Anda di halaman 1dari 9

Transmisi Neuromuskular pada Migren; Studi Single-fiber EMG pada

Subgroup Klinik

Anna Ambrosini, MD, PhD; Alain Maertens de Noordhout, MD, PhD; dan Jean Schoenen, MD,
PhD

Neurology 2001;56:1038-43

Abstrak
Tujuan : Mencari adanya gangguan pada transmisi neuromuskular melalui single-fiber
electromyography (SFEMG) pada pasien dengan migren bentuk umum.
Latar Belakang: Kanal P/Q Ca2+ pada kebanyakan kasus migren hemiplegik familial (International
Headache Society [IHS] code 1.2.3) secara genetik mengalami kelainan dan kemungkinan hal ini
juga terjadi pada migren tipe lain. Selain di otak, kanal-kanal ini juga ditemukan di ujung saraf
motorik (motor nerve endings), di mana kanal-kanal ini mengontrol stimulasi yang diinduksi oleh
pelepasan asetilkolin. Jika kanal-kanal ini fungsinya abnormal, maka dapat terjadi gangguan
transmisi neuromuskular.
Metode: 62 penderita migren (18 tanpa aura, kode IHS 1.1; 19 dengan aura khas, kode IHS 1.2.1; 10
dengan prolonged aura, kode IHS 1.2.2; 15 dengan dan tanpa aura) dan 16 kontrol sehat menjalani
pemeriksaan stimulasi SFEMG. Hasil dinilai dalam mean value of consecutive differences (MCD)
dan persentasi abnormalitas single-fiber (jitter abnormal atau blok impuls).
Hasil: Rata-rata MCD dibandingkan pada kontrol dan penderita migren adalah 17.1 + 2.6
berbanding 17.5 + 4.7 sec. Abnormalitas single-fiber ditemukan pada 18 pasien, namun tidak pada
kontrol (p = 0.036). Kebanyakan pasien-pasien ini memiliki gejala sensorimotor unilateral dan/atau
afasia dan/atau kehilangan keseimbangan selama terjadinya aura. Abnormalitas SFEMG secara
bermakna berkorelasi dengan adanya gambaran klinis ini dan dengan diagnosis migren dengan
prolonged aura.
Kesimpulan: Stimulasi SFEMG menunjukkan abnormalitas ringan dari transmisi neuromuskular
pada subgrup pasien migren dengan aura, dikarakteristikkan dengan gambaran klinis yang sering
ditemukan pada manusia dengan P/Q Ca2+ channelopathies. Abnormalitas ini dapat diakibatkan
oleh perubahan kanal P/Q Ca2+ secara genetik.

1
Mutasi gen subunit-1A pada neuronal voltage-dependent P/Q-type Ca2+ channel
(CACNA1A pada kromosom 19p13) ditemukan pada kebanyakan kasus migren hemiplegik familial
(familial hemiplegic migraine/FHM), tipe 2 ataksia episodik, dan tipe 6 ataksia spinoserebelar.
Analisis sibpair dan linkage telah membuktikan secara tidak langsung bahwa CACNA1A juga
dapat terlibat dalam bentuk migren yang lebih sering ditemukan, terutama pada migren dengan
aura.
Kanal P/Q Ca2+ terdistribusi secara luas pada susunan saraf pusat (seperti korteks serebri,
serebelum, dan batang otak) dan terlibat dalam fungsi neuronal. Jika mereka mengalami malfungsi,
tidak hanya terjadi gangguan secara klinik seperti pada migren, namun juga pada gejala subklinik
atau gangguan fungsi. Beberapa dari gejala subklinik atau gangguan fungsi ini dapat dideteksi
dengan metode sensitif yang sesuai. Gambaran elektrofisiologis interiktal pada pasien migren,
seperti strong intensity dependence of auditory cortical evoked potentials dan gambaran defisit
habituasi pada reversal visual evoked potentials, memiliki komponen genetik yang kuat. Namun,
hal ini mungkin sulit untuk mengkorelasikan mereka dengan genotipe spesifik, karena kompleksitas
mekanisme neuronal yang mendasari. Tanda serebelar subklinik baru-baru ini ditemukan pada
pasien migren degan three-dimensional optoelectronic video analysis of reaching movements.
Kanal P/Q Ca2+ juga ditemukan pada akson motor pada neuromuscular junction (NMJ), di mana
kanal ini bertanggung jawab atas stimulasi yang diinduksi oleh pelepasan asetilkolin. Pada studi
terdahulu dengan menggunakan SFEMG, metode in vivo yang paling sensitif untuk mengevaluasi
transmisi neuromuskular, ditemukan abnormalitas subklinis pada pasien yang mengalami migren
dengan aura. Disamping manifestasi visual, kebanyakan mereka mengalami gejala aura yang lain
seperti parestesi, paresis, gangguan berbicara, dan hilangnya keseimbangan, di mana gejala-gejala
ini ditemukan juga pada pasien dengan FHM dan tipe 2 ataksia episodik yang mengalami kanalopati
P/Q Ca2+. Kami mengajukan hipotesa bahwa gangguan transimisi neuromuskular yang dideteksi
dengan SFEMG dapat merefleksikan adanya malfungsi presinaptik kanal P/Q Ca 2+ pada akson
motorik dan merencanakan untuk melebarkan studi ini dengan mengevaluasi spektrum yang lebih
luas pada pasien dengan migren bentuk lebih umum termasuk migren tanpa aura, migren dengan
aura khas, migren dengan prolonged aura, dan kombinasi migren dengan dan tanpa aura.

