Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN

GAGAL GINJAL AKUT

Diajukan sebagai salah satu syarat tugas mata kuliah Farmakokinetika Klinik

Dosen Pengampu : apt. Nur Rahayuningsih, M.Si

Disusun oleh:

Gita 52121002 Alzena Febiyanti 52121001


Didan Muhamad R 52121007 Shafira Siti Hajar 52121016
Ii Mutiya 52121012 Rizki Rachmawati 52121006
Widdy Erlinasari 52121017 Titan Shufina R 52121011
Mufti Rizqia N 52121022 Tika Rahmawati 52121021
Risna Rosmiyati 52121027 Tri Nurjanah 52121026

STIKes BAKTI TUNAS HUSADA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

TASIKMALAYA

2021
KASUS
Seorang pria berusia 72 tahun mengunjungi rumah sakit karena batuk dan sakit
tenggorokan berlanjut selama 1 minggu. Dia didiagnosis menderita pilek biasa
dengan gejala asma bronkial dan diresepkan 200 mg/hari teofilin sustained release
untuk pengobatan asma selama 7 hari. Satu minggu kemudian, dia mengunjungi
rumah sakit lagi. Studi radiografi dada mengungkapkan pneumonia interstitial ringan
dan 200 mg/hari teofilin sustained release dan 400 mg/hari klaritromisin diberikan
bersamaan. Lima hari setelah kunjungan kedua, pasien dirawat di rumah sakit karena
twitching, muscular weakness, demam tinggi dan kondisi umum yang serius.
Nitrogen urea darah adalah 106,1 mg / dl, kreatinin serum 7,4 mg / dl, serum
kreatinin kinase (CK) adalah 36.000 IU / l (normal 15-130 IU / l), isozim CK
mengungkapkan rasio berikut: BB 0%, MB 1% dan MM 99%. Dia didiagnosis
memiliki gagal ginjal akut dengan rhabdomyolysis.

STEP 1
1. Twitching (Ii)
Kedutan (Didan)
2. Sustained release (Alzena)
Pelepasan obat diperlambat (Tri)
3. Pneumonia interstitial (Gita)
Penyakit paru yang terkena suatu infeksi atau luka (Shafira)
4. Asma bronkial (Tri)
Peradangan dalam saluuran bronkus (Tika)
5. Isozim CK (Didan)
Suatu molekul yang terdiri dari sepasang monomer yang berbeda (Alzena)
6. Muscular weakness (Titan)
Kelemahan otot (Widdy)
7. MB 1% (Widdy)
Muscale Brain (Tri)
8. MM 99% (Tika)

1
Double Brain (Alzena)
9. BB 0% (Mufti)
Double Brain (Tika)
10. Rhabdomyolysis (Shafira)
Salah satu kelainan pada jaringan otot (Alzena)

JAWABAN BERDASARKAN LITERATUR


1. Twitching
Twitching adalah gerakan spasmodik yang berlangsung singkat dapat terlihat
pada otot yang lelah , nyeri setempat atau menyertaikorea. twitching dapat
merupakan manisfestasi psikologis yang biasanya bersifat periodik.
2. Sustained release
Sustained release merupakan bentuk sediaan yang dirancang untuk melepaskan
obatnya ke dalam tubuh secara perlahan-lahan atau bertahap sehingga
pelepasannya lebih lama dan memperpanjang aksi obat (Ansel, Allen &
Popovich, 1999).
3. Pneumonia interstitial
Proses implamasi yang terjadi di dalam dinding alveolar (interstisium) dan
jaringan peribronkial serta interlobular (Wong, 2004).
4. Asma Bronkial
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
disebabkan oleh reaksi hiperesponsif sel imun tubuh seperti mast sel, eosinophils,

dan T-lymphocytes terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea,


whezzing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel dan
terjadi secara episodik berulang (Brunner and Suddarth, 2011).
5. Isozim CK
Enzim kreatin kinase (CK) atau dengan nama lain kreatin fosfokinase (CPK)
merupakan enzim yang berfungsi untuk mengkatalis fosforilasi kreatin. Enzim
CK merupakan suatu molekul dimerik yang terdiri dari sepasang monomer

2
berbeda yang disebut M (Muscle : berkaitan dengan otot), dan B (Brain:
berkaitan dengan otak). Kombinasi kedua sub unit menghasilkan tiga
isoenzim kreatin kinase yang berbeda yaitu CK1 (CK-BB), CK2 (CK-MB) dan
CK3 (CKMM). Enzim CK mengkatalis transfosforilasi secara reversible antara
ATP dan fosfokreatin (Saryono, 2014).
6. Muscular Weakness
Muscular weakness adalah kelemahan otot. Penyebab kelemahan otot
seringkali sulit dibedakan dengan kelelahan atau asthenia. Penyebab kelemahan
otot dapat ditentukan dari keparahan kelemahan, gejala yang terkait, penggunaan
obat, dan Riwayat keluarga. Beberapa penyebab kelemahan pasien yaitu infeksi,
neurologis, endokrin, inflamasi, reumatologi, genetic, metabolic, elektrolit, atau
obat. Dalam pemeriksaan fisik, dokter harus secara objektif mendokumentasikan
kelemahan pada pasien, melakukan survei neurologis, dan mencari pola
kelemahan dan keterlibatan intramuscular. Jika penyebab spesifik kelemahan
dicurigai, maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium atau radiologis yang
sesuai. Jika tidak diketahui, maka perlu dilakukan elektromiografi untuk
mengkonfirmasi adanya miopati dan mengevaluasi neuropati atau penyakit yang
berhubungan dengan neuromuscular. Jika diagnosis masih belum jelas, perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium dimulai dari pemeriksaan darah lengkap,
pemeriksaan hormone tiroid untuk mengevaluasi penyebab elektrolit dan
endokrin, kemudian berlanjut ke tingkat kreatinin kinase, tingkat sedimentasi
eritrosit, dan pemeriksaan antibody antinuclear untuk mengevaluasi penyebab
reumatologi, inflamasi, geneti, dan metabolic (Saguil, 2005).
7. No 7,8,9 penjelasan disatukan = CK-MB (1%); CK-MM (99%); CK-BB (0%)
Enzim kreatin kinase (CK) atau dengan nama lain kreatin fosfokinase (CPK)
merupakan enzim yang berfungsi untuk mengkatalis fosforilasi kreatin. Enzim
CK merupakan suatu molekul dimerik yang terdiri dari sepasang monomer
berbeda yang disebut M (Muscle = berkaitan dengan otot), dan B (Brain =
berkaitan dengan otak). Kombinasi kedua sub unit menghasilkan tiga isoenzim
kreatin kinase yang berbeda yaitu CK1 (CKBB), CK2 (CK-MB), dan CK3

3
(CKMM). Enzim CK mengkatalis transfosforilasi secara reversible antara ATP
dan fosfokreatin. Terdapat dua isoenzim oktamerik mitokondria yaitu sMtCK
(sarkomerik) dan uMtCK (ubiquitous) (Schlattner et al., 2002). Isoenzim
mitokondria (CKm) ditemukan di otot, otak, dan cairan serebrospinal. Sumber
jaringan utama CK adalah otak dan otot polos (BB), otot jantung (MB sekitar
20% dan MM sekitar 80%), dan otot rangka (MM). Enzim CK3 ditemukan di
otot skelet, sedangkan CK1 banyak ditemukan di otak, otot polos dan jaringan
lain (Gulia and Goswami, 2020).
Enzim CK-MB mempunyai konsentrasi yang tinggi di otot jantung, tetapi
sedikit di otot skelet. Enzim CK-MM mayoritas terdapat pada otot skelet dan
sedikit di otot jantung. Dengan demikian, kemunculan CK-MB dalam serum
mengisyaratkan terdapat kerusakan miokardium. Isoenzim CKMB bersifat
khusus untuk kardio dan sebagai indicator paling sensitif untuk nekrosis sel
miokard. Distribusi isoenzim CK dalam serum orang sehat adalah : CK-MM (96-
100%), CK-MB (0-6%), dan CK-BB hampir tidak terdeteksi. Sehingga pada
kasus tersebut menandakan bahwa isoenzim CK pasien normal (Gulia and
Goswami, 2020).
10. Rhabdomyolisis
Rabdomiolisis adalah terjadinya destruksi serat otot rangka yang berakibat
terlepasnya konstituen serat otot (elektrolit, mioglobin, kreatin kinase, dan
protein sarkoplasma lainnya) ke dalam cairan ekstrasel dan sirkulasi (Sauret dkk.,
2002). Penyebab rabdomiolisis multifaktorial, terdiri dari: faktor fisik, antara lain
trauma dan kompresi, iskemia jaringan otot, latihan fisik berat, imobilisasi
berkepanjangan, paparan listrik bertegangan tinggi, hipertermia; faktor non-fisik,
antara lain miopati metabolik (genetik), obat-obatan dan toksin, infeksi virus dan
mikroba, gangguan elektrolit dan endokrin, kelainan jaringan ikat; dan penyebab
yang tidak diketahui (Wangko, 2013).
Menurut the Clinical Advisory on Statins, untuk mendiagnosis suatu
rabdomiolisis diperlukan gejala klinis gangguan otot, peningkatan CK 10 kali
lipat dari nilai normal atas, serta peningkatan kreatinin dan nefropati yang

4
disertai urin berwarna the (Antons et al., 2006). Degradasi jaringan dan
pelepasan CK berlangsung lambat. Konsentrasi CK akan meningkat 2-12 jam
setelah cedera otot, mencapai puncak setelah 1-3 hari, kemudian menurun secara
gradual dalam 3-5 hari setelah trauma berakhir. Waktu paruh CK 1,5 hari
sehingga CK (terutama CK-MM) dapat bertahan lebih lama dari mioglobin dan
merupakan penanda yang lebih bermanfaat dibandingkan mioglobin. CK yang
menetap mengindikasikan cedera otot yang masih berlangsung, terjadinya
sindroma kompartemen, atau gagal ginjal akut. Terjadinya rabdomiolisis tahap
awal perlu dicurigai pada pasien yang berisiko bila terdapat peningkatan kadar
CK 2-3 kali lipat; untuk itu diperlukan suatu pemeriksan CK serial (Wangko,
2013; Amartya et al., 2013).

STEP II
1. Mekanisme kerja, efek samping dan dosis dari obat teofillin dan obat
klaritromisin untuk pasien gagal ginjal (Ii)
2. ADME dari obat teofillin dan obat klaritromisin (Alzena)
3. Apa yang dimaksud dengan BB, MB dan MM (Mufti)
4. Perhitungan nilai GFR (Gita)
5. Berapa nilai normal BUN dan Scr (Tika)
6. Gejala asma bronkial (Didan)
7. Klasifikasi nilai GFR (Widdy)
8. Apakah ada interaksi antara teofilin dan klaritromisin (Tri)
9. Apakah ada hubungan antara Rhabdomyolysis dengan gagal ginjal (Mufti)
10. Gejala dari gagal ginjal (Widdy)
11. Apa saja yang menyebabkan Rhabdomyolysis (Titan)

STEP III
1. Belum terjawab
2. Belum terjawab
3. Belum terjawab
4. Belum terjawab

5
5. - BUN = 8-24 mg/dL
- Scr = 0,6-1,2 mg/dL
6. - Sesak nafas
- Mengi
- Pusing
- Lemas
(Tika)
7. Klasifikasi GFR (Didan)

≥ 90 Normal atau terjadinya kerusakan ginjal


60-89 Gangguan ginjal rendah
30-59 Gangguan ginjal sedang
15-29 Gangguan ginjal berat
< 15 Gagal ginjal
8. Belum terjawab
9. Belum terjawab
10. - Mudah lelah
- Sesak nafas
- Jumlah frekuensi urin berkurang
- Kaki dan tangan bengkak
(Ii dan Tri)
11. Meningkatnya kreatinin kinase yang menyebabkan kerusakan jaringan otot
(Shafira)

JAWABAN BERDASARKAN LITERATUR


1. Dijawab di STEP VI
2. Dijawab di STEP VI
3. Dijawab di STEP VI
4. Dijawab di STEP VI
5. Berapa nilai normal BUN dan Scr
Nilai normal BUN

6
 Dewasa muda : 5 – 18 mg/dL
 Dewasa 40 – 60 tahun : 5 – 20 mg/dL
 Lansia >60 tahun : 8 – 21 mg/dL
(Chernecky dan Berger, 2013)
Nilai normal kadar kreatinin
 Pria adalah 0,7-1,3 mg/dL
 Wanita 0,6-1,1 mg/dL
(PERNEFRI,2015)
6. Gejala asma bronkial
Beberapa tanda ketika terjadi serangan asma yaitu sensasi subjektif kekakuan
dada, batuk, dispepsia dan mengi. Takikardi, takipnea dan ekspirasi yang lama
merupakan hal umum yang terjadi ketika serangan. Pada saat auskultasi
terdengar mengi difus. Pada seranagn yang lebih hebat terjadi penggunaan otot
aksesoris pernafasan, retraksi interkostal, mengi yang kencang, dan ditemukan
suara nafas jauh (LeMone et al,2016).
Gejala asama awal berupa batuk di malam hari atau dini hari, napas berbunyi,
sesak napas, rasa berat di dada, dahak sulit keluar. Gejala berat pada asma adalah
serangan batuk hebat, serangan napas berat hingga tersenggal-senggal, sianosis,
sulit tidur, kesadaran menurun, dan posisi duduk merupakan posisi tidur
ternyaman. Gejala berat ini merupakan keadaan yang dapat mengancam jiwa.
Pada asma ringan, gejala muncul pada waktu dan ketika terpapar alergen tertentu,
melakukan aktivitas fisik tertentu, atau saluran pernapasan atas terinfeksi virus.
Serangan sesak yang disertai mengi terutama pada malam hari, dan adanya
penyimpitan saluran napas kronik merupakan tanda gejala asma yang lebih berat
(Katzung, 2007).
7. Klasifikasi nilai GFR
Menurut Kideney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012 yang
mengacu pada National Kidney Foundation-KDQOL (NKF-KDQOL) tahun
2002, PGK diklasifikasikan menjadi lima stadium atau kategori berdasarkan
penurunan GFR, yaitu :

7
Stadium Penjelasan GFR (mL/min/1.73m2
1 Kerusakan ginjal dengan ≥90
GFR normal atau
meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan 60-89
penurunan ringan
3a Kerusakan ginjal dengan 45-59
penurunan GFR ringan
sampai sedang
3b Kerusakan ginjal dengan 30-44
penurunan GFR sedang
hingga berat
4 Kerusakan ginjal dengan 15-29
penurunan berat GFR
5 Gagal ginjal <15

(KDIGO, 2012)

8. Dijawab di STEP VI
9. Dijawab di STEP VI
10. Gejala dari gagal ginjal
Gejala atau tanda yang biasanya muncul adalah :
a. Tekanan darah tinggi

8
b. Berat badan menurun
c. Kehilangan nafsu makan
d. Mual dan muntah
e. Rasa logam di lidah
f. Kurang darah
g. Sesak nafas
h. Nyeri dada
i. Kebingungan
j. Koma atau kehilangan kesadaran
k. Gejala lain seperti: mati rasa, kesemutan, gatal-gatal, jumlah kencing
menurun, keram, gangguan tidur, dan bengkak akibat kelebihan cairan
(Kemenkes RI, 2015).
11. Apa saja yang menyebabkan Rhabdomyolysis
Etiologi rabdomiolisis dapat dibagi atas penyebab fisik (traumatik) dan non
fisik (non-traumatik). Penyebab fisik antara lain berupa trauma tumpul yang
hebat dan luas, crush injury, kompresi, oklusi pembuluh darah otot (iskemia),
aktivitas otot yang berat (latihan fisik, epilepsi, tetanus dan lain lain), cedera
listrik bertegangan tinggi, dan hipertermia, sedangkan penyebab non-fisik antara
lain obat-obatan dan toksin (termasuk pestisida), infeksi virus maupun bakteri,
miopati metabolik (genetik), serta gangguan endokrin dan elektrolit. Obat
penurun kolesterol seperti statin, fibrat, dan gemfibrozil merupakan golongan
obat utama penyebab rabdomiolisis (Wangko, 2013).
Pada orang dewasa penyebab utama rabdomiolisis ialah pemakaian obat-
obatan narkotika, alkohol, obat-obatan medik, gangguan otot, trauma,
neuroleptic malignant syndrome (NMS), kejang, dan imobilisasi lama,
sedangkan pada anakanak penyebab utama ialah miositis akibat virus, trauma,
gangguan jaringan ikat, latihan, overdosis obat-obatan, dan idiopatik (Wangko,
2013).

9
STEP IV

ADME ADME
Teofilin Teofilin

Dosis Dosis
Teofilin Teofilin

Mekanisme Teofilin Klaritromisin Mekanisme


kerja kerja

Efek Efek
samping samping

Interaksi Interaksi
obat obat

Gagal Ginjal Akut dan Parameter hasil Lab


Rhabdomyolysis

BUN
Teofilin

Scr

Isozim CK

Kreatinin
kinase

Adjusment dosis

10
STEP V
1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses ADME, mekanisme kerja, efek samping,
interaksi obat dan parameter farmakokinetika dari teofilin
2. Mahasiswa mampu menjelaskan proses ADME, mekanisme kerja, efek samping,
interaksi obat dan parameter farmakokinetika dari klaritromisin
3. Mahasiswa mampu menginterpretasikan hasil pemeriksaan laboratorium pada
kasus
4. Mahasiswa mampu menghitung adjustment dosis pada kasus

STEP VI
Pertanyan dari STEP III yang belum terjawab
1. Mekanisme kerja, efek samping dan dosis dari obat teofillin dan obat
klaritromisin untuk pasien gagal ginjal
A. Theofilin
a. Mekanisme Kerja :
Merelaksasikan otot – otot pada saluran pernafasan dan menekan respon
saluran nafas terhadap rangsangan
b. Efek Samping :
Sakit kepala, insomnia, iritasi (kulit merah), gelisah, kejang, diare, mual dan
muntah, tremor otot, detak jangtung berdebar, hiperkalsemia, sulit buang air
kecil, infark miokard akut, stimulasi sistem saraf pusat
c. Dosis :
Dewasa : 130-150 mg, jika diperlukan dapat dinaikkan menjadi 2 kalinya.
Anak : 6-12 tahun: 65-150 mg, kurang dari 1 tahun: 65-75 mg, 3-4 kali
sehari sesudah makan.
Tablet lepas lambat: 1 tablet per hari tergantung respons masing-masing dan
fungsi pernafasan
B. Klaritromisin
a. Mekanisme Kerja :

11
infeksi saluran napas bagian atas (seperti: faringitis/tonsillitis yang
disebabkan Staphylococcus pyogenes dan sinusitis maxillary akut yang
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae), infeksi ringan dan sedang pada
kulit dan jaringan lunak, otitis media; terapi tambahan untuk
eradikasi Helicobacter pylori pada tukak duodenum 
b. Efek Samping :
dispepsia, sakit kepala, gangguan indra perasa dan penciuman, hilangnya
warna gigi dan lidah, stomatitis, glossitis, dan sakit kepala;
lebih jarang: hepatitis, arthralgia, dan myalgia; jarang: tinnitus; sangat
jarang: pankreatitis, pusing, insomnia, mimpi buruk, ansietas, bingung,
psikosis, paraesthesia, konvulsi, hipoglikemia, gagal ginjal, leucopenia, dan
trombositopenia
c. Dosis :
Oral : 250 mg tiap 12 jam selama 7 hari, pada infeksi berat dapat
ditingkatkan sampai 500 mg tiap 12 jam selama 14 hari.
Anak dengan berat badan kurang dari 8 kg, 7,5 mg/kg bb dua kali sehari; 8-
11 kg (1-2 tahun), 62,5 mg dua kali sehari; 12-19 kg (3-6 tahun), 125 mg dua
kali sehari; 20-29 kg (7-9 tahun), 187,5 mg dua kali sehari; 30-40 kg (10-12
tahun), 250 mg dua kali sehari.
Infus intravena : 500 mg dua kali sehari pada vena besar; tidak dianjurkan
untuk anak-anak.
Sumber : Medscape dan PIONAS (Pusat Informasi Obat Nasional) BPOM
2. ADME dari obat teofillin dan obat klaritromisin
A. Theophylline
1. Absorbsi
Teofilin diabsorbsi secara cepat dan lengkap setelah pemberian oral dalam
bentuk larutan atau sediaan oral padat yang segera dilepaskan.
2. Distribusi
40% albumin dengan volume 0,3-0,7 L/kg
3. Metabolisme

12
Di hati. Biotransformasi terjadi melalui demetilasi menjadi 1-metilxantin
dan 3-metilxantin dan hidroksilasi menjadi asam 1,3-dimetilurat. 1-
metilxantin selanjutnya dihidroksilasi, oleh xantin oksidase, menjadi asam
1-metilurat. Sekitar 6% dari dosis teofilin adalah N-metilasi menjadi
kafein. Kafein dan 3-metilxantin adalah satu-satunya metabolit teofilin
dengan aktivitas farmakologis.
4. Ekskresi/eliminasi
Teofilin tidak mengalami eliminasi pra-sistemik yang berarti,
didistribusikan secara bebas ke jaringan bebas lemak dan dimetabolisme
secara ekstensif di hati. Ekskresi ginjal dari teofilin yang tidak berubah
pada neonatus berjumlah sekitar 50% dari dosis, dibandingkan dengan
sekitar 10% pada anak-anak yang lebih tua dari tiga bulan dan pada orang
dewasa.
B. Clarithromycin
1. Absorbsi
Klaritromisin diserap dengan baik, stabil terhadap asam dan dapat
dikonsumsi bersama makanan.
2. Distribusi
Tidak didistribusi, 70% terikat protein
3. Metabolisme
Hepatik - sebagian besar dimetabolisme oleh CYP3A4 menghasilkan
banyak interaksi obat.
4. Ekskresi/eliminasi
Setelah tablet 250 mg setiap 12 jam, sekitar 20% dari dosis diekskresikan
dalam urin sebagai klaritromisin, sedangkan setelah tablet 500 mg setiap
12 jam, ekskresi klaritromisin melalui urin agak lebih besar, sekitar 30%.
Sumber : Drugbank
3. Apa yang dimaksud dengan BB, MB dan MM
 BB (Double Brain) otak dan otot polos sumber utama keratin kinase
 MB (Muscle Brain) otot jantung sumber utama keratin kinase

13
 MM (Double Muscle) otot rangka sumber utama keratin kinase
(Saryono, 2014).
4. Perhitungan nilai GFR
Diketahui :
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Umur : 72 tahun
 Scr : 7,4 mg/dL
Menurut MDRD (Modification of Diet in Renal Disease)
GFR = 175 x Scr -1,154 x Umur -0,203
= 175 x 7,4 mg/dL -1,154 x 72 -0,203
= 175 x 0,099 x 0,419
= 7,259 mg/dL
8. Apakah ada interaksi antara teofilin dan klaritromisin
Ada, Interaksi obat antara Teofilin dan Klaritromisin
Teofilin >< Klaritromisin (Moderate)
Menggunakan klaritromisin bersama dengan teofilin dapat meningkatkan efek
teofilin.

(Drug Interaction Checker)

9. Apakah ada hubungan antara Rhabdomyolysis dengan gagal ginjal


Rhabdomyolysis adalah kelainan otot yang ditandai dengan kebocoran isi sel
otot rangka (elektrolit, mioglobin dan protein sarkoplasma) ke dalam sirkulasi.
Selain keparahan kondisi akut yang menyebabkan rhabdomyolysis, komplikasi
yang mengancam jiwa terkait dengan nekrosis sel otot masif termasuk
hiperkalemia dan hipokalsemia berat, cedera ginjal akut, dan syok hipovolemik
(Candela et al., 2020).

14
Rhabdomyolysis (RM) adalah sindrom klinis yang ditandai dengan cedera
pada serat otot rangka dengan gangguan dan pelepasan isinya ke dalam sirkulasi.
Mioglobin, creatine phosphokinase (CK) dan laktat dehidrogenase adalah zat
yang paling penting untuk menunjukkan kerusakan otot (Petejova & Martinek,
2014).
Patofisiologi RM-induced AKI diyakini dipicu oleh mioglobin sebagai toksin
penyebab disfungsi ginjal. Mioglobin yang terlepas dalam jumlah besar
melampaui kapasitas pengikatannya dengan globulin plasma, akan difiltrasi oleh
glomeruli dan mencapai tubuli, yang berakibat obstruksi tubular dan disfungsi
ginjal (Petejova & Martinek, 2014; Wangko, 2013).
Jawaban Step V
1. Proses ADME, mekanisme kerja, efek samping, interaksi obat dan
parameter farmakokinetika dari teofilin
1. ADME
 Absorpsi
Waktu plasma puncak: 1-2 jam; Konsentrasi plasma puncak: 10 mcg/mL
 Distribusi
Ikatan Protein: 40-55%; Vd: 0,3-0,7 L/kg
 Metabolisme
Dimetabolisme di hati oleh CYP1A2 dan CYP3A4, Metabolit: asam 1,3-
Dimethyluric, asam 1-methyluric, 3-methylxanthine
 Eliminasi
 Waktu paruh: Bukan perokok, 8 jam; perokok, 4-5 jam; Klirens: 1,45
mL/menit/kg; Ekskresi di urine ~50% sebagai obat yang tidak berubah.
Sumber ; Medscape
2. Mekanisme kerja
Teofilin melemaskan otot polos saluran pernapasan dan menekan respons
saluran udara terhadap rangsangan Dapat meningkatkan konsentrasi jaringan
siklik adenin monofosfat (cAMP) dengan menghambat 2 isoenzim

15
fosfodiesterase (PDE III dan, pada tingkat lebih rendah, PDE IV), yang pada
akhirnya menginduksi pelepasan epinefrin dari sel medula adren.
Sumber : Medscape
3. Efek Samping
- Sakit kepala
- Insomnia
- Lekas marah
- Gelisah
- Kejang
- Diare
- Mual
- Muntah
- Dieresis
- Dermatitis eksfoliatif
- Takikardi, berdebar
- Tremor otot rangka
- Hiperkalsemia (dengan penyakit hipertiroid yang menyertai)
- Kesulitan buang air kecil (laki-laki lanjut usia dengan prostatisme)
Sumber : Medscape
4. Interkasi Obat
Teofilin dapat berinteraksi dengan beberapa obat diantaranya yaitu:
 Dipiradamol
teofilin menurunkan efek dipiridamol dengan antagonisme
farmakodinamik. Kontraindikasi. Dapat menghasilkan hasil negatif palsu
dalam tes pencitraan dipyridamole thallium. Pisahkan 24 jam.
 Febuxostat
febuxostat meningkatkan kadar teofilin dengan menurunkan metabolisme.
Kontaindikasi .
 Riociguat

16
Teofilin dengan riociguat. meningkatkan efek yang lain dengan
vasodilatasi aditif. Pemberian bersama inhibitor PDE-5 nonspesifik
(misalnya, dipiridamol, teofilin) dan stimulator guanylate cyclase
(misalnya, riociguat) dikontraindikasikan karena risiko hipotensi aditif.
Kontraindikasi
 Klaritromisin
Klaritromisin, akan meningkatkan kadar atau efek teofilin dengan
mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus. Hindari atau
Gunakan Obat Alternatif.
 Cimetidine
Cimetidine, akan meningkatkan kadar atau efek teofilin dengan
mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus. Hindari atau
Gunakan Obat Alternatif.
 Ciproploksasin
ciprofloxacin akan meningkatkan kadar atau efek teofilin dengan
mempengaruhi metabolisme enzim CYP1A2 di hati. Hindari atau
Gunakan Obat Alternatif. Penggunaan bersama teofilin dan siprofloksasin
telah menurunkan pembersihan teofilin dan meningkatkan kadar plasma
dan gejala toksisitas. Reaksi serius dan fatal termasuk serangan jantung,
kejang, status epileptikus, dan gagal napas. Jika penggunaan bersamaan
tidak dapat dihindari, pantau kadar teofilin dan sesuaikan dosis sesuai
kebutuhan.
Sumber : Medscape
5. Parameter Farmakokinetik
 Tetapan kecepatan absorbsi (Ka) : 0,209 jam-1 (Parfati et al.,
2018)
 Cl (Klirens) : 1,45 mL/menit/kg (Medscape)
 VD (Volume Distribusi) : 0,3-0,7 L/kg (Medscape)

