Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

BATU PYELUM RENAL DEXTRA

Oleh:
Yogi Saputra Rosadi, S.Ked
04114708082

Pembimbing:
dr. Arizal Agoes, SpB, SpU

BAGIAN BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOH. HOESIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2013

HALAMAN PENGESAHAN

1
Presentasi Kasus yang Berjudul:

BATU PYELUM RENAL DEXTRA

Oleh
Yogi Saputra Rosadi, S.Ked
04114708082

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Dr. Moh. Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 15 Juli 2013 23 September 2013.

Palembang, Agustus 2013


Pembimbing,

dr. Arizal Agoes, SpB, SpU.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................. iii
BAB I LAPORAN KASUS ..............................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 6
BAB III ANALISIS KASUS ........................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................24

3
BAB I
LAPORAN KASUS

I.1 Identifikasi
Nama : Tn. B
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Penukul
Pekerjaan : Petani
Status : Menikah
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
MRS : 12 Juni 2013
No. RM/Reg. : 728225

I.2 Anamnesis (autoanamnesis tanggal 20 Agustus 2013)


Keluhan Utama:
Nyeri dipinggang kanan sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri pinggang
kanan dan nyeri dirasakan menyebar ke bokong kanan. Rasa sakit
dirasakan hilang timbul tapi cenderung untuk menetap. Tidak ada rasa
sakit saat BAK. Pancaran miksi kadang terhenti kemudian lancar kembali
dan sensasi pengosongan kandung kemih yang tidak penuh disangkal.
Tidak ada darah dalam urin, dan keluhan BAK batu atau pasir dalam urin
disangkal. Keluahn demam, mual dan muntah disangkal. Keluhan saat
BAB Disangkal. Pasien lalu berobat ke RSMH Palembang

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat mengalami penyakit yang sama sebelumnya disangkal.
Riwayat trauma di pinggang kanan disangkal

4
Riwayat infeksi saluran kemih berulang disangkal
Riwayat menggunakan kateter uretra dalam penggunaan jangka
panjang disangkal
Riwayat operasi sebelumnya disangkal
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus disangkal
Riwayat sering minum air dalam jumlah yang sedikit (+), dan
mulai minum banyak air setelah muncul keluhan
Riwayat sakit dengan keluhan yang sama dalam anggota keluarga
disangkal

Riwayat kebiasaan
Makan : 2 - 3x sehari
Minum air putih : 5 - 6 gelas/hari
Minum teh :(-)
Minum kopi : ( + ), 1 2 gelas sehari
Alkohol :(-)
Merokok : ( + ), 2 3 batang sehari
BAK : 5-6x/hari

I.3 Pemeriksaan Fisik (20 Agustus 2013)


Status Generalis
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 76x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,7 C
Kulit : Tidak ada kelainan
Kepala : Tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-)
Pupil : Isokor, refleks cahaya (+)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

5
JVP 5-2 cm H2O
Dada : Tidak ada kelainan
Paru-paru : Tidak ada kelainan
Jantung : Tidak ada kelainan
Abdomen : Tidak ada kelainan
Hati : Tidak ada kelainan
Limpa : Tidak ada kelainan
Genitalia : Lihat status lokalis
Anal : Tidak ada kelainan
Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan
Ekstremitas bawah : Tidak ada kelainan

Status Lokalis
Regio CVA
Kanan
Inspeksi : Bulging (-)
Palpasi : Massa (-),ballotement (-)
Perkusi : Nyeri ketok (-)
Kiri
Inspeksi : Bulging (-)
Palpasi : Massa (-), ballotement (-)
Perkusi : Nyeri ketok (-)
Regio supra pubis
Inspeksi : Bulging (-)
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Redup
Regio Genitalia Eksterna
Inspeksi : Terpasang kateter ukuran 16F, kencing keluar,
warna kuning, darah (-)
Rectal Toucher :
TSA baik
Mukosa licin