Metode
Karakteristik subyek sehat dan pasien
62 pasien dengan migren ambil bagian dalam studi ini. Berdasarkan kriteria klasifikasi
International Headache Society (IHS) pasien-pasien tersebut terdiri atas : 18 pasien migren tanpa
aura (kode IHS 1.1), 19 pasien migren dengan aura khas (kode IHS 1.2.1), 10 pasien migren dengan
prolonged aura (kode IHS 1.2.2), dan 15 migren dengan dan tanpa aura (kode IHS 1.1 + 1.2.1).

2
Data mengenai perincian gambaran klinis selama terjadi aura dilihat dari riwayat penyakit pasien.
Gejala-gejala berupa gangguan visual, sensorik, motorik, dan berbahasa, serta hilangnya
keseimbangan.
Dipilih 15 sukarelawan sehat sebagai kontrol. Untuk mencegah inklusi subjek dengan atau
berisiko terjadinya migren, dilakukan eksklusi pada subjek dengan riwayat pribadi dan keluarga
nyeri kepala berulang atau penyakit neurologis lainnya. Tidak ada kontrol atau pasien migren
dengan kondisi medis lain yang terdeteksi dari riwayat dan pemeriksaan klinis; tidak ada subjek
yang mengkonsumsi obat rutin atau mengkonsumsi obat apapun dalam 3 hari sebelum perekaman.
Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan dari komite etik dan dengan pengertian dan
informed consent dari masing-masing subjek. Tabel 1 menyimpulkan gambaran karakteristik
populasi penelitian.

Perekaman elektrofisiologis
Pada pasien migren dilakukan pemeriksaan interiktal dengan interval minimal 3 hari dari
serangan oleh peneliti yang tidak mengetahui rincian perjalanan penyakit. Alat Nicolet Viking IV
(Madion, WI) digunakan untuk stimulasi SFEMG. Alat tersebut dipilih karena tidak bergantung
pada kerja sama pasien, menyediakan constants interdischarge intervals, dan karenanya dapat
dilakukan pengulangan (highly reproducible) yang melibatkan subjek dalam jumlah besar. Aktivitas
single-muscle fiber direkam dengan jarum single-fiber dengan panjang 25 mm (Oxford Instruments;
Oxford, UK), dan saraf motorik distimulasi dengan jarum Nicolet Teflon-insulated monopolar.
Dilakukan stimulasi suprathreshold pada cabang motorik saraf radialis dan menilai variabilitas
latensi, yakni jitter aksi potensial single-fiber pada otot ekstensor digitorum komunis pada lengan
kanan. Akuisisi stimulasi pada 100/serabut saraf, dan kecepatan stimulasi 10 Hz. Dilakukan
perekaman 25 otot ekstensor digitorum komunis (25 muscularis extensor digitorum communis
muscle fibers) pada tiap pasien. Dilakukan analisis, dan pada average 18 artifact-free muscle fibers
setiap pasien untuk melihat nilai rerata perbedaan konsekutif (mean value of consecutive

3
differences/MCD). Sesuai dengan data normatif yang telah dipublikasikan sebelumnya, rerata MCD
tidak boleh melebihi 25 s dan tidak lebih dari 10% serabut yang memiliki MCD lebih dari 40 s;
pada gangguan transmisi neuromuskular yang berat, impuls saraf mungkin gagal untuk
mencetuskan potensial aksi, menyebabkan terjadinya hambatan impuls intermiten. Sesuai dengan
nilai normatif kami (didapat dari kontrol), rerata MCD dikatakan abnormal jika melebihi 22.3 s;
avereage MCD value pada kontrol +2 SD. Untuk masing-masing serabut, MCD melebihi 40 s
dikatakan abnormal (menurut data normatif yang dipublikasikan sebelumnya); hal ini sesuai dengan
penemuan kami bahwa nilai maksimal MCD single-fiber pada kontrol sebesar 39 s. Adanya
abnormalitas rerata MCD dan single-fiber dikatakan terdapat abnormalitas SFEMG.

Analisis statistik
Distribusi normal variabel kuantitatif pada masing-masing grup dan subgrup telah diuji dan
dikonfirmasikan dengan menggunakan tes Shapiro-Wilks. Dari hasil didapat rerata dan SD untuk
variabel kuantitatif dan sebagai proporsi untuk data binary. Proporsi dibandingkan dengan tes chi-
square untuk tabel kontingensi dan nilai rerata dengan one-war analysis of variance. Regresi
logistik digunakan untuk memprediksi adanya abnormalitas SFEMG (atau gejala tambahan) dari
faktor tunggal atau multipel. Regresi logistik ordinal juga digunakan pada keempat subgrup yakni
migren tanpa aura, migren dengan dan tanpa aura, migren dengan aura khas, dan migren dengan
prolonged aura (urutan sesuai yang tersebut). Keseluruhan hasil dikatakan bermakna bila p < 0.05.
Kalkulasi statistik menggunakan program SAS (versi 6.12 untuk Windows).

Hasil
Gambaran demografik
Kontrol dan pasien migren memiliki kemiripan distribusi jenis kelamin dan usia. Subgrup
migren tidak berbeda secara usia dan rerata frekuensi serangan per bulan; terdapat lebih sedikit
wanita pada grup pasien migren dengan aura khas (p = 0.005) (tabel 1).

Abnormalitas SFEMG
Rerata MCD kontrol (17.1 + 2.6 s) dan pasien migren (17.5 + 4.7 s) (gambar 1). Rerata
MCD abnormal yakni > 22.3 s terlihat pada 1 (pria usia 38 tahun) di antara 16 kontrol dan 12 dari
62 pasien, hasil ini tidak berbeda bermakna (p = 0.21). Abnormalitas single-fiber terdapat hanya
pada pasien migren (n = 14) (p = 0.036). Secara keseluruhan, abnormalitas SFEMG terdapat pada
17 pasien migren (27.4%) dan 1 orang kontrol (6.3%), namun perbedaan ini tidak bermakna.
Dengan menggunakan regresi logistik untuk masing-masing variabel, didapat bahwa abnormalitas

4
SFEMG tidak berhubungan dengan jenis kelamin (p = 0.37), usia (p = 0.47), keturunan/inheritance
(p = 0.73), dan frekuensi serangan (p = 0.23).

Average mean MCD serupa pada subgrup migren, meski tidak terdapat kebermaknaan antara
tingginya nilai MCD dengan adanya dan lamanya aura: migren tanpa aura 16.7 + 3.9; migren tanpa
atau dengan aura 16.9 + 4.4; migren dengan aura khas 18.3 + 4.0; dan migren dengan prolonged
aura 20.6 + 4.3 s (gambar 1). Insidens abnormal rerata MCD sebagaimana dijelaskan di atas juga
sama tidak bermakna (gambar 2). Proporsi pasien dengan abnormalitas serabut bervariasi antar
subgrup migren (p = 0.008); proporsi ini tinggi sesuai dengan adanya dan durasi aura (gambar 2).

5
Seperti ditampilkan pada tabel 2, abnormalitas yang tampak pada single fiber pasien migren
(yakni insiden dan derajat meningkatnya jitter dan blok impuls) sedang. Secara umum, abnormalitas
SFEMG (peningkatan rerata MCD, serabut dengan jitter yang meningkat, dan/atau blok impuls)
lebih sering tampak pada subgrup migren dengan prolonged aura (60%) jika dibandingkat dengan
subgrup lain (21.1%) (p – 0.012). Analisis regresi logistik ordinal menunjukkan bahwa prevalensi
abnormalitas SFEMG meningkat dari subgrup migren (migren tanpa aura) ke grup terakhir yakni
migren dengan prolonged aura (p = 0.023); yakni sesuai dengan adanya dan durasi aura. Korelasi
statistik ini disebabkan terutama oleh tingginya insiden abnormalitas SFEMG pada grup migren
dengan prolonged aura.

