Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang memiliki


karakteristik tanda – tanda klinis parkinsonisme, seperti tremor saat istirahat, rigiditas,
ataksia, bradikinesia, dan instabilitas postural.1 Penyakit ini memiliki dimensi gejala
yang sangat luas sehingga baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
kualitas hidup penderita maupun keluarga. Pertama kali ditemukan oleh seorang
dokter inggris yang bernama James Parkinson pada tahun 1817. Penyakit ini
merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami ganguan pergerakan.2
Penyakit parkinson dikenal sebagai salah satu penyakit neurologis tersering,
mempengaruhi sekitar 1 % individu berusia lebih dari 60 tahun. Insidens penyakit
parkinson adalah 5 – 21 kasus per 100.000 populasi per tahun dan prevalensinya
adalah sekitar 120 kasus per 100.000 populasi. Di Indonesia sendiri, dengan jumlah
penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000 penderita.1 Rata-
rata usia penderita di atas 50 tahun dengan rentang usia-sesuai dengan penelitian yang
dilakukan di beberapa rumah sakit di Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85 tahun. Angka
kejadian penyakit ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan berdasarkan
penelitian yang dilakukan terhadap sekumpulan penduduk maka dapat diperkirakan
dalam beberapa dekade ke depan, jumlah penyakit ini akan meningkat. 2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Parkinsonisme merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari tremor, rigiditas,
bradikinesia dan instabilitas postural akibat penurunan kadar dopamine dengan
berbagai macam penyebabnya. Penyakit parkinson merupakan salah sayu kelainan
gangguan gerak neurodegeneratif yang bersifat progresif ditandai dengan
parkinsonisme. Penyakit Parkinson ditandai dengan gambaran patologis berupa
degenerasi neuron disertai adanyanya badan Lewy (Lewy bodies) pada substansia
nigra pars kompakta.3

2.2 Epidemiologi
Penyakit Parkinson cukup sering ditemukan, mengenai 1-2% populasi berusia lebih
dari 60 tahun, tanpa adanya bias jenis kelamin yang signifikan. Distribusi ditemukan
di seluruh dunia, walaupun tampaknya lebih sering terjadi di Eropa dan Amerika
Utara.4

2.3 Anatomi Ganglia Basal


Ganglia basal merupakan sekelompok nukleus subkortikal yang terdiri dari
neostriatum (nukleus kaudatus dan putamen), striatum ventral, globus palidus segmen
interna dan eksterna (Gpi, Gpe), nukleus subtalamikus (subthalamic nucleus/ STN)
dan substansia nigra pars retikulata dan pars kompakta (SNr, SNc). Ganglia basal
merupakan salah satu bagian dari sirkuit kortikal-subkortikal yang lebih besar, yang
berasal dari seluruh korteks dan berkaitan dengan ganglia basal dan talamus
(Gambar1).3
Sirkuit ganglia basal-talamokortikal tersusun dalam suatu jaras fungsional,
secara garis besar dibagi menjadi sirkuit motorik, asosiatif, dan limbik yang bekerja
secara independen satu sama lain (Gambar 2). Striatum dan STN merupakan titik
masuk utama bagi input yang menuju ke ganglia basal. Striatum menerima input dari
korteks dan batang otak. Dari nukleus tersebut, informasi diteruskan melalui berbagai
jaras dan masuk ke nukleus keluaran utama yaitu Gpi dan SNr. Keluaran ganglia
basal dari Gpi dan SNr akan diteruskan menuju ke talamus serta batang otak
(kolikulus superior, nukleus pedunkulopontin dan parvocellular reticular formation).3

2
Gambar 1. Anatomi Ganglia Basal

Korteks

Ganglia Basal
Striatum Talamus

GPe SNc

STN Gpi/SNr

Batang otak
Kolikulus superior, pedunculopontine nucleus
(PPN), parvocellular reticular formation

Gambar 2. Hubungan Anatomi Ganglia Basal dengan Korteks, Talamus dan


Batang Otak3
Gpe: globus palidus eksternus; SNc: substansia nigra pars kompakta; STN : subthalamicus
nucleus; Gpi : globus palidus internus; SNr: substansia nigra pars retikulata

3
2.4 Etiologi5
a Idiopatik
Variasi parkinsonisme yang paling umum terjadi tanpa penyebab yang jelas.
bentuk idiopatik ini disebut penyakit Parkinson atau paralysis agitans ketika tidak
ada gambaran atipikal Fase praklinis meluas kembali selama beberapa tahun
sebelum perkembangan defisit motorik sekarang diakui, di mana hyposmia,
sembelit, kecemasan, depresi, dan gangguan perilaku tidur rapid-eye-movement
(REM) mungkin hadir. Ini penting untuk dikenali dalam studi yang mencari
biomarker prediktif dan dalam upaya mengidentifikasi faktor-faktor pelindung.

b Ensefalitis Lethargica
Pada abad ke-20, parkinsonisme sering berkembang pada pasien dengan riwayat
ensefalitis von Economo. Karena jenis infeksi ini sekarang tidak ditemukan, kasus
parkinsonisme postencephalitic menjadi semakin langka.
c Parkinsonisme yang Dipicu oleh Obat atau Racun
 Obat terapeutik — Banyak obat, seperti fenotoksia, butyrophenones,
metoclopramide, reserpin, dan tetrabenazine, dapat menyebabkan sindrom
parkinsonian reversibel (lihat nanti). Hal ini penting untuk dikenali karena
biasanya reversibel dengan menarik obat yang menyinggung, meskipun
gejala dan tanda-tanda, mungkin butuh berbulan-bulan untuk diselesaikan.
 Zat beracun — Racun lingkungan seperti debu mangan atau karbon
disulfida dapat menyebabkan parkinisme; mangan yang digunakan dalam
pembuatan rumah dari methcathinone tampaknya bertanggung jawab
untuk parkinsonisme pada pengguna intravena stimulasi ilegal ini.
Gangguan ini juga dapat muncul sebagai sekuel dari keracunan karbon
monoksida yang parah atau paparan asap selama pengelasan. Studi
eksperimental menunjukkan bahwa paparan pestisida terkait dengan
perkembangan parkinson juga.
 MPTP (1-metil-4-fenil-1,2,5,6-tetrahidropiridin) — Sebuah bentuk
parkinsonisme yang diinduksi obat telah dideskripsikan pada individu
yang mensintesis dan mengatur sendiri analog meperidin, MPTP.
Senyawa ini dimetabolisme menjadi toksin yang secara selektif
menghancurkan neuron dopaminergik dalam substansia nigra dan neuron

