Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH SEMINAR KEPERAWATAN KRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. S DENGAN DIAGNOSA MEDIS


TETANUS GENERALISATA DAN PNEUMONIA DI RUANG ICU
RSUD dr. SOETOMO SURABAYA

Disusun oleh:
Rendra Pramudya A, S.Kep 1316231403021
Disen Fajar, S.Kep 1316231403078
Rum Setyowati, S.Kep 1316231403047
Bayu Febriandika H, S.Kep 1316231403042
Harunatusyarifah, S.Kep 1316231403006
Eko Oktalfianto, S.Kep 1316231403052

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS (P3N)


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
HALAMAN PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Asuhan Keperawatan pada Tn. S dengan Diagnosa Medis Tetanus


Generalisata dan Pneumonia di Ruang ICU RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

Telah disetujui untuk dilakukan seminar kasus keperawatan maternitas di RSUD


Dr. Soetomo Surabaya pada tanggal: Oktober 2017

Surabaya, Oktober 2017

Pembimbing Akademik Kepala Ruang ICU Dr. Soetomo Surabaya


Pembimbing Klinik

Deni Yasmara, S.Kep.Ns.Sp.KMB Ainur Rusdi, S.Kep.Ns.


NIP. 19870603 201611 3101 NIP. 19710712 199402 2 002

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan Asuhan Keperawatan pada
Tn. S dengan Diagnosa Medis Tetanus Generalisata dan Pneumonia di Ruang
ICU RSUD Dr. Soetomo Surabaya dengan baik. Tidak lupa kami
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof.Dr.Nursalam, M.Nurs, (Hons), selaku Dekan yang senantiasa memacu,
dan memotivasi mahasiswa untuk berprestasi semaksimal mungkin.
2. Ainur Rusdi, S.Kep.Ns, selaku kepala Ruang ICU yang senantiasa memotivasi
mahasiswa untuk berprestasi dan memberikan fasilitas semaksimal mungkin.
3. Deni Yasmara, S.Kep.Ns.Sp.KMB. selaku pembimbing akademik yang
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian makalah ini.
4. Teman-teman yang telah bekerja sama dalam penyelesaian tugas ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penyusun berharap kritik dan saran yang dapat
membangun agar dalam penyusunan makalah selanjutnya akan menjadi lebih baik.
Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami
secara pribadi dan bagi yang membutuhkannya.

Surabaya, Oktober 2017

Penyusun

iii
iv

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ ii


KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.3.1 Tujuan umum ................................................................................ 2
1.3.2 Tujuan khusus ............................................................................... 2
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 24
2.1 KONSEP TETANUS ............................................................................. 24
2.1.1 Pengertian .................................................................................... 24
2.1.1 Etiologi ........................................................................................ 24
2.1.2 Patofisiologi ................................................................................ 25
2.1.3 Manifestasi Klinis ....................................................................... 26
2.1.4 Pemeriksaan Diagnosis ............................................................... 29
2.1.5 Penatalaksanaan .......................................................................... 29
2.2 KONSEP PNEUMONIA ........................................................................ 34
2.2.1 Definisi ........................................................................................ 34
2.2.2 Etiologi ........................................................................................ 35
2.2.3 Patofisiologi ................................................................................ 36
2.2.4 Manifestasi klinis ........................................................................ 37
2.2.5 Klasifikasi ................................................................................... 37
2.3 WOC TETANUS DENGAN PENEUMONIA ....................................... 24
2.4 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA TETANUS ................. 24
1. Pengkajian ................................................................................... 24
2. Diagnosa Keperawatan................................................................ 28
3. Intervensi Keperawatan ................ Error! Bookmark not defined.
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN ............................................................ 24
3.1 Pengkajian ............................................................................................... 24
3.2 Analisa Data ............................................................................................ 29
3.3 Diagnosa Keperawatan ........................................................................... 29
3.4 Rencana Intervensi .................................................................................. 30
3.5 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan ............................................... 32
BAB 4 PEMBAHASAN ................................................................................. 38
4.1 Pengkajian Keperawatan ......................................................................... 38
BAB 5 KESIMPULAN ................................................................................... 40
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 40
v

5.2 Saran ....................................................................................................... 40


DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 41
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tetanus merupakan penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh
eksotoksin (tetanospasmin) bakteri klostridium tetani. Bakteri gram positif ini
berbentuk batang an aerob. Sporanya dapat bertahan di tanah dan menginfeksi
luka yang terkontaminasi (Raymon, 2016) Tetanus merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian
pertahunnya di dunia sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang
berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan
penelitian RCT (Randomized Controlled Trials) mengenai pencegahan dan tata
laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke
WHO. Berdasarkan data dari WHO, data dari Vietnam diperkirakan insidens
tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000-1.000.000 kasus per tahun (Dire,
2011)
Tetanus yang juga dikenal sebagai lockjaw (kejang mulut), merupakan infeksi
termediasi-eksotoksin akut yang disebabkan oleh basilus anaerobik pembentuk
spora, Clostridium tetani. Tetanus bersifat fatal pada hampir 60% orang yang
tidak terimunisasi, biasanya dalam 10 hari setelah serangan. Komplikasinya antara
lain atelektasis, pneumonia, emboli pulmoner, ulser gastrik akut, kontraktur fleksi
dan aritmia kardiak. Jika gejala berkembang dalam waktu 3 hari setelah paparan,
prognosisnya buruk. Setelah masuk ke tubuh, Clostridium tetani menyebabkan
infeksi lokal dan nekrosis jaringan. Clostridium tetani memproduksi toksin yang
menyebar menuju jaringan sistem saraf pusat (Tim Indeks, 2011)
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa penyakit tetanus masih rentan terjadi
dimasyarakat. Terlebih pada masyarakat dari golongan menengah kebawah. Dan
juga karena bakteri penyebab tetanus tidak dapat di lenyapkan dari lingkungan.
Imunisasi sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
penyakit tetanus. Namun ketika tetanus itu telah berkembang didalam tubuh, perlu
penanganan yang intensif agar klien dapat sembuh secara total.
2

Munculnya beberapa dampak negaif dan berbagai masalah keperawatan bagi


kesehatan penderita generalisata dan pneumonia inilah yang menjadi latar
belakang kami untuk memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif pada
pasien.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah asuhan keperawatan pada Tn.S dengan diagnosa medis
Tetanus Generalisata dan Pneumonia di Ruang ICU RSUD Dr. Soetomo
Surabaya?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada Tn.S dengan diagnosa
medis Tetanus Generalisata dan Pneumonia di Ruang ICU RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mahasiswa dapat memahami konsep dasar Tetanus Generalisata dengan
Pneumonia
2. Mahasiswa mampu memahami dan melaksanakan asuhan keperawatan
pada pasien dengan Tetanus Generalisata dengan Pneumonia

1.4 Manfaat
1 Bagi mahasiswa
Mahasiswa mampu memahami konsep asuhan keperawatan pada
pasien dengan tetanus generalisata dengan pneumonia sehingga
menunjang pembelajaran praktik lapangan keperawatan kritis pada
program profesi ners.
2 Bagi institusiRSUD Dr. Soetomo Surabaya
Makalah ini dapat dijadikan referensi atau kajian pustaka di RSUD Dr.
Soetomo jika akan dilakukan kegiatan ilmiah lainnya.
24

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP TETANUS


2.1.1 Pengertian
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium
tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890,
ditemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang
diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi
derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus. Spora Clostridium tetani biasanya
masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun
luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum). (Ritarwan, 2004)
Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejangkejang otot
rangka. (Mahadewa & Maliawan, 2009)
Tetanus merupakan penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh eksotoksin
(tetanospasmin) bakteri Clostridium tetani. Bakteri gram positif ini berbentuk batang
anaerob, sporanya dapat bertahan di tanah dan menginfeksi luka yang terkontaminasi. C.
tetani dapat menghasilkan dua jenis eksotoksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Efek
tetanolisin masih belum diketahui pasti. Tetanospasmin merupakan neurotoksin
penyebab manifestasi klinis infeksi tetanus.. (Surya, 2016)
2.1.1 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani. Bakteri ini
berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga
pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan
beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau
bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita
tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. Pada negara belum
berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat
sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus neonatorum.
(Ritarwan, 2004)
25

Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat


anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan
ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah
diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya
memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung
potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat
masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar,
infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan
dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk
pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin
dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab
terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis.
(Thwaites & Yen, 2005)
2.1.2 Patofisiologi
C. tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora berkembang pada
keadaan anaerobik (oksigen rendah). Toksin yang dihasilkan dapat menyebar melalui
pembuluh darah dan saluran limfatik. Selain itu, toksin dapat diabsorpsi di tautan saraf
otot yang kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat (SSP).
Toksin tetanus merupakan metaloproteinase tergantung seng yang menarget protein
(sinaptobrevin/ vesicle-associated membrane protein VAMP) untuk melepaskan
neurotransmitter dari ujung saraf melalui fusi vesikel sinaps dengan membran plasma
saraf. Gejala awal infeksi lokal tetanus ialah paralisis flaksid akibat gangguan pelepasan
asetilkolin di tautan saraf otot. Toksin tetanus dapat menyebar secara retrograde di akson
lower motor neuron (LMN) dan akhirnya mencapai medula spinalis atau batang otak. Di
tempat ini, toksin ditransportasikan menyeberangi sinaps dan diambil oleh ujung saraf
inhibitor GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan atau saraf glisinergik yang
mengontrol aktivitas LMN. Sesampainya toksin pada terminal saraf inhibitor, toksin
tetanus akan memecah VAMP, sehingga menghambat pelepasan GABA dan glisin. Hal
ini mengakibatkan denervasi fungsional dan parsial LMN menyebabkan hiperaktivitas
dan peningkatan aktivitas otot dalam bentuk rigiditas dan spasme. (Surya, 2016)
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan
saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi
melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh limfe
26

dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin
keduanya terlibat. (Mahadewa & Maliawan, 2009)
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction
lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf
motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju
sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase
memecah vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada
suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di
sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya
mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid
(GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena
pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refl eks motorik sehingga muncul aktivitas
saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa
spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik
tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan
neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak.
Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya
kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin.
Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya
terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini. (Thwaites & Yen,
2005)
2.1.3 Manifestasi Klinis
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%
penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak munculnya
gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode onset
maupun periode inkubasi secara signifi kan menentukan prognosis. Makin singkat
(periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan makin berat
penyakitnya. Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih
dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada
lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri
punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus
sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otot-otot trunkal meng-
27

akibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi sering
terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris. (Thwaites & Yen, 2005)
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual,
auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ruptur
tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi segera,
mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest. Pernapasan juga
dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang
memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa
fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian
paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan
membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling berat
terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3 sampai 4
minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi. (Laksmi, 2014)
Tetanus dikelompokkan menjadi generalisata, neonatus, lokal, dan sefalik. Sekitar
80% tetanus merupakan tipe generalisata. (CDC, 2015). Tetanus lokal jarang dengan
presentasi kontraksi otot persisten di area anatomi yang mengalami trauma. Tetanus tipe
ini dapat menjadi awal dari tetanus umum, tetapi lebih ringan, dan hanya sekitar 1%
menjadi fatal. Tetanus sefalik jarang terjadi, biasanya pada otitis media atau pasca-trauma
kepala dengan gejala terutama di daerah fasial. Tetanus generalisata tampak dengan pola
menyebar ke distal. Gejala awal bermula dari trismus diikuti spasme leher, kesulitan
menelan, dan rigiditas otot abdominal. Tungkai biasanya sedikit terpengaruh; jika
terdapat opistotonus penuh, akan muncul fleksi lengan dan ekstensi kaki seperti posisi
dekortikasi. Gejala lain meliputi peningkatan suhu, berkeringat, peningkatan tekanan
darah, dan takikardia episodik. Hal ini disebabkan oleh peningkatan dramatis adrenalin
dan noradrenalin yang dapat berujung pada nekrosis miokardial. Spasme dapat
berlangsung hingga 3-4 minggu. Toksin tetanus dapat menyerang saraf sensorik yang
menyebabkan perubahan sensasi seperti nyeri dan alodinia. Toksin tidak dapat
menyeberangi ganglia sensorik spinal, sehingga efek sensorik seharusnya terjadi di
perifer. Akan tetapi, pelepasan neurotransmitter dari saraf sensorik terjadi sentral di
medula spinalis atau batang otak. Paradoks ini merefleksikan bahwa perubahan sensasi
dapat terlihat di daerah kepala seperti daerah saraf trigeminus. (Surya, 2016)
a. Tetanus lokal (lokalited Tetanus).
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan
28

tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan
dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk
yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini
dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal
ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
b. Cephalic tetanus.
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar
1 2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka
pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga
hidung.
c. Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang
tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam.
Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan
oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa
Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus
( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa
terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40
C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan
dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya
berdasarkan gejala klinis.
d. Neotal tetanus.
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat
yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan
dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam
terjadinya neonatal tetanus. (Ritarwan, 2004)
29

2.1.4 Pemeriksaan Diagnosis


Diagnosis ditegakkan sepenuhnya dari tanda dan gejala klinis tanpa konfirmasi
tes laboratorium. Definisi WHO untuk tetanus dewasa membutuhkan penemuan salah
satu tanda klinis, yaitu trismus atau risus sardonikus atau kontraksi otot yang nyeri.8
Hanya sekitar 30% kasus tetanus dapat mengisolasi C. tetani pada pemeriksaan
bakteriologik C. tetani dapat ditemukan dari pasien yang tidak tetanus. (CDC, 2015)
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan
temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fi sik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan
dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut
dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula)
dan hasil negatif berupa refl eks muntah. Laporan singkat The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifi sitas
tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi
menunjukkan hasil positif). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal.
Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur positif
mendukung diagnosis, bukan konfirmasi. (Mahadewa & Maliawan, 2009)
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sular sekali
dijumpati dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal
dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan
SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat
imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.
(Ritarwan, 2004)
2.1.5 Penatalaksanaan
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber
tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang
(suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis
dimetabolisme.
a. Membuang Sumber Tetanospasmin
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk mengurangi
muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.Antibiotika diberikan
untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus
secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah
menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan
secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari
30

setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman
C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain
50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap
penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih
dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini,
pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari
direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan
bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin
dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).
b. Netralisasi toksin yang tidak terikat
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum
berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera
diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.00010.000 unit, dibagi tiga dosis
yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis
tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit
intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal.
Sebagian dosis diberikan secara infi ltrasi di tempat sekitar luka; hanya
dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat
pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat
hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin
sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat
merupakan kontraindikasi pemberian intram uskular. Bila tidak tersedia maka
digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000 unit
intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit
dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah
penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif
dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki
kekebalan.
c. Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang
telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di
ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme
paroksismal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di
ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi.
31

Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah
penting sebagai penuntun terapi.
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring,
aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi
bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering.
Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus
dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan. Kematian
akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi
tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi
lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya
mengalami spasme otot.5 Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas
tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah
0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang
direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis
2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per
rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat
badan 10 kg, atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah
spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai
keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis
awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus
tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan
bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis
maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai
spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak
dijumpai gangguan pernapasan. Tambahan efek sedasi bisa didapat dari
barbiturate khususnya phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine,
penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan otonom.
Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam dapat
ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine
diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg
bagi dewasa. Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan sebagai
tambahan sedasi benzodiazepine.
32

