Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

ILMU PENYAKIT MATA

DEFISIENSI VITAMIN A PADA MATA


(XEROFTALMIA)

Pembimbing:
dr. Wahid Heru Widodo, Sp.M

Disusun oleh:
Mona Monta G4A016077
Karunia Putri Amalia Sumarno G4A016078
Dilla Alfinda Risdiana G4A016079

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui referat dengan judul :

DEFISIENSI VITAMIN A PADA MATA


(XEROFTALMIA)

Pada tanggal, 30 Oktober 2017

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Mata
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh:

Mona Montaz G4A016077


Karunia Putri Amalia Sumarno G4A016078
Dilla Alfinda Risdian G4A016079

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Wahid Heru Widodo, Sp.M


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW beserta para pengikut setianya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Penyakit Mata, terutama dr. Wahid Heru Widodo,
Sp.M, selaku pembimbing penulis. Penulis menyadari referat ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan
dapat dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.

Purwokerto, 30 Oktober 2017

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii


KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
I. PENDAHULUAN
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Kornea .......................................................................................
B. Anatomi Konjungtiva........................................................................
C. Definisi .....................................................................................................
D. Etiologi .....................................................................................................
E. Epidemiologi ...........................................................................................
F. Klasifikasi .................................................................................................
G. Patofisiologi ..............................................................................................
H. Penegakan Diagnosis ................................................................................
I. Penatalaksana............................................................................................
J. Rujukan...........................................................................................
K. Komplikasi ...............................................................................................
L. Prognosis ..................................................................................................
III. KESIMPULAN ............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Vitamin A adalah nutrisi esensial yang berperan penting dalam
pengaturan imunitas dalam respon antibodi humoral. Kekurangan vitamin A
adalah masalah kesehatan umum yang luas. Anak usia prasekolah dan wanita di
usia reproduktif merupakan dua kelompok populasi yang paling berisiko.
Suplementasi vitamin A menunjukkan adanya pengurangan insiden campak,
diare, dan kematian, serta meningkatkan beberapa aspek kesehatan mata
(Joaquin & Molyneux, 2009).
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak
dan disimpan dalam hati, tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi
dari luar (esensial). Vitamin A berfungsi untuk penglihatan, pertumbuhan dan
meningkatkan daya tahan terhadap penyakit (Depkes RI, 2005).
Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah serius
terutama di negara berkembang. Kawasan Asia Tenggara memiliki prevalensi
KVA pada balita tertinggi di antara wilayah lain. Di Indonesia sendiri, KVA
masih merupakan masalah gizi utama. Hasil penelitian di Indonesia
menunjukkan bahwa kadar serum vitamin A balita rata-rata hanya 11 g/dl
dengan prevalensi xeroftalmia buta senja (XN) sebesar 1,18% (Herman, 2006).
Kurang Vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah gizi utama di
Indonesia (Soekirman, 2008). Salah satu indikator KVA sebagai masalah
kesehatan masyarakat menurut WHO adalah jika prevalensi xeroftalmia (X1B)
lebih dari sama dengan 0,5% atau lebih dari 0,5% populasi memiliki kadar
serum retinol dibawah 20 g/dl (Herman, 2006). KVA dapat menyebabkan
kebutaan, mengurangi daya tahan tubuh sehingga sering menyebabkan kematian
pada anak-anak. Penyebab masalah KVA adalah kemiskinan, kurangnya asupan
vitamin A dan kurangnya pengetahuan tentang gizi (Almatsier, 2006).
Di Indonesia sendiri, KVA masih merupakan masalah gizi utama.
Meskipun KVA tingkat berat (xerophthalmia) sudah jarang ditemui, tetapi KVA
tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata, masih
menimpa masyarakat luas terutama kelompok balita dan anak-anak. KVA
tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan memeriksa kadar vitamin A
dalam darah di laboratorium (Herman, 2006).
Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena gunung es. Artinya
adalah gejala KVA yaitu berupa xerophthalmia hanya tampak sedikit
dipermukaan namun KVA subklinis yang ditandai dengan rendahnya kadar
vitamin A dalam darah masih merupakan masalah besar yang perlu mendapat
perhatian serius. Hal tersebut menjadi lebih penting lagi karena erat kaitannya
dengan masih tingginya angka penyakit infeksi dan kematian pada balita
(Depkes RI, 2005).
Layaknya fenomena gunung es, dikhawatirkan masih banyak kasus
xeroftalmia di masyarakat yang belum terdiagnosis. Oleh karena itu, penting
sekali untuk mendeteksi secara dini dan menangani kasus xeroftalmia ini dengan
cepat dan tepat untuk mencegah timbulnya komplikasi kebutaan seumur hidup
yang berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Kornea
Kornea berasal dari bahasa Latin cornum yang berarti seperti tanduk adalah
selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Kornea merupakan jaringan yang
avaskular, bersifat transparan, sehingga dapat ditembus oleh berkas cahaya untuk
masuk ke interior mata, sedangkan sumber nutrisi untuk kornea didapatkan melalui
pembuluh-pembuluh darah limbus, aquos humor, dan air mata. Saraf-saraf sensorik
kornea didapat dari cabang pertama Nervus V yaitu Nervus Opthtalmicus (Vaughan,
2012; Ilyas & Yulianti, 2014).
Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama merefleksikan cahaya yang
masuk ke mata. Di posterior berhubungan dengan humor aquosus. Kornea adalah
avaskular dan sama sekali tidak mempunyai aliran limfe. Kornea mendapatkan
nutrisi dengan cara difusi dari humor aquous dan dari kapiler yang terdapat
dipinggirnya. Persarafan yang mempersarafi kornea adalah nervi ciliares longi dari
divisi ophthalmica nervus trigeminus (Snell, 2013).
Sifat tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform,
avaskular, dan deturgesens. Deturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan
kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi
sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme
dehidrasi, sehingga kerusakan pada endotel jauh lebih berbahaya dibandingkan
dengan kerusakan pada epitel (Vaughan, 2012).
Secara histologis, kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel, membran
bowman, stroma, membran descement, dan endotel (Ilyas & Yulianti, 2014).
Gambar 2.1. Gambaran Histologi Kornea.

1. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal; sel poligonal dan sel gepeng (Ilyas &
Yulianti, 2014). Terdapat dua fungsi utama epitel: (1) membentuk barier antara
dunia luar dengan stroma kornea dan (2) membentuk permukaan refraksi yang
mulus pada kornea dalam interaksinya dengan tear film. Berbagai proses
metabolik, biokemikal dan fisikal tampaknya mempunyai tujuan primer
mempertahankan keadaan lapisan sel epitel yang berfungsi sebagai barier dan
agar permukaan kornea tetap licin. Permukaan kornea yang licin berperan
penting dalam terbentuknya penglihatan yang jelas (Vaughan, 2012).
2. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolgen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapisan ini tidak memiliki daya regenerasi sehingga bila terjadi trauma akan
digantikan dengan jaringan parut (Ilyas & Yulianti, 2014).
3. Stroma
Stroma tersusun atas matriks ekstraselular seperti kolagen dan
proteoglikan. Matriks ekstraselular ini memegang peranan penting dalam
struktur dan fungsi kornea. Stroma terdiri atas kolagen yang diproduksi oleh
keratosit dan lamella kolagen. Karena ukuran dan bentuknya seragam
menghasilkan keteraturan yang membuat kornea menjadi transparan. Serat-serat
kolagen tersusun seperti lattice (kisi-kisi), pola ini berfungsi untuk mengurangi
hamburan cahaya. Transparansi juga tergantung kandungan air pada stroma
yaitu 70%. Proteoglikan yang merupakan substansi dasar stroma, memberi sifat
hidrofilik pada stroma. Hidrasi sangat dikontrol oleh barier epitel dan endotel
serta pompa endotel (Ilyas & Yulianti, 2014).
4. Membran Descement
Membran descement merupakan membran aselular, batas belakang
stroma kornea, dihasilkan sel endotel serta merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus menerus seumur hidup elastis serta
lebih resisten terhadap trauma dan penyakit, dari pada bagian lain dari kornea
(Ilyas & Yulianti, 2014).
5. Endotel
Dua faktor yang berkontribusi dalam mencegah edem stroma dan
mempertahankan kandungan air tetap pada 70% adalah fungsi barier dan pompa
endotel. Fungsi barier endotel diperankan oleh adanya tight junction diantara sel-
sel endotel (Edelhauser, 2005). Pompa endotel dalam menjalankan fungsinya
tergantung pada oksigen, glukosa, metabolisme karbohidrat dan adenosine
triphosphatase. Keseimbangan antara fungsi barier dan pompa endotel akan
mempertahankan keadaan deturgesensi kornea (Edelhauser, 2005).

B. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membrana mukosa tipis yang melapisi palpebra, melipat
pada fornix superior dan inferior untuk melapisi permukaan anterior bola mata.
Epitelnya melanjutkan diri dengan epitel kornea. Bagian lateral atas fornix superior
ditembus oleh ductus glandula lacrimalis. Jadi konjungtiva membentuk ruang
potensial, yaitu sakus konjungtivalis, yang terbuka ke fissura palpebrae. Di bawah
kelopak mata terdapat alur, sulcus subtarsalis, yang berjalan dekat dan parallel
dengan pinggir palpebra (Snell, 2013).
Gambar 2.2 Anatomi Bola Mata.

C. Definisi
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan struktur
kimianya disebut retinol, retinal, asam retinoat. Pada jaringan hewan retinol disimpan
dihati sebanyak 90-95%. Vitamin A merupakan salah satu zat gizi dan golongan
vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata dan
kesehatan tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh) (Almatsier, 2004).
Dalam buku panduan pemberian suplemen vitamin A, kekurangan vitamin A
adalah suatu kondisi dimana simpanan Vitamin A dalam tubuh berkurang. Keadaan
ini ditunjukan dengan kadar serum retinol dalam darah kurang dari 20g/dl.
Xeroftalmia merupakan istilah yang menerangkan gangguan pada mata akibat
kekurangan vitamin A, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan
gangguan fungsi sel retina yang dapat menyebabkan kebutaan. Defisiensi vitamin A
adalah suatu keadaan, ditandai rendahnya kadar Vitamin A dalam jaringan
penyimpanan (hati) dan melemahnya kemampuan adaptasi terhadap gelap dan sangat
rendahnya konsumsi atau masukan karotin dari Vitamin A (Salam, 2013).
Retinol, retinal, asam retinoat dikenal sebagai faktor pencegahan xeroftalmia
berfungis untuk pertumbuhan sel epitel dan pengatur kepekaan rangsang sinar pada
saraf mata, jumlah yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) per
hari 400ug retinol untuk anak-anak dan dewasa 500ug retinol. Tubuh menyimpan
retinol dan betacarotene dalam hati dan mengambilnya jika tubuh memerlukannya
(Almatsier, 2004).
D. Etiologi
Kekurangan vitamin A disebabkan oleh (Depkes RI, 2003) :
1. Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup Vitamin A atau Pro Vitamin A
untuk jangka waktu yang lama.
2. Bayi tidak diberikan ASI eksklusif.
3. Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein, Zn/seng atau zat gizi
lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan Vitamin A dan penyerapan Vitamin A
dalam tubuh.
4. Adanya gangguan penyerapan Vitamin A atau Pro Vitamin A seperti pada
penyekit-penyakit antara lain, diare kronik, KEP dan lain-lain.
5. Adanya kerusakan hati seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronis,
menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein) dan pre-
albumin yang penting dalam penyerapan Vitamin A.
Kebutuhan vitamin A tergantung golongan umur, jenis kelamin dan kondisi
tertentu. Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan adalah seperti pada tabel berikut
(Depkes RI, 2005):

Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Vitamin A.

Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap defiiensi vitamin A. Penyebab


paling penting dari defisiensi vitamin A pada anak adalah rendahnya asupan
makanan yang mengandung vitamin A (termasuk pemberian ASI yang tidak
memadai) dan infeksi yang berulang, khususnya campak, diare, dan infeksi
pernafasan (Mansjoer et al, 2007):
1. Asupan makanan kaya vitamin A yang kurang memadai.
2. Infeksi berulang, khususnya campak, diare, dan infeksi pernapasan akut.
3. Pemberian ASI yang tidak memadai dalam jangka lama.
4. Pemberian makanan pelengkap yang tidak sesuai waktunya (seperti pengenalan
makanan padat yang rendah nilai gizinya).
5. Tingkat pendidikan keluarga yang rendah.
6. Kurangnya kewaspadaan dan pengetahuan tentang peran penting vitamin A
terhadap kesehatan anak.

E. Epidemiologi
Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah serius terutama di
negara berkembang. Kekurangan vitamin A dapat terjadi pada semua umur akan
tetapi kekurangan yang disertai kelainan pada mata umumnya terdapat pada anak
berusia 6 bulan sampai 4 tahun. Biasanya pada anak juga terdapat kelainan protein
kalori malnutrisi (Ilyas & Yulianti, 2014). Kawasan Asia Tenggara memiliki
prevalensi KVA pada balita yang tertinggi di antara wilayah lain. Tabel 1
mencantumkan prevalensiKVA pada balita yang tercatat di berbagai penjuru dunia.

Tabel 2.2. Prevalensi KVA pada Anak Di Bawah Lima Tahun.


F. Klasifikasi
Terdapat 2 kelainan kekurangan vitamin A yaitu niktalopia (buta senja) dan
atrofi serta keratinisasi jaringan epitel dan mukosa. Pada keratinisasi didapatkan
xerosis konjungtiva, bercak Bitot, xerosis kornea tukak kornea dan berakhir dengan
keratomalasia (Ilyas & Yulianti, 2014).
Klasifikasi Kekurangan vitamin A di Indonesia menggunakan Klasifikasi Ten
Doeschate (Ilyas &Yulianti, 2014):
1. X0 : Hemeralopia (Penurunan pengelihatan pada senja hari atau pada ruang
kurang cahaya akibat gangguan pada sel batang retina).
2. X1 : Hemeralopia dengan xerosis konjungtiva dan Bitot.
3. X2 : Xerosis kornea.
4. X3 : Keratomalasia.
5. X4 : Stafiloma, ptisis bulbi.
Dimana : X0 sampai X2 masih reversibel
X3 sampai X4 irreversibel
Klasifikasi Kekurangan vitamin A berdasarkan WHO yaitu (Ilyas & Yulianti,
2014):
1. XN (Rabun Senja)
Pada Rabun senja akan ditandai dengan hal-hal sebagai berikut (Depkes RI,
2003):
a. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina.
b. Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-
remang setelah lama berada di cahaya terang.
c. Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tak dapat melihat di
lingkungan yang kurang cahaya, sehingga disebut buta senja.
Rabun senja terjadi akibat gangguan pada retina sehubungan dengan adanya
defisiensi vitamin A. Dari sudut fungsi terjadi hemeralopia atau nictalopia yang
oleh awam disebut buta senja atau buta ayam (kotokan) yaitu ketidaksanggupan
melihat pada cahaya remang-remang. Disebut buta senja karena terjadi bila sore
hari (senja) ketika anak masuk dari luar (cahaya terang) ke serambi rumah (cahaya
remang-remang) (Ilyas & Yulianti, 2014).
2. X1A (Xerosis Konjungtiva)
Pada Xerosis konjungtiva akan ditandai dengan hal-hal sebagai berikut
(Depkes RI, 2003):
a. Selaput lendir bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit kering,
berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
b. Orang tua sering mengeluh mata anak tampak kering atau berubah warna
kecoklatan.
Umumnya tahap ini selalu diikuti dengan xerosis kornea. Xerosis terjadi akibat
proses keratinisasi lapisan superfisial epitel dengan hilangnya sel goblet penghasil
mukus yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A. Tahap ini sering ditandai
dengan selaput lendir bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat se/.dikit
berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam. Selain itu,
orang tua juga sering mengeluh mata anak tampak kering atau berubah warna
kecoklatan (Ilyas & Yulianti, 2014).

Gambar 2.3. Xerosis Konjungtiva (Depkes RI, 2003).

3. X1B (Bercak Bitot/bitots spot dengan xerosis konjungtiva)


Pada bercak bitot akan ditandai dengan hal-hal sebagai berikut (Depkes
RI, 2003) :
a. Tanda-tanda xerosis kojungtiva (X1A) ditambah bercak bitot yaitu
bercak putih seperti busa sabun atau keju terutama di daerah celah mata
sisi luar.
b. Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang
merupakan tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai
sebagai kriteria penentuan prevalensi kurang vitamin A dalam
masyarakat.
Xerosis yang lebih lanjut dapat menyebabkan bercak bitot (X1B), yang
tersusun dari kumpulan deskuamasi keratin epitel. Bercak bitot dapat berupa
gelembung, atau seperti busa sabun, hampir selalu bilateral dan daerah
temporal. Lesi di daerah nasal menunjukkan defisiensi yang lebih lanjut.
Dalam keadaan lebih berat, tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan
konjungtiva, konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat dan berkerut.
Orang tua mengeluh mata anaknya tempak bersisik (Ilyas & Yulianti, 2014).

Gambar 2.4. Bercak Bitot (Depkes RI, 2003).

4. X2 (Xerosis Kornea)
Pada xerosis kornea akan ditandai dengan hal-hal sebagai berikut
(Depkes RI, 2003) :
a. Kekeringan pada konjungtiva berlanjut sampai kornea.
b. Kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
c. Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita, penyakit
infeksi dan sistemik lain)
Xerosis kornea (X2) merupakan keadaan gawat darurat medis, tampak
bilateral, granular, berkabut dan tidak bercahaya, pada pemeriksaan dengan
senter gambarannya seperti kulit jeruk. Edema stroma merupakan keadaan
yang sering ditemukan pada xerosis kornea. Penebalan plak keratinisasi
dapat ditemukan pada permukaan kornea, biasanya didaerah interpalpebra.
Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita penyakit
infeksi dan sistemik lain). Xerosis kornea dapat berkembang cepat menjadi
ulkus dan keratomalasia bila tidak diterapi dengan vitamin A dan terapi
suportif lainnya (Ilyas & Yulianti, 2014).
Gambar 2.5. Xerosis Kornea (Depkes RI, 2003).

5. X3A (Xerosis dengan ulserasi kornea)


Pada xerosis dengan ulserasi kornea akan ditandai dengan hal-hal
sebagai berikut (Depkes RI, 2003) :
a. Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus.
b. Tahap X3A : bila kelainan mengenai kurang dari 1/3 permukaan kornea.
c. Tahap X3B : Bila kelainan mengenai semua atau lebih dari 1/3
permukaan kornea.
d. Keadaan umum penderita sangat buruk.
e. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah).
f. Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan
prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang dapat
menyebabkan kebutaan.
g. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat mengakibatkan
keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-tahap awal
xeroftalmia.
Tahap ini mengenai kurang dari sepertiga bagian kornea, berbentuk
oval, defek bergaung, sering pada daerah inferior, perifer permukaan
kornea, disertai injeksi konjungtiva, kadang ada hipopion. Ulkus dapat
dangkal atau dalam dan dapat menyebabkan perforasi. Terapi vitamin A
berespon baik. Perbaikan kornea disertai jaringan parut atau lekoma
adheren(Ilyas & Yulianti, 2014).
Gambar 2.6. Xerosis dengan ulserasi kornea (Depkes RI, 2003).

6. X3B (Keratomalasia)
Keratomalasia (perlunakan kornea) mencakup seluruh permukaan
kornea, lesi berwarna kuning keabuan. Biasanya satu mata lebih berat dari
yang lainnya. Kerusakan lapisan stroma pada tahap ini umumnya dapat
menyebabkan kebutaan. Xeroftalmia kornea aktif pada kedua mata jarang
terjadi. Vitamin A dan terapi suportif dapat menghindari kerusakan lebih
berat(Ilyas & Yulianti, 2014).

Gambar 2.7. Keratomalasia (Depkes RI, 2003).

7. XS (Xeroftalmia Scar)
Pada xeroftalmia scar akan ditandai dengan hal-hal sebagai berikut (Depkes
RI, 2003) :
a. Kornea mata tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil.
Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa
sikatrik atau jaringan parut.
b. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun
dengan operasi cangkok kornea.
Gejala sisa dari lesi kornea atau sikatriks kornea akibat dari proses
perbaikan dari lapisan stroma yang bisa terletak di tepi ataupun di sentral.
Kornea tampak menjadi putih atau bola mata mengecil. Penderita menjadi
buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi
cangkok kornea (Ilyas & Yulianti, 2014).

Gambar 2.8. Xeroftalmia scar (Depkes RI, 2003).

8. XF (Xeroftalmia Fundus)
Dengan optalmoskop pada fundus tampak gambar seperti cendol. Fundus
xeroftalmia atau disertai kelainan fundus xeroftalmia yaitu dimana pada
fundus didapatkan bercak-bercak kuning keputihan yang tersebar dalam
retina, umumnya terdapat di tepi sampai arkade vaskular temporal. Pada
bagian ini hanya dapat diamati dengan funduskopi. Bila ditemukan fundus
xeroftalmia, maka akan terjadi kebutaan yang tidak dapat disembuhkan
(Ilyas & Yulianti, 2014).

Gambar 2.9. Xeroftalmia Fundus (Depkes RI, 2003).


G. Patofisiologi
Kekurangan atau defisiensi vitamin A disebabkan oleh malfungsi berbagai
mekanisme seluler yang di dalamnya turut berperan senyawa-senyawa retinoid.
Defisiensi vitamin A terjadi gangguan kemampuan penglihatan pada senja hari (buta
senja). Ini terjadi karena ketika simpanan vitamin A dalam hati hampir habis. Deplesi
selanjutnya menimbulkan keratinisasi jaringan epitel mata, paru-paru, traktus
gastrointestinal dan genitourinarius, yang ditambah lagi dengan pengurangan sekresi
mucus. Kerusakan jaringan mata, yaitu seroftalmia akan menimbulkan kebutaan.
Defisiensi vitamin A terjadi terutama dengan dasar diet yang jelek dengan
kekurangan komsumsi sayuran, buah yang menjadi sumber provitamin A (Triana,
2006).
Jaringan epitel di mata, paru-paru, dan usus menjadi rusak pada keadaan
defisiensi vitamin A. Pada jaringan-jaringan tersebut, turnover atau pergantian sel
epitel tinggi. Pada manusia, berbagai penelitian menunjukkan bahwa level vitamin
A yang rendah di sirkulasi berhubungan dengan meningkatnya risiko kerusakan
epitel di mata, Rusaknya integritas epitel dan barier mukosa akan memfasilitasi
translokasi mikroorganisme dan berkontribusi terhadap meningkatnya derajat infeksi
(Annstas, 2012).
Pada retina terdapat 2 sistem fotoreseptor yang berbeda, sel kerucut dan sel
batang. Sel batang bertanggung jawab terhadap penglihatan dalam situasi cahaya
yang redup atau rendah, sedangkan sel kerucut bertanggung jawab penglihatan
berwarna dan situasi cahaya yang terang. Vitamin A merupakan kekuatan utama dari
pigmen visual kedua macam sel ini. Perbedaannya terletak pada jenis protein yang
terikat pada retinol. Pada sel batang, bentuk aldehid dari vitamin A (retinol) dan
protein opson bergabung membentuk rhodopsin yang merupakan pigmen fotosensitif
(Annstas, 2012).
Gejala klinis defisiensi vitamin A akan tampak bila cadangan vitamin A dalam
hati dan organ-organ tubuh lain sudah menurun dan kadar vitamin A dalam serum
mencapai bawah garis yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik mata.
Deplesi vitamin A dalam tubuh merupakan proses yang memakan waktu lama.
Diawali dengan habisnya persediaan vitamin A di dalam hati, menurunnya kadar
vitamin A plasma (kelainan biokimia), kemudian terjadi disfungsi sel batang pada
retina (kelainan fungsional), dan akhirnya timbul perubahan jaringan epitel (kelainan
antomis). Penurunan vitamin A pada serum tidak menggambarkan defisiensi vitamin
A dini, karena deplesi telah terjadi jauh sebelumnya (Ilyas & Yulianti, 2014).
Retinol dalam mata (bentuk vitamin A yang terdapat di dalam darah) dioksidasi
menjadi retinal. Retinol kemudian mengikat protein opsin dan membentuk rhodopsin
(suatu pigmen penglihatan). Rhodopsin merupakan zat yang menerima rangsangan
cahaya dan mengubah energi cahaya menjadi energi biolistrik yang merangsang
indera penglihatan. Beta karoten efektif dalam memperbaiki fotosenstivitas pada
penderita dengan protoporfiria erithropoetik (Sylvia & Wilson, 2007).
Mata membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan dapat melihat dari ruangan
dengan cahaya terang ke ruangan dengan cahaya remang-remang. Bila seseorang
berpindah dari tempat terang ke tempat gelap, akan terjadi regenerasi rhodopsin
secara maksimal. Rhodopsin sangat penting dalam penglihatan di tempat gelap.
Kecepatan mata untuk beradaptasi, berhubungan langsung dengan vitamin A yang
tersedia di dalam darah untuk membentuk rhodopsin. Apabila kurang vitamin A,
rhodopsin tidak terbentuk dan menyebabkan timbulnya tanda pertama kekurangan
vitamin A yaitu rabun senja (Sylvia & Wilson, 2007).
Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan kelainan pada sel-sel epitel
termasuk sel-sel epitel pada selaput lendir mata. Kelainan tersebut karena terjadinya
proses metaplasi sel-sel epitel, sehingga kelenjar tidak memproduksi cairan yang
dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata yang disebut xerosis
konjungtiva. Bila kondisi ini berlanjut akan terjadi yang disebut bercak bitot (Bitot
Spot) yaitu suatu bercak putih, berbentuk segi tiga di bagian temporal dan diliputi
bahan seperti busa (Sylvia & Wilson, 2007).
Defisiensi lebih lanjut menyebabkan xerosis kornea, yaitu kornea menjadi
kering dan kehilangan kejernihannya karena terjadi pengeringan pada selaput yang
menutupi kornea. Pada stadium yang lanjut, kornea menjadi lebih keruh, terbentuk
infiltrat, berlaku pelepasan sel-sel epitel kornea, yang berakibat pada pelunakan dan
pecahnya kornea. Mata juga dapat terkena infeksi. Tahap akhir dari gejala mata yang
terinfeksi adalah keratomalasia (kornea melunak dan dapat pecah), sehingga
menyebabkan kebutaan total (Sylvia & Wilson, 2007).
H. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis (Depkes RI, 2003)
a. Faktor Risiko
1) Anak dengan Berat Badan Lahir Rendah (BB < 2,5 kg).
2) Anak yang tidak mendapat ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia
2 tahun.
3) Anak yang tidak mendapat MP-ASI yang cukup baik kualitas maupun
kuantitas.
4) Anak kurang gizi atau dibawah garis merah (BGM) dalam KMS.
5) Anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare,tuberkulosis (TBC),
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), pneumonia dan kecacingan.
6) Frekuensi kunjungan ke posyandu, puskesmas/pelayanan kesehatan (untuk
mendapatkan kapsul vitamin A dan imunisasi).
b. Keluhan utama dan keluhan tambahan
Keluhan yang biasa dijumpai pada kasus xeroftalmia akibat defisiensi
vitamin A adalah tidak bisa melihat pada sore hari (buta senja) atau ada
kelainan dengan matanya. Selain itu, dapat juga ditemukan kelainan pada kulit
berupa kulit bersisik yang dikenal sebagai kulit katak atau phrynodema yang
merupakan hiperkeratosis folikularis. Defisiensi vitamin A subklinis biasanya
tidak memiliki gejala, namun resiko terjadinya infeksi saluran pernapasan,
diare, dan pertumbuhan terhambat.
c. Riwayat penyakit yang diderita sebelumnya
1) Riwayat campak dalam waktu < 3 bulan
2) Riwayat menderita diare dan atau ISPA
3) Riwayat menderita pneumonia
4) Riwayat menderita infeksi cacingan
5) Riwayat menderita tuberculosis
2. Pemeriksaan Fisik (Khurana, 2007)
a. Pemeriksaan fisik umum
Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit yang terkait
langsung maupun tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia seperti gizi
buruk, penyakit infeksi, dan kelainan fungsi hati (Khurana, 2007). Yang
terdiri dari :
1) Antropometri: pengukuran berat badan dan tinggi badan.
2) Penilaian Status gizi.
a) Bila BB/TB: > -3 SD - < -2 SD, anak menderita gizi kurang atau kurus.
b) Bila BB/TB : 3, anak menderita gizi buruk atau sangat kurus.
3) Pemeriksaan tanda-tanda xeroftalmia
a) Kekeringan pada konjungtiva (X1A).
b) Bercak bitot (X1B).
c) Tanda-tanda xerosis kornea (X2).
d) Tanda-tanda ulkus kornea dan keratomalasia (X3A/X3B).
e) Tanda-tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS)
f) Gambaran seperti cendol pada fundus oculi dengan opthalmoscope
(XF).
4) Pemeriksaan kelainan pada kulit : kering, bersisik.
b. Pemeriksaan fisik khusus
1) Tes adaptasi gelap
Jika pasien menabrak sesuatu ketika cahaya diremangkan tiba-tiba di
dalam ruangan maka kemungkinan pasien mengalami buta senja. Tes
adaptasi gelap juga dapat menggunakan alat yang bernama adaptometri.
Adaptometri adalah suatu alat yang dikembangkan untuk mengetahui kadar
vitamin A tanpa mengambil sampel darah menggunakan suntikan. Derajat
gelap yang dijadikan patokan berdasarkan kondisi seseorang yang berada di
dalam ruang gelap tersebut tidak dapat melihat huruf berukuran tinggi 10
sentimeter dan tebal 1,5 sentimeter dengan tinta hitam pada kertas putih.
2) Sitologi impresi konjungtiva
Dari pemeriksaan sitologi konjungtiva didapatkan keberadaan sel goblet
dan sel-sel epitel abnormal yang mengalami keratinisasi.
3) Uji Schirmer
Uji schirmer dilakukan untuk menilai kuantitas air mata, menilai
kecepatan sekresi air mata dengan memakai kertas filter Whatman 41
bergaris 5 mm30 mm dan salah satu ujungnya berlekuk berjarak 5 mm dari
ujung kertas. Kertas lakmus merah dapat juga dipakai dengan melihat
perubahan warna. Perbedaan kertas lakmus dengan kertas filter hanya
sedikit. Ratarata hasil bila memakai Whatman 41 adalah 12 mm (1 mm27
mm) sedangkan lakmus merah 10 mm (0 mm27 mm).
Uji Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal, ujung kertas berlekuk
diinsersikan ke sakus konjuntiva forniks inferior pada pertemuan medial dan
1/3 temporal palpebra inferior. Pasien dianjurkan menutup mata perlahan
lahan tetapi sebagian peneliti menganjurkan mata tetap dibuka dan melihat
keatas. Lama pemeriksaan 5 menit dan diukur bagian kertas yang basah,
diukur mulai dari lekukan. Nilai normal adalah 10 mm25 mm 11, 10 mm
30 mm 12.
Uji Schirmer II dengan penetesan anestesi topikal untuk menghilangkan
efek iritasi lokal pada sakkus konjuntiva. Kemudian syaraf trigeminus
dirangsang dengan memasukkan kapas lidi kemukosa nasal atau dengan zat
aromatik amonium, maka nilai schirmer akan bertambah oleh adanya reflek
sekresi. Pemeriksaan ini yang diukur adalah sekresi basal karena stimulasi
dasar terhadap refleks sekresi telah dihilangkan.

Gambar 2.10. Schirmer test

4) Pemeriksaan Stabilitas film air mata (Tear Film Break Up Time)


Pada pasien xeroftalmia kekurangan musin berakibat tidak stabilnya
lapisan air mata yang mengakibatkan lapisan tersebut mudah pecah. Hal ini
mengakibatkan terbentuk Bintik-bintik kering dalam film air mata
(meniskus) sehingga epitel kornea atau konjungtiva terpajan ke dunia luar.
Pada tes ini akan positif didapatkan sel epitel yang rusak dilepaskan dari
kornea sehingga meninggalkan daerah-daerah yang kecil yang dapat dipulas
dan daerah tersebut akan tampak jika dibasahi flourescein.
Pada mata normal, TBUT sekitar > 15 detik dan berkurang pada
penggunaan anastetik lokal, manipulasi mata atau dengan menahan palbebra
tetap terbuka. Pasien dengan TBUT kurang dari 3 detik dklasifikasikan
dalam mata kering. Jika terdapat defisiensi air, maka film air mata akan
tampak lebih tipis.

Gambar 2.11. Tear Film Break Up Time

5) Pemeriksaan kornea
a) Pemulasan Fluorescein
Pada pasein xeroftalmia fluorescein akan didapatkan positif
daerah-daerah erosi dan terluka epitel kornea.
b) Pemulasan Bengal Rose
Pulasan bengal rose 1% didapatkan sel-sel epitel konjungtiva dan
kornea yang mati yang tidak dilapisi oleh musin secara adekuat dari
daerah kornea.
Gambar 2.12. Bengal Rose

c) Pemulasan Lissamine hijau


Pemulasan lissamine hijau memiliki fungsi yang sama dengan
bengal rose. Didapatkan hasil positif sel-sel epitel yang mati pada
penderita xeroftalmia.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan serum retinol dengan kromatografi pada keadaan defisiensi
protein maupun infeksi didapatkan kadar serum vitamin A umumnya akan
menurun dengan nilai serum retinol < 20 ug/dl.
b. Total retinol binding protein (RBP). Pemeriksaan dilakukan dengan
imunologik assay. RBP merupakan komponen yang lebih stabil dari retinol
namun nilainya kurang akurat karena dipengaruhi oleh serum protein.
c. Kadar albumin < 2.5 mcg/dl pada penderita xeroftalmia.
d. Pemeriksaan darah rutin untuk menilai kemungkinan anemia dan infeksi.

I. Penatalaksanaan
1. Pemberian kapsul vitamin A
Tabel 2.3 Jadwal dan Dosis Pemberian Kapsul Vitamin A pada Anak Penderita
Xeroftalmia (Depkes RI, 2003).
Pada wanita yang menderita rabun senja, bercak bitot hingga xerosis
konjungtiva perlu diberikan vitamin A dengan dosis 100.000 IU secara oral
setiap harinya selama 2 minggu. Sedangkan pada penderita dengan gangguan
pada korneanya diberikan dosis vitamin A sesuai dengan dosis pada anak diatas
1 tahun (Depkes RI, 2003).
Tabel 2.4. Pemantauan dan Respon Pengobatan dengan Vitamin A
(Depkes RI, 2003).

2. Pemberian Obat Mata


Pada bercak Bitot tidak memerlukan obat tetes mata, kecuali ada infeksi
yang menyertainya. Obat tetes/salep mata antibiotik tanpa kortikosteroid
(tetrasiklin 1%, Kloramfenikol 0.25-1% dan gentamisin 0.3%) diberikan pada
penderita X2, X3A, X3B dengan dosis 4 x 1 tetes/hari dan berikan juga tetes mata
atropin 1% 3 x 1 tetes/hari (Depkes RI, 2003).
Pengobatan dilakukan sekurang-kurangnya 7 hari sampai semua gejala pada
mata menghilang. Mata yang terganggu harus ditutup dengan kasa selama 3-5 hari
hingga peradangan dan iritasi mereda. Gunakan kasa yang telah dicelupkan
kedalam larutan Nacl 0,26 dan gantilah kasa setiap kali dilakukan pengobatan.
Lakukan tindakan pemeriksaan dan pengobatan dengan sangat berhati-hati. Selalu
mencuci tangan pada saat mengobati mata untuk menghindari infeksi sekunder.
Segera rujuk ke dokter spesialis mata untuk mendapat pengobatan lebih lanjut
(Depkes RI, 2003).
Kasus defisiensi vitamin A pada stadium irreversible dapat dilakukan
transplantasi kornea (keratoplasti). Keratoplasti diindikasikan pada sejumlah
kondisi kornea yang serius, misalnya parut, edem, penipisan dan distorsi (Depkes
RI, 2003).
3. Pengobatan penyakit infeksi atau sistemik yang menyertai.
Anak-anak yang menderita xeroftalmia biasanya disertai penyakit berat
antara lain: infeksi saluran nafas, pnemonia, campak, cacingan, tuberkulosis
(TBC), diare dan mungkin dehidrasi. Untuk semua kasus ini diberikan terapi
disesuaikan dengan penyakit yang diderita (Depkes RI, 2003).
4. Pencegahan xeroftalmia.
Untuk mencegah xeroftalmia dapat dilakukan (Depkes RI, 2003):
a. Mengenal wilayah yang berisiko mengalami xeroftalmia (faktor sosial budaya
dan lingkungan dan pelayanan kesehatan, faktor keluarga dan faktor individu).
Deteksi dini Perlu dilakukan terutama di daerah-daerah dengan keadaan :
1) Ditemukannya kasus gejala xeroftalmia dengan keluhan buta senja /
gangguan penglihatan.
2) Banyak ditemukan anak dengan gizi buruk.
3) Banyak kasus infeksi cacing, TBC, ISPA pneumonia, malaria.
4) Terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) diare, campak dan penyakit infeksi lain.
5) Distribusi kapsul vitamin A rutin tidak mencukupi (< 80%).
b. Mengenal tanda-tanda kelainan secara dini.
c. Memberikan vitamin A dosis tinggi kepada bayi dan anak secara periodik,
yaitu untuk bayi diberikan setahun sekali pada bulan Februari atau Agustus
(100.000 SI), untuk anak balita diberikan enam bulan sekali secara serentak
pada bulan Februari dan Agustus dengan dosis 200.000 SI.
d. Mengobati penyakit penyebab atau penyerta.
e. Meningkatkan status gizi, mengobati gizi buruk.
f. Penyuluhan keluarga untuk meningkatkan konsumsi vitamin A / provitamin A
secara terus menerus.
g. Memberikan ASI eksklusif.
h. Pemberian vitamin A pada ibu nifas (< 30 hari) 200.000 SI.
J. Rujukan
Indikasi rujuk pada kasus xeroftalmia yaitu (Depkes RI, 2003):
1. Anak segera dirujuk ke puskesmas bila ditemukan tanda-tanda kelainan XN,
X1A, X1B, X2.
2. Anak segera dirujuk ke dokter Rumah Sakit/ Spesialis Mata/BKMM bila
ditemukan tanda-tanda kelainan mata X3A, X3B, XS.

Bagan 2.1. Alur Rujukan Pelayanan Kesehatan pada Xeroftalmia


(Depkes RI, 2003).

K. Komplikasi
Pada awal perjalanan xeroftalmia, penglihatan sedikit terganggu. Pada kasus
lanjut dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea dan perforasi. Sesekali dapat
terjadi infeksi bakteri sekunder dan berakibat jaringan parut serta vaskularisasi pada
kornea yang memperberat penurunan penglihatan. Komplikasi terburuk dari
xeroftalmia adalah kebutaan (Mansjoer et al., 2007).

L. Prognosis
Jika pasien masih tahap xerosis kornea (X2), pengobatan yang tepat dapat
menyembuhkan sepenuhnya dalam beberapa minggu. Penyembuhan sempurna
biasanya terjadi dengan pengobatan tiap hari. Gejala dan tanda KVA biasanya
menghilang dalam waktu 1 minggu setelah pemberian vitamin A dihentikan. Lesi pada
mata akan mengancam penglihatan (25% benar-benar buta, dan sisanya sebagian
buta). Mortalitas pada kasus-kasus yang berat mencapai 50%atau lebih kerana sering
disertai oleh malnutrisi yang berat (Mansjoer et al., 2007).
III. KESIMPULAN

1. Xeroftalmia merupakan istilah yang menerangkan gangguan pada mata akibat


defisiensi vitamin A, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan
gangguan fungsi sel retina yang dapat menyebabkan kebutaan.
2. Penatalaksanaan Xeroftalmia akibat defisiensi vitamin A dilakukan dengan
pemberian kapsul vitamin A dan obat tetes/salep mata antibiotik tanpa
kortikosteroid (tetrasiklin 1%, Kloramfenikol 0.25-1% dan gentamisin 0.3%)
diberikan pada penderita X2, X3A, X3B dengan dosis 4 x 1 tetes/hari dan
berikan juga tetes mata atropin 1% 3 x 1 tetes/hari.
DAFTAR PUISTAKA

Almatsier, S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Ed ke-6. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Annstas, George. Vitamin A Deficiency. 2012. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/126004-overview.

Departemen Kesehatan RI. 2003. Deteksi Dan Tatalaksana kasus Xeroftalmia Pedoman
bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Yang Perlu Diketahui Petugas Kesehatan tentang
Vitamin A. Jakarta.

Edelhauser HF. 2005. The cornea and the sclera, chapter 4 in Adlers Physiology of The
eye Clinical'Aplication. 10 th ed. St.louis, Missouri, Mosby, pp. 47-103.

Herman S. 2006. Masalah kurang vitamin A (KVA) dan prospek penanggulangannya.


Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan volume: XVIII no. 4/2007.

Ilyas, S dan Yulianti S.R. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi 4 Cetakan ke-5. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

Jauqin, M.S., dan Molyneux,M.E. 2009. Malaria and Vitamin A Deficiency in African
Children: a vicious cicrle. Malaria Journal.

Khurana AK. 2007.Disease of Kornea: Comprehensive Ophthalmology. Ed. 4. New


Delhi. New Age International (P) Ltd, pp. 91-96.

Mansjoer, Arif., Kuspuji, Triyanti., dan Rakhmi Savitri. 2007. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta : Media Aesculapius; pp.520-522.

Salam, dkk . 2013. Peranan Suplemen Vitamin A Pada Pengobatan TB. PDII LIPI.

Snell, S. Richard. 2013. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Soekirman 2008. Fortifikasi Pangan, Perogram Gizi Masa Depan?. Koalisi Fortifikasi
Indonesia.

Sylvia, A.,dan Wilson LM. 2007. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses
Penyakit. Ed 6. Jakarta. EGC. pp. 740.

Triana, Vivi. 2006. Macam-macam Vitamin dan Fungsinya dalam Tubuh Manusia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 1(1), pp. 40-47.

Vaughan Asbury. 2012. Oftalmologi Umum. Edisi 17.Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai