Anda di halaman 1dari 39

I.

PENDAHULUAN

Penyakit Parkinson pertama kali diperkenalkan oleh James Parkinson


lebih dari 180 tahun yang lalu dan selama sekitar 30 tahun levodopa (yang
merupakan regimen obat yang bersifat dopaminergik) masih menjadi terapi
yang dianggap efektif dalam menangani gejalanya. Hingga saat ini belum
ditemukan pengobatan yang dapat digunakan dengan tujuan menyembuhkan
(kuratif) sehingga masih dianggap penyakit progresif yang cukup sulit
ditangani. Penyakit ini merupakan penyakit neurodegeneratif dan
diperkirakan jumlah penyakitnya akan melebihi angka kejadian kanker di
tahun 2040 (Comella, 2006; Lilienfeld, 1993).
Gambaran klinis yang terjadi pada penyakit Parkinson terutama
disebutkan dalam tiga trias utama Parkinson yaitu tremor, rigiditas dan
bradikinesia. Gejala yang pertama kali muncul pada 70% kasus Parkinson
adalah resting tremor yang biasa terjadi dengan frekuensi 3-5Hz. Pada
penyakit Parkinson tremor yang terjadi biasanya asimetris dan kondisi
tremor akan memburuk dengan adanya kecemasan, aktivitas motorik
kontralateral serta selama berjalan. Tremor pada tangan lebih sering muncul
jika dibandingkan dengan tremor pada kaki (Sami et al., 2004).
Gejala lain yang menyertai kondisi Parkinson adalah rigiditas.
Rigiditas merupakan kondisi tahanan pada sendi yang terjadi saat
pergerakan pasif sendi yang terjadi secara seragam pada seluruh range of
movement sendi tersebut. Kondisi ini dapat terjadi pada bagian tubuh yang
tidak terjadi tremor. Namun umumnya lebih tampak jelas pada bagian
dengan kondisi tremor yang jelas. Rigiditas, seperti tremor juga ditingkatkan
oleh adanya aktivitas motorik dari kontralateral maupun dengan adanya
aktivitas mental (Sami et al., 2004).
Bradikinesia, gejala terakhir yang merupakan salah satu trias
Parkinson, merupakan gejala utama yang awalnya mengakibatkan kecacatan
dan kelumpuhan pergerakan dalam tahap awal Parkinson. Gejala ini diawali
dengan kesulitan dalam pergerakan motorik halus seperti mengancing baju,
menulis serta pengurangan ayunan tangan saat sedang berjalan. Bradikinesia
pada ekstremitas dapat diuji dengan mengetukkan jari tangan maupun kaki,
melakukan pergantian posisi tangan dari pronasi ke supinasi dan sebaliknya
berulang-ulang, membuka dan menutup kepalan tangan (Sami et al., 2004).
Selain ketiga trias tersebut, pada Parkinson juga terjadi
ketidakseimbangan postural yang dapat dilihat dari penurunan kemampuan
untuk menjaga keseimbangan secara bertahap yang mengakibatkan
meningkatnya resiko untuk terjatuh. Gejala ini dapat diperiksa dengan
menarik mundur pasien untuk melihat kemampuan pasien dalam nejaga
keseimbangan.gaya berjalan pasien akan menjadi pelan, terseret, dan
kesulitan untuk berputar. Gejala ini jarang muncul pada penyakit Parkinson
tahap awal (Sami et al., 2004).
Kondisi progresif dari penyakit parkinson terjadi karena adanya
disfungsi maupun hilangnya neuron yang memproduksi dopamin di otak.
Penanda patologis dari penyakit ini adalah degenerasi dari neuron
dopaminergis di substansia nigra pars kompakta batang otak dan
ditemukannya badan lewi yang diakibatkan dari agregasi sitoplasmik dari
protein a-synuclein pada neuron otak. Kondisi biokimia dan histopatologi
inilah yang akan mengakibatkan gambaran klinis penyakit yang berupa
gangguan motorik. Dopamin sendiri merupakan neurotransmiter yang
mengatur gerakan yang terkoordinasi, penurunan level dopamin yang terjadi
pada penyakit Parkinson menyebabkan kesulitan pada pengaturan gerakan
volunter dan involunter. Selain gangguan pada kondisi motorik, penyakit
Parkinson juga menunjukkan gejala non motorik seperti kondisi depresi,
gangguan tidur, dan hipotensi ortostatik (Sami et al., 2004; Nutt et al., 2005;
Nagatsu& Sawada, 2007).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang
berkaitan erat dengan usia. Secara patologis penyakit parkinson ditandai oleh
degenerasi neuron-neuron berpigmen neuromelamin, terutama di pars kompakta
substansia nigra yang disertai inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies), atau
disebut juga parkinsonisme idiopatik atau primer.
Sedangkan Parkinonisme adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor
waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat
penurunan kadar dopamine dengan berbagai macam sebab. Sindrom ini sering
disebut sebagai Sindrom Parkinson.

B. KLASIFIKASI
Penyakit parkinson dapat dibagi atas 3 kategori, yaitu :
1. Parkinson primer/idiopatik/paralysis agitans.
Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi penyebabnya
belum jelas. Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson termasuk jenis ini.
2. Parkinson sekunder atau simtomatik
Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain : tuberkulosis,
sifilis meningovaskuler. Toksin seperti 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-
tetrahydropyridine (MPTP), Mn, CO, sianida. Obat-obatan yang
menghambat reseptor dopamin dan menurunkan cadangan dopamin
misalnya golongan fenotiazin, reserpin, tetrabenazin dan lain-lain,
misalnya perdarahan serebral pasca trauma yang berulang-ulang pada
petinju, infark lakuner, tumor serebri, hipoparatiroid dan kalsifikasi.
3. Sindrom Parkinson Plus (Multiple System Degeneration)
Pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran
penyakit keseluruhan. Jenis ini bisa didapat pada Progressive supranuclear
palsy, Multiple system atrophy (sindrom Shy-drager, degenerasi
striatonigral, olivo-pontocerebellar degeneration, parkinsonism-
amyotrophy syndrome), Degenerasi kortikobasal ganglionik, Sindrom
demensia, Hidrosefalus normotensif, dan Kelainan herediter (Penyakit
Wilson, penyakit Huntington, Parkinsonisme familial dengan neuropati
peripheral).

