Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa

yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006; Wei, 2006).

Diperkirakan ada 10.000 kasus baru KNF pertahun di Indonesia

(Kurnianda, 2009). Di Indonesia KNF menduduki urutan pertama pada

keganasan di daerah kepala dan leher serta termasuk urutan kelima pada

tumor ganas di seluruh tubuh.

Di Asia Tenggara (Thailand, Vietnam, Indonesia, Malaysia dan

Singapura) insidensinya 5-9 kasus per 100.000 populasi (Her, 2001, Chen

et al, 2013). Provinsi Guangdong di China Selatan memiliki prevalensi

KNF tertinggi yakni 25-50 per 100.000 penduduk (Lu et al, 2013). Di

RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2002 ditemukan 130

penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher (Lutan,

2003). Di Departemen Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo selama

periode 2008-2009 sebanyak 499 pasien KNF memperoleh radiasi

(Susworo, 2010).

Diagnosis pasti memerlukan biopsi lesi (Her, 2001; Jeyakumar, 2006).

Pemeriksaan radiologis dibutuhkan untuk menentukan stadium penyakit.

Pemeriksaan radiologis yang lebih baik untuk KNF adalah CT-Scan

dengan kontras dan MRI. Adanya penyangatan (enhancement) pada regio

1
Universitas Sumatera Utara
tersebut mencurigakan akan adanya suatu proses keganasan.

Pemeriksaan ini dapat memberikan detail yang lebih baik tentang

perluasan dan keterlibatan intrakranial. CT-Scan pada bone setting dapat

menunjukkan adanya erosi tulang. Faktor-faktor ini penting untuk

menentukan stadium penyakit (Jayekumar, 2006).

Kendala yang dihadapi dalam penanganan KNF adalah bahwa

sebagian besar penderita datang pada stadium lanjut (stadium III dan IV),

bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek.

Diagnosis dini seringkali sulit dilakukan karena gejala yang tidak khas dan

pemeriksaan nasofaring yang sulit dilakukan.

Selain itu KNF dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi

untuk mengadakan metastasis regional maupun jauh (Chen et al, 2013).

Keadaan inilah yang menyebabkan penatalaksanaan KNF belum

memberikan hasil yang memuaskan (Mulyarjo, 2002; Jeyakumar, 2006).

Radioterapi merupakan pengobatan terpilih dalam penatalaksanaan

KNF (Demizu, 2006). Hingga saat ini, hasil dari 6 penelitian dan 2 meta-

analisis telah menunjukkan bahwa konkuren kemoradioterapi lebih

superior dibandingkan radioterapi tunggal dalam hal bebas kekambuhan

dan overall survivor (Agulnik dan Siu, 2005). Namun pasien yang

menerima kemoradioterapi dapat mengalami kerusakan struktur tulang

yang berakibat anemia, leukopenia dan trombositopenia (Hillman, 2005).

Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sintesis prostaglandin

meningkat pada sel tumor dan jaringan kanker setelah radiasi dan

penghambatan sintesis prostaglandin dengan NSAID dapat

Universitas Sumatera Utara


mempotensiasi efek antitumor radiasi in vivo, sehingga menjadi dasar

untuk penelitian yang menyelidiki peranan COX-2 terhadap respon tumor

terhadap radiasi dan kemungkinan potensial mengkombinasikan

penghambat COX-2 selektif dengan radiasi (Choy dan Milas, 2003).

Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim pada jalur biosintetik dari

prostaglandin (PG), tromboksan dan prostasiklin dari asam arakhidonat.

Terdapat dua bentuk COX yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 berfungsi

sebagai “housekeeping” gen pada hampir semua jaringan normal. COX-2

terangsang selama proses radang dan neoplasma (Murono, 2001;

Andrianto, 2008; Levita, 2009).

