PARKINSON
Pembimbing :
dr. Gea Pandhita S,M.Kes,Sp.S
Disusun oleh :
KARLINA LUBIS, S.Ked.
2011730048
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Penyakit
Parkinson
merupakan
penyakit
neurodegeneratif
system
ekstrapiramidal yang merupakan bagian dari Parkinsonism yang secara patologis ditandai
oleh adanya degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra pars kompakta
(SNC) yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies) (Kelompok
Studi Movement Disorder PERDOSSI, 2013).
Parkinsonism adalah suatu sindrom yang gejala utamanya adalah tremor
waktu istirahat, kekakuan (rigidity), melambatnya gerakan (akinesia) dan instabilitas
postural (postural instability) (Kelompok Studi Movement Disorder PERDOSSI,
2013).
B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan
wanita hampir seimbang. 5 10 % orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala
awalnya muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65
tahun. Secara keseluruhan, pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di seluruh dunia
dan 1,6 % di Eropa, meningkat dari 0,6 % pada usia 60 64 tahun sampai 3,5 % pada
usia 85 89 tahun.
Di Amerika Serikat, ada sekitar 500.000 penderita parkinson. Di Indonesia sendiri,
dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000
penderita. Rata-rata usia penderita di atas 50 tahun dengan rentang usia-sesuai dengan
penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85
tahun. Statistik menunjukkan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, lelaki lebih
banyak terkena dibanding perempuan (3:2) dengan alasan yang belum diketahui.
C. ETIOLOGI
Etiologi Penyakit Parkinson belum diketahui ( idiopatik ) , akan tetapi ada
beberapa faktor resiko ( multifaktorial ) yang telah diidentifikasikan , yaitu :
a. Usia : meningkat pada usia lanjut dan jarang timbul pada usia dibawah 30 tahun.
b. Rasial : Orang kulit putih lebih sering daripada orang Asia dan Afrika .
c. Genetik : diduga ada peranan faktor genetik
D. KLASIFIKASI PARKINSON
Berdasarkan penyebabnya Parkinsonism dibagi atas 4 jenis:
1. Idiopatik (primer) Penyakit Parkinson, genetic Parkinsons disease
2. Simptomatik (Sekunder)
Akibat dari: Infeksi, obat, toksin, vaskular, trauma, hipotiroidea, tumor,
hidrosefalus tekanan normal, hidrosefalus obstruktif.
3. Parkinsonism plus (Multiple system degeneration)
Parkinsonism plus sindrom adalah Parkinsonism primer dangan gejala-gejala
tambahan. Termasuk demensia Lewy bodies, progresif supranuklear palsi, atrofi
multi
sindrom
sistem,
degenerasi
Shy-Drager,
striatonigral,
degenerasi
degenerasi
kortikobasal,
olivopontoserebelar,
kompleks
Parkinsonism
E. PATOFISIOLOGI
Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena
penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia nigra
sebesar 40 50% yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik ( Lewy bodies).
Lewy bodies adalah inklusi sitoplasmik eosinofilik konsentrik dengan halo perifer dan
dense cores . Adanya Lewy bodies dengan neuron pigmen dari substansia nigra adalah
khas , akan tetapi tidak patognomonik untuk Penyakit Parkinson , karena terdapat juga
pada beberapa kasus parkinsonism atipikal. Untuk lebih memahami patofisiologi yang
terjadi perlu diketahui
ekstrapiramidal.
1. Ganglia Basalis
Dalam menjalankan fungsi motoriknya , inti motorik medula spinalis
berada dibawah kendali sel piramid korteks motorik , langsung atau lewat
kelompok inti batang otak . Pengendalian langsung oleh korteks motorik lewat
traktus piramidalis , sedangkan yang tidak langsung lewat sistem
ekstrapiramidal , dimana ganglia basalis ikut berperan.Komplementasi kerja
traktus piramidalis dengan sistem ekstapiramidal menimbulkan gerakan otot
menjadi halus , terarah dan terprogram.
Ganglia Basalis ( GB ) tersusun dari beberapa kelompok inti , yaitu :
1. Striatum ( neostriatum dan limbic striatum )
Neostriatum terdiri dari putamen ( Put ) dan Nucleus Caudatus (NC)
2. Globus Palidus ( GP )
3.
Substansia Nigra ( SN )
sangat
kompleks
dan
saraf
penghubungnya
menggunakan
neurotransmitter yang bermacam macam . Namun ada dua kaidah yang perlu
dipertimbangkan untuk dapat mengerti perannya dalam patofisiologi kelainan
ganglia basalis.
