PENDAHULUAN
Hal yang harus mendapat perhatian khusus pada pasien PPJ yaitu adanya
penyakit penyerta yang sering ada pada usia dekade lima keatas sekitar 50%
karena proses penuaan. Faktor komorbid yang sering menyertai pada pasien PPJ
yaitu penyakit jantung iskemik, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit paru
obstruktif menahun dan penurunan fungsi ginjal sedangkan yang tidak
mempunyai kelainan komorbid hanya sekitar 23% sehingga persiapan praoperasi
1
sangat penting untuk menurunkan morbiditas maupun mortalitas yang bisa terjadi
pada pasien yang akan dilakukan operasi prostatektomi. Penyulit pascaoperasi
prostatektomi lambat yaitu: (1). Impoten / Disfungsi ereksi (3,3-34,8%). (2).
Ejakulasi retrograd (25-99%). (3). Striktur uretra (56%). (4). Stenosis leher buli-
buli. (5). Pembesaran prostat jinak berulang 4,2% pada PTV; 17,6% pada PRTU.
(6). Inkontinensia urin temporer (2%), permanen (0,5%). (7). Mortalitas
pascaoperasi prostatektomi (<1%).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Menurut klassifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior,
posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal,
prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior
dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar.
Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah
bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar
ini dilapisi oleh selapis epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid.
4
Secara fisiologis, kelenjar prostat akan menghasilkan suatu cairan encer
yang terdiri dari asam sitrat, fosfatase asam, amylase, dan PSA (prostate-specific-
antigen) yang PH nya sedikit asam. Selain itu, terdapat pula enzim fibrinolisin
yang berfungsi untuk mencairkan semen yang mengental setelah ejakulasi. PSA
merupakan suatu tumor marker berupa rantai tunggal glikoprotein yang terdiri
dari 93 % asam amino dan 7% karbohidrat. PSA disintesis dan disekresikan oleh
sel epitel. PSA sangat berguna untuk menentukan suatu keganasan pada prostat
karena konsentrasi PSA dalam darah meningkat pada kasus kanker prostat.
2.3 Etiopatogenesis
5
interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4) berkurangnya kematian sel
(apoptosis), dan (5) teori stem sel.
6
2.4 Diagnosis
2.4.1Gambaran Klinis
Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi
berupa hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih,
double voiding, mengejan saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih.
Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan nokturia. Gejala-gejala tersebut
disebut sebagai gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract
Syndrome (LUTS).
7
terhadap adanya LUTS.
2.4.2 Pemeriksaan
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian
bawah, telah dibuat suatu sistem skoring oleh perhimpunan Urologi Amerika dan
IPSS (International Prostatic Symptom Score). Dalam skoring IPSS tersebut,
dapat dikelompokkan gejala LUTS menjadi 3 derajat , yaitu (1) ringan: 0-7, (2)
sedang: 8-19, (3) berat: 20-35.
8
Gambar 3. International Prostate Symptoms Score (IPSS) dalam Bahasa Indonesia
(Modifikasi dari IAUI Guidelines, 2003).
Pemeriksaan Fisik
Colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) yang dinilai pada
colok dubur adalah ukuran ,konsistensi prostat, dan adanya nodul. Pada pasien
BPH, umumnya prostat teraba licin dan kenyal. Apabila didapatkan indurasi pada
perabaan, waspada adanya proses keganasan, sehingga memerlukan evaluasi yang
lebih lanjut berupa pemeriksaan kadar Prostat Spesific Antigen (PSA) dan
transrectal ultrasound serta biopsi.
9
Urinalisis
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific. dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a)
pertumbuhan volume prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran
urine lebih jelek, dan (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Kadar PSA di
dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi
pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi,
keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Sebagian besar guidelines yang
disusun di berbagai negara merekomendasikan pemerik-saan PSA sebagai salah
satu pemeriksaan awal pada BPH, meskipun dengan sarat yang berhu-bungan
dengan usia pasien atau usia harapan hidup pasien. Usia sebaiknya tidak melebihi
70-75 tahun atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga jika memang
terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya.
Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus
urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik.
Pencatatan miksi ini sangat ber-guna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai
keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan
cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan
dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor
akibat obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih.
Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil
10
yang baik2,10, namun Brown et al (2002) mendapatkan bahwa pencatatan selama
3-4 hari sudah cukup untuk menilai overaktivitas detrusor
Uroflometri
2.5 Penatalaksanaan
11
ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih
menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor sedang
(IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS > 7),
pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat
> 30 gram tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting.
Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan
hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang
menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan
obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan
pedas dan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan
diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju
pancaran urine, maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah
jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang
lain.
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi resistensi
otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika
dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa (adrenergic alfa blocker) dan
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan
kadar hormon testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5-
reduktase.
12
3. Terapi intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan
prostat atau pembedahan dan teknik instrumentasi alterna-tif. Termasuk ablasi
jaringan prostat adalah: pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser
prostatektomi. Sedangkan teknik ins-trumentasi alternatif adalah interstitial laser
coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent uretra.
Guidelines di beberapa negara juga menyebutkan bahwa terapi
pembedahan diindikasikan pada BPH yang telah menimbulkan keluhan sedang
hingga berat, tidak menunjuk-kan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah,
dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa. Terdapat tiga macam
teknik pembedahan yang direkomendasikan di berbagai negara, yaitu
prostatektomi terbuka, insisi prostat transuretra (TUIP), dan reseksi prostat
transuretra (TURP).
13
Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan
paling efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan
gejala BPH 98%. Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan
transvesikal yang mula-mula diperkenalkan oleh Hryntschack dan pendekatan
retropubik atau perineal yang dipopulerkan oleh Millin. Pendekatan transvesika
hingga saat ini sering dipakai pada BPH yang cukup besar disertai dengan batu
buli-buli multipel, divertikula yang besar, dan hernia inguinalis. Pembedahan
terbuka dianjurkan pada prostat volumenya diperkirakan lebih dari 80-100 cm3.
Indikasi untuk tindakan prostatektomi sederhana atau terbuka :
1. Retensi urin
2. Infeksi saluran kemih berulanng atau persisten
3. Perdarahan signifikan atau persisten dari prostat
4. Obstruksi kandung kemih
5. Kerusakan ginjal
14
15
16
17
18
19
Pada operasi prostatektomi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut
bagian bawah (midline) kandung kemih dibuka secara vertikal kemudian prostat
dienukleasi dari dalam simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus
untuk mengangkat batu buli-buli atau divertikelektomi apabila ada divertikulum
yang cukup besar. Cara pembedahan retropubik dikerjakan melalui sayatan kulit
perut bagian bawah dengan membuka simpai prostat tanpa membuka kandung
kemih, kemudian prostat dienukleasi.
20
Komplikasi Prostatektomi sederhana
c. TUIP
Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai
mencapai 100C, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini
terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat
membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke
21
dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine
sehingga jarum yang terletak pada ujungkateter terletak pada kelenjar prostat.
Pasien sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urin,
dan epididimo-orkitis
22
BAB III
KESIMPULAN
Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi
berupa hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih,
double voiding, mengejan saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih.
Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan nokturia.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian
bawah, telah dibuat suatu sistem skoring oleh perhimpunan Urologi Amerika dan
IPSS (International Prostatic Symptom Score). Dalam skoring IPSS tersebut,
dapat dikelompokkan gejala LUTS menjadi 3 derajat , yaitu (1) ringan: 0-7, (2)
sedang: 8-19, (3) berat: 20-35, pemeriksaan DRE, urinalisis, pemeriksaan fungsi
ginjal, PSA, catatan harian miksi, uroflometri, pencitraan traktus urinarius
23
reseksi prostat sederhana jika tujuannya hanya kelenjar prostat. Kedua, reseksi
prostat radikal apabila jaringan dan nodus limpa di sekitarnya juga ikut
diangkat. Prostatektomi dilakukan untuk menangani lokalisasi kanker prostat,
membersihkan penyumbatan, mengurangi pembengkakan, dan mencegah
meluasnya infeksi. Indikasi untuk tindakan prostatektomi sederhana atau terbuka
:Retensi urin, Infeksi saluran kemih berulanng atau persisten, Perdarahan
signifikan atau persisten dari prostat,Obstruksi kandung kemih, Kerusakan ginjal.
Komplikasi yang terjadi setelah prostatektomi sederhana atau terbuka
yaitu, perdarahan setelah di enakulasi kelenjar prostat, ekstravasasi urin,
infeksi termasuk sistitis, Dilaporkan 2-3% pasien mengalami disfungsi ereksi,
jika pembuluh darah dan saraf yang membantu proses ereksi mengalami
kerusakan akibat prostatektomi dan sebanyak 80-90% pasien mengalami
ejakulasi retrograde. Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan deep vein
thrombosis, emboli pada paru.
24
DAFTAR PUSTAKA
25