Anda di halaman 1dari 19

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Korteks adrenal diperlukan bagi kehidupan. Sekresi adrenokortikal
memungkinkan tubuh untuk beradaptasi terhadap segala jenis stress. Tanpa korteks
adrenal, keadaan stress yang berat dapat mengakibatkan kegagalan sirkulasi perifer,
syok dan kematian. Kehidupan hanya dapat dipertahankan dengan terapi nutrisi,
elektrolit serta cairan dan preparat hormon adrenokortikal.
Kelainan pada kelenjar adrenal menyebabkan endokrinopati yang klasik
seperti sindroma Cushing, penyakit Addison, hiperaldosteronisme dan sindroma pada
hiperplasia adrenal kongenital. Kemajuan dalam prosedur diagnosis telah
memudahkan evaluasi kelainan adrenokortikal, terutama penentuan plasma
glukokortikoid, androgen dan ACTH telah memungkinkan diagnosis yang lebih cepat
dan tepat .

1.2 Tujuan

1.1.1 Tujuan Umum


Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan kelainan korteks adrenal .
1.1.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi korteks adrenal.
b. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian kelainan korteks adrenal
c. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi kelainan korteks adrenal
d. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi kelainan korteks adrenal
e. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala kelainan korteks adrenal
f. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi kelainan korteks adrenal
g. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dan prognosis kelainan
korteks adrenal
h. Mahasiswa mampu menjelaskan pengobatan dan pencegahan kelainan
korteks adrenal
i. Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan
kelaianan korteks adrenal
j. Mahasiswa mampu menjelaskan Picot Frame Work tentang kelainan
korteks adrenal
BAB 2. TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Hormon adrenokortikal dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:


mineralokortikoid, glukokortikoid, dan hormone seks. Mineralokortikoid berkenaan
dengan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium. Contohnya adalah aldosteron
dan desoksikortikosteron yang merupakan prekursor alami aldosteron. Hormon seks
yang disekresikan oleh korteks adrenal adalah androgen dan estrogen.

Glukokortikoid berhubungan dengan efek metabolik yang mencakup


metabolisme karbohidrat. Contohnya adalah kortisol dan kortikosteron.
Glukokortikoid meningkatkan penguraian protein dan lemak tubuh melalui proses
metabolisme untuk memberikan sumber energy selama masa puasa. Kedua hormone
ini bekerja melawan kerja insulin, meningkatkan katabolisme protein dan
menghambat sintesis protein. Glukokortikoid mempengaruhi mekanisme pertahanan
tubuh dan fungsi emosional baik langsung maupun tidak langsung. Kelompok
hormon ini juga menekan inflamasi dan menghambat pembentukan jaringan parut.
Glukokortikoid dapat menimbulkan efek melalui reseptor glukokortikoid. Kortisol
merupakan glukokortikoid utama. Kortisol sangat penting untuk metabolisme
karbohidrat dan protein dan untuk mengontrol sistem imun. Dan ia juga mengontrol
sekresi kortikotropin, kortikotropin releasing hormone, dan vasopressin dengan
penghambatan umpan balik negative melalui reseptor glukokortikoid. Kortikotropin
juga memicu sekresi androgen adrenal dan juga aldosterone (Mariadi & Gotera,
2007).
Kelebihan glukokortikoid menyebabkan perubahan pada keadaan berikut ini:
a. Metabolism protein dan karbohidrat
Glukokortikoid mempunyai efek katabolik dan antianabolik pada
protein, menyebabkan protein pembentuk protein untuk mensintesis protein.
Sebagai akibatnya terjadi kehilangan protein pada jaringan seperti kulit, otot,
pembuluh darah dan tulang. Secara klinis kulit mengalami atrofi dan rusak,
luka-luka sembuh dengan lambat. Ruptur selabut-serabut elastis pada kulit
menyebabkan tanda regang berwarna ungu atau strine. Otot-otot juga
mengalami atrofi dan menjadi lemah. Penipisan dinding pempuluh darah dan
lemahnya jaringan penyokong perivaskuler menyebakan mudah luka memar.
Keadaan ini dapat cukup parah sehingga menimbulkan petekie dan ekimosis
yang luas pada lengan atas bila pasien diukur tekanan darahnya. Tulang juga
berpengaruh, matriks protein tulang juga menghilang dan menyebabkan
keadaan osteoporosis. Keadaan ini merupakan keadaan komplikasi serius dari
kelebihan glukokortikoid karena menyebabkan tulang menjadi rapuh dan
fraktur patologis, osteoporosis paling sering terjadi pada tulang belakang dan
menyebabkan koleps vertebra disertai nyeri punggung dan pengurangan tinggi
badan.
Katabolisme protein juga dipengaruhi oleh kenaikan glukokortikoid
yang tinggi. Glukokortikoid merangsang glukoneogenesis dan mengganggu
kerja insulin pada sel-sel perifer. Sebagai akibatnya penderita dapat
mengalami hiperglikemia. Pada seseorang dengan kapasitas produksi insulin
normal, efek glukokortikoid akan dilawan dengan meningkatkan sekresi
insulin, sehingga menormalkan toleransi glukosa. Sebaliknya, pada penderita
dengan kemapuan sekresi insulin yang menurun tidak mampu
mengkompensasi keadaan tersebut dan mereka mengalami respon abnormal
terhadap uji toleransi glukosa, hiperglikemia puasa, dan manifestasi klinis
diabetes mellitus (Price & Wilson, 2006).
b. Distribusi jaringan adipose
Kadar glukokortikoid yang berlebihan juga mempengaruhi didtribusi
jaringan adipose yang terkumpul didaerah sentral tubuh dan menyebabkan
obesitas, moon face, memadatnya fosa supra klaikularis dan tonjolan
servikodorsal (punuk kerbau) (Price & Wilson, 2006).
c. Elektrolit
Glukokortikoid mempunyai efek minimal pada kadar elektrolit serum.
Akan tetapi , kalau diberikan dihasilkan dalam kadar yang terlalu besar , dapat
menyebabkan retensi natrium dan pembuangan kalium menyebabkan edema,
hypokalemia dan alkalosis metabolik (Price & Wilson, 2006).
d. Sistem kekebalan
Glikokortikoid dapat dapat menghambat respon kekebalan, ada 2 tipe
utama respon kekebalan yang pertama menyebabkan pembentukan antibody
humoral oleh sel-sel plasma dan limfosit B akibat rangsangan antigen, yang
lainnya bergantung pada pada raksi-reaksi yang diperantarai oleh limfosit T
yang tersensitisasi. Glukokortikoid mengganggu pembentukan antibodi
humoral dan menghambat ploriferasi pusat-pusat germinal limpa dan jaringan
limfoid pada respon primer terhadap terhadap antigen. Gangguan sisitem
imunologik dapat terjadi pada setiap tingkatan berikut ini:
1. Pemprosean awal antigen oleh sel-sel system monosit makrofag
2. Induksi dan proliferasi limfosit imunokompeten serta pelepasan sitokin
3. Produksi atibodi
4. Reaksi peradangan
5. reaksi sensitivitas lambat
Glukokortikoid juga menekan reaksi sensitivitas lambat. Misalnya,
glukokortikoid dapat mengubah tes kulit tuberkulosis dari positif menjadi
negative. Selain itu, hambatan terhadap kekebalan selular yang diperantarai
glukokortikoid mungkin penting dalam menekan penolakan cangkokan
(Price & Wilson, 2006).
e. Sekresi lambung
Aktivitas sekresi lambung ditingkatkan oleh glukokortikoid. Sekresi
asam hidroklorida dan pepsin dapat meningkat pada individu tertentu yang
mendapat glukokortikoid. Juga diduga factor-faktor protektif mukosa diubah
oleh steroid dan faktor-faktor ini dapat mempermudah pembentukan ulkus
(Price & Wilson, 2006).
f. Fungsi otak
Aktivitas sekresi lambung ditingkatkan oleh glukokortikoid. Sekresi
asam hidroklorida dan pepsin dapat meningkat pada individu tertentu yang
mendapat glukokortikoid. Juga diduga factor-faktor protektif mukosa diubah
oleh steroid dan faktor-faktor ini dapat mempermudah pembentukan ulkus
(Price & Wilson, 2006).
Korteks adrenal terdiri dari daerah yang secara anatomi dapat
dibedakan:

1. Lapisan luar zona glomerulosa, merupakan tempat dihasilkannya


mineralokorticoid (aldosterone), ysng terutama diatur oleh angiotensin
II,kalium , dan ACTH. Juga dipengaruhi oleh dopamine, atrial
natriureticpeptide (ANP) dan neuropeptides .
2. Zona fasciculata pada lapisan tengah, dengan tugas utama
sintesisglukokortikoid, terutama diatur oleh ACTH. Juga dipengaruhi
olehbeberapa sitokin (IL-1, IL-6, TNF) dan neuropeptide.
3. Lapisan terdalam zona reticularis, tempat sekresi androgen adrenal(terutama
dehydroepiandrostenedion [DHEA], DHEA sulfa t danandrostenedion) juga
glukokortikoid (kortisol and corticosteron).Tidak terdapat perbedaan yang
jelas secara anatomi antara korteks dan medulayang menghasilkan
katekholamin oleh sel chromafin. Bukti terakhir hal inimemungkinkan adanya
interaksi parakrin diantara keduanya.
Gambar 1. Gambar potongan melintang kelenjar adrenal . zM = adrenal medulla,zR = zona
reticularis, zF = zona fasciculata, zG = zona glomerulosa,Caps = kapsel adrenal

Kortisol dan androgen diproduksi di zona fasciculate reticularis yang diatur


oleh ACTH. Zona fasciculate dapat berespon secara akut terhadap ACTH dengan
meningkatkan sintesis kortisol, sedangkan zona reticularis mempertahankan sekresi
basal dari glukokortikoid dan diinduksi oleh stimulasi dari ACTH. Sedangkan
aldosterone disintesis di zona glomerulosa yang berada lebih di luar, terutama diatur
oleh system rennin-angiotensin dan oleh potassium. Kortisol disekresikan sesuai
dengan pola diurnal dibawah pengaruh kortikotropin. Sekresi kortisol basal mulai 8-
25 mg/d, dengan rerata 9,2 mg/d. Pada keadaan basal, hanya 10% kortisol bebas di
sirkulasi, 75% terikat dengan CBG dan sisanya terikat dengan albumin. Kadar
kortisol plasma bebas sekitar 1 ug/dL, dan ini merupakan kortisol yang secara
biologis aktif dan diatur oleh ACTH.

2.2 Pengertian

kelainan pada korteks adrenanl terjadi akibat hiposekrsi atau hipersekresi


hormon adrenokortikal. Kelainan yang berhubungan dengan hipersekresi hormon
adrenokortikal yaitu, sindrom adrenogenital, sindrom cushing, dan aldosteronisme
primer. Sedangkan kelainan yang berhubungan dengan hiposekresi hormon
adrenokortikal adalah insufisiensi adrenal.
a. insufisiensi adrenanal

Insufisiensi adrenal adalah keadaan dimana kurangnnya produksi


glukokortikoid atau mineralokortikoid di adrenal, apakah karena kerusakan atau
disfungsi dari kortek atau sekunder akibat kekurangan sekresi ACTH pituitary.
Kerusakan pada kortek adrenal akan menimbulkan IA primer. Sedangkan IA sekunder
terjadi akibat penyakit pituitary atau hipotalamus.
Insufisiensi adrenal dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yang besar:1
1. Insufisiensi adrenal primer kronis, yang juga disebut penyakit Addisons,
sebagai akibat kerusakan dari korteks adrenal. Penyebab tersering adalah
penyakit autoimun (sekitar 70-80%), tuberculosis (20%), perdarahan adrenal,
metastase ke adrenal dan AIDS yang dikaitkan dengan infeksi cytomegalo
virus dan terapi ketokonazole.
2. Insufisiensi adrenal sekunder kronis, yang terjadi bila terjadi kekurangan
hormone adrenokortikotropin (ACTH) yang menstimulasi korteks adrenal.
Paling sering karena terapi glukokortikoid eksogen, tapi dapat juga terjadi
akibat hipopituitarism generalisata (biasanya akibat tumor pituitary atau
hipotalamus) atau defisiensi ACTH (mungkin karena proses autoimun).
3. Krisis adrenal akut akibat dari stress pada pasien dengan IA kronis yang tidak
mendapat pengganti yang adekuat, juga terjadi pada pasien dengan perdarahan
adrenal apopleksi pituitary.
Baik pada IA kronis primer maupun sekunder akan menimbulkan defisiensi
glukokortikoid dan kadang-kadang defisiensi androgen (pada wanita). Gambaran
klinis sama pada IA primer maupun sekunder meliputi hipotensi, kelemahan, fatigue,
anoreksia, penurunan berat badan, mual dan muntah. Eosinofilia dan anemia
normositik sering dan kadang juga ditemukan hiperkalsemia. Hipoglikemia dapat
muncul terutama pada anak-anak dengan IA primer dan pada pasien IA sekunder
dalam keadaan panhipopituitarism dimana growth hormone juga hilang. IA primer
kronis dapat disertai dengan penyakit autoimun (kegagalan poliglandular, yang paling
sering adalah penyakit tiroid autoimun. Hipopituitari autoimun jarang ditemukan dan
pasien seperti ini akan ditemui dengan hipokalsemia.
Ada dua gambaran yang membedakan IA primer dan sekunder. Pertama,
defisiensi mineralokortikoid ditemukan pada IA primer dan tidak ada pada IA
sekunder (ACTH tidak memegang peranan utama pada pengaturan aldosteron). Oleh
karena itu hyperkalemia biasanya ditemukan pada IA primer dan tidak ada pada IA
sekunder. Hiponatremia merupakan gambaran dari keduanya, tapi pada IA primer ini
berkaitan dengan pengurangan volume akibat peningkatan nitrogen urea darah (BUN)
dan kreatinin. Hiponatremia pada IA sekunder merupakan dilusional karena
penurunan kemampuan mengeluarkan air dan meningkatnya kadar vasopressin.
Gambaran berbeda yang kedua yaitu tingginya kadar ACTH dan peptide lain turunan
propiomelanokortin (POMC) pada IA primer dan kadarnya rendah atau normal pada
IA sekunder. Hal ini secara khas akan menimbulkan hiperpigmentasi pada IA primer
(akibat dari melanosit yang distimulasi peptide derivate POMC) dan kurangnya
pigmentasi dan kadang pucat ditemukan pada IA sekunder. Krisis adrenal akut
ditandai dengan hipotensi dan syok, demam, kebingungan, mual, dan muntah. Pada
keadaan perdarahan adrenal, beberapa pasien juga akan disertai nyeri perut, flank atau
pinggang. Apopleksi pituitary biasanya dikaitkan dengan sakit kepala yang hebat dan
sering dengan opthalmoplegia. Kelainan laboratorium meliputi azotemia dan
eosinophilia (Mariadi & Gotera, 2007).
b. Sindrom Cushing

Sindrom cushing merupakan kelainan yang terjadi akibat aktivitas korteks


adrenal yang berlebihan. Sindrom tersebut dapat terjadi akibat pemberian
kortikosteroid atau ACTH yang berlebihan atau akibat hyperplasia korteks adrenal
(Brunner & suddarth, 2001).

Sindrom cushing juga dibagi menjadi ; dependent ACTH dan independent


ACTH, dependent ACTH inibias disebabkan adanya tumor pada hipofisis, karsinoma
bronkus yg menyebakan ACTH ektopik (jarang),sedangkan yang tipe independent
ACTH dapat disebabkan adanya tumor pada bagian korteks adrenal.
c. Aldosteronisme primer
aldosteronisme primer (sindrom conn) merupakan sindrom klinik akibat
sekresi aldosterone yang berlebihan
Aldosteronisme primer adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh produksi
aldosteron yang berlebihan, suatu hormon steroid minneralokortikoid korteks adrenal.
kelebihan aldosteron (aldosteronisme) merupakan suatu keadaan yang mempengaruhi
kadar kalium, natrium, bikarbonat dan klorida dalam darah, yang menyebabkan
tekanan darah tinggi, kelemahan dan kadang kelumpuhan periodic.
Aldosteron adalah hormon yang dihasiklan dan dilepaskan oleh kelenjar
adrenal, memberikan sinyal kepada ginjal untuk membuang lebih sedikit natriumdan
lebih banyak kalium. Pembentukan aldosteron sebagian diatur oleh kortikotropin
pada hipofisa dan sebagian lagi oleh mekanisme control pada ginjal (system rennin-
angiotensin-aldosteron). Renin adalah enzim yang dihaslkan didalam ginjal dan
bertugas mengendalikan pengaktifan hormon angiotensi, yang merangsang
pembentukan aldosteron oleh kelenjar adrenal.

Hiperaldosteronisme bisa disebabkan oleh suatu tumor (biasanya jinak ) pada


kelanjr adrenal (suatu keadaan yang disebut sindrom conn). Kadang
hiperaldosteronisme merupakan respon dari penyakit tertentu. Misalkan kelenjar
adrenal melepaskan sejumlah besar aldosteron jika tekanan darah sangat tinggi atau
jika arteri yang membawa darah keginjal menyempit.

d. Sindrom adrenogenital
sebagian besar bayi dengan sindroma adrenogenital menderita defisiensi
sebagian atau total enzim 21 hidroksilase yang diperlukan untuk sintesis kortisol.
Karena penurunan kadar kortisol, maka sekresi ACTH hipofisis menyebabkan
hyperplasia korteks adrenalis. Pada pasien defisiensi enzim sebagian, peningkatan
ACTH menghasilkan kadar kortisol yang normal, tetapi kadar adrenostedion sangat
meningkat disekresikan oleh adrenalis hiperplastik. Kemudian dia dimetabolis ke
testosteron yang menyebabkan virilisasi dalam wanita serta hipertrofi genetalia pada
pria. Jika sama sekali tidak ada enzim 21 hidroksilase, maka tidak ada produksi
kortisol, sehingga bayi yang lahir dengan masalah ini menderita insufisiensi adrenalis
maupun virilisasi (Sabiston, David, 1995).
Sindrom adrenogenital yang disebabkan oleh hipersekresi steroid seks adrenal
(androgen) (Rumaharbo, Hotma. 1999).

2.2 Epidemiologi

Pasien dengan insufisiensi adrenal (IA) yang dirawat diruangan intensif mulai
dari kerusakan multiorgan yang ringan sampai spectrum penyakit yang mengancam
nyawa. Pengenalan IA akan lebih sulit pada pasien dengan kondisi kritis karena tidak
adanya riwayat penyakit yang dapat dipercaya, terlambatnya pelaporan hasil
laboratorium dan diagnosis definitif yang tidak jelas.
Insufisiensi adrenal secara keseluruhan kejadiannya jarang, dengan insiden
<0,01% padapopulasi umum .Pada kelompok tertentu risiko untuk berkembangnya IA
cukup signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan insiden IA pada pasien kritis
bervariasi mulai 0-77% tergantung pada populasi yang diperiksa dan kriteria
diagnosis yang dipakai. Namun secara keseluruhan insiden IA pada pasien dengan
penyakit kritis sekitar 30%, dengan insiden setinggi 50-60% pada pasien dengan syok
septic. Insufisiensi adrenal belakangan ini mulai menjadi masalah penting pada
perawatan intensif. IA sering ditemukan pada pasien setelah trauma mayor dan
dikaitkan dengan skor injuri yang lebih berat, meningkatnya kebutuhan cairan dan
darah, meningkatnya kebutuhan inotropik serta meningkatnya mortalitas. Pada
sebagaian besar kasus masih sangat sulit untuk mengenal adanya IA. Dari penelitian
dilaporkan kejadian IA cukup sering terjadi pada pasien kritis. Dilaporkan insiden
dari IA pada pasien trauma dengan cedera kepala didapatkan bervariasi mulai 25-
100% pada 10 hari pertama setelah cedera kepala. Penelitian yang dilakukan oleh
Ricers dkk mendapatkan insiden IA sebesar 32,7% pada pasien pasca operasi yang
dirawat diruagan intensif. Sedanglan Cermman dkk mendapatkan insiden IA pada
pasien hematologi dengan sakit kritis sebesar 60% (Mariadi, ketut dkk,2007).
Penyakit addison adalah penyakit yang jarang dan dapat terjadi pada pria
maupun wanita. Onset penyakit ini dapat terjadi pada semua usia. Frekuensi penyakit
addison pada populasi manusia diperkirakan 1 dari 100.000. beberapa penelitian dan
informasi mendapatkan 40-60 kasus dari 1 juta populasi pertahun di US. Faktor etnis
disebutkan tidak signifikan dalam epidemiologi penyakit addison.

Sindrom cushing sering terjadi pada usia 20 s/d 50 tahun. Tiap tahunnya terjadi
10 s/d 15 kasus dari 1 juta orang. Pada sindroma Cushing berupa sindroma ektopik
ACTH lebih sering pada laki-laki dengan rasio 3:1, pada insiden hiperplasia hipofisis
adrenal adalah lebih besar pada wanita daripada laki-laki, kebanyakan muncul pada
usia dekade ketiga atau keempat.
Aldosteronisme primer adalah suatu bentuk hipertensi yang dapat disembuhkan
dan bertanggung jawab untuk 1 sampai 2 persen dari semua pasien hipertensi karena
adanya suatu adenoma adrenalis, hiperplasia adrenalis bilateral, atau jarang
karsinoma adrenalis. Pada kurang dari 5 persen pasien, adenoma ini bilateral. Sebab
hiperplasia adrenalis bilateral tidak diketahui, tetapi bisa dihubungkan kerangsangan
aldosteron dari neurotransmitterhipofisis, mungkin serotonin.
Aldosteronisme primer biasanya biasanya timbul pada wanita berusia 30-50
tahun, namun anak-anak dan dewasa muda juga terkena. Walaupun pasien
aldosteronisme primer normotensif telah diuraikan, namun hipertensi dan
hiperkalemia ada dalam hampir semua pasien serta kelemahan merupakan suatu
keluhan yang lazim.
Program skrining bayi baru lahir, dengan menggunakan darah kapiler tunmit
pada lempengan kertas saring, telah dikembangkan untuk mendeteksi defisiensi 21-
hidroksilase. Data pada lebih dari 2 juta neonatus yang diskrining menunjukkan
bahwa penyakit aldosternisme primer terjadi pada 1 dari 20.000 anggota populasi
dijepang, 1 dari 10.000-16.000 d Eropa dan Amerika Utara, dan 1 dari 300 di eksimo
Yupik, Alaska. Sekitar 75% menderita bentuk virilisasi, penghilang garam dan 25%
menderita bentuk virilisasi sederhana. Bentuk nonklasik tidak terdeteksi pada
skrining bayi baru lahir (Behman&Kliegman, 2000).
Sindrom adrenogenital adalah keadaan yang sangat jarang timbul pada masa
bayi atau anak-anak. Pada wanita timbul virilisasi pada tahap awal kehidupan dan
bisa di obati dengan kortisol. Pada pria lebih jarang terdiagnosis dan bisa meninggal
dunia akibat insufisiensoi adrenal akut. Namun, jika selamat semasa bayi, terjadi
pertumbuhan berlebihan dan menyebabkan pubertas prekoks dan tinggi badan akhir
mrnjadi pendek (Rubenstein dkk, 2007).
2.3 Etilogi
2.3.1 Etiologi Aldosteronisme Primer
Aldosteronisme primer diakibatkan oleh hiperplasia adrenal bilateral (kedua
adrenal) atau salah satu adrenal (unilateral) dengan adenoma yang menghasilkan
aldosteron (single aldosterone-producting adenoma) (Baradero, 2009:79).
Setengah sampai tiga perempat pasien mengalami adenoma adrenal soliter,
kecil, dengan penampang berwarna kuning. Sisanya mengalami hiperplasia
adrenokortikal mikro atau makro noduler. Gambaran patologi disebabkan oleh
hipertensi atau hipokalemia. Ada 6 subtipe hiperaldosteronisme primer, yaitu:
1. Aldosterone-producing adrenal adenomas (APA)
Terjadi pada kira-kira 40% kasus. Hiperaldosteronisme cenderung lebih berat,
dengan hipertensi dan hipokalemia yang lebih jelas.
2. Idiopathic hyperaldosteronism (IHA)
Disebabkan oleh hiperplasia adrenal bilateral, terdapat pada 50-60% kasus.
Secara umum, lebih ringan.
3. Primary adrenal hyperplasia (PAH)
PAH unilateral mempunyai kemiripan biokimia dengan APA, tetapi
menunjukkan bentuk jarang hiperaldosteronisme.
4. Aldosterone-producing adrenocortical carcinoma
Merupakan penyebab yang jarang dari hiperaldosteronisme primer.
5. Familial hyperaldosteronism
Tipe I atau glucocorticoid-remediable aldosteronism (GRA) diturunkan
sebagai traitdominan autosom yang tergantung dengan ACTH. Kelainan itu
terjadi < 3% kasushiperaldosteronisme primer. Tipe II juga diturunkan secara
dominant autosom, namun tidak tergantung dengan ACTH.
6. Ectopic aldosterone-producing adenoma/carcinoma
Terjadi pada < 0,1% kasus
Secara umum, aldosteronisme primer disebabkan oleh:
a. Adenoma adrenal (sindroma conns)
b. Hiperplasia adrenal
c. Karsinoma adrenal

2.3.2 Etiologi Sindom Adrenogenital


a. Defek enzim kongenital (biasanya enzim 21-hidroksilase) pada sintesis
kortisol
Penurunan kadar kortisol, disirkulasi sebagai akibatnya memproduksi ACTH
berlebihan, yang pada gilirannya menstimulasi adrenal untuk menghasilkan
steroid androgenik berlebihan (Rubenstein dkk, 2007).

2.4 Tanda dan Gejala


2.4.1 Tanda dan Gejala Aldosteronisme Primer
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan tanda yang paling menonjol dan hampir universal untuk
aldosteronisme meskipun menjadi penyebab primer pada kurang dari 3%
kasus-kasus hipertensi (Stern &Tuck, 1994). Peningkatan sekunder volume
darah dan efek langsung aldosteron yang mungkin terjadi pada reseptor saraf
seperti sinus karotikus merupakan faktor lain yang menimbulkan hipertensi.
Rubenstein dkk (2005:173) menyatakan bahwa retensi natrium sering
menyebabkan hipertensi, namun biasanya tak disertai edema. Hipertensi yang
timbul bisa menyerupai hipertensi dengan penyebab lain, khususnya bila
diberi diuretik yang membuang kalium, atau ada sindrom Cushing.
b. Hipokalemia dan alkalosis metabolik
Penderita aldosteronisme memperlihatkan penurunan kadar kalium serum
(hipokalemia) dan ion hidrogen (alkalosis) sebagaimana ditunjukkan oleh
peningkatan nilai PH serta kekuatan pengikatan karbon dioksida. Kada
natrium serum tampak normal atau meningkat menurut jumlah air yang
diabsorpsi kembali bersama natrium.
c. Kelemahan otot berat, kram, mudah lelah,
Hipokalemia merupakan penyebab terjadinya kelemahan otot yang bervariasi,
keluhan kram dan mudah lelah pada penderita aldosteronisme.
d. Poliuria dan polidipsia
Ketidakmampuan ginjal untuk mengasamkan atau memekatkan urin
mengakibatkan volume urin berlebihan sehingga terjadi poliuria. Sebaliknya
serum secara abnormal menjadi pekat dan keadaan ini menimbulkan keluhan
polidipsia (rasa haus yang hebat) serta hipertensi arterial. (Smeltzer&Bare,
2006:1331-1332)
2.4.2 Tanda dan Gejala sindrom Adrenogenital
a. Hiponatremia
b. Gagal tumbuh
c. Dehidrasi
d. Hiperkalemia
e. Krisis adrenal
f. Bayi tidak mau minum, muntah, diare, berat badan menurun, asidosis,
hipoglikemia, dan hiperpigmentasi.
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Patofisiologi Aldosteronisme primer
Peningkatan aldosteron dapat menyebabkan hipervolemia dan
peningkatan reabsorbsi, jumlah total natrium dalam tubuh. Dengan adanya
mekanisme pengalihan edema jarang ditemukan, dimana terjadi reabsorbsi
natrium pada tubulus proksimal terhalang dengan adanya sistem regulator
ginjal. Hipertensi arteri terjadi karena peningkatan volume cairan, kadar
natrium pada arterior dan pembuluh darah serta reaktifitas simfatis penurunan
kalium pada intra dan ekstra seluler terjadi karena peningkatan ekresi kalium
pada tubulus ginjal. Hipokalemia menyebabkan kelemahan otot, dan fatigue.
Polinuktoria (karena peningkatan konsentrasi urin). Perubahan konduktifitas
elektrik pada miokard dan penurunan toleransi glukosa. Sekresi ion hidrogen
meningkat dengan adanya hiperaldosteronisme sehingga mengakibatkan
alkalosis metabolik. Alkalosis berhubungan dengan derajat hipokalemia.
Alkalosis ditunjukan dengan tanda chvostek dan trousseav (+), aktivitas renin
plasma ditekan. Pemeriksaan laboratorium akan menunjukan derajat
penurunan renin setelah pasien berada pada kondisi hiperaldosteronisme.
Peningkatan dari sekresi aldosteron juga dapat terlihat pada pasien.
2.5.2 patofisiologi sindron adrenogenital
Defek utama penyakit ini karena defisiensi 21-hydroxylase adalah
korteks adrenal tidak dapat mensintesis hormon kortisol dalam jumlah yang
cukup. Tidak tercukupinya sintesis kortisol menyebabkan hipotalamus dan
hipofisis mensekresi CRH dan ACTH yang berlebih. Akibat dari ransang
kronik hormon tersebut menyebabkan kelenjar adrenal hiperplastik. Hal yang
sama juga terjadi pada sindrom adrenogenital yang disebabkan defisiensi
enzim lain, yang menyebabkan gangguan pada sintesis kortisol. Sebagian
besar pasien karena defisiensi 21-hydroxylase pembentukan aldosteron yang
tidak adekuat sehingga tidak dapat memelihara keseimbangan natrium.
Apabila hal ini tidak diketahui sejak dini, kemungkinan timbul dehidrasi
hiponatremi kemudian syok.
2.6 Pengobatan
2.6.1 Pengobatan Aldosteronisme Primer
Ketidakseimbangan elektrolit dan kelebihan cairan ditangani dengan
pemberian obat kalium dan spironolakton atau amilorid. Spironolakton
diberikan dalam dosis tinggi 200-400 mg per hari dan amilorid 20-40 mg per
hari. Spironolakton adalah antagonis mineralkortikoid yang bisa menghalangi
efek aldosteron pada tubula ginjal. Spironolakton dapat menahan kalium.
Untuk hiperplasia bilateral, pasien diberi kalium dan spironolakton. Asupan
natrium dibatasi. Apabila hipertensi tidak dapat dikendalikan dengan obat ini,
pasien diberikan obat antihipertensi (Baradero, 2009:81).
2.6.2 pengobatan sindrom Adrenlogenital
a. Glukokortiroid
Pada pasien anak diberikan hidrokortison dengan dosis 10-20 mg per hari,
jika pada pasien dewasa dapat diberikan prednison dosis rendah 5-7 mg per hari
atau deksametason dosis rendah 1,25-1,5 mg per hari. Pemberian pengobatan ini
bertujuan untuk menekan sekresi CRH dari hipotalamus dan ACTH dari hipofisis
yang berlebihan dan mengurangi kadar steroid seksual.
b. Mineralokortikoid
Pemberian fludrokortison pada bayi dengan dosis 0,1-0,2 mg per hari
dengan tambahan suplemen natrium klorida 1-2 mg per hari dan tiap gram
natrium klorida mengandung mEq natrium.
c. Adrenalektomi
Jika terapi glukokortikoid dan mineralokotikoid tidak adekuat dapat
dilakukuan adrenalektomi dengan laparoskopi
d. Pembedahan Korektif
Hal ini dapat dilakukan jika pasien merasa yakin akan gender atau jenis
kelamin yang dipilihnya dan pasien merasa nyaman. Anak ditakutkan akan
mengalami trauma psikologis karena orang tua yang mungkin tidak dapat
menerima membesarkan anak dengan gender yang belum pasti.
2.7 Pencegahan
2.7.1 Pencegahan Aldosteronisme Primer
Pencegahan aldosteronisme menurut Baradero (2009:80) yaitu sebagai
berikut.
a. Tindakan
Pengobatan pilihan untuk aldosteronisme primer karena aldosterone-
secreting adenoma adalah adrenalektomi unilateral.
b. Diet
Selain makanan rendah natrium,, dianjurkan unyuk mengkonsumsi
makanan yang kaya dengan kalium.
c. Aktivitas
Kegiatan ditingkatkan secara bertahap. Apabila kadar kalium serum sudah
pulih, rasa lemah dan cepat lelah bisa berkurang. Jelaskan pada pasien untuk
merubah posisi secara perlahan untuk menghindari hipotensi postural. Pasien
dibantu menghindari trauma akibat parastesia dan retinopati.
2.7.2 Pencegahan Sindrom Adrenogenital
DAFTAR PUSTAKA
Ruswana, Anwar. 2005. Fungsi Kelenjar Adrenal dan Kelainannya. Sub Bagian
Fertilitas dan Endogrinologi Reproduksi Bagian Obstetri dan Ginekologi.
Bandung: Fakultas Kedokteran UNPAD.
Sanjaya, Ailing. Tanpa Tahun. Addison’s disease. Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Gotore & Mariadi. 2007. Insufisiensi Adrenanl Pada Pasien Kritis. Jurnal.
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud / RSUP Sanglah, Denpasar.
Rubenstein, dkk. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Surabaya: Erlangga
Medical Series.

Anda mungkin juga menyukai