Anda di halaman 1dari 15

PANDUAN INTERAKSI OBAT

RUMAH SAKIT PERMATA BUNDA MALANG

Jl. Soekarno Hatta no 75 Telp. (0341) 487487 407462

Kecamatan Lowokwaru Kota Malang


BAB I
DEFENISI

A. Defenisi
Interaksi obat merupakan suatu keadaan dimana efek suatu obat (index
drug) berubah akibat adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau
minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki
(Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/
Adverse Druf Interaction) yang lazimnya menyebakan efek samping obat dan/atau
toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma atau sebaliknya
menurunkan kadar obat dalam plasmayang menyebabkan hasil terapi menjadi
tidak optimal.

B. Tujuan
1. Menyediakan panduan untuk rumah sakit mengenai kebijakan manajemen
dan pemberian obat-obatan yang kemungkinan dapat terjadi interaksi.
2. Mengurangi terjadinya kejadian KTD, KNC, dan Sentinel.
3. Memberikan pelayanan kesehatan dengan kualitas tinggi dan
meminimalisasi terjadinya kesalahan-kesalahan medis dan menurunkan
potensi resiko terhadap pasien.

C. Kebijakan
1. Peran serta Apoteker dalam pengawasan penggunaan obat yang diketahui
terjadi interaksi, seperti:
a. Pengaturan jadwal penggunaan obat
b. Pemberian konseling, informasi dan edukasi kepada pasien dan
atau keluarga pasien serta tenaga kesehatan lain
2. Obat-obatan jenis baru dan infornasi keselamatan tambahan lainnya akan
ditinjau ulang.
D. Prinsip
1. Setiap peresepan yang diberikan untuk pasien dikaji terlebih dahulu oleh
petugas farmasi atau Apoteker.
2. Lakukan pengecekan ganda.
3. Meningkatkan kewaspadaan terhadap penggunaan obat bagi pasien khusus
(kronik, pasien yang dirawat oleh lebih dari 1 orang dokter, penggunaan
obat diruang ICU).
BAB II
RUANG LINGKUP

Peristiwa interaksi obat merupakan aksi dari suatu obat yang berubah
karena pengaruh obat lain yang diberikan secara bersamaan atau hampir
bersamaan. Pembahasan masalah interaksi obat ini sangat penting mengingat
sangat umum sekali pemberian obat lebih dari satu secara bersamaan pada
seorang penderita. Interaksi obat tidak selamanya merugikan, tetapi jika
kemungkinan terjadi interaksi ini tidak diwaspadai pada waktu memberikan obat
pada pasien, maka terjadinya dampak negatif yang merugikan akan lebih besar.
Interaksi obat paling tidak melibatkan 2 jenis obat,
- Obat obyek, yakni obat yang aksinya atau efeknya dipengaruhi atau diubah
oleh obat lain.
- Obat presipitan (precipitan drug), yakni obat yang mempengaruhi atau
mengubah aksi atau efek obat lain.

Obat obyek
Obat-obat yang kemungkinan besar menjadi obyek interaksi atau efeknya
dipengaruhi obat lain, umumnya adalah obat-obat yang memenuhi ciri:
a. Obat-obat dimana perubahan sedikit saja terhadap dosis (kadar obat) sudah
akan menyebabkan perubahan besar pada efek klinik yang timbul. Secara
farmakologi obat-obat seperti ini sering dikatakan sebagai obat-obatan
dengan kurva dosis respons yang tajam (curam; steep dose response curve).
b. Obat-oabt dengan rasio toksik terapik yang rendah, artinya antara dosis toksik
dan obat terapeutik tersebut perbandingannya (atau perbedaannya) tidak
besar. Kenaikan sedikit saja dosis (kadar) obat sudah menyebabkan terjadinya
efek toksik.

Obat-obat yang memenuhi ciri di atas dan sering menjadi objek interaksi
dalam klinik meliputi:
- Antikoagulansia : warfarin
- Antikonvulansia (anti kejang) : antuepilepsi
- Hipoglikemia
- Antiaritmia
- Glikosida jantung : digoksin
- Antihpertensi
- Kontrasepsi oral steroid
- Antibiotika aminoglikosida
- Obat-obat sitotoksik
- Obat-obat susunan saraf pusat, dan lain-lain.

Obat presipitan
Obat-obat presipitan adalah obat yang dapat mengubah aksi/efek obat lain.
Untuk mempengaruhi aksi/efek obat lain, maka obat presipitan umumnya adalah
obat-obat yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Obat-obat dengan ikatan protein yang kuat, oleh karena demikian akan
menggusur ikatan-ikatan protein obat lain yang lemah. Obat-obat yang
masuk di sini misalnya aspirin, fenilbutazon, sulfa, dan lain-lain.
b. Obat-obat dengan kemampuan menghambat (inhibitor) atau merangsang
(inducer) enzim-enzim yang memetabolisir obat di dalam hati. Obat-obat
yang punya sifat sebagai perangsang enzim (enzime inducer) misalnya
rifampisin, karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, dan lain-lain akan
mempercepat eliminasi (metabolisme) obat-obat yang lain sehingga kadar
dalam darah lebih cepat hilang. Sedangkan obat-obat yang dapat
menghambat metabolisme (enzyme inhibitor) termasuk kloramfenikol,
alupurinol, simetidin, dan lain-lain akan meningkatkan kadar obat objek
sehingga terjadi efek toksik.
c. Obat-obat yang dapat mempengaruhi/merubah fungsi ginjal sehingga
eliminsasi obat-obat lain dapat dimodifikasi, misalnya probenesid, obat
golongan diuretika, dan lain-lain.

Ciri-ciri obat presipitan tersebut adalah kalau kita melihat dari segi interaksi
farmakokinetika, yakni terutama pada proses distribusi (ikatan protein),
metabolisme dan ekskresi renal. Masih banyak obat-obat lain diluar ketiga ciri ini
yang bertindak sebagai obat presipitan dengan mekanisme yang berbeda-beda.

Mekanisme terjadinya interaksi obat


Mekanisme terjadinya interaksi obat dapat melalui beberapa cara, yakni 1)
interaksi secara farmasetik (inkompatibilitas); 2) interaksi secara farmakokinetik;
3) interaksi secara farmakodinamik.
(1) Interaksi farmasetik;
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik bersifat
langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadi presipitasi,
perubahan warna, tidak terdeteksi yang selanjutnya menyebabkan obat menjadi
tidak aktif. Contoh: interaksi fenitoin dengan larutan dekstrosa 5% terjadi
presipitasi, amfoterisin B dengan NaCl fisiologik terjadi presipitasi. Beberapa
tindakan hati-hati (precaution) untuk menghindari interaksi farmasetik ini
mencakup,
- Jangan memberikan suntikan campuran obat kecuali kalau yakin betul
bahwa tidak ada interaksi antar masing-masing obat.
- Dianjurkan sedapat mungkin juga menghindari pemberian obat bersama-
sama lewat infus.
- Selalu perhatikan petunjuk pemberian obat dari pembuatnya
(manufactured leaflet), untuk melihat peringatan-peringatan pada
pencampuran dan cara pemberian obat (terutama untuk obat-obat
parenteral misalnya injeksi, infus dan lain-lain).
- Sebelum memakai larutan untuk pemeberian infus, intravenosa, atau yang
lain, perhatikan bahwa tidak ada perubahan warna, kekeruhan, presipitasi
dan lain-lain dari larutan.
- Siapkan larutan hanya kalau diperlukan saja, jangan menimbun terlalu
lama larutan yang sudah dicampur kecuali untuk obat-obat yang memang
sudah tersedia dalam bentuk larutan seperti metronidazol, lidokain, dan
lain-lain.
- Botol infus harus selalu diberi label tentang jenis larutannya, obat-obat
yang sudah dimasukkan, termasuk dosis dan waktunya.
- Jika harus memberi per infus dua macam obat, berikan lewat dua jalur
infus, kecuali kalau yakin tidak ada interaksi.
(2) Interaksi Farmakokinetik;
Interkasi dalam proses farmakokinetik, yakni absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan
kadar plasma obat. Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu
obat tidak dapat diekstrapolasikan untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu
kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia yang
menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Contohnya, interaksi
farmakokinetik pada simetidin tidak berlaku untuk H2 blocker lainnya.
Interaksi yang terjadi pada proses absorpsi gastrointestinal
Mekanisme interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal dapat
terjadi melalui beberapa cara: (1) secara langsung, sebelum absorpsi; (2)
terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal; (3) penghambatan transport aktif
gastrointestinal; (4) adanya perubahan flora usus dan (5) efek makanan.
Interaksi yang terjadi secara langsung sebelum obat diabsorpsi contohnya
adalah interaksi antibiotika (tetrasiklin, fluorokinolon) dengan besi (Fe) dan
antasida Al, Ca, Mg, terbentuk senyawa chelate yang tidak larut sehingga obat
antibiotika tidak diabsorpsi. Obat-obat seperti digoksin, siklosporin, asam valproat
menjadi inaktif jika diberikan bersama adsorben (kaolin, charcoal) atau anionic
exchange resins (kolestritamin, kolestipol).
Terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal, misalnya peningkatan pH
karena adanya antasida, penghambat H2, ataupun penghambat pompa proton akan
menurunkan absorpsi basa-basa lemah (misal, ketokonazol, itrakonazol) dan akan
meningkatkan absorpsi obat-obat asam lemah (misal, glibenklamid, glipizid,
tolbutamid). Peningkatan pH cairan gastrointestinal akan menurunkan absorpsi
antibiotika golongan sefalosforin seperti sefuroksim aksetil dan sefpodoksim
proksetil.
Mekanisme interaksi melalui penghambatan transpor aktif gastriintestinal,
misalnya grape fruit juice, yakni suatu inhibitor protein transpor uptake pump di
saluran cerna, akan menurunkan bioavailabilitas beta-bloker dan beberapa
antihistamin (misalnya, fexofenadin) jika diberikan bersama-sama. Pemberian
digoksin bersama inhibitor transporter efflux pump P-glikoprotein (a.l
ketokonazol, amiodaron, quinidin) akan meningkatkan kadar plasma digoksin
sebesar 60-80% dan menyebabkan intoksikasi (blokade jantung derajat-3),
menurunkan ekskresinya lewat empedu, dan menurunkan ekskresinya oleh sel-sel
tubulus ginjal proksimal.
Adanya perubahan flora usus, misalnya akibat penggunaan antibiotika
berspektrum luas yang mensupresi flora usus dapat menyebabkan menurunnya
konversi obat menjadi komponen aktif. Efek makanan terhadap absorpsi terlihat
misalnya penurunan absorpsi penisilin, rifampisin, INH, atau penigkatan absorpsi
HCT, fenitoin, nitrofurantoin, halofantrin, albendazol, mebendazol karena
pengaruh adanya makanan. Makanan juga dapat menurunkan metabolisme lintas
pertama dari propanolol, metoprolol, dan hidrallazine sehingga bioavailabilitas
obat-obat tersebut meningkat, dan makanan berlemak meningkatkan absorpsi
obat-obat yang sukar larut dalam air seperti griseovulvin, dan danazol.

Interaksi yang terjadi pada proses distribusi


interaksi dalam proses distribusi terjadi terutama bila obat-obat dengan
ikatan protein yang lebih kuat menggusur obat-obat lain dengan ikatan protein
yang lebih lemah dari tempat ikatannya pada protein plasma. Akibatnya maka
kadar obat bebas yang tetgusur ini akan lebih tinggi pada darah dengan segala
konsekuensinya, terutama terjadinya peningkatan efek toksik. Sebagai contoh,
misalnya meningkatnya efek toksik dari antikoagulan warfarin atau obatobat
hipoglikemik (tolbutamid, klorpropamid) karena pemberian bersamaan dengan
fenilbutason, sulfa atau aspirin. Hampir sama dengan interaksi ini adalah dampak
pemakaian obat-obatan dengan ikatan protein yang tinggi pada keadaan malnutrisi
(hipoproteinemia). Karena kadar protein rendah, maka obat-obat dengan ikatan
protein yang tinggi akan lebih banyak dalam keadaan bebas karena kekurangan
protein untuk mengikat obat sehingga dengan dosis yang sama akan memberikan
kadar obat bebas yang lebih tinggi dengan akibat meningkatnya efek toksik.
Disamping itu interaksi dalam proses distribusi dapat terjadi bila terjadi
perubahan kemampuan transport atau uptake seluler suatu obat oleh karena obat-
obat lain. Misalnya obat-obat antidepresan trisiklik atau fenotiasin akan
menghambat transpor aktif ke akhiran saraf simpatis dari obat-obat antihipertensi
(guanetidin, debrisokuin) sehingga mengurangi atau menghilangkan efek
antihipertensi.
Interaksi dalam proses metabolisme
Interaksi dalam proses metabolisme dapat terjadi dengan dua kemungkinan,
- Pemacuan enzim (enzyme induction)
Suatu obat (presipitan) dapat memacu metabolisme obat lain (obat obyek)
sehingga mempercepat eliminasi obat tersebut. Kenaikan kecepatan eliminasi
(pembuangan atau inaktivasi) akan diikuti dengan menurunnya kadar obat
dalam darah dengan segala konsekuensinya. Obat-obat yang dapat memacu
enzim metabolismeobat disebut enzyme inducer. Dikenal beberapa obat yang
mempunyai sifat pemacuenzim ini yakni: rifampisin, antiepileptika (fenitoin,
karbamezepin, fenobarbital).
Dari berbagai reaksi metabolisme obat, maka reaksi oksidadi fase I yang
dikatalisir oleh enzim sitokrom P-450 dalam mikrosom hepar yang paling
banyak dan paling mudah dipicu.
- Penghambatan enzim (enzyme inhibitor). Metabolisme suatu obat juga dapat
dihambat oleh obat lain. Obat-obat yang punya kemampuan untuk
menghambat enzim yang memetabolisir obat lain dikenal sebagai
penghambat enzim (enzyme inhibitor). Akibat dari penghambatan
metabolisme obat ini adalah meningkatnya kadar obat dalam darah dengan
segala konsekuensinya, oleh karena terhambatnya proses eliminasi obat.
Obat-obat yang dikenal dapat menghambat aktifitas enzime metabolisme obat
adalah: kloramfenikol, isoniazid, simetidin, propanolol, eritromisin,
alopurinol, dll
Tergantung dari jenis obat obyek yang mengalami interaksi, yakni terutama oabt
dengan lingkup terapi yang sempit, maka interaksi metabolisme dapat membawa
dampak merugikan. Umumnya secara ringkas dapat dikatakan bahwa,
- Pemacuan enzim akan berakibat kegagalan terapi, karena kadar optimal
tidak tercapai
- Penghambatan enzim akan berakibat meningkatkan kadar obat melampaui
ambang toksik.
Interaksi dalam proses ekskresi
Interaksi obat atau metabolitnya melalui organ ekskresi terutama ginjal dapat
dipengaruhi oleh obat-obat lain. Yang paling dikenal adalah interaksi antara
probenesid dengan penisilin melalui kompetisi sekresi tubuli sehingga proses
sekresi pensilin terhambat, maka kadar pensilin dapat dipertahankan dalam tubuh.
Interaksi probenesid dan penisilin adalah contoh interaksi yang menguntungkan
secara terapetik. Klinidin juga menghambat sekresi aktif digoksin dengan akibat
peningkatan kadar digoksin dalam darah, kira-kira sampai 2 kali, sehingga terjadi
peningkatan kejadian efek toksik digoksin. Salisilat menghambat sekresi aktif
metotreksat. Obat-obat diuretika menyebabkan retensi lithium karena hambatan
pada proses ekskresinya. Furosemid juga dapat meningkatkan efek toksik ginjal
aminoglikosida, kemungkinan oleh karena perubahan ekskresi aminoglikosida.

(3) Interaksi farmakodinamik


Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi
efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma
ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interkasi farmakodinamik umumnya dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi,
karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek farmakodinamiknya. Selain itu,
umumnya kejadian interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat
dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat.
Contoh interaksi obat pada reseptor yang bersifat antagonistik misalnya:
interaksi antara beta-bloker dengan agonis beta 2 pada penderita asma; interaksi
antara penghambat reseptor dopamin (haloperidol, metoklopramid) dengan
levodopa pada pasien parkinson. Beberapa contoh interaksi obat secara fisiologi
serta dampaknya antara lain sebagai berikut : interaksi aminoglikosida dengan
furosemid akan meningkatkan resiko ototoksik dan nefrotoksik dari
aminoglikosida; -bloker dengan verapamil menimbulkan gagal jantung, blok AV
dan bradikardia berat; benzodiazepin dengan etanol meningkatkan depresi
susunan saraf pusat (SSP); kombinasi obat-obat trombolitik antikoagulan dan
antiplatelet menyebabkan perdarahan.
Penggunaan diuretik kuat (misal furosemid) yang menyebabkan perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit seperti hipokalemia, dapat meningkatkan
toksisitas digitalis jika diberikan bersama-sama. Pemberian furosemid bersama
relaksan otot (misal d-tubokurarin) menyebabkan paralisis berkepanjangan.
Sebaliknya, penggunaan diuretik hemat kalium (spironolakton, amilorid) bersama
dengan penghambat ACE (kaptopril) menyebabkan hiperkalemia. Kombinasi
antihipertensi dengan obat-obat antiinflamasi non steroid (NSAID) yang
menyebabkan retensi garam dan air, terutama pada penggunaan jangka lama,
dapat menurunkan efek antihipertensi.
Implikasi klinis interaksi obat
Interaksi obat sering dianggap sebagai suber terjadinya efek samping obat
(adverse drug reactions), yakni jika metabolisme suatu obat indeks terganggu
akibat adanya obat lain (precipitant) dan menyebabkan peningkatan kada plasma
obat indeks sehingga terjadi toksisitas. Selain itu interaksi antarobat dapat
menurunkan efikasi obat. Interaksi obat demikian tergolong sebagai interaksi obat
yang tidak dikehendaki atau Adverse Drug Interactions (ADIs). Meskipun
demikian, beberapa interaksi obat tidak selalu harus dihindari karena tidak
selamanya serius untuk mencederai pasien.
Interaksi obat yang tidak dikehendaki
Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs) mempunyai implikasi teknis jika :
(1) obat indeks memiliki batas keamanan sempit; (2) mula kerja (onset of action)
obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam; (3) dampak ADIs bersifat serius atau
berpotensi fatal dan mengancam kehidupan; (4) indeks dan obat presipitan lazim
digunakan dalam praktek klinik secara bersamaan dalam kombinasi.
Banyak faktor berperan dalam terjadinya ADIs yang bermakna secara
klinik, antara lain faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan penggunaan obat-obat
preskripsi bersamaan dengan obat-obat OTC sekaligus. Usia lanjut lebih rentan
menghadapi interaksi obat. Pada penderita diabetes melitus usia lanjut yang
disertai menurunnya fungsi ganjal, pemberian penghambat ACE (misal :
kaptopril) bersama dengan diuretik hemat kalium (misal : spironolakton, amilorid,
triamteren) menyebabkan terjadinya hiperkalemia yang mengancam kehidupan.
Beberapa penyakit seperti penyakit hati kronik dan kongesti hati menyebabkan
penghambatan metabolisme obat-obat tertentu yang dimetabolisme di hati
(misalnya simetidin) sehingga toksisitasnya dapat meningkat. Pemberian relaksan
otot bersama aminoglikosida pada penderi miopati, hipokalemia, atau disfungsi
ginjal, dapat menyebabkan efek relaksan otot meningkat dan kelemahan otot
meningkat.
Polimorfisme adalah salah satu faktor genetik yang berperan dalam
interaksi obat. Pemberian fenitoin bersama INH pada kelompok polimorfisme
asetilator lambat dapat menyebabkan toksisitas fenitoin meningkat. Obat-obat
OTC seperti antasida, NSAID dan rokok yang banyak digunakan secara luas dapat
berinteraksi dengan banyak sekali obat-obat lain.
Interaksi obat yang dikehendaki
Adakalanya penambahan obat lain justru diperlukan untuk meningkatkan atau
mempertahankan kadar plasma obat-obat tertentu sehingga diperoleh efek
terapetik yang diharapkan. Selain itu, penambahan obat lain diharapkan dapat
mengantisipasi atau mengantagonis efek obat yang berlebihan. Penambahan obat
lain dalam bentuk kombinasi (tetap atau tidak tetap) sengaja dilakukan untuk
mencegah perkembangan resistensi, meningkatkan kepatuhan, dan menurunkan
biaya terapi karena mengurangi regimen dosis obat yang harus diberikan.
BAB III

TATA LAKSANA

A. PROSEDUR
Lakukan prosedur skrinning kinis peresepan.

1. Peresepan
a. Skrinning klinis harus dilakukan untuk setiap resep yang diterima
b. Skrinning dilakukan oleh petugas farmasi dan Apoteker
2. Persiapan
a. Setiap obat yang disiapkan setelah dilakukan skrinning
b. Pengaturan jadwal penggunaan obat dilakukan pada etiket obat
3. Pemberian informasi obat serta edukasi kepada pasien dan atau
keluarga pasien meliputi kemungkinan terjadinya interaksi obat satu
dengan obat lain,serta interaksi obat dengan makanan

Berikut adalah contoh daftar yang dapat terjadinya interaksi

Obat-obatan Berinteraksi dengan


Azitromycin Levofloxacin
Oral Kontrasepsi Obat-obat TB
Paracetamol Jahe
Aspirin Candesartan
Atorvastin Clopidogrel
Aspirin Glimepirid
Glimepirid Furosemid
Ranitidine Glimepirid
Furosemid Metformin
Oral kontrasepsi Rokok
B. EFEK DARI TERJADINYA INTERAKSI
1. Azitromycin dengan Levofloxacin
Interaksi dari kedua obat ini adalah meningkatnya heart rate pada
pasien.
Solusi : kedua obat ini tidak boleh digunakan secara bersama-sama,
harus ada pengaturan jeda minum obat dan berhati-hati terhadap pasien
dengan riwayat atrial fibrilasi
2. Oral Kontrasepsi dengan Obat-obat TB
Penggunaan secara bersama dari kedua obat ini dapat menyebabkan
kegagalan kontrasepsi, karena obat-obat TB merupakan induktor enzim
bagi oral kontrasepsi yang akan mengurangi efek obat terebut.
Solusi : kedua obat ini tidak boleh digunakan secara bersama-sama,
harus ada pengaturan jeda minum obat
3. Paracetamol dengan Jahe
Jahe memiliki kandungan Gingerol yang dapat meningkatkan efek dari
paracetamol melalui efek sinergis.
Solusi : Berhati-hati terhadap pasien dengan riwayat hepatitis atau
gangguan fungsi liver
4. Aspirin dengan Candesartan
Kombinasi kedua obat ini akan menyebabkan efek untuk menurunkan
tekanan darah dari Candesartan akan berkurang.
Solusi : kedua obat ini tidak boleh digunakan secara bersama-sama,
harus ada pengaturan jeda minum obat
5. Atorvastatin dan Clopidogrel
Kombinasi kedua obat ini akan menyebabkan efek dari Clopidogrel
akan berkurang.
Solusi : kedua obat ini tidak boleh digunakan secara bersama-sama,
harus ada pengaturan jeda minum obat
6. Aspirin dan Glimepirid
Efek dari intraksi kedua obat ini Aspirin dapat meningkatkan efek
menurunkan gula darah dari Glimepirid sehingga akan menyebabkan
pusing, lemah.
Solusi : kedua obat ini tidak boleh digunakan secara bersama-sama,
harus ada pengaturan jeda minum obat
7. Glimepirid dan Furosemid
Efek dari intraksi kedua obat ini Furosemid dapat menurunkan efek
penurunan gula darah dari Glimepirid.
Solusi : kedua obat ini tidak boleh digunakan secara bersama-sama,
harus ada pengaturan jeda minum obat
8. Ranitidin dan Glimepiride Penggunaan bersama kedua obat ini dapat
menyebabkan efek dari Glimepiride meningkat dan terjadi penurunan
gula darah yang drastis, karena Ranitidine merupakan inhibitor enzim.
Solusi : kedua obat ini tidak boleh digunakan secara bersama-sama,
harus ada pengaturan jeda minum obat.
9. Furosemid dan Metformin
Penggunaan bersama kedua obat ini dapat menyebabkan efek dari
Metformin meningkat dan terjadi penurunan gula darah yang drastis..

Solusi : kedua obat ini tidak boleh digunakan secara bersama-sama,


harus ada pengaturan jeda minum obat

10. Oral kontrasepsi dan Rokok


Interaksi yang terjadi anatara Oral Kontrasepsi dengan Rokok dapat
menyebabkan kegagalan dari obat oral kontrasepsi, karena Rokok
merupakan induktor enzim

Solusi : Penggunaan Oral Kontrasepsi dengan Rokok ini tidak boleh


digunakan secara bersama-sama.

Anda mungkin juga menyukai