Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Benign Prostat Hyperlplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah


salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari
kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran urine dan menimbulkan
gangguan miksi. Insidennya berhubungan dengan usia yaitu pada usia dekade
keenam sebesar 43% sedangkan secara mikroskopis prevalesnis pembesaran
prostat jinak dimulai pada usia 25-30 tahun walaupun prevalensinya sangat
rendah. Setelah usia 40 tahun prevalensinya meningkat secara cepat yaitu pada
usia 41-50 tahun sebesar 20%, usia 51-60 tahun lebih dari 50%, usia lebih dari 85
tahun prevalensinya lebih dari 90% sedangkan yang mengalami keluhan Low
Urinary Tract Syndrome sekitar 50%nya memerlukan pertolongan dokter
termasuk tindakan pembedahan.

Angka kejadian penyakit pembesaran prostat jinak di Indonesia belum ada


data yang pasti sedangkan problem penyakit pembesaran prostat jinak merupakan
problem di bidang urologi kedua terbanyak setelah penyakit batu saluran kencing
dan di prediksikan sekitar 30% pasien penyakit pembesaran prostat jinak akan
datang untuk meminta bantuan baik secara medikamentosa maupun operasi.

Tindakan pembedahan merupakan cara yang paling efisien mengatasi


masalah LUTS yang telah gagal dengan pengobatan medikomentosa, apalagi tidak
semua pasien yang mendapatkan pengobatan medikamentosa berhasil, hanya
sekitar 40-70%. Pengobatan medikamentosa hanya mampu memperbaiki skor
gejala sampai 30-45%. Penanganan PPJ dengan terapi pembedahan di Indonesia,
termasuk di DIY masih merupakan standar pengobatan, baik secara prostatektomi
transvesikal (PTV) maupun prostatektomi reseksi transuretral (PRTU) apabila
dengan pengobatan medikamentosa tidak ada perbaikan klinis. Hasil evaluasi dari
terapi pembedahan ini beberapa peneliti melaporkan tentang besarnya angka
kejadian komplikasi lambat pascaoperasi prostatektomi dan masih menjadi
problem di bidang urologi sampai saat ini.

Hal yang harus mendapat perhatian khusus pada pasien PPJ yaitu adanya
penyakit penyerta yang sering ada pada usia dekade lima keatas sekitar 50%
karena proses penuaan. Faktor komorbid yang sering menyertai pada pasien PPJ
yaitu penyakit jantung iskemik, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit paru
obstruktif menahun dan penurunan fungsi ginjal sedangkan yang tidak
mempunyai kelainan komorbid hanya sekitar 23% sehingga persiapan praoperasi

1
sangat penting untuk menurunkan morbiditas maupun mortalitas yang bisa terjadi
pada pasien yang akan dilakukan operasi prostatektomi. Penyulit pascaoperasi
prostatektomi lambat yaitu: (1). Impoten / Disfungsi ereksi (3,3-34,8%). (2).
Ejakulasi retrograd (25-99%). (3). Striktur uretra (56%). (4). Stenosis leher buli-
buli. (5). Pembesaran prostat jinak berulang 4,2% pada PTV; 17,6% pada PRTU.
(6). Inkontinensia urin temporer (2%), permanen (0,5%). (7). Mortalitas
pascaoperasi prostatektomi (<1%).

Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga


tindakan operasi pada penderita dengan gejala berat. Indikasi absolut untuk
pembedahan berupa retensi urine yang berkelanjutan, infeksi saluran kemih yang
rekuren, gross hematuria rekuren, batu buli akibat BPH, insufisiensi renal dan
divertikel buli. Terapi BPH yaitu, watchful waiting, medikamentosa Tujuan terapi
medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi resistensi otot polos prostat
sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergik alfa (adrenergic alfa blocker) dan mengurangi volume
prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5-reduktase, dan
operatif, Tindakan operatif dilakukan apabila pasien BPH mengalami retensi urin
yang menetap atau berulang, inkontinensia overflow, ISK berulang, adanya batu
buli atau divertikel, hematuria yang menetap setelah medikamentosa, atau dilatasi
saluran kemih bagian atas akibat obstruksi dengan atau tanpa insufisiensi ginjal
(indikasi operasi absolut). Selain itu adanya gejala saluran kemih bagian bawah
yang menetap setelah terapi konservatif atau medikamentosa merupakan indikasi
operasi relative, jenis tindakan operatifnya, TURP (Transurethral Resection of the
Prostate), Transurethral Incicion of the Prostate, Prostatektomi terbuka, dan
Terapi Minimal Invasive.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Prostat