1. Satu unit fungsional yang dipersarafi oleh lebih dari satu sistem
saraf maka persarafan tersebut bersifat reciprocal inhibition ( secara timbal
balik satu komponen saraf melemahkan komponen yang lain ). Artinya yang
satu berperan sebagai eksitasi dan yang lain sebagai inhibisi terhadap fungsi
tersebut. Contoh klasik reciprocal inhibition adalah dalam fungsi saraf otonom
antara saraf simpatik dengan NT noradrenalin ( NA ) dan saraf parasimpatik
dengan NT asetilkolin ( Ach ).
2. Fungsi unit tersebut normal bilamana kegiatan saraf eksitasi sama
atau seimbang dengan saraf inhibisi . Bilamana oleh berbagai penyakit atau
obat terjadi perubahan keseimbangan tersebut maka timbul gejala hiperkinesia
atau hipokinesia tergantung komponen saraf eksitasi atau inhibisi yang
kegiatannya berlebihan.
Patofisiologi GB dijelaskan lewat dua pendekatan , yaitu berdasarkan
cara kerja obat menimbulkan perubahan keseimbangan saraf dopaminergik
dengan saraf kolinergik , dan perubahan keseimbangan jalur direk ( inhibisi )
dan jalur indirek ( eksitasi ).
Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena penurunan
kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia nigra sebesar 40
50% yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies). Lesi primer
pada penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang mengandung neuromelanin
di dalam batang otak, khususnya di substansia nigra pars kompakta, yang menjadi
terlihat pucat dengan mata telanjang. Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan
dopamin dari ujung saraf nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik)
dan reseptor D2 (inhibitorik) yang berada di dendrit output neuron striatum. Output
striatum disalurkan ke globus palidus segmen interna atau substansia nigra pars
retikularis lewat 2 jalur yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek berkaitan
dengan reseptor D2 . Maka bila masukan direk dan indirek seimbang, maka tidak ada
kelainan gerakan.
Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia
nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada
rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit Parkinson belum
muncul sampai lebih dari 50% sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin berkurang
80%. Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur direk dengan
neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang inhibitorik
tidak terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus palidus segmen
eksterna yang GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga fungsi inhibitorik
terhadap globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi inhibisi dari saraf
GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke nucleus subtalamikus melemah
dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus meningkat akibat inhibisi.
Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus segmen
interna / substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik yang eksitatorik
akibatnya terjadi peningkatan kegiatan neuron globus palidus / substansia nigra.
Keadaan ini diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur langsung ,sehingga
output ganglia basalis menjadi berlebihan kearah talamus.
Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke talamus adalah
GABAnergik sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya rangsangan
dari talamus ke korteks lewat saraf glutamatergik akan menurun dan output korteks
motorik ke neuron motorik medulla spinalis melemah terjadi hipokinesia.
F. GAMBARAN KLINIS
Keadaan penderita pada umumnya diawali oleh gejala yang non spesifik, yang
didapat dari anamnesis yaitu kelemahan umum, kekakuan pada otot, pegalpegal atau
kram otot, distonia fokal, gangguan ketrampilan, kegelisahan, gejala sensorik
(parestesia) dan gejala psikiatrik (ansietas atau depresi). Gambaran klinis penderita
parkinson
PERDOSSI, 2013)
1. Tremor
Biasanya merupakan gejala pertama pada PP dan bermula pada satu
tangan kemudian meluas pada tungkai sisi yang sama. Kemudian sisi yang lain juga
akan turut terkena. Kepala, bibir dan lidah sering tidak terlihat, kecuali pada stadium
lanjut. Frekuensi tremor berkisar antara 4-7 gerakan per detik dan terutama timbul
pada keadaan istirahat dan berkurang bila ekstremitas digerakan. Tremor akan
bertambah pada keadaan emosi dan hilang pada waktu tidur.
2. Rigiditas
Pada permulaan rigiditas terbatas pada satu ekstremitas atas dan hanya
terdeteksi pada gerakan pasif. Pada stadium lanjut, rigiditas menjadi menyeluruh dan
lebih berat dan memberikan tahanan jika persendian digerakan secara pasif. Rigiditas
timbul sebagai reaksi terhadap regangan pada otot agonis dan antagonis. Salah satu
gejala dini akibat rigiditas ialah hilang gerak asosiatif lengan bila berjalan.
Rigiditas disebabkan oleh meningkatnya aktivitas motor neuron alfa.
3. Bradikinesia
Gerakan volunter menjadi lambat dan memulai suatu gerakan menjadi
sulit. Ekspresi muka atau gerakan mimik wajah berkurang (muka topeng).
Gerakangerakan otomatis yang terjadi tanpa disadari waktu duduk juga menjadi
sangat kurang. Bicara menjadi lambat dan monoton dan volume suara berkurang
(hipofonia).
4. Hilangnya refleks postural
Meskipun sebagian peneliti memasukan sebagai gejala utama, namun
pada awal stadium PP gejala ini belum ada. Hanya 37% penderita PP yang
sudah berlangsung
selama
tahun
mengalami
gejala
ini.
Keadaan
ini
disebabkan kegagalan integrasi dari saraf propioseptif dan labirin dan sebagian kecil
impuls dari
mata,
pada
level
talamus
dan
ganglia
basalis
yang
akan
8. Bicara
Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring, lidah
dan bibir mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata yang monoton dengan
volume yang kecil dan khas pada PP. Pada beberapa kasus suara berkurang
sampai berbentuk suara bisikan yang lamban.
9. Disfungsi otonom
Disfungsi otonom pada pasien PP memperlihatkan beberapa gejala
seperti
disfungsi
kardiovaskular
(hipotensi
ortostatik,
aritmia
jantung),
dengan
jalan
mengetok
di
daerah
glabela
berulang-
ulang.Pasien Parkinson tidak dapat mencegah mata berkedip pada tiap ketokan.
Disebut juga sebagai tanda Myerson
12. Demensia
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif
yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan
gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktifitas sehari-hari (Asosiasi Alzaimer
Indonesia, 2003). Kelainan ini berkembang sebagai konsekuensi patologi PP
disebut kompleks parkinsonism demensia. Demensia pada PP mungkin baru akan
terlihat pada stadium lanjut, namun pasien PP telah memperlihatkan perlambatan
fungsi kognitif dan gangguan fungsi eksekutif pada stadium awal. Gangguan
fungsi kognitif pada PP yang meliputi gangguan bahasa, fungsi visuospasial,
memori jangka panjang dan fungsi eksekutif ditemukan lebih berat dibandingkan
dengan proses penuaan normal. Persentase gangguan kognitif diperkirakan 20%.
13. Depresi
Sekitar 40% penderita PP terdapat gejala depresi. Hal ini dapat terjadi
disebabkan
kondisi
fisik
penderita
yang
mengakibatkan
keadaan
yang
G. DIAGNOSIS
Diagnosis PP berdasarkan klinis dengan ditemukannya gejala motorik utama
antara lain tremor pada waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia dan hilangnya refleks
postural. Kriteria diagnosis yang dipakai di Indonesia adalah kriteria Hughes
(PERDOSSI, 2013) :
Rigiditas
d.
Bradikinesia
e.
H.
H. DIAGNOSA BANDING
I. PENATALAKSANAAN PARKINSON
Pengobatan PP dapat dikelompokkan, sebagai berikut :
1. Bekerja pada sistem dopaminergik
2. Bekerja pada sistem kolinergik
3. Bekerja pada glutamatergik
lainnya,
digunakan seumur
gangguan
daya
ingat.
Sedangkan
pada
obat
yang
bekerja
pada
Examples
Immediate- and
sustainedrelease
carbidopa/levo
Advantages
Most
effective,
improves
disability,
Disadvantages
Motor
complications:
dyskinesias,
dystonia,
dopa
Dopamine agonists
Nonergot:
pramipexole
(Mirapex),
ropinirole
(Requip)
Ergot:
bromocriptine
(Parlodel),
pergolide
Monoamine
oxidase-B
inhibitors
Catechol Omethyltransferase
inhibitors
Selegiline
(Eldepryl),
rasagiline
(Azilect)
Entacapone
(Comtan),
tolcapone
(Tasmar)
prolongs
capacity to
perform
instrumental
activities of
daily living
Can be used
as
monotherap
y in early
disease or
added to
levodopa for
treatment of
motor
complicatio
ns
Less risk of
developing
motor
complicatio
ns in early
disease
Can be used
as
monotherap
y in early
disease or to
treat motor
complicatio
ns in late
disease
Once-daily
dosing, well
tolerated
Used to treat
motor
complicatio
ns; no
titration,
decreased
off time,*
mild
improvemen
t in activities
of daily
living and
quality-oflife scores
confusion,
psychosis, sedation
All: dopaminergic
adverse effects
(nausea, vomiting,
orthostatic
hypotension),
neuropsychiatric
adverse
effects(hallucinatio
ns, psychosis,
impulse control
disorder), excessive
daytime sleepiness
Ergot: pulmonary
fibrosis, cardiac
valve fibrosis,
erythromelalgia
Amphetamine and
methamphetamine
metabolites may
cause adverse
effects, risk of
serotonin syndrome
Dopaminergic
adverse effects,
discoloration of
urine, tolcapone
associated with
explosive diarrhea
and fatal liver
toxicity
Injectable
dopamine agonist
Apomorphine
(Apokyn)
Reduces off
time in late
disease
N-methyl-Daspartate receptor
inhibitor
Amantadine
Treatment of
dyskinesias
in late
disease
Anticholinergics
Benztropine,
trihexyphenidyl
Useful for
the
treatment of
tremor in
patients
younger
than 60
years
without
cognitive
impairment
Requires initiation
in hospital, regular
subcutaneous
injections
Cognitive adverse
effects, livedo
reticularis, edema,
development of
tolerance, potential
for withdrawal
Use limited by
anticholinergic
2. Pembedahan :
Tindakan pembedahan untuk penyakit parkinson dilakukan bila penderita
tidak lagi memberikan respon terhadap pengobatan / intractable , yaitu masih adanya
gejala dua dari gejala utama penyakit parkinson ( tremor , rigiditas , bradi/akinesia,
gait/postural instability ) , Fluktuasi motorik , fenomena on-off , diskinesia karena
obat, juga memberi respons baik terhadap pembedahan .
Ada 2 jenis pembedahan yang bisa dilakukan :
a. Pallidotomi , yang hasilnya cukup baik untuk menekan gejala :
- Akinesia / bradi kinesia
- Gangguan jalan / postural
- Gangguan bicara
b. Thalamotomi , yang efektif untuk gejala :
- Tremor
- Rigiditas
- Diskinesia karena obat.
3. Stimulasi otak dalam
Mekanisme yang mendasari efektifitas stimulasi otak dalam untuk penyakit
parkinson ini sampai sekarang belum jelas , namun perbaikan gejala penyakit
parkinson bisa mencapai 80% . Frekwensi rangsangan yang diberikan pada umumnya
lebih besar dari 130 Hz dengan lebar pulsa antara 60 90 s . Stimulasi ini dengan alat
stimulator yang ditanam di inti GPi dan STN.
4. Transplantasi
Percobaan transplantasi pada penderita penyakit parkinson dimulai 1982 oleh
Lindvall dan kawannya , menggunakan jaringan medula adrenalis yang menghasilkan
dopamin. Jaringan transplan ( graft ) lain yang pernah digunakan antara lain dari
jaringan embrio ventral mesensefalon yang menggunakan jaringan premordial steam
atau progenitor cells , non neural cells ( biasanya fibroblast atau astrosytes ) , testisderived sertoli cells dan carotid body epithelial glomus cells. Untuk mencegah reaksi
penolakan
jaringan
diberikan
obat immunosupressant
cyclosporin A yang
menghambat proliferasi T cells sehingga masa idup graft jadi lebih panjang.
Transplantasi yang berhasil baik dapat mengurangi gejala penyakit parkinson
selama 4 tahun kemudian efeknya menurun 4 6 tahun sesudah transplantasi. Sampai
saat ini , diseluruh dunia ada 300 penderita penyakit parkinson memperoleh
pengobatan transplantasi dari jaringan embrio ventral mesensefalon.
J. PROGNOSIS
Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson,
sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali
terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya. Tanpa
perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi total disabilitas,
sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat menyebabkan
kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-berbeda.
Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan
lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang
dapat sangat parah.
PD sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi berkembang
sejalan dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien PD pada umumnya lebih
rendah dibandingkan yang tidak menderita PD. Pada tahap akhir, PD dapat
menyebabkan komplikasi seperti tersedak, pneumoni, dan memburuk yang dapat
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Penyakit Parkinson merupakan penyakit kronis yang membutuhkan penanganan
secara holistik meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi untuk menyembuhkan
penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi gejala yang timbul . Obat-obatan
yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu
belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan
menemani sepanjang hidupnya.
Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi total
disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat
menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-berbeda.
Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya
gejala terkontrol sangat bervariasi
DAFTAR PUSTAKA
M.Baehr and M. Frotscher. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS ,Edisi ke-4. Jakarta :
EGC
Joao Massano and Kailash P. Bathia. 2012. Clinical Approach to Parkinsons Disease :
Feature, Diagnosis, and Principle of Management.
John D. Gazewood. 2013. Parkinson Disease : An Update . America : America Family
Physician
Shobha S Rao .2006.Parkinsons Disease : Diagnosis and Treatment America : America
Family Physician
Standar Pelayanan Medik. PERDOSSI
http://medicanieblog.com/penatalaksanaanparkinson/htm