Gejala aura
Pada subgrup migren dengan aura (migren dengan aura khas, migren dengan prolonged
aura, dan migren dengan dan tanpa aura), gambaran aura selain dari gambaran klasik berupa gejala
visual ditemukan pada 28 dari 44 pasien (63.15%). Hal ini berupa gangguan sensorik, motorik,
bahasa, dan/atau keseimbangan dan tidak berhubungan dengan jenis kelamin (p = 027), usia (p =
0.37), keturunan/inheritance (p = 0.80), atau frekuensi serangan (p = 0.17).

Beberapa subgrup dibedakan berdasarkan adanya beberapa gejala aura tambahan seperti
gejala somatosensorik unilateral (p < 0.014). Juga dengan gejala motorik (p = 0.095). Gambaran
aura ini tampak overrepresented pada migren dengan prolonged aura dan sedikit pada migren
dengan aura khas (tabel 3). Abnormalitas SFEMG secara bermakna berhubungan dengan adanya

6
gambaran aura tambahan ini: 14 dari 28 pasien migren (50%) yang memiliki gejala aura tambahan
juga memiliki abnormalitas SFEMG, di mana hanya 2 dari 16 (12%) pasien yang memiliki aura
visual sederhana yang memiliki abnormalitas SFEMG. Sebagaimana ditunjukkan melalui analisis
regresi logistik, risiko memiliki abnormalitas SFEMG meningkat dengan adanya gejala aura
tambahan (p = 0.011).

Diskusi
Abnormalitas SFEMG dan gambaran klinis pasien migren
Studi ini mengkonfirmasikan bahwa pada pasien migren didapat abnormalitas SFEMG, hal
ini tidak ditemukan pada grup kontrol sehat. Abnormalitas ini derajatnya cukup rendah bila
dibandingkan pada gangguan neuromuskular lainnya seperti miastenia atau sindrom miastenik.
Pada grup kontrol penelitian ini, nilai rerata MCD > 22.3 s dikatakan abnormal, sedangkan pada
pemeriksaan neurofisiologis klinik rutin nilai < 25 s dikatakan normal. Pada pasien dengan
abnormalitas SFEMG, rata-rata < 10% dari serabut-serabut otot yang diteliti memiliki MCD > 40
s, nilai ini dianggap sebagai batas atas dari nilai normal single fibers, dan < 15% memiliki blok
impuls, di mana dalam penelitian kami tidak berhubungan dengan jitter yang tinggi. Hal ini telah
dilaporkan sebelumnya pada kasus botulismus, di mana disebabkan oleh defek presinaptik. Secara
keseluruhan, total 17 dari 62 pasien migren memiliki abnormalitas SFEMG. Kesemuanya kecuali 1
orang terjadi pada grup migren dengan aura, dan di antara grup ini 6 memiliki prolonged aura, 14
dari 16 pasien selain skotoma visual didapatkan pula gejala aura lain seperti gangguan
sensorik/motorik, disfasia, dan hilangnya keseimbangan. Sebagaimana telah di-review oleh
Terwindt et al., aura tambahan ini (the latter) juga merupakan gambaran iktal yang sering terjadi
selama serangan FHM. Sekitar 40% pasien FHM mengalami setidaknya 1 episode atipikal dari
migren dengan prolonged aura, yang bertahan sampai beberapa hari. Ataksia iktal atau progresif
juga sering ditemukan pada pedigrees FHM. Meskipun tidak ada pasien penelitian ini memenuhi
kritera diagnostik IHS untuk FHM (kode IHS 1.2.3) atau migren basilar (kode IHS 1.2.4),

7
tampaknya jelas bahwa disfungsi NMJ terbatas pada pasien dengan gambaran klinis mendekati
FHM.
Kami hanya dapat berspekulasi mengenai penyebab dari disfungsi NMJ pada pasien migren.
Underlying muscular disorders seperti miastenia, sindrom miastenik, dan neuro- dan/atau miopati
tampaknya tidak mungkin terjadi sebab dari pemeriksaan klinik secara rinci normal pada seluruh
pasien dan tidak ada satupun yang memiliki riwayat gangguan neuromuskular. Abnormalitas
SFEMG pada migren ringan, dibandingkan penyakit lain.
Berkurangnya potensial fosforilasi mitokondrial telah dilaporkan pada migren dengan dan
tanpa aura baik di korteks serebri dan otot skelet. Terjadinya mutasi mitokondrial DNA belum
pernah dideteksi hingga kini, kecuali pada 1 studi pada pasien dengan aura. Mungkin saja bahwa
gangguan fungsi mitokondria pada migren memiliki penyebab lain dari mutasi DNA mitokondria.
Metabolisme energi mitokondria mungkin berpengaruh sekunder akibat terjadinya malfungsi kanal
Ca2+, dan riboflavin, di mana keduanya dapat meningkatkan persedian energi mitokondria, telah
ditunjukkan pada beberapa mitokondriopati; pengobatan cukup efektif sebagai profilaksis migren.
Abnormalitas SFEMG ditemukan pada pasien dengan mutasi DNA mitokondria yang memiliki
gambaran klinis mio/neuropati atau ekstrenal oftalmoplegia, tapi tidak pada mereka yang
asimtomatik. Namun tampaknya unlikely bahwa gangguan metabolisme mitokondrial ringan yang
terjadi pada pasien migren dapat menjelaskan hasil penelitian kami.
2 kanal high-voltage-dependent Ca2+ channels, yakni tipe N dan P/Q, berperan dalam
pelepasan asetilkolin pada NMJ. Kanal Ca2+ tipe N tampaknya mengontrol pelepasan spontan
(dibanding pelepasan akibat adanya stimulasi), dan blok kanal tipe-N ini tidak memiliki efek pada
transmisi neuromuskular pada manusia in vitro. Dihipotesiskan bahwa kanal Ca2+ tipe P/Q mungkin
berperan pada paradigma yang terjadi pada penelitian SFEMG ini. Subunit 1A abnormal pada
kebanyakan kasus FHM dan pada ataksia episodik tipe 2 yang disebabkan mutasi pada gen
CACNA1A pada kromosom 19. Abnormalitas SFEMG pada subgrup migren (pada penelitian ini)
berhubungan dengan gambaran klinik aura yang juga ditemukan pada FHM, sehingga diduga
bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh malfungsi kanal Ca 2+ tipe P/Q secara genetik. Menariknya,
pada mencit tottering, transmisi neuromuskular yang abnormal ditunjukkan secara in vitro, dan
abnormalitas SFEMG ditemukan pada 3 pasien dengan mutasi CACNA1A dan ataksia episodik.
Terdapat bukti tidak langsung bahwa gen CACNA1A mungkin terlibat dalam migren bentuk
umum. Beberapa anggota dari FHM families yang membawa mutasi FHM I1811L memiliki migren
dengan aura, namun tidak terdapat serangan migren hemiplegik. Analisis Sibpair yang dilakukan
pada keluarga dengan migren tanpa dan dengan aura, menunjukka peningkatan petanda alel lokus
D19S394, yang secara erat berhubungan dengan gen CACNA1A. Sebuah studi yang menggunakan
analisis 2 titik dan multi titik tidak menunjukkan bukti keterlibatan lokus FHM pada migren khas.

8
Studi lain menunjukkan hubungan dengan gen CACNA1A pada 1 dari 4 keluarga. Jika hipotesis
kami benar bahwa abnormalitas SFEMG disebabkan oleh malfungsi kanal Ca2+ tipe P/Q, studi kami
menunjukkan secara langsung bahwa gen CACNA1A mungkin terlibat pada bentuk umum migren
dengan aura.
Analisis genetik yang adekuat perlu dilakukan untuk mengkonfirmasikan apakan disfungsi
NMJ yang dilaporkan di sini disebabkan oleh modifikasi kanal Ca2+ tipe P/Q secara genetik. Karena
perbedaan dalam derajat klinis di antara pasien-pasien penelitian kami dan subjek FHM yang
mengalami abnormalitas SFEMG, dan karena abnormlaitas SFEMG pada 3 kasus mutasi
CACNA1A tampaknya lebih berat dibanding pasien kami, tidak dapat disingkirkan bahwa
perubahan genetik ringan seperti polimorfisme mungkin terjadi pada pasien kami dibandingkan
adanya mutasi.

Anda mungkin juga menyukai