PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang
berkaitan erat dengan usia. Secara patologis penyakit parkinson ditandai oleh
degenerasi neuron-neuron berpigmen neuromelamin, terutama di pars kompakta
substansia nigra yang disertai inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies), atau
disebut juga parkinsonisme idiopatik atau primer.
Sedangkan Parkinonisme adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor
waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat
penurunan kadar dopamine dengan berbagai macam sebab. Sindrom ini sering
disebut sebagai Sindrom Parkinson.
B. KLASIFIKASI
Penyakit parkinson dapat dibagi atas 3 kategori, yaitu :
1. Parkinson primer/idiopatik/paralysis agitans.
Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi penyebabnya
belum jelas. Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson termasuk jenis ini.
2. Parkinson sekunder atau simtomatik
Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain : tuberkulosis,
sifilis meningovaskuler. Toksin seperti 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-
tetrahydropyridine (MPTP), Mn, CO, sianida. Obat-obatan yang
menghambat reseptor dopamin dan menurunkan cadangan dopamin
misalnya golongan fenotiazin, reserpin, tetrabenazin dan lain-lain,
misalnya perdarahan serebral pasca trauma yang berulang-ulang pada
petinju, infark lakuner, tumor serebri, hipoparatiroid dan kalsifikasi.
3. Sindrom Parkinson Plus (Multiple System Degeneration)
Pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran
penyakit keseluruhan. Jenis ini bisa didapat pada Progressive supranuclear
palsy, Multiple system atrophy (sindrom Shy-drager, degenerasi
striatonigral, olivo-pontocerebellar degeneration, parkinsonism-
amyotrophy syndrome), Degenerasi kortikobasal ganglionik, Sindrom
demensia, Hidrosefalus normotensif, dan Kelainan herediter (Penyakit
Wilson, penyakit Huntington, Parkinsonisme familial dengan neuropati
peripheral).
C. ETIOLOGI
Etiologi Parkinson primer masih belum diketahui. Terdapat beberapa
dugaan, di antaranya ialah : infeksi oleh virus yang non-konvensional
(belum diketahui), reaksi abnormal terhadap virus yang sudah umum,
pemaparan terhadap zat toksik yang belum diketahui, terjadinya penuaan
yang prematur atau dipercepat. Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel
otak, tepatnya di substansi nigra. Suatu kelompok sel yang mengatur
gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki (involuntary). Akibatnya, penderita
tidak bisa mengatur/menahan gerakan-gerakan yang tidak disadarinya.
Mekanisme bagaimana kerusakan itu belum jelas benar, akan tetapi ada
beberapa faktor resiko ( multifaktorial ) yang telah diidentifikasikan, yaitu :
1. Usia
Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 sampai
200 dari 10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan
dengan reaksi mikrogilial yang mempengaruhi kerusakan neuronal,
terutama pada substansia nigra pada penyakit parkinson.
2. Genetik
Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada
penyakit parkinson. Yaitu mutasi pada gen a-sinuklein pada lengan
panjang kromosom 4 (PARK1) pada pasien dengan Parkinsonism
autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal resesif parkinson,
ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin (PARK2) di
kromosom 6. Selain itu juga ditemukan adanya disfungsi mitokondria.
Adanya riwayat penyakit parkinson pada keluarga meningkatkan
faktor resiko menderita penyakit parkinson sebesar 8,8 kali pada usia
kurang dari 70 tahun dan 2,8 kali pada usia lebih dari 70 tahun.
Meskipun sangat jarang, jika disebabkan oleh keturunan, gejala
parkinsonisme tampak pada usia relatif muda. Kasus-kasus genetika di
USA sangat sedikit, belum ditemukan kasus genetika pada 100
penderita yang diperiksa. Di Eropa pun demikian. Penelitian di
Jerman menemukan hasil nol pada 70 penderita. Contoh klasik dari
penyebab genetika ditemukan pada keluarga-keluarga di Italia karena
kasus penyakit itu terjadi pada usia 46 tahun.
3. Faktor Lingkungan
a) Xenobiotik : Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang
dapat menimbulkan kerusakan mitokondria.
b) Pekerjaan : Lebih banyak pada orang dengan paparan metal
yang lebih tinggi dan lama.
c) Infeksi : Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi
faktor predesposisi penyakit parkinson melalui kerusakan
substansia nigra. Penelitian pada hewan menunjukkan adanya
kerusakan substansia nigra oleh infeksi Nocardia astroides.
d) Diet : Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress
oksidatif, salah satu mekanisme kerusakan neuronal pada
penyakit parkinson. Sebaliknya,kopi merupakan neuroprotektif.
4. Ras
Angka kejadian Parkinson lebih tinggi pada orang kulit putih
dibandingkan kulit berwarna.
5. Trauma kepala
Cedera kranioserebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski
peranannya masih belum jelas benar.
6. Stress dan depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala
motorik. Depresi dan stress dihubungkan dengan penyakit parkinson
karena pada stress dan depresi terjadi peningkatan turnover
katekolamin yang memacu stress oksidatif.
D. PATOFISIOLOGI
Parkinsonisme merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan
adanya tremor ritmis, bradikinesia, kekakuan otot serta hilangnya refleks
tubuh. Gejala parkinsonisme dapat timbul baik karena kondisi idiopatik
neurologis (hal ini yang sering disebut sebagai penyakit parkinson/agitasi
paralisis) maupun jenis lain dari parkinsonism (dapat disebabkan oleh obat-
obatan maupun sekunder dari penyakit lain). Penyakit ini menjadi sangat
penting untuk dikelola karena peningkatan jumlah kasus yang didiagnosis
sejalan dengan pertambahan usia masyarakat dan masih banyaknya
misdiagnosis dari kasus Parkinson. Selain itu juga biaya yang dikeluarkan
untuk perawatan pasien cenderung meningkat dalam waktu dekat
(Weintraub, et al., 2008; Sylvia, 2005).
Data yang ditemukan pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa
90 %b kasus penyakit parkinson tidak dapat diketahui etiologi yang
mendasarinya, sedangkan 10 % sisanya disebabkan karena adanya faktor
genetik dimana ditemukan mutasi dari 6 gen. Sedangkan pada kasus
parkinsonisme jenis lain atau parkinsonisme sekunder dapat terjadi karena
pengobatan, sekuel dari infeksi susunan saraf pusat, racun, maupun
gangguan metabolik. Hingga saat ini satu-satunya fakor resiko yang sudah
terbukti sebagai pemicu penyakit parkinson hanya proses penuaan.
Sedangkan faktor lain seperti pajanan terhadap pestisida, bahan kimia,
maupun faktor lainnya belum ada yang dapat dibuktikan menjadi faktor
resiko yang pasti terhadap penyakit parkinson (Weintraub, 2008).
Gambar 1. Perbandingan makroskopis antara substansia nigra otak
normal (kiri) dan otak dari pasien dengan penyakit Parkinson (kanan).
Pada otak pasien Parkinson terjadi kehilangan substansia nigra yang
berpigmen karena hilangnya neuron yang terpigmentasi (Hauser,
2015).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penanda yang pasti dari penyakit
parkinson adalah degenerasi dari neuron yang bersifat dopaminergik pada
substansia nigra pars kompakta, yang kemudian mengakibatkan deplesi dari
jumlah dopamin di striatal. Neurotransmitter ini mengatur fungsi regulasi
eksitatorik dan inhibitorik pada area ganglia basalis. Pada beberapa neuron
yang tidak mengalami degenerasi, terdapat badan lewi, badan inklusi
eosinofilik intrasitoplasmik, yang terbentuk atas berbagai macam protein.
Keberadaan badan Lewi ini diperkirakan tidak merusak sel-sel neuron yang
tersisa namun justru berefek sitoprotektif terhadap sel yang bertahan dari
proses neurodegeneratif. Proses neurodegeneratif substansia nigra pars
kompakta dapat terjadi jika tidak ditemukannya badan Lewi pada kasus
parkinson, sebaliknya, badan Lewi dapat hadir tanpa adanya kondisi
neurodegeneratif. Kedua proses tersebut dapat digunakan sebagai diagnosis
terjadinya penyakit Parkinson. Namun, terjadinya proses neurodegeneratif
yang mengakibatkan penyakit Parkinson tidak hanya terbatas pada
substansia nigra pars kompakta otak saja, tetapi juga dapat terjadi pada
berbagai area lain dari otak. Neurodegenerasi pada berbagai area di otak
inilah yang menjelaskan timbulnya kelainan motor maupun non motor pada
penyakit parkinson (Weintraub, 2008, McNaughts, 2006; Simuni, 2007;
Jenner, 2006).
Sinyal dari korteks serebri akan diteruskan ke ganglia basalis dan akan
dikembalikan lagi sebagai umpan balik ke area korteks yang sama. Output
dari korteks akan diarahkan menuju ke globus palidus interna dan substansia
nigra pars lentikular. Sinyal ini berperan dalam fungsi supresi gerakan.
Terdapat dua jalur pada rangkaian ganglia basalis, jalur langsung dan tidak
langsung, yang dibagi sebagai berikut:
1. Pada jalur langsung, sinyal yang keluar dari striatum langsung
menghambat globus palidus interna dan substansia nigra melalui
neuron yang mengandung reseptor D1
2. Pada jalur tidak langsung, sinyal inhibitori akan terlebih dahulu
melewati globus palidus kemudian mengirimkan sinyal inhibisi ke
globus palidus interna dan substansia nigra atau melalui nukleus
subtalamikus lalu menuju ke globus palidus interna dan substansia
nigra.
Pada penyakit Parkinson, penurunan produksi dopamin striatal akan
meningkatkan sinyal penghambatan dari ke globus palidus interna dan
substansia nigra baik melalui jalur langsung dan jalur tidak langsung
(Gambar 3). Hal ini mengakibatkan peningkatan hambatam dari globus
palidus dan substansia nigra sehingga terjadi peningkatan output eksitatori
ke talamus (Hauser, 2015).
1. ANAMNESIS
Dalam menegakkan diagnosis parkinsons disease terdapat
beberapa pertanyaan yang perlu diajukan. Pada anamnesis perlu digali
kronologis dari gejalanya. Gejala parkinsons disease (PD) umumnya
berawal pada satu sisi yang kemudian mengenai kedua sisi. Selain itu,
ditanyakan gejala-gejala lain yang merupakan cardinal sign pada PD.
Di sisi lain, penyakit ini dapat bersifat genetik sehingga perlu
ditanyakan pula apakah terdapat keluhan serupa di keluarganya. Yang
paling penting adalah perlunya ditanyakan hal-hal yang dapat
mengeliminasi diagnosis PD seperti perlu ditanyakan apakah ada
penyakit lain, riwayat trauma, infeksi, maupun riwayat konsumsi obat
tertentu dalam jangka waktu yang lama. Selain itu perlu pula
ditanyakan sudah seberapa jauh stadium PD ini. Perjalanan PD
menurut Hoehn dan Yahr dibagi menjadi 5 stadium (Hinson et al,
2014):
a) Stage 1
Gejala dan tanda terjadi pada satu sisi, dengan gejala yang ringan.
Meskipun terdapat gejala yang mengganggu tetapi tidak
menimbulkan kecacatan. Biasanya terjadi tremor pada satu anggota
gerak.
b) Stage 2
Terjadi gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, dimana sikap
atau cara berjalan sudah mulai terganggu tetapi tidak menimbulkan
gangguan keseimbangan.
c) Stage 3
Gerak tubuh secara nyata sudah melambat, keseimbangan mulai
terganggu ketika penderita berdiri ataupun berjalan.
d) Stage 4
Terdapat gejala yang lebih berat. Meskipun demikian, penderita
masih dapat berjalan hanya untuk jarak tertentu. Terdapat rigiditas
dan bradikinesia yang nyata. Sudah mulai tampak depresi,
kebingungan dan demensia.
e) Stage 5
Dimana terdapat kecacatan total, sudah tidak mampu untuk berdiri
maupun berjalan serta memerlukan perawatan tetap.
a) Gejala Motorik
Gangguan motorik pada Parkinsons disease ditandai oleh
sindrom klinis universal dikenal sebagai parkinsonisme. Gejala
motorik utama pada PD: bradikinesia, resting tremor, rigiditas
dan instabilitas postural. Sedangkan tanda kardinal PD meliput
bradikinesia, resting tremor, dan rigiditas. Satu yang harus
diingat bahwa ini semua tidak selalu dapat ditemukan pada
setiap pasien, setidaknya dalam jangka waktu tertentu (Massano
dan Bhatia, 2012).
1) Bradikinesia
Mengacu pada lambatnya gerakan dengan hilangnya
secara progresif kecepatan dalam melakukan gerakan
anggota tubuh. Hal ini penting untuk membedakan
bradikinesia benar dari kelambatan biasa, yang sering
terlihat pada pasien dengan kekuatan otot menurun
(parese), spastisitas, atau motivasi berkurang (misalnya,
depresi). Secara klinis, bradikinesia dapat dinilai dengan
meminta pasien untuk melakukan beberapa gerakan
berulang secepat dan seluas mungkin, yaitu, membuka dan
menutup tangan, gerakan ibu jari dan jari telunjuk, atau
menekan kaki di tanah. Pemeriksa harus memperhatikan
munculnya kelambatan dan / atau hilangnya secara
progresif amplitudo. Bradikinesia juga bisa dicari dengan
mengamati gerakan spontan pasien berdiri dan duduk
dikursi, atau berjalan. Penampakan klinis lainnya dari
bradikinesia yaitu hypomimia (menurunnya ekspresi wajah
dan berkedip mata, disebut "Poker face" dalam tahap
ringan), hypophonia (suara yang lebih pelan yang
disebabkan adanya rigiditas dan bradikinesia otot
pernafasan, pita suara, otot faring, lidah dan bibir
mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata yang
monoton dengan volume kecil yang khas pada penyakit
parkinson), micrographia (tulisan tangan semakin kecil,
dan pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini),
dan kesulitan menelan sehingga sering keluar air liur
(Massano dan Bhatia, 2012). Bradikinesia merupakan
hasil akhir dari gangguan integrasi pada impuls optik,
labirin, proprioseptor, dan impuls sensorik lainnya di
gangglia basal. Ini mengakibatkan berubahnya aktivitas
refleks yang mempengaruhi neuron motorik gamma dan
alfa (Harsono, 2011 ; Sunaryati, 2011).
2. Rest tremor
Terkadang disebut juga parkinsonian tremor adalah
gerakan ritmik involunter yang timbul pada saat bagian
tubuh yang terkena santai dan didukung adanya
permukaan yang menopangnya, sehingga menghilangkan
aksi gaya gravitasi. Tremor itu akan lenyap dengan
gerakan aktif, dan biasanya dapat muncul kembali setelah
beberapa detik. Bentuk tremor yang paling membedakan
dalam gangguan ini adalah apa yang disebut pill rolling
type, yaitu penggambaran visual yang dihasilkan dari
gerakan simultan menggosok ibu jari dan jari telunjuk
terhadap satu sama lain. Bentuk lain dari tremor
movements dapat dilihat, seperti jari yang fleksi-ekstensi
atau abduksi-adduksi. Tremor juga bisa terjadi di tungkai
bawah, rahang dan lidah. Tremor pada kepala tidak khas
parkinson, pada kenyataannya kita harus meninjau ulang
dalam mendiagnosis parkinson. Tambahan bentuk tremor
lainnya adalah tremor postural (misalnya, terjadi segera
pada merentangkan lengan), lebih cepat (6-8 Hz),
terkadang dapat terlihat di parkinson, tapi ini tidak
menentukan dalam diagnosis parkinson (Massano dan
Bhatia, 2012).
Gambar 8. Pill Rolling Type - Tremor Movements - Tremor
Postural
Tremor merupakan gejala pertama pada paralisis
agitans. Tremor biasanya bermula di satu ekstremitas atas
dan kemudian melibatkan ekstremitas bawah pada sisi
yang sama, beberapa waktu kemudian sisi lainnya juga
terlibat, atau terlibat pada stadium penyakit yang lanjut.
Tremor terutama timbul bila penderita dalam keadaan
istirahat dan dapat ditekan sementara bila ekstremitas
digerakkan. Sering dapat dihentikan sebentar bila
diusahakan. Tremor menjadi bertambah hebat dalam
keadaan emosi dan menghilang bila tidur (Harsono, 2011).
3. Rigiditas
Rigiditas mengacu pada peningkatan tonus otot yang
dirasakan selama pemeriksaan dengan melakukan gerakan
pasif pada segmen yang terkena ( anggota gerak atau
leher), termasuk kelompok otot fleksor dan ekstensor.
Resistensi ini dirasakan pada seluruh gerakan dan tidak
meningkat dengan mobilisasi yang lebih tinggi kecepatan.
Hal ini yang membedakannya dari spastisitas karena lesi
upper motor neuron. Ketika resting tremor berdampingan
dengan rigiditas klasik cogwheel dapat dirasakan selama
mobilisasi lengan secara pasif, terutama pergelangan.
Rigiditas pada pemeriksaan biasanya akan meningkatkan
gerakan involunter dari bagian tubuh yang lain (Froments
maneuver) dan ini berguna untuk mendeteksi adanya
rigiditas ringan di banyak kasus (Massano dan Bhatia,
2012 ; Sunaryati, 2011).
Red flags:
i. Gangguan cara berjalan yang berkembang secara progresif
yang membutuhkan penggunaan kursi roda secara rutin
dalam 5 tahun dari onset
ii. Tidak adanya perkembangan dari gejala atau tanda
motorik dalam 5 tahun atau lebih kecuali keseimbangan
yang berhubungan dengan terapi
iii. Disfungsi bulbar awal: disfonia berat atau disartria atau
disfagia berat (membutuhkan makanan lembut,NGT, atau
gastrostomi) dalam5 tahun pertama
iv. Disfungsi inspirasi: baik diurnal maupun nokturnal stidor
inspirasi atau desahan inspirasi
v. Kegagalan fungsi autonomik yang berat dalam 5 tahun
pertama penyakit. Hal in termasuk: Hipotensi ortostatik
dan retensi urin atau inkotinesia urin dalam 5 tahun
pertama penyakit
vi. Jatuh berulang (>1kali/tahun) karena ganggan
keseimbangan dalam 3 tahun dari onset
vii. Anterocollis tidak proporsional (distonik) atau kontraktur
pada tangan dan kaki dalam 10 tahun pertama
viii. Tidak adanya gangguan non motorik meskipun penyakit
sudah berlangsung selama 5 tahun
ix. Tanda jalur piramidal yang tidak dapat dijelaskan,
didefinisikan sebagai kelemahan piramidalis atau
hiperrefleks patologis yang jelas (tidak termasuk refleks
asimetris ringan dan respon ekstensor plantar)
x. Parkinsonisme bilateral simetris. Pasien atau pengasuh
melaporkan gejala timbul bilateral tanpa dominasi sisi dan
tidak ada dominasi sisi yang diamati dalam pemeriksaan.
Probable
Bila terdapat kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan
refleks postural) atau satu dari tiga gejala pertama yang tidak
simetris (dua dari empat tanda motorik).
Definite
Bila terdapat kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala
dengan satu gejala lain yang tidak simetris (tiga tanda kardinal).
Bila semua tanda-tanda tidak jelas sebaiknya dilakukan
pemeriksaan ulangan beberapa bulan kemudian.
Kriteria Koller
i. Didapati 2 dari 3 tanda cardinal gangguan motorik :
tremor saat istirahat atau gangguan refleks postural,
rigiditas, bradikinesia yang berlangsung 1 tahun atau
lebih.
ii. Respons terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai
perbaikan sedang (minimal 1.000 mg/hari selama 1 bulan)
dan lama perbaikan 1 tahun atau lebih.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
G. PENATALAKSANAAN
Penyakit Parkinson adalah suatu penyakit degeneratif yang berkembang
progresif, karenanya manajemen dari penyakit Parkinson dilakukan dalam 3
tahap, yaitu (Basjirudin, 2006 ; Zullies, 2009):
1. Terapi awal dilakukan dengan permulaan dan medikasi dopaminergik
2. Manajemen dari penyakit Parkinson dengan kasus yang lebih parah,
dan termasuk salah satunya adalah fluktuasi motorik dan diskinesia
3. Manajeman lanjut dari status mental yang mengalami perubahan
1. Non Farmakologik
a) Edukasi
Pasien serta keluarga diberikan pemahaman mengenai penyakit
parkinson, misalnya pentingnya meminum obat teratur dan
menghindari jatuh. Dukungan keluarga juga sangat penting termasuk
dalam hal memunculkan rasa simpati dan empati dari anggota
keluarga sehingga dukungan fisik dan psikis menjadi maksimal.
b) Terapi rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita dan menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta
mengatasi masalah-masalah seperti abnormalitas gerakan,
kecenderungan postur tubuh yang salah, gejala otonom, gangguan
perawatan diri (Activity of Daily Living ADL), dan perubahan
psikologik. Latihan yang diperlukan penderita parkinson meliputi
latihan fisioterapi, okupasi, dan psikoterapi, yaitu:
2. Terapi Farmakologik
3. Terapi pembedahan
Bertujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses
patologis yang mendasari (neurorestorasi). Terapi pembedahan tergolong
jarang dilakukan dan masih kontroversial untuk dilakukan. Beberapa jenis
pembedahan yang dapat dilakukan:
a) Terapi ablasi lesi di otak
Termasuk katergori ini adalah thalamotomy dan pallidotomy. Operasi
ini melakukan penghancuran di pusat lesi di otak dengan
menggunakan kauterisasi. Efek operasi ini bersifat permanen seumur
hidup dan sangat tidak aman untuk melakukan ablasi dikedua tempat
tersebut.
Indikasi dilakukannya terapi ini:
1) fluktuasi motorik berat yang terus menerus
2) diskinesia yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan medik
b. Deep Brain Stimulation (DBS)
Terapi ini ditempatkan pada semacam elektroda di beberapa pusat lesi
di otak yang dihubungkan dengan alat pemacunya yang dipasang di
bawah kulit dada seperti alat pemacu jantung. Pada prosedur ini tidak
ada penghancuran lesi di otak, jadi relatif aman. Manfaatnya adalah
memperbaiki waktu off dari levodopa dan mengendalikan diskinesia.
c. Transplantasi
Percobaan transplantasi pada penderita penyakit parkinson dimulai
1982 oleh Lindvall dan kawannya, jaringan medula adrenalis
(autologous adrenal) yang menghasilkan dopamin. Jaringan transplan
(graft) lain yang pernah digunakan antara lain dari jaringan embrio
ventral mesensefalon yang menggunakan jaringan premordial steam
atau progenitor cells, non neural cells (biasanya fibroblast atau
astrosytes), testis-derived sertoli cells dan carotid body epithelial
glomus cells. Untuk mencegah reaksi penolakan jaringan diberikan
obat immunosupressant cyclosporin A yang menghambat proliferasi T
cells sehingga masa hidup graft jadi lebih panjang. Transplantasi yang
berhasil baik dapat mengurangi gejala penyakit parkinson selama 4
tahun kemudian efeknya menurun 4 6 tahun sesudah transplantasi.
III. PENUTUP
Penyakit Parkinson pertama kali diperkenalkan oleh James Parkinson lebih
dari 180 tahun yang lalu dan selama sekitar 30 tahun levodopa (yang merupakan
regimen obat yang bersifat dopaminergik) masih menjadi terapi yang dianggap
efektif dalam menangani gejalanya. Hingga saat ini belum ditemukan pengobatan
yang dapat digunakan dengan tujuan menyembuhkan (kuratif) sehingga masih
dianggap penyakit progresif yang cukup sulit ditangani.
Gambaran klinis yang terjadi pada penyakit Parkinson terutama disebutkan
dalam tiga trias utama Parkinson yaitu tremor, rigiditas dan bradikinesia. Gejala
yang pertama kali muncul pada 70% kasus Parkinson adalah resting tremor yang
biasa terjadi dengan frekuensi 3-5Hz. Pada penyakit Parkinson tremor yang terjadi
biasanya asimetris dan kondisi tremor akan memburuk dengan adanya kecemasan,
aktivitas motorik kontralateral serta selama berjalan.
Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga
terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak
general, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada
setiap pasien berbeda-berbeda. Sebagian besar pasien berespon terhadap medikasi
yang diberikan. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat
bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang dapat sangat parah.
DAFTAR PUSTAKA
Gelb,D.J., Oliver, E., Gilman, S. 1999. Diagostic criteria for parkinsons disease.
Arch Neurol. Vol. 56 (1): 33-39.
Harsono. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta.
Hauser, R. A. Parkinson Disease. 2015. Medscape article. Cited on 26th April
2016. Available on emedicine.medscape.com.