4
adrenergik di lokus ceruleus dan menginduksi bentuk parkinsonisme yang
parah pada manusia dan pada harga manusiawi. Kemampuan obat ini
untuk mereproduksi fitur neurokimia, patologis, dan klinis penyakit
Parkinson menunjukkan bahwa racun lingkungan dapat bertanggung
jawab untuk gangguan idiopatik. Parkinsonisme yang diinduksi MPTP
telah digunakan sebagai model untuk membantu dalam pengembangan
obat baru untuk pengobatan penyakit ini.
d Parkinsonisme Vaskular
Infark materi putih subkortikal multipel dapat menyebabkan gejala dan tanda yang
menunjukkan parkinsonisme, biasanya disertai dengan refleks tendon yang cepat
dan respons plantar ekstensor. Tremor sering relatif tidak mencolok dan, pada
beberapa pasien, kelainan gaya berjalan sangat jelas ("parkinsonisme tubuh bagian
bawah"). Temuan MRI membantu untuk menyarankan atau mendukung diagnosis,
dan manajemen difokuskan pada pencegahan stroke. Respons terhadap
pengobatan antiparkarin biasanya mengecewakan.
e Parkinsonisme pasca-trauma
Petinju dan mereka yang terlibat dalam olahraga tertentu lainnya, seperti sepak
bola, dapat mengembangkan sindrom demensia (dementia pugilistica), gangguan
perilaku dan kejiwaan, parankinsonisme, dan defisit piramidal dan serebelar dari
trauma kepala berulang yang menyebabkan ensefalopati traumatis kronis. Tidak
ada perawatan yang memuaskan.
f Parkinsonisme Keluarga & Genetik
Jarang, parkinsonisme terjadi berdasarkan keluarga. Parkinsonisme dominan
autosomal dapat terjadi akibat mutasi salah satu dari beberapa gen, termasuk -
sinuklein (SNCA), pengulangan kinase 2 (LRRK2) yang kaya leusin, dan
ubiquitin carboxyl-terminal esterase L1 (UCHL1) (Tabel 11-6). Mutasi pada
parkin (PARK2) dan DJ1 menyebabkan onset dini, resesif autosomal, dan
parkinsonisme onset juvenile sporadis. Beberapa gen lain atau daerah kromosom
telah terlibat dalam bentuk keluarga penyakit atau sebagai faktor kerentanan,
termasuk gen beta glukosidase (GBA), kekurangan enzim dalam gangguan
penyimpanan lisosomal penyakit penyimpanan Gaucher.

5
g Parkinsonisme Terkait dengan Penyakit Neurologis Lainnya
Parkinsonisme yang terjadi sehubungan dengan gejala dan tanda-tanda gangguan
neurologis lainnya dipertimbangkan secara singkat pada bagian selanjutnya
tentang diagnosis banding.

2.5 Patofisiologi3
Patofisiologi utama yang menyebabkan gejala motorik kardinal pada PP, khususnya
bradikinesia, dikaitkan dengan disfungsi sirkuit motorik yang menghubungkan
korteks prefrontal, ganglia basal dan talamus.3
Berdasarkan sirkuit motorik ganglia basal yang diajukan dan dikembangkan
oleh Alexander dkk, hubungan antara striatum sebagai titik masuk utama dan Gpi/SNr
sebagai titik keluaran utama dari ganglia basal tersusun menjadi jaras langsung
(direct) berupa jaras monosinaptik GABA-ergik inhibitor dan jaras tidak langsung
(indirect) yang mencangkup Gpe dan STN. Striatum memiliki peran utama dalam
memproses informasi sensorimotor dan meneruskan ke Gpi. Selanjutnya, stimulus
akan diteruskan melalui proyeksi GABAergik yang bersifat inhibitorik menuju
segmen motorik talamus anterior ventral, yang akan meneruskan stimulus melalui
jaras glutamaergik menuju korteks dan berperan dalam proses perencanaan dan
gerakan motorik (Gambar 3a). Sirkuir dikendalikan dan dimodulasi oleh proyeksi
dopamin nigrostriatal.3
Pada PP terjadi neurodegenerasi substansia nigra pars kompakta, input
dopaminergik menuju striatum akan menurun menyebabkan penurunan eksitatorik
dopaminergik pada reseptor D1 dan input dopaminergik inhibitor pada reseptor D2.
Adanya defisiensi dopamin dan kelainan patologi pada reseptor dopamin di striatum
akan menyebabkan perubahan pada dua jaras keluaran striatopalidal utama yang
menuju Gpi secara monosinaptik melalui jaras langsung atau melewati proyeksi ke
Gpe melalui jaras tidak langsung.3
Hasil akhir dari disfungsi input dopaminergik dari kedua neuron striatum
tersebut adalah peningkatan aktivitas Gpi melalui jalur langsung dan tidak langsung,
sehingga memberikan efek inhibisi ke talamus dan korteks, terjadi disfungsi inisiasi,
keceptan dan amplitudo gerak (Gambar 3b). efek serupa juga dapat disebabkan oleh
adanya penurunan aktivitas palidum, talamus bagian motorik atau proyeksi
talamokortikal. 3

6
Gambar 3. Sirkuit Motorik Ganglia basal pada keadaan normal (A) dan
Penyakit Parkinson (B)6

2.6 Patologi3
Penyakit Parkinson terutama mengenai neuron dopaminergik yang berproyeksi dari
substansia nigra otak tengah sampai striatum ganglia basalis (nukleus kaudatus dan
putamen). Secara makroskopis, didapatkan atrofi substansia nigra pada penyakit
Parkinson tahap lanjut, yang dikenali dari hilangnya pigmentasi melanin pada regio
ini. Secara mikroskopis, didapatkan kerusakan berat neuron pada substansia nigra,
dan neuron yang tersisa seringkali mengandung badan inklusi intrasel, yaitu badan
Lewy (Lewy bodies). Pada penyakit Parkinson, protein terbanyak yang menyusun
badan Lewy adalah -sinuklein. Protein ini mengalami agregasi dan membentuk
inklusi intraseluler di dalam badan sel (badan Lewy) dan pada prosesus neuron (Lewy
neurites). Brak dkk mengajukan teori progresifitas penyakit Parkinson berdasarkan
distribusi topografi -sinuklei. Pada proses ini, kerusakan dimulai pada sistem saraf
tepi dan berkembang mengenai sistem saraf pusat secara progresif, dari arah kaudal
menuju rostral. Progresifitas penyakit Parkinson menurut Braak (Braak Staging)
dibagi menjadi 6 tahap (Gambar 5), yaitu :
 Tahap 1 : melibatkan sistem saraf perifer (neuron autonomik), sistem olfaktori
(bulbus olfaktorius, nukleus olfaktorius), medula oblongata (nukleus dorsal
motor vagal dan nervus glosofaringeus)

7
 Tahap 2 : melibatkan pons (locus coeruleus, magnocellular portion of
reticular formation, nukleus raphe posterior, substansia abu-abu medula
spinalis)
 Tahap 3 : melibatkan pons (nukleus pedunkulopontin), midbrain (substansia
nigra pars kompakta), basal forebrain (nukkleus magnoselular termasuk
nukleus basalis Meynert), sistem limbik (sub-nukleus sentral amigdala)
 Tahap 4 : melibatkan sistem limbik (korteks asesorius dan nukleus basolateral
amigdala, nukleus intestisial stria terminalis, klaustrum ventral), talamus
(nukleus intralaminar), korteks temporal (mesokorteks temporal anteromedial,
region CA2 hipokampus.
 Tahap 5 dan 6 : melibatkan regio korteks multipel (korteks insula, area korteks
asosiasi, area korteks primer.
Pada tahap 1 dan 2 berkaitan dengan onset gejala premotorik, tahap 3 merupakan
tahap munculnya gejala motorik akibat defisiensi dopamin nigostriatal, dan tahap 4-6
dapat muncul dengan gejala non-motorik pada tahap lanjut.3

