Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Tingkat keparahan cedera kepala
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun
1974. Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu suatu skala untuk menilai secara
kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada
3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara
(verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).
Glasgow Coma Scale (GCS) yang dimaksud adalah :
a. Membuka mata (Eye Open) Nilai
Membuka mata spontan 4
Membuka mata terhadap perintah 3
Membuka mata terhadap nyeri 2
Tidak membuka mata 1

b. Respon Verbal (Verbal Response)


Orientasi baik dan mampu berkomunikasi 5
Bingung (mampu membentuk kalimat, tetapi arti keseluruhan kacau) 4
Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat 3
Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang (groaning) 2
Tidak ada suara 1
c. Respon motorik (Motoric Response)
Menurut perintah 6
Mengetahui lokasi nyeri 5
Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak 4
Menjauhi rangsangan nyeri (flexion) 3
Ekstensi spontan 2
Tidak ada gerakan 1

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan


menjadi:
a. Cedera kepala ringan, bila GCS 13-15
b. Cedera kepala sedang, bila GCS 10-12
c. Cedera kepala berat, bila GCS 3-9

B. Etiologi
a. Mekanisme Terjadinya Kecederaan Kepala
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti
translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala
bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat
searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan
(akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba
dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala
tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat
gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di
bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).
b. Penyebab Trauma Kepala
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala
adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%,
karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan
sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama
trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah
penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1
per100.000 populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab
utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:
1) Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor
bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya
(IRTAD, 1995).
2) Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur
ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di
gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.
3) Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau
orang lain (secara paksaan).

C. Macam-macam cedera kepala


Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
1. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau
luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa
dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang
tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai
durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan,
cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses
langsung ke otak.
2. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,
kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera
kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, dan
laserasi.
Ada juga yang mengklasifikasikan cedera kepala berdasarkan tingkat
keparahannya dihitung dari nilai GCSnya seperti cedera kepala ringan,
berat dan sedang yang telah dibahas pada bagian definisi.

D. Manifestasi klinis
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os
mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;


a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.

Tanda-tanda atau gejala cedera kepala sedang


a) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
hahkan koma.
b) Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;


a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau
posisi abnormal ekstrimitas.

E. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegan peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekwensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepata
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera periambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek
yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan
ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba tiba
tanpa kontak langsung seperti yang terjadi bila posisi badan berubah secara kasar
adan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala
yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alaba dan batang
orak. Cedera primer yang terjadi pada waktu benturan pada waktu benturan,
mungkin karena memar pada permukaan otak. Landasan substansi alba, cerdera
robekan atau hemoragi sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi dikurangi atau tidak ada pada area cedera.
Konsekwensinya meliputi: hiperemia (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler serta vasodilatasi, semua menimbulkan
peningkatan isi intra kronial dan akhirnya peningkatan tekanan intra kranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi
hipoksia dan hipotensi.
Bennarelli dan kawan kawan memperkenalkan cedera fokal dan
menyebar sebagai katergori cedera kepala berat pada upaya untuk menggunakan
hasil dengan lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan lokal yang
meliputi kontusio serebral dan hematom intra serebral serta kerusakan otak
sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia.
Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara
luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu : cedera akson menyebar hemoragi kecil
multiple pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena
kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral,
batang otak atau dua duanya, situasi yang terjadi pada hampir 50 % pasien yang
mengalami cedera kepala berat bukan karena peluru.
Akibat dari trauma otak ini akan bergantung :
1. Kekuatan benturan
Makin besar kekuatan makin parah kerusakan, bila kekautan itu diteruskan
pada substansi otak, maka akan terjadi kerusakan sepanjang jalan yang
dilewati karena jaringan lunak menjadi sasaran kekuatan itu.
2. Akselerasi dan deselerasi
Akselerasi adalah benda bergerak mengenai kepala yang diam.
Deselerasi adalah kepala membentur benda yang diam
Keduanya mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala
tiba tiba tanpa kontak langsung. Kekuatan ini menyebabkan isi dalam
tengkorak yang keras bergerak dan otak akan membentur permukaan
dalam tengkorak pada otak yang berlawanan.
3. Kup dan kontra kup
Cedera cup mengakibatkan kebanyakan kerusakan yang relatif dekat
daerah yang terbentur, sedangkan kerusakan cedera kontra cup
berlawanan pada sisi desakan benturan.
4. Lokasi benturan
Bagian otak yang paling besar kemungkinannya menderita cedera kepala
terbesar adalah bagian anterior dari lobus frantalis dan temporalis, bagian
posterior lobus aksipitalis dan bagian atas mesensefalon.

F. Komplikasi
Kerusakan jangka panjang atau komplikasi yang dapat terjadi
1. Kerusakan saraf cranial
a) Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan
yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia.
Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
b) Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera
(trauma). Biasanya disertai hematoma di sekitar mata, proptosis akibat
adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa
penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative,
atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang
mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan
bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.
c) Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada
pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan
latihan ortoptik dini.
d) Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan
pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut
moncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
e) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo
dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula dan
saraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu organ
tersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.

2. Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami
atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat.
Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya
juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang
spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.
3. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)
merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks,
subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala
adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
4. Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan
kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera
kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah
tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah,
sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual.
5. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu
pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul
lebih dari satu minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada
umumnya muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang
mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.

G. Pemeriksaan diagnostik
Untuk menunjang pemeriksaan dilakukan seperti:
1. CT-scan (dengan tanpa kontras), menunjukkan kontusio, hematoma edema
serebral
2. EEG secara berkala
3. Foto rontgen, mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema) dan fragmen tulang
4. PET, mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
5. Pemeriksaan CFS lumbal pungsi: dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subaraknoid
6. Kadar elektrolit untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan TIK
7. Skrinning toksikologi untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran
8. Analisa gas darah, untuk menentukan status respirasi, status oksigenasi
dan status asam basa.

H. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya
yang dilakukan yaitu :
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya
kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang
menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk
pengaman, dan memakai helm.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang
terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu:
a) Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan
pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan
tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari
masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway
disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang
tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan
mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi
untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya
benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal
lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke
dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang
mengancam airway.
b) Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatan adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam
mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat
menimbulkan kematian.
c) Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat
yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat
dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan
pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian
transfusi darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita
kehilangan banyak darah.
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi
yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala
akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan
memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta
memberikan dukungan psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi
psikologis dan sosial.
a) Rehabilitasi Fisik
i. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif
pada lengan atas dan bawah tubuh.
ii. Perlengkapan splint dan kaliper
iii. Transplantasi tendon
b) Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima
ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan dan rencana
masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga
diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang
semuanya memerlukan semangat hidup.
c) Rehabilitasi Sosial
i. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,
perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur
sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang
lain.
ii. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan
masyarakat).

I. Penatalaksanaan
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik. Pemberian diusahakan penggunaan asetaminofen,
dan dihindarkan penggunaan ibuprofen dan aspirin karena kedua obat
tersebut dapat menyebabkan perdarahan.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole. Makanan atau caioran infus
dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
6. Pembedahan.
J. Rencana Asuhan Keperawatan
No Data Penyebab Masalah

1. DS : - Cedera otak, Penurunan


DO : Peningkatan TIK penurunan perfusi Kapasitas Adaptip
Penurunan perfusi otak Serebral, Intrakranial
penurunan tekanan
perfusi serebral,
dan penikatan TIK

2. DS: Ada darah keluar dari Dengan faktor Resiko Infeksi


kepala, hidung dan telinga resiko trauma
DO: -

No. Diagnosa Tujuan ( NOC ) RencanaKeperawatan ( NIC )


Dx
1. Penurunan Setelah dilakukan tindakan 1) Peningkatan perfusi
Kapasitas keperawatan selama 2 x 24 jam serebral : peningkatan
Adaptip kepada pasien dengan label keadekuatan perfusi dan
Intrakrania NOC : keterbatasan komplikasi bagi
l Status neurologis : seorang pasien yang
tingkat saat system saraf perifer mengalami atau berada pada
dan system saraf sentral resiko ketidakadekuatan
menerima, memproses dan perfusi serebral
merespons stimulus internal dan 2) Memantau tekanan
eksternal. intracranial (TIK) :
Status neurologis : pengukuran dan interpretasi
tingkat saat system saraf perifer data pasien untuk mengatur
dan system saraf sentral tekanan inttrakranial
menerima, memproses dan 3) Memantau neurologis :
merespons stimulus internal dan pengumpulan dan analisis
eksternal. data pasien untuk mencegah
Status neurologis kesadaran : atau meminimalkan
tingkat saat individu menyadari, komplikasi neurologis.
berorientasi dan sadar terhadap
lingkungan.

Kriteria Hasil :
1) Menunjukan peningkatan
kapasitas adaptif
intracranial yang ditunjukan
dengan keseimbangan
elektrolit dan asam-basa,
keseimbangan cairan, status
neurologis, status
neurologis kesadaran.
2) Menunjukan status
neurologis ditandai dengan
indicator gangguan sebagai
berikut (dengan ketentuan
1-5 : ekstrem, berat, sedang,
ringan, atau tidak ada
tanggapan) :
a. Ukuran dan reaktivitas
pupil
b. Aktivitas kejang tidak
ada
c. Sakit kepala tidak ada
d. Pola nafas
e. Status neurologis :
kesadaran
f. Status neurologis :
fungsi sensori/motor
dari cranial
g. Status neurologis :
autonomis
3) Tekanan perfusi cerebral
akan menjadi 70 mmHg
(pada orang dewasa)
4) Tekanan intracranial akan
stabil dengan sebanyak
empat episode atau kurang,
bentuk gelombang tidak
normal dalam 24 jam.
2. Resiko Setelah dilakukan tindakan Berikan perawatan aseptik dan
Infeksi keperawatan selama 1 x 24 jam
antiseptik. Pertahankan teknik
kepada pasien diharapkan :
cuci tangan yang baik.
Pasien Mempertahankan
normotermia Rasional :
bebas tanda-tanda infeksi. Cara pertama untuk menghindari

terjadinya infeksi nosokomial.

Pantau suhu tubuh secara

teratur, catat adanya demam

menggigil, diaforesis, dan

perubahan fungsi mental

Rasional :

Dapat mengindikasikan

perkembangan sepsis yang

selanjutnya memerlukan evaluasi

atau tindakan segera.


Observasi daerah kulit yang

mengalami kerusakan (seperti

luka garis jahitan daerah alat

yang dipasang invasi (terpasang

infus dan sebagainya)

Rasional :

Deteksi dini perkembangan

infeksi memungkinkan untuk

melakukan tindakan dengan

segera dan pencegahan terhadap

komplikasi selanjutnya.

4)

Berikan perawatan perineal.

Rasional :

Menurunkan kemungkinan

terjadinya pertumbuhan bakteri/

infeksi yang merambah naik.

5)

Kolaborasi berikan antibiotik

sesuai indikasi

Rasional :
Therapy profilaktik dapat

digunakan untuk pasien

mengalami trauma (perlukaan),

kebocoran CSS atau setelah

dilakukan pembedahan untuk

menurunkan resiko terjadinya

infeksi nosokomial.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma kepala telah didefinisikan sebagai kerusakan jaringan di kepala yang
diakibatkan oleh benturan kesobekan pada kulit kepala. Dan dari jenisnya dapat
dilihat bahwa trauma kepala dapat bersifat ringan, sedang maupun berat, hal ini
dapat dilihat dari jenis benturan yang terjadi misalnya pada waktu terjadi
kecelakaan klien terbentur dan dapat mengakibatkan luka dalam pada tulang
tengkorak otak, hal ini dapat beresiko terjadinya trauma kepala berat namun kita
tidak bisa mendefinisikan hal tersebut sebagai trauma berat apabila sebelum
adanya diagnosa medis dari dokter terkait.

B. Saran
Adapun saran dari kelompok kami setelah menyelesaikan makalah ini
adalah agar dapat memudahkan dalam hal memahami dan mengetahui
bagaimana saja konsep dasar (definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
penatalaksanaan, kompliksi, pencegahan, pemeriksaan diagnostic dan asuhan
keperawatan) berhubungan dengan neuropsikiatri yaitu Cedera Kepala. Dan
dengan adanya makalah ini agar memudahkan tenaga profesional keperawatan
khususnya mahasiswa dapat melakukan penelitian kedepannya mengenai Cedera
Kepala, baik dari segi penaganan pertama maupun hal lainnya dan penelitian
lain terkait dengan pembahasan ini. Dan dapat memberikan asuhan keperawatan
secara professional kepada masyarakat nantinya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah
XI Traumatologi , Surabaya.

Brunner. Suddarth. 2000. Buku Saku: Keperawatan Medika Bedah. Jakarta: EGC.

Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC.
Jakarta.

Eliastam, Michael. Geroge L.S. Michael J.B. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis.
Jakarta: EGC.

Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Surabaya: Erlangga.

Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta:
EGC; 1996.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguaan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.B. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:


EGC.

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
EGC, Jakarta.

Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3.
Jakarta: EGC; 1999.

Anda mungkin juga menyukai