Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN PUSTAKA

KOMPLIKASI GENERAL ANESTESI


PADA BAYI DAN ANAK

Oleh :
Meilia Zainudin 150070200011159

Pembimbing :
dr. Karmini Yupono, Sp.An K-AP

LABORATORIUM ILMU ANASTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan
ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan
menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki tiga
komponen penting, yaitu hilangnya kesadaran, analgesik, dan relaksasi otot
(Gardens, 2012).
Terdapat perbedaan general anestesi pada dewasa dan pediatri karena anak-
anak bukanlah merupakan bentuk kecil dari dewasa, disebut neonatus bila berumur
kurang dari 28 hari, bayi bila umur 1-12 bulan dan disebut anak bila berumur kurang
dari 12 tahun (Morgan, 2002). Keberhasilan pengelolaan anestesi pada anak
memerlukan pemahaman tentang karakteristik anatomi, fisiologi dan farmakologi
pada anak. Hal-hal yang membedakan dengan anestesi pada dewasa adalah
modifikasi peralatan dan teknik anestesia. Risiko terjadinya mortalitas dan morbiditas
juga semakin tinggi dengan makin mudanya usia (Morgan, 2002 ; Betts, 1997).
Periode neonatal adalah periode yang paling rentan untuk bayi yang sedang
menyempurnakan penyesuaian fisiologis yang dibutuhkan pada kehidupan
ekstrauterin. Tingkat morbiditas dan mortalitas neonatus yang tinggi membuktikan
kerentanan hidup selama periode ini (Kliegman, 2011).
Seperti pada anestesi untuk orang yang dewasa, anestesi anak dan bayi
khususnya harus diketahui betul sebelum melakukan anestesi karena alasan itu
anestesi pediatri seharusnya ditangani oleh dokter spesialis anestesiologi atau
dokter yang sudah berpengalaman (Said, 1989).
Adanya perbedaan anatomi, fisiologi, dan farmakologi pada pediatri dan
orang dewasa tersebutlah yang mendorong saya untuk membahas mengenai
komplikasi general anestesi pada bayi dan anak.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi General Anestesi


Anestesi umum (general anesthesia) merupakan keadaan yang didapatkan
ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk memberikan
efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan tidak sadar
(unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya respon
autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai (Crowder, 2014). Komponen
anestesia yang ideal terdiri: (1) sedasi, (2) analgesia, (3) relaksasi otot (Latief, 2004).

2.2 Jenis General Anestesi

2.2.1 Anestesi Inhalasi

Bayi dan anak-anak memiliki tingkat ventilasi alveolar yang lebih tinggi serta
koefisien distribusi gas-darah yang lebih rendah dari orang dewasa sehingga
menyebabkan penyerapan obat inhalasi lebih cepat. Nilai MAC (Mean Alveolar
Concentration) untuk pasien anak sedikit lebih tinggi dari dewasa namun neonatus
membutuhkan MAC yang lebih rendah dari pasien dewasa, hal ini disebabkan
karena immaturitas otak, level progesterone residual dari ibu, dan kadar endorphin
yang tinggi sehingga ambang nyeri meningkat. Ketika NO (Nitrous Oxide)
ditambahkan kepada gas anestesi lain, maka kadar MAC yang dibutuhkan akan
berkurang karena efek second gas exchange dengan nilai sebagai berikut ; MAC
sevoflurane berkurang 20-25% , halothane berkurang 60%, isoflurane 40% , dan
desflurane 25% (Soenarto, 2012 ; Rupp, 1999). Selain pengambilan, eliminasi obat
anestesi pada pasien pediatrik juga lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa ,
hal ini disebabkan karena tingginya laju napas dan cardiac output serta distribusi
yang besar kepada organ dengan vaskularisasi banyak, di sisi lain hal ini
menyebabkan mudahnya terjadi overdosis obat anestesi pada pasien pediatrik.
Fungsi hati pasien bayi belum sepenuhnya terbentuk sehingga hanya sedikit obat
yang dimetabolisme di sana sehingga hepatitis yang disebabkan oleh halotan jarang
pada anak (1:200.000 anestesi) (Lerman, 1986).
Tabel 1. Nilai MAC untuk anestesi sesuai golongan umur (Rupp, 1999)

2.2.2 Anestesi Intravena

Pasien neonatus memiliki proporsi cardiac output yang mencapai otak yang
lebih besar dibandingkan pasien anak sehingga dosis untuk induksi lebih kecil.
Salah satu obat yang paling sering digunakan untuk anestesi intravena adalah
propofol walau penggunaan dibawah umur 3 tahun belum direkomendasikan.
Dalam pemberian obat anestesi intravena perlu diketahui karena fungsi ginjal dan
hati belum sempurna maka interval dosis pemberian obat perlu diperpanjang agar
tidak terjadi toksisitas (Soenarto, 2012). Dosis untuk anestesi intravena pada anak-
anak harus disesuaikan karena massa otot dan lemaknya berbeda dari orang
dewasa. Efek samping dari propofol yang dapat muncul adalah bradikardi dan
hipotensi dimana insidensi bradikardia pada anak-anak 10-20% lebih tinggi
daripada orang dewasa, hal ini penting dipertimbangkan karena pada pasien anak
fungsi baroreceptor belum sempurna sehingga pengaturan cardiac output
didominasi oleh peningkatan laju nadi. Selain propofol terdapat beberapa kombinasi
obat yang dapat digunakan untuk anestesi intravena (Rupp, 1999).

Obat Intravena Dosis Inisial Laju Infus


Propofol 1-2 mg/kg 100-200 mcg/kg/menit
Ketamine 1-2 mg/kg 25-100 mcg/kg/menit
Midazolam 0.5-1 mg/kg (PO atau PR)

0.1-0.2 mg/kg (IV atau IM)

0.2 mg/kg (Intranasal)


Diazepam 0.2 mg/kg (PO atau PR)
Thiopental 3-5 mg/kg
Tabel 2. Dosis Obat Anestesi Intravena untuk Pasien Anak (Soenarto, 2012).

Tabel 3. Kombinasi TIVA(Total Intravenous Anesthesia) pada anak (Soenarto, 2012)

2.3 Prosedur General Anestesi pada Pediatri

2.3.1 Evaluasi Preoperatif

Anamnesis

1) Usia Gestasi dan Berat Lahir


2) Masalah selama kehamilan dan persalinan serta skor APGAR
3) Riwayat Penyakit Sekarang
4) Riwayat Penyakit Dahulu
5) Kelainan kongenital atau metabolik
6) Riwayat pembedahan
7) Riwayat kesulitan anestesi pada keluarga dan pasien
8) Riwayat Allergi
9) Batuk , Episode Asma, ISPA yang sedang dialami
10) Waktu terakhir makan dan minum
Tabel 4. Pertanyaan yang diberikan pada saat anamnesis preoperatif (Soenarto, 2012)

Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
2) Tanda-Tanda Vital : Tekanan darah, Laju nadi dan napas, Suhu
3) Data antropometrik : Tinggi dan berat badan
4) Adanya gigi yang lepas atau goyang
5) Sistem respirasi
6) Sistem Kardiovaskuler
7) Sistem Neurologi Tabel
5. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien preoperatif (Soenarto, 2012)

Pemeriksaan Laboratori

Beberapa pemeriksaan penunjang disarankan bagi beberapa pasien anak


dengan kondisi khusus. Pemeriksaan kadar Hb dilakukan apabila diperkirakan akan
ada banyak pendarahan pada saat operasi, bayi prematur, penyakit sistemik dan
penyakit jantung kongenital. Pemeriksaan kadar elektrolit dapat dilakukan bila
terdapat penyakit ginjal ataupun metabolik lainnya dan pada kondisi dehidrasi.
Pemeriksaan x-ray dapat dilakukan bila terdapat penyakit paru-paru, skoliosis
ataupun penyakit jantung. Pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan sesuai
penyakit pasien yang ditemukan (Rupp, 1999).

2.3.2 Puasa Pre-operatif

Usia Air bening ASI Susu Formula Makanan


Padat
Neonatus 6 2 jam 4 jam 4 jam -
bulan
6 36 bulan 2 jam 4 jam 6 jam 6 jam
>36 bulan 2 jam - 6 jam 8 jam
Tabel 6. Puasa Pre operatif pada pasien anak (Rupp, 1999)

2.3.3 Premedikasi

Tujuan pemberian premedikasi pada pasien anak sama dengan orang


dewasa yakni untuk menurangi ansietas pasien, mengurangi rasa nyeri yang
dialami, menurunkan dosis obat untuk induksi, serta mengurangi sekresi jalan
napas, namun pemberian pre-medikasi pada anak dapat memfasilitasi perpisahan
dengan orang tua dan memudahkan proses intubasi bila dibutuhkan (Soenarto,
2012). Beberapa obat pre-medikasi yang paling sering diberikan adalah
midazolam dan ketamine (Rupp, 1999).. Pemberian obat sedasi harus diberikan
hati-hati bila pasien memiliki gangguan saluran napas dan pemberian harus
dihindari bila pasien memiliki gangguan neurologis atau peningkatan tekanan
intrakranial serta bila ada resiko besar terjadinya aspirasi atau regurgitasi di
lambung (Soenarto, 2012).

Obat Dosis Keterangan


Midazolam 0.5 mg/kg (max 15 mg) 15- Dapat menghasilkan reaksi
30 menit sebelum operasi eksitasi berlebihan
dimulai
Chloral Hydrate 50 mg/kg oral (max 1 Dapat menghasilkan reaksi
gram) eksitasi berlebihan
Ketamine 3-8 mg/kg oral 30-60 menit Dapat meningkatkan
sebelum operasi dimulai tekanan darah
Temazepam 0.1-1 mg/kg oral
Clonidine 2-4 mcg/kg oral Dapat menurunkan
tekanan darah
Tabel 7. Dosis Obat Premedikasi pada pasien anak (Rupp, 1999)

2.3.4 Persiapan anestesia


STATIC :
Scope : Laringoskop apakah lampunya cukup terang atau
tidak, serta Stethoscope.
Tubes : ETT dipersiapkan dengan ukuran sesuai dan satu
ukuran dibawah dan diatasnya. Airway : alat untuk
menahan lidah agar tidak jatuh yakni pipa orofaringeal
Guedel atau pipa nasofaringeal.
Tapes : Plester untuk fiksasi ETT
Introducer : kawat untuk dimasukan ke dalam ETT
Connector : penghubung antara ETT dengan sirkuit nafas
Suction : mesin pengisap untk membersihkan jalan napas.
Peralatan Elektronik :
Lampu ruangan
Mesin anestesia
Mesin penghangat tempat tidur
Infusion pump
Syringe pump
Defibrilator
Sumber Gas : O2,N2O , Halothane, Isoflurane dan gas sejenis serta
dipantau dengan penggunaan flowmeter (Soenarto, 2012).

2.3.5 Induksi

Induksi dapat dilakukan baik dengan metode inhalasi maupun metode


intravena. Metode inhalasi dapat digunakan apabila pasien takut terhadap jarum,
tidak kooperatif atau sulit mencari akses vena, namun metode inhalasi
merupakan teknik yang memerlukan 2 orang, orang pertama harus
mempertahankan jalan napas dan orang kedua mencari akses vena dan
memasukan obat-obatan intravena sesuai indikasi. Obat-obatan inhalasi anestesi
yang paling sering diberikan adalah halothane dan sevoflurane. Halothane
memiliki bau yang manis sehingga mudah dihirup dan bila ditambah dengan N 2O
dapat mempercepat induksi serta durasi obat yang lebih lama namun dapat
menimbulkan arritmia sehingga penggunaanya sudah mulai ditinggalkan.
Sevoflurane tidak bersifat irritatif dan memiliki onset yang lebih cepat dan durasi
yang lebih pendek namun dapat menyebabkan delirium pada saat pasien sadar.
Pilihan obat untuk induksi intravena adalah propofol, thiopental, dan ketamine.