6
Prostat teraba membesar, konsistensi kenyal, permukaan licin,
nodul tidak ada

I.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium
Tanggal: 28 Mei 2013
- Hb : 14,8 g/dl (N: 14-18 g/dl)
- Ht : 43 vol% (N: 40-48 vol%)
- Leukosit : 8.800/mm3 (N: 5.000-10.000/mm3)
- Trombosit : 175.000/mm3 (N: 150.000-450.000/mm3)
- BSS : 106 mg/dl (N: <200 mg/dl)
- Ureum : 20 mg/dl (N: 15-39 mg/dl)
- Creatinin : 1,1 mg/dl (N: 0,9-1,3 mg/dl)
- Protein Total : 7,7 g/dl (N: 6,0-7,8 mg/dl)
- Albumin : 3,8 g/dl (N: 3,5-5,5 g/dl)
- Globulin : 3,9 g/dl
- Na : 139 mmol/l (N: 135-155 mmol/l)
- K : 4,1 mmol/l (N: 3,5-4,5 mmol/l)

Urinalisa
- Sel epitel : (-)
- Leukosit : 30-35/ LPB (N: 0-5/LPB)
- Eritrosit : 0-2 / LPB (N: 0-1/LPB)
- Silinder : (-) (N: -)
- Kristal : (-) (N: -)

USG (Tanggal 5 Juni 2013)

7
Tampak gambaran hiperechoik dan acoustic shadow serta pembesaran
prostat
BNO (Tanggal 5 Juni 2013)

Gambaran radioopak berukuran + 2,5cm di dalam cavum pelvis

I.5 Diagnosis Kerja


Retentio urine e.c Benign Prostatic Hyperplasia + Vesikolithiasis

I.6 Penatalaksanaan
- Pro open vesikololitotomi
- Pro TURP

8
I.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia et bonam
Quo ad functionam : dubia et bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


1. Definisi
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH (benign
prostatic hyperplasia) merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. 1

Gambar 1. Prostat normal dan BPH


2. Epidemiologi
BPH dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini
akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.1
3. Etiologi dan Patogenesis

9
BPH merupakan salah satu keadaan yang menyebabkan gangguan miksi
yaitu retensio urin yang mengakibatkan supersaturasi urin, sehingga rentan
untuk terbentuknya batu buli. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya BPH adalah :2
a. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di
dalam sel prostat oleh enzim 5 reduktase dengan bantuan koenzim
NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen
(RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi
sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Aktivitas enzim 5-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak
pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal.
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara
estrogen:testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di
dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari
semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru
akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah
ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih
besar.
c. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel
epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui
suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis

10
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu
sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma.
d. Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel
yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel disekitarnya
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi
sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai
pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang
mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan
massa prostat.
e. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah menglami apoptosis, selalu
dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem,
yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif.
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen,
sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada
kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel
pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang beerlebihan sel stroma maupun sel epitel.
4. Manifestasi Klinis2
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS
(lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding
symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi
meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus

11
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya
terjadi retensi urine.
5. Diagnosis2,3
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan
adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International
Prostate Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan
mensahkan prostate symptom score yang telah distandarisasi.3 Analisis gejala
ini terdiri atas 7 pertanyaan yangmasing-masing memiliki nilai 0 hingga 5
dengan total maksimum 35. Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan
diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH
dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai berikut:
o Skor 0-7: bergejala ringan
o Skor 8-19: bergejala sedang
o Skor 20-35: bergejala berat.
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat
satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL)
yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban3 Colok dubur atau digital
rectal examination.
(DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH,
disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari
kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini
dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan
adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat
6. Pemeriksaan penunjang2
a. Urinalisa

BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran


kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan
miksi, di antara-nya: karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra,
pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan.4
b. Pemeriksaan fungsi ginjal