17
 T ½ (Waktu Paruh eleminasi) : bukan perokok, 8 jam; perokok,
4-5 jam (Medscape)
 Ke (tetapan kecepatan eleminasi) : K=0,080 jam-1 (Parfati et al.,
2018)
 Tmax (Waktu kadar puncak) : 1-2 jam (Medscape)
 Cp max (Kadar puncak) : 10 mcg/mL (Medscape)
 AUC (Area dibawah kurva) : 97,56 µg/ml jam (Parfati et al.,
2018)
2. Mahasiswa mampu menjelaskan prose ADME, mekanisme kerja, efek
samping, interaksi obat dan parameter farmakokinetika dari klaritromisin
1. Proses ADME
 Adsorbsi
- Sangat stabil dengan adanya asam lambung (tidak seperti
eritromisin); penundaan makanan tetapi tidak mempengaruhi
tingkat penyerapan
- Waktu plasma puncak: 2-3 jam (pelepasan segera); 5-8 jam (rilis
diperpanjang)
 Distribusi
- Didistribusikan secara luas ke sebagian besar jaringan tubuh
kecuali sistem saraf pusat (SSP)
- Protein terikat: 42-50%
 Metabolisme
- Sebagian dimetabolisme oleh CYP3A4
- Metabolit: klaritromisin 14-OH (aktif)
- Eliminasi Waktu paruh: Pelepasan segera, 3-7 jam; metabolit aktif,
5-9 jam.
 Ekskresi: Urine (30-55%)
2. Mekanisme kerja

18
Antibiotik makrolida semisintetik yang mengikat secara reversibel ke situs P
subunit ribosom 50S dari organisme yang rentan dan dapat menghambat
sintesis protein yang bergantung pada RNA dengan merangsang disosiasi
peptidil t-RNA dari ribosom, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri.
3. Efek samping
 Sakit kepala
 Pusing
 Diare
 Mual dan muntah
 Gangguan pencernaan,perut terasa kembung atau sakit perut
4. Interaksi obat

Menggunakan klaritromisin bersama dengan teofilin dapat meningkatkan


efek teofilin. Tanda dan gejala seperti mual, muntah, diare, sakit kepala,

19
gelisah, insomnia, kejang, atau detak jantung tidak teratur (Drug Interaction
Report).

Moderate
klaritromisin akan meningkatkan kadar atau efek teofilin dengan
mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus. Hindari atau
Gunakan Obat Alternatif.

Minor
klaritromisin meningkatkan kadar teofilin dengan menurunkan metabolisme
(Medscape).
5. Parameter Farmakokinetika Clarithromicyn
 Tetapan kecepatan absorbsi (Ka) :-
 Cl (Klirens) :-
 VD (Volume Distribusi) :-
 T ½ (Waktu Paruh eleminasi) : Pelepasan segera, 3-7 jam;
metabolit aktif, 5-9 jam (Medscape).
 Ke (tetapan kecepatan eleminasi) :-
 Tmax (Waktu kadar puncak) : 2-3 jam (Medscape).
 Cp max (Kadar puncak) :-
 AUC (Area dibawah kurva) :
3. Mahasiswa mampu menginterpretasikan hasil pemeriksaan laboratorium
pada kasus
Lima hari setelah kunjungan kedua, pasien dirawat di rumah sakit karena
twitching, muscular weakness, demam tinggi dan kondisi umum yang serius.
Nitrogen urea darah adalah 106,1 mg / dl, kreatinin serum 7,4 mg / dl, serum
kreatinin kinase (CK) adalah 36.000 IU / l (normal 15-130 IU / l), isozim CK
mengungkapkan rasio berikuintert: BB 0%, MB 1% dan MM 99%.
a. BUN 106,1 mg/dl (Normal : 6-20 mg/dL)

20
Ureum merupakan produk akhir katabolisme dari protein dan asam amino
yang diproduksi oleh hati dan didistribusikan melalui cairan intraseluler dan
ekstraseluler ke dalam darah untuk di filtrasi oleh glomerulus. Pengukuran
ureum serum dapat di gunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal, status
hidrasi, menilai keseimbangan nitrogen, menilai progresivitas penyakit ginjal,
dan menilai hasil hemodialisis. Kadar ureum dapat diukur melalui tes blood
urea nitrogen (BUN) dimana pemeriksaan ureum sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis gagal ginjal akut (Verdianshay, 2016).
b. Kreatinin serum 7,4 mg/dl
Kreatinin merupakan hasil pemecahan kreatin fosfat otot, diproduksi oleh
tubuh secara konstan tergantung massa otot. Kadar kreatinin berhubungan
dengan massa otot, menggambarkan perubahan kreatinin dan fungsi ginjal.
Kadar kreatinin relatif stabil karena tidak dipengaruhi oleh protein dari diet.
Ekskresi kreatinin dalam urin dapat diukur dengan menggunakan bahan urin
yang dikumpulkan selama 24 jam. Kadar kreatinin tidak hanya tergantung
pada massa otot, tetapi juga dipengaruhi oleh aktivitas otot, diet, dan status
kesehatan. Penurunan kadar kreatinin terjadi pada keadaan glomerulonefritis,
nekrosis tubuler akut, polycystic kidney disease akibat gangguan fungsi
sekresi kreatinin. Penurunan kadar kreatinin juga dapat terjadi pada gagal
jantung kongestif, syok, dan dehidrasi, pada keadaan tersebut terjadi
penurunan perfusi darah ke ginjal sehingga makin sedikit pula kadar kreatinin
yang dapat difi ltrasi ginjal.
The National Kidney Disease Education Program merekomendasikan
penggunaan serum kreatinin untuk mengukur kemampuan filtrasi glomerulus,
digunakan untuk memantau perjalanan penyakit ginjal. Pada keadaan gagal
ginjal dan uremia, ekskresi kreatinin oleh glomerulus dan tubulus ginjal

21
menurun. Kadar kreatinin yang dipergunakan dalam persamaan perhitungan
memberikan pengukuran fungsi ginjal yang lebih baik, karena pengukuran
klirens kreatinin memberikan informasi mengenai GFR (Verdiansah, 2016).
 Klirens Kreatinin
Klirens suatu zat adalah volume plasma yang dibersihkan dari
zat tersebut dalam waktu tertentu. Klirens kreatinin dilaporkan dalam
mL/menit dan dapat dikoreksi dengan luas permukaan tubuh. Klirens
kreatinin merupakan pengukuran GFR yang tidak absolut karena
sebagian kecil kreatinin direabsorpsi oleh tubulus ginjal dan sekitar
10% kreatinin urin disekresikan oleh tubulus. Namun, pengukuran
klirens kreatinin memberikan informasi mengenai perkiraan nilai GFR
(Verdiansah, 2016).

 Perhitungan estimated GFR (eGFR)


The National Kidney Foundation merekomendasi bahwa
estimated GFR (eGFR) dapat diperhitungkan sesuai dengan kreatinin
serum. Perhitungan GFR berdasarkan kreatinin serum, usia, ukuran
tubuh, jenis kelamin, dan ras tanpa membutuhkan kadar kreatinin urin
menggunakan persamaan Cockcroft and Gault (Verdiansah, 2016).

22
The Abbreviated Modification of Diet in Renal Disease
(MDRD) mempunyai persamaan untuk mengukur GFR dengan
meliputi empat variabel, yaitu kreatinin plasma, usia, jenis kelamin,
dan ras. Persamaan MDRD digunakan untuk mengukur estimated
glomerular filtration rate (eGFR), yaitu:

Hasil dari persamaan ini diperhitungkan dengan permukaan


tubuh (1,73 m2). Persamaan MDRD cocok untuk pasien dewasa usia
18 tahun sampai dengan 70 tahun (Verdiansah, 2016).
c. Serum Kreatinin Kinase (CK) 36.000/1 (normal 15-130 IU / l) dengan BB
0%, MB 1% ,MM 99%
Kreatin kinase (CK) atau kreatin fosfokinase (CPK) merupakan enzim
yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada otot jantung dan otot rangka,
dan dalam konsentrasi rendah pada jaringan otak yang berfungsi untuk
mengkatalis fosforilasi kreatin. Enzim kreatin kinase (creatine kinase, CK)
dilepaskan ke dalam darah oleh jaringan otot yang cedera. Peningkatan CK
melebihi 5 kali batas atas normal telah mengindikasikan suatu rabdomiolisis
(Walter LA, 2008). Enzim CK merupakan suatu molekul dimerik yang terdiri
dari sepasang monomer berbeda yang disebut M (Muscle = berkaitan dengan
otot), dan B (Brain = berkaitan dengan otak). Kombinasi kedua sub unit
menghasilkan tiga isoenzim kreatin kinase yang berbedayaitu CK1 (CKBB),
CK2 (CK-MB), dan CK3 (CKMM) (Sunny Wangko, 2016).

23
Distribusi isoenzim CK relatif spesifik pada jaringan. Sumber jaringan
utama CK adalah otak dan otot polos (BB), otot jantung (MB dan MM), dan
otot rangka (MM). Enzim CK3 dan sMtCK ditemukan di otot skelet,
sedangkan CK1 dan uMtCK banyak ditemukan di otak, otot polos dan
jaringan lain.Injuri pada jaringan otak dapat meningkatkan aktivitas CK-BB
dalam cairan otak, tetapi jarang meningkatkan aktivitas CK serum total.
Enzim CK-MM dan CK-BB sama sekali tidak relevan untuk mendeteksi
nekrosis pada otot jantung.Enzim CK-MB mempunyai konsentrasi yang
tinggi di otot jantung, tetapi sedikit di otot skelet.Enzim CK-MM mayoritas
terdapat pada otot skelet dan sedikit di otot jantung. Enzim ini akan meningkat
aktivitasnya seiring dengan peningkatan aktivitas CK total (Zemtsov A,
2007).
Menurut The Clinical Advisory on Statins, untuk mendiagnosis suatu
rabdomiolisis diperlukan gejala klinis gangguan otot, peningkatan CK 10 kali
lipat dari nilai normal atas, serta peningkatan kreatinin dan nefropati yang
disertai urin berwarna merah (Antons KA, 2006). Degradasi jaringan dan
pelepasan CK berlangsung lambat. Konsentrasi CK akan meningkat 2-12 jam
setelah cedera otot, mencapai puncak setelah 1-3 hari, kemudian menurun
secara gradual dalam 3- 5 hari setelah trauma berakhir. Waktu paruh CK 1,5
hari sehingga CK (terutama CK-MM) dapat bertahan lebih lama dari
mioglobin dan merupakan penanda yang lebih bermanfaat dibandingkan
myoglobin (Sunny Wangko, 2016).
CK yang menetap mengindikasikan cedera otot yang masih berlangsung,
terjadinya sindroma kompartemen, atau gagal ginjal akut. Terjadinya
rabdomiolisis tahap awal perlu dicurigai pada pasien yang berisiko bila
terdapat peningkatan kadar CK 2-3 kali lipat, untuk itu diperlukan suatu
pemeriksan CK serial.
Untuk menurunkan kadar CPK perlu diketahui dulu penyebab kenaikannya :
- Peningkatan besar (Lebih dari 5 kali Normal) : Distrofi otot Duchenne,
polimiositis, dermatomiositis, infark miokardium akut (MCI akut)

24
- Peningkatan ringan-sedang (2-4 kali Normal) : Infark miokardium akut
(MCI akut), cedera iskemik berat; olah raga berat, taruma, cedera
serebrovaskuler (CVA), tindakan bedah; delirium tremens, miopatik
alkoholik; infark paru; edema paru (beberapa pasien); hipotiroidisme;
psikosis agitatif akut. Pengaruh obat : Injeksi IM, deksametason
(Decadron), furosemid (lasix), aspirin (dosis tinggi), ampisilin,
karbenisilin, klofibrat.

4. Mahasiswa mampu menghitung adjustment dosis pada kasus


 Teofilin 200 mg/hari sustained release
Dosis 200 mg/hari sudah tepat, berdasarkan Renal Book pemberian dosis
teofilin untuk nilai GFR <10 menggunakan dosis yang diberikan.

25
Namun pemberian teofilin dengan antibiotic harus diperhatikan, terutama
dengan klaritromisin karena dapat meningkatkan efek dari teofilin.

 Klaritromisin 400 mg/hari


Untuk dosis Klaritromisin seharusnya diberikan dalam dosis 250 mg atau 500
mg/hari tiap 12 jam.

Pemberian dosis klaritromisin dengan nilai GFR <10 dapat diberikan dosis
yang sama yaitu 250-500 mg/hari tiap 12 jam. Namun pemberiannya perlu
diperhatikan, jangan diberikan secara bersamaan dengan klaritromisin karena
dapat meningkatkan efek teofilin.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C., Allen, I.V., dan Popovich, N.G., 1999, Pharmaceutical Dosage Form and
Drug Delivery Systems, Lippincott Williams dan Wilkins, Philadelpia.
Antons KA, Williams CD, Bakes SK, Philips PS. (2006). Clinical perspectives of
statin-induced rhabdomyolysis. The American Journal of
Medicine.119(5):400-9.
Amartya DE, Bala NN, Khanra S. (2013). Rhabdomyolysis and its treatments.
International Journal of Research in Pharmaecutical and Biomedical
Sciences.4(1):344-8.
Brunner, & Suddarth. (2011). Keperawatan Medikal Bedah (12th ed.). Jakarta:
Kedokteran EGC.
Candela, N., Silva, S., Georges, B., Cartery, C., Robert, T., Frances, J. M., . . . Sallee,
M. (2020). Short- and long-term renal outcomes following severe

27
rhabdomyolysis: a French multicenter retrospective study of 387 patients.
Annals of Intensive Care, 10(27), 1-7. doi:https://doi.org/10.1186/s13613-020-
0645-1.
Caroline Ashley and Aileen Currie. The Renal Drug Handbook Third Edition. 2009.
UK Renal Pharmacy Group.
Chernecky, C. C. dan Berger, B. J. 2013. Lboratory Test and Diagnostic Proseduere
Edition 6. St. Louise : Elsevier Saunders.
Gulia R, Goswami B. (2020). Creatine Kinase-MB measurement using
Immunoinhibition methodology. How much is the interference?. Panacea J
Med Sci. 10(2): 114-119.
Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology 12th edition. San Fransisco:
McGraw Hill Lange. 2012: chapter 39.
Kidney Disease : Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD work group. KDIGO
2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic
Kidney Disease. Kidney ind suppl. 2013. 3:1-150.
LeMone, P, dkk. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Gangguan
Integumen, Gangguan Endokrin, dan Gangguan Gastrointestinal Vol 2 Edisi 5.
Terjemahan Oleh, Bhetsy Angelina, et al. 2015. Jakarta: EGC.
Nani Parfati , Jenny Chandra , Tan Kiauw Sia , Doddy de Queljoe , dan Thomas
Kardjito. 2018. Studi Farmakokinetika Teofilina Setelah Pemberian Oral
Dosis Tunggal Tablet Teofilina dan Aminofilina Lepas Kendali pada Subyek
Normal. Media Pharmaceutica Indonesiana Vol. 2 No. 1
PERNEFRI. 2015. Frekuensi Tindakan Hemodialisis per Minggu di Indonesia Tahun
2011 dalam 5 th Report of Indonesia Renal Registry. Jakarta: Perkumpulan
Nefrologi Indonesia
Petejova, N., & Martinek, A. (2014). Acute kidney injury due to rhabdomyolysis and.
Cricital Care, 18(224), 1-8.
Saguil, A. (2005). Evaluation of the patient with muscle weakness. American family
physician, 71(7), 1327-1336.

28
Schlattner U, Möckli N, Speer O, Werner S, Wallimann T. (2002). Creatine kinase
and creatine transporter in normal, wounded, and diseased skin. J Invest
Dermatol.118(3):416-23.
Sauret, J. M., Marinides, G., & Wang, G. K. (2002). Rhabdomyolysis. American
family physician, 65(5), 907.
Saryono. Peran Kreatin Kinase sebagai Marker dalam Penyembuhan
Luka. Prosiding Konferensi Nasioal II PPNI Jawa Tengah. 2014:23-26.
Sunny Wangko. Rhabdomyolysis. Bagian Anatomi-Histologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 5,
Nomor 3, November 2013, hlm. 157-164
Verdiansah. (2016). Pemeriksaan Fungsi Ginjal. CDK-237. 43(2).
Wangko, S. (2013). Rabdomiolisis. Jurnal Biomedik, 5(3) 157-164.
Walter LA, Catenacci MH. Rhabdomyolysis. Hospital Physician. 2008 January:25-
31.
Wong D. L.,Whaly (2004). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Alih Bahasa
Sunarno,Agus dkk.Edisi 6 Volume 1.Jakarta :EGC.
Zemtsov A. 2007. Skin phosphocreatine. Skin Res Technol;13(2):115-8.

29

Anda mungkin juga menyukai