8
Gambar 4. Patologi Parkinson7

Gambar 5. Tahap Patologi pada Penyakit Parkinson (Braak Staging)8

9
2.7 Gejala dan Tanda Klinis3
2.7.1 Manifestasi Motorik 3
Gejala motorik utama dari PP adalah bradikinesia, rigiditas , tremor dan instabilitas
postural
1. Tremor3
Merupakan salah satu gambaran khas PP. Nmaun 30% pasien dapat tidak
mengeluhkan tremor pada awal gejala dan sekitar 25% kasus tanpa tremor
selama perjalanan penyakit. Derajat keparahan tremor tidak dikaitkan dengan
progresivitas penyakit dan tidak berhubungan dengan derajat keparahan defisit
dopaminergik di striatum .
Tremor seringkali terjadi pada ekstremitas, lengan, lebih sering
dibandingkan dengan tungkai. Pada awal penyakit, tremor bersifat unilateral,
kemudian seiring perjalanan penyakit, terjadi pada ekstremitas kontralateral.
Hal ini juga dapat terjadi secara intermiten pada rahang, bibir dan lidah.
Tremor kepala biasanya merupakan perluasan dari tremor yang melibatkan
badan dan ekstremitas.
Tremor sebagian besar terjadi pada bagian distal dan lebih jelas pada
jari-jari tangan atau kaki. Gerakan berupa fleksi ekstensi yang menibatkan jari-
jari atau pronasi-supinasi pergelangan tabfab yang disebut “pill-rolling
tremor” meskipun tanpa komponen gerakan rotatoar seperti melakukan pill-
rolling. Tremor mencapai amplitudo maksimal pada saat istirahat, sehingga
dikenal sebagai tremor istirahat atau resting tremor. Pada otot proksimal,
tremol lebih jelas pada saat mempertahankan postur, seperti pada saat sedang
duduk.
Tremor parkinson klasik memiliki frekunsi 4-6 Hz, bersifat intermiten,
seringkali dicetuskan ketika pasien dilihat oleh orang lain, serta dipengaruhi
emosi atau stres. Tremor akan berkurang dan menghilang saat melakukan
gerakan bertujuan atau mempertahankan postur tertentu. Efek ini hanya
bertahan selama beberapa detik, kemudian muncul kembali.
2. Rigiditas3
Merupakan peningkatan tonus otot seluruh lingkup gerak sendi (range
movement) dan tidak bergantung dari kecepatan otot saat digerakkan. Rigiditas
dapat ditemkan pada leher, badan, ekstremitas dalam keadaan relaksasi.
Pemeriksaan pergelangan tangan dengan gerakan fleksi-ekstensi merupakan

10
salah satu cara deteksi adanya rigiditas roda gigi (cogwheel) dan dapat
dilakukan juga pada sendi siku.
Rigiditas dapat mempengaruhi postur pasien, fleksi pada sebagian
besar sendi, termasuk tulang belakang dan membentuk postur simian (simian
posture), suatu postur yang khas pada PP. Bentuk ekstrim dari gangguan
postur ini dikenal sebagai comptocormia. Abnormalitas postur dapat
mempengaruhi ekstremitas bagian distal berupa ekstensi jari-jari dan fleksi
dari sendi metakarofalangeal dan dorsifleksi ibu jari kaki (striatal hand atau
striatal toe)
Mengangkat salah satu lengan atau menggenggam salah satu tangan
dapat menyebabkan rigiditas semakin jelas pada ekstremitas kontralateral
(manuver Froment) . Tremor yang terus menerus dapat menyulitkan pasien
untuk mengalami relaksasi dan menyulitkan pemeriksa untuk menemukan
rigiditas.
3. Akinesia3
Akinesia merupakan salah satu gejala yang sangat mempengaruhi kualitas
hidup pasien, karena gerakan volunter pasien menjadi lambat. Pasien
mengalami kesulitan dalam melakukan inisiasi gerakan, mempertahankan
gerakan dan mengubah berbagai pola gerakan motorik. Pada awal perjalanan
penyakit, akinesia terjadi unilateral dan seringkali bersifat ringan. Pada tahap
lanjut, akinesia terjadi pada kedua ekstremitas dan bertambah berat. Derajat
keparahan ini tidak berhubungan dengan derajat keparahan tremor dan
rigiditas. Akinesia dapat ditemukan pada inspeksi secara umum. Pasien duduk
diam dengan ekspresi wajah minimal seperti topeng (facial amimia atau
“masked face”). Gestur, komunikasi dan gerakan pasien juga berkurang,
sehingga menyebabkan adanya halangan antara pasien, keluarga dan teman-
temannya.
Akinesia dapat dinilai dengan manual agility test yang seringkali
abnormal, yaitu tangan pasoen yang cenderung melambat dan mengalami
penurunan amplitudo gerakan secara progresif (early fatiguing) atau
terhentinya gerakan atau terputus-putus (freezing). Pemeriksaan ini berupa
gerakanseperti bermain piano dengan cepat. Pemeriksaan akinesia lain dapat
dilakukan dengan repetetive tapping antara ibu jari dan jari telunjuk, atau

11
hand movement dengan membuka dan menutup tangan, serta rapid alternating
movement dengan pronasi dan supinasi secara bergantian.
Pasien juga memiliki kesulitan untuk melakukan dua gerakana dalam
waktu yang sama. Sebagai contoh, ketika pasien hendak menyambut tamu
yang datang, pasien dapat bangkit dari kursi dan berdiri secara perlahan
namun ketika hendak mengankat lengan untuk bersalaman, pasien akan jatuh
terduduk kembali.
Terdapat pula gangguan dalam menulis, huruf menjadi kecil-kecil
(mikrografia). Pada saat awal menulis bentuknya masih normal, namun
semakin lama akan semakin mengecil. Pada saat menggambar spiral, pasien
akan kehilangan kelancaran, yaitu mrnggambar secara perlahan dengan ukuran
spiral yang menjadi kecil disertai tremor, sehingga garis yang dibentuk juga
tidak mulus
4. Instabilitas Postural 3
Pasien dapat mengalami kesulitan saat bangkit dari kursi. Posisinya cenderung
membungkuk kedepan untuk meletakkan pusat gravitasi di atas kaki dan
seringkali harus dibantu menggunakan lengan. Hal ini dicoba lakukan
beberapa kali hingga berhasil berdiri dan seringkali terjatuh.
Pada tahap awal, dapat ditemui gangguan cara berjalan berupa
berkurangnya ayunan lengan. Tahap selanjutnya panjang langkah akan
berkurang dan kaki tidak dapat diangkat secara normal pada saat melangkah,
sesuai dengan gambaran shuffling gait. Pasien dengan penyakit parkinson
dapat memodulasi frekuensi langkah dan meningkatkan irama jalan, namun
tetap berjalan lebih lambat dibandingkan normal karena langkahnya lebih
kecil. Sesekali langkah-langkah pasien juga semakin cepat (festination),
bahkan dapat berlari tanpa bisa ditahan sampai ada halangan di depan pasien.
Pasien juga cenderung jatuh ke depan (propulsi) maupun ke belakang
(retropulsi)
Pada awal tahap penyakit, postur bisa normal. Seiring perjalanan
penyakit, postur akan mengalami perubahan, sehingga leher cenderung
mengalami fleksi dan kifosis di daerah torakal. Bahu akan mengalami aduksi.
Siku, pergelangan tangan dan jari akan semifleksi. Sendi panggul dan lutut
akan tertekuk secara parsial. Berjalan dan khususnya berjalan memutar
menjadi semakin sulit dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap jatuh.

