Anda di halaman 1dari 6

Dimanakah Posisi Ahok Dalam Literasi Pemikiran Politik Barat?

Konsepsi negara ideal tentunya menjadi hal yang urgent untuk dibahas dewasa ini,
mengingat seringkali terjadi kekisruhan diantara para pejabat publik. Bahkan tidak
tanggung-tanggung keambiguan tatanan kebijakan yang terus dipertontonkan semakin
memberikan tanya terhadap kita, apakah konsepsi tatanan pemerintahan yang ada telah
ideal atau tidak. Ketelitian dan kejelian akan hal ini tentulah menjadi tuntutan terbesar
dikarenakan berdampak pada keberjalanan kehidupan, mengarahkan dan
memberlangsungkan orientasi kehidupan bahkan sampai membangun visi masa depan
dalam kehidupan bermasyarakat. Jika hal ini diabaikan tentulah kasus-kasus yang
melibatkan pejabat publik akan tertutupi oleh kesimpang-siuran dan ketidakjelasan
realitas negara, boleh jadi aktor politik tertentu dapat memanfaatkan ini untuk
memutarbalikan fakta bahkan teori meski diakui secara luas sumber literasi tersebut
keabsahannya.
Ahok yang telah mencedrai komunitas Muslim di Indonesia dengan ucapan hinaannya
telah menunjukan fenomena hukum yang menggiring publik untuk bertanya, dimanakah
penegakan hukum itu? Idealkah jika publik dipertontonkan dengan penindakan
semacam itu (penindakan yang lamban) yang disisi lain publik seringkali diberikan
tontonan penindakan hukum yang berlainan, memberikan fakta dalam
mengkomparasikan satu dengan yang lainnya untuk dideskripsikan oleh publik.
Pertanyaan ini tentu saja mempersoalkan konsepsi negara Ideal itu, sehingga bagaimana
wujud NKRI dalam konteks keidealannya? Dimanakah fenomena Ahok dan Penistaan
Al-Quran itu diposisikan dalam struktur konsepsi tatanan negara yang ada dengan
merujuk pada penuhanan literatur barat itu?
Merujuk pada tokoh filusuf yang mahsyur, Plato merumuskan cita-cita keluhuran dari
model negara yang dianggap ideal ini, hingga cita-cita plato terus dilanjutkan oleh
Aristoteles. Menurutnya, negara ideal, negara adil, negara berkeadilan adalah
pemerintahan yang diatur oleh Hukum dimana aktivitas memerintah tidaklah didasari
oleh manusia namun keadilan fikiran manusia. tampaknya, menurut Aristoteles pikiran
adil akan menggerakan manusia menjadi adil sehingga memerintah dengan keadilan.
Hal tersebut terjelaskan ketika mengharuskan bahwa fikiran yang adil berangkat dari
pelatihan-pelatihan atau pendidikan manusia yang mengedepankan kesusilaan, kesopan-
santunan. Namun persoalannya, apakah kesusilaan menjadi pihak pemicu akan
keteradilan tersebut? Padahal dalam lingkup lingkungan tertentu boleh jadi corak
kesusilaan itu beragam, bahkan dalam cakupan yang global. Kesusilaan akan bersandar
langsung kepada sebuah kebiasaan yang mengadat-istiadakannya sehingga menjadi
budaya ditengah-tengah masyarakat. Jika realitasnya demikian, dengan pasti kesusilaan
akan menjadi subjektif atau subjektivitas kelompok atau komunitas tertentu. Ia akan
dipandang baik berdasarkan komunitas tertentu. Betapa ironi kesusilaan yang menjadi
landasan tegaknya keadilan harus menyempit pada komunitas tertentu sehingga
mengadili berbagai komunitas.
Penjelasan tersebut, memang dilihat dari arah sandaran kesusilaan yang tidak terlepas
dari pembiasaan umum dalam masyarakat. Akan tetapi secara teoritis, tampaknya
anggapan ini benar. Negara ideal yang dimana Aristoteles mengedepankan hukum, atau
dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rechtsstaat) adalah implikasi dari hegemoni
borjuis yang berkolaborasi terhadap kepentingan Raja. Dimana kemunculannya terjadi
era Louse XIV, Prancis. Konsepsi negara hukum adalah bentuk pembangkangan
terhadap konsep negara polis yang mencoba menegakan keadilan dan kesejahteraan
dimana memandang bahwa negara hadir dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakatnya. Akan tetapi, komunitas borjuasi ini telah merampas dan mengendalikan
negara demi kepentingan kelompoknya, termasuk Raja justru tunduk terhadap mereka.
Alhasil, negara Hukum menjadi jawaban agar menghilangkan kesewenang-wenagan
borjuis monarki ini. Sebagai penggantinya adalah gagasan kebebasan individual
menjadi hal yang dikedepankan. Bahkan sesuatu yang harus dijamin ditandai dengan
adanya HAM. Atas dasar ini, Negara Hukum hadir untuk menjadim kebebasan
individual yakni menjamin HAM yang berangkat dari falsafah bahwa pembebasan
manusia untuk bertingkahlaku sebebas-bebasnya akan mengembalikan dirinya kepada
fitrah semula yang bersih.
Konsekwensi akan rumusan ini menghasilkan dua teori baru akan tetapi hakikatnya
sama. Pertama, konsep Civil Law dimana keadilan merujuk aturan tertulis. Sehingga
keputusan dan memperadilkan suatu perkara mesti merujuk kepada hukum tertulis.
Persoalannya adalah, dari manakah hadirnya hukum tertulis itu? Tentu saja dengan
penjaminan terhadap HAM, hukum tertulis harus berangkat dari kebiasaan-kebiasaan
masyarakat dan menjadi kesepakatan diantara mereka. Kedua, Common Law,
hakikatnya memiliki kesamaan yakni bersumber atas realita masyarakat, rakyat lah yang
dijadikan rujukan atas hadirnya aturan. Namun, dalam Common Law bicara keadilan
tidak merujuk pada sesuatu yang tertulis namun keputusan Hakim yang meberikan
keadilan untuk disesuaikan dengan sanubari masyarakat yang berkembang, atau
sebuah pandangan publik yang disepakati serentak. Keduanya berbeda dalam konteks
langsung dan tidak langsung dalam merujuk masyarakat sebagai lahirnya aturan, akan
tetapi dilihat dari penjaminan akan kebebasan individual, tampak persamaan yang
memang sama. Akhirnya, benang merah penjaminan HAM telah mengamini bahwa
kesusilaan sebagai faktor keadilan tampak bersandar pada kebiasaan masyarakat, sistem
pandangan publik yang rumit akan tetapi telah menjadi sandaran bagi keadilan.
Dalam poin kedua inilah NKRI berdalih sebagai negara hukum yang bertipe Common
Law, walaupun demikian, hal tersebut tidak pernah melepaskan keadilan dari kebiasaan
rakyat yang secara umum membentuk corak tertentu. Realitas ini telah menafikan
anggapan bahwa keadilan yang adil adalah karena substansi keadilan. Anggapan
demikain keliru, karena hakikatnya keadilan bersandar terhadap sesuatu, dalam konteks
inilah pandangan publik menjadi sandaran akan keadilan itu. Namun demikian,
pandangan publik tersebut berdiri diatas falsafah kebebasan individual yang meluaskan
batasan yang harusnya dibatasi, yakni relasi antar manusia yang mesti berjalan ideal.
Jika kebebasan individual berlangsung, konsekwensinya adalah kebebasan saling
memanfaatkan dan relasi manusia akan menimbulkan kekacauan dan pandangan publik
terus mengarah kepada arah konservatif, akhirnya akan menemukan individualisme
ekstrim dan bagi kalangan berkeadaan, hal ini akan memunculkan dominasi tertentu.
Walaupun demikian, dalam koridor teoritis, legitimasi akan sebuah segenap suara,
pandangan publik itu tidak pernah terwujud, namun yang terwujud adalah pandangan
mayoritas publik untuk menjadi pijakan bagi keadilan. Jika itu yang terjadi, tentulah
akan ada kesewenang-wenangan dominasi mayoritas terhadap minoritas, ini bukanlah
bentuk keadilan akan tetapi bentuk perbudakan. Inilah keadilan yang justru
tidakberkeadilan.
Penistaan Al-Quran yang dilakukan oleh Ahok mendapatkan posisinya dalam konteks
teoritis barat ini. Bahkan tuduhan akan penistaan ini tidak keluar dari rumusan teori ini,
bahkan terjaring, terpenjara didalamnya. Hal ini dapat dilihat akan sebuah justifikasi
Nista atau Penistaan yang berada dibawah naungan dominasi yang memaksa.
Penistaan masih dalam payung ketidakadilan sehingga menjebak siapa saja yang hendak
membela atas dasar penistaan dari perspektif ketidakadilan ini. Perspektif ketidakadilan
ini telah menjadi pandangan publik yang mengurung memungkinkan Pembela Al-
Quran untuk menuntut Ahok berdasarkan penistaan ini. Alhasil, wajarlah untuk
mengadili penistaan ini terarah, terbajak oleh realita yang ada yakni dengan menjadikan
ketidakadilan (Hukum Positif) untuk mengadili penista Al-Quran, Ahok. Walaupun
dalam konteks penjaminan akan HAM dan standar mayoritas justru bertolak belakang
dalam menunjang keadilan itu. Dalam konteks penjaminan HAM, person tertentulah
yang akan dominan. Dalam konteks standar mayoritas, mayoritaslah yang dominan.
Dalam konteks standar mayoritas, inipun sangat dungu dan tidak mampu memunculkan
keadilan yang menjadi sandaran bagi Hukum. Hegemoni parlemen justru merampas
mayoritas ini untuk memposisikan keadilan kepada kaum minoritas yakni Ras
Parlemen. Dengan sokongan penjaminan HAM yang menjamin kebebasan individual,
individu yang bermodal akan sewenang-wenang membeli parlemen ini, membayarnya
dan membangun relasi materialistik diantara mereka, akhirnya parlemen menjadi
mengerucut dan menempatkan pihak individu bermodal ini atau dapat dikatakan sebagai
kapital memiliki kewenangan yang luar biasa berdaulat. Singkatnya, keadilan menjadi
tegak diatas satu orang ini. Dan Ahok mesti diadili diatas payung keadilan yang tegak
diatas orang tertentu. Namun, apa jadinya jika Ahok didukung oleh orang tertentu itu
yang menjadi pijakan akan keadilan? Maka, posisi Ahok kebal hukum!
Dari paparan itu, dapat semakin jelas, bahwa Agama (Islam) tidak mendapatkan posisi
termuliakan, bahkan penganutnya tidak ada kewibawaan sedikitpun, terlebih ia
mengharap kedudukan, keadilan, kemuliaan, kewibawaan justru disodorkan dihadapan
sebuah entitas hukum yang berangkat dari ketidakadilan. Bagaimana mungkin? Maka,
harapan untuk mendapatkan kemuliaan dihadapan Rechtsstaat atau Negara Hukum,
apakah berbasis pada Civil Law maupun Common Law, semuanya tidak memberikan
kedudukan dan kemuliaan yang absolut. Justru yang terjadi adalah kemuliaan yang
hanya diakui oleh satu pihak, tidak secara representatif memposisikan kemuliaan secara
absolut. Atas dasar itulah, perlu kiranya memahami substansi realitas negara Ideal
dengan benar tanpa terkooptasi dengan literasi yang rusak itu.
Menyoal realitas negara Ideal tentu hadirnya negara adalah sebagai representasi
segmentasi masyarakat. Yang seruan memerintahnya adalah seruan kehendak
komunitas masyarakat tertentu yang dianggap sebagai segmentasi yang benar. Hal ini
berlaku pada negara manapun. Namun demikian, seruan kehendak ini mustahil dengan
memposisikannya sebagai rujukan kedaulatan sebagaimana yang terjadi pada teori
demokrasi dimana realitasnya tidak ada kedaulatan ditangan rakyat. hal tersebut
dikarenakan penyatuan kehendak itu tidak mungkin karena perbedaan faktor keinginan
individual, yang terjadi hanyalah kompromi bukan keselarasan kehendak yang sama
adilnya. Alhasil, kehendak segmentasi masyarakat ini ayng direpresentasikan oleh
negara harus berangkat dari pihak tertentu, pihak yang dianggap sebagai sumber
kesempurnaan dan kebenaran secara rasional. Pihak itulah yang menjadi asas segenap
realitas kehidupan ini sehingga tidak terbantahkan lagi kebenarannya. Itulah Pencipta
(Allah SWT) yang mendapatkan kedudukan untuk dimaharajakan sebagai penentu akan
kebolehan dan ketidakbolehan, baik buruk maupun terpuji dan tercela.
Akhirnya, Negara hadir merepresentasikan kehendak komunitas ini dimana kehendak
ini menyatu pada satu pihak yang dianggap dan terbukti kebenarannya. Dalam konteks
inilah komunitas Muslim memiliki tempatnya sebagai komunitas yang bersandar pada
puhak itu, Pencipta itu, Allah SWT. Pijakan itu telah terejawantahkan dalam Al-Quran
sebagai bagian integral dari seruan yang disampaikan olehAllah SWT kepada umat
manusia akan kebolehan dan ketidakbolehan dalam berbuat, melakukan maupun
penentuan hukum atas apa-apa yang digunakan dalam perbuatan itu. Maka, pihak inilah
telah mendaatkan posisi berdaulat. Menjadi sandaran bagi negara dan rakyat yang saling
mengikat dalam ikatan keterwakilan dan penyandarannya kepada aturan Allah SWT.
Posisi Al-Quran mendapatkan kedudukan yang tinggi, dikarenakan Al-Quran adalah
seruan dari pencipta terhadap manusia baik perintah dan larangan. Akhirnya, keadilan
mendapatkan tempat dihadapan manusia bilamana berangkat dari luar manusia dan
bersumber, bersandar kepada hukum Allah SWT ini. Paparan ini menjadi jawaban dan
menafikan negara rechtsstaat yang sewenang-wenang mengadili sebuah keadilan.
Mengadili Al-Quran dengan ketidakadilan. Menempatkan realitas sandaran kedaulatan
dibawah ketikan kehendak individual manusia. betapa LANCANG-nya manusia dan
seabrek sistemnya itu!
Penggambaran negara ideal ini telah memahamkan kepada kita semua bahwa Penistaan
yang hakiki adalah kenistaan yang terjadi bilamana membangkang kepada sumber
kedaulatan itu, membangkan kepada perintah Allah SWT itu. Alhasil, manusia akan
terhina bilamana dikehendaki oleh sebuah pembangkangan. Dalam konteks ini, Surah
Al-Maidah 51 telah menjawabnya akan larangan seorang Muslim untuk dikehendaki
oleh seorang kafir. Artinya, seorang Muslim akan terhina dengan mengikuti kehendak
kafir dimana kafir tidak sama sekali mengikuti arahan Pencipta, namun melakukan
pembangkangan terhadapnya. Wujud pembangkangan itulah telah merendahkan
kedudukan manusia dihadapan Pencipta itu sendiri. Artinya, penghinaan yang hakiki
adalah ketika dikehendaki oleh sebuah kekufuran, bilamana arah hidup manusia
diarahkan oleh sebuah kekufuran, pembangkangan terhadap arahan Pencipta. Apalagi
dalam konteks kepemimpinan ini, Demokrasi yang tidak berkeadilan dan memutus lajur
hubungan manusia dengan Pencipta telah lancang menurunkan kekufuran berupa
kebijakan-kebijakan yang tidak berdasar pada Al-Quran justru lahir dari kesewenang-
wenagnan individual yang dominan semata untuk dipaksakan terhadap komunitas
Muslim sebagai panduan, jalan, metodologi dalam memberlangsungkan kehidupannya,
mengorientasikan arah hidupnya. Maka, dalam konteks inilah hantaman keras bukan
hanya semata-mata pada Ahok, akan tetapi hantaman keraspun sepantasnya dilayangkan
kepada sistem demokrasi yang telah mengobrak-abril komunitas yang jernih dan benar,
yakni komunitas Muslim. Sebagaimana apa yang tertuang dalam Surah Al-Maidah 49
dan 50 bahwa manusia dilarang berhukum kepada hukum selain Allah SWT

Anda mungkin juga menyukai