2.3.6 Obat pelumpuh otot

Anak-anak memiliki distribusi volume yang besar sehingga dosis yang


diperlukan lebih tinggi untuk menimbulkan efek, namun di sisi lain karena fungsi
hati dan ginjal belum sempurna maka eliminasi dan durasi efek obat akan lebih
panjang. Suksinilkolin digunakan untuk intubati endotrakeal, dosis yang diperlukan
untuk balita lebih tinggi daripada anak dewasa yakni infusi 2 mg/kg diberikan
untuk anak-anak sedangkan pasien anak dewasa diberikan infusi 1.5 mg/kg. Efek
samping suksinilkolin bila tidak diperhatikan dapat berakibat fatal, seperti
bradycardia, asystole, otot kaku, myoglobinemia dan hipertermia malignant.
Relaxan non depolarizing seperti pankuronium digunakan pada pasien pediatrik
sebagai relaxan untuk intra operasi, dan pada beberapa kasus dipakai juga pada
saat akan mengintubasi pasien namun anak-anak sangat sensitif terhadap obat-
obat golongan ini sehingga mudah overdosis (Rupp, 1999).
Tabel 8. Dosis penggunaan muscle relaxan pada anak (Rupp, 1999)

2.3.7 Intubasi
Sesuai anatomi jalan napas pasien anak, pada intubasi disarankan
menggunakan blade lurus, namun blade bengkok dapat digunakan bila pasien memiliki
berat 6-10 kg. Penggunaan ETT lebih disarankan jenis tanpa cuff pada pasien berusia
dibawah 8 tahun, serta usahakan terdapat sedikit bocoran pada ETT. Ukuran ETT pada
anak-anak dapat menggunakan rumus Modified Cole formula dan Khine Formula:
[(Usia/4) + (4, bila tanpa cuff jadinya ditambah 3)]. Kedalaman ETT dapat diperkirakan
dengan menggunakan rumus : [(Usia/2) + (12) bila pada anak berusia >2 tahun, bila usia
anak <2 menggunakan rumus: (Ukuran ETT X 3). Kedalaman ETT dapat diperhitungkan
dengan rumus namun tetap harus disesuaikan secara klinis dengan mendengarkan suara
napas kedua paru pasien. Penggunaan LMA disesuaikan dengan berat badan pasien
(Esther, 2010).

Ukuran LMA Berat Badan


1 <5 kg
1.5 5-10 kg
2 10-20 kg
2.5 20-30 kg
3 >30 kg
Tabel 9. Panduan Penggunaan LMA untuk pasien anak (Rupp, 1999)

2.4 Anatomi dan Fisiologi Pediatri


A. Jalan napas bagian atas

1. Neonatus wajib bernafas menggunakan hidung obligat nasal breather karena otot
orofaringeal lemah. Nares relatif sempit, dan sebagian besar kerja pernafasan
dibutuhkan untuk mengatasi resistensinya. Oklusi nares oleh atresia choanal
bilateral atau sekresi berlebihan bisa menyebabkan sumbatan jalan nafas komplit.
Penempatan saluran napas oral, Laryngeal Mask Airway (LMA), atau Endo Tracheal
Tube (ETT) mungkin diperlukan untuk memperbaiki kembali patensi jalan napas
selama sedasi atau anestesi.

2. Bayi memiliki lidah yang relatif besar, hal ini tentunya mempegaruhi kinerja masker
ventilasi dan laringoskopi. Lidah dapat dengan mudah menghalangi jalan napas jika
tekanan submandibular yang berlebihan diterapkan saat masker ventilasi.

3. Bayi dan anak-anak memiliki glottis cephalad yang lebih tinggi (tingkat vertebra C-3
pada bayi prematur, C-4 pada bayi, C-5 pada orang dewasa) dan epiglotis yang
sempit, panjang, terangulasi, hal ini dapat menghambat laringoskopi.

4. Pada bayi dan anak kecil, bagian tersempit dari jalan napas adalah pada tulang
rawan krikoid, bukan di glotis (seperti pada orang dewasa). ETT yang melewati
mungkin masih terlalu besar dibagian distalnya.

5. Gigi sulung mulai aktif di tahun pertama dan lepas antara usia 6-13 tahun. Untuk
menghindari lepasnya gigi yang longgar, paling aman untuk membuka mandibula
secara langsung, tanpa memasukkan jari atau alat ke dalam rongga mulut. Gigi
yang longgar harus didokumentasikan pada evaluasi pra operasi. Pada beberapa
kasus, gigi yang tidak stabil harus dilepas sebelum laringoskopi. Orang tua dan
pasien harus diberitahu tentang kemungkinan ini terlebih dahulu.

6. Resistansi jalan nafas pada bayi dan anak-anak dapat meningkat secara dramatis
dengan perubahan yang tidak terlihat pada sistem kaliber kecil. Bahkan edema kecil
pun dapat secara signifikan meningkatkan resistensi saluran napas dan
menyebabkan hambatan jalan nafas.

B. Sistem paru

1. Neonatus memiliki tingkat metabolisme yang tinggi, sehingga konsumsi oksigen


lebih tinggi (6 sampai 9 mL / kg per menit) dibandingkan dengan orang dewasa (3
mL / kg per menit).
2. Paru-paru neonatal memiliki volume penutupan yang tinggi, yang berada dalam
kisaran rendah dari volume tidal normalnya. Di bawah volume penutupan, alveolar
kolaps dan terjadi shunting.

3. Untuk memenuhi permintaan oksigen yang lebih tinggi, bayi memiliki tingkat
pernafasan dan ventilasi menit yang lebih tinggi. Functional Residual Capacity(FRC)
pada bayi, dinyatakan dalam mililiter per kilogram, hampir setara dengan orang
dewasa (FRC bayi, 25 mL / kg; dewasa, 40 mg / kg). Ratio ventilasi menit yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan FRC menghasilkan induksi anestesi yang cepat jika
menggunakan agen inhalasi. Volume tidal untuk bayi dan orang dewasa setara (7
mL / kg).

4. Shunts anatomi termasuk patent ductus arteriosus dan patent foramen ovale dapat
mengembangkan aliran right-to-left yang signifikan dengan peningkatan tekanan
arteri pulmonal (mis., Hipoksia, asidosis, atau tekanan tinggi saluran udara positif ).

5. Karakteristik sistem pulmonal bayi berkontribusi pada desaturasi yang cepat selama
apnea. Desaturasi mendalam bisa terjadi saat bayi batuk atau tegang dan alveoli
kolaps. Pengobatan mungkin memerlukan anestesi mendalam dengan obat
intravena (IV) atau penggunaan obat pelumpuh neuromuskular.

6. Diafragma adalah otot ventilasi utama bayi. Dibandingkan dengan diafragma


dewasa, bayi baru lahir hanya memiliki separuh dari jumlah Tipe I, berkedut lambat,
serat otot oksidatif tinggi yang penting untuk usaha pernapasan yang meningkat.
Dengan demikian, diafragma bayi lebih cepat lelah dari pada orang dewasa. Pada
usia 2 tahun, diafragma bayi telah mencapai tingkat serat Tipe I yang matang.

7. Tulang rusuk yang lentur pada bayi tidak dapat mempertahankan tekanan negatif
intrathoracic dengan mudah. Hal ini mengurangi kemampuan upaya bayi untuk
meningkatkan ventilasi.

8. Dead space bayi adalah 2 sampai 2,5 mL / kg, setara dengan orang dewasa.

9. Ventilasi menit awal bayi yang tinggi membatasi kemampuan mereka untuk
meningkatkan usaha ventilasi lebih jauh. Konsentrasi akhir tidal CO2 harus diikuti
jika ventilasi spontan diizinkan selama anestesi; Ventilasi yang dibantu atau
terkontrol mungkin diperlukan.

10. Pematangan alveolar terjadi pada usia 8 sampai 10 tahun ketika jumlah alveoli dan
ukurannya mencapai kisaran dewasa.
11. Retinopati prematuritas (ROP) adalah kelainan pada mata yang terjadi pada bayi-
bayi prematur. Kelainan ini disebabkan karena adanya pertumbuhan pembuluh
darah retina abnormal yang dapat menyebabkan perlukaan atau lepasnya retina.
adalah kelainan pada mata yang terjadi pada bayi-bayi prematur. Kelainan ini
disebabkan karena adanya pertumbuhan pembuluh darah retina abnormal yang
dapat menyebabkan perlukaan atau lepasnya retina. Pemberian oksigen tambahan
pada bayi prematur merupakan salah satu faktor risiko yang menyebabkan
memberatnya ROP, tetapi bukan merupakan faktor utama terjadinya ROP.
Pembatasan pemberian oksigen tambahan pada bayi prematur tidak secara
langsung akan menurunkan kejadian ROP, malah akan meningkatkan komplikasi
sistemik lain akibat kondisi kekurangan oksigen (hipoksia).

12. Apnea dan bradikardia pada general anestesi meningkat pada bayi prematur dan
pada bayi yang menderita anemia, sepsis, hipotermia, penyakit sistem saraf pusat
(SSP), hipoglikemia, hipotermia, atau gangguan metabolik lainnya. Pasien ini harus
dipantau kardiorespirasinya selama minimal 24 jam pasca operasi. Sebagian besar
rumah sakit sepakat bahwa bayi yang berusia kurang dari 45 sampai 55 minggu
usia postconceptual dipantau pasca operasi. Setiap bayi lahir cukup bulan yang
menunjukkan apnea setelah anestesi umum juga dipantau.

C. Sistem kardiovaskular

1. Denyut jantung dan tekanan darah bervariasi sesuai usia dan harus dipertahankan
pada tingkat usia yang sesuai saat perioperatif.

2. Curah jantung 180 sampai 240 mL / kg per menit pada bayi baru lahir, yaitu dua
sampai tiga kali lipat dari orang dewasa. Curah jantung yang lebih tinggi ini
diperlukan untuk menyeimbangi kebutuhan konsumsi metabolik oksigen yang lebih
tinggi.

3. Ventrikel kurang dapat mengikuti perintah dan memiliki massa otot kontraktil yang
relatif lebih kecil pada bayi baru lahir dan infant. Kemampuan untuk meningkatkan
kontraktilitas terbatas; Peningkatan curah jantung terjadi dengan meningkatkan
denyut jantung daripada stroke volume. Bradikardi adalah aritmia paling
mengganggu pada bayi dan hipoksemia sering menyebabkan bradikardi pada bayi
dan anak-anak.

D. Keseimbangan cairan dan elektrolit

1. Tingkat filtrasi glomerulus saat lahir adalah 15% sampai 30% dari nilai dewasa
normal. Nilai dewasa dicapai pada usia 1 tahun. Clearance obat di ginjal dan
metabolismenya berkurang selama tahun pertama kehidupan.

2. Neonatus memiliki jalur renin-angiotensin aldosteron yang utuh, namun tubulus


distal menyerap sodium lebih sedikit sebagai respons terhadap aldosteron. Jadi,
neonatus adalah "obligate sodium losers" dan cairan intravena harus mengandung
sodium.