Ekspresi seluler COX-2 meningkat di atas normal pada stadium awal

karsinogenesis dan melalui perkembangan tumor dan pertumbuhan

invasif tumor. Prostaglandin yang berasal dari COX-2 berperan dalam

karsinogenesis, inflamasi, supresi respon imun, inhibisi apoptosis,

angiogenesis, invasi sel tumor dan metastasis (Choy dan Milas, 2003).

Beberapa penelitian menemukan ekspresi COX-2 yang cukup tinggi pada

penderita KNF, yaitu 70,6% dan 79% (Tan dan Putti, 2005; Soo, 2005).

Induksi COX-2 atau overekspresinya berhubungan dengan

peningkatan produksi prostaglandin, termasuk prostaglandin E2 (PGE2).

PGE2 melalui perantara aktivasi MAPK dapat meningkatkan regulasi Bcl-2

yang merupakan protein antiapoptosis. PGE2 juga dapat meregulasi

EGFR melalui pelepasan amphiregulin sehingga dapat meningkatkan

proliferasi sel tumor (Sebolowski, 2010).

Universitas Sumatera Utara


Peningkatan ekspresi COX-2 pada sel kanker kolon manusia

menginduksi angiogenesis in vitro melalui induksi faktor angiogenik seperti

Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Basic Fibroblast Growth

Factor (Murono, 2001; Kyzas, 2005; Kaul, 2006; Soo, 2005). VEGF

memproduksi matrix metalloprotein (MMP). MMP memecah ektraseluler

matrix. Hal ini merangsang migrasi sel endotel. Sel endotel mulai

membelah begitu mereka bermigrasi ke jaringan sekitarnya. Kemudian

tersusun menjadi pembuluh darah dan berkembang menjadi pembuluh

darah matur (Nishida, 2006).

Penelitian oleh Konturek (2005) menyatakan bahwa penghambatan

COX-2 juga berhubungan dengan penurunan level serum sitokin

proinflamasi IL-8 dan TNF-α. Penghambatan COX-2 pada kanker lambung

merangsang peningkatan PPAR-γ secara signifikan pada jaringan kanker

lambung.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian penghambat

COX-2 terhadap penderita tumor memberikan hasil yang positif melalui

efek kemopreventif dan radiosensitizer (Steinbach, 2000; Choy dan Milas,

2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Steinbach (2000) menyatakan bahwa

pemberian 400 mg celecoxib (penghambat cyclooxygenase-2 yang

selektif) dua kali sehari selama 6 bulan pada penderita familial

adenomatous polyposis menghasilkan penurunan jumlah polip kolorektal

secara signifikan.

Universitas Sumatera Utara


Soo (2005) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pemberian

celecoxib 400 mg dua kali sehari selama 2 minggu menunjukkan

penurunan yang bermakna pada proses angiogenesis sementara pada

kelompok kontrol tidak dijumpai perubahan. Namun pada penelitian ini

tidak diberikan perlakuan kemoradioterapi dan tidak dinilai hubungan efek

celecoxib dengan respon klinis.

Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa prevalensi penderita KNF

cukup tinggi di Indonesia dan sebagian besar terdiagnosis pada stadium

lanjut. Peningkatan stadium pada KNF menunjukkan prognosis yang

buruk bagi penderita. Penatalaksanaan masih belum memberikan hasil

yang memuaskan, terutama pada stadium lanjut. Karena itu perlu

dipikirkan suatu terapi tambahan yang dapat meningkatkan efek terapi

utama (radioterapi dan kemoterapi) pada KNF.

Pemberian penghambat COX-2 diharapkan akan meningkatkan efek

terapi standar dengan cara kemopreventif dan radiosensitisasi serta

mengurangi progresivitas KNF. Sediaan penghambat COX-2 mudah

didapat, harganya relatif murah dan mudah penggunaannya.

Pada penelitian ini dipilih etoricoxib dengan dosis 60 mg sebagai

penghambat COX-2 selektif, karena memiliki efek penghambat COX-2

yang lebih besar dari celecoxib dan memiliki efek samping gastrointestinal

yang lebih rendah. Etoricoxib memiliki waktu paruh 20 jam sehingga dapat

diberikan sekali dalam sehari (Takemoto, 2008).

Sebagai penghambat COX non-selektif dipilih piroxicam. Dosis yang

dianjurkan untuk efek analgesik dan anti inflamasi adalah 20 mg sekali

Universitas Sumatera Utara


sehari. Piroxicam diserap setelah 30 menit dan mencapai level serum

puncak 3-5 jam setelah pemberian secara oral. Obat ini memiliki waktu

paruh yang panjang yaitu 50 jam (Gramke, 2006; Keles, 2010) sehingga

dapat diberikan sekali sehari.

Untuk menilai respon klinis, akan di nilai perubahan gejala klinis dan

Karnofsky Performance Status Scale sebelum dan sesudah

kemoradioterapi konkuren dan dibandingkan antara COX-2 selektif, COX-

2 non selektif dan plasebo. Karena gejala klinis cenderung subjektif, maka

dilakukan penilaian beberapa parameter lain yaitu ukuran tumor primer,

pembesaran kelenjar getah bening dan stadium tumor. Pada penelitian ini

dipilih penggunaan CT-Scan dengan kontras dikarenakan alat ini lebih

banyak terdapat pada sentra-sentra kesehatan di Indonesia dibandingkan

dengan MRI, disamping biaya pemeriksaannya yang lebih murah.

COX-2 bekerja di tingkat seluler mempengaruhi karsinogenesis

melalui beberapa jalur yang mempengaruhi baik angiogenesis, proliferasi

maupun apoptosis (Nasr, 2009). Untuk melihat kerja anti COX-2 ini di

tingkat seluler, maka dilakukan penilaian beberapa parameter yaitu

p38MAPK, MMP-9, TNF-α, COX-2, NF-κB, PPARγ dan EGFR melalui

pemeriksaan imunohistokimia sebelum dan sesudah kemoradioterapi

konkuren.

Untuk menilai apakah pemberian penghambat COX-2 tidak

memperberat efek samping kemoradioterapi, maka dilakukan penilaian

terhadap beberapa parameter pemeriksaan laboratorium.

Universitas Sumatera Utara


Sejauh penelusuran pustaka yang saya lakukan, belum ada penelitian

yang menilai efek penghambat COX-2 selektif atau non selektif pada

kemoradioterapi konkuren terhadap respon klinis dan ekspresi

immunohistokimia pada karsinoma nasofaring. Karena itu saya

memandang perlu untuk meneliti masalah tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

1.2.1 Umum :

Bagaimana efek penghambat COX-2 selektif atau non selektif pada

kemoradioterapi konkuren terhadap respon klinis dan ekspresi

immunohistokimia pada karsinoma nasofaring.

1.2.2 Khusus :

1. Mengetahui bagaimana distribusi frekuensi karsinoma nasofaring

berdasarkan umur, jenis kelamin dan tipe histopatologi.

2. Mengetahui bagaimana perbedaan keluhan subyek pre dan post

kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan dengan

plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada karsinoma nasofaring.

3. Mengetahui bagaimana perbedaan Karnofsky Performance Status

Scale pre dan post kemoradioterapi konkuren pada kelompok

perlakuan dengan plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada

karsinoma nasofaring.

4. Mengetahui bagaimana perbedaan hasil laboratorium pre dan post

kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan dengan

plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada karsinoma nasofaring.

Universitas Sumatera Utara


5. Mengetahui bagaimana perbedaan ukuran tumor primer pre dan

post kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan dengan

plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada karsinoma nasofaring.

6. Mengetahui bagaimana perbedaan ukuran kelenjar getah bening

pre dan post kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan

dengan plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada karsinoma

nasofaring.

7. Mengetahui bagaimana perbedaan stadium klinis pre dan post

kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan dengan

plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada karsinoma nasofaring.

8. Mengetahui bagaimana perbedaan ekspresi immunohistokimia pre

dan post kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan

dengan plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada karsinoma

nasofaring.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum :

Mengetahui efek penghambat COX-2 selektif atau non selektif pada

kemoradioterapi konkuren terhadap respon klinis dan ekspresi

immunohistokimia pada karsinoma nasofaring.

1.3.2 Tujuan khusus :

1. Mengetahui distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan

umur, jenis kelamin dan tipe histopatologi.

Universitas Sumatera Utara


2. Mengetahui perbedaan keluhan subyek pre dan post

kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan dengan

plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada karsinoma nasofaring.

3. Mengetahui perbedaan Karnofsky Performance Status Scale pre

dan post kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan

dengan plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada karsinoma

nasofaring.

4. Mengetahui perbedaan hasil laboratorium pre dan post

kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan dengan

plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada karsinoma nasofaring.

5. Mengetahui perbedaan ukuran tumor primer pre dan post

kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan dengan

plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada karsinoma nasofaring.

6. Mengetahui perbedaan ukuran kelenjar getah bening pre dan post

kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan dengan

plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada karsinoma nasofaring.

7. Mengetahui perbedaan stadium klinis pre dan post kemoradioterapi

konkuren pada kelompok perlakuan dengan plasebo, etoricoxib dan

piroxicam pada karsinoma nasofaring.

8. Mengetahui perbedaan ekspresi immunohistokimia pre dan post

kemoradioterapi konkuren pada kelompok perlakuan dengan

plasebo, etoricoxib dan piroxicam pada karsinoma nasofaring.

Universitas Sumatera Utara


1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat antara lain :

1.4.1 Manfaat teori

Diketahui efek penghambat COX-2 selektif atau non selektif pada

kemoradioterapi konkuren terhadap respon klinis dan ekspresi

immunohistokimia pada karsinoma nasofaring.

1.4.2 Manfaat aplikatif

Sebagai dasar untuk pemberian penghambat COX-2 sebagai terapi

tambahan pada penderita KNF.

1.4.3 Manfaat bagi institusi

Untuk memberi masukan dalam penatalaksanaan KNF serta

menentukan prognosis penderita KNF.

1.4.4 Manfaat bagi masyarakat

Peningkatan kualitas hidup pada penderita KNF dengan

menghambat progresivitas tumor melalui pemberian penghambat

COX-2.

1.4.5 Manfaat bagi pengembangan ilmu dan penelitian

Sebagai rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan

penghambat COX-2 pada KNF.

1.5 Orisinalitas

Berdasarkan penelusuran secara kepustakaan, peneliti tidak

menemukan penelitian tentang efek penghambat COX-2 selektif etoricoxib

atau non selektif piroxicam pada kemoradioterapi konkuren terhadap

respon klinis dan ekspresi immunohistokimia pada karsinoma nasofaring.

Universitas Sumatera Utara


1.6 Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)

1. Penambahan penghambat COX-2 selektif etoricoxib pada

kemoradioterapi konkuren dapat meningkatkan respon klinis penderita

karsinoma nasofaring dalam hal menurunkan ukuran tumor,

pembesaran kelenjar getah bening dan stadium tanpa memperberat

efek samping setelah penambahannya.

2. Penambahan penghambat COX-2 non selektif piroxicam pada

kemoradioterapi konkuren dapat meningkatkan respon klinis penderita

karsinoma nasofaring dalam hal menurunkan ukuran tumor,

pembesaran kelenjar getah bening dan stadium tanpa memperberat

efek samping setelah penambahannya.

3. Pemeriksaan imunohistokimia (p38MAPK, MMP-9, TNF-α, COX-2,

NF-κB, PPARγ dan EGFR) dapat menjadi parameter bagi efek terapi

pada penderita karsinoma nasofaring.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai