REF: Buku ajar neurologi fk ui jilid 1, acuan panduan praktik klinis neurologi, buku ajar pendidikan
dokter berkelanjutan ilmu penyakit saraf
DEFINISI:
Penyakit parkinson adalah bagian dari parkinsonisme yang secara patologis ditandai dengan
degenerasi ganglia basalis terutama disubstansia nigra pars kompakta (SNc) yang disertai dengan
adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (lewy bodies).
Fahn dkk (2011) mengusulkan klasifikasi terbaru parkinsonisme yang digunakan hingga saat ini, yakni:
1) Parkinson primer (ekuivalen dengan penyakit Parkinson (PP) atau Parkinson idiopatik atau paralisis
agitans); 2) Parkinsonisme sekunder (parkinsonisme akibat infeksi, toksin, obat-obatan, tumor;
trauma, vaskular dan metabolik); 3) sindrom Parkinsonism-Plus (seperti progressive supranuclear
palsy, multiple system atrophy, corticobasal degeneration); dan 4) Gangguan heredodegeneratif
(seperti benign parkinsonism).
ETIOLOGI
PD merupakan penyakit multifaktorial dan berhubungan dengan faktor lingkungan dan genetik. PD
yang diturunkan sangat jarang, namun terdapat tendensi familian pada PD. Studi pada orang kembar
menunjukkan faktor herediter memiliki peran yang kecil di populasi, namun komponen herediter ini
akan meningkat bila salah satu kembar menderita PD pada usia <50 tahun.
Keluarga yang memiliki kecenderungan menderita PD sekitar 5% dari seluruh populasi penderita PD.
Terdapat kerentanan gen terutama pada kromosom 5, 6, 8, 9, 10, 16 dan 17 yang berhubungan dengan
produksi Monoamin oksidase-betha (MAO-Betha), enzim detoksifikasi n-acetyl transferase-2, dan
enzim detoksifikasi glutathion transferase, namun relevansinya masih belum diketahui.
EPIDEMIOLOGI
Data The Global Burden of Disease Study (2015) mengindikasikan adanya kecenderungan usia yang
lebih tua pada saat terjadi kematian. Fenomena. demografik ini menyebabkan peningkatan prevalensi
penyakit degeneratif, yaitu penyakit Alzheimer diikuti penyakit Parkinson (PP) pada peringkat kedua
tersering. Dengan meningkatnya angka harapan hidup, PP menjadi salah satu tantangan terberat yang
dihadapi dunia kesehatan.
Prevalensi PP bervariasi di beberapa benua. Pringsheim dkk menemukan bahwa prevalensinya pada
usia 70-79 tahun lebih rendah di Asia (646/100.000 individu), dibandingkan Eropa, Amerika Utara, dan
Australia (p<O,OS). Ada pun insidens penyakit ini berkisar 16-19 kasus per 100.000 individu pertahun.
Savica dkk memperoleh insidens 21 kasus per 100.000 penduduk pertahun di Minnesota yang dapat
dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, dan etnis. PP lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan
dengan rasio 3:2. Studi meta-analisis oleh Hirsch dkk menunjukkan insidens laki-laki sebesar 61,21 per
100.000 individu per tahun dan hampir dua kali lipat dari perempuan, yakni 37,55 per 100.000 individu
pertahun.
Terdapat peningkatan insidens PP seiring dengan bertambahnya usia, baik pada laki-laki dan
perempuan. Pada kelompok laki-laki, insidens berkisar dari 3,59 per 100.000 penduduk pada usia 40-
49 tahun yang meningkat menjadi 132,72 per 100.000 penduduk pada usia 70-79 tahun, lalu menurun
menjadi 110,48 per 100.000 penduduk pada usia diatas 80 tahun. Pada kelompok perempuan,
insidens mulai dari 2,94 per 100.000 penduduk (usia 40-49 tahun), mencapai insidens tertinggi 104,99
per 100.000 penduduk pada usia 70-79 tahun, lalu menurun menjadi 66,02 per 100.000 penduduk
(usia di atas 80 tahun). Menurut Dorsey dkk berdasarkan peningkatan angka harapan hidup ini,
proyeksi jumlah kasus PP meningkat lebih dari 50% pada tahun 2030.
PATOFISIOLOGI
Ganglia basal merupakan sekelompok nukleus subkortikal yang terdiri dari neostriatum
(nukleus kaudatus dan putamen), striatum ventral, globus palidus segmen interna dan
eksterna (GPi, GPe ), nukleus subtalamikus (subthalamic nucleus/STN), dan substansia nigra
pars retikulata dan pars kompakta (SNr, SNc).
Sirkuit ganglia basal-talamokortikal tersusun dalam suatu jaras fungsional, secara garis besar
dibagi menjadi sirkuit motorik, asosiatif, dan limbik, yang bekerja secara independen satu
sama lain (Gambar 2). Striatum dan STN merupakan titik masuk utama bagi input yang menuju
ke ganglia basal. Striatum menerima input dari korteks dan talamus, sedangkan STN
menerima input dari korteks dan batang otak. Dari nukleus tersebut, infomasi diteruskan
melalui berbagai jaras dan masuk ke nukleus keluaran utama yaitu GPi dan SNr. Keluaran
ganglia basal dari Gpi dan SNr akan diteruskan menuju ke talamus serta batang otak (kolikulus
superior, nukleus pedunkulopontin (pedunculopontine nucleus/PPN), dan parvocellular
reticular formation).
2) Patofisiologi
Patofisiologi utama yang menyebabkan gejala motorik kardinal pada PP, khususnya
bradikinesia, dikaitkan dengan disfungsi sirkuit motorik yang menghubungkan korteks
prefrontal, ganglia basal, dan talamus.
Berdasarkan sirkuit motorik ganglia basal yang diajukan dan dikembangkan oleh Alexander
dkk, hubungan antara striatum sebagai titik masuk utama dan GPi/SNr sebagai titik keluaran
utama dari ganglia basal tersusun menjadi jaras langsung (direct) berupa jaras monosinaptik
GABA-ergik inhibitorik dan jaras tidak langsung (indirect) yang mencakup GPe dan STN.
Striatum memiliki peran utama dalam memproses informasi sensorimotor dan
meneruskannya ke GPi. Selanjutnya, stimulus akan diteruskan melalui proyeksi GABA-ergik
yang bersifat inhibitorik menuju segmen motorik talamus anterior ventral, yang akan
meneruskan stimulus melalui jaras glutamaergik menuju korteks, dan berperan dalam proses
perencanaan dan inisiasi gerakan motorik (Gambar 3a). Sirkuit ini dikendalikan dan dimo-
dulasi oleh proyeksi dopamin nigrostriatal.
Pada PP, terjadi neurodegenerasi substansia nigra pars kompakta, input dopaminergik
menuju striatum akan menurun menyebabkan penurunan eksitatorik dopaminergik pada
reseptor D1 dan input dopaminergik inhibitorik pada reseptor D2. Adanya defisiensi dopamin
dan kelainan patologi pada reseptor dopamin di striatum akan menyebabkan perubahan pada
dua jaras keluaran striatopalidal utama yang menuju GPi secara monosinaptik melalui jaras
langsung atau melewati proyeksi ke GPe melalui jaras tidak langsung. Hasil akhir dari disfungsi
input dopaminergik dari kedua neuron striatum tersebut adalah peningkatan aktivitas GPi
melalui jalur langsung dan tidak langsung, sehingga memberikan efek inhibisi ke talamus dan
korteks, terjadi disfungsi inisiasi, kecepatan, dan amplituda gerak (Gambar 3b ). Efek serupa
juga dapat disebabkan oleh adanya penurunan aktivitas palidum, talamus bagian motorik,
atau proyeksi talamokortikal.
Atau
3) Patologi
Progresifitas penyakit Parkinson menurut Braak (Braak Staging) dibagi menjadi 6 tahap:
- Tahap 1: melibatkan sistem saraf perifer (neuron autonomik), sistem olfaktori (bulbus
olfaktorius, nukleus olfaktorius), medula oblongata (nukleus dorsal motor vagal dan
nervus glosofaringeus).
- Tahap 2: melibatkan pons (locus coeruleus, magnocellular portion of reticular formation,
nukleus raphe posterior), substansia abu-abu medula spinalis.
- Tahap 3: melibatkan Pons (nukleus pedunkulopontin), midbrain (substansia nigra pars
kompakta), basal forebrain (nukleus magnoselular termasuk nukleus basalis Meynert),
sistem limbik (subnukleus sentral amigdala).
- Tahap 4: melibatkan sistem limbik (korteks asesorius dan nukleus basolateral amigdala,
nukleus interstisial stria terminalis, klaustrum ventral), talamus (nukleus intralaminar),
korteks temporal (mesokorteks temporal anteromedial, region CA2 hipokampus).
- Tahap 5 dan 6: melibatkan regia korteks multipel (korteks insula, area korteks asosiasi,
area korteks primer).
Tahap 1 dan 2 berkaitan dengan onset gejala premotorik, tahap 3 merupakan tahap
munculnya gejala motorik akibat defisiensi dopamin nigrostriatal, dan tahap 4-6 dapat muncul
dengan gejala non-motorik pacta tahap lanjut.
MANIFESTASI KLINIS
1) Manifestasi motorik
Gejala motorik utama dari PP adalah bradikinesia, rigiditas, tremor, dan instabilitas postural.
- Tremor
Tremor seringkali terjadi pada ekstremitas, lengan lebih sering dibandingkan dengan
tungkai. Pada awal penyakit, tremor bersifat unilateral, kemudian seiring perjalanan
penyakit, terjadi pada esktremitas kontralateral. Hal ini juga dapat terjadi secara
intermiten pada rahang, bibir dan lidah. Tremor kepala biasanya merupakan perluasan
dari tremor yang melibatkan badan dan ekstremitas.
Tremor sebagian besar terjadi pacta bagian distal dan lebih jelas pacta jari-jari tangan atau
kaki. Gerakan berupa fleksi ekstensi yang melibatkan jari-jari atau pronasi-supinasi
pergelangan tangan yang disebut "pill-rolling tremor" meskipun tanpa komponen gerakan
rotatoar seperti saat melakukan pill-rolling. Tremor mencapai amplituda maksimal pada
saat istirahat, sehingga dikenal sebagai tremor istirahat atau resting tremor. Pada otot
proksimal, tremor lebih jelas pada saat mempertahankan postur, seperti pada saat sedang
duduk.
Tremor parkinson klasik memiliki frekuensi 4-6Hz, bersifat intermiten, seringkali
dicetuskan ketika pasien dilihat oleh orang lain, serta dipengaruhi emosi atau stres.
Tremor akan berkurang dan menghilang saat melakukan gerakan bertujuan atau
mempertahankan postur tertentu. Efek ini hanya bertahan selama beberapa detik,
kemudian muncul kembali (reemerges tremor). Namun menurut Lance dkk tremor
postural dapat ditemukan bersamaan dengan tremor istirahat.
- Rigiditas
Merupakan peningkatan tonus otot di seluruh lingkup gerak sendi (range of movement)
dan tidak tergantung dari kecepatan otot saat digerakkan. Rigiditas dapat ditemukan pada
leher, badan, dan ekstremitas dalam keadaan relaksasi.
Pemeriksaan pergelangan tangan dengan gerakan fleksi-ekstensi merupakan salah satu
cara deteksi adanya rigiditas roda gigi (cogwheel) dan dapat dilakukan juga pada sendi
siku.
Rigiditas dapat mempengaruhi postur pasien, fleksi pada sebagian besar sendi, termasuk
tulang belakang, dan membentuk postur simian (simian posture), suatu postur yang khas
pada PP (Gambar 6). Bentuk ekstrim dari gangguan postur ini dikenal sebagai
camptocormia. Abnormalitas postur dapat mempengaruhi ekstremitas bagian distal
berupa ekstensi jari-jari dan fleksi dari sendi metakarpofalangeal dan dorsifleksi ibu jari
kaki (striatal hand atau striatal toe).
Mengangkat salah satu lengan atau menggenggam salah satu tangan dapat menyebabkan
rigiditas semakin jelas pada ekstremitas kontralateral (manuver Froment). Tremor yang
terus menerus dapat menyulitkan pasien untuk mengalami relaksasi dan menyulitkan
pemeriksa untuk menemukan rigiditas.
- Akinesia
Akinesia merupakan salah satu gejala yang sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien,
karena gerakan volunter pasien menjadi lambat. Pasien mengalami kesulitan dalam
melakukan inisiasi gerakan, mempertahankan gerakan, dan mengubah berbagai pola
gerakan motorik. Pada awal perjalanan penyakit, akinesia terjadi unilateral dan seringkali
bersifat ringan. Pada tahap lanjut, akinesia terjadi pada kedua ekstremitas dan bertambah
berat. Derajat keparahan ini tidak berhubungan dengan derajat keparahan tremor dan
rigiditas. Akinesia dapat ditemukan pada inspeksi secara umum. Pasien duduk diam
dengan ekspresi wajah minimal seperti topeng (facial amimia atau "masked face') Gestur,
komunikasi, dan gerakan pasien juga berkurang, sehingga menyebabkan ada nya
halangan antara pasien, keluarga, dan teman-temannya.
- Instabilitas postural
Pasien dapat mengalami kesulitan pada saat bangkit dari kursi. Posisinya cenderung
membungkuk ke depan untuk meletakkan pusat gravitasi di atas kaki dan seringkali harus
dibantu menggunakan lengan. Hal ini dicoba lakukan beberapa kali hingga berhasil berdiri
dan seringkali terjatuh.
Pada tahap awal, dapat ditemui gangguan cara berjalan berupa berkurangnya ayunan
lengan. Tahap selanjutnya panjang langkah akan berkurang dan kaki tidak dapat diangkat
secara normal pada saat melangkah, sesuai dengan gambaran shuffling gait. Pasien
dengan penyakit parkinson dapat memodulasi frekuensi langkah dan meningkatkan irama
jalan, namun tetap berjalan lebih lambat dibandingkan normal karena langkahnya lebih
kecil. Sesekali langkah-langkah pasien juga semakin cepat (festination), bahkan dapat
berlari tanpa bisa ditahan sampai ada halangan di depan pasien. Pasien juga cenderung
jatuh ke depan (propulsi) maupun ke belakang (retropulsi).
2) Manifestasi nonmotorik
Gejala nonmotorik memiliki spektrum yang luas dan mencakup 4 ranah (domain), yakni 1)
gangguan autonom; 2) gangguan tidur; 3) neuropsikiatrik; dan 4) gangguan sensoris.
Gejala nonmotorik dapat terjadi pada setiap tahap dari perjalanan klinis penyakit Parkinson
yang masing-masing memiliki pola onset dan progresifitas tertentu. Oleh karena itu dapat
ditemukan kecenderungan gejala nonmotorik lebih sering dijumpai pada:
- fase premotor, sebelum munculnya gejala motorik;
- stadium awal penyakit,
- stadium lanjut penyakit.
Gejala nonmotorik yang sering dijumpai pada fase premotor adalah rapid eye movement
(REM) sleep behavior disorder (RBD), konstipasi, dan hiposmia.
Selain akibat proses patogenesis intrinsik, beberapa gejala nonmotorik juga dikaitkan dengan
obat. Obat-obat yang sering dipakai di awal penyakit, seperti antikolinergik dan amantadin,
inhibitor monoamin oksidase, dopamin agonis, dan levodopa dapat menyebabkan efek
samping atau meningkatkan potensi gejala nonmotorik pada PP. Contohnya gejala hipotensi
ortostatik, halusinasi, excessive daytime sleepiness (EDS) atau insomnia akibat agen
dopaminergik dan gangguan memori pada penggunaan antikolinergik. Oleh karena itu,
perubahan modalitas terapi dapat mengurangi gejala nonmotorik tersebut.
DIAGNOSIS
Terdapat beberapa kriteria diagnosis yang dapat digunakan, di antaranya sesuai dengan United
Kingdom Parkinson's Disease Society Brain Bank (Tabel3). Penilaian yang juga sebaiknya dilakukan
adalah stadium penyakit berdasarkan klasifikasi modified Hoehn and Yahr (Tabel4).
Penyakit parkinson didiagnosis berdasarkan kriteria klinis. Tidak didapatkan pemeriksaan yang bersifat
definitif untuk menegakkan diagnosis, kecuali konfirmasi histopatologis adanya badan Lewy pada
autopsi. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membedakan dengan kelainan degeneratif lain,
terutama parkinsonisme sekunder atau atipikal.
a. Stadium awal
b. Stadium lanjut
ENSEFALITIS KLASIFIKASI:
1. ENSEFALITIS SUPURATIVA
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus, streptococcus, E.coli
dan M.tuberculosa.
- Patogenesis
Peradangan dapat menjalar ke jaringan otak dari otitis media,mastoiditis,sinusitis,atau
dari piema yang berasl dari radang, abses di dalam paru, bronchiektasi, empiema,
osteomeylitis cranium, fraktur terbuka, trauma yang menembus ke dalam otak dan
tromboflebitis. Reaksi dini jaringan otak terhadap kuman yang bersarang adalah edema,
kongesti yang disusul dengan pelunakan dan pembentukan abses. Disekeliling daerah
yang meradang berproliferasi jaringan ikat dan astrosit yang membentuk kapsula. Bila
kapsula pecah terbentuklah abses yang masuk ventrikel.
- Manifestasi klinis
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis ;
1) Demam
2) Kejang
3) Kesadaran menurun
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum,
tanda-tanda meningkatnya tekanan intracranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan
progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan
mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda deficit neurologist tergantung pada
lokasi dan luas abses.
2. ENSEFALITIS SIPHYLIS
- Patogenesis
Disebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi terjadi melalui permukaan tubuh umumnya
sewaktu kontak seksual. Setelah penetrasi melalui epithelium yang terluka, kuman tiba di
sistim limfatik, melalui kelenjar limfe kuman diserap darah sehingga terjadi spiroketemia.
Hal ini berlangsung beberapa waktu hingga menginvasi susunan saraf pusat. Treponema
pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan bagian-bagian lain susunan saraf
pusat.
- Manifestasi klinis
Gejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian :
➢ Gejala-gejala neurologist
Kejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan, afasia, apraksia,
hemianopsia, kesadaran mungkin menurun,sering dijumpai pupil Agryll-
Robertson, nervus opticus dapat mengalami atrofi. Pada stadium akhir timbul
gangguan-gangguan motorik yang progresif.
➢ Gejala-gejala mental
Timbulnya proses dimensia yang progresif, intelgensia yang mundur perlahan-
lahan yang mula-mula tampak pada kurang efektifnya kerja, daya konsentrasi
mundur, daya ingat berkurang, daya pengkajian terganggu.
3. ENSEFALITIS VIRUS
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :
1) Virus RNA
Paramikso virus : virus parotitis, virus morbili
Rabdovirus : virus rabies
Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virus dengue) Picornavirus :
enterovirus (virus polio, coxsackie A, B, echovirus)
Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria
2) Virus DNA
Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks, sitomegalivirus, virus Epstein-barr
Poxvirus : variola, vaksinia
Retrovirus : AIDS
- Manifestasi klinis
Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan, nausea, kesadaran menurun,
timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk, hemiparesis dan paralysis bulbaris.
4. ENSEFALITIS KARENA PARASIT
- Malaria serebral
Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gangguan utama terdapat
didalam pembuluh darah mengenai parasit. Sel darah merah yang terinfeksi plasmodium
falsifarum akan melekat satu sama lainnya sehingga menimbulkan penyumbatan-
penyumbatan. Hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal yang tersebar secara difus
ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak. Gejala-gejala yang timbul : demam
tinggi.kesadaran menurun hingga koma. Kelainan neurologik tergantung pada lokasi
kerusakan-kerusakan.
- Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejala-gejala kecuali
dalam keadaan dengan daya imunitas menurun. Didalam tubuh manusia parasit ini dapat
bertahan dalam bentuk kista terutama di otot dan jaringan otak.
- Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika berenang di air yang
terinfeksi dan kemudian menimbulkan meningoencefalitis akut. Gejala-gejalanya adalah
demam akut, nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
- Sistiserkosis
Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus mukosa dan masuk
kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh badan. Larva dapat tumbuh menjadi
sistiserkus, berbentuk kista di dalam ventrikel dan parenkim otak. Bentuk rasemosanya
tumbuh didalam meninges atau tersebar didalam sisterna. Jaringan akan bereaksi dan
membentuk kapsula disekitarnya. Gejaja-gejala neurologik yang timbul tergantung pada
lokasi kerusakan.
5. ENSEFALITIS KARENA FUNGUS
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida albicans, Cryptococcus
neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor mycosis. Gambaran yang
ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah meningo-ensefalitis purulenta. Faktor
yang memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun.
6. RIKETSIOSIS SEREBRI
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat menyebabkan Ensefalitis.
Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli yang terdiri atas sebukan sel-sel
mononuclear, yang terdapat pula disekitar pembuluh darah di dalam jaringan otak. Didalam
pembuluh darah yang terkena akan terjadi trombosis. Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala,
demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin kesadaran dapat menurun. Gejala-gejala
neurologik menunjukan lesi yang tersebar.
1. Kehilangan memori
Tanda awal yang dialami lansia yang menderita demensia adalah lupa tentang informasi yang
baru di dapat atau di pelajari, itu merupakan hal biasa yang diamali lansia yang menderita
demensia seperti lupa dengan pentujuk yang diberikan, nama maupun nomer telepon, dan
penderita demensia akan sering lupa dengan benda dan tidak mengingatnya.
2. Kesulitan dalam melakukan rutinitas pekerjaan
Lansia yang menderita Demensia akan sering kesulitan untuk menyelesaikan rutinitas
pekerjaan sehari-hari. Lansia yang mengalami Demensia terutama Alzheimer Disease mungkin
tidak mengerti tentang langkah-langkah dari mempersiapkan aktivitas sehari-hari seperti
menyiapkan makanan, menggunkan perlatan rumah tangga dan melakukan hobi.
3. Masalah dengan bahasa
Lansia yang mengalami Demensia akan kesulitam dalam mengelolah kata yang tepat,
mengeluarkan kat-kata yang tidak biasa dan sering kali membuat kalimat yang sulit untuk di
mengerti orang lain.
4. Disorientasi waktu dan tempat
Mungkin hal biasa ketika orang yang tidak mempunyai penyakit Demensia lupa dengan hari
atau diaman dia berada, namun dengan lansia yang mengalami Demensia akan lupa dengan
jalan, lupa dengan dimana mereka berada dan baimana mereka bisa sampai ditempat itu,
serta tidak mengetahui bagaimana kembali kerumah.
5. Tidak dapat mengambil keputusan
Lansia yang mengalami Demensia tidak dapat mengambil keputusan yang sempurna dalam
setiap waktu seperti memakai pakaian tanpa melihat cuaca atau salah memakai pakaian, tidak
dapat mengelolah keuangan.
6. Perubahan suasana hati dan kepribadian
Setiap orang dapat mengalami perubahan suasan hati menjadi sedih maupun senang atau
mengalami perubahan perasaann dari waktu ke waktu, tetapi dengan lansia yang mengalami
demensia dapat menunjukan perubahan perasaan dengan sangat cepat, misalnya menangis
dan marah tanpa alasan yang jelas. Kepribadian seseorang akan berubah sesuai dengan usia,
namun dengan yang dialami lansia dengan demensia dapat mengalami banyak perubahan
kepribadian, misalnya ketakutan, curiga yang berlebihan, menjadi sangat bingung, dan
ketergantungan pada anggota keluarga.