Prostat adalah suatu organ kelenjar yang fibromuskular, yang


terletak persis dibawah kandung kemih. Berat prostat pada orang dewasa normal
kira-kira 20 gram, didalamnya terdapat uretra posterior dengan panjangnya 2,5 3
cm. Pada bagian anterior disokong oleh ligamentum pubo-prostatika yang
melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior prostat terdapat
vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum. Fasia
denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini cukup
keras dan biasanya dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai
suatu stadium lanjut. Pada bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus
ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum
didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada
permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna
sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk
oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan perineal membungkus otot levator ani yang
tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah oleh karena ototnya lebih
sedikit dan fasia lebih sedikit.

Kelenjar prostat mendapat vaskularisasi dari arteri vesikalis inferior yang


merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Arteri vesikalis inferior ini akan
bercabang menjadi dua untuk memberikan suplai darah ke kelenjar prostat.
Cabang pertama merupakan arteri urethralis yang berjalan melalui prostatovesikal
junction dan turun kebawah sejajar dengan uretra dan memberikan suplai darah
pada zona transisional Arteri ini merupakan pembuluh darah utama yang
memberikan suplai darah pada proses terjadinya BPH. Cabang kedua arteri
vesikalis inferior adalah arteri capsularis yang berjalan posterolateral dari kelenjar
prostat. Arteri ini memaasuki kelenjar prostat dan memberikan suplai darah pada
jaringan di dalam kelenjar prostat.

Darah vena prostat dialirkan kedalam fleksus vena periprostatika yang


berhubungan dengan vena dorsalis penis, kemudian dialirkan ke vena iliaka
interna yang juga berhubungan dengan pleksus vena presakral. Oleh karena
struktur inilah sering dijumpai metastase karsinoma prostat secara hematogen ke
tulang pelvis dan vertebra lumbalis. Persarafan kelenjar prostat sama dengan
persarafan kandung kemih bagian inferior yaitu fleksus saraf simpatis dan
parasimpatis. Aliran lymph dari prostat dialirkan kedalam lymph node iliaka
interna (hipogastrika), sacral, vesikal dan iliaka aksterna

3
Menurut klassifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior,
posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal,
prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior
dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar.
Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah
bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar
ini dilapisi oleh selapis epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid.

4
Secara fisiologis, kelenjar prostat akan menghasilkan suatu cairan encer
yang terdiri dari asam sitrat, fosfatase asam, amylase, dan PSA (prostate-specific-
antigen) yang PH nya sedikit asam. Selain itu, terdapat pula enzim fibrinolisin
yang berfungsi untuk mencairkan semen yang mengental setelah ejakulasi. PSA
merupakan suatu tumor marker berupa rantai tunggal glikoprotein yang terdiri
dari 93 % asam amino dan 7% karbohidrat. PSA disintesis dan disekresikan oleh
sel epitel. PSA sangat berguna untuk menentukan suatu keganasan pada prostat
karena konsentrasi PSA dalam darah meningkat pada kasus kanker prostat.

2.2 Benign Prostat Hyperplasia

Benign Prostat Hyperplasia atau pembesaran prostat jinak adalah salah


satu penyakit penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran
dari kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran urine dan
menimbulkan gangguan miksi.

2.3 Etiopatogenesis

Penyebab dari perbesaran kelenjar prostat tidak diketahui secara pasti.


Namun, ada beberapa faktor yang mempengaruhi perbesaran kelenjar prostat
bahwa hyperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah: (1) teori
dihidrotestosteron, (2) adanya ketidak seimbangan antara estrogen-testosteron, (3)

5
interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4) berkurangnya kematian sel
(apoptosis), dan (5) teori stem sel.

1. Dihydrotestosteron Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor


androgen yang dapat menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar
prostat mengalami pembesaran.
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron Proses
penuaan pada pria menyebabkan peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasia stroma.
3. Interaksi stroma - epitel Peningkatan epidermal growth factor atau
fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth
factor beta menyebabkan pembesaran atau hiperplasia pada stroma
dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati Prostat berada dalam keadaan seimbang
antara sel yang tumbuh dan mati. Namun, peningkatan estrogen yang
menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
5. Teori sel stem Pada keadaan tertentu terjadi peningkatan sel stem
yang meningkatkan proliferasi sel transit.

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika


dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan
perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada
bulibuli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah atau LUTS yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian bulibuli


tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau


tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan intervensi untuk membuka jalan
keluar urin. Metode yang mungkin adalah prostatektomi parsial, Transurethral
Resection of Prostate (TURP) atau insisi prostatektomi terbuka, untuk
mengangkat jaringan periuretral hyperplasia insisi transurethral melalui serat otot
leher kandung kemih untuk memperbesar jalan keluar urin, memperbesar lumen
uretra, dan terapi antiandrogen untuk membuat atrofi kelenjar prostat

6
2.4 Diagnosis

2.4.1Gambaran Klinis

Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi
berupa hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih,
double voiding, mengejan saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih.
Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan nokturia. Gejala-gejala tersebut
disebut sebagai gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract
Syndrome (LUTS).

LUTS dapat dibagi menjadi gejala penampungan, pengosongan, dan


pascamiksi. Umumnya, LUTS dikaitkan dengan adanya obstruksi yang
diakibatkan oleh pembesaran kelenjar prostat. Namun penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa LUTS tidak hanya disebabkan oleh adanya kelainan pada
prostat. Adanya gangguan dari kandung kemih dapat juga menyebabkan LUTS,
misalnya peningkatan aktivitas otot detrusor, gangguan kontraktilitas pada fase
penampungan, dan penurunan aktivitas otot detrusor pada fase pengosongan.
Kondisi lain baik kondisi urologis maupun neurologis juga dapat berkontribusi

7
terhadap adanya LUTS.

2.4.2 Pemeriksaan

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian
bawah, telah dibuat suatu sistem skoring oleh perhimpunan Urologi Amerika dan
IPSS (International Prostatic Symptom Score). Dalam skoring IPSS tersebut,
dapat dikelompokkan gejala LUTS menjadi 3 derajat , yaitu (1) ringan: 0-7, (2)
sedang: 8-19, (3) berat: 20-35.

8
Gambar 3. International Prostate Symptoms Score (IPSS) dalam Bahasa Indonesia
(Modifikasi dari IAUI Guidelines, 2003).

Pemeriksaan Fisik

Colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) yang dinilai pada
colok dubur adalah ukuran ,konsistensi prostat, dan adanya nodul. Pada pasien
BPH, umumnya prostat teraba licin dan kenyal. Apabila didapatkan indurasi pada
perabaan, waspada adanya proses keganasan, sehingga memerlukan evaluasi yang
lebih lanjut berupa pemeriksaan kadar Prostat Spesific Antigen (PSA) dan
transrectal ultrasound serta biopsi.

9
Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan


hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu
buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya:
karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis
menunjuk-kan adanya kelainan. Untuk itu pada kecuri-gaan adanya infeksi
saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat
kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine

Pemeriksaan Fungsi Ginjal

Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus


urinarius bawah ataupun bagian atas. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi
didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal
dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin serum

Pemeriksaan PSA (Prostat Spesific Antigen)

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific. dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a)
pertumbuhan volume prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran
urine lebih jelek, dan (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Kadar PSA di
dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi
pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi,
keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Sebagian besar guidelines yang
disusun di berbagai negara merekomendasikan pemerik-saan PSA sebagai salah
satu pemeriksaan awal pada BPH, meskipun dengan sarat yang berhu-bungan
dengan usia pasien atau usia harapan hidup pasien. Usia sebaiknya tidak melebihi
70-75 tahun atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga jika memang
terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya.

Catatan harian miksi (voiding diaries)

Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus
urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik.
Pencatatan miksi ini sangat ber-guna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai
keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan
cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan
dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor
akibat obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih.
Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil

10
yang baik2,10, namun Brown et al (2002) mendapatkan bahwa pencatatan selama
3-4 hari sudah cukup untuk menilai overaktivitas detrusor

Uroflometri

Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi


secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi
saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh
informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-
rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan
lama pancaran.

Pencitraan traktus urinarius

Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat,


dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi
prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin

2.5 Penatalaksanaan

Pilihan terapi pada pasien BPH adalah Tujuan mengembalikan kualitas


hidup pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat
keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang
diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari: (1) tanpa terapi
(watchful waiting), (2) medikamentosa, dan (3) terapi intervensi (Tabel 1)4. Di
Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the prostate (TURP) masih
merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH.

1. Tanpa terapi (watchful waiting)


Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa
terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan

11
ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih
menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor sedang
(IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS > 7),
pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat
> 30 gram tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting.
Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan
hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang
menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan
obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan
pedas dan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan
diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju
pancaran urine, maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah
jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang
lain.
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi resistensi
otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika
dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa (adrenergic alfa blocker) dan
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan
kadar hormon testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5-
reduktase.

12
3. Terapi intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan
prostat atau pembedahan dan teknik instrumentasi alterna-tif. Termasuk ablasi
jaringan prostat adalah: pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser
prostatektomi. Sedangkan teknik ins-trumentasi alternatif adalah interstitial laser
coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent uretra.
Guidelines di beberapa negara juga menyebutkan bahwa terapi
pembedahan diindikasikan pada BPH yang telah menimbulkan keluhan sedang
hingga berat, tidak menunjuk-kan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah,
dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa. Terdapat tiga macam
teknik pembedahan yang direkomendasikan di berbagai negara, yaitu
prostatektomi terbuka, insisi prostat transuretra (TUIP), dan reseksi prostat
transuretra (TURP).

a. Simple (open) Prostatektomi


Prostatektomi adalah prosedur bedah untuk mengangkat kelenjar prostat.
Prosedur ini terdiri dari dua jenis. Pertama, reseksi prostat sederhana jika
tujuannya hanya kelenjar prostat. Kedua, reseksi prostat radikal apabila
jaringan dan nodus limpa di sekitarnya juga ikut diangkat. Prostatektomi
dilakukan untuk menangani lokalisasi kanker prostat, membersihkan
penyumbatan, mengurangi pembengkakan, dan mencegah meluasnya infeksi.

13
Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan
paling efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan
gejala BPH 98%. Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan
transvesikal yang mula-mula diperkenalkan oleh Hryntschack dan pendekatan
retropubik atau perineal yang dipopulerkan oleh Millin. Pendekatan transvesika
hingga saat ini sering dipakai pada BPH yang cukup besar disertai dengan batu
buli-buli multipel, divertikula yang besar, dan hernia inguinalis. Pembedahan
terbuka dianjurkan pada prostat volumenya diperkirakan lebih dari 80-100 cm3.
Indikasi untuk tindakan prostatektomi sederhana atau terbuka :
1. Retensi urin
2. Infeksi saluran kemih berulanng atau persisten
3. Perdarahan signifikan atau persisten dari prostat
4. Obstruksi kandung kemih
5. Kerusakan ginjal

Sebelum prostatektomi, pasien perlu melakukan persiapan, termasuk


menjalani rangkaian tes seperti sistoskopi untuk memeriksa kondisi organ
sistem kemih, di antaranya kandung kemih, uretra, dan prostat. Pasien
diharuskan berpuasa dan mengikuti prosedur enema untuk membersihkan usus,
di malam sebelum pelaksanaan prosedur. pada prostatektomi sederhana, dokter
akan memasukkan sistoskop melalui penis hingga mencapai area prostat.
Kemudian dokter membuat sayatan di sekitar kandung kemih agar dapat
menjangkau prostat dan mengangkat penyumbatan atau nodul, lalu sayatan
akan dijahit. Selagi pasien terjaga, dokter akan menggunakan kateter untuk
mengeringkan urin.
Sebelum kelenjar prostat di enakulasi dapat menjegah dengan maneuver
yaitu, ligase arteri hipogastrik sementara, ligase kompleks dorsal bagian dalam,
dan ligase stitch pada pedikel prostat, sehingga memiliki control yang baik
terhadap perdarahan setelah kelenjar prostat di enakulasi.

14
15
16
17
18
19
Pada operasi prostatektomi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut
bagian bawah (midline) kandung kemih dibuka secara vertikal kemudian prostat
dienukleasi dari dalam simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus
untuk mengangkat batu buli-buli atau divertikelektomi apabila ada divertikulum
yang cukup besar. Cara pembedahan retropubik dikerjakan melalui sayatan kulit
perut bagian bawah dengan membuka simpai prostat tanpa membuka kandung
kemih, kemudian prostat dienukleasi.

Pada prostatektomi radikal, sayatan akan dibuat di area perineum (alat


vital) atau skrotum (kantung pelir) dan anus (perineal) atau di bagian bawah
perut (retropubic). Kelenjar dan seminal vesicle (kantung semen atau tempat
penampungan sperma) akan diangkat menggunakan alat bedah. Jika pembuluh
darah yang membantu proses ereksi tidak ikut diangkat, maka prosedur ini
disebut prostatektomi penyisaan saraf (nerve-sparing). Apabila nodus limpa
diangkat, maka prosedur disebut pemotongan nodus limpa terbatas atau
perluasan, tergantung pada lokasi nodus limpa. Uretra yang berada di
sepanjang prostat akan disambungkan kembali pada kandung kemih sebelum
sayatan dijahit.

20
Komplikasi Prostatektomi sederhana

Komplikasi yang terjadi setelah prostatektomi sederhana atau terbuka yaitu,


perdarahan setelah di enakulasi kelenjar prostat, ekstravasasi urin, infeksi
termasuk sistitis, epipidimo orchitis tetapi jarang terjadi. Stres inkontinensia
urin dan inkontinensia urin total jarang terjadi karena risiko cedera pada
spingter urin eksternal ini minimal jarang terjadi pada tindakan ini.
Dilaporkan 2-3% pasien mengalami disfungsi ereksi, jika pembuluh darah dan
saraf yang membantu proses ereksi mengalami kerusakan akibat prostatektomi
dan sebanyak 80-90% pasien mengalami ejakulasi retrograde. Komplikasi lain
yang dapat ditimbulkan deep vein thrombosis, emboli pada paru.

b. TURP (Trans Uretra Reseksi Prostat)

Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan prostat


pada pasien BPH. Transurethral Resection of The Prostate adalah tatalaksana
bedah standar untuk pasien BPH. Cairan irigan (pembilas) nonkonduktif
digunakan selama TURP untuk menjaga visibilitas yang baik dari lapangan
operasi selama tindakan berlangsung. Menurut Wasson et al (1995) pada
pasien dengan keluhan derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada
watchful waiting. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan
prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat.
Secara umum TURP dapat memper-baiki gejala BPH hingga 90%,
meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%. Komplikasi dini yang terjadi
pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan yang paling sering adalah
perdarahan, Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia
stress <1% maupun inkontinensia urge 1,5%, striktura uretra 0,56,3%,
kontraktur leher buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang
berukuran kecil 0,93,2%, dan disfungsi ereksi.

c. TUIP

TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan


pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai
pembesaran lobus medius, dan tidak diketemukan adanya kecurigaan
karsinoma prostat. Teknik ini dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973,
dengan melakukan mono insisi atau bilateral insisi mempergunakan pisau
Colling mulai dari muara ureter, leher buli-buli-sampai ke verumontanum.
Insisi diperdalam hingga kapsula prostat

d. Transurethral Needle Ablation of Prostate(TUNA)

Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai
mencapai 100C, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini
terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat
membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke

21
dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine
sehingga jarum yang terletak pada ujungkateter terletak pada kelenjar prostat.
Pasien sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urin,
dan epididimo-orkitis

22
BAB III

KESIMPULAN

Benign Prostat Hyperlplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah


salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari
kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran urine dan menimbulkan
gangguan miksi. Insidennya berhubungan dengan usia yaitu pada usia dekade
keenam sebesar 43% sedangkan secara mikroskopis prevalesnis pembesaran
prostat jinak dimulai pada usia 25-30 tahun walaupun prevalensinya sangat
rendah. Setelah usia 40 tahun prevalensinya meningkat secara cepat yaitu pada
usia 41-50 tahun sebesar 20%, usia 51-60 tahun lebih dari 50%, usia lebih dari 85
tahun prevalensinya lebih dari 90%.

Penyebab dari perbesaran kelenjar prostat tidak diketahui secara pasti.


Namun, ada beberapa faktor yang mempengaruhi perbesaran kelenjar prostat
bahwa hyperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah: (1) teori
dihidrotestosteron, (2) adanya ketidak seimbangan antara estrogen-testosteron, (3)
interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4) berkurangnya kematian sel
(apoptosis), dan (5) teori stem sel.

Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi
berupa hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih,
double voiding, mengejan saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih.
Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan nokturia.

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian
bawah, telah dibuat suatu sistem skoring oleh perhimpunan Urologi Amerika dan
IPSS (International Prostatic Symptom Score). Dalam skoring IPSS tersebut,
dapat dikelompokkan gejala LUTS menjadi 3 derajat , yaitu (1) ringan: 0-7, (2)
sedang: 8-19, (3) berat: 20-35, pemeriksaan DRE, urinalisis, pemeriksaan fungsi
ginjal, PSA, catatan harian miksi, uroflometri, pencitraan traktus urinarius

Pilihan terapi pada pasien BPH adalah Tujuan mengembalikan kualitas


hidup pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat
keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang
diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari: (1) tanpa terapi
(watchful waiting), (2) medikamentosa, dan (3) terapi intervensi salah satunya
yaitu prostatektomi sederhana terbuka, Prostatektomi adalah prosedur bedah
untuk mengangkat kelenjar prostat. Prosedur ini terdiri dari dua jenis. Pertama,

23
reseksi prostat sederhana jika tujuannya hanya kelenjar prostat. Kedua, reseksi
prostat radikal apabila jaringan dan nodus limpa di sekitarnya juga ikut
diangkat. Prostatektomi dilakukan untuk menangani lokalisasi kanker prostat,
membersihkan penyumbatan, mengurangi pembengkakan, dan mencegah
meluasnya infeksi. Indikasi untuk tindakan prostatektomi sederhana atau terbuka
:Retensi urin, Infeksi saluran kemih berulanng atau persisten, Perdarahan
signifikan atau persisten dari prostat,Obstruksi kandung kemih, Kerusakan ginjal.
Komplikasi yang terjadi setelah prostatektomi sederhana atau terbuka
yaitu, perdarahan setelah di enakulasi kelenjar prostat, ekstravasasi urin,
infeksi termasuk sistitis, Dilaporkan 2-3% pasien mengalami disfungsi ereksi,
jika pembuluh darah dan saraf yang membantu proses ereksi mengalami
kerusakan akibat prostatektomi dan sebanyak 80-90% pasien mengalami
ejakulasi retrograde. Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan deep vein
thrombosis, emboli pada paru.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo, B, B., Dasar-Dasar Urologi edisi ketiga. 2012. Jakarta Sagung


Seto
2. Sjamsuhidajat,R., Karnadihardja, W., Prasetyono, T, O, H.,Rudiman, R.,
Buku Ajar Ilmu Bedah edisi ketiga. 2016. Jakarta EGC
3. Critical Operative Maneuvers in Urology Surgery Suprapubic
Prostatectomy.
Available:http://totallyyu.com/YU%20MILLER%20BOOK-PDF-
FILE/Yu%20Chap%2020%20%20(199-206).pdf. Accessed : 08 mei 2017
4. Moslemi, M, K., Zadeh, M, A., A Modified Technique of Simple
Suprapubic
Prostatectomy.2010Availablehttp://www.urologyjournal.org/index.php/uj/
article/download/575/431 Accessed[09 mei 2017]
5. Penanganan Kanker Prostat saat ini dan beberapa Perkembangan Baru.
2008. Available http://www.indonesianjournalofcancer.or.id/e-
journal/index.php/ijoc/article/view/53/44 . Accessed[24 mei 2017]
6. Aji, C, S., Tingkat Kecemasan Pasien BPH. 2016. Available
http://repository.ump.ac.id/921/4/CANDRA%20SATRIA%20AJI%20BA
B%20II.pdf. Accessed [24 mei 2017]

25

Anda mungkin juga menyukai