C. ETIOLOGI
Etiologi Parkinson primer masih belum diketahui. Terdapat beberapa
dugaan, di antaranya ialah : infeksi oleh virus yang non-konvensional
(belum diketahui), reaksi abnormal terhadap virus yang sudah umum,
pemaparan terhadap zat toksik yang belum diketahui, terjadinya penuaan
yang prematur atau dipercepat. Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel
otak, tepatnya di substansi nigra. Suatu kelompok sel yang mengatur
gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki (involuntary). Akibatnya, penderita
tidak bisa mengatur/menahan gerakan-gerakan yang tidak disadarinya.
Mekanisme bagaimana kerusakan itu belum jelas benar, akan tetapi ada
beberapa faktor resiko ( multifaktorial ) yang telah diidentifikasikan, yaitu :
1. Usia
Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 sampai
200 dari 10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan
dengan reaksi mikrogilial yang mempengaruhi kerusakan neuronal,
terutama pada substansia nigra pada penyakit parkinson.
2. Genetik
Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada
penyakit parkinson. Yaitu mutasi pada gen a-sinuklein pada lengan
panjang kromosom 4 (PARK1) pada pasien dengan Parkinsonism
autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal resesif parkinson,
ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin (PARK2) di
kromosom 6. Selain itu juga ditemukan adanya disfungsi mitokondria.
Adanya riwayat penyakit parkinson pada keluarga meningkatkan
faktor resiko menderita penyakit parkinson sebesar 8,8 kali pada usia
kurang dari 70 tahun dan 2,8 kali pada usia lebih dari 70 tahun.
Meskipun sangat jarang, jika disebabkan oleh keturunan, gejala
parkinsonisme tampak pada usia relatif muda. Kasus-kasus genetika di
USA sangat sedikit, belum ditemukan kasus genetika pada 100
penderita yang diperiksa. Di Eropa pun demikian. Penelitian di
Jerman menemukan hasil nol pada 70 penderita. Contoh klasik dari
penyebab genetika ditemukan pada keluarga-keluarga di Italia karena
kasus penyakit itu terjadi pada usia 46 tahun.
3. Faktor Lingkungan
a) Xenobiotik : Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang
dapat menimbulkan kerusakan mitokondria.
b) Pekerjaan : Lebih banyak pada orang dengan paparan metal
yang lebih tinggi dan lama.
c) Infeksi : Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi
faktor predesposisi penyakit parkinson melalui kerusakan
substansia nigra. Penelitian pada hewan menunjukkan adanya
kerusakan substansia nigra oleh infeksi Nocardia astroides.
d) Diet : Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress
oksidatif, salah satu mekanisme kerusakan neuronal pada
penyakit parkinson. Sebaliknya,kopi merupakan neuroprotektif.
4. Ras
Angka kejadian Parkinson lebih tinggi pada orang kulit putih
dibandingkan kulit berwarna.
5. Trauma kepala
Cedera kranioserebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski
peranannya masih belum jelas benar.
6. Stress dan depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala
motorik. Depresi dan stress dihubungkan dengan penyakit parkinson
karena pada stress dan depresi terjadi peningkatan turnover
katekolamin yang memacu stress oksidatif.
D. PATOFISIOLOGI
Parkinsonisme merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan
adanya tremor ritmis, bradikinesia, kekakuan otot serta hilangnya refleks
tubuh. Gejala parkinsonisme dapat timbul baik karena kondisi idiopatik
neurologis (hal ini yang sering disebut sebagai penyakit parkinson/agitasi
paralisis) maupun jenis lain dari parkinsonism (dapat disebabkan oleh obat-
obatan maupun sekunder dari penyakit lain). Penyakit ini menjadi sangat
penting untuk dikelola karena peningkatan jumlah kasus yang didiagnosis
sejalan dengan pertambahan usia masyarakat dan masih banyaknya
misdiagnosis dari kasus Parkinson. Selain itu juga biaya yang dikeluarkan
untuk perawatan pasien cenderung meningkat dalam waktu dekat
(Weintraub, et al., 2008; Sylvia, 2005).
Data yang ditemukan pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa
90 %b kasus penyakit parkinson tidak dapat diketahui etiologi yang
mendasarinya, sedangkan 10 % sisanya disebabkan karena adanya faktor
genetik dimana ditemukan mutasi dari 6 gen. Sedangkan pada kasus
parkinsonisme jenis lain atau parkinsonisme sekunder dapat terjadi karena
pengobatan, sekuel dari infeksi susunan saraf pusat, racun, maupun
gangguan metabolik. Hingga saat ini satu-satunya fakor resiko yang sudah
terbukti sebagai pemicu penyakit parkinson hanya proses penuaan.
Sedangkan faktor lain seperti pajanan terhadap pestisida, bahan kimia,
maupun faktor lainnya belum ada yang dapat dibuktikan menjadi faktor
resiko yang pasti terhadap penyakit parkinson (Weintraub, 2008).
Gambar 1. Perbandingan makroskopis antara substansia nigra otak
normal (kiri) dan otak dari pasien dengan penyakit Parkinson (kanan).
Pada otak pasien Parkinson terjadi kehilangan substansia nigra yang
berpigmen karena hilangnya neuron yang terpigmentasi (Hauser,
2015).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penanda yang pasti dari penyakit
parkinson adalah degenerasi dari neuron yang bersifat dopaminergik pada
substansia nigra pars kompakta, yang kemudian mengakibatkan deplesi dari
jumlah dopamin di striatal. Neurotransmitter ini mengatur fungsi regulasi
eksitatorik dan inhibitorik pada area ganglia basalis. Pada beberapa neuron
yang tidak mengalami degenerasi, terdapat badan lewi, badan inklusi
eosinofilik intrasitoplasmik, yang terbentuk atas berbagai macam protein.
Keberadaan badan Lewi ini diperkirakan tidak merusak sel-sel neuron yang
tersisa namun justru berefek sitoprotektif terhadap sel yang bertahan dari
proses neurodegeneratif. Proses neurodegeneratif substansia nigra pars
kompakta dapat terjadi jika tidak ditemukannya badan Lewi pada kasus
parkinson, sebaliknya, badan Lewi dapat hadir tanpa adanya kondisi
neurodegeneratif. Kedua proses tersebut dapat digunakan sebagai diagnosis
terjadinya penyakit Parkinson. Namun, terjadinya proses neurodegeneratif
yang mengakibatkan penyakit Parkinson tidak hanya terbatas pada
substansia nigra pars kompakta otak saja, tetapi juga dapat terjadi pada
berbagai area lain dari otak. Neurodegenerasi pada berbagai area di otak
inilah yang menjelaskan timbulnya kelainan motor maupun non motor pada
penyakit parkinson (Weintraub, 2008, McNaughts, 2006; Simuni, 2007;
Jenner, 2006).

Gambar 2. Ilustrasi skematis dari sirkuit motorik neurotransmiter kortiko-


talamo-ganglia basalis pada orang normal (Hauser, 2015).

Sinyal dari korteks serebri akan diteruskan ke ganglia basalis dan akan
dikembalikan lagi sebagai umpan balik ke area korteks yang sama. Output
dari korteks akan diarahkan menuju ke globus palidus interna dan substansia
nigra pars lentikular. Sinyal ini berperan dalam fungsi supresi gerakan.
Terdapat dua jalur pada rangkaian ganglia basalis, jalur langsung dan tidak
langsung, yang dibagi sebagai berikut:
1. Pada jalur langsung, sinyal yang keluar dari striatum langsung
menghambat globus palidus interna dan substansia nigra melalui
neuron yang mengandung reseptor D1
2. Pada jalur tidak langsung, sinyal inhibitori akan terlebih dahulu
melewati globus palidus kemudian mengirimkan sinyal inhibisi ke
globus palidus interna dan substansia nigra atau melalui nukleus
subtalamikus lalu menuju ke globus palidus interna dan substansia
nigra.
Pada penyakit Parkinson, penurunan produksi dopamin striatal akan
meningkatkan sinyal penghambatan dari ke globus palidus interna dan
substansia nigra baik melalui jalur langsung dan jalur tidak langsung
(Gambar 3). Hal ini mengakibatkan peningkatan hambatam dari globus
palidus dan substansia nigra sehingga terjadi peningkatan output eksitatori
ke talamus (Hauser, 2015).

