Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 12 MODUL 1
OBA

Disusun Oleh : Kelompok 8

Muhammad Raka Bramiasto 1810015040


Melynda Dyah Pratiwi 1910016051
Syarifah Awwaliyah Rachman 1910016055
Ummu Kultsum 1910016058
Tresia Davila 1910016062
Wenda Safitri 1910016074
Mutiara Rahmawati Rizki 1910016079
Baihaqi Fajarrahadi 1910016082
Rian Ananta Pasolang Seru 1910016087
Muh. Daffa Aufa Rafly 1910016092

Tutor :

dr. Sulistiawati, M.Med.Ed

PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas laporan DKK Blok 12 Modul 1 dengan topik modul Fitofarmaka.
Laporan ini disusun dari berbagai sumber referensi yang telah kami pelajari dan diskusikan pada DKK I dan DKK
II.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan
ini :
• Kepada dr. Sulistiawati, M.Med.Ed yang selaku tutor kelompok 8 yang telah membimbing kami
selama proses DKK .
• Teman-teman kelompok 8 yang telah mencurahkan pikiran berdasarkan hasil belajar mandiri dari
berbagai sumber referensi.

Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2019, serta
pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan ini, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi tercapainya kesempurnaan dari hasil laporan Diskusi
Kelompok Kecil ini.

Samarinda, 29 April 2021

Kelompok 8

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
1.2. TUJUAN DAN MANFAAT
BAB II ISI
2.1 SKENARIO
2.2 IDENTIFIKASI ISTILAH SULIT
2.3 IDENTIFIKASI MASALAH
2.4 ANALISA MASALAH
2.5 STRUKTURISASI KONSEP
2.6 LEARNING OBJECTIVE
2.7 BELAJAR MANDIRI
2.8 SINTESIS
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Obat Bahan Alam (OBA) merupakan bahan baku atau sediaan yang berasal dari tanaman, hewan atau
mineral yang meliputi obat tradisional/jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Di Indonesia penggunaan
jamu sebagai obat tradisional masih sering digunakan. Namun demikian, penggunaan jamu di Indonesia
banyak yang masih belum teruji khasiatnya maupun keamanan dari produk tersebut. Dan banyak dari jamu-
jamu tersebut bisa saja bersifat toksik dan membahayakan tubuh.
1.2 Tujuan
Tujuan dari laporan ini adalah untuk menyatukan segala penjelasan yang telah diutarakan baik di DKK I
dan DKK II oleh seluruh peserta DKK kelompok VIII yang memiliki literatur sama dan ada yang berbeda.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat modul ini ialah diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi, etiologi,
patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, komplikasi, manajemen serta prognosis dari penyakit kulit imunologik.
Dengan demikian, setelah kita mampelajari tentang modul ini, diharapkan kita mampu sebagai seorang dokter
untuk bisa mendiagnosis keluhan-keluhan pasien sesuai dengan skenario ini tentang penyakit kulit dengan kausa
imunologi dan kausa lainnya.
BAB II
ISI
2.1 SKENARIO
Cerdas Memilih Obat Tradisional Pada suatu acara reuni kecil teman SMA terjadi pembicaraan antara Ayu
mahasiswa kedokteran Universitas Mulawarman dengan teman SMA bernama Dara.
Dara: “Ayu, ibu saya menderita asam urat darah nilainya selalu tinggi bosan konsumsi allopurinol terus menerus
dan sering kambuh, minggu lalu berhenti minum obat dan kemarin kambuh lagi habis makan banyak seafood pas
acara keluarga, direkomendasikan temannya minum herbal Merek Jempol sambil memberikan brosur yang dibawa
kepada Ayu, banyak testimoni puluhan orang asam urat sembuh tapi ragu masa asam urat bisa sembuh hanya
konsumsi herbal. Komposisi tiap herbal ada uji toksisitas dan praklinik mengurangi nyeri dan komposisi ramuan
telah digunakan sebagai ramuan saintifikasi jamu menurunkan asam urat dan ada uji klinik secara testimoni,
pendapat Ayu bagaimana?”
Ayu: “Setelah

mencermati brosur yang ada kemasan produk, saya meragukan produk ini, tidak mudah mendapatkan logo
fitofarmaka yang lolos uji klinis, kita harus cerdas memilih obat tradisional, nanti saya coba telusuri, sekarang
mudah pengecekan di BPOM dan mencari sumber informasi ada dimana saja, saya pinjam brosurnya untuk
dipelajari lebih lanjut.”
IDENTIFIKASI ISTILAH SULIT :
1. Allopurinol : Obat untuk asam urat, mencegah peningkatan kadar asam urat dan menurunkan kadar asam
urat dalam darah. Bekerja sebagai penghambat xanthine oxidase sehingga pembentukan asam urat dari
perubahan hypoxantine ke xanthine. Merupakan golongan obat urikostatik. Memberikan beberapa efek
samping seperti hepatitis.
2. Ramuan saintifikasi : Pembuktian ilmiah melalui penelitian berbasis pelayanan Kesehatan dengan tujuan
untuk memberikan landasan ilmiah ramuan tersebut secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan
Kesehatan.
3. Logo fitofarmako : Fitofarmako : OBA yang dibuktikan khasiatnya berdasarkan pengujian praklinik dan
klinik. Logo fitofarmaka berwarna putih hijau. Merupakan tingkatan OBA yang paling tinggi. Urutan OBA
: Jamu → OHT → Fitofarmako.
4. Uji toksisitas : Mendeteksi efek toksik zat yang diuji.untuk mendapatkan informasi mengenai keamanan
bahan yang digunakan beserta dosisnya. Secara umum dibagi menjadi in vitro dan in vivo. Berdasarkan
lama waktu, uji toksisitas akut, subkronik dan kronik. Uji toksisitas khusus : uji teratogenic, mutagenic,
karsinogenik.
- Akut: mengetahui LD 50 (Lethal dose), dinyatakan dalam mg/kgBB. LD 50 sebaiknya semakin tinggi.
5. Uji praklinik : Uji pengembangan, uji farmakologis yang terjadi sebelum uji pada manusia/klinik. Bisa
dilakukan pada obat-obatan, peralatan medis dan terapi. Merupakan syarat obat. Uji praklinik terbagi
menjadi in vitro dan in vivo. Uji yang dilakukan untuk menaikkan tingkat dari jamu OHT. Ada 5 tahap.
6. Uji klinik : Kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan manusia sebagai objek penelitian untuk menguji
farmakokinetik, farmakodinamik. Untuk memastikan keamanan dan efektivitas obat. Dibagi menjadi 4
fase,
- Fase 1: keamanan, efek, toleransi obat (20-40 orang)
- Fase 2 : dosisi efektif (100-200 orang)
- Fase 3 : pengobatan baru (500 orang)
- Fase 4 : fase evaluasi obat baru . perlu waktu yang lama setidaknya 5 tahun. Fase yang sangat penting
untuk menunjukkan efek samping pada konsumsi obat yang lama.
7. Jamu : Suatu ramuan dari tumbuhan, hewan, mineral, yang digunakan secara turun menurun untuk
pengobatan. Belum melalui uji praklinik dan klinik. Minimal 3 generasi. Jamu merupakan golongan OBA
terendah.

IDENTIFIKASI MASALAH:
1. Apakah hubungan pola makan ibu dara yang memakanbanyak seafood dengan kambuhnya penyakitnya?
2. Skenario efek yang terjadi apabila alkurinol dikombinasikan dengah obat herbal?
3. Bagaimana cara mengetahui obat sudah teruji secara praklinik dan klinik ?
4. Apakah dari segi komposisi dan bentuk obat yang terdapat pada scenario aman digunakan dan memenuhi
standar sebagai fitofarmaka yang aman?
5. Bagaimana cara yang benar dalam memilih obat produk tradisional?

6. Bagaimana obat tersebut memenuhi syarat dari obat fitofarmaka


7. Bagaimana cara pengusaha obat herbal mendaftarkan obatnya untuk menjadi obat herbal terdaftar?
8. Apa perbedaan jamu,OHT,Fitofarmaka serta apakah ketiganya memiliki efek samping ?
9. Apakah uji klinis pada obat fitofarmaka sama dengan uji klinis dengan obat lainnya, dan apa perbedaanya?
10. Apa yang terjadi jika seseorang mengonsumsi obat bahan alam yang belum teruji?

