1
Epidemiologi
Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi
TB di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di
masyarakat. Pandemi HIV merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB.
Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif.
Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena merupakan infeksi oportunistik
terbanyak (49%) pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated
epidemic) kecuali Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi
berisiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (penasun), hetero dan homoseksual
(WPS, waria).
Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir
Desember 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah
24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835
kasus (49%).1
Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia
diperkirakan ada sebanyak14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV
tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-
infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas,
jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB;
sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5
kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Jadi,
pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian
HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV
haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.1,3,9
2
Biasanya risiko menjadi sakit TB ini terjadi sebelum 1 tahun setelah terjadinya
infeksi. Ada beberapa faktor yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga
yang bersangkutan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif, misalnya:
malnutrisi, kondisi yang menurunkan sistem imunitas (infeksi HIV, diabetes,
penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif lain dalam jangka
panjang).
Sekitar 60% ODHA yang terinfeksi dengan kuman TB akan menjadi sakit
TB selama hidupnya. Seperti telah dijelaskan di atas maka pada orang dengan
HIV negatif, risiko ini jauh lebih rendah yaitu hanya sekitar 10%.1,8
3
Faktor resiko :
4
limfadenitis regional ). Limfadenitis ini menjadi kompleks primer dengan proses 3
8 minggu.1,2
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini banyak terjadi.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis garis fibrotic ,
kalsifikasi dihilus , keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya
> 5 mm dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant.
Berkomplikasi dan menyebar secara a) perkontinuitatum , yakni menyebar
ke sekitarnya., b ) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun
paru disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus, c ) secara limfogen ke organ tubuh lainnya, d
) secara hematogen ke organ tubuh lainnya.2
Diagnosis
Tanda dan Gejala
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Di samping itu, dapat juga diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, berkeringat pada malam hari tanpa aktifitas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise dan badan terasa lemas. Gejala sesak
napas dan nyeri dada dapat ditemukan bila terdapat komplikasi (efusi pleura,
pneumotoraks dan pneumonia). Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali
tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan
berat badan yang signifikan (lebih dari 10%). Di samping itu, dapat ditemukan
gejala lain terkait TB ekstraparu (TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan
saraf pusat dan TB abdomen) seperti diare terus menerus lebih dari satu bulan,
pembesaran kelenjar limfe di leher, sesak napas dan lain-lain.4,5
Pemeriksaan laboratorium dahak
Mikroskopis
Pada ODHA meskipun sulit menemukan kasus TB paru hanya dengan
mengandalkan pemeriksaan mikroskopis dahak karena dahak dari ODHA yang
5
menderita TB paru biasanya BTA negatif, namun pemeriksaan mikroskopis dahak
tetap perlu dilakukan. Pemeriksaan mikroskopis dahak cukup dilakukan dengan
dua spesimen dahak (Sewaktu dan Pagi = SP) dan bila minimal salah satu
specimen dahak hasilnya BTA positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan.
Biakan
Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB.
Ada dua macam media yang digunakan dalam pemeriksaan biakan yaitu media
padat dan media cair. Waktu pemeriksaan dengan media cair lebih singkat
dibandingkan dengan media padat. Namun, kuman TB merupakan kuman yang
lambat dalam pertumbuhan sehingga biakan memerlukan waktu sekitar 6 8
minggu.
Pemeriksaan biakan memerlukan waktu cukup lama sehingga bila
penegakan diagnosis TB pada ODHA hanya mengandalkan pada pemeriksaan
biakan maka dapat mengakibatkan angka kematian TB pada ODHA meningkat.
Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopis dahaknya BTA negatif sangat
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat
membantu penegakan diagnosis TB bila hasil pemeriksaan penunjang lainnya
negatif. Pemeriksaan biakan dahak dilakukan pada laboratorium yang telah
memenuhi standar yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang
Medik dan Sarana Kesehatan (BPPM dan SK).1,3,4
Pemeriksaan penunjang radiologis
Pemeriksaan foto toraks pada ODHA memegang peranan penting dalam
penegakan diagnosis TB paru khususnya BTA negatif.
Indikasi pemeriksaan foto toraks pada ODHA:
BTA positif
Foto toraks diperlukan pada:
pasien sesak napas (pneumotoraks, efusi perikard atau efusi pleura).
pasien hemoptisis.
pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya.
6
BTA negatif
Lakukan foto toraks pada pasien TB paru BTA negatif.
Kelainan gambaran radiologis yang ditemukan pada TB Paru1,3
7
Alur diagnosis
Diagnosis TB Paru pada ODHA
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada
ODHA, antara lain: Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak
direkomendasi lagi. Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu
diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan
diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko
kematian ODHA. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu
diagnosis tidak direkomendasi lagi.
Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin
disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi,
maksud pemberian antibiotic tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB
tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Hindarilah penggunaan antibiotik
golongan fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan
dapat menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut.
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam mendiagnosis
TB pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran
foto toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut
Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif,
sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat
membantu untuk konfirmasi diagnosis TB.
Alur diagnosis TB Paru BTA negatif pada ODHA di bawah ini merupakan
langkah kegiatan yang harus dilakukan dalam penegakan diagnosis TB di daerah
dengan prevalens HIV tinggi dengan sarana terbatas. Alur diagnosis ini hanya
untuk ODHA yang dicurigai menderita TB. Perlu diperhatikan, alur diagnosis TB
pada ODHA rawat jalan (tanpa tanda bahaya) berbeda dengan pada ODHA rawat
inap (dengan tanda bahaya).1,3,4,7
8
9
Diagnosis Banding
Penyakit TB Paru maupun TB ekstraparu pada ODHA mempunyai
kemiripan dengan penyakit lain yang mempunyai gejala seperti batuk, demam dan
kadang nyeri dada serta kemiripan gambaran foto toraks. Pneumonia dapat terjadi
sebagai ko-infeksi TB. Pada setiap kasus harus dilakukan pemeriksaan klinis yang
cermat. Lakukan pemeriksaan mikroskopis BTA pada pasien yang batuk selama 2
minggu atau lebih.
Berikut ini adalah beberapa penyakit paru yang sering ditemukan pada ODHA:
1. Pneumonia Bakterial
Pneumonia ini bisa menyerang bayi, usia lanjut, ketergantungan alkohol,
pasien dengan retardasi mental, pasien pascaoperasi, pasien imunokompromais
yang menderita penyakit pernapasan lain atau infeksi virus sangat rentan terhadap
pneumonia bakterial. Bakteri penyebab pneumonia merupakan flora normal pada
saluran napas atas. Pada saat daya tahan tubuh menurun maka bakteri akan
bermultiplikasi dan merusak parenkim paru.
Jika terjadi infeksi, sebagian besar parenkim paru terisi cairan dan infeksi
dapat dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah.
Pneumokokus adalah penyebab tersering pneumonia bakterial tersebut.
Pneumonia bakterial didahului dengan infeksi saluran napas atas kemudian terjadi
aspirasi lendir ke saluran napas bagian bawah sehingga menyebabkan bakteri
saluran napas atas menginfeksi parenkim paru.
Gejala klinis pada pneumonia berupa batuk produktif, demam yang dapat
disertai menggigil, takikardia, takipneu sampai sianosis. Pada keadaan
imunokompeten, tubuh mampu mengadakan perlawanan tetapi tidak pada
keadaan imunokompro-mais sehingga gejala klinis yang terjadi tidak spesifik.
Pneumonia bakterial sering menjadi penyebab infeksi sekunder pada ko-infeksi
TB-HIV. Infeksi sekunder yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan
sepsis. Hal ini sering ditemukan namun sulit didiagnosis.
2. Sarkoma Kaposi
Sarkoma kaposi ditandai oleh lesi tipikal pada kulit dan membran mukosa
berwarna biru kehitaman. Sarkoma kaposi pada membran mukosa saluran napas
10
menimbulkan gejala batuk, demam, hemoptysis dan dispnea disertai lesi kulit di
tempat lain. Foto toraks menunjukkan infiltrat nodular difus menyebar dari hilus
atau gambaran efusi pleura. Pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat membantu
penegakan diagnosis sarkoma kaposi.
3. Pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP)
Pneumonia Pneumocystis jirovecii pada orang dewasa sering terjadi pada ODHA
dengan stadium klinis 4 (AIDS). Gejala klinis berupa batuk tidak produktif,
demam dan sesak napas progresif.
4. Mycobacterium Avium Complex (MAC)
Manifestasi klinis MAC umumnya berupa demam, keringat malam, penurunan
berat badan, lemah/ fatique dan nyeri abdomen. Manifestasi yang terlokalisir
berupa gejala-gejala limfadenitis servikal atau mesenterikal, pneumonitis,
perikarditis, osteomielitis dan infeksi SSP.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali atau
limfadenopati (di paratrakeal, retroperitoneal dan paraaorta). Pada pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan anemia, peningkatan alkali fosfatase.
5. Infeksi parasit
Infeksi parasit yang sering ditemukan pada ODHA Cryptococcus sp. dan
Nocardia sp. Gejala klinis Cryptococcosis sulit dibedakan dengan gejala klinis TB
paru. Diagnosis Cryptococcosis paru ditegakkan dengan ditemukannya spora
fungi pada apusan dahak.
Gejala klinis Nocardiosis mirip TB paru seperti batuk produktif dapat disertai
darah, demam, mual, malaise, sesak napas, keringat malam tanpa aktifitas,
penurunan nafsu makan dan berat badan, nyeri sendi dan nyeri dada. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan ronki basah, suara napas melemah,
limfadenopati, skin rash dan hepatosplenomegali.
Kelainan pada foto toraks sering ditemukan pada lobus atas berupa kavitas.
Organisme penyebab dapat ditemukan secara positif lemah pada pewarnaan tahan
asam. Kecurigaan klinis meningkat dengan ditemukannya abses otak. Diagnosis
ditegakkan dengan ditemukannya batang pada sediaan dengan pewarnaan gram
positif.1,6
11
Diagnosis banding berdasarkan foto toraks
Gambaran foto toraks penyakit selain TB dapat juga memberikan gambaran foto
toraks seperti TB.
Penatalaksanaan
Prinsip Pengobatan
Kategori pengobatan TB tidak dipengaruhi oleh status HIV pada pasien
TB. Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus
diberikan segera sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB
dapat ditoleransi dengan baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan
paling lambat 8 minggu.
12
dapat ditoleransi dan setelah itu diberi pengobatan ARV. Keputusan memulai
pengobatan ARV pada pasien dengan pengobatan TB sebaiknya dilakukan oleh
dokter yang telah mendapat pelatihan tatalaksana pasien TB-HIV.
13
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
14
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Steptomycin (S) Bakterisid 15 -
(12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)
15
Tabel 2. Dosis obat anti-tuberkulosis kombinasi dosis tetap(9)
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis
yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.(9)
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis
paru / fasiliti yang mampu menanganinya.(9)
16
Warna kemerahan pada Rifampisin Tidak perlu diberikan
urine apa-apa, tapi berikan
penjelasan pada pasien
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Ikuti petunjuk
pada kulit penatalaksanaan
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan
ganti dengan etambutol
Ikterus tanpa penyebab Hampir semua OAT Hentikan semua OAT
lain sampai ikterus
menghilang
Mual dan muntah Hampir semua OAT Hentikan semua OAT,
segera lakukan tes fungsi
hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan rifampisin
(syok)
KOMPLIKASI
Batuk darah
Pneumotoraks
Gagal napas
Gagal jantung
Efusi pleura
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Dalam : Petunjuk teknis tata laksana klinis ko-
infeksi TB-HIV, Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan KeMenkes RI 2012 : 20-26
2. Zulkifli Amin, Asri Bahar, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI,
Edisi ke enam, Jakarta 2014 : 863-873
18