12
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada
traktus urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal
ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%.4
c. Pemeriksaan PSA (Prostate spesific antigen).
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific
tetapi bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai untuk
meramalkan perjalanan penyakit dari BPH. Pertumbuhan volume
kelenjar prostatdapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.
d. Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di
saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat
menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin, yang
merupakan tanda dari suatu retensi urin. Pemeriksaan PIV dapat
menerangkan kemungkinan adanya: (1) kelainan pada ginjal maupun
ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, (2) memperkirakan
besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi
prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter
disebelah distal yang berbentuk seperti mata kail atau hooked fish, dan
(3) penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi,
divertikel, atau sakulasi buli-buli.
Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUS, dimaksudkan
untuk mengetahui: besar atau volume kelenjar prostat, adanya
kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai guidance
(petunjuk) untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan
jumlah residual urin, dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di
dalam buli-buli. Di samping itu ultrasonografi transabdominal mampu
untuk mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal
akibat obstruksi BPH yang lama
e. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan
cara mengukur :

13
o Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin ini
dapat dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi
atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi.
o Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu
dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
7. Terapi2,4
Tidak semua pasien hiperplasi prostat perlu menjalani tindakan
medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat
sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan
nasehat dan konsultasi saja. Namun, di antara mereka akhirnya ada yang
membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena
keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1)
memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3)
mengurangi obstruksi infravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika
terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urin setelah miksi, dan
(5) mencegah progesifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara
medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang
invasif.
a. Watchfull waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor
IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan
hanya diberi penjelasan mengenai suatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan konsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau
minuman yang mengiritasi buli-buli, (3) batasi penggunaan obat-obat
influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan
pedas dan asin, serta (5) jangan menahan kencing terlalu lama.

14
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan
ditanya keluhannya apakah menjadi lebih baik, disamping itu
dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflowmetri.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1)
mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik
penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan dengan
penghambat adrenergik alfa dan (2) mengurangi volume prostat
sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5-
reduktase. Selain kedua cara tersebut, banyak terapi dengan
menggunakan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum
jelas.
c. Operasi
o Pembedahan terbuka
Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka
adalah metode dari Millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar
prostat melalui pendekatan retropubik infravesika, Freyer melalui
pendekatan suprapubik transvesika, atau transperineal.
Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih
banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien
sebagai terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui
pendekatan suprapubik transvesikal atau retropubik infravesikal.
Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka
adalah inkontinensia urin, ejakulasi retrograd, dan kontraktur leher
buli-buli. Dibandingkan dengan TURP dan BNI, penyulit yang
terjadi berupa striktura uretra dan ejakulasi retrograd lebih banyak
dijumpai pada prostatektomi terbuka.
o TURP
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan
mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan
direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang

15
dipergunakan adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan
agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang
sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril
(aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang
hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik
melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi.
Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremi relatif
atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP.
Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran
somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika
tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang
akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas
sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.
Pada hiperplasi prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada
pembesaran lobus medius, dan pada pasien yang umurnya masih
muda hanya diperlukan insisi kelenjar prostat atau TUIP
(Transurethral incision of the prostate) atau insisi leher buli-buli
atau BNI (Bladder Neck Incision). Sebelum melakukan tindakan
ini, harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat
dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan
ultrasonografi transrektal, dan pengukuran kadar PSA.
o Elektrovaporisasi prostat
Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP,
hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan
mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat
vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak
menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa mondok di
rumah sakit lebih singkat. Namun teknik ini hanya diperuntukkan
pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan
waktu operasi yang lebih lama.
o Stent

16
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk
mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat. Stent ini dipasang
intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal
verumontanum sehingga urin dapat leluasa melwati lumen uretra
prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen.
Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan
yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan.
Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi.
Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak
mungkin menjalani operasi karena risiko pembedahan yang cukup
tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra
posterior atau mengalami enkrustasi.
d. Kontrol berkala
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan
pengobatan perlu kontrol secara teratur untuk mengetahui
perkembangan penyakitnya. Jadwal kontrol tergantung pada tindakan
apa yang sudah dijalani.
Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan dianjurkan kontrol
setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah
terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor
IPSS, uroflowmetri, dan residu urin pasca miksi.
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat
6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil
akhir operasi.
Pasien yang mendapat terapi invasfi minimal harus menjalani
kontrol secara teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6
minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada pasien yang
mendapatkan terapi invasif minimal, selain dilakukan penilaian
terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan kultur urin.