Gambar 3. Ilustrasi skematis dari sirkuit motorik dan perubahan


neurotransmiter kortiko-talamo-ganglia basalis pada pasien Parkinson
(Hauser, 2015)
E. DIAGNOSIS

1. ANAMNESIS
Dalam menegakkan diagnosis parkinsons disease terdapat
beberapa pertanyaan yang perlu diajukan. Pada anamnesis perlu digali
kronologis dari gejalanya. Gejala parkinsons disease (PD) umumnya
berawal pada satu sisi yang kemudian mengenai kedua sisi. Selain itu,
ditanyakan gejala-gejala lain yang merupakan cardinal sign pada PD.
Di sisi lain, penyakit ini dapat bersifat genetik sehingga perlu
ditanyakan pula apakah terdapat keluhan serupa di keluarganya. Yang
paling penting adalah perlunya ditanyakan hal-hal yang dapat
mengeliminasi diagnosis PD seperti perlu ditanyakan apakah ada
penyakit lain, riwayat trauma, infeksi, maupun riwayat konsumsi obat
tertentu dalam jangka waktu yang lama. Selain itu perlu pula
ditanyakan sudah seberapa jauh stadium PD ini. Perjalanan PD
menurut Hoehn dan Yahr dibagi menjadi 5 stadium (Hinson et al,
2014):
a) Stage 1
Gejala dan tanda terjadi pada satu sisi, dengan gejala yang ringan.
Meskipun terdapat gejala yang mengganggu tetapi tidak
menimbulkan kecacatan. Biasanya terjadi tremor pada satu anggota
gerak.
b) Stage 2
Terjadi gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, dimana sikap
atau cara berjalan sudah mulai terganggu tetapi tidak menimbulkan
gangguan keseimbangan.
c) Stage 3
Gerak tubuh secara nyata sudah melambat, keseimbangan mulai
terganggu ketika penderita berdiri ataupun berjalan.
d) Stage 4
Terdapat gejala yang lebih berat. Meskipun demikian, penderita
masih dapat berjalan hanya untuk jarak tertentu. Terdapat rigiditas
dan bradikinesia yang nyata. Sudah mulai tampak depresi,
kebingungan dan demensia.
e) Stage 5
Dimana terdapat kecacatan total, sudah tidak mampu untuk berdiri
maupun berjalan serta memerlukan perawatan tetap.

Gambar 4. Gambaran Stadium Parkinson

Saat ini terdapat kuesioner yang berisikan pertanyaan yang jika


beberapa dijawab Ya maka perlu didiskusikan lebih lanjut dengan dokter
sehingga dilakukan pemeriksaan lebih lanjut karena parkinson merupakan
penyakit yang lebih ditegakkan dengan pemeriksaan klinis. Kuesioner
skrining ini dikembangkan oleh Dr Joseph Jankovic, anggota dari the
Scientific Advisory Board untuk the Michael J. Fox Foundation for
Parkinsons Research (Jankovic, 2016).
Screening Questionnaire
1. Have you been getting slower in your usual daily activities?
2. Is your handwriting smaller?
3. Is your speech slurred or softer?
4. Do you have trouble arising from a chair?
5. Do your lips, hand, arms and/or legs shake?
6. Have you noticed more stiffness?
7. Do you have trouble buttoning buttons or dressing?
8. Do you shuffle your feet and/or take smaller steps when you walk?
9. Do your feet seem to get stuck to the floor when walking or
turning?
10. Have you or others noted that you don't swing one arm when
walking?
11. Do you have more trouble with your balance?
12. Have you or others noted that you stoop or have abnormal posture?

2. GEJALA DAN TANDA KLINIS


Sejak munculnya penyakit ini, diagnosis klinis Parkinsons
Disease (PD) telah berpusat pada sindrom motorik. Dalam kriteria
MDS-PD, sindrom motorik tetap sebagai inti diagnosis klinis ini
didefinisikan. Namun, manifestasi non motorik ditemukan pada
kebanyakan pasien dan sering mendominasi presentasi klinis. Kini
banyak dari manifestasi non motorik ini dimasukkan ke dalam kriteria
diagnostik. Selain itu, proses patologis dari PD sering dimulai pada
struktur nondopaminergic dari otak atau sistem saraf perifer, di mana
keluhan non motorik sering mendominasi. Hal ini tercermin dalam
klasifikasi diagnostik baru, prodromal PD, yang dianggap tahap yang
tepat sebagai PD (yaitu, prodromal PD adalah PD). Prodromal PD
telah didefinisikan dalam paralel publication. Seperti kriteria
sebelumnya, kriteria MDS menggunakan terdiri dari dua proses
diagnosis PD. Pertama, parkinsonisme didefinisikan sebagai
bradikinesia dan berkombinasi dengan baik resting tremor, rigiditas,
atau keduanya. Setelah didiagnosis, kriteria selanjutnya menentukan
apakah parkinsonisme ini disebabkan PD (Postuma et al, 2015).
Gambar 5. Gambaran klinis Parkinsons Disease

a) Gejala Motorik
Gangguan motorik pada Parkinsons disease ditandai oleh
sindrom klinis universal dikenal sebagai parkinsonisme. Gejala
motorik utama pada PD: bradikinesia, resting tremor, rigiditas
dan instabilitas postural. Sedangkan tanda kardinal PD meliput
bradikinesia, resting tremor, dan rigiditas. Satu yang harus
diingat bahwa ini semua tidak selalu dapat ditemukan pada
setiap pasien, setidaknya dalam jangka waktu tertentu (Massano
dan Bhatia, 2012).
1) Bradikinesia
Mengacu pada lambatnya gerakan dengan hilangnya
secara progresif kecepatan dalam melakukan gerakan
anggota tubuh. Hal ini penting untuk membedakan
bradikinesia benar dari kelambatan biasa, yang sering
terlihat pada pasien dengan kekuatan otot menurun
(parese), spastisitas, atau motivasi berkurang (misalnya,
depresi). Secara klinis, bradikinesia dapat dinilai dengan
meminta pasien untuk melakukan beberapa gerakan
berulang secepat dan seluas mungkin, yaitu, membuka dan
menutup tangan, gerakan ibu jari dan jari telunjuk, atau
menekan kaki di tanah. Pemeriksa harus memperhatikan
munculnya kelambatan dan / atau hilangnya secara
progresif amplitudo. Bradikinesia juga bisa dicari dengan
mengamati gerakan spontan pasien berdiri dan duduk
dikursi, atau berjalan. Penampakan klinis lainnya dari
bradikinesia yaitu hypomimia (menurunnya ekspresi wajah
dan berkedip mata, disebut "Poker face" dalam tahap
ringan), hypophonia (suara yang lebih pelan yang
disebabkan adanya rigiditas dan bradikinesia otot
pernafasan, pita suara, otot faring, lidah dan bibir
mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata yang
monoton dengan volume kecil yang khas pada penyakit
parkinson), micrographia (tulisan tangan semakin kecil,
dan pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini),
dan kesulitan menelan sehingga sering keluar air liur
(Massano dan Bhatia, 2012). Bradikinesia merupakan
hasil akhir dari gangguan integrasi pada impuls optik,
labirin, proprioseptor, dan impuls sensorik lainnya di
gangglia basal. Ini mengakibatkan berubahnya aktivitas
refleks yang mempengaruhi neuron motorik gamma dan
alfa (Harsono, 2011 ; Sunaryati, 2011).

Gambar 7. Poker Face

2. Rest tremor
Terkadang disebut juga parkinsonian tremor adalah
gerakan ritmik involunter yang timbul pada saat bagian
tubuh yang terkena santai dan didukung adanya
permukaan yang menopangnya, sehingga menghilangkan
aksi gaya gravitasi. Tremor itu akan lenyap dengan
gerakan aktif, dan biasanya dapat muncul kembali setelah
beberapa detik. Bentuk tremor yang paling membedakan
dalam gangguan ini adalah apa yang disebut pill rolling
type, yaitu penggambaran visual yang dihasilkan dari
gerakan simultan menggosok ibu jari dan jari telunjuk
terhadap satu sama lain. Bentuk lain dari tremor
movements dapat dilihat, seperti jari yang fleksi-ekstensi
atau abduksi-adduksi. Tremor juga bisa terjadi di tungkai
bawah, rahang dan lidah. Tremor pada kepala tidak khas
parkinson, pada kenyataannya kita harus meninjau ulang
dalam mendiagnosis parkinson. Tambahan bentuk tremor
lainnya adalah tremor postural (misalnya, terjadi segera
pada merentangkan lengan), lebih cepat (6-8 Hz),
terkadang dapat terlihat di parkinson, tapi ini tidak
menentukan dalam diagnosis parkinson (Massano dan
Bhatia, 2012).
Gambar 8. Pill Rolling Type - Tremor Movements - Tremor
Postural
Tremor merupakan gejala pertama pada paralisis
agitans. Tremor biasanya bermula di satu ekstremitas atas
dan kemudian melibatkan ekstremitas bawah pada sisi
yang sama, beberapa waktu kemudian sisi lainnya juga
terlibat, atau terlibat pada stadium penyakit yang lanjut.
Tremor terutama timbul bila penderita dalam keadaan
istirahat dan dapat ditekan sementara bila ekstremitas
digerakkan. Sering dapat dihentikan sebentar bila
diusahakan. Tremor menjadi bertambah hebat dalam
keadaan emosi dan menghilang bila tidur (Harsono, 2011).
3. Rigiditas
Rigiditas mengacu pada peningkatan tonus otot yang
dirasakan selama pemeriksaan dengan melakukan gerakan
pasif pada segmen yang terkena ( anggota gerak atau
leher), termasuk kelompok otot fleksor dan ekstensor.
Resistensi ini dirasakan pada seluruh gerakan dan tidak
meningkat dengan mobilisasi yang lebih tinggi kecepatan.
Hal ini yang membedakannya dari spastisitas karena lesi
upper motor neuron. Ketika resting tremor berdampingan
dengan rigiditas klasik cogwheel dapat dirasakan selama
mobilisasi lengan secara pasif, terutama pergelangan.
Rigiditas pada pemeriksaan biasanya akan meningkatkan
gerakan involunter dari bagian tubuh yang lain (Froments
maneuver) dan ini berguna untuk mendeteksi adanya
rigiditas ringan di banyak kasus (Massano dan Bhatia,
2012 ; Sunaryati, 2011).

Gambar 9. Cogwheel rigidity


4. Postural and gait impairment
Pasien parkinson cenderung mengadopsi postur
membungkuk karena hilangnya refleks
postural,kontributor utama jatuh. Pada penderita parkinson
juga mengalami gait impairment yang ditandai dengan
langkah yang menyeret. Gaya berjalan ditandai dengan
langkah-langkah kecil singkat, dengan kaki hampir tidak
meninggalkan tanah. Hambatan kecil cenderung
menyebabkan pasien untuk terjatuh. Festination
merupakan kombinasi dari postur bungkuk,
ketidakseimbangan, dan langkah-langkah pendek. Ini
mengarah ke gaya berjalan yang akan semakin cepat dan
lebih cepat, sering berakhir dengan jatuh. Terdapat ayunan
lengan yang melambat serta beberapa langkah kecil dan
dapat terjadi freezing of gait yang merupakan manifestasi
dari akinesia (ketidakmampuan untuk bergerak) (Massano
dan Bhatia, 2012 ; Sunaryati, 2011).
Gambar 10. Gambaran gait impairment
b) Gejala Non Motorik
Parkinsons disease telah lama dianggap sebagai gangguan
motorik, mungkin karena pada awalnya gambaran klinis
menekankan gejala-gejala ini, sementara gagal untuk mengenali
aspek non motorik penting dari penyakit ini. Selain itu, gejala
motorik sering terlihat langsung mata, bahkan untuk pengamat
terlatih . Namun, dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi
peningkatan minat terhadap gejala non motorik Parkinsons
disease.
Tabel 1.Gejala Non Motorik pada Parkinsons Disease
Neuropsychiatric features
Apathy
Anxiety, panic attacks
Mood disorders, especially depression
Hallucinations, illusions, delusions
Cognitive deterioration, ranging from mild
impairment to dementia
Dysautonomia
Orthostatic hypotension
Constipation
Urinary dysfuncton (urgency, retention)
Sexual dysfunction
Excessive sweating
Seborrhea
Sialorrhea (i.e., drooling, also attributable to
decreased swallowing movements)
Sleep disorders
Insomnia
REM behavior disorder
Restless legs syndrome
Periodic limb movement in sleep
Excessive daytime sleepiness
Sensory dysfunctions
Hyposmia (i.e., loss of sense of smell)
Decreased visual contrast and color
discrimination
Decreased visual motion perception
Abnormal sensations, such as paresthesias
(i.e., tingling)
Pain
Fatigue
Karena perkembangan patologisnya jangka panjang, beberapa
gangguan non motorik tersebut dapat muncul sebelum tanda-
tanda motorik klasik terlihat. Terkadang selama bertahun-tahun
atau dekade, terdapat gejala-gejala yang mungkin dapat
digunakan untuk diagnostik potensial dalam tahap awal penyakit
parkinson ini, seperti hiposmia, gangguan perilaku rapid eye
movement ( REM , konstipasi, dan depresi. Beberapa pasien
juga bisa memiliki nyeri bahu yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya atau kelelahan sebelum gejala motorik muncul. Di
sisi lain , gejala demensia dan halusinasi terjadi di akhir
perjalanan penyakit parkinson, yang berguna untuk
membedakan PD dari gangguan lain. Gangguan kognitif ringan
jelas tampak dalam banyak kasus dari tahap awal. Namun data
terbaru menunjukkan bahwa demensia akan terjadi pada 80 %
pasien setelah 20 tahun menderita parkinson (Massano dan
Bhatia, 2012).
Pemeriksaan klinis pada pasien yang diduga parkinson
harus menyeluruh dan sistematis. Sebuah catatan harus dibuat
jika ada resting tremor tipe pill rolling dan bradikinesia. Jika ini
hadir dalam tampilan asimetris maka hampir patognomonik
untuk parkinsons disease. Selain itu, penting untuk
mengkonfirmasi bahwa tanda parkinson adalah satu-satunya
tanda yang muncul. Klinis yang bersifat piramidal, sensorik, dan
defisit cerebellar harus disingkirkan, begitu pula dengan
demensia (awal perjalanan penyakit), dan gangguan gerak
lainnya (misalnya, chorea, mioklonus, tics, jenis tremor yang
tidak spesifik), dengan pengecualian dystonia karena hal ini
dapat dilihat dalam beberapa kasus, terutama bentuk parkinson
disease dengan onset usia muda. Gerakan mata pada penderita
parkinson harus lengkap dan menampilkan latency normal
(misalnya, gerakan segera setelah perintah), kecepatan, dan
akurasi. Beberapa temuan dapat meningkatkan keraguan tentang
diagnosis parkinson, dan gangguan lain harus dipertimbangkan
sebagai gantinya, setiap kali ada ini diamati (Massano dan
Bhatia, 2012). Dari tanda dan gejala tersebut maka terdapat
beberapa cara dalam menegakkan diagnosis PD :
Menurut MDS
Dalam menegakkan diagnosis PD terdapat kriteria penting
pertama menurut MDS adalah parkinsonisme, yang
didefinisikan sebagai bradikinesia dan berkombinasi dengan
setidaknya 1 dari resting tremor atau rigiditas. Pemeriksaan
semua gejala kardinal harus dilakukan seperti yang dijelaskan
dalam MDS Unified Parkinson Disease Rating Scale. Setelah
parkinsonisme telah didiagnosis maka (Postuma et al, 2015):
Diagnosis PD secara klinis ditegakkan dengan:
i. Tidak adanya kriteria eksklusi absolut
ii. Setidaknya dua kriteria yang mendukung (supportive
criteria), dan
iii. Tidak adanya red flags
Diagnosis probable PD secara klinis ditegakkan dengan:
i. Tidak adanya kriteria eksklusi absolut
ii. Adanya kriteria red flags diimbangi dengan kriteria yang
mendukung (supportive criteria)
Jika terdapat 1 red flags, juga harus ada minimal 1 supportive
criteria.
Jika terdapat 2 red flags, setidaknya 2 supportive criteria
diperlukan.
Pada kategori ini tidak diperbolehkan adanya kriteria red flags >
2.
Supportive criteria:
i. Memberikan respon yang menguntungkan terhadap terapi
dopaminergik. Selama pengobatan awal, pasien kembali
normal atau mendekati fungsi normal.
ii. Adanya diskinesia yang diinduksi oleh penggunaan
levodopa
iii. Resting tremor yang didokumentasikan pada pemeriksaan
klinis(baik pada pemeriksaan sebelumnya maupun
pemeriksaan saat ini)
iv. Hilangnya penciuman atau denervasi simpatik jantung
pada Metaiodobenzylguanidine (MIBG) scintigraphy