3. Total air tubuh pada bayi prematur adalah 90% berat badan. Dalam istilah bayi
terdapat 80%; ; pada usia 6 sampai 12 bulan terdapat 60%. Peningkatan
persentase total air dalam tubuh ini mempengaruhi distribusi volume obat. Dosis
beberapa obat (mis., Thiopental, propofol, suksinilkolin, pancuronium, dan
Rocuronium) 20% sampai 30% lebih besar daripada dosis yang sama efektifnya
untuk orang dewasa.

E. Sistem hematologi

1. Titik terendah anemia fisiologis pada usia 3 bulan dan hematokrit bisa mencapai
serendah 28% daripada bayi lain yang sehat. Bayi prematur dapat menunjukkan
penurunan konsentrasi hemoglobin pada usia 4 sampai 6 minggu.

2. Saat lahir, hemoglobin janin (HbF) mendominasi, namun sintesis rantai b bergeser
ke tipe dewasa (HbA) pada usia 3 sampai 4 bulan. Hemoglobin janin memiliki
afinitas yang lebih tinggi untuk oksigen (kurva disosiasi oxyhemoglobin bergeser ke
kiri), namun hal ini tidak signifikan secara klinis.

F. Sistem Hepatobiliari
1. Sistem enzim hati, terutama yang terlibat dalam reaksi fase-II (konjugasi), belum
matang pada bayi. Obat yang dimetabolisme oleh P-450 sistem memiliki waktu
eliminasi yang lebih lama.

2. Ikterus umum terjadi pada neonatus dan bisa bersifat fisiologis atau memiliki
penyebab patologis.

3. Hiperbilirubinemia dan perpindahan bilirubin dari albumin oleh obat dapat


menyebabkan kernikterus. Bayi prematur dapat terjadi kernikterus pada tingkat
bilirubin yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang lahir cukup bulan.

4. Tingkat albumin plasma lebih rendah saat lahir dan ini menyebabkan penurunan
protein binding pada beberapa obat, dan konsentrasi obat bebas lebih tinggi.

G. Sistem endokrin

1. Bayi yang baru lahir, terutama bayi prematur dan yang berat badan rendah
dibandingkan usia gestasi, menurunkan penyimpanan glikogen dalam tubuh dan
lebih rentan terhadap hipoglikemia. Bayi dari ibu diabetes memiliki kadar insulin
tinggi karena terpajan lama pada peningkatan kadar glukosa serum ibu dan juga
rentan terhadap hipoglikemia. Bayi yang termasuk dalam kelompok ini
membutuhkan dekstrosa 5 sampai 15 mg / kg per menit. Konsentrasi glukosa
normal pada bayi full-term lebih besar atau sama dengan 45 mg / dL (2,5 mmol / L).

2. Hipokalsemia sering terjadi pada bayi yang prematur, bayi berat lahir rendah, sesak
napas, keturunan ibu diabetes, atau yang telah menerima transfusi darah sitrat atau
plasma beku segar. Konsentrasi serum kalsium harus dipantau pada pasien ini dan
kalsium klorida diberikan jika kalsium terionisasi kurang dari 4,0 mg / dL (1,0 mmol /
L).

H. Pengaturan suhu

1. Dibandingkan dengan orang dewasa, bayi dan anak memiliki luas permukaan yang
lebih besar terhadap rasio berat badan, yang meningkatkan hilangnya panas tubuh.

2. Bayi memiliki massa otot lebih kecil dan tidak dapat mengimbangi dingin dengan
menggigil atau menyesuaikan tingkah laku untuk menghindari demam.

3. Bayi merespons tekanan dingin dengan meningkatkan produksi norepinephrine,


yang meningkatkan metabolisme lemak coklat. Norepinephrine juga menghasilkan
vasokonstriksi pulmonal dan perifer, yang dapat menyebabkan shunting kanan-ke-
kiri, hipoksemia, dan asidosis metabolik. Bayi yang sakit dan bayi prematur memiliki
keterbatasan penyimpanan lemak coklat dan karena itu lebih rentan terhadap dingin
(Hurford, 2002).

2.5 Komplikasi General Anestesi pada Pediatri

2.5.1 Komplikasi Breathing

Oksigen adalah gas yang sangat penting. Dalam kehidupan sehari-hari


manusia membutuhkan oksigen, tetapi perlu juga di ingat bahwa oksigen adalah gas
medis, obat, dan memiliki efek samping sendiri. Jadi, saat melakukan pencegahan
hipoksia dengan terapi oksigen, kita tetap harus menjaga konsentrasi oksigen yang
terinspirasi dari mesin anestesi di tingkat terendah untuk tetap sesuai dengan
saturasi hemoglobin yang normal. Konsentrasi oksigen yang tinggi bisa
mengencerkan kandungan nitrogen dari daerah paru-paru dan dapat mempercepat
penyerapan atelektasis, aliran tinggi oksigen kering dapat mengeringkan dan
mengiritasi permukaan mukosa dari saluran udara serta mengurangi transportasi
mukosiliar dan clearance secretions. Oksigen yang berlebih menyebabkan
peningkatan produksi hidrogen peroksida, superoksida anion, singlet oksigen dan
Radikal hidroksil, yang beracun untuk lipid dan protein dalam membran biologis.
Pada bayi prematur yang mengalami kelebihan oksigen dapat memprovokasi
terjadinya cedera mata: seperti fibroplasia retrolental.

