Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN SKENARIO 3 BLOK 14 SEMESTER V

SPECIAL SENSE

KELOMPOK 9
KETUA : AGUSTIN PETER JHONATAN P. TAFONAO
SEKRETARIS : DIWIL H. HALAWA

ANGGOTA : AFLIANA WAHYUNI


BEDODOU FIDEL FAU
DARA MAULIADI PUTRI
DEBBY HELDAYANI
DEWI PANDIANGAN
ROYALI ALFINDO
DIAN FARISA
DJONES VAN E. DACHI
DINA LESFITA LIE
RICHARD GUNAWAN
DITRA KONEKSI WAOMA
DENIRIAWATI DACHI
JENNY DACHI

DOSEN TUTORIAL

Dr. Juliana Lina, Sp.PA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada tutor dan dosen-dosen yang
telah membimbing dan mengarahkan kami dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis juga
berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah bekerja sama membantu menyusun makalah
ini.
Makalah ini disusun sebagai laporan diskusi skenario 3 mengenai Rhinitis
Allergic. Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai definisi, klasifikasi dan
penatalaksanaan Rhinitis Allergic.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.Untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih.

HORMAT KAMI

KELOMPOK 9

i|Page
Blok XIII : Special Sense
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

BABII DATA PELAKSANAAN PLENO ..........................................................................2

BAB III PEMBAHASAN SKENARIO...............................................................................3

BAB IV KAJIAN TEORI ....................................................................................................6

I. Anatomi Rhinitis Allergic...................................................................................... 6


II. Fisiologi Rhinitis Allergic ..................................................................................... 6
III. Defenisi Rhinitis Allergic ...................................................................................... 7
IV. Epidemiologi Masa Nifas ...................................................................................... 7
V. Etiologi Masa Nifas ............................................................................................. 12
VI. Klasifikasi Rhinitis Allergic ................................................................................17
VII. Faktor Resiko Rhinitis Allergic ...........................................................................20
VIII. Patofisiologi Rhinitis Allergic .............................................................................21
IX. Gejala Klinis Rhinitis Allergic ............................................................................41
X. Diagnosa Rhinitis Allergic ..................................................................................41
XI. Penatalaksanaan Rhinitis Allergic .......................................................................44
XII. Pencegahan Rhinitis Allergic ..............................................................................44
XIII. Komplikasi Rhinitis Allergic ...............................................................................44
XIV. Prognosis Rhinitis Allergic ..................................................................................44

BAB.V KESIMPULAN AKHIR .......................................................................................47

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................48

ii | P a g e
Blok XIII : Special Sense
BAB II

DATA PELAKSANAAN TUTORIAL

I. JUDUL BLOK
Special Sense
II. NAMA TUTOR
Dr. Juliana Lina
III. DATA PELAKSANAAN TUTORIAL
TUTORIAL 1
TANGGAL : 19 Januari 2015
WAKTU : 13.30 14.30 WIB
TEMPAT : Ruang Tutorial
TUTORIAL 2
TANGGAL : 22 Januari 2015
WAKTU : 13.30 14.30 WIB
TEMPAT : Ruang Tutorial
PLENO
TANGGAL : 26 Januari 2015
WAKTU : 09.00 10.20 WIB
TEMPAT : Ruang Kelas Semester IV

3|Page
Blok XIII : Special Sense
BAB III
PEMBAHASAN

Skenario 5

Seorang laki-laki 10 tahun datang ke poli THT RSU muhamadyah dengan keluhan
hidung tersumbat, hal ini dialami sejak umur 5 tahun, bersin-brsin dijumpai lebih dari 5x/x
bersin setiap pagi hari bangun tidur, hidung beringus, cairan ingus encer dan bening, hidung
gatal, mata terasa gatal. Kadang-kadang hal ini jua dijumpaiibu OS menyapu karpet rumah.
Hal ini terjadi 3x dalam seminggu dan dalam sebulan terjadi 1-2 minggu. Hasil pemeriksaan
rinoscopy anterior tampak mukosa kavum nasi dan konka inferior pucat kebiruan, konka
inferior oedema, kavum nasi sempit, septum nasi tidak ada deviasi. More info : allergic
shinner (+) allergic sallute (+)

Apa yang terjadi pada anak tersebut ???

1. KLASIFIKASI ISTILAH
1. Rinoskopi anterior = pemeriksaan hidung bagian depan memakai septum hidung
2. Mukosa kavum nasi = Lapisan hidung bagian dalam
3. Allergic Shinner = Bengkak dan berwarna biru kegelapan pada kulit dibawah mata
4. Allergic Sallute = Perilaku yang suka menggosok-gosok hidungnya akibat rasa gatal

2. PENETAPAN MASALAH
1. Seorang laki-laki 10 tahun datang ke poli THT RSU muhamadyah dengan keluhan
hidung tersumbat, hal ini dialami sejak umur 5 tahun, bersin-brsin dijumpai lebih dari
5x/x bersin setiap pagi hari bangun tidur, hidung beringus, cairan ingus encer dan
bening, hidung gatal, mata terasa gatal.
2. Hasil pemeriksaan rinoscopy anterior tampak mukosa kavum nasi dan konka inferior
pucat kebiruan, konka inferior oedema, kavum nasi sempit, septum nasi tidak ada
deviasi. More info : allergic shinner (+) allergic sallute (+)
3. Kadang-kadang hal ini jua dijumpaiibu OS menyapu karpet rumah.
3. ANALISA MASALAH
1. Adanya Alergi
- Peradangan Mukosa hidung

4|Page
Blok XIII : Special Sense
2. Adanya Tanda inflamasi

4. KESIMPULAN SEMENTARA
laki-laki 10 tahun, Mengalami Rhinitis Allergic

5. LEARNING OBJECTIVE
5.1. Anatomi Rhinitis Allergic
5.2. Fisiologi Rhinitis Allergic
5.3. Defenisi Rhinitis Allergic
5.4. Epidemiologi Masa Nifas
5.5. Etiologi Masa Nifas
5.6. Klasifikasi Rhinitis Allergic
5.7. Faktor Resiko Rhinitis Allergic
5.8. Patofisiologi Rhinitis Allergic
5.9. Gejala Klinis Rhinitis Allergic
5.10. Diagnosa Rhinitis Allergic
5.11. Penatalaksanaan Rhinitis Allergic
5.12. Pencegahan Rhinitis Allergic
5.13. Komplikasi Rhinitis Allergic
5.14. Prognosis Rhinitis Allergic

5|Page
Blok XIII : Special Sense
BAB IV
KAJIAN TEORI

5.1. ANATOMI HIDUNG

6|Page
Blok XIII : Special Sense
7|Page
Blok XIII : Special Sense
8|Page
Blok XIII : Special Sense
9|Page
Blok XIII : Special Sense
10 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
11 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
12 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
13 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
5.3. DEFINISI RINITIS ALERGI

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

5.4. ETIOLOGI RINITIS ALERGI

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi


genetik dalam perkembangan penyakitnya.Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997).Penyebab rinitis
alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak.
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang
menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis
alergi perenial(sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies
utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus,
jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk
terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi,
dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko
untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat
adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma
yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994) Berdasarkan cara
masuknya allergen dibagi atas:

Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur,coklat, ikan dan udang

14 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,
misalnya penisilin atau sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan(Kaplan, 2003).

5.5. FAKTOR RISIKO RHINITIS ALERGI


Beberapa faktor resiko untuk rhinitis alergi yaitu :
1) Riwayat keluarga
Jika seseorang yang memiliki anggota keluarga dekat yang menderita rhinitis alergi
maka resiko terkena juga akan lebih tinggi.
2) Asthma
Berbagai penelitian menunjukkan 78- 94% penderita asma pada remaja dan dewasa
juga menderita rinitis alergi, dan 38% penderita rinitis alergi juga menderita asma.
3) Suhu yang tinggi
4) Terpapar oleh debu tungau/paparan terhadap alergen
5) Kelembapan udara merupakan faktor resiko untuk tumbuhnya jamur
6) Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan membantu identifikasi untuk
terpaparnya serbuk sari
7) Asap rokok
8) Polusi udara
9) Bau aroma yang kuat atau merangsang

5.7. KLASIFIKASI RINITIS ALERGI


Dahulu Rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu :
a. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal
rhinitis alergi musiman, hanya ada di Negara yang mempunya 4 musim. Allergen
penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu
nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang
tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
b. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten
atau terus-menerus, tanpa variasi musim,jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan terutama pada orang dewasa, dan
allergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah allergen dalam rumah (indoor) dan

15 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
allergen diluar rumah (outdoor). Allergen ingestan sering merupakan penyebab pada
anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria,
gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1) Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu.
2) Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi :

1) Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2) Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

5.5. EPIDEMIOLOGI

Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada


pasien dengan alergi. Rinitis secara konsisten berada pada urutan enam
penyakit kronis utama diAmerika Serikat. Morbiditas dari rinitis menyebabkan
kualitas hidup yang menurun dikarenakan sakit kepala,mudah lelah,gangguan
kognisi, dan efek samping obat -o b a t a n .
Rinitis alergi dapat menurunkan kualitas hidup,antara
lain fungsi fisik,problem bekerja,nyeri badan, vitalitas,fungsi
s o s i a l , s t a b i l i t a s e m o s i , b a h k a n kesehatan mental.
Berdasarkan prevalensinya, r i n i t i s a l e r g i t e l a h m e n j a d i m a s a l a h
k e s e h a t a n g l o b a l y a n g d i t e m u k a n d i seluruh dunia,sedikitnya terdapat 10-
25 % populasi dengan prevalensi yang semakin m e n i n g k a t sehingga
berdampak pada kehidupan sosial,kenerja di sekolah

16 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
s e r t a produktivitas kerja.Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara langsung
maupun tidak langsung akibat rinitis alergi ini sekitar 5,3 miliar dolar amerika
pertahun.
Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita
rinitis alergi atau sekitar 20% dari populasi.Secara akumulatif prevalensi rinitis
alergi sekitar 15% p a d a laki-laki dan 14% pada
wanita,bervariasi pada tiap Negara.Ini mungkinan
diakibatkan karena perbedaan geografik,tipe dan potensi allergen.R i n i t i s a l e r g i
dapat terjadi pada semua ras ,prevalensin ya berbeda-beda
tergantung perbedaan genetik,faktor geografi,lingkungan serta jumlah
populasi.Dalam hubungannya dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada
masa kanak-k a n a k maka laki-laki lebih tinggi daripada
wanita namun pada masa d e w a s a prevalensinya sama antara
laki-laki dan wanita.Dilihat dari segi onset rinitis alergi umum nya terjadi
pada masa kanak-kanak,remaja dan dewasa muda.Dilaporkan bahwa rinitis
alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak.Pada laki-laki terjadi antara onset 8-11
tahun,namun demikian rinitis alergi dapat terjadi pada semua umur

5.8. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.

17 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
Gambar 4.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan
alergen pertama dan selanjutnya (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000).

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.

Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan

18 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed
Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien
C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-
4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan
lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit
juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil
dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi
gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.

Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan


pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama

19 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya
antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu :

a. tipe 1atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity)


b. tipe 2 atau reaksi sitotoksik
c. tipe 3 atau reaksi kompleks imun
d. tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang
THT adalah tipe 1,yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono,
2008).

20 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
5.9. GEJALA KLINIS
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
a. Tanda hidung termasuk lipatan hidung garis hitam melintang pada tengah
punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian
hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul
kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair.
b. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam
dibawah mata (allergic shiner).
c. Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa
sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii.
d. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa
jaringan limfoid.
e. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet,
Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001).
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa : batuk, sakit kepala, masalah
penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa
orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan
sulit tidur (Harmadji, 1993).

5.10. DIAGNOSA RINITIS ALERGI

ANAMNESIS

Dari anamnesa pada pasien rinitis alergik sering ditemukan keluhan terjadinya
sumbatan hidung, sekret di hidung, bersin-bersin yang terjadi berulang-ulang, gatal
pada hidung dan mata, serta adanya gangguan penghidu.

21 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
Sumbatan di hidung dapat terjadi oleh beberapa faktor. Oleh karena itu
anamnesa yang teliti seperti apakah keluhan sumbtan ini terjadi teus menerus atau
hilang timbul,pada satu atau kedua lubang hidung. Apakah sebelumnya ada riwayat
kontak dengan bahan allergen seperti debu, tepung sari, bulu binatang, pemakaian
obat tetes hidung dekongestan untuk jangka waktu yang panjang. Pada pasien yang
mengalami rinitis alergik sering dijumpai hidung tersumbat menetap/berganti.

Sekret dihidung dan secret yang turun ke tenggorokan (post nasal drip) apakah
pada satu atau kedua ronggahidung. Bagaimana konsistensi secret
tersebut,encer,bening seperti air, kental, atau ada bercampur darah. Apakah sekret ini
keluar pada pagi hari atau pada waktu-waktu tertentu misalnya pada musim hujan.
Pada pasien rinitis alergik sering dijumpai rhinore (ingus, bening, encer, sekret hidung
yang disebabkan karena infeksi hidung biasanya bilateral).

Bersin yang berulang-ulang (bersinnya lebih dari lima kali tiap serangan)
merupakan keluhan pada alergi hidung. Perlu ditanyakan apakah bersin ini timbul bila
menghirup sesuatu. Apakah juga diikuti keluar secret yang encer dan terasa gatal
dihidung, tenggorokan dan telinga.

Gangguan penghiidu dapat berupa hilangnya penciuman (anosmia) atau


berkurang (hiposmia). Perlu ditanyakan apakah sebelumnya ada riwayat infeksi
hidung, sinus trauma kepala dan keluhan ini sudah berapa lama.

PEMERIKSAAN FISIK

Inspeksi

Bentuk luar hidung diperhatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang hidung.
Apakah ada pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal. Kita lihat ada
tidaknya garis melintang dibagian dorsum sepertiga bawah yang disebabkan oleh
berulang menggosok keatas dari ujung hidung dengan telapak tangan, kita perhatikan
apakah pasien allergic facies yaitu bernafas melalui mulut.

Palpasi

Dengan jari dapat dipalpasi adanya krepitasi tulang hidung atau rasa nyeri tekan pada
peradangan hidung. Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan (rinoskopi
anterior) diperlukan spekulum hidung. Vestibulum hidung, septum terutama bagian

22 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
anterior, konka media, konka superior serta meatus rongga hidung harus
diperhatikan.Perhatikan juga ronnga hidung sisi lain. Kadang-kadang rongga hidung
ini sempit karena adanya edema mukosa.

Naso-endoskopi adalah prosedur diagnosa medis dengan tingkat invasif minimal.


Prosedur ini memungkinkan untuk dapat melihat langsung ke dalam rongga hidung
(hidung), faring (tenggorokan) dan laring (kotak suara) dengan menggunakan kaca
pembesar kualitas tinggi.

Pada pemeriksaan fisik palpasi dijumpai :

Selaput lendir hidung bengkak, basah (sereous, mengkilat), mukosa konka pucat atau
keunguan karena pelebaran pembuluh balik (vena).

Tenggorok meradang dan tampak tonjolan-tonjolan folikel limfoid (cobblestones or


granular pharyngitis); Dapat pula dijumpai pembengkakan kelopak mata, kemerahan
mata, dan daerah di bawah kelopak mata bawah tampak lebih gelap karena bendungan
darah vena serta lipatan kelopak mata bawah berlebih. Mukosa kemerahan dan edema
sering dijumpai.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Sitologi Hidung

Walaupun tidak dapat memastikan diagnosa, tetapi berguna sebagai pemeriksaan


pelengkap. Ditemukannya eosinopil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalen. Jika basopil (5sal/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bateri.

Hitung Eosinofil Dalam Darah Tepi

Dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist paper
radio immuno sorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga
menderita asma bronchial atau urtekariya. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecuali dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemerikasaan IgE spesifik dengan RAST
(Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test).

23 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
Uji Kulit

Alergen penyebab dapat dicari secara infifo.Ada beberapa cara, yaitu uji intrakutan
atau intraderma yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), uji kulit
(Prick Test) dan uji gores (scratch test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji
kulit (uji cukit dan uji gores), sama. SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan
menyuntikan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Kentungan SET, selain allergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.
Diagnosa biasanya ditegakkan dengan dieteliminasi dan provokasi (challenge test).

Allergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada
challengen test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang
selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.

Pada diet eliminasi, jenis makan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai
suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan uji kulit
untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus
Provocative Dilutional Food Test (IPDFT).

Dengan lengkapnya pemeriksaan ini, selain jenis allergen penyebab, juga dapat
diketahui besarnya konsentrasi allergen yang dapat menetralkan reaksi akibat allergen
tersebut.

5.11. PENATALAKSANAAN RINITIS ALERGI

Tujuan pengobatan untuk rhinitis alergi adalah menghilangkan gejala. Pilihan terapi
yang tersedia untuk mencapai tujuan ini mencakup langkah-langkah menghindari
alergen, antihistamin oral, kortikosteroid intranasal, antagonis reseptor leukotrien, dan
imunoterapi alergen. Terapi lain yang mungkin berguna pada pasien tertentu termasuk
dekongestan dan kortikosteroid oral. Jika gejala pasien bertahan meskipun pengobatan
yang tepat, rujukan ke seorang ahli alergi harus dipertimbangkan. Seperti disebutkan
sebelumnya, rhinitis alergi dan asma tampaknya mewakili napas penyakit radang
gabungan dan, oleh karena itu, pengobatan asma juga merupakan pertimbangan
penting pada pasien dengan rhinitis alergi.

24 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
1. Menghindari alergen
Pengobatan lini pertama rhinitis alergi melibatkan menghindari alergen terkait
(misalnya, tungau debu rumah, jamur, hewan peliharaan, serbuk sari) dan iritasi
(misalnya, asap rokok). Pasien alergi terhadap tungau debu rumah harus
diinstruksikan untuk menggunakan penutup kedap alergen untuk tempat tidur dan
untuk menjaga kelembaban relatif di rumah di bawah 50% (untuk menghambat
pertumbuhan tungau). Paparan polusi dapat dikurangi dengan menjaga jendela
tertutup, menggunakan AC, dan membatasi jumlah waktu yang dihabiskan di luar
rumah selama musim serbuk sari puncak. Untuk pasien alergi terhadap bulu binatang,
penghilangan hewan dari rumah dianjurkan dan biasanya menghasilkan penurunan
yang signifikan pada gejala dalam 4-6 bulan. Namun, kepatuhan terhadap
rekomendasi ini buruk dan, oleh karena itu, penggunaan penyaring partikulat udara
efisiensi tinggi (PUET) dan melarang hewan ke kamar tidur mungkin diperlukan
untuk menurunkan kadar alergen. Langkah-langkah untuk mengurangi paparan
alergen jamur termasuk membersihkan dengan fungisida, dehumidifikasi menjadi
kurang dari 50%, dan penyaring PUET. Strategi penghindaran alergen ini efektif
menurunkan gejala rinitis alergi, dan pasien harus disarankan untuk menggunakan
kombinasi langkah-langkah untuk hasil yang optimal.
2. Medikamentosa
1. Antihistamin
Non-sedatif, antihistamin oral generasi kedua (misalnya, desloratadine [AERIUS],
fexofenadine [Allegra] dan loratadine [Claritin]) adalah lini pertama pengobatan
farmakologis direkomendasikan untuk semua pasien dengan rhinitis alergi. Agen ini
secara efektif mengurangi bersin, gatal dan rhinorrhea bila diminum secara teratur
pada saat terjadinya gejala atau sebelum paparan alergen. Meskipun antihistamin
sedatif (generasi pertama) (misalnya, diphenhydramine, klorfeniramin) juga efektif
dalam mengurangi gejala, namun mereka terbukti memberikan dampak negatif
terhadap fungsi kognitif dan, karena itu, mereka tidak secara rutin dianjurkan untuk
pengobatan rhinitis alergi.
2. Dekongestan hidung
Obat-obatan dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya pada
reseptor-reseptor -adrenergik. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit,
berlangsung selama 1 sampai 12 jam.

25 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
Pemakaian topikal sangat efektif menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak
efektif untuk keluhan bersin dan rinore. Pemakaiannya terbatas selama 10 hari.
Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral dimaksud untuk mengatasi obstruksi
hidung yang tidak dipengaruhi oleh antihistamin.

Jenis obat yang sering digunakan:

1. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari,
4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari.
2. Efedrine, untuk anak sehari 3 mg/kg berat badan dibagi dalam 4-6 dosis yang
sama.
3. Phenylephrine
Dosis Dewasa untuk Nasal kongesti :

0,025% tetes: 4-6 tetes ke setiap lubang hidung dua kali sehari sesuai
kebutuhan.
0,05% tetes: 2 sampai 3 tetes ke setiap lubang hidung dua kali sehari sesuai
kebutuhan.
Dosis Anak untuk Nasal kongesti :

Phenylephrine nasal 0,125% tetes: 2 sampai 6 tahun: Teteskan 2 sampai 3 tetes


di setiap lubang hidung tidak lebih dari setiap 4 jam di bawah pengawasan
orang dewasa.
Phenylephrine nasal 1% spray: 6 tahun atau lebih: 2 sampai 3 semprotan di
setiap lubang hidung setiap 4 jam.
4. Oxymetazoline
Dosis Dewasa untuk Nasal kongesti :

0,025% larutan: 4-6 tetes ke setiap lubang hidung dua kali sehari sesuai
kebutuhan.
0,05% larutan: 2 sampai 3 tetes ke setiap lubang hidung dua kali sehari sesuai
kebutuhan.
Dosis Anak untuk Nasal kongesti :

0,025% tetes:

26 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
> = 2 tahun sampai 5 tahun: 2 sampai 3 tetes ke setiap lubang hidung dua kali
sehari sesuai kebutuhan.

6 tahun sampai 18 tahun: 4-6 tetes ke setiap lubang hidung dua kali sehari sesuai
kebutuhan.

0,05% tetes:
> = 6 tahun sampai 18 tahun: 2 sampai 3 tetes ke setiap lubang hidung dua kali
sehari sesuai kebutuhan.

0,05% spray:
> = 6 tahun sampai 18 tahun: 1 sampai 2 semprotan ke setiap lubang hidung dua
kali sehari sesuai kebutuhan.

4. Kortikosteroid intranasal
Pemakaian kortikosteroid topikal (intranasal) untuk rinitis alergi dinilai lebih baik
karena mempunyai efek antiinflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi
pada reseptornya, serta memiliki efek samping sitemik yang lebih kecil. Tapi
pemakaian dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan mukosa hidung
menjadi atropi dan dapat memicu tumbuhnya jamur.
Kortikosteroid intranasal juga merupakan lini pertama pilihan terapi untuk
pasien dengan / gejala yang berat ringan persisten atau moderat dan dapat digunakan
tunggal atau kombinasi dengan antihistamin oral. Bila dipakai secara teratur dan
benar, kortikosteroid intranasal efektif mengurangi peradangan pada mukosa hidung
dan memperbaiki patologi pada mukosa. Studi dan meta-analisis menunjukkan bahwa
kortikosteroid intranasal lebih unggul dari antihistamin dan antagonis reseptor
leukotrien dalam mengendalikan gejala rinitis alergi, termasuk hidung tersumbat, dan
rhinorrhea. Mereka juga telah terbukti memperbaiki gejala pada mata dan mengurangi
gejala saluran napas rendah pada pasien dengan asma konkuren dan rhinitis alergi.
Kortikosteroid intranasal tersedia dalam flutikason furoat (Avamys),
beklometason (Beconase), flutikason propionat (Flonase), triamcinolone acetonide
(Nasacort), mometason furoat (NASONEX), ciclesonide (Omnaris) dan budesonide
(Rhinocort). Karena penerapan yang tepat dari nasal spray diperlukan untuk respon
klinis yang optimal, pasien harus diberi konseling tentang penggunaan yang tepat dari
perangkat intranasal. Idealnya, kortikosteroid intranasal akan terbaik dimulai sesaat

27 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
sebelum paparan alergen terkait dan, karena efek puncak mereka mungkin diperlukan
beberapa hari untuk berkembang, mereka harus digunakan secara teratur.
Efek samping yang paling umum dari kortikosteroid intranasal adalah iritasi
hidung dan menyengat. Namun, efek samping ini biasanya dapat dicegah dengan
menyemprot sedikit menjauh dari septum hidung. Bukti menunjukkan bahwa
intranasal beklometason, namun tidak kortikosteroid intranasal lainnya, dapat
memperlambat pertumbuhan pada anak-anak dibandingkan dengan plasebo. Namun,
studi jangka panjang untuk mengetahui dampak dari intranasal beklometason pada
pertumbuhan masih kurang.
Penting untuk dicatat bahwa sebagian besar pasien dengan rhinitis alergi yang
datang ke dokter perawatan utama mereka memiliki gejala sedang sampai parah dan
akan memerlukan kortikosteroid intranasal. Bousquet et al. mencatat hasil yang lebih
baik pada pasien dengan gejala sedang sampai berat diobati dengan kombinasi obat
ini. Kortikosteroid oral sangat efektif dalam mengurangi gejala rinitis alergi terutama
dalam episode akut.
Jenis obat yg biasa digunakan:

1. Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun: 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari.
2. Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun: 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah
dan keamanannya lebih baik.
5. Leukotriene receptor antagonists
Antagonis reseptor leukotrien (LTRAs) montelukast dan zafirlukast juga efektif dalam
pengobatan rhinitis alergi. Namun, mereka tidak tampak seefektif kortikosteroid
intranasal. Meskipun satu studi jangka pendek menemukan kombinasi LTRAs dan
antihistamin sama efektifnya dengan kortikosteroid intranasal, studi jangka panjang
telah menemukan kortikosteroid intranasal lebih efektif daripada kombinasi dalam
mengurangi gejala di malam hari dan gejala hidung. Penting untuk dicatat bahwa di
Kanada, montelukast (Singulair) adalah satu-satunya LTRA yang diindikasikan untuk
pengobatan rhinitis alergi pada orang dewasa.
LTRAs harus dipertimbangkan ketika antihistamin oral dan / atau kortikosteroid
intranasal tidak ditoleransi dengan baik atau tidak efektif dalam mengendalikan gejala
rinitis alergi. Jika kombinasi terapi farmakologi dengan antihistamin oral

28 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
kortikosteroid intranasal dan LTRAs tidak efektif atau tidak ditoleransi, maka alergen
imunoterapi harus dipertimbangkan.
Leukotrien LTC4 dan LTD4 menimbulkan bronkokonstriksi yang kuat
pada manusia, sementara LTE4 dapat memacu masuknya eosinofil dan neutrofil
ke saluran napas. Preparat yang sudah ada di Indonesia adalah zafirlukast. Obat
ini dapat digunakan pada penderita dengan asma persisten ringan. Pada
penelitian dapat diberikan sebagai alternatif peningkatan dosis kortikosteroid
inhalasi. Dosis: Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2
kali/24jam.
6. Antikolinergik
Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan sekresi kelenjar.
Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor muskarinik sehingga
mengurangi volume sekresi kelenjar dan vasodilatasi.
Antikolinergik digunakan untuk mengurangi rhinorrhea pada pasien dengan
Rhinitis alergi atau rhinitis vasomotor. Sebuah obat yang sangat baik untuk
mengurangi rhinitis. menghambat sekresi yang menyebabkan rhinitis. Digunakan
sendiri atau bersama dengan obat lain. Ipratropium bromida, yang merupakan turunan
atropine dapat mengurangi hidung tersumbat atau bersin.

Nama dagang: Atrovent, Apo-Ipravent, Novo-Ipramide, PMS-Ipratropium.


Dosis: Anak s/d 6 th : 20 mcg 3 kali sehari; 6 -12 th : 20-40 mcg 3 kali sehari.

7. Natrium Kromolin
Digolongkan pada obat-obatan antialergi yang baru. Mekanisme kerja belum
diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat penglepasan mediator dari
sel mastosit, atau mungkin melalui efek terhadap saluran ion kalsium dan klorida.
5. Imunoterapi alergen
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan
IgE. Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya penghindaran alergen
dan terapi medikamentosa gagal dalam mengatasi gejala klinis rinitis alergi. Terdapat
beberapa cara pemberian imunoterapi seperti injeksi subkutan, pernasal, sub lingual,
oral dan lokal.
Imunoterapi alergen dengan pemberian bertahap secara subkutan meningkatkan
jumlah alergen terkait pasien sampai tercapai dosis yang efektif dalam mendorong

29 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
toleransi imunologi terhadap alergen. Bentuk dari terapi ini telah terbukti efektif
untuk pengobatan rhinitis alergi yang disebabkan oleh serbuk sari dan tungau debu,
tapi memiliki keterbatasan kegunaan dalam mengobati alergi jamur dan bulu hewan.
Umumnya, imunoterapi alergen diberikan dengan peningkatan dosis secara
bertahap setiap minggu selama 6-8 bulan, diikuti dengan suntikan pemeliharaan dosis
maksimum toleransi setiap 3 sampai 4 minggu selama 3 sampai 5 tahun. Setelah
periode ini, banyak pasien merasakan efek perlindungan jangka panjang, dan oleh
karena itu, dipertimbangkan dapat dihentikan terapi. Persiapan pra-musim yang
dikelola secara tahunan juga tersedia. Imunoterapi alergen harus disediakan untuk
pasien yang dengan langkah-langkah menghindari secara optimal paparan alergen dan
farmakoterapi tidak cukup untuk mengontrol gejala atau tidak ditoleransi dengan baik.
Karena bentuk terapi ini memiliki risiko reaksi anafilaksis, terapi ini hanya boleh
dilakukan oleh dokter yang cukup terlatih dalam pengobatan alergi dan yang mampu
untuk mengelola kemungkinan anafilaksis yang mengancam jiwa.
6. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25% atau troklor asetat.
Untuk mengurangi volume konka dan untuk melancarkan pernapasan hidung,
mukosa hidung yang mengalami hyperplasia diangkat secara bedah(turbinoplasti),
melalui koagulasi atau penggunaan laser. Bila ada deviasi septum, sekaligus dapat
dikoreksi dengan pembedahan yang sama. Dengan penanganan seperti ini, pasien
hanya mendapatkan perbaikan dari sumbatan, tetapi gejala rhinorea dan gatal tetap
ada.
5.12. PENCEGAHAN RHINITIS ALERGI
Untuk pencegahan ini, diperlukan identifikasi alergen dan menghindari alergen
penyebab (avoidance). Dalam pengelolaan alergi inhalan, menganjurkan penderita
untuk menghindari alergen penyebab tidaklah mudah. Terdapat banyak sekali alergen
yang berhubungan dengan rinitis alergi, yang paling banyak hasil penelitian adalah
tungau debu rumah.

ARIA WHO (2001) menyarankan beberapa hal berkaitan dengan mengurangi


paparan alergen tungau debu rumah diantaranya menyarungi kasur, bantal dengan
bahan yang mudah dicuci. Cucilah dengan air panas seminggu sekali. Gantilah karpet

30 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
dengan bahan linoleum atau lantai kayu. Pakailah perabot dengan bahan lapisan kulit,
dan selalu membersihkan debu pada perabot dengan vacum cleaner atau kain lap yang
basah. Gantilah gorden secara teratur dan gunakan bahan yang yang mudah di cuci
(Bousquet, et al., 2001).

Overview of pharmacologic treatment options for allergic rhinitis


Usual adult dose Usual pediatric dose
Oral antihistamin (second generation)
Cetirizine (Reactine) 1-2 tablets (5 mg) once daily 5-10 ml (1-2 teaspoons) once daily
1 tablet (10 mg) once daily (childrens formulation)
Desloratadine (Aerius) 1 tablet (5 mg), once daily 2,5-5 ml (0,5 1,0 teaspoon) once
daily (childrens formulation)
Fexofenadine (Allegra) 1 tablet (60 mg) every 12 hours (12 Not currently indicated for children
hour formulation) under 12 years of age.
1 tablet (120 mg), once daily (24
hours formulation)
Loratadine (Claritin) 1 tablet (10 mg), once daily 5-10 ml (1-2 teaspoons) once daily
(childrens formulation)
Intranasal corticosteroids
Beclomethasone (Beconase) 1-2 sprays (42 g/spray) EN, twice 1 spray (42 g/spray) EN, twice daily
daily
Budesonide (Rhinocort) 2 sprays (64 g/spray) EN, once 2 sprays (64 g/spray) EN, once daily
daily or 1 spray EN, twice daily or 1 spray EN, twice daily (do not
exceed 256 g)
Cidesonide (Omnaris) 2 sprays (50 g/spray) EN, once Not indicated for children under 12
daily years of age
Fluticasone Furoate (Avamys) 2 sprays (27,5 g/spray) EN, once 1 spray (27,5 g/spray) EN, once
daily daily
Fluticasone propionate (Flonase) 2 sprays (50 g/spray) EN, once 1-2 sprays (50 g/spray) EN, once
daily or every 12 hours (for severe daily
rhinitis)
Mometasone Furoate (Nasonex) 2 sprays (50 g/spray) EN, once 1 spray (50 g/spray) EN, once daily
daily
Triamcinolone acetonide 2 sprays (55 g/spray) EN, once 1 spray (55 g/spray) EN, once daily
(Nasacort) daily
Leukotriene receptor antagonists
Montelukast 1 tablet (10 mg), once daily Not currently approved for patients
under 15 years of age
EN : Each Nostril

31 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
Small and Kim Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011 7(Suppl 1):S3 doi:10.1186/1710-1492-7-S1-S3

5.13. KOMPLIKASI RINITIS ALERGI


1. Penyumbatan pada tuba eustachius
2. Ostitis media akut
Otitis media ini sering terjadi terutama pada anak - anak
3. Sinusitis paranasal
Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus paranasal.
Terjadi akibat edema ostium sinus oleh proses alergi dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostium sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyebabkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat destruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas oleh eosinofil
dengan akibat sinusitis akan semakin paraf.
4. Infeksi traktus respiratorius bagian bawah
5. Polip
Alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan
kekambuhan polip hidung.

5.14. PROGNOSIS RINITIS ALERGI

Secara umum baik, penyakit rinitis alergi ini secara menyeluruh berkurang dengan
bertambahnya usia, tetapi kemungkinan menderita asma bronkial meningkat. Remisi
spontan dapat terjadi sebanyak 15 25 % selama jangka waktu 5 7 tahun, remisi
untuk rinitis alergi musiman lebih besar frekuensinya dibandingkan dengan rinitis
alergi perenial. Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognosis yang baik. Ada kesan klinis bahwa gejala gejala
rinitis alergi berkurang dengan bertambahnya usia. Pada pasien yang diketahui alergi
terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman.
Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan
tubuh maupun anomali anatomi.

32 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
BAB IV
KESIMPULAN AKHIR
laki-laki 10 tahun mengalami Rinitis alergi (intermiten)
Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan IgE
2. Uji Alergi

Penatalaksanaan :
1. Pemberian antihistamin
Loratadine (Claritin)
1 tablet (10 mg), once daily
5-10 ml (1-2 teaspoons) once daily (childrens formulation)
2. Dekongestan Hidung

Efedrine, untuk anak sehari 3 mg/kg berat badan dibagi dalam 4-6 dosis yang sama.

33 | P a g e
Blok XIII : Special Sense
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof.dr Tjokronegoro,Aryatmo,PhD,Sp And,dr Utama,Hendra. 2003.Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke-5. Jakarta, Balai
penerbit FKUI.
2. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6,
Jakarta : FKUI
3. Soepardi Arsyad Efianty , dkk. 2012. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher.
Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, pp 106-107.
4. Eliarty Arsyad Soepardi dkk; Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher (Edisi 7), FKUI, Jakarta, 2011
5. Nagel P, Gurkov R; Dasar-dasar Ilmu THT, EGC, 2012
6. Effy Huriyati, Al Hafiz; Diagnosis dan Penatala ksanaan Rinitis Alergi yang disertai
Asma bronkial , Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr. M. Djamil Padang,
repository.unand.ac.id
7. A Nursanti; Rinitis alergi, eprints.undip.ac.id, 2011
8. repository.usu.ac.id, Rinitis alergi
9. www.aacijournal.com/content/7/S1/S3#B23
10. http://www.drugs.com/dosage/oxymetazoline-nasal.html
11. Prof. dr. Soepardi E. A, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi VI. FKUI.
Jakarta.
12. George L, Adams, Lawrence R, Boeis, Peter H. Higler. 1997. Boeis: Buku Ajar
Penyakit THT (Boeis fundamentals of otolaryngology). Jakarta ; EGC
13. Irawati, Nina. Elise Kasakeyan. Nikmah Rusmono. 2007. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta.
FKUI. Hal: 128-33.
14. Adams G. Boies L. Hitgler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam. Jakarta. EGC.
1997
15. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma
Innitiative).

34 | P a g e
Blok XIII : Special Sense

Anda mungkin juga menyukai