Jika spasme tidak cukup terkontrol den gan benzodiazepine, dapat dipilih
pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure ventilation
(IPPV). Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus,
rekomendasi didapatkan dari laporan kasus. Pancuronium harus dihindari karena
efek samping simpatomimetik. Atracurium dapat sebagai pilihan. Vecuronium
juga telah digunakan karena stabil pada jantung. Pasien tetanus berat sering kali
membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda. Insiden
ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%.
Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan penyakit tetanus dan
masih merupakan penyebab penting kematian. Pencegahan komplikasi respirasi
meliputi perawatan mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi
adekuat selama prosedur invasif mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan
otonom.
Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum dan fatality
ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hipertensi labil, takikardia, dan demam.
Berbagai gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard serta
kolaps sirkulasi sering menyebabkan kematian. Tanda overaktivitas simpatis yaitu
takikardia fluktuatif, hipertensi yang kadang diikuti hipotensi, pucat dan
berkeringat sering tampak beberapa hari setelah onset spasme otot. Henti jantung
tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitasi oleh kombinasi kadar
katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin tetanus pada miokardium.
Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan
bradikardi. Aktivitas parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan sinus arrest,
dikatakan karena kerusakan langsung nukleus vagus oleh toksin tetanus.
Instabilitas otonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan obat-obat
dengan waktu paruh singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai
terapi lini pertama, menggunakan benzodiazepine dosis besar, morphine, dan/atau
chlorpromazine. Saat ini, magnesium sulfat intravena dicoba untuk
mengendalikan spasme dan disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/ kg)
IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk
mendapatkan konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari
overdosis, dimonitor refl ek patella.7,13 Beta blocker dapat menyebabkan
hipotensi berat. Episode hipotensi yang tidak membaik dengan penambahan
volume intravaskular membutuhkan inotropik. Atropin dosis tinggi, lebih dari 100
33

mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan bradikardia. Tidak ada regimen terapi
yang dipercaya efektif secara universal untuk instabilitas otonom.
Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis
berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat
diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia,
gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolisme, menurunkan daya
tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis. Nutrisi parenteral total
mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk
mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein. Formula
asam amino sangat membantu membatasi katabolisme protein. Pada hari pertama
perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan
bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan
pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde
lambung untuk makanan dan obat-obatan denganperhatian khusus pada risiko
aspirasi.
Emboli paru juga merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak
digunakan antikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan; risiko
thromboemboli dan perdarahan harus dipertimbangkan. Gerakan pasif harus terus
diberikan jika digunakan pelumpuh otot.. (Laksmi, 2014)
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan tetanus yang
dikemukakan oleh Surya (2016), dilakukan tindakan sebagai berikut:
a. Umum
Pasien sebaiknya ditempatkan di ruang perawatan yang sunyi dan dihindarkan
dari stimulasi taktil ataupun auditorik.
b. Imunoterapi
Antitoksin tetanus intramuskuler (IM) dengan dosis human tetanus
immunoglobulin (TIG) 3.000-10.000 U dibagi tiga dosis yang sama, diinjeksikan
di tiga tempat berbeda. Rekomendasi British National Formulary ialah 5.000-
10.000 unit intravena. Bila human TIG tidak tersedia, dapat digunakan ATS
dengan dosis 100.000-200.000 unit, diberikan 50.000 unit intravena dan 50.000
unit IM.9 Antitoksin diberikan untuk menginaktivasi toksin tetanus bebas,
sedangkan toksin yang sudah berada di saraf terminal tidak dapat ditangani
dengan antitoksin. Oleh karena itu, gejala otot dapat tetap berkembang karena
toksin tetanus berjalan melalui akson dan trans-sinaps serta memecah VAMP.
34

Selain itu, dapat ditambahkan vaksin tetanus toksoid (TT) 0,5 ml. IM. Pasien yang
tidak memiliki riwayat vaksinasi sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2 bulan
setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya.
c. Antibiotik
Beberapa antibiotik pilihan di antaranya metronidazol 500 mg setiap 6 jam
intravena atau per oral, penisilin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari intravena
dibagi 2-4 dosis. Pasien alergi golongan penisilin, dapat diberi tetrasiklin,
makrolid, klindamisin, sefalosporin, atau kloramfenikol.
d. Kontrol Spasme Otot
Golongan benzodiazepin menjadi pilihan utama. Diazepam intravena dengan
dosis mulai dari 5 mg atau lorazepam dengan dosis mulai dari 2 mg dapat dititrasi
hingga tercapai kontrol spasme tanpa sedasi dan hipoventilasi berlebihan.
Magnesium sulfat dapat digunakan tunggal atau kombinasi dengan benzodiazepin
untuk mengontrol spasme dan disfungsi otonom dengan dosis loading 5 mg
intravena diikuti 2-3 gram/jam hingga tercapai kontrol spasme.
e. Kontrol Disfungsi Otonom
Dapat menggunakan magnesium sulfat atau morfin.
f. Kontrol Saluran Napas
Obat yang digunakan untuk mengontrol spasme dan memberikan efek sedasi
dapat menyebabkan depresi saluran napas. Ventilasi mekanik diberikan sesegera
mungkin. Trakeostomi lebih dipilih dibandingkan intubasi endotrakeal yang dapat
memprovokasi spasme dan memperburuk napas.
g. Cairan dan Nutrisi yang Adekuat
Diperlukan cairan serta nutrisi yang adekuat mengingat tetanus meningkatkan
status metabolik dan katabolik.

2.2 KONSEP PNEUMONIA


2.2.1 Definisi
Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus respiratorius
dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu
pertukaran oksigen dan karbondioksida di paru-paru. Pada perkembangannya ,
berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu pneumonia-
masyarakat (community-acquired pneumonia/CAP), apabila infeksinya terjadi di
35

masyarakat: dan pneumonia-RS atau pneumonia nosokomial (hospital-acquired


pneumonia/HAP), bila infeksinya didapat di rumah sakit.
Pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia) adalah pneumonia
yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit , sedangkan pneumonia nosokomial adalah
pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit, baik di ruang
rawat umum ataupun di ICU tetapi tidak sedang menggunakan ventilator. Pneumonia
berhubungan dengan penggunaan ventilator (ventilator-acquired pneumonia/VAP)
adalah pneumonia yang terjadi setelah 48- 72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal.
Pneumonia yang didapat di pusat perawatan kesehatan (healthcare-associated
pneumonia) adalah pasien yang dirawat oleh perawatan akut di rumah sakit selama 2 hari
atau lebih dalam waktu 90 hari dari proses infeksi, tinggal dirumah perawatan (nursing
home atau longterm care facility), mendapatkan antibiotik intravena, kemoterapi, atau
perawatan luka dalam waktu 30 hari proses infeksi ataupun datang ke klinik rumah sakit
atau klinik hemodialisa.

2.2.2 Etiologi
a. Bakteri
Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu :
1. Typical organisme
Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa :
a) Streptococcus pneumonia : merupakan bakteri anaerob facultatif. Bakteri patogen
ini di temukan pneumonia komunitas rawat inap di luar ICU sebanyak 20-60%,
sedangkan pada pneumonia komunitas rawat inap di ICU sebanyak 33%.
b) Staphylococcus aureus : bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien yang diberikan
obat secara intravena (intravena drug abusers) memungkan infeksi kuman ini
menyebar secara hematogen dari kontaminasi injeksi awal menuju ke paru-paru.
Kuman ini memiliki daya taman paling kuat, apabila suatu organ telah terinfeksi
kuman ini akan timbul tanda khas, yaitu peradangan, nekrosis dan pembentukan
abses. Methicillin-resistant S. Aureus (MRSA) memiliki dampak yang besar
dalam pemilihan antibiotik dimana kuman ini resisten terhadap beberapa
antibiotik.
c) Enterococcus (E. faecalis, E faecium) : organisme streptococcus grup D yang
merupakan flora normal usus.
36

d) Penyebab pneumonia berasal dari gram negatif sering menyerang pada pasien
defisiensi imun (immunocompromised) atau pasien yang di rawat di rumah sakit,
di rawat di rumah sakit dalam waktu yang lama dan dilakukan pemasangan
endotracheal tube. Contoh bakteri gram negatif dibawah adalah :
1) Pseudomonas aeruginosa : bakteri anaerob, bentuk batang dan memiliki bau
yang sangat khas
2) Klebsiella pneumonia : bakteri anaerob fakultatif, bentuk batang tidak
berkapsul. Pada pasien alkoholisme kronik, diabetes atau PPOK (Penyakit
Paru Obstruktif Kronik) dapat meningkatkan resiko terserang kuman ini.
3) Haemophilus influenza : bakteri bentuk batang anaerob dengan berkapsul
atau tidak berkapsul. Jenis kuman ini yang memiliki virulensi tinggu yaitu
encapsulated type B (HiB).
e) Atipikal organisme Bakteri yang termasuk atipikal adalah Mycoplasma sp. ,
chlamedia sp. , Legionella sp.
b. Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet , biasanya menyerang
pada pasien dengan imunodefisiensi. Diduga virus penyebabnya adalah cytomegalivirus
, herpes simplex virus, varicella zooster virus.
c. Fungi
Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur oportunistik, dimana
spora jamur masuk kedalam tubuh saat menghirup udara. Organisme yang menyerang
adalah Candida sp. , Aspergillus sp. , Cryptococcus neoformans.
2.2.3 Patofisiologi
Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada di orofaring,
kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan sumber patogen yang
mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Faktor risiko pada inang dan terapi yaitu
pemberian antibiotik, penyakit penyerta yang berat, dan tindakan invansif pada saluran
nafas. Faktor resiko kritis adalah ventilasi mekanik >48jam, lama perawatan di ICU.
Faktor predisposisi lain seperti pada pasien dengan imunodefisien menyebabkan tidak
adanya pertahanan terhadap kuman patogen akibatnya terjadi kolonisasi di paru dan
menyebabkan infeksi. Proses infeksi dimana patogen tersebut masuk ke saluran nafas
bagian bawah setelah dapat melewati mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan
mekanik ( epitel,cilia, dan mukosa), pertahanan humoral (antibodi dan komplemen) dan
seluler (leukosit, makrofag, limfosit dan sitokinin). Kemudian infeksi menyebabkan
37

peradangan membran paru ( bagian dari sawar-udara alveoli) sehingga cairan plasma dan
sel darah merah dari kapiler masuk. Hal ini menyebabkan rasio ventilasi perfusi menurun,
saturasi oksigen menurun. Pada pemeriksaan dapat diketahui bahwa paru-paru akan
dipenuhi sel radang dan cairan , dimana sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk
membunuh patogen, akan tetapi dengan adanya dahak dan fungsi paru menurun akan
mengakibatkan kesulitan bernafas12, dapat terjadi sianosis, asidosis respiratorik dan
kematian.
2.2.4 Manifestasi klinis
Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif
atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit
dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring
pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik
didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan
konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction
rub.
2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya :
a. Community-Acquired Pneumonia
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini sering di sebabkan
oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia (Penicillin sensitive and resistant strains ),
Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant strains) and Moraxella
catarrhalis (all strains penicillin resistant). Ketiga bakteri tersebut dijumpai hampir 85%
kasus CAP. CAP biasanya menular karena masuk melalui inhalasi atau aspirasi
organisme patogen ke segmen paru atau lobus paru-paru. Pada pemeriksaan fisik sputum
yang purulen merupakan karakteristik penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi
mengenai lobus atau segmen paru. Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi
peningkatan taktil fremitus, nafas bronkial. Komplikasi berupa efusi pleura yang dapat
terjadi akibat infeksi H. Influenza , emphyema terjadi akibat infeksi Klebsiella ,
Streptococcus grup A, S. Pneumonia . Angka kesakitan dan kematian infeksi CAP
tertinggi pada lanjut usia dan pasien dengan imunokompromis. Resiko kematian akan
meningkat pada CAP apabila ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan respiratory
rate, hipotensi, demam, multilobar involvement, anemia dan hipoksia.
38

b. Hospital-Acquired Pneumonia
Berdasarkan America Thoracic Society (ATS) , pneumonia nosokomial ( lebih dikenal
sebagai Hospital-acquired pneumonia atau Health care-associated pneumonia )
didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul setelah lebih dari 48 jam di rawat di rumah
sakit tanpa pemberian intubasi endotrakeal . Terjadinya pneumonia nosokomial akibat
tidak seimbangnya pertahanan inang dan kemampuan kolonisasi bakteri sehingga
menginvasi traktus respiratorius bagian bawah. Bakteria yang berperan dalam pneumonia
nosokomial adalah P. Aeruginosa , Klebsiella sp, S. Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini
secara signifikan akan mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat di rumah
sakit. ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset (biasanya muncul
selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya muncul setelah lebih
dari 5 hari perawatan di rumah sakit). Pada early onset pneumonia nosokomial memili
prognosis baik dibandingkan late onset pneumonia nosokomial; hal ini dipengaruhi pada
multidrug-resistant organism sehingga mempengaruhi peningkatan mortalitas.

Pada banyak kasus, diagnosis pneumonia nosokomial dapat diketahui secara klinis, serta
dibantu dengan kultur bakteri; termasuk kultur semikuantitatif dari sample
bronchoalveolar lavange (BAL)

c. Ventilator-Acquired pneumonia
Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia yang terjadi setelah
48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea. Ventilator adalah alat yang dimasukan
melalui mulut atau hidung, atau melalu lubang di depan leher. Infeksi dapat muncul jika
bakteri masuk melalui lubang intubasi dan masuk ke paru-paru.
24

2.3 WOC TETANUS DENGAN PENEUMONIA

Faktor Risiko :
Adanya Bakteri Clostridium Tetani
Terdapat Luka (tusuk, terbuka terpapar
tanah, bakar) yang tidak dirawat dengan
baik,steril dan individ belum terimunisasi

Bakteri berspora dalam luka yang anaerob

Bakteri mengeluarkan toksin (Tetanospasmin)

Diabsorpsi oleh ujung saraf motorik Diabsrpsi oleh susunan limfatik

Melalui sumbu silindrik ke Sistem Saraf Pusat Melalui sirkulasi darah arteri (Toxemia)

Intrakranial mengalami perubahan

TETANUS
25

TETANUS

B1 B2 B3 B4 B5 B6

spasme otot nafas Spasme umum Kejang otot Kejang umum, Kejang umum
leher, rahang sepanjang tulang
(trismus) belakang
(opistotonus) Otot perut
Hipersekresi mukus, Disritmia, Aktivitas
Infark Tidak mampu seperti papan berkurang
menyumbat jalan nafas menelan
miokard,
kolaps Gangguan Otot Konstipasi
sirkulasi Inguinal
MK :Bersihan jalan MK : Gangguan
MK : Ketidak
nafas tidak efektif seimbangan MK : mobilitas fisik
Penurunan nutris kurang Retensi urine Gangguan
kesadaran dari kebutuhan pola
tubuh eliminasi
MK : alvi MK :
Inflamasi Gangguan Ketidak
Nafas sesak, Obstruksi
MK : jaringan otak pola anoreksia, mual seimbangan
menggunakan jalan nafas Resiko eliminasi nutris kurang
Syok urine dari
otot bantu
Hipovole Inflamasi kebutuhan
MK : mia Peningkatan MK : tubuh
jaringan otak
suhu tubuh Hipertermia
MK : Pola Gangguan
nafas tidak ventilasi MK : Resiko kejang
Kejang umum, berulang
efektif spontan sensitif pada
rangsang MK : Resiko Cidera
24

2.4 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA TETANUS


1. Pengkajian
a. Anamnesa
a) Identitas
Identitas pasien mencakup nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama,
pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, alamat, tanggal masuk Rumah Sakit, cara
masuk Rumah Sakit, no registrasi, diagnosa masuk Rumah Sakit.
b) Keluhan Utama
Sering menjadi alasan keluarga membawa pasien untuk meminta pertolongan
kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang dan penurunan tingkat kesadaran
(Muttaqin, 2008).
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui predisposisi

penyebab sumber luka. Tanyakan dengan jelas gejala yang timbul seperti kapan mulai

serangan, sembuh, bertambah buruk. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk

dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus

apa yang sring menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam

upaya menurunkan keluhan kejang tersebut. Adanya penurunan atau perubahan pada

tingkat kesadaran dihubungkan dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan

otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Seuai perkembangan penyakit,

dapat terjadi letargik, tidakresponsif, dan koma (Muttaqin, 2008).

d) Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami pasien yang memungkinkan adanya

hubungan atau predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah pasien mengalami

luka misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi

kotor; karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul

luka yang tertutup debu/kotoran. Juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Adakah

port dentre lainnya seperti luka gores yang ringan kenudian menjadi bernanah; gigi

berlubang dikorek dengan benda yang kotor (Muttaqin, 2008)


25

e) Riwayat Kesehatan Keluarga


Yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit yang
sama karena faktor genetik atau keturunan (Sidarta, 2005).
f) Pengkajian Psikososisospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan pasien juga penting untuk menilai
respons emosi pasien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran pasien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada Pasien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
b. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
Biasanya pasien dengan penyakit tetanus keadaan umumnya sedang
b) Tanda-tanda vital
Pada Pasien tetanus biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal
38-40 0C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses implamasi dan toksin
tetanus yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi
terjadi berhubungan penurunan perfusi jaringan otak. Apabila disertai peninhkatan
frekuensi pernafasan sering berhubungan dengan peningkatan laju umum. TD
biasanya normal.
c) Pengkajian ROS ( Review of Sistem)
(a) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, prodoksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan
pada klien tetanus yang disertai adanya ketidak efektifan bersihan jalan nafas.
Palpasi thorak didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi
bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi
sekret dan kemampuan batuk yang meurun.
(b) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok hipovelemik yang
sering terjadi pada klien tetanus tekanan darah biasnya normal, peningkatan
heart rate, adanya anemis karena adanya hancurnya eritrosit.
26

(c) B3 (Brain)
Pengkajian B3 merupakan pemriksaan fokus dan lebih lengkap di bandingkan
pengkajian pada sistem lainnya. Pemeriksaannya meliputi:
1) Tingkat Kesadaran
Kesadaran klien biasanya kompos mentis. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor,
dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian
GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
2) Fungsi serebri
Status mental: obsevasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktifitas motorik yang pada
klien tetanus tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami
perubahan.
3) Pemeriksaan saraf kranial
- Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
- Saraf II. Tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal
- Saraf III,IV,VI. Dengan alasan yang tidak di ketahui, klien tetanus
mengeluh mengalami fotophobia atau sensitif yang berlebihan terhadap
cahaya.
- Saraf V. Refleks masester menigkat. Mulut mencucu seperti mulut ikan
(ini adalah gejala khas pada tetanus).
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
- Saraf VIII. Tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
- Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut (trismus).
- Saraf XI. Di dapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak)
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
pasikulasi. Indra pengecapan normal.
- System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan kordinasi pada
tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
27

4) Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periusteum derajat reflek pada respon normal.
5) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic dan distonia. Pada keadaan tertentu
klien mengalami kejang umum, terutama pada anak yang tetanus disertai
peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat
area fokal kortikal yang peka.
6) System sensori
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya di dapatkan perasaan raba
normal, perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal. Tidak ada perasaan
abnormal di permukaan tubuh. Perasaan proprioseftif normal dan perasaan
diskriminatif normal.
(d) B4 (Blader)
Penurunan volume haluaran urin berhubungan dengan penurunan perpusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urin karena kejang umum.
Pada klien yang sering kejang sebaiknya pengeluaran urine dengan
menggunakan kateter.
(e) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan
adanya kejang, kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas dari
tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan kesulitan BAB.
(f) B6 (Bone dan Skin)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan
aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang
terbuka yang memungkinkan por de entre kuman Clostridium tetani ,
sehingga memerlukan perawatan luka yang optimal. Adanya kejang
memberikan resiko pada praktur pertibra pada bayi, ketegangan, dan spasme
otot pada abdomen.
28

2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan denagan akumulasi sekret di dalam
rongga mulut akibat adanya spasme otot faring.
NOC: Respiratory status : Ventilation, Respiratory status : Airway patency, Aspiration
Control.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 .pasien menunjukkan keefektifan
jalan nafas dibuktikan dengan kriteria hasil :
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, bernafas dengan mudah, tidak ada pursed
lips)
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten(klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
3. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang penyebab.
4. Saturasi O2 dalam batas normal
5. Foto thorak dalam batas normal
NIC
1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning.
2. Berikan O2 sesuai kebutuhan pasien
3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Kolaborasi pemberian bronkodilator.
9. Monitor status hemodinamik
10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl lembab
11. Berikan antibiotik :
12. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
13. Monitor respirasi dan status O2
14. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan sekret
29

b. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat adanya
spasme otot pernafasan.

NOC: Respiratory status : Ventilation, Respiratory status : Airway patency, Vital sign
Status

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien menunjukkan


keefektifan pola nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil:

1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dg mudah, tidakada pursed
lips)
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten(klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
3. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan
NIC:
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Pasang mayo bila perlu
3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
6. Berikan bronkodilator :
7. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
8. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
9. Monitor respirasi dan status O2
10. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
11. Pertahankan jalan nafas yang paten
12. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
13. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
14. Monitor vital sign
15. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik relaksasi untuk memperbaiki
pola nafas.
16. Ajarkan bagaimana batuk efektif
17. Monitor pola nafas
30

c. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan keletihan otot pernafasan karena


adanya obstruksi trakhea bronchial.

NOC: Respiratory status : airway patency, Mechanical ventilation weaningresponse,


Respiratory status : Gas Exchange, Breathing pattern, ineffective

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien menunjukkan ventilasi
yang spontan, dibuktikan dengan kriteria hasil:
1. Respon alergi sistemik : tingkat keparahan respons hipersensitivitas imun sistemik
terhadap antigen lingkungan (eksogen)
2. Respons ventilasi mekanis : pertukaran alveolar dan perfusi jaringan di dukung oleh
ventilasi mekanik
3. Status pernafasan Pertukaran Gas: pertukaran CO2 atau O2 di alveolus untuk
mempertahankan konsentrasi gas darah arteri dalam rentang norma
4. Status pernafasan ventilasi : pergerakan udara keluar masuk paruadekuat
5. Tanda vital : tingkat suhu tubuh, nadi, pernafasan, tekanan darahdalam rentang
normal
6. Menerima nutrisi adekuat sebelum, selama, dan setelah proses penyapihan dari
ventilator.
NIC
Mechanical Ventilation management :Invasive
1. Pastikan alarm ventilator aktif
2. Konsultasikan dengan tenaga kesehatan lainnya dalam pemilihan jenis ventilator
3. Berikan agens pelumpuh otot, sedative, dan analgesic narkotik, jika diperlukan
4. Pantau adanya kegagalan pernafasanyang akan terjadi
5. Pantau adanya penurunan volume ekshalasi dan peningkatan tekananinspirasi pada
pasien
6. Pantau keefektifan ventilasi mekanik pada kondisi fisiologis dan psikologispasien
7. Pantau adanya efek yang merugikan dari ventilasi mekanik : infeksi, barotraumas, dan
penurunan curah jantung
8. Pantau efek perubahan ventilator terhadap oksigenasi : GDA, SaO2, SvO2, CO2, akhir-
tidal, Qsp/Qt serta respons subjektif pasien
9. Pantau derajat pirau, kapasitas vital, Vd, VT, MVV, daya inspirasi, FEV1, dan kesiapan
untuk penyapihan dan ventilasi mekanik, sesuai protocol institusi
10. Auskultasi suara napas, catat area penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara
napas tambahan
31

11. Tentukan kebutuhan pengisapan dengan mengauskultasi suara ronki basah halus dan
ronki basah kasar di jalan nafas
12. Lakukan higine mulut secara rutin

Oxygen Therapy

1. Bersihkan mulut, hidung, dan trakea sekresi,


2. Menjaga patensi jalan napas
3. Mengatur peralatan oksigen dan mengelola melalui sistem, dipanaskan dilembabkan
4. Administer oksigen tambahan seperti yang diperintahkan
5. Memantau aliran liter oksigen
6. Memantau posisi perangkat pengiriman oksigen
7. Secara berkala memeriksa perangkat pengiriman oksigen untuk memastikan bahwa
konsentrasi yang ditentukan sedang disampaikan
8. Memantau efektivitas terapi oksigen (misalnya, nadi oksimetri, ABGs)
9. Mengubah perangkat pengiriman oksigen dari masker untuk hidung garpu saat makan,
sebagai ditoleransi
10. Amati tanda-tanda oksigen diinduksi hipoventilasi
11. Memantau tanda-tanda toksisitas oksigen dan penyerapan atelektasis
12. Menyediakan oksigen ketika pasien diangkut
13. Atur untuk penggunaan perangkat oksigen yang memudahkan mobilitas dan
mengajarkan pasien sesuai
d. Hipertermia berhubungan dengan Proses inflamasi jaringan otak.
NOC : Thermoregulation
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien menunjukkan
hipertermia tidak terjadi, dibuktikan dengan kriteria hasil:
1. Suhu tubuh dalam rentang normal
2. Nadi dan RR dalam rentang normal
3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman
NIC :
Fever treatment
1. Monitor suhu sesering mungkin
2. Monitor IWL
3. Monitor warna dan suhu kulit
4. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
5. Monitor penurunan tingkat kesadaran
32

6. Monitor WBC, Hb, dan Hct


7. Monitor intake dan output
8. Berikan anti piretik
9. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
10. Selimuti pasien
11. Lakukan tapid sponge
12. Berikan cairan intravena
13. Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
14. Tingkatkan sirkulasi udara
15. Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil
Temperature regulation
1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
2. Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu
3. Monitor TD, nadi, dan RR
4. Monitor warna dan suhu kulit
5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
7. Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
8. Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas
9. Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan efek negatif dari
kedinginan
10. Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergency yang
diperlukan
11. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan
12. Berikan anti piretik jika perlu
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuluskletal dan
neuromuscular
NOC Joint Movement : Active, Mobility Level, Self care : ADLs, Transfer performance
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama.gangguan mobilitas fisik teratasi
dengan kriteria hasil:
1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah
33

4. Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)


NIC:
Exercise therapy : ambulation
1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
8. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
24

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
Tanggal pengambilan data : 16/ 10/ 2017 Jam: 07.00
Tanggal masuk : 06/ 10/ 2017 RM: 126177XX
Ruangan/ Kelas : ICU
No kamar :
Diagnosa Medis masuk : Tetanus
1. IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn. S
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia
Bahasa : Jawa/ Indonesia
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Surabaya
Biaya : JKN

2. RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA


a. Penyakit berat yang pernah diderita : Tidak ada
b. Obat-obatan yang biasa dikonsumsi : Tidak ada
c. Kebiasan berobat : Tidak ada
d. Alergi : Tidak ada
e. Alat bantu yang digunakan : Tidak ada
25

3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


a. Keluhan utama : Kejang
b. Tanggal mulai sakit : 03/ 10/ 2017
c. Proses terjadinya penyakit : Berangsur-angsur
d. Upaya yang telah dilakukan klien untuk menanggulanginya: Klien dibawa ke RSI
Jemursari ketika klien mengalami gangguan menelan dan susah membuka mulutnya

4. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA


a. Penyakit yang pernah diderita anggota keluarga : Tidak ada
b. Penyakit yang sedang diderita anggota keluarga : Tidak ada

5. PENGKAJIAN PERSISTEM
Pernapasan
Bentuk dada : Simetris
Sekresi batuk : Batuk; tidak, Sputum; ya, Warna; putih kekuningan
Pola napas : RR; 24x/m, SpO2; 98%
Bunyi napas : Abnormal; Ronchi di kedua lobus paru
Pergerakan dada : Intercostal
Taktil fremitus : Tidak terkaji
Alat bantu napas : Respirator; Mode Bilevel, FiO2 40%
Kardiovaskuler
Riwayat nyeri dada : Tidak ada
Sesak napas :
Hemoptisis : Tidak ada
Gejala yang menyertai :-
Persyarafan
Tingkat Kesadaran : Tersedasi
GCS : Tersedasi
Refleks : Tidak terkaji
Koordinasi gerak : Tidak terkaji
Kejang : Ada
Penginderaan
Mata : Tidak terkaji
Hidung/ Penciuman : Bentuk normal, gangguan penciuman tidak terkaji
26

Telinga/ Pendengaran : Bentuk normal, simetris


Perasa : Tidak terkaji
Peraba : Tidak terkaji
Perkemihan
Masalah kandung kemih : Terpasang kateter
Produksi Urine : 1590 ml/hari
Warna : Kuning
Bau : Urine
Pencernaan
Mulut : Lembab
Lidah : Bersih, normal
Kebersihan rongga mulut: Tidak Berbau
Tenggorokan :-
Abdomen : Kenyal
Pembesaran Hepar : Tidak
Pembesaran Lien : Tidak
Asites : Tidak
Masalah usus besar & rectum: BAB; 2 hari sekali, tidak ada masalah
Otot, Tulang dan Integumen
Kemampuan ROM : Terbatas
Kekuatan otot : Tidak terkaji
Fraktur : Tidak
Dislokasi : Tidak
Hematoma : Tidak
Akral : Hangat
Turgor Kulit : Elastik
Tulang Belakang :-
Luka : Dekubitus Gr. I, Luka Post KLL
Ektremitas atas & bawah : Clubbing Finger tidak ada, Sianosis tidak ada, Edema
tidak ada, Deformitas tidak ada.
Reproduksi
Bentuk : Normal
Kebersihan : Bersih
27

Endokrin
Faktor alergi : Tidak
Riwayat imunisasi : BCG, Polio, DPT I/II, Hepatitis
Kelainan endokrin : Tidak ada

6. POLA KEGIATAN SEHARI-HARI


a. Makan : Terpasang Sonde, Frekuensi 6x sehari, Diit TKTP
b. Eliminasi : BAK; Kateter, BAB; 2 hari sekali
c. Kebersihan diri : Mandi; 2x sehari, Sikat gigi; 1x sehari
d. Istirahat dan aktifitas :-
e. Kebiasaan merokok/ alkohol/ jamu:

7. PSIKOSOSIAL
a. Sosial/ Interaksi : Tersedasi
b. Konsep diri : Tersedasi
c. Spiritual : Tersedasi

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 16/ 10/ 2017
HGB 9,4 g/dL
RBC 3,28 10^6/uL
HCT 29,9 %
MCV 91,2 fl
MCH 28,7 pg
WBC 23,45 10^3/uL
PLT 314 10^3/uL

9. TERAPI
Tanggal 16/10/2017
Penicillin 3 x 2,4 juta unit per IM
Metoclopramid 3 x 10 per IV
Metamizole 3 x 1gr per IV
Omeperazole 2 x 40gr per IV
Diazepam 5mg/ml
28

MO 1mg/ml
MgSO4 20%
Aminofluid 500ml/ 24 jam
RL 500ml/ 24 jam
Diit TKTP
29

3.2 Analisa Data


TANGGAL DATA ETIOLOGI MASALAH
10/10/2017 DS: -
DO: Ketidakefektifasn
Terdengar suara ronchi di Bersihan Jalan
kedua lobus paru Napas
Terpasang Endotrakeal
Tube
RR: 24 x/m

10/10/2017 DS: - Ketidakefektifan


DO: Pola Napas
Terpasang Respirator:
Bilevel
Akral hangat
Penggunaan otot bantu
napas
SpO2 98%
10/10/2017 DS: - Resiko Cedera
DO:
Tersedasi
Kejang
10/10/2017 DS: - Kerusakan Integritas
DO: Kulit
Dekubitus gr. I
Luka Post KLL

3.3 Diagnosa Keperawatan


Tanggal: 10 Oktober 2017

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan


2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan
3. Resiko cedera berhubungan dengan
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
30

3.4 Rencana Intervensi


Nama Klien : Ny.L
No. Reg : 125928xx

HARI/ DIAGNOSA
NOC NIC
TANGGAL WAKTU KEPERAWATAN
Selasa, 18 10.00 Nyeri akut berhubungan Setelah diberikan asuhan 1. Monitor status nyeri secara komprehensif
Juli 2017 dengan Inflamasi sel keperawatan selama 8 jam nyeri (PQRST)
kanker berkurang dengan kriteria hasil: 2. Monitor TTV
1. Skala nyeri berkurang 3. Ajarkan dan anjurkan teknik pengurangan
menjadi 2 nyeri ( destraksi dan relaksasi)
2. Klien mengungkapkan nyeri 4. Kolaborasi pemberian analgetik
berkurang
3. TTV dalam batas normal
TD : sistole : 110-130
mmHg, diastole 60-80
mmHg
Selasa, 18 10.02 Resiko kekurangan Setelah diberikan asuhan 1. Monitor input dan outpus cairan
Juli 2017 volume cairan keperawatan selama 1x24 jam, klien 2. Monitor status hidrasi (kelembaban membran
berhubungan dengan tidak mengalami kekurangan mukosa)
perdarahan pervaginam volume cairan dengan kriteria hasil: 3. Monitor perdarahan
1. Tidak ada darah yang keluar 4. Monitor nilai laboratorium Hb,HT
pervaginam 5. Memantau tanda-tanda vital
2. Balance cairan seimbang 6. Identifikasi penyebab perdarahan
3. TTV dalam batas normal 7. Kolaborasi pemasangan tampon pervaginam
TD : sistole : 110-130 mmHg, 8. Kolaborasi pemberian cairan intra vena
diastole 60-80 mmHg 9. Kolaborasi pemberian produk darah
4. Pasien tidak anemis 10. Kolaborasi pemberian transamin
5. Hasil laboratorium : 500mg/8jam
Hb: (11,0-14,7) gr/dl
31

HARI/ DIAGNOSA
NOC NIC
TANGGAL WAKTU KEPERAWATAN
Selasa, 18 10.04 Resiko infeksi Setelah diberikan tindakan 1. Monitor tanda-tanda infeksi (rubor,
Juli 2017 berhubungan dengan Luka keperawatan selama 3x24 jam klien tumor, kalor, dolor, fungsiolaesa)
pada serviks tidak mengalami infeksi dengan 2. Monitor hasil laboratorium WBC
kriteria hasil: 3. Monitor TTV (Suhu)
1. Tidak ada tanda-tanda 4. Batasi jumlah pengunjung
infeksi (rubor, tumor, kalor, 5. Cuci tangan sebelum dan sesudah
dolor, fungsiolaesa) menyentuh pasien
2. Suhu : 36,5-37,5o C 6. Pertahankan teknik aseptik selama
3. WBC : (3,37-10) 103u/l melakukan tindakan
7. Anjurkan meningkatkan konsumsi protein
8. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai
indikasi
Selasa, 18 10.06 Defisit pengetahuan Setelah diberikan tindakan 1. Kaji tingkat pengetahuan klien
Juli 2017 berhubungan dengan keperawatan selama 1x24 jam 2. Berikan HE tentang penyakit klien (
kurang terpapar informasi pengetahuan klien meningkat definisi,penyebab, tanda dan gejala,
dengan kriteria hasil : penatalaksanaan)
1. Klien mengatakan paham 3. Berikan kesempatan pada klien untuk
tentang penyakit dan bertanya
pengobatan yang akan 4. Berikan reinforchment positif pada klien
diberikan 5. Kolaborasi dengan dokter untuk
2. Klien mampu menjelaskan menjelaskan tindakan yang akan
kembali tentang penyakitnya diberikan.
32

3.5 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


Nama Klien : Ny. L
No. Reg :125928xx

No. Evaluasi
Hari/Tgl/Shif Jam Implementasi Paraf Jam Paraf
DK (SOAP)
Selasa, 18 2 09.10 - Mengkaji nyeri klien Tik 21.00 Resiko kelebihan volume cairan Ali
Juli 2017 P : nyeri bertambah saat beraktifitas S : Klien mengatakan cairan yang keluar
Pagi Q : terasa seperti ditusuk-tusuk berwarna kekuningan
R : terasa di bagian pinggang O:
S : skala nyeri 6 - Terdapat bercak darah dan cairan
T : nyeri hilang timbul berwarna kekuningan di pembalut
2 09.15 - Mengajarkan teknik nafas dalam Ana klien
Klien bisa mempraktekkan teknik nafas - TD : 116/98 mmHg, Nadi: 97 x/menit
dalam, klien mengatakan nyeri A : Resiko kelebihan volume cairan
berkurang menjadi skala 5 setelah teratasi sebagian
melakukan nafas dalam P : Lanjutkan intervensi nomer 1,2,4,7,
3 09.17 - Monitor tanda-tanda infeksi dan 8
Tidak terdapat tanda infeksi (rubor, Ana
tumor, kalor, dolor, fungsiolaesa), suhu Nyeri akut
36,7 o C 21.00 S : Klien mengatakan nyeri berkurang ,
4 09.18 - Menjelaskan definisi, penyebab, tanda skala nyeri menjadi 5
dan gejala, penatalaksanaan penyakit O:
kanker serviks Ren - TTV
,Klien mengatakan paham, mampu TD : 116/98 mmHg Ali
menjelaskan dan menyebutkan ulang Tik Nadi : 97 x/menit
definisi, penyebab, tanda dan gejala, RR : 18 x/menit
penatalaksanaan penyakit kanker Suhu : 36,7 o C
serviks Tik - Pasien tampak rileks
1 12.00 - Memasang iv line A : Nyeri akut teratasi sebagian
33

No. Evaluasi
Hari/Tgl/Shif Jam Implementasi Paraf Jam Paraf
DK (SOAP)
IV line ukuran 20 terpasang di tangan Tik P : Lanjutkan intervensi nomer 1 dan 2
kanan klien di vena metakarpal.
1 12.05 - Mengambil sampel darah lengkap
Darah diambil 3 cc 21.00 Resiko Infeksi
1,2,3 12.10 - Mengukur tanda vital Tik S :-
TD : 110/70 mmHg O:
Nadi : 88 x/menit - Tidak terdapat tanda infeksi (rubor,
1 13.15 - Memonitor perdarahan Ana tumor, kalor, dolor, fungsiolaesa)
Terdapat bercak darah dan cairan - suhu 36,7 o C
berwarna kekuningan di pembalut klien A : Resiko infeksi teratasi sebagian
1 13.16 - Memonitor tanda-tanda perdarahan Ana P : Lanjutkan intervensi nomer 1,2,3,6,
Pada pembalut tidak ada darah, adanya dan 7
cairan berwarna kuning seperti ketuban
1,2,3 14.00 - Mengukur Suhu (36,70C) Ren
Defisit Pengetahuan
Siang 1 14.03 - Memonitor perdarahan pasien Ulv 21.00 S : klien mengatakan paham
Pembalut ganti sekali dan tidak ada O : mampu menjelaskan dan Ali
darah yang keluar menyebutkan ulang definisi, penyebab,
1 15.00 - Memberikan injeksi Transamin 500 mg Ulv tanda dan gejala, penatalaksanaan
intravena penyakit kanker serviks
Injeksi masuk dan tidak ada reaksi A : Defisit pengetahuan teratasi
terhadap obat. P : Hentikan intervensi
3 16.00 - Memberikan motivasi untuk Ali
meningkatkan asupan nutrisi agar tidak
terjadi infeksi

Malam 1,2,3 22.00 - Mengukur tanda-tanda vital Ana


TD : 116/98 mmHg
Nadi : 97 x/menit
RR : 18 x/menit
34

No. Evaluasi
Hari/Tgl/Shif Jam Implementasi Paraf Jam Paraf
DK (SOAP)
Suhu : 36,7 o C
1 22.02 - Memonitor perdarahan pasien Ana
Pembalut ganti sekali tidak ada darah
keluar
1 22.03 - Memberikan injeksi Transamin 500 mg Ana
intravena
Injeksi masuk dan tidak ada reaksi
alergi

Rabu, 19-07- 1 07.15 - Memonitor suhu tubuh sebelum Tik 22.00 Resiko kekurangan volume cairan Ana
2017 pemberian PRC golongan darah A+, S : Klien mengatakan cairan yang keluar
Pagi Suhu : 37,50 C berwarna merah pada malam hari
1 07.17 - Memberikan produk darah PRC 240 cc Ren O:
dengan bloodset 20 tpm - Terdapat bercak darah,flek post lepas
Darah masuk dan tidak ada reaksi alergi Tik tampon pada pembalut pasien, satu
- Memberikan injeksi Transamin 500 mg pembalut tidak penuh sekitar 20 cc
intravena - TD : 105/90 mmHg, Nadi: 90 x/menit
1 08.00 Injeksi masuk dan tidak ada reaksi A : Resiko kekurangan volume cairan
terhadap obat Ren teratasi sebagian
- Melakukan kolaborasi dengan dokter P : Lanjutkan intervensi nomer 1,2,4,7,
1 12.00 untuk melepas tampon dan 8
Tampon tampak ada fluxus
- Mengukur tanda vital Tik
1,2,3 12.15 TD : 110/70 mmHg Nyeri
Nadi : 90x/menit S : Klien mengatakan nyeri berkurang , Ana
RR : 18x/menit Ren 22.00 skala nyeri menjadi 1
- Mengkaji status nyeri klien O:
2 12.16 Pasien mengatakan nyeri masih terasa - TTV
35

No. Evaluasi
Hari/Tgl/Shif Jam Implementasi Paraf Jam Paraf
DK (SOAP)
namun tidak seperti kemarin, skala 4 Tik TD : 105/90 mmHg
- Menganjurkan untuk selalu Nadi : 90 x/menit
2 12.17 menggunakan teknik relaksasi yang Ren RR : 20 x/menit
diajarkan jika nyeri muncul Suhu : 36,5o C
- Monitor tanda perdarahan - Pasien tampak rileks
Pembalut post lepas tampon terdapat Ren A : Nyeri akut teratasi sebagian
flek merah kehitaman P : Lanjutkan intervensi nomer 1 dan 2

- Memberikan injeksi transamin 500 mg Resiko Infeksi


Siang 1 16.00 intravena Ulv 22.00 S :-
Obat masuk O: Ana
- Mengukur tanda-tanda vital - Tidak terdapat tanda infeksi (rubor,
1,2,3 16.15 TD : 105/70 mmHg, Dsn tumor, kalor, dolor, fungsiolaesa)
Nadi : 90x/menit - suhu 36,5o C
RR : 20x/menit Ulv - WBC : 20.103 /ul
- Mengkaji status nyeri klien A : Resiko infeksi teratasi sebagian
1,2,3 16.10 Klien mengatakan nyeri semakin Dsn P : Lanjutkan intervensi nomer 1,2,3,6,
berkurang dengan skala 3 dan 7
- Menganjurkan untuk menggunakan
2 16.15 teknik relaksasi yang sudah diajarkan Dsn
jika nyeri muncul.
- Mengukur Suhu (Suhu : 36,50C)
2 16.16 - Memonitor perdarahan pasien Dsn
1 16.17 Pada pembalut terdapat darah sedikit Dsn
- Memonitor hasil laboratorium
1,2,3 17.00 Hb : 11,2 gr/dl Dsn
1 17.10 - Memoitor perdarahan
Pembalut basah berisi cairan warna
merah tapi tidak penuh sekitar 20 cc Ana
36

No. Evaluasi
Hari/Tgl/Shif Jam Implementasi Paraf Jam Paraf
DK (SOAP)

- Memberikan injeksi Transamin 500 mg


Malam 1 22.00 intravena Ali
Injeksi masuk dan tidak ada reaksi
terhadap obat
- Mengukur tanda-tanda vital
1,2,3 05.00 TD : 120/80 mmHg Ana
Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit
- Memonitor hasil laboratorium
3 05.01 WBC ( 20. 10 3/ul)

Kamis, 20- 07.30 1 - Memonitor input dan output cairan Tik 14.00 Resiko kekurangan volume cairan Ren
07-2017 Input : minum 1500cc S:-
Pagi Output : IWL 930 cc + perdarahan O:
10cc + urin 600cc - Pembalut tampak merah darah 10cc
Balance cairan : - 40 cc - Balance cairan : - 40 cc
07.32 1 - Memonitor perdarahan Tika - TD : 120/70 mmHg
Pembalut tampak merah darah 10cc Nadi : 80x/menit
09.00 1,2,3 - Mengukur tanda-tanda vital Tika RR : 20x/menit
TD : 120/70 mmHg A : Resiko kekurangan volume cairan
Nadi : 80x/menit teratasi sebagian
RR : 20x/menit P : hentikan intervensi
09.10 1 - Memberikan injeksi transamin
Transamin 500mg masuk perintravena Tik Ren
09.11 2 - Memonitor nyeri
Klien mengatakan nyeri berkurang bila Tik
melakukan nafas dalam, skala nyeri 1 14.01 Nyeri akut
37

No. Evaluasi
Hari/Tgl/Shif Jam Implementasi Paraf Jam Paraf
DK (SOAP)
09.12 3 - Memonitor tanda-tanda infeksi S : Klien mengatakan nyeri berkurang ,
Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, Tik skala nyeri menjadi 1
tumor, kalor, dolor, fungsiolaesa) O:
12.00 - Memberikan discharge planning - TTV
1. Menjelaskan klien periksa kembali 2 Tik TD : 120/70 mmHg
minggu lagi, tanggal 7 Agustus 2017 Nadi : 80x/menit
di POSA dengan membawa hasil RR : 20x/menit
laboratorium yang diperiksakan A : Nyeri akut teratasi Ren
tanggal 6 Agustus 2017 P : hentikan intervensi
2. Menganjurkan untuk menjaga
kebersihan diri, mengganti pembalut 14.01 resiko infeksi
maksimal setiap 4 jam sekali atau S :-
bila sudah penuh O:
3. Menganjurkan meningkatkan asupan - Tidak terdapat tanda infeksi (rubor,
tinggi kalori dan protein tumor, kalor, dolor, fungsiolaesa)
4. Menganjurkan istirahat cukup - WBC : 20.103 /ul
5. Bila perdarahan bertambah banyak A : Resiko infeksi teratasi
segera periksa ke layanan kesehatan P : hentikan intervensi
38

BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Pengkajian Keperawatan


4.1.1 Data teori
Sesuai dengan teori data yang ditemukan pada Ny. L yaitu:
1. Usia penderita kanker serviks rata-rata 45 tahun
Dari pengkajian yang dilakukan, didapatkan usia klien 45 tahun, hal ini sesuai dengan
pernyataan Rasjidi (2010) dimana penderita kanker serviks rata-rata dijumpai pada
umur 45 tahun
2. Riwayat berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun
Klien menikah pada saat usianya 18 tahun, menurut Rasjidi (2010) wanita yang
berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan beresiko terkena kanker serviks 5 kali
lipat.
3. Keluhan utama
Keluhan utama yang muncul pada klien berupa perdarahan pervaginam yang merupakan
tanda khas pada penderita kanker serviks.
Data yang ada pada teori tetapi tidak ditemukan pada kasus Ny. L yaitu:
a. Riwayat penyakit kandungan atau infeksi area genital
Pengkajian riwayat penyakit dahulu didapatkan klien tidak memiliki riwayat penyakit
kandungan atau infeksi area genital, sedangkan teori menyebutkan pasien dengan
kanker serviks memiliki riwayat penyakit kandungan atau infeksi area genital.
b. Riwayat penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang
Pada r iwayat penggunaan kontrasepsi oral, ditemukan bahwa klien menggunakan
kontrasepsi oral yaitu pil KB selama 2 tahun, sedangkan penelitian secara perspektif
yang dilakukan oleh Vessey mendapatkan bahwa peningkatan insiden kanker serviks
dipengaruhi oleh lama pemakaian kontrasepsi oral setelah 10 tahun.
4.1.2 Data kasus
Data yang ditemukan pada kasus Ny. L sesuai dengan konsep teori. Keluhan
utama berupa perdarahan pervaginam dan nyeri pinggang akibat dari pembentukan
jaringan karsinoma.
39

4.1.3 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus Ny. L adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi sel kanker
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan pervaginam
3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka pada serviks
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi

Semua diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus Ny. L merupakan


diagnosa yang terdapat di teori. Prioritas masalah keperawatan diangkat berdasarkan
masalah yang mengancam kehidupan dan kebutuhan fisiologis berdasarkan hierarki
Maslow. Resiko kekurangan volume cairan menjadi prioritas kedua karena merupakan
masalah keperawatan risiko, data obyektif belum menunjukan tanda-tanda dehidrasi
seperti turgor kulit menurun, haluan urin menurun, suhu tubuh meningkat dan adanya
kelemahan.
BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Asuhan Keperawatan pada Ny. L dengan diagnosa medis kanker serviks
stadium IIIB di Ruang Cendrawasih RSUD Dr. Soetomo Surabaya dilaksanakan
mulai tahap pengkajian sampai tahap evaluasi. Diagnosa keperawatan yang muncul
yaitu : resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan
pervaginam, nyeri akut berhubungan dengan inflamasi sel kanker, resiko infeksi
berhubungan dengan luka pada serviks dan defisit pengetahuan berhubungan
dengan kurang terpapar informasi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam, masalah keperawatan resiko infeksi, nyeri akut dan defisit pengetahuan
teratasi, sedangkan diagnosa resiko kekurangan volume cairan belum teratasi.

5.2 Saran
1. Bagi RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Dapat lebih meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, terutama dalam
pelayanan kemoterapi pada kasus obstertric dan gynekologi
2. Bagi mahasiswa-mahasiswa Progam Pendidikan Profesi Ners Fakultas
Keperawatan
Universitas Airlangga, dapat lebih meningkatkan kompetensi dan
wawasan tentang perkembangan teori-teori terbaru dalam dunia
kesehatan khususnya tentang penyakit dan asuhan keperawatan pada ca
serviks.

40
41

DAFTAR PUSTAKA

Dire, D. (2011, Desember 2011). Tetanus dan Medication. hal.


http//medicastore.com/penyakit/91/tetanus.

Raymon, S. (2016, 12 1). Skoring Prognosis Tetanus generalisata pada Pasien


Dewasa. CDK-238/vol.43 no.3 1, hal. 1.

Tim Indeks. (2011). Nursing The Series for Clinical Excellence. Jakarta: Indeks.

Anda mungkin juga menyukai