Selain oksigen itu sendiri, ventilasi mekanis dapat menjadi sumber


komplikasi, pertama-tama barotrauma dan volutrauma paru. Pada umumnya
memulai ventilasi mekanis dengan volume tidal yang sangat rendah, lalu perlahan-
lahan meningkat dan mengamati pergerakan dada serta mendengar udara
memasuki paru-paru dengan stetoskop. Periksa monitor, mencari kurva
capnographic dan puncak tekanan inspirasi dalam saluran nafas yang tidak lebih
tinggi dari 15-20 cm H2O. Volutrauma-barotrauma lebih dikhawatirkan daripada
hiperkapnia moderat, jadi tidak perlu mencapai normocapnia jika memang terjadi
peningkatan tekanan inspirasi puncak yang berbahaya. Menurut studi terbaru oleh
Curley et al., ventilasi mekanis pada volume tidal yang bahkan secara klinis rendah
dan untuk jangka waktu yang relatif singkat dapat mengaktifkan respon inflamasi di
paru-paru. Jadi, jika peregangan ventilasi mekanik yang rendah dapat menginisiasi
respon inflamasi, maka kita harus menghindari segala bentuk baro-atau volutrauma
di paru-paru, terutama pada bayi baru lahir dan anak-anak.
Bayi yang baru lahir, khususnya prematur, harus dijaga dengan perawatan
khusus. Respon ventilasi neonatus untuk CO2 tumpul, dan hipoksia semakin
membuat tumpul respon ini. Obat bius sisa dapat menekan ventilasi dan bayi baru
lahir mungkin tidak dapat bereaksi terhadap hipoksia-hiperkapnia, dengan campuran
yang sangat berbahaya dari faktor itu dapat menyebabkan apnea (Hurford, 2002).

2.5.2 Komplikasi Jalan nafas

Intubasi trakea tidak selalu diperlukan terlebih dalam operasi kecil dan sering
menimbulkan risiko iritasi saluran napas dan spasme laring pada pasien. Laryngeal
mask airway harus dihindari pada pasien non-puasa dan dalam kasus perdarahan
hebat (Hurford, 2002).

2.5.3 Komplikasi Obat

Penting untuk diingat bahwa anestesi inhalasi memiliki efek protektif terhadap
cedera iskemia-reper-fusion. Kapasitas pelindung ini berhubungan dengan efek
penyesuaian awal, postconditioning efek, dan efek pada apoptosis. Dengan agen
volatil yang digunakan saat ini (sevofluran, desflurane), hepatotoksisitas tidak lagi
menjadi masalah klinis. Sevoflurane dan desflurane merupakan kontraindikasi dalam
kasus yang sangat jarang seperti hipertermia malignant. Sevofluran adalah agen
yang ideal untuk induksi anestesi per inhalasi pada anak-anak karena itu tidak
mengiritasi jalan nafas. Sevofluran dapat bereaksi dengan penyerap CO2 kering
(yaitu, pada penyerap di mana aliran gas berkepanjangan telah berlalu untuk waktu
yang lama) dan dapat mengalami reaksi eksotermis yang pada akhirnya merusak
jalan nafas.

Sevofluran adalah bronkodilator yang sangat efektif, dan diduga terdapat


komplikasi nefrotoksisitas, hal ini dikarenakan diproduksinya coumpound A sebagai
produk degradasi akibat interaksi sevoflurane dengan penyerap CO2 soda lime,
sebenarnya tidak semua beracun bagi ginjal selama aliran gas segar disimpan tidak
kurang dari 2 liter per menit. Desflurane tidak cocok untuk inhalasi induksi karena
efek iritasi pada saluran nafas, namun tetap digunakan untuk pemeliharaan anestesi
(setelah intubasi trakea) bahkan pada bayi baru lahir. Desfluran adalah bronkodilator
dan memiliki efek inotropik negatif yang sederhana; tidak memiliki efek nefrotoksik.
Nitrous oxide dapat menonaktifkan vitamin B12, memprovokasi gangguan
neurologis.
Suksametonium, satu-satunya pelumpuh otot depolarizing, memiliki berbagai
efek samping: pemicu hipertermia malignant, dapat memprovokasi hiperkalemia,
rhabdomyolysis, kejang masseter dan aksinya dapat sangat berkepanjangan pada
individu dengan kolinesterase rendah. Suxamethonium menghasilkan nyeri otot,
menghasilkan myoglobinuria yang mengancam fungsi ginjal, hiperkalemia berat dan
serangan jantung pada bayi dan anak-anak, serta dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.

Propofol dan remifentanli adalah obat yang paling umum digunakan. Pada
pasien yang terkena miopati,TIVA dapat digunakan sebagai alternatif yang valid
untuk menghindari risiko hipertermia keganasan yang disebabkan oleh anestesi
halogen. honium dapat menghasilkan myoglobinuria yang mengancam fungsi ginjal;.
Cara terbaik untuk mencegah toksisitas jangka panjang adalah dengan
menggunakan kombinasi obat dan bukan agen tunggal (Hurford, 2002).

Komplikasi lainnya yang dapat terjadi adalah delirium. Anak-anak lebih rentan
terhadap disorientasi, halusinasi dan aktivitas fisik yang tidak terkontrol selama
anestesi umum. Hal ini lebih sering terjadi pada pasien yang telah menerima agen
anestesi inhalasi kuat. Terkadang keadaan yang hyperexcitable ini bertahan lama
beberapa jam, khususnya pada pasien cemas, yang tidak mendapatkan premedikasi.
Depresi pernafasan pada anak dengan anestesi umum bisa terjadi karena efek
residu dari relaksan otot, intravena atau agen anestesi inhalasi (Ray, 2004).

2.5.4 Reaksi Alergi

Alergi lateks dapat terjadi, hal ini dapat diminimalisir dengan menggunakan
lebih sedikit barang yang mengandung lateks serta menanyakan tentang riwayat
alergi sebelumnya saat pra-anestesi. Di antara obat yang digunakan dalam anestesi
yang paling mampu memunculkan reaksi alergi adalah antibiotik, selain itu juga
muscle relaxant dapat menimbulkan alergi meskipun sangat jarang terjadi.

The Ring dan Messmer skala keparahan klinis, dikutip oleh Dewatcher et al,
membedakan tingkat reaksi alergi : grade 1. tanda-tanda pada mukosa kulit: eritema,
urtikaria dengan atau tanpa angioedema; grade 2. tanda-tanda moderate multi-
visceral: tanda pada mukosa kulit gangguan pencernaan hipotensi takikardia
dyspnea; Grade 3.tanda mono atau multivisceral yang mengancam jiwa: kolaps
kardiovaskular, takikardia, atau bradikardia dysrythmia jantung bronkospasme
tanda pada mukosa kulit gangguan pencernaan; grade 4 : cardiac arrest. Insiden
keseluruhan anafilaksis perioperatif diperkirakan 1 : 10-20.000 (Hurford, 2002).
2.5.5 Komplikasi Karena Prematuritas

Bayi dianggap prematur jika lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu.


Prematuritas adalah salah satu dari penyebab utama kematian perioperatif dan
morbiditas. Bayi premature lebih rentan terhadap hipotermia perioperatif, apnea,
distres pernapasan, gagal jantung kongestif, retinopati dan perdarahan intracranial.

Gangguan termoregulasi

Bayi prematur sangat rentan terhadap hipotermia, karena gangguan


termoregulasi. Konsekuensi dari hipotermia adalah apnea, bradikardia, asidosis
metabolik dan hipoglikemia.

Apnea

Insiden episode apnoic berbanding terbalik dengan usia konseptual bayi.


Apnea singkat (jeda pernapasan <15 detik dan tidak terkait dengan bradikardia) atau
mungkin akan berlangsung lama dan mengancam nyawa. Apnea yang mengancam
jiwa lebih dari 15 detik dan biasanya berhubungan dengan bradikardia.

Beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan risiko apnea pascaoperasi pada


bayi prematur. Administrasi anestetik inhalasi yang berbeda, obat penenang,
narkotika dan relaksan otot dapat meningkatkan kejadian apnea pada periode pasca
operasi. Risiko ini bisa diminimalkan dengan:

Pemberian kafein perioperatif atau teofilin


Penggunaan anestesi spinal dan bukan anaesthesia umum
Menunda operasi, sampai anak lebih tua dari 48-60 minggu pasca konseptual

Sindrom Distress Pernafasan

Sindrom distres pernapasan disebabkan oleh defisiensi dari surfaktan yang


menyebabkan kolaps alveolar, right-to-left Shunt, hipoksemia dan asidosis metabolik.
Administrasi surfaktan buatan segera setelah melahirkan khususnya dalam kasus
berisiko tinggi secara signifikan mengurangi keparahan penyakit.

Retinopati Prematuritas

Bayi prematur rentan terhadap retinopati. Hal ini berkorelasi dengan usia
gestasi dan berat lahir bayi. Insiden paling tinggi pada bayi dengan berat kurang dari
1000 gram.
Perdarahan Periventrikular - Intraventrikular

Hipoksia neonatal mengganggu autoregulasi cerebral. Akibatnya, terjadi


peningkatan tekanan arteri sistemik sehingga dapat meningkatkan aliran darah
serebral dan menyebabkan perdarahan periventrikular atau intraventrikular.

Berbagai prosedur anestesi seperti akses intravena atau intubasi saat pasien belum
tersedasi penuh sering menimbulkan hipertensi sistemik dan meningkatkan aliran
darah serebral yang menyebabkan perdarahan intrakranial.

Hyperosmolaritas merupakan faktor penyebab lainnya perdarahan intrakranial pada


bayi prematur. Hyperosmolar cairan seperti sodium bikarbonat harus dihindari atau
harus diencerkan dan diberikan perlahan untuk mencegah komplikasi semacam itu
(Ray, 2004).

2.5.6 Komplikasi karena Kongenital Anomali

Setelah prematuritas, anomali kongenital adalah penyebab kedua kematian


dan morbiditas pada tahap pertama 30 hari kehidupan. Anomali kongenital umum
yang terkait dengan komplikasi perioperatif adalah congenital heart defects,
congenital diaphragmatic hernia, tracheoesophageal fistula dan anterior abdominal
wall defects.

Congenital Heart Disease

Murmur jantung sangat umum terjadi pada anak-anak. Hal ini mungkin
fungsional atau patologis. Kehadiran murmur bukan kontraindikasi untuk anestesi
umum, jika pasien secara klinis dinyatakan normal. Namun, adanya sianosis,
penurunan toleransi latihan, penambahan berat badan yang buruk, sering
berkeringat, penurunan nadi femoralis dan precordial heave biasanya menunjukkan
beberapa lesi organik di jantung.

Congenital Diaphragmatic Hernia

congenital diaphragmatic hernia adalah operasi darurat, sering dikaitkan


dengan anomali kongenital lainnya seperti hidrosefalus, ensefalopati, atresia
intestinal, defek septum atrium, defek septum ventrikel, tetrologi of fallot dan
koarktasio. Hal ini membawa tingkat kematian yang tinggi. Pasca operasi pemulihan
tergantung pada tingkat hipertensi pulmonal dan hipoplasia paru. Sebagian besar
bayi menderita insufisiensi ventilasi pada periode pascaoperasi dan membutuhkan
ventilasi. Masalah jangka panjang mencakup displasia bronkopulmoner, hipoperfusi
paru dan menurunkan FEV1 dan kapasitas ventilasi.

Fistula Trakeoesofagus

Ada dua komplikasi utama trakeoesophageal hiliran; Aspirasi pneumonia dan


dehidrasi. Adanya penyakit jantung kongenital bisa mempersulit keadaan ini.
Kompresi trakea sekunder dapat menyebabkan trakeomalacia dan refluks
gastroesophageal yang persisten karena refleks menelan yang abnormal bisa
menyulitkan periode pasca operasi.