Kriteria eksklusi absolut:


i. Adanya kelainan serebelum yang pasti, seperti gaya
berjalan cerebellar, ataksia, atau kelainan oculomotor
cerebellar
ii. Supranuclear vertical gaze palsy ke bawah, atau
perlambatan vertical saccades ke bawah
iii. Diagnosis kemungkinan varian demensia frontotemporal
atau afasia primer progresif, didefinisikan menurut kriteria
konsensus dalam
5 tahun pertama penyakit
iv. Ciri Parkinsonian terbatas pada tungkai bawah selama
lebih dari 3 tahun
v. Pengobatan dengan dopamine receptor blocker atau
dopamine-depleting agent dalam dosis dan waktu yang
konsisten dengan parkinson akibat obat
vi. Tidak adanya respon yang dapat diamati terhadap
penggunaan levodopa dosis tinggi meskipun keparahan
penyakit ini moderat
vii. Gangguan sensorik kortikal yang nyata (yaitu,
graphesthesia, stereognosis), apraksia ekstremitas yang
jelas, atau afasia progresif
viii. Neuroimaging fungsional normal dari sistem
dopaminergik presinaptik
ix. Data-data mengenai gejala lain yang dapat menyebabkan
parkinsonisme dan berhubungan dengan gejala-gejala
pasien, atau, evaluasi dari dokter spesialis, berdasarkan
penilaian diagnostik yang lengkap merasa bahwa sindrom
alternatif lebih mungkin dibandingkan PD

Red flags:
i. Gangguan cara berjalan yang berkembang secara progresif
yang membutuhkan penggunaan kursi roda secara rutin
dalam 5 tahun dari onset
ii. Tidak adanya perkembangan dari gejala atau tanda
motorik dalam 5 tahun atau lebih kecuali keseimbangan
yang berhubungan dengan terapi
iii. Disfungsi bulbar awal: disfonia berat atau disartria atau
disfagia berat (membutuhkan makanan lembut,NGT, atau
gastrostomi) dalam5 tahun pertama
iv. Disfungsi inspirasi: baik diurnal maupun nokturnal stidor
inspirasi atau desahan inspirasi
v. Kegagalan fungsi autonomik yang berat dalam 5 tahun
pertama penyakit. Hal in termasuk: Hipotensi ortostatik
dan retensi urin atau inkotinesia urin dalam 5 tahun
pertama penyakit
vi. Jatuh berulang (>1kali/tahun) karena ganggan
keseimbangan dalam 3 tahun dari onset
vii. Anterocollis tidak proporsional (distonik) atau kontraktur
pada tangan dan kaki dalam 10 tahun pertama
viii. Tidak adanya gangguan non motorik meskipun penyakit
sudah berlangsung selama 5 tahun
ix. Tanda jalur piramidal yang tidak dapat dijelaskan,
didefinisikan sebagai kelemahan piramidalis atau
hiperrefleks patologis yang jelas (tidak termasuk refleks
asimetris ringan dan respon ekstensor plantar)
x. Parkinsonisme bilateral simetris. Pasien atau pengasuh
melaporkan gejala timbul bilateral tanpa dominasi sisi dan
tidak ada dominasi sisi yang diamati dalam pemeriksaan.

Kriteria Hughes (Dannah, 2016)


Possible :
Terdapat salah satu gejala utama:
i. Tremor istirahat
ii. Rigiditas
iii. Bradikinesia
iv. Kegagalan refleks postural

Probable
Bila terdapat kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan
refleks postural) atau satu dari tiga gejala pertama yang tidak
simetris (dua dari empat tanda motorik).

Definite
Bila terdapat kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala
dengan satu gejala lain yang tidak simetris (tiga tanda kardinal).
Bila semua tanda-tanda tidak jelas sebaiknya dilakukan
pemeriksaan ulangan beberapa bulan kemudian.
Kriteria Koller
i. Didapati 2 dari 3 tanda cardinal gangguan motorik :
tremor saat istirahat atau gangguan refleks postural,
rigiditas, bradikinesia yang berlangsung 1 tahun atau
lebih.
ii. Respons terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai
perbaikan sedang (minimal 1.000 mg/hari selama 1 bulan)
dan lama perbaikan 1 tahun atau lebih.

Kriteria Gelb & Gilman (Gelb et al, 1999)


Gejala kelompok A (Characteristic of Parkinson disease) terdiri
dari :
i. Resting tremor
ii. Bradikinesia
iii. Rigiditas
iv. Permulaan asimetris

Gejala klinis kelompok B (suggestive of alternative diagnoses)


terdiri dari :
i. Instabilitas postural yang menonjol pada 3 tahun pertama
ii. Fenomena tak dapat bergerak sama sekali (freezing) pada
3 tahun pertama
iii. Halusinasi (tidak ada hubungan dengan pengobatan)
dalam 3 tahun pertama
iv. Demensia sebelum gejala motorik pada tahun pertama.
v. Disotonom simpatomatik berat yang tidak berhubungan
dengan
vi. Data-data mengenai gejala lain yang dapat menyebabkan
parkinsonisme dan berhubungan dengan gejala-gejala
pasien (seperti leesi fokal di otak, atau penggunaan
neuroleptik dalam 6 bulan terakhir)
Diagnosis possible : terdapat paling sedikit 2 dari gejala
kelompok A dimana salah satu diantaranya adalah tremor atau
bradikinesia dan tak terdapat gejala kelompok B, lama gejala
kurang dari 3 tahun disertai respon jelas terhadap levodopa atau
dopamine agonis.
Diagnosis probable : terdapat paling sedikit 3 dari 4 gejala
kelompok A, dan tidak terdapat gejala dari kelompok B, lama
penyakit paling sedikit 3 tahun dan respon jelas terhadap
levodopa atau dopamine agonis.
Diagnosis pasti : memenuhi semua kriteria probable dan
pemeriksaan histopatologis yang positif.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk menegakkan


diagnosis pada parkinson adalah:

1) CT scan dan MRI pada pasien dengan parkinson disease biasanya


muncul normal sehingga tidak bisa menegakkan diagnosis pasti
parkinson.
2) Sebuah radiotracer untuk mesin pemindaian SPECT disebut DaTscan
dibuat khusus untuk mendiagnosis parkinson, akan tetapi hanya
dipasarkan di Eropa. Hasil CT Scan abnormal pada pasien parkinson
dapat ditemukan adanya atrofi multisistem, proggressive supranuclear
palsy, degenerasi kortikobasalis, atau Lewy Body (inklusi sitoplasmik
eosinofilik). Pemeriksaan DaTSCAN dapat dilakukan dengan syarat
pasien harus terdiagnosis klinis pasti Parkinson Disease. Hasil scan
dapat dikategorikan menjadi 0 (normal), 1 (mild), 2 (moderate), 3
(marked), dan 4 (absent) yang diambil dari bagian ujung caudatus dan
putamen. Pada penelitian Gayed et al (2015) didapatkan hasil ct scan
abnormal pada 26 pasien (92%) dari 57 pasien dengan diagnosis klinis
pasti parkinson.
Gambar 11. Gambaran tidak normal DaTscan pada pasien dengan
tremor sisi kanan dan defek berat pada ganglia basalis

G. PENATALAKSANAAN
Penyakit Parkinson adalah suatu penyakit degeneratif yang berkembang
progresif, karenanya manajemen dari penyakit Parkinson dilakukan dalam 3
tahap, yaitu (Basjirudin, 2006 ; Zullies, 2009):
1. Terapi awal dilakukan dengan permulaan dan medikasi dopaminergik
2. Manajemen dari penyakit Parkinson dengan kasus yang lebih parah,
dan termasuk salah satunya adalah fluktuasi motorik dan diskinesia
3. Manajeman lanjut dari status mental yang mengalami perubahan

Bagan 1. Algoritma Tatalaksana Terapi Parkinson tahap Awal (Zullies, 2006)


Bagan 2. Algoritma Tatalaksana Terapi Parkinson Lanjut (Zullies, 2006)

1. Non Farmakologik
a) Edukasi
Pasien serta keluarga diberikan pemahaman mengenai penyakit
parkinson, misalnya pentingnya meminum obat teratur dan
menghindari jatuh. Dukungan keluarga juga sangat penting termasuk
dalam hal memunculkan rasa simpati dan empati dari anggota
keluarga sehingga dukungan fisik dan psikis menjadi maksimal.
b) Terapi rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita dan menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta
mengatasi masalah-masalah seperti abnormalitas gerakan,
kecenderungan postur tubuh yang salah, gejala otonom, gangguan
perawatan diri (Activity of Daily Living ADL), dan perubahan
psikologik. Latihan yang diperlukan penderita parkinson meliputi
latihan fisioterapi, okupasi, dan psikoterapi, yaitu:

Latihan fisioterapi meliputi: latihan


gelang bahu dengan tongkat, latihan
ekstensi trunkus, latihan frenkle
untuk berjalan dengan menapakkan
kaki pada tanda-tanda di lantai,
latihan isometrik untuk kuadrisep
femoris dan otot ekstensor panggul
agar memudahkan menaiki tangga
dan bangkit dari kursi.
1) Latihan okupasi yang memerlukan pengkajian ADL pasien,
pengkajian lingkungan tenpat tinggal atau pekerjaan. Dalam
pelaksanaan latihan dipakai bermacam strategi, yaitu :
i. Strategi kognitif : untuk menarik perhatian
penuh/konsentrasi, bicara jelas dan tidak cepat, mampu
menggunakan tanda-tanda verbal maupun visual dan
hanya melakukan satu tugas kognitif maupun motorik.
ii. Strategi gerak: seperti bila akan belok saat berjalan
gunakan tikungan yang agak lebar, jarak kedua kaki harus
agak lebar bila ingin memungut sesuatu dilantai.
iii. Strategi keseimbangan: melakukan ADL dengan duduk
atau berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar dan dengan
lengan berpegangan pada dinding. Hindari eskalator atau
pintu berputar. Saat bejalan di tempat ramai atau lantai
tidak rata harus konsentrasi penuh jangan bicara atau
melihat sekitar.
iv. Seorang psikolog diperlukan untuk mengkaji fungsi
kognitif, kepribadian, status mental pasien dan
keluarganya. Hasilnya digunakan untuk melakukan terapi
rehabilitasi kognitif dan melakukan intervensi psikoterapi.

2. Terapi Farmakologik

a. Obat pengganti dopamine (Levodopa, Carbidopa)

Gambar 1. Tabel Obat yang Digunakan pada Penyakit Parkinson

a) Obat pengganti dopamine (Levodopa, Carbidopa)


Dasar penggunaan obat (Evidence Based Medicine) pada penyakit
Parkinson dengan keluhan motorik adalah menggunakan levodopa,
cabergoline, ropinirole, and pramipexole. Obat-obat jenis ini efektif
dalam memperbaiki ketidakmampuan motorik dan mengatasi ADL
dalam hal memenuhi kebutuhan dopamine. Jika dibandingkan
cabergoline dan ropinirole, levodopa lebih efektif penggunaanya
(Zullies, 2009).
Levodopa merupakan pengobatan utama untuk penyakit
parkinson. Di dalam otak levodopa dirubah menjadi dopamine. L-
dopa akan diubah menjadi dopamine pada neuron dopaminergik oleh
L-aromatik asam amino dekarboksilase (dopa dekarboksilase).
Walaupun demikian, hanya 1-5% dari L-Dopa memasuki neuron
dopaminergik, sisanya dimetabolisme di sembarang tempat,
mengakibatkan efek samping yang luas. Karena mekanisme feedback,
akan terjadi inhibisi pembentukan L-Dopa endogen. Carbidopa dan
benserazide adalah dopa dekarboksilase inhibitor, membantu
mencegah metabolisme L-Dopa sebelum mencapai neuron
dopaminergik (Basjiruddin, 2006).
Levodopa mengurangi tremor, kekakuan otot dan memperbaiki
gerakan. Penderita penyakit parkinson ringan bisa kembali menjalani
aktivitasnya secara normal. Obat ini diberikan bersama carbidopa
untuk meningkatkan efektivitasnya dan mengurangi efek sampingnya.
Efektifitas levodopa berkaitan dengan lama waktu pemakaiannya.
Levodopa melintasi sawar darah otak dan memasuki susunan saraf
pusat dan mengalami perubahan ensimatik menjadi dopamin.
Dopamin menghambat aktifitas neuron di ganglia basal (Basjiruddin,
2006)..
Efek samping levodopa dapat berupa:
1) Neusea, muntah, distress abdominal
2) Hipotensi postural
3) Sesekali akan didapatkan aritmia jantung, terutama pada
penderita yang berusia lanjut. Efek ini diakibatkan oleh efek
beta-adrenergik dopamine pada system konduksi jantung. Ini
bisa diatasi dengan obat beta blocker seperti propanolol.
4) Diskinesia yang paling sering ditemukan melibatkan anggota
gerak, leher atau muka. Diskinesia sering terjadi pada penderita
yang berespon baik terhadap terapi levodopa. Beberapa
penderita menunjukkan gejala on-off yang sangat mengganggu
karena penderita tidak tahu kapan gerakannya mendadak
menjadi terhenti, membeku, sulit. Jadi gerakannya terinterupsi
sejenak.
5) Abnormalitas laboratorium. Granulositopenia, fungsi hati
abnormal dan ureum darah yang meningkat merupakan
komplikasi yang jarang terjadi pada terapi levodopa.
Carbidopa dan benserazide adalah dopainhibitor dekarboksilase.
Mereka membantu untuk mencegah metabolisme L-dopa sebelum
mencapai neuron dopaminergik dan umumnya diberikan sebagai
preparat kombinasi carbidopa / (careldopa co-) levodopa (misalnya
Sinemet, Parcopa) dan benserazide / levodopa (co-beneldopa)
(misalnya Madopar ). Ada juga dikendalikan versi rilis Sinemet dan
Madopar yang tersebar pengaruh dopa-L. Duodopa adalah kombinasi
levodopa dan carbidopa, tersebar sebagai gel kental. Menggunakan
pompa portabel pasien-dioperasikan, obat ini terus menerus
disampaikan melalui tabung langsung ke usus kecil bagian atas, di
mana ia cepat diserap. Ada juga Stalevo (carbidopa, levodopa dan
Entacapone) (Basjiruddin, 2006)..
b) Agonis Dopamin
Agonis dopamin seperti Bromokriptin (Parlodel), Pergolid (Permax),
Pramipexol (Mirapex), Ropinirol, Kabergolin, Apomorfin dan lisurid
dianggap cukup efektif untuk mengobati gejala Parkinson. Obat ini
bekerja dengan merangsang reseptor dopamin, akan tetapi obat ini
juga menyebabkan penurunan reseptor dopamin secara progresif yang
selanjutnya akan menimbulkan peningkatan gejala Parkinson
(Basjiruddin, 2006 ; Price, 2006)..
Obat ini dapat berguna untuk mengobati pasien yang pernah
mengalami serangan yang berfluktuasi dan diskinesia sebagai akibat
dari levodopa dosis tinggi. Apomorfin dapat diinjeksikan subkutan.
Dosis rendah yang diberikan setiap hari dapat mengurangi fluktuasi
gejala motorik. Efek samping obat ini adalah halusinasi, psikosis,
eritromelalgia, edema kaki, mual dan muntah (Basjiruddin, 2006 ;
Price, 2006).
c) Antikolinergik
Obat ini menghambat sistem kolinergik di ganglia basal dan
menghambat aksi neurotransmitter otak yang disebut asetilkolin. Obat
ini mampu membantu mengoreksi keseimbangan antara dopamine dan
asetilkolin, sehingga dapat mengurangi gejala tremor. Ada dua
preparat antikolinergik yang banyak digunakan untuk penyakit
parkinson , yaitu thrihexyphenidyl (artane) dan benztropin
(congentin). Preparat lainnya yang juga termasuk golongan ini adalah
biperidon (akineton), orphenadrine (disipal) dan procyclidine
(kamadrin).
Efek samping obat ini adalah mulut kering dan pandangan
kabur. Sebaiknya obat jenis ini tidak diberikan pada penderita
penyakit Parkinson usia diatas 70 tahun, karena dapat menyebabkan
penurunan daya ingat.
d) Penghambat Monoamin oxidase (MAO Inhibitor)
Selegiline (Eldepryl), Rasagaline (Azilect). Inhibitor MAO diduga
berguna pada penyakit Parkinson karena neurotransmisi dopamine
dapat ditingkatkan dengan mencegah perusakannya. Selegiline dapat
pula memperlambat memburuknya sindrom Parkinson, dengan
demikian terapi levodopa dapat ditangguhkan selama beberapa waktu.
Berguna untuk mengendalikan gejala dari penyakit Parkinson yaitu
untuk mengaluskan pergerakan.
Selegilin dan rasagilin mengurangi gejala dengan dengan
menginhibisi monoamine oksidase B (MAO-B), sehingga
menghambat perusakan dopamine yang dikeluarkan oleh neuron
dopaminergik. Metabolitnya mengandung L-amphetamin and L-
methamphetamin. Biasa dipakai sebagai kombinasi dengan gabungan
levodopa-carbidopa. Selain itu obat ini juga berfungsi sebagai
antidepresan ringan. Efek sampingnya adalah insomnia, penurunan
tekanan darah dan aritmia.
e) Amantadin
Berperan sebagai pengganti dopamine, tetapi bekerja di bagian lain
otak. Obat ini dulu ditemukan sebagai obat antivirus, selanjutnya
diketahui dapat menghilangkan gejala penyakit Parkinson yaitu
menurunkan gejala tremor, bradikinesia, dan fatigue pada awal
penyakit Parkinson dan dapat menghilangkan fluktuasi motorik
(fenomena on-off) dan diskinesia pada penderita Parkinson lanjut.
Dapat dipakai sendirian atau sebagai kombinasi dengan levodopa atau
agonis dopamine. Efek sampingnya dapat mengakibatkan mengantuk.
f) Penghambat Catechol 0-Methyl Transferase/COMT
Entacapone (Comtan), Tolcapone (Tasmar). Obat ini masih relatif
baru, berfungsi menghambat degradasi dopamine oleh enzim COMT
dan memperbaiki transfer levodopa ke otak. Mulai dipakai sebagai
kombinasi levodopa saat efektivitas levodopa menurun. Diberikan
bersama setiap dosis levodopa. Obat ini memperbaiki fenomena on-
off, memperbaiki kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Efek samping obat ini berupa gangguan fungsi hati, sehingga perlu
diperiksa tes fungsi hati secara serial. Obat ini juga menyebabkan
perubahan warna urin berwarna merah-oranye.
g) Neuroproteksi
Terapi neuroprotektif dapat melindungi neuron dari kematian sel yang
diinduksi progresifitas penyakit. Yang sedang dikembangkan sebagai
agen neuroprotektif adalah apoptotic drugs (CEP 1347 and
CTCT346), lazaroids, bioenergetics, antiglutamatergic agents, dan
dopamine receptors. Adapun yang sering digunakan di klinik adalah
monoamine oxidase inhibitors (selegiline and rasagiline), dopamin
agonis, dan complek I mitochondrial fortifier coenzyme Q10.

3. Terapi pembedahan
Bertujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses
patologis yang mendasari (neurorestorasi). Terapi pembedahan tergolong
jarang dilakukan dan masih kontroversial untuk dilakukan. Beberapa jenis
pembedahan yang dapat dilakukan:
a) Terapi ablasi lesi di otak
Termasuk katergori ini adalah thalamotomy dan pallidotomy. Operasi
ini melakukan penghancuran di pusat lesi di otak dengan
menggunakan kauterisasi. Efek operasi ini bersifat permanen seumur
hidup dan sangat tidak aman untuk melakukan ablasi dikedua tempat
tersebut.
Indikasi dilakukannya terapi ini:
1) fluktuasi motorik berat yang terus menerus
2) diskinesia yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan medik
b. Deep Brain Stimulation (DBS)
Terapi ini ditempatkan pada semacam elektroda di beberapa pusat lesi
di otak yang dihubungkan dengan alat pemacunya yang dipasang di
bawah kulit dada seperti alat pemacu jantung. Pada prosedur ini tidak
ada penghancuran lesi di otak, jadi relatif aman. Manfaatnya adalah
memperbaiki waktu off dari levodopa dan mengendalikan diskinesia.
c. Transplantasi
Percobaan transplantasi pada penderita penyakit parkinson dimulai
1982 oleh Lindvall dan kawannya, jaringan medula adrenalis
(autologous adrenal) yang menghasilkan dopamin. Jaringan transplan
(graft) lain yang pernah digunakan antara lain dari jaringan embrio
ventral mesensefalon yang menggunakan jaringan premordial steam
atau progenitor cells, non neural cells (biasanya fibroblast atau
astrosytes), testis-derived sertoli cells dan carotid body epithelial
glomus cells. Untuk mencegah reaksi penolakan jaringan diberikan
obat immunosupressant cyclosporin A yang menghambat proliferasi T
cells sehingga masa hidup graft jadi lebih panjang. Transplantasi yang
berhasil baik dapat mengurangi gejala penyakit parkinson selama 4
tahun kemudian efeknya menurun 4 6 tahun sesudah transplantasi.
III. PENUTUP
Penyakit Parkinson pertama kali diperkenalkan oleh James Parkinson lebih
dari 180 tahun yang lalu dan selama sekitar 30 tahun levodopa (yang merupakan
regimen obat yang bersifat dopaminergik) masih menjadi terapi yang dianggap
efektif dalam menangani gejalanya. Hingga saat ini belum ditemukan pengobatan
yang dapat digunakan dengan tujuan menyembuhkan (kuratif) sehingga masih
dianggap penyakit progresif yang cukup sulit ditangani.
Gambaran klinis yang terjadi pada penyakit Parkinson terutama disebutkan
dalam tiga trias utama Parkinson yaitu tremor, rigiditas dan bradikinesia. Gejala
yang pertama kali muncul pada 70% kasus Parkinson adalah resting tremor yang
biasa terjadi dengan frekuensi 3-5Hz. Pada penyakit Parkinson tremor yang terjadi
biasanya asimetris dan kondisi tremor akan memburuk dengan adanya kecemasan,
aktivitas motorik kontralateral serta selama berjalan.
Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga
terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak
general, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada
setiap pasien berbeda-berbeda. Sebagian besar pasien berespon terhadap medikasi
yang diberikan. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat
bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang dapat sangat parah.
DAFTAR PUSTAKA

Basjiruddin. 2006. Manajemen dari Penyakit Parkinson yang Lanjut. Padang:


Fakultas Kedokteran University of Andalas/Dr.M.Djamil Hospital.

Comella C.L. 2006. Treatment of Advance Parkinson`s Disease. American


Academy of Neurology, Annual Meeting, AAN Enterprice Inc.

Djannah, D. Parkinsonism dan Penyakit Parkinson. Available at


http://ppsk.fkunissula.ac.id/download/doc_download/644-parkinsonism.
Diakses tanggal 21 April 2016.
Gayed, I., Joseph, U., Fanous, M., Wan, D., Schies, M., Ondo, W., Won, K. 2015.
The Impact of DaTscan In The Diagnosis Of Parkinson Disease. Journal
Of Clinical Nuclear Medicine Volume 40 Page 390-393. Available at:
http://journals.lww.com/nuclearmed/Abstract/2015/05000/The_Impact_of
_DaTscan_in_the_Diagnosis_of.4.aspx

Gelb,D.J., Oliver, E., Gilman, S. 1999. Diagostic criteria for parkinsons disease.
Arch Neurol. Vol. 56 (1): 33-39.
Harsono. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta.
Hauser, R. A. Parkinson Disease. 2015. Medscape article. Cited on 26th April
2016. Available on emedicine.medscape.com.

Hinson, V.K., G. J. Revuelta., C. L. Vaughan., K. J. Bergmann. 2014. A Prime on


Parkinsons Disease: A Brief Guide to the Recognition and Treatment of
Parkinsons Disease for Patients and Their Families and Friends. Available
at www.muschealth.org. Diakses tanggal 21 April 2016.
Jankovic, J. 2016. I think I might have Parkinsons disease and Im not sure what
to do, screening questionnaire, the Michael J. Fox Foundation for
Parkinsons Research. Available at
https://www.michaeljfox.org/files/PD_screening.pdf. Diakses tanggal 21
April 2016.
Jenner P, Olanow CW. 2006.The pathogenesis of cell death in Parkinsons
disease. Neurology Journal.

Lilienfeld DE, Perl DP. 1993.Projected neurodegenerative disease mortality in the


United States, 19902040. Neuroepidemiology Vol 12:219-28.

Massano, J., K. P. Bhatia. 2012. Clinical Approach to Parkinsons


Disease:Features, Diagnosis, and Principles of Management. Cold Spring
Harb Perspect Med. Vol. 2: 1-15.
McNaught KS, Olanow CW. 2007. Protein aggregation in the pathogenesis of
familial and sporadic Parkinsons disease. Neurobiol Aging Vol 27:530-545.

Nagatsu, T., Sawada M. 2007. Biochemistry of postmortem brains in Parkinsons


desease: historical overview and future prospects. J Neural Transm vol 72
Page 113120

Postuma,R.B., D. Berg., M. Stem., W. Poewe., C.W. Olanow., W. Oertel., J.


Obeso., et al. 2015. MDS Clinical Diagnostic Criteria for Parkinsons
Disease. Movement Disorders. Vol. 30 (12) : 1591 1599.
Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. 2006. Gangguan Neurologis dengan
Simtomatologi Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 1139-1144.

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.
Nutt JG, Wooten GF. Clinical practice. 2005. Diagnosis and initial management
of Parkinsons disease. N Engl J Med Page 353:10217.
Samii A, Nutt JG, Ransom BR. Parkinsons disease. Lancet. 2004;363:178393.
Simuni, T. 2007 Diagnosis and management of Parkinsons disease. Medscape
Neurology. www.medscape.com. Accessed April 24, 2016.
Sunaryati,T. 2011. Penyakit Parkinson. Available at
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/vol1.no2.Juli2011/PENYAKI
T%20PARKINSON_old.pdf. Diakses tanggal 21 April 2016.
Weintraub, D., Comella, C. L., Horn, S. 2008. Parkinsons Disease Part 1:
Patophysiology, symptoms, burden, diagnosis, and assessment. Am J Manag
Care Vol. 14:S40-S48.
Zullies, Ikawati. 2009. Penyakit Parkinson dalam Lecture Notes.

Anda mungkin juga menyukai