B. VESIKOLITHIASIS

17
1. Definisi2,6

Vesikolithiasis adalah penyumbatan saluran kemih khususnya pada


vesika urinaria atau kandung kemih oleh batu. Batu yang terjebak di vesika
urinaria menyebabkan gelombang nyeri yang luar biasa sakitnya yang
menyebar ke paha, abdomen dan daerah genitalia.
2. Epidemiologi6
Batu saluran kemih merupakan penyakit ketiga terbanyak di bidang
urologi setelah infeksi saluran kemih dan BPH. Batu bisa terdapat di
ginjal, ureter, buli-buli maupun uretra.
Kasus batu buli-buli pada orang dewasa di Negara barat sekitar 5%.
dengan angka kejadian laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan,
terutama usia di atas 50 tahun. Hal ini berhubungan dengan bladder outlet
obstruction yang mengakibatkan retensi urin pada keadaan
3. Etiologi dan patogenesis2,6,7

Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan


gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi
dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).
Ada beberapa beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu
saluran kemih. Faktor-faktor tersebut adalah :
Faktor intrinsik meliputi:
Herediter (keturunan)
Usia: paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
Jenis kelamin yaitu jumlah laki-laki dan perempuan 3 : 1.
Faktor ekstrinsik meliputi:
Geografi
Iklim dan temperatur
Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium
pada air yang dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu saluran
kemih.
Diet: diet banyak purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih.

18
Pekerjaan: penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaanya
banyak duduk atau kurang aktivitas.
Batu buli-buli sering terjadi pada pasien yang menderita gangguan
miksi atau terdapat benda asing di buli-buli. Gangguan miksi terjadi pada
pasien-pasien hiperplasia prostat, striktura uretra, divertikel buli-buli, atau
buli-buli neurogenik. Kateter yang terpasang pada buli-buli dalam waktu
yang lama, adanya benda asing lain yang secara tidak sengaja dimasukkan
ke dalam buli-buli seringkali menjadi inti untuk terbentuknya batu buli-buli.
Selain itu batu buli-buli dapat berasal dari batu ginjal atau batu ureter yang
turun ke buli-buli.
Pembentukan batu saluran kemih memerlukan keadaan supersaturasi
dari elemen-elemen yang secara normal berada dalam air kemih. Batu ureter
seringkali berasal dari batu daerah ginjal yang bergulir ke bawah dan
tertahan di ureter, normalnya batu yang ukurannya yang tidak terlalu besar
akan didorong oleh peristaltik otot-otot pelvicalices dan turun ke ureter akan
melalui ureter menuju vesica urinaria menjadi batu ureter. Tenaga peristaltik
ureter akan mencoba mengeluarkan batu hingga turun ke buli-buli. Batu
yang ukurannya kurang dari 5 mm akan dapat keluar secara spontan
sedangkan yang lebih besar dapat mengakibatkan keradangan serta
menimbulkan obstruksi kronis berupa hidroureter dan hidronefrosis. Jika
batu disertai dengan adanya infeksi sekunder maka akan menimbulkan
urosepsis, pyonefrosis, abses ginjal, abses paranefrik, abses perinefrik,
pielonefritis, serta timbul kerusakan ginjal bahkan gagal ginjal permanen
bila sudah lanjut.
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih
terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine
(stasis urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli.
Teori pembentukan batu:
a. Teori inti (nukleus)
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik
maupun anorganik yang terlarut dalam urine. Kristal-kristal tersebut
tetap berada dalam keadaan metastable (tetap larut) dalam urin jika tidak

19
ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi
kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk
inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan
menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar
untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastable dipengaruhi oleh
suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urin, konsentrasi solut di
dalam urin, laju aliran urin dalam saluran kemih.
b. Teori matrix
Matrix organik yang berasal dari serum atau protein-protein urin
memberikan kemungkinan pengendapan kristal.
c. Teori inhibitor kristalisasi
Beberapa substansi dalam urin menghambat terjadi kristalisasi,
konsentrasi yang rendah atau absennya substansi ini memungkinkan
terjadinya kristalisasi. Ion magnesium (Mg2+) dapat menghambat
pembentukan batu karena jika berikatan dengan oksalat akan
membentuk garam magnesiun oksalat sehingga jumlah oksalat yang
akan berikatan dengan kalsium (Ca2+) membentuk kalsium oksalat
menurun.
Komposisi Batu:
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium
oksalat dan kalsium fosfat (75%), magnesium-amonium-fosfat (MAP)
15%, asam urat (7%), sistin (2%) dan lainnya (silikat, xanthin) 1%.
a. Batu Kalsium
Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium
fosfat atau campuran kedua unsur tersebut. Faktor terjadinya batu
kalsium adalah:
Hiperkalsiuri
Kadar kalsium dalam urin >250-300 mg/24 jam. Penyebab
terjadinya hiperkalsiuri antara lain:
o Hiperkalsiuri absorbtif terjadi karena adanya peningkatan
absorbsi kalsium melalui usus.

20
o Hiperkalsiuri renal terjadi karena adanya gangguan
kemampuan reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal.
o Hiperkalsiuri resorptif terjadi karena adanya peningkatan
resorpsi tulang.
Hiperoksaluri
Ekskresi oksalat urin melebihi 45 gram per hari. Keadaan
ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami gangguan pada
usus setelah menjalani pembedahan usus dan pasien yang banyak
mengkonsumsi makanan yang kaya akan oksalat, seperti: teh, kopi,
soft drink, kokoa, arbei, sayuran berwarna hijau terutama bayam
Hipositraturia
Di dalam urin, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk
kalsium sitrat sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat
atau fosfat.
Hipomagnesuria
Di dalam urin, magnesium bereaksi dengan oksalat atau
fosfat sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau
fosfat.

b. Batu Struvit (batu infeksi)


Terbentuknya batu ini karena ada infeksi saluran kemih. Kuman
penyebab infeksi ini adalah kuman golongan pemecah urea (Proteus,
Klebsiellla, Pseudomonas, Stafilokokus) yang dapat menghasilkan
enzim urease dan merubah urin menjadi suasana basa melalui
hidrolisis urea menjadi amoniak, sehingga memudahkan membentuk
batu MAP.
c. Batu Asam Urat
Penyakit batu asam urat banyak diderita oleh pasien-pasien
penyakit gout, mieloproliferatif, terapi antikanker, dll. Sumber asam
urat berasal dari diet yang mengandung purin. Faktor yang
menyebabkan terbentuknya batu asam urat adalah urin yang terlalu
asam, dehidrasi dan hiperurikosuri.

21
d. Batu Sistin, Xanthin dan Silikat
Kebanyakan terjadinya batu buli pada laki-laki usia tua didahului
oleh BPH. BPH menyebabkan penyempitan lumen uretra pars
prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urine,
buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi buli-
buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula dan divertikel buli-buli. Pada saat buli-buli berkontraksi untuk
miksi, divertikel tidak ikut berkontraksi, sehingga akan ada stasis urin
di dalam divertikel yang lama kelamaan mengalami supersaturasi dan
dapat membentuk batu
4. Manifestasi klinis
Gejala khas batu buli adalah kencing lancar tiba-tiba terhenti terasa
sakit yang menjalar ke penis bila pasien merubah posisi dapat kencing lagi.
Pada anak-anak mereka akan berguling-guling dan menarik-narik
penisnya. Kalau terjadi infeksi ditemukan tanda cyistitis, kadang-kadang
terjadi hematuria. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya nyeri tekan
suprasimpisis karena infeksi atau teraba adanya urin yang banyak
(bulging), hanya pada batu yang besar dapat diraba secara bimanual.
5. Pemeriksaan penunjang
BNO
Melihat adanya batu radio-opak di saluran kemih. Urutan radio-
opasitas beberapa jenis batu saluran kemih:

Jenis batu Radioopasitas


Kalsium Opak
MAP Semiopak
Urat/Sistin Non opak

IVP

22
Mendeteksi adanya batu semi opak ataupun batu non opak yang tidak
terlihat di BNO, menilai anatomi dan fungsi ginjal, mendeteksi
divertikel, indentasi prostat.
USG
Menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli (echoic shadow) berupa
bayangan hiperekoik dengan reflektif yang tinggi disertai gambaran
bayangan di belakang batu yang khas disebut acoustic shadow;
hidronefrosis dan pembesaran prostat.
Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin, kimia darah, urinalisa dan kultur urin.
Pemeriksaan darah rutin dan kimia klinik pada umumnya dalam batas
normal, kecuali jika terjadi infeksi maka dapat ditemukan peningkatan
leukosit, penderita yang mengalami manifestasi ke arah gagal ginjal
kronis akan menunjukkan penurunan jumlah hemoglobin, peningkatan
kadar ureum yang cukup drastis dan bersihan kreatinin abnormal.
Pada pemeriksaan urinalisa bila pH>7.6 biasanya ditemukan
kuman urea splitting yang menyebabkan batu anorganik sedangkan pH
asam menyebabkan batu organic (batu asam urat). Dapat pula ditemukan
sedimen, hematuria mikroskopik. Pemeriksaan untuk mencari sebab lain
dapat diukur ekskresi Ca, fosfor, asam urat dalam urin 24 jam.

6. Penatalaksanaan2,8,9

Batu buli-buli dapat dikeluarkan dengan cara medikamentosa,


litotripsi maupun pembedahan terbuka (open vesikolitotomi).
o Medikamentosa

Ditujukan untuk batu yang berukuran <5mm, karena diharapkan


batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan untuk
mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan pemberian diuretikum
dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran
kemih. Pemberian antibiotik saja kurang memadai karena infeksi progresi
menyebabkan sepsis urologi. Tindakan emergensi ditujukan kepada pasien

23
dengan kolik ginjal. Pasien dianjurkan untuk tirah baring dan dicari
penyebab lain. Berikan spasme analgetik atau inhibitor sintesis
prostaglandin (intravena, intramuscular, suppositoria).
o Litotripsi

Memecah batu buli-buli dengan memasukkan alat pemecah batu


(litotriptor) melalui uretra. Pecahan batu dikeluarkan dengan evakuator
Ellik. ESWL (Extra Corporeal Shockwave Lithotripsy) sebaiknya
dilakukan dalam tahapan untuk mengeluarkan semua batu, idealnya
dengan ESWL batu dapat dipecahkan menjadi bagian yang lebih kecil dari
2 mm, namun belum tentu pasca tindakan bedah semua batu akan pecah
sesuai ukuran yang dikehendaki. Selain itu, batu yang telah dipecahkan
memerlukan waktu untuk keluar. Meskipun dinyatakan bahwa ESWL
yang digunakan tidak akan merusak jaringan secara permanen, kerusakan
yang ada perlu diawasi dari segi kemungkinan terjadinya infeksi atau
kerusakan yang mungkin menimbulkan gejala sisa.
o Open Vesikolitotomi (Operasi Terbuka)
Diindikasikan pada batu dengan stone burden besar, batu keras,
kesulitan akses melalui uretra, tindakan bersamaan dengan prostatektomi
atau divertikelektomi.

24
BAB III
ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki Tuan NI berusia 63 tahun, tinggal di luar kota


Palembang, seorang guru, datang ke RSMH pada 13 Juni 2013 dengan keluhan
utama tidak dapat buang air kecil.
Kurang lebih 2 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh susah
buang air kecil (BAK). Pasien mengeluh susah untuk memulai BAK, dan
terkadang harus disertai dengan mengedan untuk BAK, pancaran kencing lemah
kadang terhenti kemudian lancar kembali. Pasien juga mengeluh sering berkali-
kali ke kamar mandi pada malam hari karena ingin BAK namun saat BAK hanya
menetes dan merasa kurang puas. BAK keluar batu tidak ada, BAK berdarah tidak
ada, demam tidak ada, nyeri pinggang tidak ada, buang air besar biasa. Pasien
tidak berobat.
Kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh
tidak bisa BAK disertai adanya rasa nyeri nyeri perut depan bagian bawah. Pasien
mengejan bila ingin BAK, namun air kencing tidak dapat keluar. Demam tidak
ada, nyeri pinggang tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada. Buang air besar

25
biasa. Pasien lalu berobat ke RSUD dan dipasang kateter, air kencing dapat
keluar, darah tidak ada. Pasien lalu dirujuk ke RSMH Palembang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang dengan
kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 82x/menit,
frekuensi pernafasan 22x/menit, dan suhu 36,5 C. Status lokalis didapatkan
bahwa pada regio genitalia eksterna terpasang kateter ukuran 16F, urin keluar,
warna kuning, darah tidak ada.. Dari rectal toucher didapatkan tonus sphincter ani
baik, mukosa licin, serta prostat teraba membesar, konsistensi kenyal, permukaan
licin, nodul tidak ada, dan nyeri tekan tidak ada.
Dari pemeriksaan penunjang, urinalisa didapatkan leukosit meningkat (30-
35/LPB). Dari foto polos abdomen didapatkan gambaran radioopak di dalam
cavum pelvis yang dicurigai sebagai batu di dalam buli-buli.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang di
atas pasien diagnosa retentio urine e.c Benign Prostatic Hyperplasia dengan
Vesokolithiasis.Diagnosis banding dari kasus ini adalah karsinoma prostat,
karsinoma buli-buli dan prostatitis akut. Karsinoma prostat dijadikan diagnosis
banding berdasarkan pada anamnesa bahwa pasien mengalami susah buang air
kecil. Pasien juga merasakan kesulitan untuk memulai BAK dan terkadang harus
mengedan untuk buang air kecil, pancaran semakin melemah dan kadang pasien
mengalami kencing tiba-tiba berhenti dan lancar kembali. Diagnosis karsinoma
prostat disingkirkan karena pada pemeriksaan rectal toucher konsistensi prostat
kenyal, berbeda dengan karsinoma prostat yang konsistensi prostatnya keras serta
dapat teraba nodul. Prostatitis akut dijadikan diagnosis banding karena
berdasarkan anamnesa pasien mengeluh dirinya sering berkali-kali ke kamar
mandi dikarenakan hasrat ingin BAK tetapi saat BAK hanya menetes dan BAK
tidak lampias. Prostatitis akut disingkirkan karena pada pasien ini tidak
mengalami demam, sakit di punggung bawah dan bagian kelamin.
Penatalaksanaan pada kasus ini yaitu dengan pro opern vesikololitotomi dan
pro TURP Prognosis quo ad vitam dubia et bonam dan quo ad functionam dubia
et bonam.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Indonesian Urological Association. 2003. Pedoman Penatalaksanaan BPH


di Indonesia. Diunduh dari www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf
2. Purnom ,BB. 2009. Dasar-dasar urologi. Edisi ke-2. Jakarta: CV. Sagung
Seto.
3. AUA practice guidelines committee. 2003. AUA guideline on
management of benign prostatic hyperplasia. Chapter 1: diagnosis and
treatment recommendations. J Urol 170: 530-547, 2003
4. Kirby. Management of benign prostatic hyperplasia (BPH) in a primary
care setting. Diunduh dari: www.urohealth.org/
5. Amalia, Rizki. 2007. Faktor-Faktor Risiko Terjadimya Pembesaran Prostat
Jinak. Universitas Diponegoro.
6. Tanagho, Emil et al. Smiths General Urology, sixteen edition. New York:
McGraw Hill Publising Company.
7. University of California. Urinary Stone disease. 2006. Diunduh dari:
http://urology.ucsf.edu.
8. McLatchie, Greg; Borley, Neil; Chikwe, Joanna. Oxford Handbook of
Clinical Surgery, 3rd edition. Oxford University Press. 2007.
9. Urolithiasis ,Ureteral Calculus.2007. Diunduh dari:
http://www.learningradiology.com

27

Anda mungkin juga menyukai