tekanan yang meninggi pada terowongan karpal akan mengakibatkan terjadinya suatu reaksi berantai,
yaitu kompresi pada vena yang akan mengakibatkan hiperemi. Akibatnya akanterjadi suatu bendungan
yang secara lambat laun mengakibatkan perlambatan aliran darah dalam epineurium dan vesikel.
Selanjutnya adalah dilatasi kapiler, peninggian tekanan intrafasikuler dengan akibat tertekannya
serabut saraf.
Patogenesis nyeri dan parestesi disebabkan oleh karena iskemi n. medianus. Hal ini akan berpengaruh
terhadap memburuknya peredarahan balik vena. Perbaikan sirkulasi dilakukan dengan jalan
menggerakkan tangan dan lengan secara kuat (memompa vena), maka gejala akan menghilang ( Flick
Sign). Sedangkan gangguan sensori-motoris merupakan akibat dari penekanan mekanis dari n.
medianus. Fase selanjutnya adalah terjadinya edema epineural, endoneural yang meluas ke proksimal
ligamentum carpi transversum dan distal yang lebih dalam. Edema lebih tampak di bagian proksimal.
Perineum yang telah mengalami fibrosis akan mengerut dengan akibat vesikel saraf akan menipis
kemudian akan terjadi circulus vitiosus yaitu kompresi venula, stase kapiler dan anoksia, kerusakan
endotel, edema endoneural, infiltrasi fibroblast, kerusakan pada epi dan endo neural dengan akibat
terjadinya kerusakan ireversibel pada serabut saraf.
Lesi pada serabut saraf bukan merupakan akibat langsung dari iskemi, namun lebih disebabkan oleh
penekanan mekanis pada sarafnya sendiri.

Gejala subyektif yang sering dikeluhkan adalah:


Brachialgia paresthetica nocturna merupakan gejala klasik dengan parestesi pada malam hari
sehingga pasien dapat terbangun dengan perasaan tebal atau bengkak pada tangan. Jari jari yang
terkena adalah jari 1-3 ½.

Gejala obyektif:
Pada fase permulaan seringkali tak dijumpai gejala, selain nyeri tekan pada n. medianus diatas
terowongan karpal. Terkadang terlihat pembengkakan ringan pada bagian voler pergelangan tangan,
yang menyerupai suatu vaginitis tendo otot flexor.
Pada kompresi saraf kronis dapat terlihat paresis dan atrofi otot pangkal jempol (thenar) dengan atau
tanpa gangguan sensibilitas.
Luthy sign/Bottle sign: Penderita diperintahkan untuk menggenggam botol dengan melingkarkan ibu
jari dan telunjuknya pada benda tersebut. Kelemahan abduksi jempol menyebabkan penderita tidak
dapat memegang botol dengan baik, dimana lipatan kulit antara jempol dan telunjuk tak dapat
menyentuh/meliputi permukaan botol dengan baik dan jempol tidak dapat abduksi dengan baik untuk
memegang botol tersebut. (Bottle sign +)

Tinnel sign: Ketokan pada n.medianus ditempat kompresi menimbulkan perasaan terkena aliran listrik
yang menjalar dari tempat ketokan ke jari-jari.

72
Tes Phalen: Dengan tes provokasi, gejala obyektif yang khas dapat ditimbulkan, misalnya dengan
dorso ekstensi atau volar fleksi dari pergelangan tangan yang dipertahankan selama kurang lebih 1
menit.

Tes Turniket Gilliat Wilson: Tes ini juga termasuk tes provokasi yang dilakukan selama 1-2 menit.
Pada orang normal akan timbul parestesi yang difus pada lengan, sedangkan pada STK akan terjadi
parestesi dan nyeri pada jari 1-2-3 ½ yang menyerupai keluhan
pada malam hari. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa tes Phalen dan tes Tinnel
dianggap lebih sensitif dibandingkan dengan tes torniket.

Pemeriksaan EMG yang perlu dilakukan:


 NCV motorik n.Medianus dan n.Ulnaris
 NCV sensorik n.Medianus dan n.Ulnaris
 Distal latensi n.Medianus wrist dan palm
 NCV motorik lumbricalis n.Medianus dan n.Ulnaris
Hasil yang diharapkan:
 Beda latensi distal motorik n.Medianus dan n.Ulnaris ≥ 1,5 mS
 Beda latensi distal sensorik n.Medianus dan n.Ulnaris ≥ 0,5 mS
 Beda latensi motorik n.Medianus wrist-palm ≥ 0,5 mS – 1,5 mS
 Latensi distal motorik n.Medianus ≥ 4,4 mS
 Latensi distal sensorik n.Medianus ≥ 3,5 mS
 KHS motorik n.Medianus ≥ 50 m/s
 KHS sensorik n.Medianus ≥ 50 m/s
 Beda latensi distal motorik lumbricalis n.Medianus dan n.Ulnaris ≥ 0,4 mS, pada DM >
0,8 mS.
Diagnosa Diferensial
Biasanya diduga adanya STK pada pasien-pasien dengan nyeri di tangan atau
lengan, parestesia, kaku dan kelemahan serta atrofi otot.
Pada pasien dengan gejala khas neuropatik seperti parestesi, kelemahan, spasme dan
atrofi, maka diagnosis banding adalah disekitar gangguan saraf yang lainnya
gangguan plexus, radiks serta medulla spinalis servikal.
Sedangkan untuk nyeri serta kekakuan pada tangan dan lengan, maka diagnosis
bandingnya adalah penyakit sendi, tulang, tendon serta jaringan lunak.
Terapi Konservatif:
Bila ditemukan hanya brachialgia paresthetica nocturna, biasanya tak diperlukan operasi. Pemakaian
splint yang dipakai malam hari mencegah pergerakan tangan dan mempertahankan pada posisi netral
(mid-position), namun jari-jari tetap bisa digerakkan. Suntikan kortikosteroid berupa hidrokortison 25
mg atau deksametason 8 mg dapat dilakukan. Sebelumnya diberikan anestetik 1% tanpa adrenalin.
Neurotonika seperti vitamin B1,B6 dan B12 dalam dosis tinggi dapat membantu regenerasi saraf.
Metilkobalamin merupakan derivat aktif B12 dan bekerja sebagai koenzim dalam berbagai proses
intraseluler, bersama asam folat berguna dalam sintesa asam nukleat pada pembentukan inti sel baru,
sehingga sangat berguna pada pertumbuhan dan regenerasi saraf.
Fisioterapi juga memberikan manfaat baik, karena juga akan memperbaiki vaskularisasi pergelangan
tangan.
Efek samping suntikan kortikosteroid :
Obat masuk ke saraf dapat mengakibatkan
- Nyeri , Atrofi, Hipopigmentasi, Perdarahan
- Robeknya tendon secara spontan
- Radang
Terapi Operatif:
- Jika dijumpai defisit neurologis seperti paresis dan atrofi.
- Pada pemeriksaaan elektroneurodiagnosis ditemukan tanda-tanda denervasi dan atau
MLD ( Mean Latency Distal) memanjang dan perbedaan MLD lebih dari 1.5 mS..

73
- Bila terapi konservatif tidak berhasil dan keluhannya dirasakan pasien sangat berat dan
sangat mengganggu kegiatan keseharian
KIE ( Komunikasi, Informasi, Edukasi):
Penerangan yang baik harus diberikan kepada pasien, untuk menghindari jenis pekerjaan tangan yang
dapat mencetuskan STK.
Prognosis:
Pada kasus ringan, dengan diberikannya terapi konservatif pada umumnya memberikan prognosis yang
baik. Prognosis tindakan operatif umumnya juga baik, bila dilakukan pada waktu yang tepat

Kasus 2
Seorang laki-laki berusia 55 tahun datang dengan keluhan nyeri pada bahu kanan yang dirasakan sejak
1 bulan yang lalu. Nyeri menjalar ke lengan kanan sampai ke jari-jari tangan. Belikat kanan juga terasa
nyeri. Selain itu pasien juga merasa baal pada ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah.

Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 2 :


1). Dari ilustrasi kasus diatas, apa Diagnosis Kerja nya?
2). Gejala / Tanda apa saja yang kemungkinan didapatkan dari kasus ini?
3). Pemeriksaan penunjang apa saja yang perlu dilakukan pada kasus ini ?
Apa indikasinya dan kapan waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan
penunjang ini?
Terangkan tentang cara dan apa hasil yang diharapkan dari pemeriksaan penunjang?
Apa yang disebut dengan double crush?
4). Terangkan Patogenesisnya.
5). Diagnosis klinis, topis, etiologis dan patologi-anatomik ?
6). Manajemen komprehensif – promotif - preventif- kuratif – rehabilitatif
7). Prognosisnya bagaimana?
8). Kriteria / indikasi operasi? Kapan waktu yang tepat dan bagaimana prognosisnya?
9). Pengetahuan apa saja yang akan diberikan dalam kegiatan Komunikasi Informasi
Edukasi (KIE) pasien, untuk tujusn prevensi dsn terapi suportif
10). Konsultasi (Kerjasama) depertemen lain apa saja yang diperlukan?
11). Sistem Rujukan

Diskusi / Jawaban untuk kasus 2


(Kasus campuran Brachialgia dan Sindroma Terowongan Karpal)
Kasus diatas merupakan kasus brachialgia yang sering dijumpai dalam ruang praktek pribadi.
Insidensinya berkisar antara 8.1% dan 16.4% dari seluruh kasus yang diperiksa di subbagian ENMG-
FKUI/RSCM Jakarta. Data Indonesia belum dikethui..
Pada umumnya brachialgia berhubungan dengan spondilopati servikal, distorsi medulla spinalis
servikalis, sindroma radiks servikal dan khondrosis.
Lokasi yang tersering pada radiks servikal antara C5-C6 (Sindrom C6) dan C6-C7 (Sindrom
C7).
Gejala-gejala yang muncul pada umumnya tidak akut tetapi biasanya terjadi dalam beberapa hari
dengan tanda adanya rasa sakit pada daerah tengkuk, tortikolis disertai dengan suatu ”Shoulder-arm
syndrome” yang terlokalisir atau dengan parestesi yang sifatnya khas radikuler.
Pemeriksaan ENMG juga dapat untuk mengetahui apakah kelainan ini merupakan suatu iritasi atau
kompresi radiks. Pemeriksaan ENMG paling baik dilakukan 2-3 minggu setelah terjadinya lesi. Bila
ada kompresi radiks, maka pemeriksaan ENMG dapat dilakukan lebih cepat karena jarak ke otot lebih
pendek sehingga pada hasilnya diharapkan sudah timbul fibrilasi.
Double Crush pada kasus ini, karena keluhan brachialgia bercampur dengan Sindrom Terowongan
Karpal ( STK)
* Pemeriksaan ENMG yang perlu dilakukan:
o NCV motorik n.Medianus, n.Ulnaris dan n.Radialis
o NCV sensorik n.Medianus, n.Ulnaris dan n.Radialis

74
o Needle elektrode pada m.Deltoid, m.Biceps brachii, m.Brachioradialis,
m.Extensor Digitorum Communis, m.Abductor Policis Brevis dan m.Abductor
Digiti minimi.Untuk nyeri belikat, needle elektrode pada m.infraspinatus dan
m.rhomboideus mayor.
* Hasil yang diharapkan:
o Potensial-potensial yang polifasik dengan durasi melebar dan amplitudo
meningkat pada m. Brachioradialis, m.Extensor Digitorum Communis,
m.Abductor Policis Brevis dan m.Abductor Digiti minimi. Untuk nyeri belikat,
potensial-potensial yang polifasik dengan durasi melebar dan amplitudo
meningkat pada m.infraspinatus dan m.rhomboideus mayor.
* Bila terdapat double crush maka hasilnya:
o Potensial-potensial yang polifasik dengan durasi melebar dan amplitudo
meningkat pada m. Brachioradialis, m.Extensor Digitorum Communis,
m.Abductor Policis Brevis dan m.Abductor Digiti minimi.
o Beda latensi distal motorik n.Medianus dan n.Ulnaris ≥ 1,5 mS
o Beda latensi distal sensorik n.Medianus dan n.Ulnaris ≥ 0,5 mS
o Beda latensi motorik n.Medianus wrist-palm ≥ 0,5 mS
o Latensi distal motorik n.Medianus ≥ 4,4 mS
o Latensi distal sensorik n.Medianus ≥ 3,5 mS
o KHS motorik n.Medianus ≤ 50 m/s
o KHS sensorik n.Medianus ≤ 50 m/s
o Beda latensi distal motorik lumbricalis n.Medianus dan n.Ulnaris ≥ 0,4 mS
Jika terdapat kompresi pada radiks, pada pemeriksaan ENMG hasil yang didapatkan seperti
pada iritasi radiks tetapi ditambah dengan adanya fibrilasi dan atau positive sharp waves (PSW)
pada otot-otot segmen yang bersangkutan dan di otot-otot paravertebral atau
interspinal/paraspinal.
Terapi pada iritasi radiks:

Tirah baring pada alas yang rata dan keras

Pemberian terapi dgn analgetika, anestesi lokal,obat-obatan relaksan otot.

Pemberian obat NSAID (Non Steroid Anti Inflamasi Drugs) untuk mengurangi
inflamasi dan nyeri

Pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan.

Metilkobalamin injeksi merupakan suatu terapi alternatif untuk menanggulangi nyeri,
rasa tebal dan hipestesia.

Fisioterapi perlu juga diberikan berupa traksi servikal maupun lumbal, massage serta
UKG

Anjuran pemakaian Collar Neck untuk lesi di servikal, serta Korset untuk lesi di bagian
lumbal.
Indikasi Operasi (bila ada parese) :
Bila ada kompresi radiks dengan denervasi /fibrilasi yang munculnya residif, berkali-kali dengan
gejala yang jelas.
Prognosis kasus yang dilakukan tindakan operatif: ditemukan sebanyak 2/3 kasus dengan prognosis
yang baik sedangkan 10% nya, hasilnya tidak memuaskan.

Kasus 3
Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun datang dengan keluhan tidak dapat berjalan sejak 6 bulan yang
lalu. Sebelumnya pasien sudah dapat berjalan, tetapi lama kelamaan berjalannya seperti bebek dan
tidak bisa bangun dari posisi jongkok ke berdiri. Di keluarga pasien ada kerabat yang menderita sakit
yang sama dengan pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Gower sign (+), pseudohipertrofi (+).

Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 3 :


1). Dari ilustrasi kasus diatas, apa Diagnosis Kerja nya?
75
2). Gejala / Tanda apa saja yang kemungkinan didapatkan dari kasus ini?
3). Terangkan patogenesisnya.
4). Pemeriksaan penunjang apa saja yang perlu dilakukan pada kasus ini ?
Apa indikasinya dan kapan waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan
penunjang ini?
Terangkan tentang cara dan apa hasil yang diharapkan dari pemeriksaan penunjang?
5). Diagnosis klinis, topis, etiologis dan patologi-anatomik ?
6). Manajemen komprehensif – promotif - preventif- kuratif – rehabilitatif
7). Prognosisnya bagaimana?
8). Pengetahuan apa saja yang akan diberikan dalam kegiatan Komunikasi Informasi
Edukasi (KIE) pasien, untuk tujusn prevensi dsn terapi suportif
9). Apakah perlu konsultasi (kerjasama) dengan depertemen lain?
10). Sistem Rujukan

Diskusi / Jawaban Kasus 3


(Bisa Dystrophy Musculorum Progressiva, Bisa Myopathy Benign, Bisa Becher)
Pada kasus diatas merupakan kasus Dystrophy Musculorum Progressiva
adalah kelompok penyakit otot skeletal yang bersifat degenaratif herediter progresif.
Onset penyakit ini sekitar usia 25-43 tahun dan dalam kurun waktu 5-15 tahun penderita akan menjadi
cacat.
Diagnosis penyakit ini berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan enzim otot, elektromiografi dan biopsi otot.
Dalam hal ini biopsi otot dianggap sebagai prosedur standar untuk diagnosis banding dengan miopati.
Gambaran histologik akan tampak hilangnya serabut otot, serabut residual yang lebih besar atau lebih
kecil dari normal yang semuanya berada dalam rangkaian yang tak beraturan, migrasi sentral dari inti
sarkolema, adanya daerah atrofi serabut otot, pembentukan rantai inti, daerah nekrosis dengan
fagositosis dari sarkoplasma nekrotik dan adanya peningkatan liposit dan fibrosis. Sedangkan untuk
menentukan tipe dari distrofi muskularis dapat dilakukan pewarnaan distrofin.
Klasifikasi yang dipakai sebelumnya dimodifikasi dari Walton dan Gardner-Medwin tahun 1981:

Distrofi Muskularis Murni:


a. X-linked Muscularis Dystrophy
- Severe ( Duchene)
- Benign ( Becker)
- Benign with early contractures ( Emery-Dreifuss)
- Scapuloperoneal ( rare)
b. Autosomal recessive muscular dystrophy
- Lim girdle ( usually scapulohumeral, rarely pelvifemoral)
- Childhood type, resembling Duchenne
- Congenital muscular dystrophy
c. Autosomal dominant muscular dystrophy
- Fascioscapulohumeral
- Scapuloperoneal
- Late onset proximal
- Distal
- Ocular
- Oculopharyngeal
Diagnosa Banding :
- Polymyositis
- Dermatomyositis
- Becher

Penatalaksanaan penyakit ini seperti vitamin E, asam amino, penicilamin, prednison. Pemakaian
prednison dapat mengurangi progresivitas dari penyakit tetapi terkadang tidak dapat ditoleransi. Kinin

76
dapat mengurangi miotonia tetapi menghambat perjalanan penyakit tersebut. Procain dan fenitoin juga
dapat mengurangi miotonia tetapi berbahaya jika ada konduksi jantung.
Gene Therapy : Penelitian lain yang dilakukan stem cells yaitu tentang pencangkokan otot bioartifisial
dan pemakaian insulin-like growth factor 1 (IGF-1)
 Pemeriksaan EMG yang perlu dilakukan:
o Latensi distal dan KHS
o EMG needle 3 ekstremitas
 Hasil yang akan didapatkan:
o NCV-KHS dalam batas normal
o EMG needle 3 ekstremitas: potensial-potensial yang sangat polifasik, halus,
durasi pendek dan amplitudo kecil yang menandakan adanya gangguan miogen
difus, dapat sesuai dengan suatu DMP.

Kasus 4
Seorang laki-laki berusia 60 tahun datang dengan keluhan kelemahan keempat anggota gerak sejak 4
bulan yang lalu. Selain itu pasien juga mengalami gangguan bicara yang diikuti dengan gangguan
menelan. Kesemutan ataupun baal tidak dirasakan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan atrofi lidah dan otot-otot tangan. Babinski (+).

Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 4 :


1). Dari ilustrasi kasus diatas, apa Diagnosis Kerja nya?
2). Gejala / Tanda apa saja yang kemungkinan didapatkan dari kasus ini?
3). Terangkan patogenesisnya
4). Pemeriksaan penunjang apa saja yang perlu dilakukan pada kasus ini ?
Apa indikasinya dan kapan waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan
penunjang ini?
Terangkan tentang cara dan apa hasil yang diharapkan dari pemeriksaan penunjang?
5). Diagnosis klinis, topis, etiologis dan patologi-anatomik ?
6). Manajemen komprehensif – promotif - preventif- kuratif – rehabilitatif
7). Prognosisnya bagaimana?
8). Pengetahuan apa saja yang akan diberikan dalam kegiatan Komunikasi Informasi
Edukasi (KIE) pasien, untuk tujusn prevensi dsn terapi suportif
9). Apakah perlu konsultasi (kerjasama) dengan depertemen lain?
10). Sistem Rujukan

Diskusi / Jawaban Kasus 4


(Amyotrophic Lateral Sclerosis / ALS – Motor Neuron Disease – MND)
Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) disebut juga Lou Gehrig’s Disease merupakan suatu penyakit
neuromuscular yang bersifat kronik dan progresif. Penyakit ini termasuk dalam kategori Motor Neuron
Disease (MND). Gejala ALS mencerminkan kematian neuron motorik yang terletak di otak, batang
otak dan medulla spinalis yang bertindak sebagai unit control dan jaringan komunikasi antara sistem
saraf dan otot untuk gerakan volunter.
ALS dapat mengenai semua ras, etnis, usia tersering antara 40-60 tahun, pria lebih sering terkena jika
dibandingkan dengan wanita
Kasus keturunan diakibatkan adanya gangguan genetik yang mengarah terhadap mutasi dari enzim
Superoxide Dismutase 1 (SOD1). Hipotesa lain ditemukan kadar glutamate yang meningkat, sel
neuron akan mati bila terpapar glutamate dalam jumlah yang berlebihan dan dalam waktu yang lama,
diduga terjadi kerusakan mitokondria akibat mutasi enzim SOD1, sehingga pasokan energi ke sel
terganggu dan peran proses inflamasi akibat sistem autoimun juga masih dalam penelitian. Masih
diteliti kemungkinan respon autoimun dimana sistem imun menyerang sel normal yang merupakan
penyebab kerusakan dari ALS. Kemungkinan lain seperti zat toksik serta agen infeksi juga masih
diteliti lebih lanjut (slow virus?)

77
Gejala-gejala yang muncul fasikulasi, kram otot, kaku otot, kelemahan otot melibatkan tangan atau
kaki lambat laun dapat menjadi atrofi, bicara sengau, sulit mengunyah dan menelan. Gejala UMN
seperti spastik, refleks meningkat,mudah muntah ( gag refleks berlebihan), refleks patologis.
Sedangkan gejala LMN seperti kelemahan otot, atrofi, fasikulasi.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan seperti lumbal pungsi dan biasanya didapatkan hasil
yang normal, biopsi otot yang menunjukkan atrofi denervasi, fasikel yang atrofi serta normal, enzim
otot CPK dapat meningkat untuk kasus yang progresif, MRI, CT, serta myelografi biasanya tidak
terdapat kelainan, EMG dengan perekaman khusus dan NCV ( Nerve Conduction Velocity).

Klasifikasi ALS:
1. Classical ALS
Penyakit neurologis yang progresif bercirikan gangguan upper dan lower motor
neuron. Tipe ini terjadi 2/3 kasus.
2. Primary Lateral Sclerosis (PLS)
Penyakit neurologis yang progresif. Yang terganggu adalah upper motor neuron. Jika
dalam 2 tahun lower motor neuron tak terganggu, penyakit ini biasanya murni UMN.
Tipe jenis ini sangat jarang terjadi.
3. Progressive Bulbar Palsy (PBP)
Suatu kondisi dimulai dengan sulit bicara, mengunyah dan menelan karena gangguan
LMN. Kasus ini terjadi pada ¼ kasus.
4. Progressive Muscular Atrophy (PMA)
Penyakit neurologis yang progresif. LMN terganggu. Jika dalam 2 tahun UMN tidak
terganggu, biasanya penyakit ini murni LMN.
5. Familial
Penyakit neurologis progrsif yang melibatkan lebih dari satu anggota keluarga.
Insidensinya berkisar 5-10%.

Kriteria Elektrofisiologis pada diagnosa MND: ( Kriteria Lambert)


1. Aktivasi spontan abnormal:
fasikulasi, fibrilasi dan” positive sharp waves” dapat ditemukan pada
ektremitas atas atau bawah, juga pada otot-otot kranial.
2. Perubahan EMG berupa denervasi dan re-inervasi parsial kronik. Kadang Giant
Potentials.
3. Kecepatan Hantar Saraf (KHS) motorik:
Pada otot-otot yang relatif tidak terkena, KHS motorik normal sedangkan pada otot-otot
yang menderita cukup berat serta mengalami atrofi, KHS menurun tidak lebih dari 10%.
4. Kecepatan Hantar Saraf dan amplitudo aksi potensial sensorik: normal
meskipun otot tersebut terkena pada tingkat yang cukup berat.

Sesuai dengan kriteria diatas, maka gambaran EMG berupa denervasi parsial kronik:

Harus ditemukan pada 3 ektremitas

Bila ditemukan hanya pada 1 ekstremitas, maka harus disertai sejumlah otot kranial
atau

Harus mengenai 3 otot dengan distribusi radikuler/saraf tepi yang berbeda.

Aktivasi spontan yang terdapat pada kasus diatas:



Fasikulasi yang terdapat pada MND biasanya lebih besar, lebih jelas, dan lebih polifasik
jika dibandingkan pada gangguan radiks atau gangguan saraf perifer, karena ”motor
unit” yang tersisa mengalani denervasi parsial, yang diikuti dengan ”collateral
sprouting”.

Fibrilasi dan ”Positive Sharp Waves” (PSW)

78
Fibrilasi merupakan hasil pengapian spontan dari serabut-serabut otot tunggal, yang
mengalami denervasi dan biasanya tidak terlihat dengan mata kecuali terkadang pada
lidah masih terlihat.
PSW adalah potensial yang tajam dengan defleksi inisial yang positif dengan amplitudo
kurang lebih 100 uV, diikuti dengan fase negatif yang lama menuju baseline.
Pada MND, fibrilasi dan PSW cenderung kurang menonjol apabila dibandingkan dengan fasikulasi.
Hal ini disebabkan karena re-inervasi yang merupakan suatu proses yang begitu aktif pada stadium
permulaaan, dan hanya menyisakan sangat sedikit serabut otot yang mengalami denervasi, yang akan
menimbulkan fibrilasi.
Paling jelas ditemukan pada otot-otot yang lemah dan mengalami atrofi.
Konfigurasi rekaman dari motor unit:

Peningkatan amplitudo, kadang mencapai > 20 mV, dan disebut ”Giant Potential”, bila
4-5 mV

Durasi memanjang: disebabkan karena terjadi perpanjangan waktu potensial menjadi
30-80 mS yang disebabkan oleh konduksi yang lambat pada cabang-cabang motorik
yang baru, yang masih imatur ( imatur nerve sprout).

Pemeriksaan EMG yang perlu dilakukan


o Latensi distal-KHS
o EMG needle 3 ekstremitas
Hasil yang diharapkan
o NCV-KHS dalam batas normal
o Pemeriksaan EMG needle 3 ekstremitas didapatkan potensial-potensial sinkron,
amplitudo membesar sampai 5mV (giant potensial), durasi melebar yang
menandakan adanya suatu gangguan motor neuron yang difus dapat sesuai
dengan suatu MND/ALS.

Pengobatan
1. Obat-obatan untuk mengurangi nyeri karena kram otot dan hipersalivasi
2. Pemanasan dan whirpool untuk mengatasi kram
3. Latihan yang ringan untuk menjaga kekuatan otot dan fungsi.
Terapi fisik untuk menjaga mobilitas dan mengurangi kekakuan otot, kram dan retensi
cairan.
4. Konsul nutrisi untuk kecukupan gizi, termasuk jenis makanan bila terjadi kesulitan
menelan
5. Terapi wicara dan latihan komunikasi sesuai kasus
6. Perlengkapan seperti splint, corrective braces, grab bras, reach extenders (kerjasama
dengan bagian rehabilitasi medik)
7. Peralatan seperti kursi roda, tempat tidur khusus untuk fungsi independent yang
maksimal
8. Berenang, berjalan, sepeda spastis dapat memperkuat otot yang tak terlibat dan menjaga
kesehatan jantung. Peregangan otot dapat mencegah spastik
yang nyeri dan kontraktur.
9. FDA menyetujui Riluzole (Rilutek) yang dipercaya mengurangi kerusakan
motor neuron dengan cara mengurangi glutamate (dosis 1-2 dd)
10. Jika terjadi kelemahan otot dipergunakan alat Intermitten Pressure Ventilation ( IPPV)
atau Bilevel Possitive Airway Pressure (BIPAP).

Kasus 5
Seorang wanita 37 tahun datang dengan keluhan kelemahan keempat anggota gerak sejak 1 minggu
yang lalu. Sebelumnya pasien merasakan sedikit kesemutan pada jari-jari kaki. Rasa kesemutan dan
kelemahan yang awalnya hanya di ujung-ujung jari lama kelamaan naik hingga ke sekitar betis.
Sepuluh hari sebelumnya pasien demam dan diare.

79
Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 5 :
1). Dari ilustrasi kasus diatas, apa Diagnosis Kerja nya?
2). Gejala / Tanda apa saja yang kemungkinan didapatkan dari kasus ini?
3). Terangkan patogenesisnya.
4). Pemeriksaan penunjang apa saja yang perlu dilakukan pada kasus ini ?
Apa indikasinya dan kapan waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan
penunjang ini?
Terangkan tentang cara dan apa hasil yang diharapkan dari pemeriksaan penunjang?
5). Diagnosis klinis, topis, etiologis dan patologi-anatomik ?
6). Manajemen komprehensif – promotif - preventif- kuratif – rehabilitatif
7). Prognosisnya bagaimana?
8). Pengetahuan apa saja yang akan diberikan dalam kegiatan Komunikasi Informasi
Edukasi (KIE) pasien, untuk tujusn prevensi dsn terapi suportif
9). Apakah perlu konsultasi (kerjasama) dengan depertemen lain?
10). Sistem Rujukan

Diskusi / Jawaban Kasus 5


(Sindroma Guillain Barre – SGB)
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah suatu jenis poliradikulopati yang progresif dan akut dengan
gejala kelemahan, parestesia dan hiporefleksia yang biasanya terjadi setelah suatu febris atau penyakit
viral.
Pada kasus yang berat, kelemahan otot dapat berlanjut menjadi suatu kegagalan pernafasan. Disfungsi
otonom yang sangat labil terkadang dapat terjadi.Kelumpuhan maksimal dapat terjadi sekitar 2 minggu
setelah onset, namun tidak tertutup kemungkinan kelumpuhan yang terjadi bisa lebih cepat.
Insidensi penyakit ini sekitar 0.6-2.4 kasus per 100.000 penduduk pertahun di USA. Risiko terjadinya
penyakit ini sama di seluruh dunia dan di semua musim dan diantara semua ras bangsa, kecuali adanya
predileksi musim GBS yang berhubungan dengan Campilobacter jejuni di Cina, yang cenderung
terjadi di musim panas.
Ratio pria dibandingkan wanita adalah 1.5:1 serta ratio umur rata-rata muncul GBS sekitar 40 tahun
keatas.
Guillain, Barre, Strohl menggambarkan penyakit ini lebih lengkap dengan kelumpuhan motorik yang
progresif serta berjalan ascenden disertai dengan cairan serebrospinal dengan protein yang meninggi
dan sel yang normal disertai dengan disosiasi sitoalbuminik. Hal ini yang membedakan AIDP dengan
penyakit motorneuron lainnya seperti polio dan neuropati.
Patofisiologi SGB menunjukkan adanya konduksi serabut saraf yang hilang atau melambat. Gangguan
pada konduksi saraf terjadi karena demielinisasi pada sel akson saraf. Saraf perifer dan radiks saraf
merupakan tempat utama terjadinya demielinisasi dan saraf kranialis juga dapat terkena.
SGB dianggap terjadi karena respons autoimun yang dicetuskan oleh suatu penyakit sebelumnya atau
beberapa kondisi medis lainnya. Pada waktu tertentu, sistem imun dalam tubuh mulai menyerang
badan sendiri sehingga terjadi suatu reaksi autoimun. Biasanya sel imun hanya menyerang benda asing
dan organisme yang menyerang tubuh, sedangkan pada SGB akan menyerang sarung mielin yang
mengelilingi akson dari banyak saraf perifer bahkan aksonpun ikut terserang.
Oleh karenanya transmisi yang dikirimkan melalui akson, tidak dapat terkirim dengan efisien.
Jika SGB yang didahului dengan infeksi gastrointestinal, respiratorik yang muncul sekitar 1-3 minggu
sebelum dimulainya kelumpuhan, Chlamydia, Campilobacter jejuni, mycoplasma,
pneumonia,cytomegalovirus, EBV,HIV, herpes zooster, mumps, mononucleosis, virus atau bakteri,
virus mungkin telah merubah sifat sel sehingga sistem imun menganggap sebagai benda asing, ataupun
merubah sistem imun sehingga kurang dapat mendiskriminasi sel yang seharusnya dikenal sebagai
milik tubuh sendiri, sehingga limfosit tertentu dan makrofag justru menyerang mielin. Limfosit T yang
telah disensitisasi bekerja sama dengan limfosit B untuk membentuk antibodi terhadap komponen
sarung mielin yang membantu merusak mielin. Malignansi seperti limfoma terutama penyakit
Hodgkin, vaksinasi (influenza, rabies, grup A streptococcus), obat-obatan preparat emas, penisilamin,
streptokinase, captopril, danasol, heroin, kehamilan, pembedahan.

80
Histopatologis: biasanya tampak kelainan pada tempat pertemuan ( junction) antara radiks anterior dan
posterior, terkadang hanya terjadi di radik anterior, sehingga menyebabkan suatu paralisis motorik
yang murni. Pada sarung mielin tampak edema, pembengkakan sarung mielin dengan derajat yang
berbeda terkadang disertai disintegrasi dengan interupsi akson. Biopsi suralis dapat menunjukkan
adanya suatu pattern demielinisasi segmental.
Diagnosis banding: botulisme, sindrom kauda equina, polineuritis, Lyme disease, hiperkalemia,
hipokalemia, hipofosfatemia, meningitis paraneoplastik, miastenia gravis, polimiositis, infeksi medulla
spinalis, trauma medulla spinalis, CIDP dan lain-lain
Kriteria diagnosis SGB yang tipikal:
Ciri-ciri yang diperlukan untuk diagnosis:

Kelemahan yang progresif pada kedua lengan dan tungkai.

A refleksia
Ciri-ciri yang secara kuat menunjang diagnosis

Progresivitas gejala dalam beberapa hari sampai minggu

Gejala relatif simetris

Gangguan sensoris hanya sedikit

Terlibatnya saraf kranial, terutama kelemahan bilateral dan otot muka.

Penyembuhan yang dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti.

Disfungsi otonom

Tidak ada febris saat onset

Konsentrasi tinggi protein dalam LCS dengan sel <10/mm3

Kelainan elektrodiagnostik yang khas
Ciri-ciri yang menyingkirkan diagnostik

Diagnosis botulism, miastenia,polimielitis, neuropati toksik

Metabolisme porfirin yang abnormal

Difteri yang belum lama diderita

Sindrom yang sensorik murni tanpa kelemahan
Perjalanan penyakit
Kelumpuhan: penyakit ini biasanya mempunyai suatu pattern ascenden dengan
kelumpuhan yang progresif, yang dimulai dari ekstremitas bawah, disertai dengan arefleksia.
Kelemahan hampir selalu simetris dan harus dipertimbangkan diagnosis lain bila ditemukan
kelumpuhan yan asimetris. Kelumpuhan maksimal terjadi sekitar 2 minggu setelah permulaan
timbulnya gejala dan biasanya berhenti progresif setelah 5 minggu.
Parestesia: dimulai dari ujung kaki meluas keatas, terkadang sekuele dalam bidang
otonomik atau disfungsi saraf motorik. Nyeri: seringkali pada pinggang bawah, pantat, paha
dan pundak. Saraf kranial: gangguan saraf kranial bisa ditemukan 45-75% kasus dan bisa
terjadi kelemahan muka, disfasia atau disatria. Dapat pula ditemukan varian Miller-Fischer
dengan ophtalmoplegia dan ataksia.
Pemeriksaan fisik :

Tanda vital

Disfungsi otonom

Gangguan saraf kranial

Papil: tampak papil edema karena peningkatan tekanan cerebrospinal sehingga dapat
menunjukkan tanda dari pseudotumor cerebri

Disrefleksia:biasanya menurun atau menghilang, bila normal pikirkan kemungkinan yang
lain.

Gejala lainnya: hipotonia, gangguan sensorik, kelumpuhan desecenden pada varian bulber
seperti disfagia, disartri dan mengeluarkan air liur. Paralisis otot pernafasan bisa terjadi
pada 25% kasus SGB.

Pemeriksaan penunjang :elektrolit, tes kehamilan, pungsi lumbal, pemeriksaan antibodi
terhadap GD1a dan GD 1b GQ1b dan GM1. Jika pada pasien GBS sudah memiliki
antibodi ini, maka prognosisnya lebih buruk.

81

MRI: lumbosacral dengan kontras gadolinium, pada 95% pasien kadang kadang dapat
menunjukkan enhacement pada radiks kauda equina dapat terjadi rata-rata 13 hari setelah
timbulnya gejala.

Forced Vital Capacity: Indikasi perawatan ICU apabila FVC kurang dari 20 mL/kg

Pengobatan medika mentosa:


Saat ini ditujukan kepada imunomodulasi. Menurut petunjuk guideline American
Academy of Neurology (AAN), pengobatan GBS dimulai secara dini dalam waktu 2-4 minggu
setelah gejala pertama timbul dapat mempercepat waktu penyembuhan.
Plasmafaresis ( Plasma Exchange Therapy) dan Imunoglobulin intravena ( IVIg 7s) terbukti
efektif. Kedua modalitas pengobatan terbukti dapat memperpendek waktu penyembuhan
sampai 50%, namun harganya mahal dan ada kesukaran dalam cara pemberian serta efektivitas
keduanya hampir sama. Sebaiknya pemberian plasmafaresis diberikan sesegera mungkin, tetapi
jangan diberikan apabila onsetnya lebih dari 3 minggu terkecuali masih terdapat progresivitas
dari penyakitnya.
Plasma diganti dalam 4-5 x yang dilakukan dalamm jangka waktu 7-10 hari seluruhnya adalah
kira-kira 250 cc/kgbb serta dipakai suatu alat dengan pengaliran yang terus menerus (
continuos flow machine) dan cairan pengganti plasma yang dipakai adalah albumin 5%
Pemberian PE yang intesif setiap hari tidak dianjurkan karena berisiko untuk terjadi relaps.
Kemungkinan terjadi relaps setelah PE adalah 10-15% dan biasanya terjadi dalam 3 minggu
dan keadaan pasien dapat membaik setelah 2x PE.
IVIg 7s dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis GBS, mengurangi produksi
autoantibodi, meningkatkan kelarutan dan penyingkiran kompleks imun. IVIg menetralisir
antibodi yang bersirkulasi melalui antibodi anti idiopatik serta men-down-regulate sitokinin
pro inflamatoir termasuk interferon gamma ( INF-gamma). Selain itu memblok kaskade
komplemen dan mempromosikan terjadinya remielinisasi.
Dosis dewasa 0.4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) atau cara lain dengan
pemberian 2g/kg IVIg diberikan sekaligus sebagai dosis tunggal.
Pemberian IVIg lebih mudah daripada PE dan harga lebih mahal jika dibandingkan dengan PE.
Meskipun terbukti menurunkan beratnya penyakit dan memperpendek waktu adanya gejala,
namun outcome jangka panjang masih belum jelas.
Kontra indikasi adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi Ig A dan antibodi
anti IgE/IgG. Sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil. Pemberian kortikosteroid saat ini
masih kontroversial, karena beberapa kepustakaan mengatakan tidak berguna.
 Pemeriksaan EMG yang perlu dilakukan:
o NCV motorik n.Medianus, n.Ulnaris, n.Peroneus, n.Tibialis
o NCV sensorik n.Medianus, n.Ulnaris, n.Suralis
o F wave dari n.Medianus, n.Ulnaris, n.Tibialis dan n.Peroneus
 Hasil yang diharapkan:
Poliradikulitis atau poliradikuoneuritis
o Latensi distal yang memanjang (pada poliradikuloneuritis)
o KHS menurun (pada poliradikuloneuritis)
o Latensi distal F memanjang
o FWCV menurun
o Konduksi blok
Berbagai tipe GBS :
 
Muller Fisher CRPN
 
AIDP AMAN
 
CIDP AMSA

82

Anda mungkin juga menyukai