Pembimbing:
dr. Wahid Heru Widodo, Sp.M
Disusun oleh:
Mona Monta G4A016077
Karunia Putri Amalia Sumarno G4A016078
Dilla Alfinda Risdiana G4A016079
2017
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh:
Mengetahui,
Pembimbing
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW beserta para pengikut setianya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Penyakit Mata, terutama dr. Wahid Heru Widodo,
Sp.M, selaku pembimbing penulis. Penulis menyadari referat ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan
dapat dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.
Penulis
DAFTAR ISI
A. LATAR BELAKANG
Vitamin A adalah nutrisi esensial yang berperan penting dalam
pengaturan imunitas dalam respon antibodi humoral. Kekurangan vitamin A
adalah masalah kesehatan umum yang luas. Anak usia prasekolah dan wanita di
usia reproduktif merupakan dua kelompok populasi yang paling berisiko.
Suplementasi vitamin A menunjukkan adanya pengurangan insiden campak,
diare, dan kematian, serta meningkatkan beberapa aspek kesehatan mata
(Joaquin & Molyneux, 2009).
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak
dan disimpan dalam hati, tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi
dari luar (esensial). Vitamin A berfungsi untuk penglihatan, pertumbuhan dan
meningkatkan daya tahan terhadap penyakit (Depkes RI, 2005).
Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah serius
terutama di negara berkembang. Kawasan Asia Tenggara memiliki prevalensi
KVA pada balita tertinggi di antara wilayah lain. Di Indonesia sendiri, KVA
masih merupakan masalah gizi utama. Hasil penelitian di Indonesia
menunjukkan bahwa kadar serum vitamin A balita rata-rata hanya 11 g/dl
dengan prevalensi xeroftalmia buta senja (XN) sebesar 1,18% (Herman, 2006).
Kurang Vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah gizi utama di
Indonesia (Soekirman, 2008). Salah satu indikator KVA sebagai masalah
kesehatan masyarakat menurut WHO adalah jika prevalensi xeroftalmia (X1B)
lebih dari sama dengan 0,5% atau lebih dari 0,5% populasi memiliki kadar
serum retinol dibawah 20 g/dl (Herman, 2006). KVA dapat menyebabkan
kebutaan, mengurangi daya tahan tubuh sehingga sering menyebabkan kematian
pada anak-anak. Penyebab masalah KVA adalah kemiskinan, kurangnya asupan
vitamin A dan kurangnya pengetahuan tentang gizi (Almatsier, 2006).
Di Indonesia sendiri, KVA masih merupakan masalah gizi utama.
Meskipun KVA tingkat berat (xerophthalmia) sudah jarang ditemui, tetapi KVA
tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata, masih
menimpa masyarakat luas terutama kelompok balita dan anak-anak. KVA
tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan memeriksa kadar vitamin A
dalam darah di laboratorium (Herman, 2006).
Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena gunung es. Artinya
adalah gejala KVA yaitu berupa xerophthalmia hanya tampak sedikit
dipermukaan namun KVA subklinis yang ditandai dengan rendahnya kadar
vitamin A dalam darah masih merupakan masalah besar yang perlu mendapat
perhatian serius. Hal tersebut menjadi lebih penting lagi karena erat kaitannya
dengan masih tingginya angka penyakit infeksi dan kematian pada balita
(Depkes RI, 2005).
Layaknya fenomena gunung es, dikhawatirkan masih banyak kasus
xeroftalmia di masyarakat yang belum terdiagnosis. Oleh karena itu, penting
sekali untuk mendeteksi secara dini dan menangani kasus xeroftalmia ini dengan
cepat dan tepat untuk mencegah timbulnya komplikasi kebutaan seumur hidup
yang berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Kornea
Kornea berasal dari bahasa Latin cornum yang berarti seperti tanduk adalah
selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Kornea merupakan jaringan yang
avaskular, bersifat transparan, sehingga dapat ditembus oleh berkas cahaya untuk
masuk ke interior mata, sedangkan sumber nutrisi untuk kornea didapatkan melalui
pembuluh-pembuluh darah limbus, aquos humor, dan air mata. Saraf-saraf sensorik
kornea didapat dari cabang pertama Nervus V yaitu Nervus Opthtalmicus (Vaughan,
2012; Ilyas & Yulianti, 2014).
Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama merefleksikan cahaya yang
masuk ke mata. Di posterior berhubungan dengan humor aquosus. Kornea adalah
avaskular dan sama sekali tidak mempunyai aliran limfe. Kornea mendapatkan
nutrisi dengan cara difusi dari humor aquous dan dari kapiler yang terdapat
dipinggirnya. Persarafan yang mempersarafi kornea adalah nervi ciliares longi dari
divisi ophthalmica nervus trigeminus (Snell, 2013).
Sifat tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform,
avaskular, dan deturgesens. Deturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan
kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi
sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme
dehidrasi, sehingga kerusakan pada endotel jauh lebih berbahaya dibandingkan
dengan kerusakan pada epitel (Vaughan, 2012).
Secara histologis, kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel, membran
bowman, stroma, membran descement, dan endotel (Ilyas & Yulianti, 2014).
Gambar 2.1. Gambaran Histologi Kornea.
1. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal; sel poligonal dan sel gepeng (Ilyas &
Yulianti, 2014). Terdapat dua fungsi utama epitel: (1) membentuk barier antara
dunia luar dengan stroma kornea dan (2) membentuk permukaan refraksi yang
mulus pada kornea dalam interaksinya dengan tear film. Berbagai proses
metabolik, biokemikal dan fisikal tampaknya mempunyai tujuan primer
mempertahankan keadaan lapisan sel epitel yang berfungsi sebagai barier dan
agar permukaan kornea tetap licin. Permukaan kornea yang licin berperan
penting dalam terbentuknya penglihatan yang jelas (Vaughan, 2012).
2. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolgen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapisan ini tidak memiliki daya regenerasi sehingga bila terjadi trauma akan
digantikan dengan jaringan parut (Ilyas & Yulianti, 2014).
3. Stroma
Stroma tersusun atas matriks ekstraselular seperti kolagen dan
proteoglikan. Matriks ekstraselular ini memegang peranan penting dalam
struktur dan fungsi kornea. Stroma terdiri atas kolagen yang diproduksi oleh
keratosit dan lamella kolagen. Karena ukuran dan bentuknya seragam
menghasilkan keteraturan yang membuat kornea menjadi transparan. Serat-serat
kolagen tersusun seperti lattice (kisi-kisi), pola ini berfungsi untuk mengurangi
hamburan cahaya. Transparansi juga tergantung kandungan air pada stroma
yaitu 70%. Proteoglikan yang merupakan substansi dasar stroma, memberi sifat
hidrofilik pada stroma. Hidrasi sangat dikontrol oleh barier epitel dan endotel
serta pompa endotel (Ilyas & Yulianti, 2014).
4. Membran Descement
Membran descement merupakan membran aselular, batas belakang
stroma kornea, dihasilkan sel endotel serta merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus menerus seumur hidup elastis serta
lebih resisten terhadap trauma dan penyakit, dari pada bagian lain dari kornea
(Ilyas & Yulianti, 2014).
5. Endotel
Dua faktor yang berkontribusi dalam mencegah edem stroma dan
mempertahankan kandungan air tetap pada 70% adalah fungsi barier dan pompa
endotel. Fungsi barier endotel diperankan oleh adanya tight junction diantara sel-
sel endotel (Edelhauser, 2005). Pompa endotel dalam menjalankan fungsinya
tergantung pada oksigen, glukosa, metabolisme karbohidrat dan adenosine
triphosphatase. Keseimbangan antara fungsi barier dan pompa endotel akan
mempertahankan keadaan deturgesensi kornea (Edelhauser, 2005).
B. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membrana mukosa tipis yang melapisi palpebra, melipat
pada fornix superior dan inferior untuk melapisi permukaan anterior bola mata.
Epitelnya melanjutkan diri dengan epitel kornea. Bagian lateral atas fornix superior
ditembus oleh ductus glandula lacrimalis. Jadi konjungtiva membentuk ruang
potensial, yaitu sakus konjungtivalis, yang terbuka ke fissura palpebrae. Di bawah
kelopak mata terdapat alur, sulcus subtarsalis, yang berjalan dekat dan parallel
dengan pinggir palpebra (Snell, 2013).
Gambar 2.2 Anatomi Bola Mata.
C. Definisi
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan struktur
kimianya disebut retinol, retinal, asam retinoat. Pada jaringan hewan retinol disimpan
dihati sebanyak 90-95%. Vitamin A merupakan salah satu zat gizi dan golongan
vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata dan
kesehatan tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh) (Almatsier, 2004).
Dalam buku panduan pemberian suplemen vitamin A, kekurangan vitamin A
adalah suatu kondisi dimana simpanan Vitamin A dalam tubuh berkurang. Keadaan
ini ditunjukan dengan kadar serum retinol dalam darah kurang dari 20g/dl.
Xeroftalmia merupakan istilah yang menerangkan gangguan pada mata akibat
kekurangan vitamin A, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan
gangguan fungsi sel retina yang dapat menyebabkan kebutaan. Defisiensi vitamin A
adalah suatu keadaan, ditandai rendahnya kadar Vitamin A dalam jaringan
penyimpanan (hati) dan melemahnya kemampuan adaptasi terhadap gelap dan sangat
rendahnya konsumsi atau masukan karotin dari Vitamin A (Salam, 2013).
Retinol, retinal, asam retinoat dikenal sebagai faktor pencegahan xeroftalmia
berfungis untuk pertumbuhan sel epitel dan pengatur kepekaan rangsang sinar pada
saraf mata, jumlah yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) per
hari 400ug retinol untuk anak-anak dan dewasa 500ug retinol. Tubuh menyimpan
retinol dan betacarotene dalam hati dan mengambilnya jika tubuh memerlukannya
(Almatsier, 2004).
D. Etiologi
Kekurangan vitamin A disebabkan oleh (Depkes RI, 2003) :
1. Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup Vitamin A atau Pro Vitamin A
untuk jangka waktu yang lama.
2. Bayi tidak diberikan ASI eksklusif.
3. Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein, Zn/seng atau zat gizi
lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan Vitamin A dan penyerapan Vitamin A
dalam tubuh.
4. Adanya gangguan penyerapan Vitamin A atau Pro Vitamin A seperti pada
penyekit-penyakit antara lain, diare kronik, KEP dan lain-lain.
5. Adanya kerusakan hati seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronis,
menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein) dan pre-
albumin yang penting dalam penyerapan Vitamin A.
Kebutuhan vitamin A tergantung golongan umur, jenis kelamin dan kondisi
tertentu. Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan adalah seperti pada tabel berikut
(Depkes RI, 2005):
E. Epidemiologi
Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah serius terutama di
negara berkembang. Kekurangan vitamin A dapat terjadi pada semua umur akan
tetapi kekurangan yang disertai kelainan pada mata umumnya terdapat pada anak
berusia 6 bulan sampai 4 tahun. Biasanya pada anak juga terdapat kelainan protein
kalori malnutrisi (Ilyas & Yulianti, 2014). Kawasan Asia Tenggara memiliki
prevalensi KVA pada balita yang tertinggi di antara wilayah lain. Tabel 1
mencantumkan prevalensiKVA pada balita yang tercatat di berbagai penjuru dunia.
4. X2 (Xerosis Kornea)
Pada xerosis kornea akan ditandai dengan hal-hal sebagai berikut
(Depkes RI, 2003) :
a. Kekeringan pada konjungtiva berlanjut sampai kornea.
b. Kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
c. Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita, penyakit
infeksi dan sistemik lain)
Xerosis kornea (X2) merupakan keadaan gawat darurat medis, tampak
bilateral, granular, berkabut dan tidak bercahaya, pada pemeriksaan dengan
senter gambarannya seperti kulit jeruk. Edema stroma merupakan keadaan
yang sering ditemukan pada xerosis kornea. Penebalan plak keratinisasi
dapat ditemukan pada permukaan kornea, biasanya didaerah interpalpebra.
Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita penyakit
infeksi dan sistemik lain). Xerosis kornea dapat berkembang cepat menjadi
ulkus dan keratomalasia bila tidak diterapi dengan vitamin A dan terapi
suportif lainnya (Ilyas & Yulianti, 2014).
Gambar 2.5. Xerosis Kornea (Depkes RI, 2003).
6. X3B (Keratomalasia)
Keratomalasia (perlunakan kornea) mencakup seluruh permukaan
kornea, lesi berwarna kuning keabuan. Biasanya satu mata lebih berat dari
yang lainnya. Kerusakan lapisan stroma pada tahap ini umumnya dapat
menyebabkan kebutaan. Xeroftalmia kornea aktif pada kedua mata jarang
terjadi. Vitamin A dan terapi suportif dapat menghindari kerusakan lebih
berat(Ilyas & Yulianti, 2014).
7. XS (Xeroftalmia Scar)
Pada xeroftalmia scar akan ditandai dengan hal-hal sebagai berikut (Depkes
RI, 2003) :
a. Kornea mata tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil.
Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa
sikatrik atau jaringan parut.
b. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun
dengan operasi cangkok kornea.
Gejala sisa dari lesi kornea atau sikatriks kornea akibat dari proses
perbaikan dari lapisan stroma yang bisa terletak di tepi ataupun di sentral.
Kornea tampak menjadi putih atau bola mata mengecil. Penderita menjadi
buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi
cangkok kornea (Ilyas & Yulianti, 2014).
8. XF (Xeroftalmia Fundus)
Dengan optalmoskop pada fundus tampak gambar seperti cendol. Fundus
xeroftalmia atau disertai kelainan fundus xeroftalmia yaitu dimana pada
fundus didapatkan bercak-bercak kuning keputihan yang tersebar dalam
retina, umumnya terdapat di tepi sampai arkade vaskular temporal. Pada
bagian ini hanya dapat diamati dengan funduskopi. Bila ditemukan fundus
xeroftalmia, maka akan terjadi kebutaan yang tidak dapat disembuhkan
(Ilyas & Yulianti, 2014).
5) Pemeriksaan kornea
a) Pemulasan Fluorescein
Pada pasein xeroftalmia fluorescein akan didapatkan positif
daerah-daerah erosi dan terluka epitel kornea.
b) Pemulasan Bengal Rose
Pulasan bengal rose 1% didapatkan sel-sel epitel konjungtiva dan
kornea yang mati yang tidak dilapisi oleh musin secara adekuat dari
daerah kornea.
Gambar 2.12. Bengal Rose
I. Penatalaksanaan
1. Pemberian kapsul vitamin A
Tabel 2.3 Jadwal dan Dosis Pemberian Kapsul Vitamin A pada Anak Penderita
Xeroftalmia (Depkes RI, 2003).
Pada wanita yang menderita rabun senja, bercak bitot hingga xerosis
konjungtiva perlu diberikan vitamin A dengan dosis 100.000 IU secara oral
setiap harinya selama 2 minggu. Sedangkan pada penderita dengan gangguan
pada korneanya diberikan dosis vitamin A sesuai dengan dosis pada anak diatas
1 tahun (Depkes RI, 2003).
Tabel 2.4. Pemantauan dan Respon Pengobatan dengan Vitamin A
(Depkes RI, 2003).
K. Komplikasi
Pada awal perjalanan xeroftalmia, penglihatan sedikit terganggu. Pada kasus
lanjut dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea dan perforasi. Sesekali dapat
terjadi infeksi bakteri sekunder dan berakibat jaringan parut serta vaskularisasi pada
kornea yang memperberat penurunan penglihatan. Komplikasi terburuk dari
xeroftalmia adalah kebutaan (Mansjoer et al., 2007).
L. Prognosis
Jika pasien masih tahap xerosis kornea (X2), pengobatan yang tepat dapat
menyembuhkan sepenuhnya dalam beberapa minggu. Penyembuhan sempurna
biasanya terjadi dengan pengobatan tiap hari. Gejala dan tanda KVA biasanya
menghilang dalam waktu 1 minggu setelah pemberian vitamin A dihentikan. Lesi pada
mata akan mengancam penglihatan (25% benar-benar buta, dan sisanya sebagian
buta). Mortalitas pada kasus-kasus yang berat mencapai 50%atau lebih kerana sering
disertai oleh malnutrisi yang berat (Mansjoer et al., 2007).
III. KESIMPULAN
Almatsier, S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Ed ke-6. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2003. Deteksi Dan Tatalaksana kasus Xeroftalmia Pedoman
bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Yang Perlu Diketahui Petugas Kesehatan tentang
Vitamin A. Jakarta.
Edelhauser HF. 2005. The cornea and the sclera, chapter 4 in Adlers Physiology of The
eye Clinical'Aplication. 10 th ed. St.louis, Missouri, Mosby, pp. 47-103.
Ilyas, S dan Yulianti S.R. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi 4 Cetakan ke-5. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Jauqin, M.S., dan Molyneux,M.E. 2009. Malaria and Vitamin A Deficiency in African
Children: a vicious cicrle. Malaria Journal.
Mansjoer, Arif., Kuspuji, Triyanti., dan Rakhmi Savitri. 2007. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta : Media Aesculapius; pp.520-522.
Salam, dkk . 2013. Peranan Suplemen Vitamin A Pada Pengobatan TB. PDII LIPI.
Snell, S. Richard. 2013. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Soekirman 2008. Fortifikasi Pangan, Perogram Gizi Masa Depan?. Koalisi Fortifikasi
Indonesia.
Sylvia, A.,dan Wilson LM. 2007. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses
Penyakit. Ed 6. Jakarta. EGC. pp. 740.
Triana, Vivi. 2006. Macam-macam Vitamin dan Fungsinya dalam Tubuh Manusia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 1(1), pp. 40-47.