Anda di halaman 1dari 12

BAB I

KONSEP BUNGA (INTEREST) DALAM ISLAM

A. Pendahuluan
Tidak bisa dipungkiri, sejak dunia memasuki era globalisasi, kehidupan kaum muslimin
menjadi semakin carut marut. Khususnya di bidang perekonomian. Masyarakat tak lagi
memperdulikan antara halal dan haram. Berlakunya sistem ekonomi berbasis kapitalisme saat
ini hanya berorientasi pada kepentingan pribadi, dimana kegiatan produksi, konsumsi, dan
distribusi dilakukan semata-mata untuk meraup profit sebesar-besarnya tanpa mengindahkan
syariat agama, sebut saja praktik bunga dalam bank.

Bunga bank memang sudah lama menjadi kontroversi yang selalu diperdebatkan di tengah-
tengah masyarakat. Sebagian orang memandang kredit dengan sistem bunga merupakan cara
untuk membantu perekonomian rakyat. Namun di sisi lain praktik ini justru merugikan
kalangan miskin yang terpaksa melakukan pinjaman di bank.
Pada tahun 2003, Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi mengeluarkan fatwa keharaman
bunga bank, dengan dalih bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi utang-piutang
memasuki kriteria riba yang diharamkan Allah SWT. Meski demikian, masih banyak ulama
yang menghalalkannya dengan alasan bunga bank konvensional tidak mengandung unsur
eksploitasi, sebab orang-orang yang meminjam uang dianggap dari golongan perekonomian
keatas dan mampu mengembalikan pinjaman tersebut (beserta bunganya).

B. Isi
Asal muasal islam memandang bunga adalah hal yang buruk,

Al-Abbas dan Khalid bin al-Walid adalah dua orang yang berkongsi di zaman jahiliyah,
dengan memberikan pinjaman secara riba kepada orang suku Tsaqif. Setelah islam datang,
kedua orang ini masih mempunyai sisa riba dalam jumlah besar. Begitulah lalu turun Al-
Baqarah: ayat 278 , kemudian Rasulullah Saw. bersabda: "Ketahuilah! Sesungguhnya tiap-tiap
riba dari riba jahiliyah harus sudah dihentikan, dan pertama kali riba yang kuhentikan ialah riba
al-Abbas dan setiap (penuntutan) darah dari darah jahiliyah harus dihentikan, dan pertama-
tama darah yang kuhentikan ialah darah Rabi'ah bin Harits bin 'Abdul Muththalib".

Bunga Bank sendiri merupakan terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan
pinjaman uang atau persentase dari uang yang dipinjamkan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, bunga adalah imbalan jasa penggunaan uang atau modal yang dibayar pada waktu
tertentu berdasarkan ketentuan atau kesepakatan, umumnya dinyatakan sebagai persentase dari
modal pokok.

Bunga bank juga dapat didefinisikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank dengan
prinsip konvensional kepada nasabah yang melakukan transaksi simpan atau pinjam kepada
bank. Ada berbagai macam jenis bunga bank, misalnya bunga deposito, bunga tabungan, giro,
dan lain-lain.

1
Berdasarkan metodenya, bunga bank dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Bunga Simpanan

Bunga simpanan merupakan bunga yang diberikan oleh bank kepada nasabah yang
menyimpan uangnya di bank. Pemberian bunga ini didasarkan pada porsentase dari simpanan
pokok, dimana sumber bunganya berasal dari keuntungan utang-piutang yang dilakukan pihak
bank.
2. Bunga Pinjaman

Bunga pinjaman adalah bunga yang diberikan kepada nasabah yang melakukan
peminjaman uang di bank, dimana nantinya nasabah harus membayar melebihi jumlah
pinjaman pokok dengan batasan waktu tertentu.
Definisi dan Hukum Riba

Menurut etimologi, riba berarti tambahan (ziyadah), bisa juga diartikan berkembang
(nama). Sedangkan secara istilah, riba didefinisikan sebagai pengembalian tambahan dari
modal pokok secara bathil dan bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.

Qadi Abu Bakar Ibnu Al-arabi dalam bukunya Ahkamul Quran berpendapat bahwa
riba adalah setiap kelebihan nilai barang yang diberikan dengan nilai barang yang diterima.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan jika riba ialah penambahan dana (dalam
bentuk bunga pinjaman) yang dibayarkan oleh seseorang yang memiliki utang dengan
penambahan waktu tertentu, karena ia tidak mampu melunasi hutang-hutangnya.

Dalam ajaran islam, seorang muslim diharamkan memakan harta riba. Atau dengan
kata lain, hukum riba adalah haram! Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab al-Muhadzdzab
menyatakan bahwa riba merupakan perkara yang diharamkan. Pendapat ini didasari firman
Allah Swt dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:




Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..
(Q.S Al-Baqarah: 275)
Selain itu, ditegaskan dalam surah An-Nisa ayat 161:




Dan disebabkan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (Q.S. An-Nisa:
161)

2
Keharaman riba dijelaskan pula dalam kitab Al Musaqqah, Rasulullah bersabda :



Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang
membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau
bersabda, Mereka itu semuanya sama.(H.R Muslim).
Macam-macam Riba

Menurut sebagian ulama riba dibagi menjadi tiga yaitu Riba Nasi'ah, Riba Fadhal dan riba
Yad.

a. Riba Nasi'ah ialah riba yang sudah ma'ruf di kalangan jahiliyah, yaitu seseorang
menghutangi uang dalam jumlah tertentu kepada seseorang dengan batas tertentu, dengan
syarat berbunga sebagai imbalan limit waktu yang diberikan itu. Misalnya, seorang yang
berhutang seribu rupiah yang mesti dibayar dalam jangka waktu yang telah ditetapkan,
tetapi tidak terbayar olehnya pada waktu itu, maka bertambah besar jumlah utangnya,
riba semacam inilah yang kini berlaku di Bank-bank (Konvensional). Menurut Prof. Dr.
Abdul Aziz muhamamad Azzam Riba dalam jenis transaksi ini sangat jelas dan tidak
perlu diterangkan sebab semua unsur dasar riba telah terpenuhi seperti tambahan dari
modal dan tempo yang memyebabkan tambahan. Dan menjadikan keuntungan (interest)
sebagai syarat yang terkandung dalam akad yaitu sebagai harta melahirkan harta kerena
adanya tempo dan tidak lain ada lagi yang lain.
b. Riba Fadhal, sebagaimana yang tersebut dalam hadis Ubbadah bin Shamit, dia berkata;
Bahwasannya aku telah mendengar Rasulullah Saw melarang menjual emas dengan
emas, perak dengan perak, tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, Sya'ir dengan
sya'ir, garam dengan garam, kecuali satu rupa dengan satu rupa, dibayar tunai. Maka
barangsiapa yang menambah tau meminta tambah, sesungguhnya dia telah melakukan
riba.''(HR. Muslim). Riba Fadhal adalah tambahan pada salah satu dua ganti kepada yang
lain ketika terjadi tukar menukar sesuatu yang sama secara tunai. Islam telah
mengharamkan riba ini dikarenakan dapat mengantarkan kepada riba yang hakiki yaitu
riba Nasi'ah.
c. Riba Yad adalah dua orang yang bertukar barang atau jual beli berpisah sebelum timbang
terima. Sedangkan menurut Ibn Qayyim, perpisahan dua orang yang melakukan jual beli
sebelum serah terima mengakibatkan perbuatan tersebut menjadi riba.

Dampak Riba
1. Bahaya buat masyarakat dan agama.
2. Para Ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga
yang dibayar sebagai pinjaman modal atau dengan singkat bisa disebut riba.
3. Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar
masyarakat lemah sehingga persedian jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya
perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja
untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dan mengakibatkan adanya sekian jumlah
pengangguran.

3
4. Lord keynes pernah mengeluh dihadapan Majelis Tinggi (House of Lord) inggris
tentang bunga yang diambil oleh pemerintah A.S. Hal ini menunjukkan bahwa negara
besar pun seperti inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika, bunga tersebut
menurut fuqaha disebut riba. Dengan demikian, riba dapat meretakkan hubungan, baik
hubungan antara orang perorang maupun negara antar negara, seperti Inggris dan
Amerika.
5. Seringan-ringan dosa riba yaitu seperti halnya kita berjima' dengan ibu kita sendiri (Ibn
Majah dan al-Hakim).
6. Mendapat laknat dan kelak di yaumil qiyamah mereka pelaku riba, Allah dan Rasul-Nya
akan memerangi mereka, dibangkitkan dalam keadaan gila dan mereka kekal di dalam
neraka.

Hukum Bunga Bank Dalam Pandangan Islam

Dalam Al-Quran, hukum melakukan riba sudah jelas dilarang Allah SWT. Begitupun
dengan bunga bank, dalam praktiknya sistem pemberian bunga di perbankan konvensional
cenderung menyerupai riba, yaitu melipatgandakan pembayaran. Padahal dalam islam hukum
hutang-piutang haruslah sama antara uang dipinjamkan dengan dibayarkan.

Pandangan ini sesuai dengan penjelasan Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan. Beliau
menjelaskan dalam kitab fiqihnya yang berjudul Taysir Al Fiqh, seorang Mufti Saudi Arabia
bernama Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah mengemukakan bahwa pinjaman yang
diberikan oleh bank dengan tambahan (bunga) tertentu sama-sama disebut riba.

Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang), namun
senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong dan
berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang dan
akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari
transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil dari
pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam
utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut
riba. (Al Fiqh hal. 398, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H).

Dalil yang Menjelaskan Kesamaan Bunga Bank dengan Riba





Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Q.S Ar-Rum : 39)

Jika kita renungi secara mendalam, sebenarnya ayat diatas telah menjelaskan definisi riba
secara gamblang, dimana riba dinilai sebagai harga yang ditambahkan kepada harta atau uang
yang dipinjamkan kepada orang lain. Apabila mengacu pada ayat ini, jelas bahwa bunga bank
menurut islam merupakan riba. Sebagaimana Tafsir Jalalayn yang berbunyi:

4
(Dan sesuatu riba atau tambahan yang kalian berikan) umpamanya sesuatu yang diberikan
atau dihadiahkan kepada orang lain supaya orang lain memberi kepadanya balasan yang lebih
banyak dari apa yang telah ia berikan; pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan
tambahan yang dimaksud dalam masalah muamalah (Tafsir Jalalayn, Surat Ar-Rum:39)

Surat Ar-Rum ayat 39 juga menjelaskan bahwa Allah SWT membenci orang-orang yang
melakukan riba (memberikan harta dengan maksud agar diberikan ganti yang lebih banyak).
Mereka tidak akan memperoleh pahala di sisi Allah SWT, sebab perbuatannya itu dilakukan
demi memperoleh keuntungan duniawi tanpa ada keikhlasan.

Harta yang kalian berikan kepada orang-orang yang memakan riba dengan tujuan untuk
menambah harta mereka, tidak suci di sisi Allah dan tidak akan diberkahi (Tafsir Quraiys
Shibab, Surat Ar-Rum: 39)
Hukum Bunga Bank Menurut Beberapa Ulama

Meskipun praktek bunga bank sudah jelas mernyerupai riba, namun keberadaanya di
Indonesia sendiri masih menjadi dilematis dan sulit dihindari. Sehingga tidak heran banyak
ulama yang bertentangan perihal hukum bunga bank menurut islam.

Sebut saja IjtimaUlama Komisi Fatwa se-Indonesia, pada tahun 2003 mereka telah
menfatwakan bahwa pemberian bunga hukumnya haram, baik di lakukan oleh Bank,
Asuransi,Pengadilan, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun individu. Selain itu, pertemuan
150 Ulama terkemuka pada tahun 1965 di konferensi Penelitian Islam, Kairo, Mesir juga
menyepakati bahwa keuntungan yang diperoleh dari berbagai macam jenis pinjaman (termasuk
bunga bank) merupakan praktek riba dan diharamkan.

Ulama lain seperti Yusuf Qardhawi, Abu zahrah, Abu ala al-Maududi Abdullah al-Arabi
dan Yusuf Qardhawi sepakat jika bunga bank termasuk riba nasiah yang diharamkan oleh
Islam. Maka dari itu, umat Islam tidak dibolehkan bermuamalah dengan bank yang menganut
sistem bunga kecuali dalam kondisi darurat. Keharaman praktik bunga bank juga diungkapkan
oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27
di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Di sisi lain, musyawarah para ulama NU pada tahun 1992 di Lampung memandang hukum
bunga bank tidak sepenuhnya haram atau masih khilafiyah. Sebagian memperbolehkan dengan
alasan darurat dan sebagian mengharamkan. Sedangkan pemimpin Pesantren Persis Bangil,
A. Hasan berpendapat bahwa bunga bank yang berlaku di Indonesia halal, sebab bunga bank
tidak menganut sistem berlipat ganda sebagaimana sifat riba yang dijelaskan dalam surat Ali
Imran ayat 130.


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Q.S Ali Imran: 130)

Kesimpulannya, mayoritas ulama menetapkan bahwa bunga bank hukumnya sama dengan riba
yang berarti dilarang Allah SWT. Keputusan ini berlandaskan pada Al Quran, Al Hadist, serta
hasil penafsiran dari fuqaha (ulama yang ahli dalam bidang fiqh).
5
BAB II
SISTEM BAGI HASIL MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Bagi Hasil


Secara umum, sistem bagi hasil ini ada yang disebut dengan mudharabah, dalam hal ini
penulis memberi pengertian mudharabah sebagai berikut: Mudharabah menurut istilah bahasa
penduduk Irak dan qiradh atau muqaradhah menurut istilah bahasa penduduk Hijaz. Namun,
pengertian qiradh dan mudharabah adalah satu makna. Mudharabah berasal dari kata al-dharb,
yang berarti secara harfiah adalah berpergian atau berjalan. Sebagaimana Firman Allah:
( : ) ....

Artinya: Dan yang lainnya, berpergian di muka bumi mencari karunia Allah (Al-Muzammil:
20)

Sedangkan qiradh berasal dari al-qardhu, berarti al-qathu (potongan) karena pemilik
memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungannya. Ada pula yang menyebut mudharabah atau qiradh dengan muamalah[2]. Jadi
mudharabah atau qiradh menurut bahasa adalah potongan, berjalan, dan atau berpergian.
Menurut istilah, mudharabah atau qiradh banyak terdapat pendapat ulama yang dikemukakan
sebagai berikut:

Menurut para fuqaha, mudharabah adalah aqad antara dua pihak saling menanggung,
salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian
yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat
yang telah ditentukan. Menurut Hanafiah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak
yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada orang
lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Maka mudaharabah adalah:

Artinya: Akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.[3]

Secara tekstual ditegaskan bahwa syarikat mudharabah adalah suatu akad (kontrak) dan
mereka juga menjelaskan unsur-unsur pentingnya yaitu; berdirinya syarikat ini atas usaha fisik
dari satu pihak dan atas modal dari pihak yang lain, namun tidak menjelaskan dalam definisi
tersebut cara pembagian keuntungan antara kedua orang yang bersyarikat itu. Sebagaimana
mereka juga tidak menyebutkan syarat yang harus dipengaruhi pada masing-masing pihak yang
melakukan kontrak dan syarat yang harus dipenuhi pada modal.
Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah :
) (
Artinya: Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain
untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak).[4]

6
Mazhab Maliki menyebutkan berbagai persyaratan dan batasan yang harus dipenuhi
dalam mudharabah dan cara pembagian keuntungan yaitu dengan bagian jelas sesuai
kesepakatan antara kedua pihak yang bersyarikat. Namun definisi ini tidak menegaskan
katagorisasi mudharabah sebagai suatu akad, melainkan ia menyebutkan bahwa mudharabah
adalah pembayaran itu sendiri.

Demikian pula definisi ini telah menetapkan wakalah bagi pihak mudharib ('amil)
sebelum pengelola modal mudharabah dan mempengaruhi keabsahannya bukannya sebelum
akad. Sebagaimana terdapat perbedaan antara seorang wakil kadang mengambil jumlah
tertentu dari keuntungan kerjanya. baik modal itu mendapatkan keuntungan atau tidak
mendapatkan keuntungan, sedangkan seorang mudharib tidak berhak mendapatkan apapun
kecuali pada saat mengalami keuntungan dan baginya adalah sejumlah tertentu dari rasio
pembagian. Definisi ini juga tidak menyebutkan apa yang harus dipenuhi oleh masing-masing
pihak yang melakukan akad.
Imam Hanabilah berpendapat bahwa mudharabah adalah:

Artinya: Ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang
yang berdagang deengan bagian dari keuntungan yang diketahui.[5]

Meskipun definisi ini telah menyebutkan bahwa pembagian keuntungan adalah antara
kedua orang yang bersyarikat menurut yang mereka tentukan, namun ia tidak menyebutkan
lafadz akad sebagaimana juga belum menyebutkan persyaratan yang harus dipenuhi pada diri
kedua orang yang melakukan akad. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah:

Artinya: Akad yang menentukan seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk
ditijarahkan.[6]
Meskipun mazhab Syafi'i telah menegaskan kategorisasi mudharabah sebagai suatu
akad, namun ia tidak menyebutkan apa yang harus dipenuhi dari persyaratan kedua pihak yang
melakukan akad, sebagaimana ia juga tidak menjelaskan cara pembagian keuntungan. Syaikh
syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah adalah:

Artinya: Seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan
bersama-sama.[7]

Al-Bakri Ibn al-Arif Billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat bahwa mudharabah
adalah:

Artinya: Seseorang memberikan masalahnya kepada yang lain dan didalamnya diterima
penggantian.

7
Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah adalah aqad antara dua belah pihak untuk salah satu
pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi
dua sesuai dengan perjanjian.[8] Menurut Imam Taqiyuddin, mudharabah adalah:

Artinya: Aqad keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.[9]

Dari berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi mudharabah adalah
suatu akad yang memuat penyerahan modal khusus atau semaknanya tertentu dalam jumlah,
jenis dan karakternya dari orang yang diperbolehkan mengelola harta kepada orang lain yang
'aqil, mumayyiz dan bijaksana, yang ia pergunakan untuk berdagang dengan mendapatkan
bagian tertentu dari keuntungannya menurut nisbah pembagiannya dalam kesepakatan. Secara
lebih sederhana mudharabah adalah akad yang dilakukan oleh pemilik modal dengan
pengelola, dimana keuntungannya disepakati di awal untuk dibagi dua dan kerugian
ditanggung oleh pemodal.

Mudharabah adalah aqad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah
dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad Saw
berprofesi sebagai pedagang, beliau melakukan aqad mudharabah dengan Khadijah. Dalam
praktik mudharabah antara Khadijah dengan Nabi Muhammad Saw keluar negeri. Dalam hal
ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahib al-maal) sedangkan Nabi Muhammad
Saw berperan sebagai pelaksana usaha(mudharib). [10]

Secara teknis Al-Mudharabah adalah aqad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi dalam kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, apabila terdapat kerugian dalam usaha di tanggung oleh pemilik
modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola.

B. Syarat dan Rukun Mudharabah


Menurut ulama Syafiiyah, rukun-rukun mudharabah ada enam yaitu:
1. Pemilik barang menyerahkan barang-barangnya;
2. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang;
3. Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang;
4. Mal, yaitu harta pokok atau modal;
5. Amal yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba;
6. Keuntungan.

Menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul yang keluar dari orang yang
memiliki keahlian. Dari uraian ini penulis dapat menyimpulkan rukun mudharabah yaitu
pemilik pemodal, orang bekerja ijab dan kabul, mengelola harta sehingga menghasilkan
keuntungan.

8
Syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu
sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut :
1. Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu
berbentuk emas atau perak batangan (tabar), emas hiasan atau barang dagangan
lainnya, mudharabah tersebut batal
2. Bagi orang yang melakukan aqad disyaratkan mampu melakukan tasharuf, maka
dibatalkan aqad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang
berada di bawah pengampuan.
3. Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang
diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dan perdagangan tersebut yang akan
dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
4. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola pemilik modal harus jelas
persentasenya, umpamanya setengah, spertiga, atau seperempat.
5. Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu
untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
6. Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk
berdagang di negara tertentu, pada waktu-waktu tertentu, sementara di waktu lain
tidak karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan aqad
mudharabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut akan menjadi
rusak (fasid) menurut pendapat al-Syafii dan Malik, sedangkan menurut Abu
Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal, mudharabah tersebut sah.

C. Contoh-contoh Kasus Mudharabah dan Penyelesaiannya.


1. Pemilik modal dari 1 (satu) orang dan pelaksana satu orang.

Zaed menyerahkan modal sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada Umar untuk
diniagakan. Pada saat perjanjian (akad) disepakati bahwa keuntungan akan dibagi 40%
untuk Zaed (pemilik modal) dan 60% untuk Umar, dan keuntungan dibagikan setiap usaha
setelah mendapatkan keuntungan (1 kali putaran produksi).
Jika Untung:
Setelah dilakukan usaha, keuntungan bersih (setelah dikurangi biaya-biaya) yang diperoleh
sebesar Rp. 500.000,-
Maka keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah:
Zaed :40% x Rp. 500.000 = Rp. 200.000,-
Umar :60% x Rp. 500.000 = Rp. 300.000,-
Dengan keuntungan tersebut, diakhir bisnis uang yang diterima Zaed adalah:
(seluruh modal + bagian)
1.000.000 + 200.000 = Rp. 1.200.000

9
Jika Rugi:

Pada saat akhir bisnis mengalami kerugian (ingat menentukan kerugian setelah kerjasama
mau berakhir/penyerahan modal kepada pemilik) yang bukan diakibatkan oleh kelalaian
Umar, maka kerugian tersebut ditanggung oleh Zaed selaku pemilik modal.

Untuk mengembalikannya maka komoditi yang ada dijual seluruhnya sehingga menjadi
bentuk uang tunai. Dan keuntungan yang telah diperoleh Zaed selama ini dihitung menjadi
bagian modal dan yang bagian Umar diserahkan kepada Zaed untuk menutupi kerugian
pada modal.

Jika seluruh komoditi telah dijual dan memiliki kelebihan dari Rp. 1000.000,- (modal
usaha) maka selebihnya itu dianggap keuntungan dan dibagi sesuai prosentase yang telah
disepakati.
2. Pemilik modal terdiri dari beberapa orang dan pelaksana 1 orang

Zaed, Umar dan Bakar bersepakat mengumpulkan modal, kemudian akan diserahkan
kepada Husen dengan sistem mudharabah. Modal yang dibutuhkan Husen sebesar Rp.
12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Mereka (Zaed, Umar, Bakar) bersepakat bahwa
keuntungan akan disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-masing.

Rincian prosentase dari modal yang ditanam masing-masing sebesar Rp. 12.000.000,-
adalah:
Zaed :40% (Rp. 4.800.000,-)
Umar :25% (Rp. 3.000.000,-)
Bakar :35% (Rp. 4.200.000,-)+
100% (Rp.12.000.000,-)

Selanjutnya uang tersebut diserahkan kepada Husen untuk diniagakan dengan akad
mudharabah. Pada saat akad disepakati bahwa keuntungan dibagi 60% untuk pemilik
modal (Zaed, Umar, Bakar) dan 40% untuk pelaksana (Husen). Keuntungan dibagikan
(dihitung) setiap usaha telah memperoleh laba (satu kali putaran produksi).
Jika untung:
Setelah satu kali putaran produksi, diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.500.000,-
Maka cara pembagian keuntungannya:
Langkah 1
Pembagian keuntungan antara pemilik modal dengan pelaksana
- Pemilik modal :
60% x Rp. 2.500.000 = Rp. 1.500.000,-

10
- Husen
40% x Rp. 2.500.000 = Rp. 1.000.000,-
Langkah 2

Pembagian keuntungan Rp. 1.500.000,- antara pemilik modal sesuai dengan modal masing-
masing sebagai berikut:
Cara 1

Prosentase saham masing-masing pemilik modal dikalikan dengan keuntungan yang


diperoleh:
Zaed :40% x 1.500.000 = Rp. 600.000
Umar :25% x 1.500.000 = Rp. 375.000
Bakar :35% x 1.500.000 = Rp. 525.000 +
Rp. 1.500.000
Cara 2
Menggunakan rumus:
Jumlah seluruh keuntungan dibagi seluruh modal lalu dikali modal masing-masing
Jadi : Rp. 1.500.000 = 0,125
Rp. 12.000.000
Keuntungan yang diterima masing-masing pemilik modal:
Zaed : 0,125 x Rp. 4.800.000 = Rp. 600.000
Umar : 0,125 x Rp. 3.000.000 = Rp. 375.000
Bakar : 0,125 x Rp. 4.200.000 = Rp. 525.000 +
Rp. 1.500.000

Ingat : Jika hasil bagi ini (0,125) dibulatkan menjadi 0,13 hasil penghitungannya belum
tentu sesuai dengan keuntungan yang akan dibagikan
Jika rugi :

Kasus jika kerugian yang ada pada modal tertutupi oleh keuntungan yang telah dibagikan
saat bisnis berjalan (sebelum akhir bisnis).

11
Sumber/ Refrensi
http://fatan10.blogspot.co.id/2015/04/pengambilan-keuntungan-dari-pinjaman_21.html
https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-bunga-bank-menurut-islam
http://infosurgadanneraka.blogspot.com/2016/04/hukum-meminjam-uang-berbunga.html

http://pengusahamuslim.com/3833-al-mudharabah-bagi-hasil-sebagai-solusi-
perekonomian-islam.html
http://hanafipraja.blogspot.co.id/2016/08/b

http://www.kompasiana.com/ackieudin/contoh-pembagian-keuntungan-bagi-hasil-
mudhorobah_55005b1ba333115b74510755ab-ii.html

12

Anda mungkin juga menyukai