ANALISIS MASALAH :
1. Apakah hubungan pola makan ibu dara yang memakanbanyak seafood dengan kambuhnya penyakitnya?

Seafood merupakan makanan tinggi purin , dan dapat memicu organ hati untuk memproduksi asam urat
yang berlebih,dan asam urat ini akan memasuki aliran darah, dan jika terlalu banyak mengonsumsi akan
menaikkan kadar asam urat. Jika terlalu banyak memakan seafood, akan terjadi kenaikan asam urat dalam
tubuhnya.

Seafood bisa menyebabkan asam urat menjadi berlebih, setiap orang punay asam urat dalam tubuh karena
merupakan hasil metabolisme yang normal yang tentunya tidak bole memiliki kadar, normal untuk pria
7mg/ dan normal untuk wanita <6mg/ , jika berlebih akan menyebabkan penumpukan asam kristal pada
persendian dan akan menimbulkan rasa sakit yang tinggi pada penderitanya.

Obat tidak direkomendasikan kecuali untuk yang memiliki keadaan kronis , selain input dari purin yang
tinggi, edukasi konsumsi obat allupurinol . Purin ini merupakan bahan kimia yang ditemukan secara alami
dalam makanan, jika dikonsumsi terlalu tinggi akan menghasilikan produk yang dikenal dengan asam urat
dan akan terproduksi dengan tinggi.

2. Efek yang terjadi apabila allupurinol dikombinasikan dengah obat herbal?

Dalam beberapa kasus pasien, dia menggunakan rebusan daun salam tidak menimbulkan efek dalam
allupurinol melainkan meringankan efek samping. Allupiruniol termasuk obat kimia, dan tidak dikonsumsi
apabila tidak mendapat anjuran dari dokter , contoh dikonsumsi secara bersamaan, melainkan berurut. Obat
herbal bersifat mengikat obat kimia (allupurinol), sehingga tidak akan menimbulkan efek keracunan.

Kumis kucing jika di gabungkan allupuruniol akan meningkatkan produksi NO. Dengan banyaknya pilihan
obat herbal, sifatnya akan menjadi spesifik sehingga selalu bergantung pada jenis obat yang dikonsumsi
dan tergantung dari anjuran dokter.

3. Bagaimana cara mengetahui obat sudah teruji secara praklinik dan klinik ?

Jika sudah teruji, maka termasuk kategori fitoparmaka, dan tentunya dengan meninjau referensi logo dan
aturan design produk , apakah sudah terdaftar di BPOM, atau melihat indikator dari kemasan / packaging.
Primary packaging adalah kemasan yang berinteraksi langsung dengan produk, secondary package
melindungi packaging primary., melihat aturan design produk seperti nomor registrasi, khasiat dan lain
lain.

4. Apakah dari segi komposisi dan bentuk obat yang terdapat pada scenario aman digunakan dan
memenuhi standar sebagai fitofarmaka yang aman?
Meskipun komposisi sesuai dengan indikasi produk, Claim yang berlebihan dari produk,kemasan
terhkhusus pada brosur harus menjadi perhatian. Secara tertulis, bahan alami belum dapat ditentukan aman
atau tidak dan perlu diuji secara klinik dan praklinik dan perlu dirujuk untuk pendaftaran BPOM. BPOM
juga tidak dapat dipercaya sepenuhnya dan harus dicek. Hal lainnya adalah melihat referensi halal/haram
dan tanggal kadaluarsa, kemasan, netto dll.

Standar aman untuk fitofarmaka dari BPOM adalah :


a. Aman sesuai dengan persyaratan
b. Claim khasiat dibuktikan secara ilmiah pada hewan/manasia
c. Telah dilakukan standarisasi bahan bahku
d. Memenuhi persyarata motto yang berlaku dan jenis penggunaanya sesuai dengan tingkat
medium/tinggi.

Periklanan dilarang untuk menyatakan khasiat dalam kasus tertentu sesuai dengan peraturan kemenkes
1994.

5. Bagaimana cara yang benar dalam memilih obat produk tradisional?

Pertama, pelajari obat tersebut , baiknya juga melakukan konsultasi dengan dokter. Dan juga jika membeli
dipasar harus mengikuti petunjuk dan harus mencari bantuan professional dan ahli yang memiliki
pengetahuan pada obat tersebut, memperhatikan gejala alergi , atau efek samping dari obat tradisional
tersebut. Mengecek segi kemasan dan keadaan dari kemasan, label seperti nama produk,logo,khasiat, berat
bersih,komposisi dan aturan pakai serta kegunaan dan cara penggunaan, mengecek ijin edar dengan melalui
situs dan mengecek sasaran penggunaan. Mengecek tanggal kadaluarsa / batas tanggal penggunaan wajar
yang diperbolehkan.

6. Bagaimana cara mengetahui obat tersebut memenuhi syarat dari obat fitofarmaka

Pertama, pastikan obat tersebut sudah melewati uji praklinik baik pada hewan / bakteri/virus. juga harus
melewati standarisasi seperti penentuan dosis, sediaan (tablet,sirup dll),. Dan pada uji klinik harus melalui
uji di laboratorium yang terakreditasi dan diakui oleh BPOM pada manusia dengan cara dipantau dan
meninjau efektifitas penggunaan jangka panjang. Kita juga harus tetap meninjau dan membuat laporan
hasil pengujian, dari pengujian pada klinik/praklinik, efek toxic dari obat pada jenis kelamin, pemicu
kematian, kandungan alcohol, efek pada berat badan yang kemudian akan dirujuk ke BPOM. Secara umum,
kriteria nya harus aman baik itu dari claim dan khasiat baik dari tingkat medium dan tinggi. Memperhatikan
bahan baku dan Uji kualitatif dan kuantitatif dari jamu, fitofarmaka dan OHT.

7. Bagaimana cara pengusaha obat herbal mendaftarkan obatnya untuk menjadi obat herbal
terdaftar?

Sertifikasi obat harus didapatkan melalui BPOM untuk mendapat izin pengedaran. Untuk mendapatkan
izin edar,obat harus menggunakan bahan yang berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan
mutu dan keamanan, cara pembuatan obat, dan penandaan yang berisi informasi yang lengkap untuk
menjamin obat tersebut. Pendaftaran terbagi 2, obat baru dan obat varian. Obat baru terdaftar dan bersifat
masih baru. Obat varian lebih memperhatikan revisi dan claim. Pengusaha juga dapat mendaftarkan obat
dengan mengajukan dokumen dan mengisi formulir dari BPOM secara daring yang kemudian akan
divefikasi. BPOM akan menilai berkas dan dokumen tersebut. Berkas yang dibutuhkan terbagi dua kriteria,
dilihat dari jenis obat local dan import. Berkas yang diajukan pada BPOM dapat berupa soft file dan hard
file. Surat perijinan perusahaan, surat CPOTB, surat kuasa bermaterai. Apabila telah diverifikasi, maka
perusahaan akna mengirim hard file dengan menambah dokumen surat persetujuan, S&K, akta pendirian
perusahaan, dan surat kuasa bermaterai dan jika diterima maka akan dilanjutkan ke tahap evaluasi dan
diberikan surat NIE.

8. Apa perbedaan jamu,OHT,Fitofarmaka serta apakah ketiganya memiliki efek samping ?

Jamu, merupakan bahan obat alam yang sediaannya masih simplasia, Jamu tidak membutuhkan
pembuktian ilmiah karena sudah digunakan dalam jangka waktu yang lama (bertahan selama 3 generasi).

OHT merupakan obat tradisional yang teruji dari uji praklinis. Dari ekstrak bahan tumbuhan / mineral,
harus aman, memiliki claim khasiat, telah dilakukan standarisasi , dan memenuhi standar mutu seperti
kisaran dosis.

Fitofarmaka, merupoakan obat modern yang teruji dari uji praklinis/klinis. Dan harus memenuhi empat
syarat, aman, berkhasiat secara ilmiah dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku serta telah dilakukan
standarisasi pengunaan aman pada manusia.

9. Apakah uji klinis pada obat fitofarmaka sama dengan uji klinis dengan obat lainnya, dan apa
perbedaanya?

Konsep uji klinis dari fitoparmaka sama, dari segi tahap dan subject penggunaan. Perbedaannya adalah dari
segi uji pengujian seperti keaslian, dan memiliki hasil penelitian klinik yang kemudian berimplikasi dari
pembuktian, memiliki prosedur baku tertulis, dilakukan oleh apoteker independent yang diakui, memiliki
keamanan dan khasiat bahan uji dari faktor-faktor parameter ilmiah, secara konsep pengujian Fitofarmaka
sama dengan obat yang lainnya kecuali dari bahan uji.

10. Apa yang terjadi jika seseorang mengonsumsi obat bahan alam yang belum teruji?

Efek yang terjadi dikarenakan dosis yang digunakan tidak efektif (berlebihan / memiliki bahan yang
bereaksi dengan bahan yang lain) belum sepenuhnya memungkinkan untuk me, stigma masyarakat terkait
obat bahan alami tidak dapat dipercaya sepenuhnya.
STRUKTURISASI KONSEP:

LEARNING OBJECTIVE
1. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Mengenai Definisi Dan Klasifikasi OBA
2. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Mengenai Tahapan Pengujian OBA:
- Praklinik
- Klinik
3. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Mengenai Sistem Registrasi Obat
4. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Mengenai Syarat Kemasan Obat Dan Aturan Periklanan
5. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Mengenai Bahan Yang Dilarang Digunakan Dalam OBA
6. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Mengenai Cara Memilih Obat Tradisional Dan Pengecekan Obat

Analisa Masalah

Definisi dan Klasifikasi OBA

1.1 Definisi
Obat bahan alam atau Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional, turun-temurun,
berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik bersifat magic
maupun pengetahuan tradisional. Menurut penelitian masa kini, obat-obatan tradisional memang bermanfaat
bagi kesehatan dan saat ini penggunaannya cukup gencar dilakukan karena lebih mudah dijangkau masyarakat,
baik harga maupun ketersediaannya. Obat tradisional pada saat ini banyak digunakan karena menurut beberapa
penelitian tidak terlalu menyebabkab efek samping, karena masih bisa dicerna oleh tubuh. Bagian dari obat
tradisional yang banyak digunakan atau dimanfaatkan di masyarakat adalah akar, rimpang, batang, buah, daun
dan bunga.
Obat bahan alam atau Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut, yang secara traditional
telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman
1.2 Klasifikasi

Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan secara berjenjang menjadi 3 kelompok yaitu :
(1)Jamu;
(2) Obat Herbal Terstandar;
(3) Fitofarmaka.
Jamu
Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan atau
cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara
tradisional. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari
berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5 – 10 macam bahkan lebih. Golongan
ini tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang
telah digunakan secara turun-menurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah
membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu.
Lain dari fitofarmaka, Jamu bisa diartikan sebagai obat tradisional yang disediakan secara tradisional, tersedia
dalam bentuk seduhan, pil maupun larutan. Pada umumnya, jamu dibuat berdasarkan resep turun temurund
dan tidak melalui proses seperti fitofarmaka. Jamu harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
Aman
Klaim khasiat berdasarkan data empiris (pengalaman)
Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
Sebuah ramuan disebut jamu jika telah digunakan masyarakat melewati 3 generasi. Artinya bila umur satu
generasi rata-rata 60 tahun, sebuah ramuan disebut jamu jika bertahan minimal 180 tahun. Inilah yang
membedakan dengan fitofarmaka, dimana pembuktian khasiat tersebut baru sebatas pengalaman, selama
belum ada penelitian ilmiah. Jamu dapat dinaikkan kelasnya menjadi herbal terstandar atau fitofarmaka dengan
syarat bentuk sediaannya berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang terstandarisasi
Pada saat ini kesadaran akan pentingnya “back to nature” memang sering hadir dalam produk yang kita
gunakan sehari-hari. Saat ini contohnya kita bisa melihat banyak masyarakat yang kembali ke pengobatan
herbal. Banyak ramuan-ramuan obat tradisional yang secara turun-temurun digunakan oleh masyarakat untuk
pengobatan. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa pengobatan herbal tidak memiliki efek samping.

Obat Herbal Terstandar (OHT)


Obat Herbal Terstandar (OHT) juga tidak sama dengan fitofarmaka. Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah
obat tradisional yang berasal dari ekstrak bahan tumbuhan, hewan maupun mineral. Perlu dilakukan uji pra-
klinik untuk pembuktian ilmiah mengenai standar kandungan bahan yang berkhasiat, standar pembuatan
ekstrak tanaman obat, standar pembuatan obat yang higienis dan uji toksisitas akut maupun kronis seperti
halnya fitofarmaka.Dalam proses pembuatannya, OHT memerlukan peralatan yang lebih kompleks dan
berharga mahal serta memerlukan tenaga kerja dengan pengetahuan dan keterampilan pembuatan ekstrak, yang
hal tersebut juga diberlakukan sama pada fitofarmaka.
Obat Herbal dapat dikatakan sebagai Obat Herbal Terstandarisasi bila memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Aman
2. Klaim khasiat secara ilmiah, melalui uji pra-klinik
3. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
4. Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
Indonesia telah meiliki atau memproduksi sendiri OHT dan telah telah beredar di masyarakat 17 produk OHT,
seperti misalnya : diapet®, lelap®, kiranti®, dll. Sebuah herbal terstandar dapat dinaikkan kelasnya menjadi
fitofarmaka setelah melalui uji klinis pada manusia.
Fitofarmaka
Fitofarmaka merupakan jenis obat tradisionalyang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses
pembuatannya yang telah terstandar dan khasiatnya telah dibuktikan melalui uji klinis.
Fitofarmaka dapat diartikan sebagai sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya
secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis bahan baku serta produk jadinya telah di standarisir (BPOM.
RI., 2004 ).
Ketiga golongan atau kelompok obat tradisional tersebut di atas, fitofarmaka menempati level paling atas dari
segi kualitas dan keamanan. Hal ini disebabkan oleh karena fitofarmaka telah melalui proses penelitian yang
sangat panjang serta uji klinis yang detail, pada manusia sehingga fitofarmaka termasuk dalam jenis golongan
obat herbal yang telah memiliki kesetaraan dengan obat, karena telah memiliki clinical evidence dan siap di
resepkan oleh dokter.
Obat Herbal dapat dikatakan sebagai fitofarmaka apabila obat herbal tersebut telah memenuhi kriteria sebagai
berikut :
1. Aman
2. Klaim khasiat secara ilmiah, melalui uji pra-klinik dan klinik
3. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
4. Telah dilakukan standardisasi bahanbakuyang digunakan dalam produk jadi.
Hal yang perlu diperhatikan adalah setelah lolos uji fitofarmaka, produsen dapat mengklaim produknya sebagai
obat. Namun demikian, klaim tidak boleh menyimpang dari materi uji klinis sebelumnya. Misalnya, ketika uji
klinis hanya sebagai antikanker, produsen dilarang mengklaim produknya sebagai antikanker dan antidiabetes.
Indonesia pada saat ini telah memproduksi dan beredar di masyarakat sebanyak 5 buah fitofarmaka, seperti
Nodiar (PT Kimia Farma), Stimuno (PT Dexa Medica), Rheumaneer PT. Nyonya Meneer), Tensigard dan X-
Gra (PT Phapros).
Adapun obat fitofarmaka yang saat ini beredar di masyarakat yang berbentuk kemasan memiliki logo jari-jari
daun yang membentuk bintang dalam lingkaran seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut ini :

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah
dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi. Pada dasarnya sediaan
fitofarmaka mirip dengan sediaan jamu-jamuan karena juga berasal dari bahan-bahan alami, meskipun
demikian jenis sediaan obat ini masih belum begitu populer di kalangan masyarakat, dibandingkan jamu-
jamuan dan herba terstandar.
Khasiat dan penggunaan fitofarmaka dapat lebih dipercaya dan efektif daripada sediaan jamu-jamuan biasa,
karena telah memiliki dasar ilmiah yang jelas, Dengan kata lain fitofarmaka menurut ilmu pengobatan
merupakan sediaan jamu-jamuan yang telah tersentuh oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Tahapan Pengujian OBA (Praklinik dan Klinik)

a. Prakilinik
Uji Praklinik adalah suatu uji yang dilakukan dengan tujuan mengumpulkan informasi toksikologi dan
farmakologi untuk mengetahui keamanan dan khasiat suatu produk uji secara ilmiah yang dilakukan
melalui uji toksisitas dan uji aktivitas. Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi tingkat
ketoksikan suatu zat/ bahan yang akan digunakan sebagai obat. Secara umum uji toksisitas obat dibagi
dalam 2 bagian yaitu uji toksisitas in-vitro dan uji toksisitas in-vivo. Berdasarkan lama waktu terjadinya
efek toksik maka uji toksisitas umum dibagi atas tiga bagian yakni uji toksisitas akut, uji toksisitas
subkronik dan uji toksisitas kronik. Kemudian ada uji toksisitas khusus yang meliputi: uji teratogenik,
uji karsinogenik dan uji mutagenik. Hasil yang diperoleh dari pelaksanaan uji toksisitas dapat
memberikan informasi tentang tingkat keamanan suatu zat/bahan pada hewan coba atau bahan biologi
lainnya sebelum zat/bahan tersebut digunakan di klinik. Sedangkan uji aktivitas (khasiat) obat adalah
suatu uji untuk menentukan kebenaran khasiat suatu bahan uji yang dibuktikan secara ilmiah dengan
menggunakan metodologi dan parameter yang ditentukan berdasarkan tujuan penggunaan bahan uji
yang akan dipakai di klinik
1) Uji Toksisitas, adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan
untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat
digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi
pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan
manusia.
Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo dapat
dipercaya adalah: pemilihan spesies hewan uji, galur dan jumlah hewan; cara
pemberian sediaan uji; pemilihan dosis uji; efek samping sediaan uji; teknik
dan prosedur pengujian termasuk cara penanganan hewan selama percobaan.
a) Uji toksisitas akut oral
Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam
waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberikan secara oral dalam dosis tunggal,
atau dosis berulang yang diberikan
dalam waktu 24 jam.
Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan pada
beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok, kemudian dilakukan
pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian. Hewan yang mati selama percobaan
dan yang hidup sampai akhir percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala
toksisitas.
Tujuan uji toksisitas akut oral adalah untuk mendeteksi toksisitas intrinsic suatu zat,
menentukan organ sasaran, kepekaan spesies, memperoleh informasi bahaya setelah pemaparan
suatu zat secara akut, memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk menetapkan
tingkat dosis, merancang uji toksisitas selanjutnya, memperoleh nilai LD50 suatu bahan/
sediaan, serta penentuan penggolongan bahan/ sediaan dan pelabelan.
b) Uji toksisitas subkronis oral
Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul
setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang
diberikan secara oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10%
seluruh umur hewan.
Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis
diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama
28 atau 90 hari, bila diperlukan ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek
tertunda atau efek yang bersifat reversibel. Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus
diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode
pemberian sediaan uji, bila belum melewati periode rigor mortis (kaku) segera diotopsi,dan
organ serta jaringan diamati secara makropatologi dan histopatologi. Pada akhir periode
pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan
pengamatan secara makropatologi pada setiap organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan
pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi.
Tujuan uji toksisitas subkronis oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat
yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut; informasi
kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka
waktu tertentu; informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (No Observed Adverse
Effect Level / NOAEL); dan
mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut.
c) Uji toksisitas kronis oral
Uji toksisitas kronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul
setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh umur hewan. Uji toksisitas kronis
pada prinsipnya sama dengan uji toksisitas subkronis, tetapi sediaan uji diberikan selama tidak
kurang dari 12 bulan. Tujuan dari uji toksisitas kronis oral adalah untuk mengetahui profil efek
toksik setelah pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu yang panjang, untuk
menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek toksik
(NOAEL). Uji toksisitas kronis harus dirancang sedemikianrupa sehingga dapat diperoleh
informasi toksisitas secara umum meliputi efek neurologi, fisiologi, hematologi, biokimia klinis
dan histopatologi.
d) Uji teratogenisitas
Uji teratogenisitas adalah suatu pengujian untuk memperoleh informasi adanya abnormalitas
fetus yang terjadi karena pemberian sediaan uji selama
masa pembentukan organ fetus (masa organogenesis). Informasi tersebut meliputi abnormalitas
bagian luar fetus (morfologi), jaringan lunak serta
kerangka fetus. Prinsip uji teratogenisitas adalah pemberian sediaan uji dalam
beberapa tingkat dosis pada beberapa kelompok hewan bunting selama paling
sedikit masa organogenesis dari kebuntingan, satu dosis per kelompok. Satu
hari sebelum waktu melahirkan induk dibedah, uterus diambil dan dilakukan
evaluasi terhadap fetus.
e) Uji sensitisasi kulit
Uji sensitisasi kulit adalah suatu pengujian untuk mengidentifikasi suatu zat yang berpotensi
menyebabkan sensitisasi kulit. Prinsip uji sensitisasi kulit adalah hewan uji diinduksi dengan
dan tanpa Freund’s Complete Adjuvant
(FCA) secara injeksi intradermal dan topikal untuk membentuk respon imun,
kemudian dilakukan uji tantang (challenge test). Tingkat dan derajat reaksi
kulit dinilai berdasarkan skala Magnusson dan Kligman.
f) Uji iritasi mata
Uji iritasi mata adalah suatu uji pada hewan uji (kelinci albino) untuk mendeteksi efek toksik
yang muncul setelah pemaparan sediaan uji pada mata.
Prinsip uji iritasi mata adalah sediaan uji dalam dosis tunggal dipaparkan kedalam salah satu
mata pada beberapa hewan uji dan mata yang tidak diberi
perlakuan digunakan sebagai kontrol. Derajat iritasi/korosi dievaluasi dengan
pemberian skor terhadap cedera pada konjungtiva, kornea, dan iris pada interval waktu tertentu.
Tujuan uji iritasi mata adalah untuk memperoleh informasi adanya kemungkinan bahaya yang
timbul pada saat sediaan uji
terpapar pada mata dan membran mukosa mata.
g) Uji iritasi akut dermal
Uji iritasi akut dermal adalah suatu uji pada hewan (kelinci albino) untuk mendeteksi efek toksik
yang muncul setelah pemaparan sediaan uji pada dermal selama 3 menit sampai 4 jam. Prinsip
uji iritasi akut dermal adalah
pemaparan sediaan uji dalam dosis tunggal pada kulit hewan uji dengan area
kulit yang tidak diberi perlakuan berfungsi sebagai kontrol. Derajat iritasi dinilai pada interval
waktu tertentu yaitu pada jam ke 1, 24, 48 dan 72 setelah
pemaparan sediaan uji dan untuk melihat reversibilitas, pengamatan dilanjutkan sampai 14 hari.
Tujuan uji iritasi akut dermal adalah untuk menentukan adanya efek iritasi pada kulit serta untuk
menilai dan mengevaluasi karakteristik suatu zat apabila terpapar pada kulit.
h) Uji iritasi mukosa vagina
Uji iritasi mukosa vagina adalah suatu uji yang digunakan untuk menguji sediaan uji yang
kontak langsung dengan jaringan vagina dan tidak dapat diuji dengan cara lain. Prinsip uji iritasi
mukosa vagina adalah sediaan uji dibuat ekstrak dalam larutan NaCl 0,9% atau minyak zaitun
dan selanjutnya ekstrak dipaparkan kedalam lapisan mukosa vagina hewan uji selama tidak
kurang dari 5 kali pemaparan dengan selang waktu antar pemaparan 24 jam. Selama pemaparan,
jaringan mukosa vagina diamati dan diberi skor terhadap kemungkinan adanya eritema, eksudat
dan udema. Setelah selesai pemaparan hewan uji dikorbankan dan diambil jaringan mukosa
vaginanya untuk dievaluasi secara histopatologi. Tujuan uji iritasi mukosa vagina adalah untuk
mengevaluasi keamanan dari alat-alat kesehatan yang kontak dengan mukosa vagina
i) Uji toksisitas akut dermal
Uji toksisitas akut dermal adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul
dalam waktu singkat setelah pemaparan suatu sediaan uji dalam sekali pemberian melalui rute
dermal. Prinsip uji toksisitas akut dermal adalah beberapa kelompok hewan uji menggunakan
satu jenis kelamin dipapar dengan sediaan uji dengan dosis tertentu, dosis awal dipilih
berdasarkan hasil uji pendahuluan. Selanjutnya dipilih dosis yang memberikan gejala toksisitas
tetapi yang tidak menyebabkan gejala toksik berat atau kematian. Tujuan uji toksisitas akut
dermal adalah untuk mendeteksi toksisitas intrinsik suatu zat, memperoleh informasi bahaya
setelah pemaparan suatu zat melalui kulit secara akut dan untuk memperoleh informasi awal
yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat dosis dan merancang uji toksisitas selanjutnya
serta untuk menetapkan nilai LD50 suatu zat, penentuan penggolongan zat, menetapkan
informasi pada label dan informasi absorbsi pada kulit.
j) Uji toksisitas subkronis dermal
Uji toksisitas subkronis dermal adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang
muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan melalui rute dermal
pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh umur hewan.
Prinsip uji toksisitas subkronis dermal adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan
setiap hari yang dipaparkan melalui kulit pada beberapa kelompok hewan uji. Selama waktu
pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas.
Hewan yang mati selama periode pemberian sediaan uji, bila belum melewati periode rigor
mortis (kaku) segera diotopsi, organ dan jaringan diamati secara makropatologi dan
histopatologi. Pada akhir periode pemberian sediaan uji,
semua hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan
secara makropatologi pada setiap organ maupun jaringan, serta dilakukan
pemeriksaan hematologi, biokimia klinis, histopatologi.
Tujuan uji toksisitas subkronis dermal adalah untuk mendeteksi efek toksik zat yang belum
terdeteksi pada uji toksisitas akut dermal, mendeteksi efek toksik setelah pemaparan sediaan uji
melalui kulit secara berulang dalam jangka waktu tertentu, mempelajari adanya efek kumulatif
dan efek reversibilitas setelah pemaparan sediaan uji melalui kulit secara berulang dalam jangka
waktu tertentu.

b. Klinik
Uji Klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan subjek manusia disertai adanya
intervensi Produk uji, untuk menemukan atau memastikan efek klinik, farmakologik dan/atau
farmakodinamik lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkan, dan/atau
mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dengan tujuan untuk memastikan keamanan
dan/atau efektivitas produk yang diteliti
1) Uji Klinik Obat
- Uji Klinik Fase I
Pada fase ini pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada manusia. Hal yang diteliti
adalah keamanan obat pada sukarelawan sehat. Tujuan pada fase ini adalah menentukan
besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya tidak menimbulkan efek samping serius.
Dosis oral yang diberikan pertama kali pada manusia biasanya 1/50 x No Observed Adverse
Effect Level (NOAEL) dari hewan coba yang paling sensitif terhadap produk ujinya. Untuk
mencari efek toksik yang mungkin terjadi, dilakukan pemeriksaan hematologi, faal hati, urin
rutin dan bila perlu pemeriksaan lain yang lebih spesifik5 . Pada fase ini juga dievaluasi
toleransi, sifat farmakodinamika, farmakokinetika pada subjek yang diberi obat yang diujikan.
Jumlah subjek pada fase ini bervariasi antara 20 - 100 orang, 5,7-10 dengan harapan akan
didapatkan standard deviattion (SD) yang tidak terlalu besar. Bila SD sangat lebar maka
dibutuhkan sampel yang lebih besar lagi.
Pada pengujian obat baru, Uji Klinik fase I untuk obat yang toksik atau obat kanker tidak
dilakukan pada orang sehat, tapi pada penderita kanker atau pasien penderita penyakit sesuai
dengan obat yang akan diujikan. Pada fase ini wajib didampingi oleh spesialis farmakologi
klinik, dan dokter yang kompeten sesuai dengan produk yang diuji (misalnya cardiologist,
oncologist). Informasi yang diperoleh dari Uji Klinik fase I ini diperlukan sebagai dasar untuk
melakukan Uji Klinik fase berikutnya.
- Uji Klinik Fase II
Pada Uji Klinik fase II obat diujikan pada kelompok yang lebih besar (100 - 300 orang/subjek)
untuk menilai bagaimana obat tersebut bekerja dan menilai keamanannya. Pada fase II perlu
pengawasan yang ketat. Umumnya fase II ini dibagi dalam 2 tahap yaitu: IIA dan IIB. Pada fase
IIA tanpa pembanding, sedangkan pada fase IIB perlu pembanding. Pada fase IIA dirancang
untuk menilai dosis yang diperlukan atau berapa dosis obat harus diberikan, sedangkan pada
fase IIB dirancang untuk menilai efikasi atau menilai kemampuan obat tersebut bekerja sesuai
dosis yang diresepkan. Pada pengembangan obat baru, kegagalan umumnya terjadi pada fase II
ini, yaitu didapatkan obat bekerja tidak sesuai seperti yang direncanakan atau ditemukan efek
toksik. Pada fase II ini wajib didampingi oleh spesialis farmakologi klinik, dan dokter spesialis
yang terkait dengan penyakit yang diderita responden / pasien.
- Uji Klinik Fase III
Pada Uji Klinik fase III dlakukan evaluasi secara keseluruhan dari pengobatan yang dilakukan
dan dirancang untuk membandingkan efikasi dari pengobatan baru dengan pengobatan standar.
Jadi fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat baru benar-benar berkhasiat ( sama
dengan Uji Klinik fase IIB ) yaitu dengan membandingkannya dengan obat standar yang sudah
terbukti kemanfaatannya (kontrol positif) dan/atau dengan placebo (kontrol negatif).
Uji Klinik fase III ini dilakukan secara acak dan terkontrol pada kelompok pasien yang besar
jumlahnya (300 - 3000 orang) dan dibandingkan untuk waktu yang lama, serta merupakan uji
yang sulit untuk merancang dan melaksanakannya, terutama pada pengobatan penyakit kronik.
Jumlah sampel yang dibutuhkan pada fase ini dapat dilakukan dengan penghitungan statistik
sesuai tujuan Uji Klinik
- Uji Klinik Fase IV
Uji Klinik fase IV dikenal juga “post marketing surveillance” atau Uji Klinik paska pemasaran,
karena uji ini dilakukan sebagai pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini
bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola efektivitas dan
keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Penelitian pada fase IV merupakan survei
epidemiologi menyangkut efek samping maupun efektivitas obat.
Pada fase IV dapat diamati : 1) Efek samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul setelah
pemakaian obat bertahun–tahun lamanya; 2) Efektivitas obat pada penderita berpenyakit berat
atau berpenyakit ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali
dalam jangka panjang; dan 3) Masalah penggunaan berlebihan, penyalahgunaan, dan lain-lain.
Uji fase IV dapat juga berupa Uji Klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan
efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga datanya menentukan status obat yang
bersangkutan dalam terapi.
2) Uji Klinik Fitofarmaka
Pada dasarnya Uji Klinik fitofarmaka dan Uji Klinik obat konvensional harus menerapkan prinsip
Cara Uji Klinik Yang Baik (CUKB) yang telah dijelaskan diatas , tidak ada perbedaan pesyaratan
bagi kedua uji tersebut. Uji Klinik fitofarmaka dapat dilakukan pada :
- Ramuan empiris
Ramuan empiris adalah ramuan bentuk tunggal ataupun campuran berbasis kearifan lokal dan
asli Indonesia yang telah digunakan secara turun-temurun dan terdokumentasi dalam pustaka
ramuan empiris. Ramuan empiris dapat dibuktikan melalui kajian etnobotani/etnomedisin oleh
ahli antropologi dan dituliskan dalam publikasi ilmiah. Ramuan empiris dapat juga diperoleh
melalui studi etnografi, survei masyarakat, observasi dengan penerapan kaidah klinik terhadap
praktik penyehat tradisional (Hattra) terpilih atau kajian atas catatan pengobatan Hattra, dan
studi epidemiologi lainnya, misalnya Riset Tanaman Obat dan Jamu (RISTOJA). Ketentuan
lain yang harus dipenuhi pada bahan penyusun ramuan, cara pembuatan, bentuk sediaan,
indikasi dan cara penggunaan dan rasionalitas ramuan empiris, dapat dilihat pada Buku
Pedoman Ramuan Empiris.
- Ramuan non empiris
Ramuan non empiris adalah yang tidak terdokumentasi atau bersifat verbal (dari mulut ke
mulut/tersimpan pada diri seseorang) atau ramuan dengan data hasil penelitian klinik terbaru,
menggunakan pendekatan kedokteran modern (evidence based medicine).
Uji Klinik fitofarmaka yang berasal dari ramuan empiris , dilakukan melalui Uji Pra klinik dan
dilanjutkan langsung dengan Uji Klinik fase II. Hal ini berdasarkan bukti empiris penggunaan turun
menurun di masyarakat yang dapat dianggap sebagai bukti bahwa ramuan empiris aman digunakan.
Sementara Uji Klinik fitofarmaka ramuan non-empiris, dilakukan melalui Uji Klinik fase I, dan
dilanjutkan pada Uji Klinik fase II.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan, dalam Uji Klinik fitofarmaka yaitu :
a.) Interaksi antara fitofarmaka dan obat konvensional
b.) Penerapan randomisasi, ketersamaran dan hal-hal yang mempengaruhi.
c.) Antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan selama pengobatan berjalan terkait dengan sifat dasar
fitofarmaka.
d.) Setiap desain Uji Klinik fitofarmaka akan berimplikasi pada tingkatan pembuktian (level of
evidence).
e.) Informasi tentang sediaan fitofarmaka: cara penyiapan sediaan baik dari simplisia atau ekstrak,
posologi atau regimen pengobatan yang digunakan harus dibuat tertulis dalam bentuk brosur
penelitian (investigator brochure).
f.) Persiapan sediaan uji harus oleh apoteker independen, sesuai prinsip cara pembuatan obat
tradisional yang baik (CPOTB), dengan prosedur operasional baku tertulis untuk menjamin
mutu tiap batch, termasuk dalam pengemasan, pelabelan dan pengkodean produk yang diteliti.
g.) Keamanan dan khasiat bahan uji sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan bakunya termasuk yang
digunakan sebagai sediaan Uji Klinik. Beberapa faktor yang mempengaruhi mutu bahan baku,
diklasifikasikan sebagai internal (genetik) dan eksternal (lingkungan) antara lain metoda
koleksi, budidaya, panen, pasca panen, transportasi dan penyimpanan. Faktorfaktor tersebut
merupakan parameter fisika dan kimia, sebagaimana yang tercantum pada Farmakope Herbal
Indonesia (FHI).

Sistem Registrasi Obat

Berdasarkan Sistem Registrasi Obat Tradisional (OT) dan Suplemen Kesehatan (SK) yang dikeluarkan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan, tahapan registrasi dilakukan secara daring melalui situs www.asrot.pom.go.id/asrot.
Pada sistem registrasi OT & SK daring, ada beberapa kategori:
1. Daftar baru high risk
2. Daftar baru low risk
3. Daftar ulang
4. Variasi mayor
5. Variasi minor
6. Khusus ekspor
Seluruh jenis registrasi bersifat paperless melalui penerapan Tanda Tangan Elektronik (TTE) secara
bertahap terkecuali pada registrasi akun perusahaan dan registrasi produk baru high risk. Sistem registrasi OT dan
SK mengalami reformasi menjadi Online Single Submission (OSS) didasari oleh PP No. 24 Tahun 2018,
Permenkes No. 26 tahun 2018, dan Peraturan BPOM No. 26 tahun 2018 yang mengatur pelayanan perizinan
berusaha terkhusus sektor obat dan makanan. Reformasi ini bertujuan untuk percepatan dan peningkatan
penanaman modal dan berusaha sektor obat dan makanan.Tahapan registrasi OT dan SK adalah sebagai berikut:
1. Pemohon login di situs asrot.pom.go.id/asrot kemudian mengisi formulir registrasi dan mengunggah
dokumen registrasi (terkhusus produk lokal) yang terdiri dari:
a. Izin usaha (jika sudah ada)
b. Sertifikat Cara Pembuatan Baik (CPOTB) (jika ada) atau sertifikat CPOTB bertahap
c. NPWP / NIB (Nomor Induk Berusaha)
d. Surat kuasa bermaterai sebagai penanggung jawab akun
2. Pihak BPOM akan menerbitkan SPB pra-registrasi.
3. Pemohon melakukan pembayaran PNPB.
4. Pihak BPOM akan memeriksa kelengkapan dokumen. Apabila dokumen tidak lengkap, maka permohonan
izin edar akan ditolak. Apabila lengkap, maka BPOM akan menerbitkan SPB registrasi.
5. Pemohon melakukan pembayaran PNPB registrasi.
6. BPOM melakukan evaluasi dokumen yang telah diunggah. Apabila dokumen ditolak, maka BPOM akan
mengeluarkan surat penolakan. Apabila dokumen tidak memenuhi syarat karena terdapat data yang kurang,
BPOM mengirimkan surat tambahan data kepada pemohon. Pemohon bisa memasukkan tambahan data pada
dokumen dan akan dilakukan evaluasi kembali oleh BPOM.
7. Apabila dokumen telah memenuhi syarat, akan dikeluarkan izin edar dari obat tradisional yang diajukan.
Setelah pelaksanaan OSS, dalam rangka memastikan bahwa sarana industri yang digunakan oleh pelaku
usaha telah sesuai dengan persyaratan, maka diwajibkan untuk memenuhi sertifikasi CPOTB bertahap sesuai izin
pelaku usaha. Berikut tahapan pemenuhan sertifikasi CPOTB:
1. Pelaku usaha mengajukan sertifikasi CPOTB bertahap kepada BPOM.
2. BPOM melakukan pemeriksaan sarana produksi dan memberikan rekomendasi hasil pemeriksaan.
3. Ditwas OT dan SK melakukan verifikasi terhadap hasil pemeriksaan dan memulai proses penerbitan Surat
Keterangan Pemenuhan Aspek (SKPA) CPOTB dan sertifikat CPOTB.
4. Deputi II akan mengeluarkan SKPA CPOTB.
5. Kepala BPOM akan mengeluarkan sertifikat CPOTB.

Syarat Kemasan Obat dan Aturan Periklanan

• Merk

Sebuah produk obat herbal harus memiliki merk / penamaan. Merk dengan menggunakan salah satu nama bahan
baku produk tetap bisa didaftarkan ke BPOM. Namun akan menjadi masalah ketika merk tersebut akan
dipatenkan ke Dirjen Haki, karena pematenan produk tidak boleh menggunakan suatu nama general, harus
membuat nama/kata baru yang berbeda.

• Ilustrasi

Tambahkan ilustrasi sebagai pemanis. Umumnya BPOM mentolerir penggunaan ilustrasi seperti gambar
tumbuhan dan simbol-simbol yang tidak dilarang (tetap berkaitan dengan khasiat produk herbal). Namun, BPOM
tidak mentolerir ilustrasi dengan menggunakan gambar-gambar seperti : Bagian tubuh manusia, gambar virus /
bakteri
• Khasiat

Untuk mempermudah konsumen melihat & memahami khasiat suatu produk herbal, kadang khasiat dicantumkan
juga di bagian depan kemasan.

• Nomor Registrasi

Nomor registrasi / pendaftaran untuk jenis obat herbal terdiri dari 9 digit dan diawali dengan POM TR. Badan
POM mengeluarkan 1 nomor registrasi untuk 1 item produk.

• Logo Obat Herbal / Jamu

Logo jamu harus dicantumkan! BPOM membuat aturan logo ini harus dicantumkan di bagian kiri atas.
penggunaan warna logo juga tidak bisa dirubah, standard yang digunakan adalah warna hijau tua. BPOM
memiliki buku panduan yang berisikan gambar logo boleh digunakan.
Obat herbal memiliki 3 tingkatan. Pertama adalah Jamu, kedua Obat Herbal Terstandar (OHT), ketiga
Fitofarmaka. OHT dan Fitofarmaka memiliki logo yang berbeda dengan jamu. Kedua level ini adalah level
lanjutan di mana suatu produk obat herbal harus memiliki kriteria-kriteria tertentu. Fitofarmaka memiliki khasiat
yang telah teruji klinis dan bisa disejajarkan dengan obat farmasi.

• Produsen

Produsen obat herbal juga harus dicantumkan di suatu kemasan produk. Hal ini untuk memudahkan konsumen
mengenali reputasi suatu perusahaan dalam memproduksi obat herbal dan mencari info mengenai produsen obat.
Bagi produsen sendiri pencantuman ini penting untuk membangun citra perusahaan dan produknya.

• Komposisi Produk

Sebuah obat herbal mengandung 1 atau beberapa racikan bahan obat. Aturan penulisannya menggunakan nama
latin bahan dan mencantumkan jumlah berat masing-masing bahan.

• Peringatan / Perhatian (optional dari BPOM)

Pencantuman peringatan / perhatian hanya perlu cicantumkan di beberapa jenis produk seperti produk penurun
tekanan darah, pelangsing, diabetes, dan lainnya.

• Netto / Isi

Pencantuman netto diperlukan untuk memberikan info yang berkaitan dengan dosis pemakaian.
• Khasiat Produk (Inti)

Khasiat yang dicantumkan pada suatu kemasan obat herbal harus sama dengan sertifikat yang diberikan oleh
BPOM. Khasiat tidak boleh dilebih-lebihkan/dramatis (contoh : menyembuhkan stroke).

Umumnya, BPOM menggunakan kalimat “membantu mengatasi…”, “secara tradisional digunakan untuk…”,
dan lainnya. Bila ditemukan pencantuman khasiat yang berlebihan pada suatu merk obat tradisional, maka
produk tersebut patut diselidiki.

• Cara Penyimpanan

Obat herbal memiliki standar tertentu dalam hal penyimpanan. Umumnya kalimat yang ditulis adalah, “simpan
di tempat sejuk dan kering serta terhindar dari cahaya matahari langsung”. Hal ini bertujuan agar kandungan
produk tidak mudah kadaluwarsa.

• Dosis

Seperti obat dokter, obat herbal juga memiliki aturan dosis yang dianjurkan. Dosis untuk pengobatan berbeda
dengan pencegahan. Dosis yang berlebihan dalam mengkonsumsi obat herbal juga akan menimbulkan efek
samping.

• Nomor Produksi & Expired Date

Pencantuman kode produksi diperlukan baik oleh produsen maupun konsumen guna mempermudah mengecek
tanggal produksi, ataupun hal lain seperti pengajuan complaint dari konsumen atas ketidakpuasan isi produk.
Tanggal kadaluwarsa harus dicantumkan guna mempermudah konsumen dalam menentukan pilihan produk yang
akan dikonsumsi.

• Logo Halal

Bagi beberapa produsen, logo halal berikut nomornya sangat dipentingkan. Sikap masyarakat Indonesia yang
begitu mementingkan kehalalan suatu produk menjadikan logo halal penting untuk dicantumkan.

Bahan Yang Dilarang Digunakan Dalam OBA

BAHAN YANG DILARANG UNTUK DIGUNAKAN DALAM OBAT TRADISIONAL

A. Tumbuhan
Nama Tumbuhan Bagian yang
No Nama Umum Nama Simplisia
(spesies) Dilarang
1. Abrus precatorius L. Saga Biji Abri Precatorii Semen
2. Aconitum spp. Akonitum Seluruh bagian Aconiti Herba dan Aconiti
Radix
3. Adonis vernalis L. Adonis Seluruh bagian Adonis Vernalidis Herba dan
Adonis Vernalidis Radix
4. Arcangelisia flava (L.) Kayu kuning, akar Kayu Arcangelisiae Flavae Caulis
Merr. kuning
5. Aristolochia spp. Aristolokia Seluruh bagian Aristolochiae Herba dan
Aristolochiae Radix
6. Artemisia spp. Artemisia Daun Artemesiae Folium
7. Atropa belladonna L. Beladona Seluruh bagian Atropae Belladonnae Herba
dan Atropae Belladonnae
Radix
8. Berberis spp. Berberis Batang Berberis Caulis
9. Catharanthus roseus (L.) Tapak dara Seluruh bagian Catharanthi Rosei Herba dan
G.Don Catharanthi Rosei Radix
Syn. Vinca rosea L. Syn. Vincae Roseae Herba
dan Vincae Roseae Radix
10. Chelidonium majus L. Chelandine Seluruh bagian Chelidonii Majusi Herba dan
Chelidonii Majusi Radix
11. Chincona spp. Kina Kulit batang Cinchonae Cortex
12. Citrullus colocynthis (L.) Bitter apple Buah, biji Citrulli Colocynthidis
Schrader Fructus dan Citrulli
Colocynthidis Semen
13. Colchicum autumnale L. Kolkhisi Biji Colchici Autumnalis Semen
14. Convolvulus scammonia L. - Biji, Akar Scammoniae Radix,
Scammoniae Semen
15. Coptis spp. Koptidis Rimpang Coptis Rhizoma
16. Croton tiglium L. Cerakin Biji, Minyak Croton Tiglii Semen dan
Croton Tiglii Oleum
17. Datura spp. Kecubung Seluruh bagian Daturae Herba dan Daturae
Radix
18. Delphinium staphisagria L. - Biji Delphinii Staphisagriae
Semen
19. Digitalis spp. Digitalis Seluruh bagian Digitalis Herba dan Digitalis
Radix
20. Dryopteris filix-max (L.) Filisis Seluruh bagian Dryopteridis Filisis Herba
Schott dan Dryopteridis Filisis
Radix
Nama Tumbuhan Bagian yang
No Nama Umum Nama Simplisia
(spesies) Dilarang
21. Ephedra spp. Efedra Seluruh bagian Ephedrae Herba dan
Ephedrae Radix
22. Euphorbia tirucalli L. Patah tulang Herba Euphorbiae Tirucallii Herba
23. Garcinia hanburyi Hook. f. Getah kuning, Seluruh bagian Garciniae Hanburyii Radix,
Syn. Garcinia morella Gamboge Garciniae Hanburyii Caulis,
Gaertn. Garciniae Hanburyii Folium,
Garciniae Hanburyii Flos,
Garciniae Hanburyii Fructus,
Garciniae Hanburyii Semen
Syn. Garciniae Morellae
Radix,
Garciniae Morellae Caulis,
Garciniae Morellae Folium,
Garciniae Morellae Flos,
Garciniae Morellae Fructus,
Garciniae Morellae Semen
24. Hydrastis canadensis L. Golden seal Akar dan umbi Hydrastis Canadensidis
Radix,
Hydrastis Canadensidis
Rhizoma
25. Hypericum perforatum L St. John’s wort Herba Hyperici Perforati Herba
26. Hyoscyamus niger L. Hiosiami, Bisson Seluruh bagian Hyoscyami Nigeris Herba,
Tobacco, Black Hyoscyami Nigeris Radix
Henbane
27. Justicia gendarussa Burm Gandarussa Seluruh bagian Justiciae gendarussae Folium
f.
28. Lantana camara L. Tembelekan Seluruh bagian Lantanae Camarae Radix,
Lantanae Camarae Herba
29. Lobelia chinensis Lour. Lobelia Cina Seluruh bagian Lobeliae Chinensidis Herba,
Lobeliae Chinensidis Radix
30. Mahonia spp. Mahonia Akar, Kulit Mahoniae Radix,
batang, Rimpang Mahoniae Cortex,
Mahoniae Rhizoma
31. Mitragyna speciosa Kratom Seluruh bagian Mitragynae Speciosae
(Korth.) Havil. Herba,
Syn. Mitragyna stivulosa Mitragynae Speciosae Radix
(DC.) Kuntze.
32. Nerium oleander L. Oleander Seluruh bagian Nerii Oleanderis Herba,
Syn. Nerium indicum Mill Nerii Oleanderis Radix
Syn. Nerii Indici Herba,
Nerii Indici Radix
Nama Tumbuhan Bagian yang
No Nama Umum Nama Simplisia
(spesies) Dilarang
33. Pausinystalia johimbe Yohimbe Kulit Batang Pausinystaliae Johimbe
(K.Schum) Pierre ex Beille Cortex
34. Phellodendron spp. Amur Cork tree Kulit Batang Phellodendronis Cortex
35. Pinnelia ternata (Thumb) - Umbi Pinneliae Tuber
Ten. Ex Breitenbach
40. Piper methysticum G. Kava-kava Seluruh bagian Piperis Methystici Herba
Forst. Daun wati
41. Podophyllum emodi Mandrake Akar dan Daun Podophylli Emodii Folium
Wall.ex. Hook.f. & dan Podophylli Emodii
Thomson Radix
42. Rauvolfia spp. Pulepandak Seluruh Bagian Rauvolfiae Herbadan
Indian Rauvolfiae Radix
snakeroot,
Snakeroot
43. Schoenocaulon officinale Sabadila Biji Schoenocaulonis officinalis
(Schltdl. & Cham.) A. Semen
Gray ex Benth
44. Scilla sinensis Skila Umbi Scillae Bulbus
45. Strophanthus spp. Kombe Gardenia Seluruh Bagian Strophanthi Herba dan
oleander, Strophanthi Radix
Climbing oleander
46. Strychnos spp. Nux vomica, Biji dan Akar Strycni Semen dan Strycni
Ignatius bean, Radix
Phayaa mue
Lek
47. Symphytum officinale Komfrey Daun Symphyti Folium

48. Tinospora crispa (L.) Brotowali Akar Tinosporae Crispae Radix


Miers ex Hook.f. & Thoms

Selain itu, terdapat beberapa tumbuhan yang dilarang untuk digunakan dengan klaim tertentu, antara lain:
No Nama Tumbuhan (Spesies) Nama Simplisia Klaim
1. Angelica sinensis Angelicae Sinensis Radix Pelancar haid, dan sejenisnya
2. Ligusticum chuanxiong Ligustici Rhizoma Pelancar haid, dan sejenisnya
3. Cassia senna L. Cassiae Sennae Folium Menurunkan lemak tubuh atau
Menurunkan Berat Badan
4. Rheum officinale Rhei Officinalis Radix Menurunkan lemak tubuh atau
Menurunkan Berat Badan
B. Hewan
1. Bufo gargarizans Cantor, Bufo melanostictus Schneider, Bufo vulgaris Lour (Samsu,
Kodok Kerok)
2. Bagian dari organ hewan : Glandula parathyreoideae, glandula suprarenalis,
glandula thyreoideae, Glandula pinealis (Pituitary gland), Glandula thyreoidea
(Thymus gland), hypophysis posterior, hypophysis anterior, ovarium, pankreas,
testis, plasenta, hormon.
3. Lytta vesicatoria (Cantharis)
4. Mylabris phalerata Pall
5. Mylabris cichorii Linnaeus

C. Mineral
1. Senyawa Tembaga : Chalcanthite/blue stone/blue vitriol/Terusi/ Tembaga (II) sulfat
pentahidrat
2. Senyawa Timbal
• Litharge/Timbal oksida
• Minium/ Timbal tetraoksida
3. Senyawa Arsen
• Arsen trioksida
• Arsen triklorida
• Orpiment/Arsen Trisulfida
• Realgar
4. Senyawa raksa
• Kalomel/Merkuro klorida
• Sublimat/Merkuri klorida
• Cinnabaris/Sinabar/Merkuri sulfida
5. Sulfur (kecuali untuk obat luar)

D. Senyawa Alkohol
Kecuali etil alkohol kurang dari 1% (untuk membantu kelarutan bahan baku)

Cara Memilih Obat Tradisional dan Pengecekan Obat

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara
turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku dimasyarakat. Obat tradisional dibagi menjadi Jamu, OHT, dan Fitofarmaka yang masing-
masing memiliki tingkat pembuktian yang berbeda. Obat Tradisional yang diedarkan di wilayah
Indonesia WAJIB memiliki Izin Edar yang diberikan oleh Kepala Badan POM. Namun
dikecualikan (tidak wajib memiliki izin edar ) :
1) Obat tradisional yang dibuat oleh Usaha Jamu Racikan dan Usaha Jamu Gendong
2) Simplisia dan sediaan galenik untuk keperluan industri dan keperluan layanan pengobatan
tradisional
3) Obat tradisional yang digunakan untuk penelitian, sampel untuk registrasi dan pameran,
dalam jumlah terbatas dan tidak diperjualbelikan

Dilarang beredar jika obat tradisional mengandung ;


1) Etil Alkohol lebih dari 1 % kecuali dalam bentuk sediaan tinctur yang pemakaian dalam
pengenceran
2) Bahan Kimia Obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat
3) Narkotika dan psikotropika
4) Bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan atau berdasarkan penelitian
membahayakan Kesehatan
5) Obat tradisional dilarang dibuat / beredar dalam bentuk sediaan :
- Intravaginal;
- tetes mata;
- parenteral; dan
- supositoria, kecuali digunakan untuk wasir.

Namun saat ini banyak sekali beredar obat tradisional mengandung BKO (bahan kimia
obat) yang sangat berbahaya bagi kesehatan, cirinya adalah:
- Efek yang ditimbulkan sangat cepat “cespleng”
- Dalam waktu beberapa jam setelah mengkonsunsi sakit timbul Kembali
- Produk diklaim dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit
- Jika dilakukan pengamatan seksama terdapat butiran/ kristal yang merupakan bahan
kimia yang ditambahkan (POM, 2019)

Penandaan obat tradisional yang baik


Setiap obat tradisional wajib mencantumkan penandaan/label yang benar, meliputi:
• Nama Produk.
• Nama dan alamat produsen/importir.
• Nomor pendaftaran/nomor izin edar.
• Nomor Bets/kode produksi.
• Tanggal Kedaluwarsa.
• Netto.
• Komposisi.
• Peringatan/Perhatian.
• Cara Penyimpanan.
• Kegunaan dan cara penggunaan dalam BahasaIndonesia.
Pencegahan untuk menghindari bahaya penggunaan Obat Tradisional
• Gunakan obat tradisional yang sudah memiliki nomer pendaftaran BPOM.
• Jangan gunakan obat tradisional bersama dengan obat kimia (resep dokter).
• Jika meminum obat tradisional menimbulkan efek yang cepat, patut dicurigai ada
penambahan bahan kimia obat yang memang dilarang penggunaanya dalam obat
tradisional.
• Selalu periksa tanggal Kedaluwarsa.
• Kunjungi website Badan POM (www.pom.go.id) untuk mengetahui obat tradisional yang
mengandung bahan kimia obat pada bagian “public warning”.
• Perhatikan informasi “Peringatan/Perhatian”. Jangan konsumsi obat tradisional jika ada
efek samping yang rentan dengan kondisi kesehatan anda.
• Baca aturan pakai sebelum konsumsi obat. (POM, 2015)
Kesimpulan:
- Obat tradisional mengandung Bahan Kimia Obat merupakan ancaman bagi kesehatan
masyarakat, masyarakat dapat menelusuri obat tradisional yang akan disonsumsinya
dengan aplikasi Cek BPOM atau aplikasi BPOM public warning dari smart phone
android.
- Masyarakat harus pandai memilih obat tradisional yang aman dengan slogan Cek
KLIK (Cek Kemasan, Label, Ijin Edar, dan Kadaluarsanya)
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Pada pembahasan laporan kelompok dkk kami, kelompok kami dapat menyimpulkan
beberapa hal yaitu : Obat Bahan Alam Indonesia, obat bahan alam Indonesia dikelompokan
menjadi 3 jenis berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian
khasiat: Jamu Jamu atau obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan berupa tumbuhan, unsur
hewani, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan-bahan tersebut. Suatu ramuan
bahan alam dapat digolongkan sebagai jamu jika memenuhi beberapa kriteria seperti pembuktian
khasiat berdasarkan data empiris (pembuktian berdasarkan pengalaman turun temurun), aman dan
memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh BPOM.

3.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan adalah seluruh mahasiswa fakultas kedokteran
mempelajari modul ini karena obat bahan alam adalah obat tradisonal yang banyak manfaatnya
manfaat dari obat herbal tergantung dari apa jenis tumbuhannya, karena kandungan tiap jenis
tumbuhan berbeda. Salah satu tumbuhan memiliki kandungan yang mirip tetapi efeknya yang
sangat berbedaadalah manggis. Pada tanaman ini terdapat senyawa yang bernama mangosteen,
dengan sedikit perbedaan struktur dapat memiliki efek berbeda tergantung jenis senyawa apa
yang dominan.
DAFTAR PUSTAKA
Bunga Rampai uji klinik. Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
2019.

Pedoman uji toksisitas nonklinik secara in vivo. Perka BPOM no. 7 Tahun 2014.

Suryana.2011. Penggolongan Obat Tradisional. http:// penggolongan-obat-tradisional.html//


akses 13 oktober 2011

Badan POM. (2015). Materi Edukasi tentang Peduli Obat dan Pangan Aman. GNPOPA.

Badan POM. (2019). Cara Cerdas Memilih Obat Tradisional yang Aman. Bandar Lampung.

Anda mungkin juga menyukai