Anda di halaman 1dari 16

PAPER

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

“Patofisiologi, Farmakodinamik Farmakokinetik Pada Penyakit Tetanus, GBS,


MS, dan ALS”

Dosen Pengampu : Syahrul Ningrat, S. Kep., Ns., M. Kep., Sp. MB

OLEH:

Melti
R011211085

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS

HASANUDDIN

2023
MULTIPLE SCLEROSIS
1. Patofisiologi
Sklerosis multipel (multiple sclerosis/MS) adalah penyakit neurodegeneratif
susunan saraf pusat yang ditandai dengan inflamasi kronik yang menyebabkan lesi
demielinisasi multipel. Penyebab pasti dari kejadian MS belum ditemukan, namun
ditemukan beberapa faktor predisposisi yang ditemukan pada kejadian ini seperti
autoimun, bawaan genetik, infeksi Epstein-barr, dan defisiensi vit. D.

Patofisiologi Multiple Sclerosis diawali dengan pembentukan lesi berupa infiltrat


mononuklear dengan cuffing di sekitar pembuluh darah vena dan infiltrasi di sekitar
substansi alba. Proses peradangan tersebut menyebabkan disfungsi sawar darah otak.
Demielinisasi saraf merupakan tanda patologis yang khas pada Multiple sclerosis.
Demielinisasi saraf terjadi melalui mekanisme aktivasi sel T reaktif mielin dari
sirkulasi perifer yang dapat masuk ke otak karena disfungsi sawar darah otak
(Gossman W, Ehsan M, Xixis KL, 2019).
Peradangan jaringan substansia alba dan grisea di SSP karena infiltrasi sel imun
fokal dan sitokinin adalah penyebab kerusakan pada Multiple Sclerosis. Mielin adalah
bahan berbentuk lemak yang sangat konduktif yang mengelilingi akson dan
mempercepat konduksi impuls saraf di sepanjang akson. Mielin dibuat oleh
oligidendrosit. Proses autoimun dan agen infeksius terlibat dalam pathogenesis
sclerosis multiple. Sel T teraktivasi, yang mengenali antigen diri yang diekspresikan
dalam sistem saraf pusat, dan makrofag memasuki otak dari sirkulasi perifer serta
menimbulkan inflamasi. Melalui produksi sitokin inflamasi dan spesies oksigen
reaktif, limfosit T yang teraktivasi dan mikroglia makrofag menyebabkan demielinasi
sertaan penghancuran oligodendrosit. Plak terbentuk di sepanjang selubung mielin
dan akhirnya menyebabkan jaringan parut dan kerusakan. Ketika edema dan inflamasi
merida, terjadi beberapa demielinasi tetapi sering kali tidak selesai. Meskipun plak
dapat terjadi dimana saja di bagian putih Sistem saraf pusat, daerah yang paling sering
terkena adalah saraf optic, serebrum, dan tulang belakang servikal (Popescu et al,
2013).
Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada manusia
diantaranya progressive multifocal leukoencephalopathy yang disebabkan oleh
papilloma virus JC, subakut sclerosing panencephalitis oleh virus campak. Pada MS
studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun, banyak pasien MS terdapat elevasi titer
CSF terhadap virus campak dan herpes simpleks (HSV), tetapi ini juga tidak spesifik.

2. Farmakologi
Medikamentosa pada MS terutama untuk memodifikasi penyakit (disease modifying
therapy atau DMT). DMT menggunakan obat golongan imunomodulator atau
imunosupresan, seperti interferon beta 1-a. Interferon beta 1-a dapat menjadi
imunomodulator atau pengendali terhadap sistem imun. Jenis obat ini memang
diindikasikan untuk pasien dengan relapsing multiple sclerosis.
Interferon beta 1-a bekerja sebagai antiviral dan imunoregulator ketika berinteraksi
dengan area reseptor spesifik yang berada di permukaan sel. Interferon merupakan
protein yang memang dihasilkan oleh tubuh. Dengan pemberian tambahan interferon,
akan semakin mengendalikan sistem imun yang salah mengenali. Melalui berbagai
mekanisme, interferon-beta menurunkan kemampuan APC dalam mengenali antigen,
berpotensi menggeser polarisasi Th1/Th2/Th17 ke keadaan yang lebih anti-inflamasi,
meningkatkan aktivitas regulasi sel T dan sel B, dan mengurangi kemampuan sel B
untuk menyajikan antigen.
Selain IFN-b1, Glatiramer asetat yang merupakan campuran asam amino sintetik
menyerupai komponen protein dari mielin, dapat bekerja menghalangi reaksi imun
terhadap mielin. Medikamentosa simtomatik dapat diberikan untuk mengurangi gejala
klinis seperti rasa lelah berlebihan, spastisitas, gangguan pencernaan dan berkemih,
gangguan kognitif, dan nyeri. Corticosteroid seperti methylprednisolone,
dexametasone, dan prednisone untuk mengurangi inflamasi/menekan peradangan dan
mempercepat penyembuhan pada eksaserbasi akut.Medikasi yang sering dipakai
untuk MS antara lain corticosteroid, imunomodulator, dan imunosupresan. Terapi
medikamentosa ditujukan untuk memodifikasi penyakit dan mengurangi gejala.
Terapi dapat dilakukan dengan memberikan obat untuk membantu meminimalisir
kerusakan lebih luas yang terjadi di otak dan sum-sum tulang belakang.
- Corticosteroid
Kortikosteroid adalah hormon steroid yang dihasilkan dari kortek adrenal. Golongan
ini merupakan antiinflamasi potensial dan sering disebut sebagai obat “dewa” karena
digunakan sangat luas pada hampir semua kasus inflamasi dan penyakit gangguan
imunitas. Berdasarkan aktivitasnya, kortikosteroid digolongkan menjadi golongan
glukokortikoid dan mineralkortikoid.

Farmakodinamik
Kortikosteroid berkaitan dengan efek obat ini pada tingkat sel dan mekanisme aksi di
dalam tubuh. Kortikosteroid bekerja dengan berinteraksi dengan reseptor
glukokortikoid yang terdapat di sel-sel target, seperti sel-sel imun, jaringan ikat, dan
sel-sel di berbagai organ.
Efek utama kortikosteroid termasuk pengurangan peradangan, penekanan sistem
kekebalan tubuh, dan pengendalian respon alergi. Kortikosteroid menghambat
produksi dan pelepasan mediator-mediator peradangan seperti prostaglandin dan
leukotrien, sehingga mengurangi peradangan dan edema.
Selain itu, kortikosteroid juga dapat mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein dalam tubuh. Mekanisme aksi ini dapat mengakibatkan efek samping
seperti peningkatan gula darah (hiperglikemia), perubahan berat badan, dan
osteoporosis.

Farmakokinetik
Kortikosteroid menghasilkan efeknya melalui berbagai jalur. Secara umum, mereka
menghasilkan efek anti-inflamasi dan imunosupresif, efek metabolisme protein dan
karbohidrat, efek udara dan elektrolit, efek sistem saraf pusat, dan efek sel darah.
Mereka memiliki mekanisme aksi genomik dan nongenomik. Mekanisme aksi genom
dimediasi melalui reseptor glukokortikoid, yang menghasilkan sebagian besar efek
anti-inflamasi dan imunosupresif.
Reseptor glukokortikoid terletak intraseluler di dalam sitoplasma dan, setelah
berikatan, bertranslokasi dengan cepat ke dalam nukleus, di mana reseptor tersebut
mempengaruhi transkripsi gen dan menyebabkan penghambatan ekspresi gen dan
translasi untuk inflamasi leukosit dan sel struktural seperti epitel. Tindakan ini
penurunan menyebabkan sitokin proinflamasi, kemokin, molekul adhesi sel, dan
enzim lain yang terlibat dalam respon inflamasi. Mekanisme non-genomik terjadi
lebih cepat dan dimediasi melalui interaksi antara reseptor glukokortikoid intraseluler
atau reseptor glukokortikoid yang terikat membran. Dalam hitungan detik hingga
menit setelah aktivasi reseptor, serangkaian efek terjadi, termasuk penghambatan
fosfolipase A2, yang penting untuk memproduksi sitokin inflamasi, mengganggu
pelepasan asam arakidonat, dan mengatur apoptosis pada timosit. Kortikosteroid pada
konsentrasi tinggi juga akan menghambat produksi sel B dan sel T. Berikut ini
gambaran dari farmakokinetik kortikosteroid:
1. Penyerapan
Kebanyakan kortikosteroid yang digunakan dalam pengobatan tersedia dalam
berbagai bentuk, seperti tablet, kapsul, atau suntikan. Kecepatan penyerapan
kortikosteroid tergantung pada bentuk sediaan dan cara pemberian. Misalnya,
kortikosteroid oral umumnya diserap melalui saluran pencernaan, sedangkan
kortikosteroid intramuskular atau intravena diserap lebih cepat.
2. Distribusi:
Setelah diserap, kortikosteroid didistribusikan ke berbagai jaringan dan organ
tubuh. Mereka dapat melintasi membran sel dan berinteraksi dengan reseptor
steroid pada sel. Distribusi kortikosteroid juga dipengaruhi oleh pengikatannya
terhadap protein darah, seperti albumin. Pengikatan ini dapat mempengaruhi
kadar obat aktif dalam sirkulasi.

3. Metabolisme:
Kortikosteroid dimetabolisme di hati oleh beberapa enzim sitokrom P450.
Metabolisme ini mengubah kortikosteroid menjadi metabolit yang lebih
mudah diekskresikan oleh ginjal. Beberapa kortikosteroid, seperti prednisolon,
adalah obat prodrug yang diaktifkan menjadi bentuk aktifnya setelah
metabolisme di hati.

4. Eliminasi :
Kortikosteroid dan metabolitnya dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal.
Eliminasi dapat bervariasi tergantung pada jenis kortikosteroid dan status
ginjal pasien. Kortikosteroid juga dapat diekskresikan melalui urin dalam
bentuk bebas atau terikat.

- Imunomodulator
Farmakodinamik
Farmakodinamik imunomodulator yaitu sistem kekebalan tubuh (sistem imun).
Imunomodulator adalah agen yang mampu memodulasi (mengatur) respon imun
tubuh, meningkatkan atau menurunkan aktivitas sistem imun sesuai
kebutuhan.Berikut ini cara kerja farmakodinamik dari imunomodulator:
1. Meningkatkan respon imun:
Imunomodulator dapat merangsang dan meningkatkan respon imun tubuh
terhadap infeksi, kanker. Yang termasuk peningkatan produksi sel darah putih,
seperti limfosit, makrofag, atau limfosit T dan B, yang berperan penting dalam
melawan patogen atau sel kanker. Imunomodulator juga dapat meningkatkan
fungsi fagositik, dimana sel fagositik (seperti makrofag) yang menyerap dan
menghancurkan patogen.
2. Imunosupresif:
Dan sebaliknya, imunomodulator juga dapat digunakan untuk menekan
respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan, seperti pada
penyakit autoimun dan setelah transplantasi organ. Hal ini dilakukan dengan
menghambat aktivitas sel kekebalan yang berlebihan, seperti sel T yang terlalu
aktif.

3. Mengatur respon inflamasi:


Imunomodulator juga dapat mempengaruhi respon inflamasi tubuh. Mereka
dapat mengurangi peradangan berlebihan dan merangsang peradangan yang
diperlukan untuk melawan infeksi.

4. Pengaturan imunitas spesifik:


Beberapa imunomodulator dirancang untuk mempengaruhi respon imun
terhadap antigen tertentu. Ini dapat digunakan dalam vaksinasi, dimana
imunomodulator membantu tubuh menghasilkan respon imun yang kuat
terhadap patogen tertentu yang masuk kedalam tubuh.

5. Melindungi sel tumor:


Imunomodulator juga digunakan dalam pengobatan kanker untuk
meningkatkan respon imun tubuh terhadap sel kanker. Mereka dapat
merangsang sel T untuk mengidentifikasi dan membunuh sel kanker.

6. Imunostimulan dan imunosupresan:


Imunomodulator dapat dibagi menjadi dua kategori utama: imunostimulan
(merangsang sistem kekebalan tubuh) dan imunosupresan (menekan sistem
kekebalan tubuh). Pemilihan di antara jenis-jenis ini bergantung pada situasi
klinis dan tujuan pengobatan. Contoh imunomodulator termasuk interferon,
interleukin, glukokortikoid, imunoglobulin intravena, vaksin, dan agen
biologis lainnya yang digunakan dalam pengobatan kondisi seperti hepatitis C,
multiple sclerosis, rheumatoid arthritis dan kanker.
Yang harus dipahami bahwa penggunaan obat imunomodulator harus sesuai
dengan petunjuk dokter karena dapat menimbulkan efek samping dan sangat
mempengaruhi respon imun tubuh. Selain itu, efek imunomodulator dapat
bervariasi tergantung pada konteks patologis dan sistem kekebalan tubuh
individu tertentu.

Farmakokinetik.
Farmakokinetik imunomodulator mengacu pada bagaimana suatu obat atau senyawa
diserap, didistribusikan, dimetabolisme, dan dikeluarkan dari tubuh manusia. Berikut
ini adalah beberapa aspek farmakokinetik umum obat imunomodulator:

1. Penyerapan :
Tubuh menyerap imunomodulator bervariasi tergantung pada bentuk sediaan obat.
Beberapa imunomodulator dapat diberikan secara oral, sementara yang lain dapat
diberikan secara intramuskular, intravena, atau dengan berbagai metode lainnya.
Tingkat penyerapan imunomodulator dapat bervariasi tergantung pada rute pemberian
dan sifat kimia obat.
2. Distribusi:
Setelah terserap, imunomodulator akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui aliran
darah. Distribusi obat ini mencakup berbagai organ dan jaringan, tergantung pada sifat
kimia imunomodulator. Beberapa imunomodulator mungkin lebih terkonsentrasi pada
jaringan tertentu, sementara yang lain memiliki distribusi yang lebih seragam.

3. Metabolisme:
Metabolisme imunomodulator dapat bervariasi. Beberapa imunomodulator
dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450, yang dapat mempengaruhi
konsentrasi obat dalam tubuh. Sementara itu, beberapa imunomodulator mungkin
tidak mengalami metabolisme yang signifikan dan diekskresikan tidak berubah.
4. Eliminasi:
Proses pembuangan imunomodulator dari tubuh dapat melibatkan banyak organ
berbeda, termasuk ginjal dan hati. Metabolit obat dan limbah yang tidak
termetabolisme akan dikeluarkan melalui urin, feses atau proses lainnya. berubah

- IImunosupresan
Farmakodinamik
Farmakodinamik imunosupresan mengacu pada cara kerja suatu obat untuk menekan
sistem kekebalan tubuh (imunitas). Imunosupresan adalah agen yang digunakan untuk
mengurangi dan menghambat aktivitas sistem kekebalan tubuh, sehingga mengurangi
respon kekebalan tubuh terhadap infeksi, peradangan dan bahkan reaksi autoimun
yang tidak terduga. Berikut beberapa aspek farmakodinamik imunosupresan:
1. Penghambatan respon imun: Obat imunosupresif bertujuan untuk menghambat atau
menurunkan aktivitas sel imun, terutama sel T dan B, yang berperan penting dalam
merespons patogen dan sel asing. Ini dapat menghambat produksi antibodi dan
mengurangi respons peradangan.
2. Penghambatan proliferasi sel T: Beberapa obat imunosupresif bekerja dengan
menghambat proliferasi dan aktivasi sel T, yang berperan dalam respon imun adaptif.
Hal ini mengurangi kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk menyerang sel asing
atau sel kanker.
3. Penghambatan sel B: Imunosupresan juga dapat memengaruhi sel B, yang membuat
antibodi. Dengan menghambat aktivitas sel B, produksi antibodi dapat dihambat.
4. Gangguan reaksi autoimun: Imunosupresan biasanya digunakan untuk mengobati
penyakit autoimun seperti lupus, rheumatoid arthritis, dan penyakit Crohn. Mereka
bekerja dengan menghambat sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif menyerang
jaringan tubuh. Perlindungan terhadap implantasi:
5. Imunosupresan juga digunakan selama transplantasi organ untuk mencegah penolakan
organ. Mereka menghambat respon imun tubuh, yang mengenali organ yang
ditransplantasikan sebagai benda asing dan mencoba menyerangnya.

Farmakokinetik
Farmakokinetik imunosupresan menggambarkan bagaimana tubuh manusia
menyerap, mendistribusikan, memetabolisme, dan mengeluarkan obat atau senyawa.
Farmakokinetik obat imunosupresif dapat bervariasi tergantung pada jenis obat
imunosupresif yang digunakan, formulasi obat, dan karakteristik individu pasien.
Berikut beberapa aspek farmakokinetik umum:
1. Penyerapan:
Penyerapan imunosupresan dapat bervariasi tergantung pada bentuk sediaan obat
yang masuk kedalam tubuh. Ada beberapa obat imunosupresan dapat diminum secara
oral (melalui mulut), sementara yang lain dapat diberikan melalui suntikan
intramuskular, suntikan intravena, atau melalui berbagai metode lainnya. Kecepatan
penyerapan obat imunosupresif dapat bervariasi tergantung pada rute pemberian dan
sifat kimia obat.
2. Distribusi:
Setelah terserap, imunosupresan akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui aliran
darah. Distribusi obat ini mencakup berbagai organ dan jaringan, tergantung pada sifat
kimia dari imunosupresan. Beberapa imunosupresan mungkin lebih terkonsentrasi
pada jaringan tertentu, sementara yang lain memiliki distribusi yang lebih seragam.
3. Metabolisme:
Metabolisme imunosupresan dapat bervariasi. Beberapa imunosupresan
dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450, yang dapat mempengaruhi kadar
obat dalam tubuh. Sementara itu, beberapa imunosupresan mungkin tidak mengalami
metabolisme yang signifikan dan diekskresikan tidak berubah.
4. Eliminasi
Proses eliminasi imunosupresan dari tubuh dapat melibatkan beberapa organ,
terutama ginjal dan hati. Obat atau sisa obat yang tidak termetabolisme akan
dikeluarkan melalui urin, tinja, atau proses lainnya.

AMYOTROPHIC LATERAL SCLEROSIS (ALS)


1. Patofisiologi
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah penyakit neurodegeneratif yang
menyerang neuron motorik. Amyotrophy menunjukkan adanya atrofi serat otot, yang
diinervasi oleh anterior horn cell yang mengalami degenerasi, menyebabkan
kelemahan otot dan fasikulasi.Penyebab pastinya belum ditemukan, namun berkaitan
dengan bawaan genetik yang bisa membawa ke kondisi infeksi, diet tinggi glutamat,
dan merokok yang bisa menyebabkan stres oksidatif sehingga terjadi kematian sel.

Hilangnya jembatan motor neuron ini menjadi latar belakang patofisiologi dan
gambaran klinik penyakit ini. Bila diteliti lebih detail, akibat yang ditimbulkannya
memberikan gambaran khas yang terlihat pada potongan melintang medula spinalis.
Pada tingkat otot, hilangnya lower motor neuron tertentu mengakibatkan hilangnya
inervasi tertentu mata unit-unit motorik. Pada awal penyakit ini, serat saraf yang
masih utuh mempertahankan hubungan dan inervasi kembali unit-unit motorik yang
konektifitasnya telah hilang dengan akson yang telah mati, sebagai akibatnya,
sejumlah besar motor unit dibentuk.

2. Farmakologi
FDA telah menyetujui obat riluzole. Ini adalah obat pertama yang memperpanjang
kelangsungan hidup penderita ALS.
- Farmakodinamik
Riluzole adalah obat yang digunakan untuk mengobati pasien dengan amyotrophic
lateral sclerosis (ALS), Riluzole bukanlah obat untuk ALS, namun dapat
memperpanjang kelangsungan hidup pasien pada tahap awal penyakit atau
memperpanjang waktu hingga trakeostomi (slang pernapasan di tenggorokan)
diperlukan Riluzole adalah suatu antagonis glutamate. Riluzole secara istimewa
memblokade chanel sodium, yang berhubungan dengan kerusakan neuron. . Berikut
gambaran farmakodinamik riluzole:
1. Mekanisme aksi: Riluzole bekerja dengan cara yang belum sepenuhnya
dipahami, namun mekanismenya diperkirakan melibatkan penghambatan
pelepasan glutamat, neurotransmitter yang berperan penting dalam fungsi
saraf. Pada ALS, pelepasan glutamat meningkat secara berlebihan sehingga
dapat menyebabkan kerusakan neuron motorik. Riluzole diduga mengurangi
pelepasan glutamat berlebihan, sehingga melindungi saraf motorik dari
kerusakan lebih lanjut.
2. Melindungi saraf motorik: Salah satu efek farmakodinamik utama riluzole
adalah perlindungan neuron motorik yang mengontrol pergerakan tubuh kita.
Dengan mengurangi hipereksitabilitas saraf yang diinduksi glutamat, riluzole
dapat memperlambat penurunan fungsi saraf motorik pada pasien ALS
3. . Mengurangi gejala: Riluzole dapat membantu mengurangi beberapa gejala
ALS, termasuk kelemahan otot, kekakuan otot, dan kesulitan berbicara atau
menelan. Meskipun ALS tidak dapat disembuhkan, penyakit ini dapat
memperpanjang hidup dan meningkatkan kualitas hidup beberapa pasien
4. . Kemampuan neuroprotektif: Selain mengurangi pelepasan glutamat, riluzole
juga bersifat neuroprotektif, artinya dapat melindungi sel saraf dari kerusakan
lebih lanjut yang dapat disebabkan oleh faktor seperti stres oksidatif.

- Farmakokinetik
Riluzole adalah obat neuroprotektif yang diperkirakan bekerja dengan memblokir
neurotransmisi yang dimediasi asam amino rangsang dan dengan demikian
melemahkan eksitotoksisitas. Riluzole adalah obat pertama yang terbukti bermanfaat
dalam pengobatan ALS.
1. Penyerapan: Riluzole Ini diberikan sebagai tablet oral ( melalui mulut) 50 mg
dua kali sehari. Obat ini diserap dengan baik dan cepat dari saluran
pencernaan.Tingkat penyerapan dapat dipengaruhi oleh asupan makanan,
dengan penyerapan yang lebih baik terjadi saat obat diambil bersama
makanan. Pemberian riluzole bersamaan dengan makanan dapat mengurangi
iritasi perut yang mungkin terjadi.
2. Distribusi: Riluzole disebarluaskan dalam tubuh untuk mencapai berbagai
jaringan dan organ. Ini termasuk sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang
belakang), obat riluzole bekerja untuk mengurangi pelepasan glutamat yang
berlebihan.
3. Metabolisme: Riluzole mengalami metabolisme di hati melalui enzim,
termasuk sitokrom P450. Metabolit utama riluzole adalah 6-hidroksiriluzole,
yang juga memiliki aktivitas farmakologis. Sebagian kecil riluzole juga
diekskresikan tanpa mengalami metabolisme terlebih dahulu.
4. Eliminasi: Riluzole dan metabolitnya diekskresikan melalui urin, dan dalam
jumlah kecil diekskresikan melalui feses. Waktu kerja pada saat eliminasi
riluzole dari tubuh berkisar antara 12 hingga 24 jam, yang berarti bahwa dosis
harian biasanya diberikan dua kali.

GUILLAIN-BARRE SYNDROME
1. Patofisiologi
Garis besar perjalanan klinis GBS terdiri dari dua pola khas yang dibagi menjadi fase
penyusun dan komponennya .Pertama, terjadi infeksi atau stimulasi sistem kekebalan
yang menyebabkan terjadi penyimpangan respon autoimun pada saraf perifer dan
cabang-cabang saraf tulang belakang. Dan juga terjadi mimikri molekuler antara
mikroba dan antigen saraf yang dapat mencetuskan terjadinya gangguan, biasanya
dijumpai pada kasus infeksi C. jejuni. Fase berikutnya adalah terdapat peran faktor
genetik dan lingkungan yang mempengaruhi kerentanan individu. Kelemahan anggota
gerak sering akibat keterlibatan saraf sensorik dan kranial, yaitu 1-2 minggu setelah
terjadinya stimulasi kekebalan tubuh, dan biasanya puncak defisit klinis terjadi pada
minggu ke-2 sampai ke-4 (Willson, 2016).

Terdapat sejumlah teori yang menjelaskan terjadinya GBS, dimana sistem imun
tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang paling sering adalah adanya organisme
(misalnya virus atau bakteri) mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf,
sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Pada GBS terbentuk
antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau
partikel asing dalam tubuh seperti bakteri maupun virus. Antibodi yang bersirkulasi
dalam darah ini akan mencapai myelin dan merusaknya, dengan bantuan sel-sel
leukosit sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan
mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan yang seharusnya
menghasilkan materi lemak penghasil myelin. Organisme tersebut kemudian
menyebabkan sel-sel imun seperti limfosit dan makrofag menyerang myelin. Limfosit
T akan tersensitisasi bersamaan dengan limfosit B yang akan memproduksi antibodi
melawan komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang. Sementara pada waktu yang
bersamaan, myelin yang ada dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan
yang berlanjut jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Malfungsi sistem
imunitas yang terjadi pada GBS menyebabkan kerusakan sementara pada saraf perifer
dan timbulah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresisf ataupun paralisis
akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer (Shahar E, 2006).
2. Farmakologi
Medikasi yang diberikan pada kasus GBS difokuskan untuk pengendalian penyakit
dan pengurangan gejala.
1. Imunoglobulin IV : dengan dosis 0.4 g/kg berat badan perhari. Bekerja
dengan menghambat aktivasi makrofag, mencegah pengikatan antibodi ke
target sel saraf, dan mencegah aktivasi komplemen. IVIg berkorelasi dengan
efek samping termasuk stroke,anemia hemolitik, akut terkait transfusi cedera
paru-paru (TRALI), meningitis aseptik, dan emboli vena.
2. Plasma exchange/Plasmaperesis : dengan dosis 40–50 ml plasma/kg berat
badan. Bekerja dengan menghilangkan antibodi antiganglioside
immunoassociated hiperaktif dan pro-inflamasi sitokin dengan albumin atau
plasma beku segar. Komplikasi umum bisa terjadi sakit kepala, menggigil,
mialgia, nyeri dada nonkardiak, dan meningitis aseptik.
TETANUS
1. Patofisiologi
Tetanus (lockjaw) adalah infeksi parah pada sistem saraf yang mempengaruhi saraf
tulang belakang dan kranial yang di akibatkan oleh neurotoksin kuat yang dilepaskan
oleh basil anaerobik Clostridium tetani. Clostridium tetani memasuki tubuh manusia
melalui luka yang menyediakan lingkungan rendah oksigen bagi organisme untuk
matang dan menghasilkan racun. Contoh kemungkinan luka termasuk tempat suntikan
penggunaan narkoba IV, gigitan manusia dan hewan, luka bakar, patah tulang terbuka,
dan luka tembak.
Dalam keadaan anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil
tetanus mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin.

Toksin tencapai susunan saraf pusat melalui transpor retrograde sepanjang jalur
aksonal, setelah penyebaran toksin melalui otot, pertama kan berikatan dengan
reseptor membran terminal presinap di dalam otot.Reseptor ini merupakan suatu
gangliosid selanjutnya toksin akan berinternalisasi dan naik sepanjang akson saraf
perifer di dalam otot menuju sel-sel kornu anterior segmen medula spinalis yang
menginervasi otot –otot yang terinfeksi.
2. Farmakologi
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk yakni toksin bebas dalam darah
dan toksin yang bergabung dengan jaringan saraf. Toksin yang dapat dinetralisir oleh
antitoksin adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah bergabung
dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin
Tiga prinsip utama dalam tata laksana tetanus adalah :
1) Mencegah pelepasan toksin lebih lanjut
2) menetralisasi toksin yang ada didalam tubuh
3) Minimalisir efek toksin yang sudah ada di susunan saraf pusat.
● Untuk menetralisir toksin, pada pasien diberikan terapi tetagam 3000 IU
dibagi menjadi 3 dosis yang sama dan diberikan di 3 tempat yang berbeda
secara intramuscular. Pada pasien ini diberikan dilengan kanan, kiri, dan paha
kanan. Antitoksin diberikan untuk menetralisir toksin yang belum terikat dan
tidak berefek untuk toksin yang sudah berada di sistem saraf terminal.
● Pada pasien juga diberikan antibiotik metronidazole 4x500 mg iv. Antibiotik
diberikanuntuk mengeradikasi bakteri. Metronidazol efektif mengurangi
jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif.
Referensi

Brunton, L. L., Hilal-Dandan, R., & Knollmann, B. C. (Eds.). (2017). Goodman & Gilman's
The Pharmacological Basis of Therapeutics (13th ed.). McGraw-Hill Education.
John Hopkins Medicine (2019). Neurology and Neurosurgery. ALS - Amyotrophic Lateral
Sclerosis.
Nold, C. (2018). Amyotrophic Lateral Sclerosis – A Guide to Collaborative Care. Journal of
the American Academy of Physician Assistants, 31(9), pp. 15-20.
Maryanti, Y. (2022). Laporan Kasus : Diagnosis dan Tata Laksana Tetanus Generalisata.
Jurnal Ilmu Kedokteran (Journal of Medical Science), Jilid 16, Nomor 2.
Fadhori, R., Aditianingsih, D., George, YW, & Yasir, T. (2023). Pertukaran plasma terapeutik
(TPE) dalam pengelolaan pasien tetanus: Laporan kasus. Perawatan & Kejutan Kritis , 26
(2).
Shahar E. 2006. Current therapeutic options in severe Guillain-Barré syndrome.
Clin Neuropharmacol; 29: 45–51.
Willson HJ, Jacobs BC, Doorn PA. 2016.Guillain-Barré syndrome. Seminar.
Lancet; 388: 717–27.
Gossman W, Ehsan M, Xixis KL. 2019. Multiple sclerosis. In: StatPearls. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing.
Popescu et al. 2013. Pathology of Multiple Sclerosis. American Academy of
Neurology;19(4):901–921.
Maryanti, Y. (2022). Laporan Kasus : Diagnosis dan Tata Laksana Tetanus Generalisata.
Jurnal Ilmu Kedokteran (Journal of Medical Science), Jilid 16, Nomor 2.
Pei Shang, J. F.-L. (2021). Intensive Care and Treatment of Severe Guillain Barre Syndrome.
frontiers in Pharmacolog

Anda mungkin juga menyukai