Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Tumor ganas sinonasal merupakan penyebab kesakitan dan kematian di bidang


otorinolaringologi di seluruh dunia. Kebanyakan tumor ini berkembang dari sinus maksilaris dan
tipe histologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa.
Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak
maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar
1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher.2
Berdasarkan penelitian dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di Indonesia bahwa
frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3-25,3% dari keganasan THT dan berada
pada peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring. Di RSUP H. Adam Malik Medan selama
Januari 2002 sampai dengan Desember 2008 pasien yang dirawat dengan diagnosis karsinoma
hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 52 kasus. Kebanyakan melibatkan sinus maksila
diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60 tahun.3
Anastesi umum (general anastesi) disebut juga dengan nama narkose umum (NU).
Anastesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesdaran yang bersifat
pulih kembali (reversible). Tanda-tanda anestesi umum telah bekerja adalah hilangnya kordinasi
anggota gerak, hilannya respon saraf perasa dan pendengaran, hilangnya tonus otot, terdepresnya
medulla oblongata sebagai pusat respirasi, dan vasomotor, dan bila terjadi overdosis akan
mengalami kematian. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari: hipnotik, analgesia, dan
relaksasi otot. 4
ParenteralAnestesi general yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi anestesi.
Perektal,Anestesi general yang diberikan perektal kebanyakan dipakai pada anak, terutama untuk
induksi anestesi atau tindakan singkat. Perinhalasi,Anestesi inhalasi adalah anestesi dengan
menggunakan gas ataucairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat
anestetika melalui udara pernapasan. 4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anestesi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Kata anestesia
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. 4
Tindakan anesthesia yang memadai, meliputi tiga komponen :

1. Hipnotik (tidak sadarkan diri= mati ingatan).


2. Analgesia (bebas nyeri = mati rasa).
3. Relaksasi otot rangka (mati gerak). 5

2.2 Anestesi Umum

Anastesi umum (general anastesi) disebut juga dengan nama narkose


umum (NU). Anastesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesdaran yang bersifat pulih kembali (reversible). Tanda-tanda anestesi
umum telah bekerja adalah hilangnya kordinasi anggota gerak, hilannya respon
saraf perasa dan pendengaran, hilangnya tonus otot, terdepresnya medulla
oblongata sebagai pusat respirasi, dan vasomotor, dan bila terjadi overdosis akan
mengalami kematian. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari: hipnotik,
analgesia, dan relaksasi otot. Metode anestesi general dilihat dari cara pemberian
obat :

1. Parenteral
Anestesi general yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk
induksi anestesi.
2. Perektal
Anestesi general yang diberikan perektal kebanyakan dipakai pada
anak, terutama untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
3. Perinhalasi
Anestesi inhalasi adalah anestesi dengan menggunakan gas
ataucairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat
anestetika melalui udara pernapasan. 5

Sebelum dilakukan tindakan anestesia, sebaiknya dilakukan persiapan pre-


anestesia. Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien
sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi. Persiapan-persiapan yang perlu
dilakukan adalah sebagai berikut: 4

1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri
otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah. Beberapa peneliti
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau
sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan
ulang dalam waktu 3 bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknnya
dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang
mempengaruhi sistem kardiosirkulasi. 4

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah
relative besar sangat penting untuk diketahui apakaha akan menyulitkan
tindakan laringoskop intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan
menyulitkan laringoskop intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik
tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien. 4

Penilaian Mallampati

Dalam anestesi, skor Mallampati, digunakan untuk memprediksi kemudahan

intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut, khusus, itu

didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial.Klasifikasi tampakan faring

pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut

Mallampati dibagi menjadi 4 grade :4

Grade I : Pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas

Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar

faring tidak terlihat

Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat

Grade IV : Pilar faring, uvula, dan palatum mole tidak terlihat


3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan laboratorium
rutin yang sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb,
leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada
pasien yang berusia di atas 50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto
toraks dan EKG.4
4. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang

ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) :

ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang

ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin

terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan

aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap

saat

ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan

kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan

mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau

IIE.4

5. Masukan oral
Reflex laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk semua pasien
yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus puasa. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4- 6 jam dan bayi 3-4
jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesi. 4
6. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anesthesia. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral
10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia. Jika disertai nyeri
karena penyakit dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg IM. Untuk
mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi
suntikan ondansentron 2-4 mg. 4
.

2.3 Stadium Anastesi

Kedalaman anastesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anastesi,


agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup
adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman anastesi dinilai berdasar tanda
klinik yang didapat. Guedel membagai kedalaman anastesi menjadi 4 stadium
dengan melihat pernafasan, gerkan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot. 5
a. Stadium 1
Disebut juga stadium analgesia atau stadium disorientasi. Dimulai
sejak diberikan anastesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini
operasi kecil bisa dilakukan. 5
b. Stadium 2
Disebut juga stadium derilium atau stadium eksitasi. Dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita
bisa meronta-ronta, pernafasan ireguler, pupil melebar, reflex cahaya
positif, gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi, reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah,
kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan
hilangnya reflex menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas
menjadi teratur. Stadium ini membahayakan penderita, karena itu
harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan
premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi penderita dan induksi
yang halus dan tepat. 5
c. Stadium 3
Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai
paralisis otot nafas. Dibagi menjadi 4 plana :
Plana I : Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandainya dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan
abdominal, gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, reflex cahaya
(+), lakrimasi meningkat, reflex faring, muntah menghilang, tonus otot
menurun. 5
Plana II : Dari berhentinya gerkana bola mata sampai permulaan
paralisa otot intrakostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume
tidal menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi
nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar, dan reflex
cahaya menurun, reflex korneamenghilang dan tonus otot makin
menurun. 5
Plana III : Dari permulaan paralisis otot intercostal. Ditandai
dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari torakal karena terjadi
paralisis otot intercostal, pupil makin melebar dan reflex cahaya
menjadi hilang, lakrimasi negative, reflex laring dan peritoneal
menghilang, tonus otot makin menurun. 5
Plana IV : Dari paralisa semua otot intercostal sampai paralisis
diafragma. Ditandai dengan paralisis otot intrakostal, pernafasan
lambat, iregelur dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis
diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil
melebar, reflex cahaya negative, reflex spincter ani negative. 5
d. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut
stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya
semua reflex, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan diikuti
dengan circulatory failure. 5

2.4 Cara memberikan anestesi

a. Induksi Pemberian anastesi dimulai dengan Merupakan tindakan untuk


membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesi dan pembedahan, tergantung lama operasinya, untuk operasi
yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi
yang lama, kedalaman anastesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat
terus-menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau
pemeliharaan, setelah tindakan selesai pemberian obat anastesi dihentikan dan
fungsi tubuh penderita dipulihkan, periode ini disebut pemulihan/recovery. 5
Persiapan induksi STATICS :

S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope

T= Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed)

A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring)
yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak
menymbat jalan napas

T =Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan

C =Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia

S = Suction. Penyedot lendir dan ludah

1) Induksi Intravena

Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati, perlahanlahan,


lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-
60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah
harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif. 7 Jenis Induksi intravena:

- Tiopental (pentotal, tiopenton) (amp 500 mg atau 1000 mg) sebelum digunakan
dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya
boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-
lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan
tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan
likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan
O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi. 5

- Propofol (diprivan, recofol) Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih
susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan intravena
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan
lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis
rumatan untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%.
Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil. 5

- Ketamin (ketalar) Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,


hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-
muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya
diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1
mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas
dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml
= 100 mg). 5

- Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) Diberikan dosis tinggi. Tidak


menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien
dengan kelianan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50
mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. 5

2) Induksi intramuskular

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara


intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur. 5

3) Induksi inhalasi

- N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida). Berbentuk
gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat
udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah,
analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang
persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi
dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan. 5
- Halotan (fluotan)

Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup


dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau
10% sekitar faring laring. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas,
menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan
analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
mininggikan kadar gula darah. 5

- Enfluran (etran, aliran)

Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif
disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi
lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik
disbanding halotan. 5

- Isofluran (foran, aeran)

Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran darah
otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk
anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan
koroner. 5

- Desfluran (suprane)

Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat


simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya
seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan
untuk induksi anestesi. 5

- Sevofluran (ultane)

Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi
anestesi inhalasi disamping halotan. 5

4) Induksi perektal, Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental
atau midazolam. 5

b. Rumatan Anestesi (Maintainance)


Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat
inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara intermitten atau
continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan obat inhalasi dan intravena
agar dosis masing-masing obat dapat diperkecil. 5

Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-


50 g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena
dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2. 5

c. Pemulihan anastesi.

Pada akhir operasi, maka anastesi diakhiri dengan menghentikan pemberian obat
anastesi, pada anastesi inhalasi bersamaan dengan penghentian obat anastesi aliran
oksigenasi dinaikkan, Dengan oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat yang
seblumnya ditempati oleh obat anastesi inhalasi di alveoli yang berangsur-angsur
keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian tekanan parsial obat anastesi
di alveoli juga berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan
dengan tekanan parsial obat anastesi inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi
obat anastesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi
perbedaan tekanan parsial tersebut kecepata difusi makin meningkat. sedangkan
bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakeal maka perlu dilakukan
ekstubasi (melepas pipa ET) ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih
teranastesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada
keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme
jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli
dan naiknya tekanan intrakranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih
teranastesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas dalam kurun
waktu antara tidak sadar sampai sadar. 5

Skor Pemulihan Pasca Anestesi

Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang


menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu
untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih
perlu di observasi di ruang Recovery room (RR). Jika jumlahnya >8 penderita
dapat dipindahkan ke ruangan. 5
Aldrete Nilai Pernapasan Sirkulasi kesadaran Aktivitas
skore warna
2 Merah Dapat TD <20% Sadar, Seluruh
muda bernapas dari normal siaga, dan ekstremitas
dalam dan orientasi dpt
batuk digerakkan
1 Pucat Dangkal TD 20-50 Bangun Dua
namun % dari namun ekstremitas
pertukaran normal cepat dpt
udara kembali digerakkan
adekuat
0 Sianosis Apnoe atau TD >50% Tidak Tidak dpt
obstruksi dari normal berespons digerakkan

2.5 Intubasi

1. pengertian intubasi

Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut


atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan
intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa
trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff,
sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara
dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal
melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy. 6
2. Tujuan Intubasi

- Mempermudah pemberian anesthesia

- Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran


pernapasan.

-Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar,


lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).

- Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.

- Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

-Mengatasi obstruksi laring akut. 5

3. Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi

Indikasi intubasi yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran udara


yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan risiko
aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat,
ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas
posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi
(misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi
keluar dari trakea selama operasi saluran napas. Kontraindikasi intubasi
endotrakeal adalah : trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang
vertebra servical. 5

4.Kesulitan Intubasi

Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi


terutama ompong, gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari
orofaring yang paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati
Modifikasi. 5

Klasifikasi Mallampati :

Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil


Mallampati

Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula

Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula


Mallampati 4 : Palatum durum saja

Faktor lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi : Lidah
besar, Gerak sendi temporo-mandibular terbatas, Mandibula menonjol, Maksila
atau gigi depan menonjol, Mobilitas leher terbatas, Pertumbuhan gigi tidak
lengkap, Langit-langit mulut sempit, Pembukaan mulut kecil, Anafilaksis saluran
napas, Arthritis dan ankilosis cervical, Sindrom kongenital (Klippel-Feil (leher
pendek, leher menyatu), Pierre Robin (micrognathia, belahanlangit-langit,
glossoptosis), Treacher Collins (mandibulofacialdysostosis), Endokrinopati
(Kegemukan, Acromegali, Hipotiroid macroglossia,Gondok), Infeksi (Ludwig
angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses, retropharyngeal
abses,epiglottitis), Massa pada mediastinum, Myopati menunjukkan myotonia
atau trismus, Jaringan parut luka bakar atau radiasi, Trauma dan hematoma,
Tumor dan kista. 5

5. Persiapan Intubasi

Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alatalat dan memposisikan


pasien.ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di tes
terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter.

Persiapan alat untuk intubasi antara lain :

STATICS

Scope Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop
untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat
laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan
benar. 6 Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:

a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.

b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa. Pilih bilah sesuai dengan
usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada laringoskop harus
cukup terang sehingga laring jelas terlihat.
Tube

Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari
bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran
milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa
berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang
melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh
karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff)
sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan
lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput
6
lendir trakea dan postintubation croup.

Tape

Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut. Introducer Introducer yang dimaksud adalah RlasticR atau stilet dari
kawat yang dibungkus Rlastic (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan. 6

6. Cara Intubasi

a. Intubasi Endotrakeal Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari
sudut kanan dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke
dalam rongga mulut. Gagang diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat
uvula, faring serta epiglottis Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan.
Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak
keputihan berbentuk huruf V. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan
ujungnya dimasukkan melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita
suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan
laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Balon pipa
dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi
dengan plester. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas
kanan dan kiri sama. 6

7. Ekstubasi Perioperatif

Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu


pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan.
Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai
penilaian apakan pemulihan nafas spontan. Teknik ekstubasi pasien dengan
membuat pasien sadar betul atau pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam),
jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal reflex.
Evaluasi tandatanda kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik otot-otot
tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai kemampuan membuka mata spontan. 5

Syarat-syarat ekstubasi :

1. Vital capacity 6 8 ml/kg BB.

2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.


3. PaO2 diatas 80 mm Hg.

4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil.

5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.

6. Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.

2.6 Tumor Siinus Maxilla

2.6.1 Sinus Paranasal


Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di
sekitar nasal dan mempunyai hubungan dengan kavum nasi melalui ostiumnya.
Terdapat empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus frontalis, sfenoidalis,
etmoidalis, dan maksilaris. Sinus maksilaris dan etmoidalis mulai berkembang
selama dalam masa kehamilan. Semua sinus memiliki muara (ostium) ke dalam
rongga hidung.3
Secara embriologis sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
berkembang dimulai fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus
maksilaris berkembang secara cepat hingga usia tiga tahun dan kemudian mulai lagi saat
usia tujuh tahun hingga 18 tahun dan saat itu juga air-cell ethmoid tumbuh dari tiga atau
empat sel menjadi 10-15 sel per sisi hingga mencapai usia 12 tahun. Sedangkan sinus
frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak berusia kurang lebih 8 tahun.

2.6.2Epidemiologi Sinus Paranasal

Tumor ganas rongga nasal dan sinus paranasal diperkirakan sebesar 1% dari
seluruh neoplasma ganas manusia dan 3% dari jumlah ini ditemukan pada kepala
dan leher. Secara tipikal ditemukan pada dekade ke lima dan ke tujuh kehidupan
dan rasio perbandingan antara pria dan wanita adalah sebesar 2:1. Tumor ganas
sinus paranasalis jarang ditemukan, kurang lebih 70% tumor tumbuh di sinus
maksilaris . 25 % di sinus etmoid. Kebanyakan adalah karsinoma sel skuamosa.
Adenokarsinoma terutama ditemukan di sinus etmoid sebagai penyakit akibat
kerja pada tukang kayu, perekat, dan bahan penyamak kulit, setelah lebih dari 20
tahun terpajan debu kayu, perekat, dan bahan penyamak.3
2.6.3Anatomi Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml. sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila
berbentuk pyramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila
yang disebut fosa kanina. Dinding posteriornya adalah infra-temporal maksila,
dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya
adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus
dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. 3

a. Fisiologi Sinus Paranasal


Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang wajah.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain3 :
a. Sebagai pengatur kondisi udara
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi
b. Sebagai penahan suhu
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita
dan fosa serebri dan suhu rongga hidung yang berubah-ubah
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang wajah
d. Membantu resonansi suara
Sinus berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendesak,
misalnya waktu bersin dan membuang ingus
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2.6.4Tumor Sinus Maksila


2.6.4.1 Etiologi
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui secara pasti , tetapi diduga
beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel,
debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Pekerja di
bidang ini mendapat kemungkinan terjadi keganasan sinonasal jauh lebih besar.
Alcohol, asap rokok, dan makanan yang diasinkan atau diasap diduga
meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan. Pajanan terhadap radiokatif
Thorotrast dalam waktu yang lama meningkatkan resiko tumor sinus maksila.
Sinusitis kronis meningkatkan resiko terbentuknya tumor, konsumsi tembakau
meningkatkan resiko terhadap terbentuknya tumor sinus maksila (squamous cell
carcinoma), meskipun mekanisme serta pengaruh tembakau terhadap
peningkatan resiko ini belum diketahui secara pasti. 3
2.6.4.2 Epidemiologi
Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per
100.000 penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di Cina
dan India. Departemen THT FK UI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini
ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan
lebih banyak daripada wanita dengan rasio 2 : 1.
Insiden di India sekitar 0,44%dari seluruh keganasan di India dengan
perbandingan antara pria dan wanita 0,57% : 0,44%. Insiden pada tahun 2000
adalah 0,3 per 100.000 penduduk. Kebanyakan melibatkan sinus maksila diikuti
dengan sinus etmoid, frontal, dan sphenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60
tahun. Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan,
60 % tumor sinonasal berkembang di dalam sinus maksilaris, 20-30% di dalam
rongga nasal, 10-15% di dalam sinus etmoidalis dan 1 % di dalam sinus
sfenoidalis dan frontalis.3

2.6.4.3 Jenis Histopatologi


1. Tumor jinak epithelial : adenoma dan papiloma
2. Tumor jinak non-epithelial : fibroma, angiofibroma, hemangioma,
neuilemomma, osteoma, displasia fibrosa dan lain-lain.
3. Tumor ganas epithelial : karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur,
adenokarsinoma
4. Tumor ganas non-epithelial : hemangiperistoma, bermacam-macam sarcoma
termasuk rabdomiosarcoma
5. Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis
bersifat ganaskarena tumbuh agresif mendestruksi tulang.3

2.6.4.4 Jenis Tumor


1. Tumor Jinak
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa, secara
makroskopis mirip polip, tetapi lebih vascular, padat dan tidak meningkat.
Ada 2 jenis papiloma pertama eksofilik atau fungiform dan yang kedua
endofilik yang disebut papiloma inverted yang bersifat sangan invasif dan
dapat merusak jaringan yang disekitarnya. Tumor ini cenderung residif dan
dapat berubah menjadi ganas. Terapi untuk tumor ini adalah bedah radikal
misalnya rinotomi bilateral atau maksilektomi medial.3

2. Tumor Ganas
Tipe histologi utama yang paling sering ditemukan pada tumor ganas
region nasal dan sinonasal terdiri dari karsinoma sel skuamosa atau
karsinoma epidermoid (46%), limfoma maligna (14%), adenokarsinoma
(13%) terutama berasal dari kelenjar salivari minor atau disebut juga
Schneiderian carcinoma dan melanoma maligna (9%).3

2.6.4.5Manifestasi Klinis
Gejala tergantung dari asal tumor primer serta arah dan perluasannya.
Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala, tetapi biasanya
didapatkan darah pada secret hidung dan adanya gejala obstruksi nasal.
Gejala lainnya timbul setelah tumor besar, dan dapat mendorong atau
menembus dinding tulang dan meluas ke rongga hidung atau mulut, pipi,
atau orbita. Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan
sebagai berikut3 :
a. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rhinorea. Sekretnya
sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat
mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada
tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
b. Gejala orbita, perluasan tumor ke orbita menimbulkan diplopia, proptosis,
atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
c. Gejala oral, perluasan tumor ke rongga mulut dapat menyebabkan
penonjolan atau ulkus palatum atau prosesus alveolaris, pasien mengeluh
gigi geligi goyang . sering kali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri
gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi di cabut.
d. Gejala fasial, perluasan tumor ke dapan akan menyebabkan penonjolan pipi,
disertai nyeri, anesthesia atau parastesia muka jika mengenai nervus
trigeminus
e. Gejala intrakranial, perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit
kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disetai likurorea,
yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Juka perluasan sampai ke
fossa kranii media maka nervus otak lainnya akan terkena. Jika tumor
meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus
disertai anestesi dan parastesi darah yang dipersarafi nervus maksilaris dan
mandibularis.

2.6.4.6 Pemeriksaan Fisik


1. Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah
asimetris atau distorsi. Temuan lain yaitu adanya prptosis yang mendorong
mata ke atas
2. Pemeriksaan dinding lateral cavum nasi, jika terdorong kearah medial
menunjukkan tumor berada di sinis maksila
3. Palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan
atau gigi goyah
4. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi
5. Pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang
bermetastase ke kelenjar leher3

2.6.4.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi, biopsi
tumor sinus maksilaris, dpat ditegakkan melalui operasi Caldwell-Luc
yang insisinya melalui sulcus ganggivo-bukal.
2. Foto polos sinus paranasal, untuk melihat adanya erosi tulang dan
perselubungan padat unilateral
3. CT-Scan, sarana terbaik untuk melihat perluasan tumor dan destruksi
tulang-tulang
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging), baik untuk melihat perluasan tumor
ke jaringan padat dan untuk membedakan jaringan tumor dari jaringan
normal tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang.3

Gambar 1

2.6.4.8 Stadium Tumor Sinus Maksilaris


Cara percantuman stadium tumor maksilaris yang terbaru adalah menurut
American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu :

Tabel 1. Tumor Primer (T)3


TX Tumor primer tidak dapat
ditentukan
T0 Tidak tampak tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terdapat pada mukosa sinus
maksilaris tanpa erosi dan
destruksi tulang
T2 Tumor menyebabkan erosi dan
destruksi tulang hingga palatum
dan atau meatus media tanpa
melibatkan dinding posterior dan
fossa pterigiod
T3 Tumor menginvasi bagian
posterior tulang sinus maksilaris,
jaringan subkutaneus, dinding
dasar dan media orbita, fossa
pterigiod, sinus etmoidalis
T4a Tumor menginvasi bagian anterior
orbita, kulit pipi, fossa pterigiod,
fossa infratemporal, fossa
kribiformis, sinus sfenoidalis atau
frontal
T4b Tumor menginvasi salah satu dari
apeks orbita, duramater, otak,
fossa cranial medial, nervus
kranialis, selain dari divisi
maksilaris nervus trigeminal V2,
nasofaring atau klivus
T1 terbatas pada mukosa sinus maksilaris
Metastase Jauh (M)

MX metastase jauh tidak dapat dinilai


M0 tidak ada metastase jauh
M1 terdapat metastase jauh

Tabel 2. Metastase (M)


Stadium Tumor T N M
Sinus Maksila
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
TI NI M0
T2 NI M0
T3 NI M0
IVA T4a N0 M0
T4a NI M0
TI N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
IV B T4b Semua N M0
Semua T N3 M0
IV C Semua T Semua N M1

2.6.4 Penatalaksanaan

1. Pembedahan

Pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas terapi


lainnya seperti radiasi dan kemoterapi sebagai ajuvan sampai saat ini
masih merupakan pengobatan utama untuk keganasan di hidung dan
sinus paranasal. Pembedahan dikontraindikasikan pada kasus-kasus
yang telah bermetastasis jauh, sudah meluas ke sinus kavenosus
bilateral atau tumor sudah mengenai kedua orbita. Pada tumor jinak
dilakukan ekstripasi tumor sebersih mungkin. Bila perlu dilakukan
cara pendekatan rinotomi lateral atau degloving. 3
Untuk tumor ganas dilakukan tindakan radikal seperti
maksilektomi, dapat berupa maksilektomi medial, total, dan radikal.
Masilektomi radikal biasanya dilakukan misalnya pada tumor yang
sudah infiltrasi ke orbita, terdiri dari pengangkatan maksila, secara
endblok disertai eksterasi orbita, jika tumor meluas ke rongga
intrakranial dilakukan reseksi kraniofasial atau kraniotomi, tindakan
dilakukan bersama dengan tim dokter bedah saraf.

2. Kemoterapi
Kemoterapi bermanfaat pada tumor ganas dengan metastase
atau yang residitif atau jenis yang sangat baik dengan kemoterapi,
misalnya limfomamaligna. Peran kemoterapi untuk pengobatan
tumor traktus sinonasal biasanya paliatif, penggunaan efek
cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau
untuk mengecilkan lesi eksternal massif.
Penggunaan cisplatin inarterial dosis tinggi dapat digunakan
secara bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan karsinoma
sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53 %.
Pesien yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang
menolak untuk dilakukan operasi dipertimbangkan untuk
mendapatkan kombinasi radiasi dan kemoterapi.3

3. Radiasi
Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk
membantu pembedahan atau sebagai terapi paliatif. Radiasi post
operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi tidak dapat
menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel
tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat
dibatasi sepanjang pemedahan dan penyembuhan luka post operasi
lebih dapat diperkirakan.3
2.4.11. Rekonstruksi dan Rehabilitasi
Sesudah maksilektomi, harus dipasang prostesis maksila sebagai
tindakan-tindakan rekonstruksi dan rehabilitasi, supaya pasien dapat
menelan dan berbicara dengan baik, disamping perbaikan kosmetik
melalui operasi bedah plastik. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan
dapat dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap
myocutanous dan cutaneous flap. Dengan tindakan ini pasien dapat
bersosialisasi kembali dalam keluarga dan masyarakat.3

2.4.12 Prognosis
Pada umumnya prognosisnya kurang baik, beberapa hal
yang mempengaruhi prognosis3 :
a. Diagnosis terlambat dan tumor sudah meluas sehingga sulit
mengangkat tumor
b. Sulit evaluasi paska terapi karena tumor berada dalam
rongga
c. Sifat tumor yang agresif dan mudah kambuh

Tumor ganas memiliki prognosa yang buruk, hanya 30% dari pasien yang dapat
bertahan dalam 5 tahun. Pada pasien dengan stadium T yang lanjut serta telah
terjadi metastase regional, dapat bertahan 28 bulan meskipun telah mendapatkan
terapi berupa kemoterapi, pembedahan dan radioterapi.
BAB III
PEMBAHASAN
BAB IV

KESIMPULAN
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

4. Latief, S, A., Suryadi, K, A., Dachlan, M, R., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. FK.UI: Jakarta
5. Hendra, F.,2012. General Anestesia.[Accessed:
http://docshare01.docshare.tips/files/28688/286881609.pdf]
6. Butterworth, J, F., Mackey, D, C., Wasnick, J, D., Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology. Edition 5th. McGraw-Hill Education. 2013
7. Mangku, G., Senapathi, J, G, A., Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Ranimasi. 2010.
Macanan Jaya Cemerlang.

Anda mungkin juga menyukai