Anda di halaman 1dari 4

REVITALISASI PERAN SASTRA LISAN SEBAGAI MEDIA

PEMBELAJARAN UNTUK MENANAMKAN NILAI-NILAI KARAKTER

oleh
Prof. Dr. H. Setya Yuwana Sudikan

Sastra Lisan

Prof Setya Yuwana Sudikan dalam makalahnya mengatakan, sastra lisan


yaitu sastra yang disampaikan dari mulut ke telinga, ke mulut, ke telinga, dan
seterusnya. Ciri-ciri pengenal sastra antara lain penyebarannya melalui mulut, lahir
di dalam masyarakat yang masih bercorak desa (masyarakat di luar kota,
masyarakat yang belum mengenal huruf, menggambarkan ciri-ciri budaya suatu
masyarakat).

Ciri lainnya yaitu tidak diketahui siapa pengarangnya dan karena itu
menjadi milik masyarakat, bercorak puitis, teratur, dan berulang-ulang, tidak
mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan atau
fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi sastra lisan memiliki
fungsi penting di dalam masyarakat, terdiri atas berbagai versi, serta menggunakan
gaya bahasa lisan sehari-hari mengandung dialek, dan kadang-kadang diucapkan
tidak lengkap, papar Setya Yuwana.

Dalam kesusastraan Makassar, katanya, dikenal tiga cara penyampaian


pikiran dan perasaan, yakni dalam bentuk proses, puisi, dan di tengah-tengahnya
adalah bentuk prosa lirik. Yang termasuk dalam bentuk proses ialah rupama atau
dongeng, pau-pau atau cerita, serta patturioloang atau silsilah orang dahulu. Yang
termasuk dalam puisi yaitu doangang atau mantra, pakkiok bunting atau pemanggil
penganting, dondo atau puisi untuk anak kecil, aru atau ikrar setia, serta kelong atau
puisi dan nyanyian, sementara yang termasuk dalam proses lirik yaitu royong dan
sinrilik.
Sastra lisan tersebut digunakan pada upacara-upacara adat, misalnya pada
upacara kelahiran, khitanan, pesta perkawinan, upacara pelamaran, hendak
memulai sesuatu pekerjaan, misalnya naik rumah baru, turun ke sawah, melaut, atau
pun pada upacara pelantikan, serta sebagai hiburan pada waktu senggang, kata
Setya Yuwana.

Seiring perjalanan waktu serta pesatnya perkembangan teknologi dan


informasi, katanya, sastra lisan yang ada pada Suku Makassar pun mengalami
proses pengasingan. Pada saat ini, penyampaian sinrilik sudah sangat jarang
dilakukan, begitu juga dengan pasinrilik atau orang yang membawakan sinrilik
semakin berkurang jumlahnya, bahkan anak-anak muda ada yang sudah tidak
mengetahui lagi apa sinrilik itu, sementara regenerasi pasinrilik dapat dikatakan
tidak berlangsung lagi.

Tradisi lisan atau sastra lisan, tambahnya, dapat dijadikan alternatif sumber
belajar, materi ajar, atau media pembelajaran pendidikan karakter bangsa.
Eksistensi tradisi lisan, yang hidup segan mati tak mau perlu direvitalisasi untuk
pelestarian dan pengembangannya.

Dalam tradisi lisan, tersimpan kearifan lokal yang memiliki fungsi sosial
bagi masyarakat pendukungnya. Kearifan lokal tersebut memiliki kontribusi yang
berarti bagi pendidikan karakter bangsa bagi anak didik di sekolah, dari fase bayi
sampai fase dewasa.

Nilai dan Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan

Nilai dan kearifan lokal masyarakat Makassar dan Bugis, berkenaan dengan
sistem politik dan pemeritahan dikaji oleh Ahimsa-Putra (2012) melaluli mitos To
Manurung.

1. Dalam suatu politik perlunya hubungan timbal balik antara pemimpin dan
yang dipimpin.
2. Dalam resiprositas ini pemimpin seyogyanya tidak membebani atau
menyulitkan yang mereka yang mereka yang dipimpin.
3. Akan memudahkan tercapainya kebersamaan dan menyelesaikan berbagai
macam masalah.
4. Penyelesaian masalah sebaiknya didasarkan pada kepentingan pihak yang
dipimpin.
5. Sistem perwakilan diperlukan dalam sistem perwakilan dan sistem
pemerintahan.

Fungsi Tradisi Lisan

Fungsi tradisi lisan mencakup :

1. Ungkapan tradisional yang didalamnya berisi tentag peribahasa, pepatah,


wasiat dll.
2. Nyanyian rakyat.
3. Bahasa rakyat yang berisi tentang dialek, julukan,sindiran, bahasa rahasia
dll.

Fungsi sosial tradisi sastra lisan yaitu :

1. Sebagai sebuah bentuk hiburan


2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan
3. Sebagai alat pendidikan anak-anak
4. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma dalam masyarakat
selalu dipatuhi.
Nilai-nilai Karakter yang Perlu Ditanamkan kepada Anak

Adapun cara membentuk karakter yang efektif adalah melibatkan ketiga


aspek yaitu :

1. Moral Knowing adalah hal yang penting untuk diajarkan


2. Moral Feelling adalah aspek lain yang harus ditanakamkan kepada anak
yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai
dengan prinsip-prinsip moral.
3. Moral Action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral diwujudkan
menjadi tindakan nyata.

Pendidikan Karakter yang Sesuai Perkembangan Psikologi dan Moral Anak

Ada 6 fase perkembangan moral anak sebagai pendidikan karakter dan


mengetahui psikologi anak yaitu :

1. Fase bayi (membangun fondasi moral)


2. Fase berpikir geometris
3. Fase patuh tanpa syarat
4. Fase memenuhi harapan lingkungan
5. Fase ingin menjaga kelompok
6. Fase moralitas tidak berpihak

Anda mungkin juga menyukai