12
Insidens jatuh pada penyakit Parkinson meningkat seiring dengan durasi
penyakit. Dalam jangka waktu 5 tahun, individu dengan parkinsonisme
mengalamai cedera karena jatuh 1,3 kali lipat dibandingkan dengan tanpa
parkinsonisme.

2.7.2 Manifestasi Nonmotorik 3


Berdasarkan studi PRIIAMO (PaRkinson And nonMotor symptOms) yang
melibatkan 1072 pasien dengan menggunakan kuesioner, 98,6% pasien memiliki
setidaknya satu gejala motorik, terutama gejala psikiatri, sensoris, atau gangguan tidur
dan setiap pasien memiliki rerata delapan gejala motorik. Studi lainnya yang
membandingkan dengan subjek individu sehat menggunakan Nonmotor Symptom
Questionnaire, diperoleh bahwa pasien PP memiliki gejala nonmotor yang lebih
banyak, berupa hipersalivasi, mudah lupa, sulit menahan berkemih, hiposmia dan
konstipasi.
Gejala nonmotorik memiliki spektrum yang luas dan mencakup 4 ranah
(domain) yakni : 1) gangguan autonom, 2) gangguan tidur, 3) neuropsikiatrik, dan 4)
gangguan sensoris (Tabel 1)
Tabel 1. Empat Ranah Gejala Nonmotorik pada Penyakit Parkinson3
Domain Nonmotorik Gejala Nonmotorik
Gangguan autonom Saliva menetes, disfagia, mual, konstipasi, urinary
frequency and urgency, nokturia, urinary voiding,
disfungsi seksual, hipotensi ortostatik, supine
hypertension (recumbent), keringat berlebihan.
Gangguan tidur Excessive daytime sleepiness, vivid dreams/REM
behavioral disoreder (RBD), insomnia, sindrom restless
legs.
Gangguan neuropsikiatri Gangguan kognitif, gangguan mood, apatis,
anhendonia,psikosis, halusinasi, gangguan kompulsif-
impulsif.
Gangguan sensoris dan Gangguan olfaktori, visual, auditorik dan nyeri, fatig
gejala nonmotorik lain
Gejala nonmotorik dapat terjadi pada setiap tahap dari perjalanan klinis penyakit
Parkinson yang masing-masing memiliki pola onset dan progresifitas tertentu. Oleh

13
karena itu dapat ditemukan kecenderungan gejala nonmotorik lebih sering dijumpai
pada: 1) fase premotor, sebelum munculnya gejala motorik; 2) stadium awal penyakit,
dan 3) stadium lanjut penyakit. Gejala nonmotorik yang sering dijumpai pada fase
premotor adalah rapid eye movement (REM) sleep behavior disorder (RBD),
konstipasi dan hiposmia.
Pada studi multisenter di Spanyol dan Austria, The Onset of Nonmotor
Symptoms in Parkinson’s Disease (The ONSET PD Study) diperoleh interval waktu
yang berbeda dari munculnya gejala nonmotorik hingga terjadi gejala motorik
penyakit Parkinson, yaitu dapat mencapai lebih dari 10 tahun. Gejala nonmotorik
yang sering dijumpai pada stadium awal adalah disautonomia, gangguan tidur, dan
gangguan sensoris, sedangkan psikosis dan demensia umumnya pada stadium lanjut.
Depresi memiliki kurva bimodal, yakni terdapat dua onset tersering pada stadium
awal dan stadium lanjut, dengan periode normal diantaranya.

2.8 Diagnosis
2.8.1 Anamnesis9
Gejala awal penyakit Parkinson sangat ringan dan perjalanan penyakitnya
berlangsung perlahan-lahan, sehinga sering terlepas dari perhatian. Biasanya hanya
mengeluhkan perasaan kurang sehat atau sedikit murung atau hanya sedikit gemetar.
Seiring waktu gejala menjadi lebih nyata sehingga pasien berobat ke dokter dalam
kondisi yang sedikit lebih parah. Anamnesis yang mengarahkan pada Penyakit
Parkinson antara lain :
 Awitan keluhan atau gejala tidak diketahui dengan pasti
 Perjalanan gejala semakin memberat
 Gejala dimulai pada satu sisi anggota gerak, tetapi seiring waktu akan
mengenai kedua sisi atau batang tubuh.
 Jenis gejala yang mungkin timbul :
1. Merasakan tubuh kaku dan berat
2. Gerakan lebih kaku dan lambat
3. Tulisan tangan mengalami mengecil dan tidak terbaca
4. Ayunan lengan berkurang saat berjalan
5. Kaki diseret saat berjalan
6. Suara bicara pelan dan sulit dimengerti

14
7. Tangan atau kaki gemetar
8. Merasa goyah saat berdiri
9. Merasakan kurang bergairah
10. Berkurangnya fungsi penghidu/penciuman
11. Keluar air liur berlebihan
 Faktor yang memperingan gejala : istirahat, tidur, suasana tenang
 Faktor yang memperberat gejala : kecemasan, kurang istirahat
 Riwayat penggunaan obat antiparkinson dan respon terhadap pengobatan.
 Riwayat stroke, trauma kepala, infeksi otak, tumor otak, gangguan
keseimbangan dan konsumsi obat-obat tertentu.

2.8.2 Pemeriksaan Fisik9


a Pengamatan saat pasien duduk
 Tremor saat istirahat, terlihat di tangan atau tungkai bawah.
 Ekspresi wajah seperti topeng/face mask (kedipan mata dan ekspresi wajah
menjadi datar)
 Postur tubuh membungkuk
 Tremor dapat ditemukan di anggota tubuh lain (meskipun relatif jarang)
misalnya kepala, rahang bawah, lidah, leher atau kaki.
b Pemeriksaan bradikinesia
 Gerakan tangan mengepal-membuka-mengepal dan seterusnya berulang-
ulang, makin lama makin berkurang amplitudo dan kecepatannya.
 Gerakkan mempertemukan jari telunjuk-ibu jari (pada satu tangan) secara
berulang-ulang makin lama makin berkurang amplitudo dan kecepatannya.
 Tulisan tangan makin mengecil
 Kurang trampil melakukan gerakan motorik halus, seperti membuka kancing
baju.
 Ketika berbicara suara makin lama makin halus dan artikulasi menjadi tidak
jelas, kadang-kadang seperti gagap.
c Pengamatan saat pasien berjalan
 Kesulitan / tampak ragu-ragu saat mulai berjalan (ihesitancy), berjalan
dengan kaki diseret (shuffling), jalan makin lama makin cepat (festination)
 Ayunan lengan berkurang baik pada 1 sisi anggota gerak maupun keduanya.

15
d Ditemukan rigiditas pada pemeriksaan tonus otot: gerakan secara pasif oleh
pemeriksa, dengan melakukan fleksi-ekstensi secara berurutan, maka akan
dirasakan tonus otot seperti ‘roda gigi’. Biasanya dikerjakan di persendian
siku dan lengan.
e Pemeriksaan instabilitas postural / tes retropulsi : pasien ditarik dari belakang
pada kedua bahunya untuk melihat apakah pasien tetap mampu
mempertahankan posisi tegak.
f Pemeriksaan fisik lain untuk menemukan tanda negatif dari penyakit
Parkinson:

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang4


1. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Untuk menyingkirkan diagnosis banding lain, seperti parkinsonisme
vaskular, Penyakit Wilson dan sindrom parkinsonisme atipikal.
2. Positron Emission Tomography (PET) dan Single-Photon Emission
Computed Tomography (SPECT)
PET dan SPECT dapat membantu proses visualisasi bagian pre dan
pascasinaps dari proyeksi nigrostriatal serta mendapatkan gambaran
semikuantitatif jaras-jaras tersebut. Hal ini digunakan untuk membedakan
PP dengan sindrom parkinsonisme atipikal lain atau tremor esensial.
Defisit dopaminergik dapat diidentifikasi melalui dopamine transporter
single-photon emision computed tomography/DaT-SPECT yang
mengukur penghantar dopamin presinaps di sinaps dopaminergik
striatum.
3. Ultrasonografii Transkranial
Untuk mengkonfirmasi gambaran hiperekoik di substansia nigra pada
hampir dua pertiga pasien PP dan dapat terdeteksi pada tahap awal
penyakit. namun hasil tersebut juga dapat ditemukan pada 10% dari orang
normal, sehingga pemeriksaan ini hanya bersifat suportif dalam
penegakan diagnosis.

16
2.8.4 Kriteria Diagnosis
Terdapat beberapa kriteria diganosis yang dapat digunakan, diantaranya sesuai
dengan United Kingdom Parkinson’s Disease Society Brain Bank (Tabel 2). penilaian
yang juga sebaiknya dilakukan adalah stadium penyakit berdasarkan klasifikasi
modified Hoehn and Yahr (Tabel 3)

Tabel 2. United Kingdom Parkinson’s Disease Society Brain Bank10

Tabel 3. Stadium Penyakit Parkinson Berdasarkan Modified Hoehn and Yahr3


Stadium Keterangan
Stadium 0 Tidak ada gejala dan tanda penyakit
Stadium 1 Gejala dan tanda yang ringan pada satu sisi yang dapat dikenali oleh

17
orang terdekat (teman), terdapat gejala yang mengganggu tetapi
tidak menimbulkan kecacatan, biasanya tremor pada satu anggota
gerak.
Stadium 1,5 Gejala dan tanda yang ringan pada satu sisi yang dapat dikenali oleh
orang terdekat (teman), terdapat gejala yang mengganggu tetapi
tidak menimbulkan kecacatan, biasanya tremor pada satu anggota
gerak.
Terdapat keterlibatan batang tubuh
Stadium 2 Terdapat gejala bilateral, kecacatan minimal,sikap/cara jalan
terganggu
Stadium 2,5 Terdapat gejala bilateral, kecacatan minimal,sikap/cara jalan
terganggu
Pull test negatif, namun terdapat retropulso 1-2 langkah
Stadium 3 Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat
berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang
Pull test positif, yakni terdapat retropulsi 3 langkah atau lebih.
Stadium 4 Terdapat gejala yang lebih berat, rigiditas dan bradikinesia, masih
dapat berjalan hanya untuk jarak tertentu, tidak mampu berdiri
sendiri. Tremor dapat berkurang dibanding sebelumnya.
Stadium 5 Kecacatan total, tidak mampu beridiridan berjalan, memerlukan
perawatan tetap.

2.9 Diagnosis Banding9


Belum ada cara yang ideal untuk menegakkan diagnosis pada Penyakit Parkinson dan
membedakan dengan sindrom Parkinson lainnya. Namun demikian, penyakit
Parkinson harus dibedakan dari jenis parkinsonism yang lain, seperti multiple system
atrophy (MSA), progressive supranuclear palsy (PSP) dan corticobasal degeneration
(CBD). Penyakit parkinson harus juga dibedakan dari penyebab penggunaan obat-
obatan, neurotoksin dan penyebab tumor yang lain.

18
Tabel 4. Diagnosis Banding Penyakit Parkinson9
Gangguan Gejala Karakteristik
Tremor essensial Predominan tremor aksi ekstremitas atas yang khas, simetris.
Mengenai juga kepala dan pita suara. Biasanya tidak ada defisit
neurologis lain. Dapat ditemukan riwayat keluarga yang positif,
dan tremor berkurang dengan minum alkohol.
Tremor distonik Postur distonik (seperti tangan yang distonik pada posisi
tertentu). Diagnosis biasanya cukup sulit ditegakkan.
Parkinson Secara klinis, kondisi ini dapat menyerupai penyakit Parkinson
terinduksi oleh (seperti presentasi tremor unilateral saat istirahat). Suatu
obat anamnesis teliti mengenai pemakaian obat (dalam 1 tahun
terakhir) seperti penyekat reseptor dopamin (paling sering
antipsikotik atau antiemetik seperti metoklopramid atau
proklorperazin) adalah sangat penting.
Penyakit Wilson Awitan neurologis Penyakit Wilson biasanya dimulai saat kecial
atau dewasa muda. Pasien memperlihatkan gejala tremor,
parkinsonism dan/atau distonia. Sebagai peraturan umum, pasien
yang memperlihatkan gangguan gerak dibawah 50 tahun harus
menjalani pemeriksaan untuk mengeksklusi penyakit ini.
Manifestasi psikiatris sering berupa gangguan perilaku, ansietas
dan psikosis. Pemeriksaan meliputi MRI kepala (abnormal dalam
90% kasus; kelainan lain yang dapat ditemukan berupa
hiperintensitas basal ganglia sekuen. Pemeriksaan slit lamp oleh
seorang dokter mata ditemukan cincin Kayser-Fieischer pada
hampir semua kasus.
Demensia Lewi Banyak ahli yang memngangap kelainan ini sebagai spektrum
Bodies dari Penyakit Parkinson. Pada Penyakit Parkinson, demensia dan
halusinasi visual adalah tipikal pada fase lanjut penyakit, tetapi
pada Demensia Lewi Bodies, gejala demensia dan halusinasi
terjadi pada fase awal penyakit (mendahului atau terjadi dalam 1
tahun awitan gejala motorik)
Multiple system Gangguan motorik dapat berupa predominan parkinsonism
atrophy (MSA-P) atau serebelar (gait atau limb ataxia) (MSA-C).

19
disfungsi autonomik jelas (inkontinesia urine atau hipotensi
ortostatik berat) biasanya muncul. Pasien dapat mengalami
disatria/disfagia pada fase awal penyakit. tanda upper motor
neuron seperti hiperrefleksia atau tanda Babinski dapat
ditemukan. MRI kepala memperlihatkan atrofi serebelum atau
batang otak, “hot-cross bun”, hiperintensitas putaminal rim pada
sekuen T2, dll.
Progressive Ciri khas berupa defisit gerakan bola mata vertikal (restriksi atau
supranuclear pada tahap awal penyakit terdapat perlambatan sakadik ke
palsy bawah). Riwayat jatuh sering ditemukan pada fase awal (dalam 1
tahun pertama). Dapat ditemukan rigiditas aksial (leher) yang
lebih dominan dibandingkan ekstremitas. Pasien dapat
memperlihatkan tanda disatria/disfagia pada fase awal penyakit.
MRI kepaka dapat ditemukan atrofi mesensefalon (tanda
“hummingbird”)
Parkinsonism Parkinsonism mengenai terutama bada bagian bawah. Tidak ada
Vaskular tremor istirahat yang tipikal. Gambaran seperti stroke dapat
ditemukan. Pasien biasanya memiliki faktor risiko vaskular yang
nyata dan MRI kepala biasanya memperlihatkan perubahan
iskemik luas (lebih jarang, parkinsonism ini dapat disebabkan
oleh stroke pembuluh darah kecil di lokasi strategik seperti di
substansia nigra)
Normopressure MRI otak memperlihatkan pelebaran ventrikel. Perbaikan gait
Hydrocephalus yang terjadi setelah pengeluaran sejumlah besar cairan otak
dengan teknik pungsi lumbal mendukung diagnosis dan
memperkirakan respons terhadap prosedur shunting.

20
2.10 Tatalaksana3
Tatalaksana Gejala Motorik 3
1. Stadium Awal
a Edukasi
Merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh klinisi setelah diagnosis
PP ditegakkan kepada pasien dan/atau pengasuh nya mengenai perjalanan
klinis penyakit, tatalaksana dan perubahan gaya hidup.3
b Nonfarmakologi
Latihan regular sangat penting untuk meningkatkan mobilitas dengan
memperbaiki pola berjalan (gait) dan meminimalisir risiko jatuh,
meringankan ketidaknyamanan muskuloskeletal, mencegah sendi kaku,
dan mengurangi kecenderungan terjadinya kontraktur atau deformitas.
Keluaran dari latihan ini dapat memperbaiki kemandirian melalui skor
activity daily living ADL dan motorik UPDRS secara signifikan. Selain
itu terapi wicara serta latihan menelan juga sangat bermanfaat untuk
pasien.3
c Farmakologi
1) Neuroprotektor
Terapi simtomatik pada umumnya efektif pada stadium awal penyakit.
Namun dengan berjalannya waktu, sebagian besar pasien akan mengalami
penyulit yang beragam dan disabilitas yang berkelanjutan akibat
progresifitas penyakit. oleh karena itu, perlu pemberian terapi untuk
memperlambat atau menghentikan progresifitas penyakit.
Hingga saat ini belum ada agen farmakologis yang terbukti efektif
untuk memodifikasi penyakit, karena belum ada mekanisme yang dapat
menjelaskan etiopatogenesisnya dengan tepat. Berbagai upaya terapi telah
dikembangkan berdasarkan stres oksidatif, disfungsi motokondria,
perubahan degradasi protein, inflamasi, eksitotoksitas dan apoptosis.
Demikian pula hasil studi hewan percobaan maupun uji klinis kurang
memuaskan, yakni analog FK-506 sebagai imunosupresan selektif
meningkatkan regenerasi neuron yang rusak, CEP-1347 atau (KT7515)
sebagai antiinflamasi dan antiapoptotik, TCH346 (atau CGP3466 atau
CGP3466B) sebagai antiapoptotik dan riluzol sebagai inhibitor
eksitotoksisitas glutamanergik.3

21
Beberapa agen farmakologis yang digunakan untuk pengobatan
penyakit Parkinson, juga memiliki properti yang berpotensi sebagai
neuroprotektor, namun hasilnya pun masih belum memuaskan. Adapun
agen farmakologis yang dimaksud antara lain :
a) Inhibitor MAO-B seperti selegilin dan rasagilin
Kedua agen ini memiliki cincin propargil yang memiliki efek
antiapoptotik. Studi DATATOP (selegilin) dan ADAGIO (rasagilin)
meragukan keluaran baik dari terapi tersebut semata-mata karena efek
neuroprotektif. Selegilin dapat memperlambat progresi penyakit dengan
inhibisi MAO-B sehingga potensial untuk menghambat konversi
protoksin dari lingkungan yang analog dengan bentuk aktif MPTP, suatu
radikal bebas. Pemberian seleginin dapat menunda kebutuhan L-DOPA
hingga 12 bulan, walaupun hal ini disebabkan oleh aksi dopaminergik
ringan dari obat ini.3
b) Agonis dopamin seperti pramipeksol
Stimulasi pada reseptor dopaminergik presinaps menyebabkan penurunan
distribusi dopamin endogen dan mengurangi turnover dopamin pada neuron
dopaminergik. Hal ini menjadi perdebatan mengenai potensi neuroprotektif
atau kemampuan memodifikasi penyakit dari agonis dopamin. Agonis
dopamin juga penting dalam terapi penyakit parkinson, dan potensial untuk
menunda kebutuhan L-DOPA sehingga menghambat dan mungkin
mengurangi frekuensi komplikasi motorik jangka panjang. Saat ini banyak
neurolog menyarankan penggunaan agonis saja dalam terapi awal penyakit
Parkinson, terutama pada pasien yang lebih muda, yang lebih berisiko
terhadap diskinesia dan fluktuasi akibat L-DOPA yang terjadi lebih cepat dan
berat. 3
c) Vitamin D dan koenzim Q10 juga menjadi kandidat agen neuroprotektif,
namun studinya masih kurang memadai. 3
2) Simptomatik
Terapi farmakologis yang ada saat ini masih bersifat simptomatik untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Oleh karena bertujuan simtomatik, pada
umumnya klinisi berupaya mengurangi gejala dengan dosis terkecil yang
paling efektif untuk menghindari efek yang tidak diinginkan. Dengan

22
demikian terapi bersifat individual disesuaikan dengan kebutuhan masing-
masing pasien. 3
Terdapat berbagai pendekatan untuk menetapkan kapan waktu yang
tepat untuk memulai terapi simtomatik. Sebagian besar studi
merekomendasikan untuk menginisiasi terapi simtomatik secara dini setelah
diagnosis ditegakkan. Namun sebagian lagi, menunda pemberian terapi
dengan pertimbangan efek samping atau komplikasi yang akan dihadapi
pasien. 3
Hingga saat ini, agen yang dapat meningkatkan konsentrasi dopamin
atau menstimulator reseptor dopamin, yakni levodopa dan agonis dopamin
masih menjadi terapi utama untuk gejala motorik pada penyakit Parkinson.
Namun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Berbagai agen yang sering digunakan sebagai terapi simptomatik dapat dilihat
pada Tabel 5 dengan mekanisme kerja pada Gambar 6. 3
Levodopa meskipun merupakan agen farmakologis yang paling efektif
dan menjadi baku emas pada studi agen farmakologis baru, namun memiliki
risiko tinggi terjadinya komplikasi motorik. Dosis harian lebih dari
400mg/hari, durasi lebih dari 5 tahun, serta usia muda memiliki risiko
komplikasi motorik yang lebih tinggi. Sementara, agonis efektifitas dopamin
masil lebih inferior dibandingkan levodopa serta memiliki efek samping yang
cukup banyak dan lebih berat dibandingkan levodopa, seperti gangguan
kognitif, halusinasi, hipotensi ortostatik dang gangguan kontrol impuls. 3
Meskipun demikian, risiko terjadinya komplikasi motorik lebih rendah
dibandingkan levodopa. Oleh karena itu pada pasien usia lanjut dengan gejala
yang lebih berat, memiliki gangguan kognitif, gangguan kontrol impuls serta
riwayat gangguan psikiatri, levodopa menjadi pilihan utama. Sebaliknya, pada
pasien usia muda, diberikan agonis dopamin atau inhibitor MAO-B dan
menunda pemberian levodopa hingga agen tersebut tidak lagi memberikan
kontrol yang memuaskan. 3
Pertimbangan gejala motorik yang dominan juga mempengaruhi
pemilihan terapi. Pada pasien yang memiliki gejala tremor dominan,
antikolinergik seperti triheksifenidil dapat dijadikan alternatif. Ada hal yang
perlu mendapatkan perhatian tentang antikolinergik, yaitu 1) belum jelas
superioritas antikolinergik dibandingkan dopaminergik untuk mengatasi

23
tremor; 2) mekanisme yang mendasari antikolinergik juga belum dapat
dipahami sepenuhnya, namun diperkirakan deplesi dopamin menyebabkan
hipersensitifitas kolinergik, sehingga pertu antikolinergik; 3) efek samping
yang ditimbulkan akan memperberat disabilitas, diantaranya gangguan
kognitif, konstipasi, retensi urin dan gangguan prostat. 3
Sebagai alternatif, pada gejala tremor dominan, dapat diberikan
klozapin. Namun sebaiknya pemberian klozapin ditunda untuk kasus yang
berat dan resisten dengan terapi lainnya, oleh karena menimbulkan efek
samping seperti agranulositosis dan leukopeni. Algoritma penatalaksanaan PP
berdasarkan konsensus kelompok studi movement disorder Perdossi tahun
2013 tercantum pada gambar 7.3
Terdapa beberapa poin rekomendasi praktis berdasarkan telaah kritis
sejumlah studi, yaitu :
a Levodopa lebih superior dibandingkan agonis dopamin dan agen
farmakologis lain dalam semua uji perbandingan yang mengevaluasi
perbaikan gejala parkinsonisme motorik. Namun, levodopa memiliki
insidens fluktuasi motorik dan diskinesia yang lebih tinggi.
b Agonis dopamin lebih jarang menyebabkan fluktuasi motorik dan
diskinesia, namun lebih sering menimbulkan efek samping.
c Inhibitor MAO-B kemungkinan efektif pada stadium awal tanpa efek
samping yang signifikan.
d Berdasarkan studi Stalevo Reduction in Dyskinesia Evaluation in
Parkinson Disease (STRIDE-PD), penambahan inhibitor COMT pada
levodopa distadium awal tidak menunda onset ataupun menurunkan
frekuensi diskinesia. 3

Tabel 5. Terapi Farmakologis Simtomatik Penyakit Parkinson3


Kelas Terapi Dosis Efek Samping
Levodopa plus inhibitor Dosis inisial : 3 x 100/ Mual, hipotensi ortostatik,
dekarboksilase 25mg/hari diskinesia, halusinasi
(karbidopa/benserazid) Dosis maksimal :
1500/375mg/hari
Levodopa bekerja dengan

24
meningkatkan kadar L-
Dopa
Inhibitor MAO-B
menghambat metabolisme
dopamin oleh enzim
Monoamin oksidase-B
(MAO-B)
 Rasagilin 1 mg/hari Sakit kepala, artalgia,
konjungtivitis, dermatitis,
dispepsia, depresi,
diskinesia jika
dikombinasi dengan
levodopa
 Selegilin Dosis inisial : 2,5 mg/hari Efek stimulan, nausea,
Dosis maksimal : 10 sakit kepala, dizziness,
mg/hari diskinesia apabila
dikombinasi dengan
levodopa
Inhibitor COMT
Menghambat degradasi
dopamin dan L-dopa oleh
enzim Cathecol-O-
methyltransferase (COMT)
 Etakapon 200 mg pertiap dosis Perubahan warna urine,
levodopa diare, diskinesia jika
dosis maksimal 8 x dikombinasi dengan
200mg/hari levodopa.
 Tolkapon 3 x 200 mg/hari Hepatotoksisitas,
perubahan warna urin,
diare, diskinesia jika
dikombinasi levodopa
Agonis Dopamin
Berkaitan dengan reseptor

25
dopamin pascasinaps
 Piribedil Dosis inisial : 3 x 50 Mual, halusinasi, hipotensi
mg/hari ortostatik, gangguan
Dosis maksimal kontrol impuls, edema
250mg/hari pergelangan kaki
 Pramipeksol Sediaan standar Mual, halusinasi, hipotensi
Dosis inisial: 3x0,125mg/d ortostatik, gangguan
Dosis maksimal: 24mg/d kontrol impuls, edema
Sediaan prolonged release pergelangan kaki, rasa
Dosis inisial: 0,52mg/d mengantuk, serangan tidur.
Dosis maksimal: 3,15mg/d
 Ropinirol Sediaan standar Mual, halusinasi, hipotensi
Dosis inisial: 3x0,25mg/d ortostatik, gangguan
Dosis maksimal: 24mg/d kontrol impuls, edema
Sediaan prolonged release pergelangan kaki, rasa
Dosis inisial: 6mg/d mengantuk, serangan tidur.
Dosis maksimal: 24mg/d
 Rotigotin Dosis inisial: 2mg per 24 Mual, halusinasi, hipotensi
jam* ortostatik, gangguan
Dosis maksimal: 16 mg kontrol impuls, edema
per 24 jam* pergelangan kaki, rasa
*transdermal patch mengantuk, serangan tidur.

26
Gambar 6. Mekanisme Kerja Obat-Obatan Simtomatok pada Penyakit
Parkinson

Gambar 7. Algoritma Penatalaksanaan Penyakit Parkinson3

27
2. Stadium Lanjut
Pada stadium awal penyakit, respons terapi simtomatik sangat efektif untuk
mengontrol gejala, baik levodopa dan agonis dopamin, secara monoterapi atau
kombinasi. Hal ini disebut juga sebagai “honeymoon period” yang dapat berlangsung
selama 3-6 tahun. Namun pada saat stadium lanjut, respons ini berkurang dan muncul
komplikasi motorik. Oleh karena itu, fokus tatalaksana gejala pada stadium lanjut
adalah mengatasi komplikasi motorik. Pada umumnya spektrum komplikasi motorik
terbagi menjadi dua, yaitu fluktuasi motorik dan diskinesia (Tabel 6).3
Komplikasi motorik dapat terjadi pada periode “off” dan “on”. Pasien
Parkinson mengalami kembali gejala Parkinson pada saat kadar obat mulai berkurang
(atau habis), yang disebut periode “off”. Jika kembali mengalami perbaikan gejala
motorik sebagai respon terhadap pengobatan disebut periode “on”. Fluktuasi motorik
adalah suatu kondisi pasien mengalami kedua kondisi tersebut dan berbagai respon
terhadap pemberian levodopa. Pada saat bersamaan, pasien seringkali mengalami
gerakan involunter, yakni diskinesia.3
Tabel 6. Komplikasi Motorik pada Penyakit Parkinson3
Fluktuasi motorik Diskinesia
Predictable wearing off Peak dose dyskinesia
Merupakan fluktuasi motorik yang Merupakan diskinesia yang terjadi pada
pertama terjadi, berupa pemendekan saat mencapai puncak dosis.
durasi respon terhadap levodopa. Pasien Manifestasinya dapat berupa campuran
merasa bahwa dosis yang sebelumnya korea, balismus dan distonia serta lebih
dapat mengurangi gejala motorik dalam jarang mioklonus. Manifestasi yang
waktu beberapa jam, terakhir hanya paling sering berupa gerakan
bertahan dalam periode yang lebih khoreiformis pada ekstremitas dan yang
singkat, biasanya 4 jam atau kurang. cukup jarang yakni diskinesia okular dan
Komplikasi ini biasanya dapat diprediksi diskinesia respirasi.
waktunya, terjadi pada saat akhir dosis
sebelum dimulainya dosis berikutnya.
Unpredictable off, sudden “off” dan Diphasic dyskinesia
on-off Merupakan diskinesia yang terjadi pada
Merupakan komplikasi yang tidak dapat saat awal dosis dan akhir dosis.
diprediks, pasien dapat mengalami Manifestasinya predominan pada tungkai

28
“wearing off” secara cepat, tidak dan dapat melibatkan gerakan tungkai
beraturan dan tidak berhubungan dengan yang berubah-ubah secara cepat dan
waktu dosis akhir levodopa. Pasien stereotipik. Diskinesia ini lebih jarang
tersebut dapat mengalami serangan “off” terjadi.
yang muncul dalam hitungan detik dan
mengakibatkan akinesia berat yang
disebut “sudden off atau off freezing”.
Selain itu pasien juga dapat mengalami
peralihan periode “on” dengan kondisi
mobile disertai diskinesia dan “off”
dengan kondisi imobilitas yang dapat
ataupun tidak dapat diprediksi, yang
disebut “on-off fluctuation”
Dose failure, delayed on atau partial on Distonia wearing off/off period
response Merupakan diskinesia yang terjadi selama
Levodopa dapat tidak memberikan efek periode “off”. Berbeda dengan diskinesia
yang disebut “dose failure” atau pada kondisi “on” yang lebih sering
memberikan efek lambat yang disebut berupa korea, diskinesia yang terjadi
“delayed on”. Kondisi ini dapat dikaitkan selama “periode off” dan “wearing off”
dengan sediaan obat seperti sediaan didominasi gambaran distonia, dan
controlled release, perlambatan melibatkan tungkai dan kaki. Manifestasi
pengosongan lambung dan adanya distonia yang jarang yakni
makanan yang mengganggu absorbsi blefarospasme, jaw opening, distonia
levodopa dan berkompetisi dengan asam servikal, distonia tangan dan stridor.
amino transporter.
Beginning of dose worsening
Merupakan perburukan reansien,
biasanya 5-15 menit, pada awal dosis
levodopa, dan seringkali bermanifestasi
dengan peningkatan tremor dan
setelahnya baru akan terlihat respon
levodopa.

29
a Tatalaksana farmakologis
Algoritma tatalaksana farmakologis komplikasi motorik secara umum berdasarkan
Konsensus Kelompok Studi Movement Disorder Perdossi tahun 2013 telah
tercantum pada gambar 7.3
b Tatalaksana bedah
Selain farmakologis, intervensi bedah juga dibutuhkan terutama yang resisten
terhadap tatalaksana farmakologis farmakologis, dengan teknik deep brain
stimulation (DBS) dan operasi ablatif (lesioning)3
1. Deep brain stimulation (DBS)
DBS umumnya dilakukan untuk penyakit Parkinson stadium lanjut
dengan komplikasi motorik berat dan tidak terkontrol dengan terapi
farmakologis. Teknik ini melibatkan implantasi elektrode yang
dihubungkan dengan pulse generator dan memodulasi aktivitas neural
melalui stimulasi frekuensi tinggi pada area target. Stimulasi tersebut
menyebabkan inhibisi dan normalisasi parsial. Adapun area targen
stimulasi yakni struktur yang termasuk dalam loop ganglia basal
talamokortikal seperti nukleus subtalamikus, globul palidus interna dan
ventrikel intermedius talamus. Area terakhir, terutama diindikasikan untuk
gejala tremor dominan.3
Perbandingan antara area targer nukleus subtalamikus dan globus
palidus interna menunjukkan hasil yang lebih baik pada nukleus
subtalamikus dengan perbandingan presentase perbaikan 49% vs 37%.
Efek ini terbukti langsung jangka panjang dengan keluaran sedikit lebih
baik pada nukleus subtalamikus. Selain itu, DBS nukleus subtalamikus
berhasil mengurangi dosis levodopa hingga 50-60% yang tidak terjadi
pada DBS dengan area target ganglia basal. Efek samping DBS pada
nukleus subtalamikus antara lain : gangguan kognitif dan episode
psikosis, depresi, manik, dan perilaku agresif.3
2. Operasi ablatif (lesioning)
Pada umumnya, tindakan ini menggunakan teknik stereotaktik untuk
menentukan target lesioning dan modalitas yang digunakan untuk
menimbulkan lesi yang beragam yaitu radiosurgery, radiofrekuensi dan
ultrasound. Area target lesioning yang sering dikerjakan yakni talamus
dan globus palidus.3

30
Talamotomi terutama efektif untuk gejala tremor, namun tidak
bermanfaat untuk bradikinesia. Talamotomi juga mereduksi diskinesia
yang diinduksi levodopa, namun dibutuhkan lesi yang luas. Sementara
palidotomi, tidak saja memperbaiki gejala tremor dan rigiditas, namun
juga bradikinesia dan gait.selain itu palidotomi juga dapat mengurangi
diskinesia yang diinduksi levodopa. operasi ablatif biasanya dilakukan
apabila pasien kontraiindikasi terhadap tindakan DBS. Salah satu
kekurangan teknik ini dibandingkan DBS yakni hanya dapat dikerjakan
unilateral.3

31
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis


progresif, merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada ganglia basalis
akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke
globus palidus/ neostriatum (striatal dopamine deficiency). Insidens dan prevalens
meningkat seiring bertambahnya usia dan umur rata – rata pasien saat awitan awal
adalah sekitar 60 tahun. Pemyakit ini lebih sering mempengaruhi laki – laki daripada
perempuan dengan perbandingan 3 : 2.

Diagnosis ditegakkan secara klinis melalui pemeriksaan fisik dan anamnesis


dengan ditemukannya dua dari empat tanda kardinal, yaitu tremor saat istirahat,
rigiditas, bradikinesia, dan instabilitas postural. Penyakit Parkinson merupakan
penyakit kronis yang membutuhkan penanganan secara holistik meliputi berbagai
bidang. Pada saat ini tidak ada terapi untuk menyembuhkan penyakit ini, tetapi
pengobatan dan operasi dapat mengatasi gejala yang timbul . Obat-obatan yang ada
sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu
belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini
akan terus dialami sepanjang hidupnya.

Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami perkembangan hingga


terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general,
dan dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien
berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi, perluasan gejala
berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Namun akibat
penggunaan obat jangka panjang dalam terapi parkinson menimbulkan komplikasi
pada beberapa pasien.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Ed 4.


Jakarta : Media Aesculapius; 2014.
2. Purba JS. Penyakit parkinson. Jakarta : Balai penerbit FKUI; 2012.
3. Dewati E, Tunjungsari D, Ariarini N. Penyakit Parkinson. Jakarta: Departemen
Neurologi FKUI;2017
4. Ginsberg L. Lecture Notes:Neurology.8th ed. Jakarta : Erlangga;2007
5. Greenberg D, Aminoff M, Simon R. Clinical Neurology. 8th ed. United States of
America: Cenveo Publisher Services;2012
6. Galvan A. Devergnas A, Wichmann T. Alternation in neural activity in basal
ganglia-thalamocortical circuits in the parkinson state. Frontiers in
neuroanatomy. 2015;9(5):2
7. Kumar V, Abbas A, Fausto N, Aster J. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. 8th ed. Philadelphia:Elsevier;2010
8. Doty R. Olfactory dysfunction in Parkinson disease. Nature Review. 2012;8:330
9. PERDOSSI. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia;2016

33

Anda mungkin juga menyukai