Kelainan Anterior Dinding Perut

Omphalocele dan gastroschisis adalah dua penyakit congenital yang


berhubungan dengan defek dinding abdomen anterior. Penutupan cacat primer
dapat meningkatkan tekanan intraabdomen secara signifikan dan membahayakan
ventilasi. Oleh karena itu diperlukan dukungan ventilasi untuk jangka waktu 3-7 hari
setelah operasi. Meningkatnya tekanan intraabdominal menyebabkan kompresi IVC
dan gangguan aliran darah visceral. Tekanan intraabdomen yang meningkat juga
mengurangi sirkulasi ke ginjal yang mengakibatkan pelepasan rennin dan aktivasi
sistem rennin - angiotensin aldosteron (Ray, 2004).

2.5.7 Komplikasi Akibat Genetic Disorders

Beberapa kelainan genetik umum yang sering berhubungan dengan


komplikasi postoperative adalah Trisomy-21, Duchennes muscular dystrophy and
sickle cell anaemia.

Trisomi-21

Trisomi-21, yang biasa dikenal dengan sindrom Down, adalah anomali


kromosom yang paling umum. Ini ditandai dengan fisura palpabral oblique, fasies
datar, lipatan palmer tunggal. Masalah anestesi utama yaitu mental retardasi,
obesitas, sulitnya jalan nafas dan anomali jantung. Kesulitan dalam intubasi karena
nasofaring yang sempit, tonsil besar dan kelenjar gondok, stenosis cervicalspinal
dengan subluksasi aksial atlanto dan stenosis subglotis. Komplikasi postoperative
cardiac defek pada pasien ini sering menimbulkan komplikasi pada pernafasan.
Perkembangan abnormal alveoli dan pembuluh darah paru mempengaruhi
terjadinya hipertensi pulmonal

Gangguan Neuromuskular Genetik


Sel-sel otot pasien ini menghasilkan fluks K + yang berlebihan sebagai
respons terhadap suksinil kolin, menyebabkan hiperkalemia, ketidakstabilan
peredaran darah atau bahkan henti jantung. Masalah lain pada anak-anak dengan
Duchenne's Dystrophy muscular adalah hipertermia malignant.

Sickle Cell Anemia

Anak-anak dengan anemia sel sabit rentan terhadap hipoksia, hipercarbia,


asidosis, hipotermia, hipovolemia dan hipoperfusi selama periode perioperatif.
Penderita biasanya mengalami anemia, maka transfusi pra operasi mungkin
diperlukan. Selain itu, anemia sel sabit sangat sering dikaitkan dengan
kardiomiopati, nefropati dan disfungsi pernafasan, yang meningkatkan komplikasi
anestesi umum (Ray, 2004).

BAB III

KESIMPULAN

Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah menciptakan ketidaksadaran yang


aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan menciptakan keadaan operasi
yang kondusif. Pemilihan anestesi umum pada bayi dan anak harus mempertimbangkan
komplikasi yang akan terjadi karena terdapat perbedaan karakteristik anatomi, fisiologi dan
farmakologi pada pediatri dan orang dewasa. Risiko terjadinya mortalitas dan morbiditas
juga semakin tinggi dengan makin mudanya usia. Seperti pada anestesi untuk orang
dewasa, anestesi anak dan bayi khususnya harus diketahui betul sebelum melakukan
anestesi karena alasan itu anestesi pediatri seharusnya ditangani oleh dokter spesialis
anestesiologi atau dokter yang sudah berpengalaman.

DAFTAR PUSTAKA

Betts KE, Downes JJ. Pediatric Anesthesia. In : Longnecker DE, Murphy FL, editors.
Introduction in anesthesia. 9h ed. Philadelphia, Pennsylvania : W. B. Saunders
Company ; 1997.p. 332-49

Crowder, M. S. et al. 2014. Mechanism of Anesthesia and Consciousness. Dalam Clinical


Anesthesia 7th Edition, Paul G Barash et al (editor). USA : Lipincott Williams and
Wilkins.
Esther Weathers. Neonatal And Pediatric Cuffed Endotracheal Tubes: Safety And Proper
Use.KCEducationalCounselingServices.
http://www.rcecs.com/MyCE/PDFDocs/course/V7099.pdf . Access : 2 Agustus 2017

Garden, O. James et al. 2012. Principles and Practice of Surgery: With Student Consult.
USA : Elsevier Health Sciences. Hlm. 75.

Hurford, William. 2002. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General


Hospital 6th edition. Hlm. 157-159.

Kamus Kemenkes RI. Neonatus. Depkes [Internet] 2014 [Diakses 2 Agustus 2017]

Kliegman RM, Stanton BF, Gemelll JW, Shcor NF. Nelson textbook of pediatrics. Nineteenth
edition. Philadelphia: Elseiver Inc, 2011.

Latief SA et al. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Hlm. 29-90.

Lerman J, Schmitt Bantel BI, Gregory GA, et al. Effect of age on the solubility of volatile
anesthetics in human tissues. Anesthesiology 1986; 65; 307-11

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Pediatric Anesthesia. In : Clinical anesthesiology
.3d' ed. New York : Mc Graw Hill; 2002.p.849-73

Ray, Manjushree ; Saha, Enakshi. 2004. Complications Following General Anaesthesia


In Paediatric Patients.

Rupp K, Holzki J, Fischer T, Keller C. Pediatric Anesthesia . 1st Edition. Drager 1999 :
Germany.

Said A L, Suntoro A.1989. Anestesi Pediatrik. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI. Jakarta. Hal : 115-122

Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar anestesiologi . Departemen Anestesiologi dan Intensive
Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto Mangankusumo 2012 :
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai