II. Prinsip
Titrasi Kompleksometri
Dikenal sebagai reaksi yang meliputi reaksi pembentukkan ion-
ion kompleks ataupun pembentukkan molekul netral yang
terdisosiasi dalam larutan (Khopkar, 2002).
Pada pH diatas 7, zink yang dititrasi dengan EDTA dan indikator EBT
perlu ditambahkan buffer ammonia untuk mencegah zink mengendap.
Reaksi awal yang terjadi adalah zink membentuk kompleks dengan
ammonia. Pada penambahan larutan dinatrium EDTA, ligan EDTA
akan terionisasi sehingga menjadi bermuatan dan akan mensubstitusi
ammonia. Larutan zink oksida dalam larutan HCl yang bersifat asam
perlu dinetralisasi dengan larutan NH4OH. Ion NH3 dari NH4OH
bereaksi dengan ion Zn2+ membentuk Zn(NH3)++ yang netral.
VI. Metode
Pembuatan Larutan HCl 4 N
Diambil larutan HCl 36% sebanyak 33,3 ml ke dalam gelas kimia,
kemudian ditambahkan aquadest hingga 100 ml dalam labu ukur.
Perhitungan
1. Pembuatan Indikator EBT 1%
EBT = 0,5 mg x 3 = 1,5 mg untuk 3 kali titrasi
= 1,5 mg x 10 = 15 mg
NaCl = 49,5 mg x 3 = 148,5 mg untuk 3 kali titrasi
= 148,5 mg x 10 = 1485 mg
2. Pembuatan larutan ZnSO4 0,05 M
N = Molaritas x valensi
= 0,05 M x 2
= 0,1 N
= 512,58 mg
% Kadar = x 100%
512,58
= 100%
500
= 102,51%
VIII. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan analisis kuantitatif untuk
menentukan kemurnian bahan baku ZnO dengan metode
kompleksometri dan dibandingkan dengan literatur.
Titrasi kompleksometri yaitu titrasi yang memiliki prinsip reaksi
pembentukkan kompleks antara ion logam dan ligan. Ligan merupakan
gugus yang terikat pada ion pusat dan dikenal juga sebagai senyawa
pengkhelat. Pemilihan metode ini didasarkan pada sifat zink oksida
yang mengandung ion logam (Zn2+) sehingga cocok menggunakan
titrasi kompleksometri ini.
Ligan atau komplekson yang digunakan dalam titrasi
kompleksometri kali ini yaitu larutan di-Na-EDTA (Ethylene Diamine
Tetra Acetate). Pemilihan larutan di-Na-EDTA sebagai komplekson
yaitu dikarenakan EDTA merupakan senyawa gugus polikarbonat yang
dapat membentuk kompleks dengan kebanyakan ion logam. EDTA
memiliki enam pasang elektron bebas pada dua atom N dan empat
atom O. Hal ini menyebabkan EDTA dapat terikat pada ion-ion logam
dan akan membentuk kompleks yang stabil dengan kebanyakan ion
logam dengan perbandingan 1:1, kecuali logam alkali. Logam-logam
alkali membentuk kompleks yang tidak stabil dengan komplekson
pada pH asam sehingga harus dititrasi dengan terlebih dahulu
ditambahkan buffer salmiak pH 10 sebagai pengatur keadaan pH dan
mencegah terbentuknya endapan logam hidroksida. Penggunaan buffer
pada proses titrasi juga untuk mencegah terjadinya perubahan pH yang
diakibatkan oleh terbentuknya H+ karena setiap 1 mol logam bereaksi
dengan 1 mol EDTA selalu dilepaskan 2 mol H+. Proton yang
dibebaskan tersebut dapat berpengaruh pada pH, dimana jika H+ terlalu
tinggi, maka hal tersebut dapat terdisosiasi sehingga yang dilepaskan
kesetimbangan pembentukkan kompleks dapat bergeser ke kiri, karena
terganggu oleh suasana sistem titrasi yang terlalu asam.
Suatu EDTA juga dapat membentuk senyawa kompleks dengan
sejumlah besar ion logam, sehingga EDTA dapat dikatakan sebagai
ligan yang tidak selektif. Dalam larutan yang agak asam, dapat terjadi
protonasi parsial EDTA tanpa pematahan sempurna kompleks logam,
yang menghasilkan spesies seperti CuHY-. Ternyata bila beberapa ion
logam yang ada dalam larutan tersebut maka titrasi dengan EDTA
akan menunjukkan jumlah semua ion logam yang ada dalam larutan
tersebut.
EDTA merupakan larutan baku sekunder yang memiliki
konsentrasi tidak tetap atau berubah-ubah sehingga perlu dilakukan
pembakuan dengan larutan baku primer. ZnSO4 merupakan larutan
baku primer yang dapat digunakan untuk pembakuan EDTA. Larutan
EDTA akan membentuk kompleks yang tidak stabil pada pH rendah,
maka titrasi harus dilakukan pada pH 10. Untuk menjaga nilai pH agar
tetap basa, maka dibutuhkan larutan buffer. Larutan buffer yang
digunakan adalah buffer salmiak yang dibuat dari campuran NH4OH
dan NH4Cl. Setelah ditambahkan buffer, lalu ditambahkan indikator
EBT yang dapat mendeteksi titik akhir titrasi dengan adanya
perubahan warna dari merah violet menjadi biru.
Eriochrome Black T (EBT) adalah indikator yang berwarna merah
muda bila berada dalam larutan yang mengandung ion kalsium dan ion
magnesium dengan pH 10,0 0,1. Senyawa ini memiliki dua gugus
fenol yang dapat terionisasi. Suatu kelemahan Eriochrome Black T
adalah larutannya tidak stabil, dan hanya bisa digunakan dalam
suasana basa. Bila disimpan, maka akan terjadi penguraian secara
lambat, sehingga setelah jangka waktu tertentu indikator tidak
berfungsi lagi. Sebagai gantinya dapat diganti dengan indikator
Calmagite. Indikator ini stabil dan dalam kebanyakan sifatnya sama
dengan Eriochrome Black T. Bila indikator Eriochrome Black T (EBT)
ditambahkan kepada suatu larutan yang mengandung ion logam pada
pH basa, maka indikator EBT akan membentuk kompleks dengan ion
logam tersebut dan larutan akan menjadi merah anggur. Bila kemudian
dititrasi dengan EDTA, ion logam akan melepaskan ikatannya dengan
indikator EBT dan membentuk ikatan kompleks yang baru dengan
EDTA. Hal ini dikarenakan kekuatan ikatan antara ion logam dan
indikator EBT lebih rendah dibandingkan kekuatan ikatan ion logam
dan EDTA. Pada titik akhir titrasi, yaitu setelah semua EDTA
membentuk kompleks dengan ion logam, maka kelebihan dari larutan
EDTA akan berikatan dengan indikator EBT membentuk kompleks
dan menghasilkan perubahan warna larutan menjadi biru.
Setelah dilakukan pembakuan, konsentrasi EDTA yang didapat
adalah 0,11 N. Konsentrasi ini yang akan digunakan untuk perhitungan
penentuan kadar ZnO selanjutnya.
ZnO yang akan ditentukan kadarnya terlebih dahulu ditimbang
sebanyak 500 mg dan dilarutkan dalam larutan HCl 4 N. Hal ini
dilakukan karena zink oksida praktis tidak larut dalam air, tetapi
mudah larut dalam larutan asam. ZnO yang telah dilarutkan dalam
larutan HCl akan bersifat asam, sehingga perlu dinetralisasi dengan
adanya penambahan larutan NH4OH sedikit demi sedikit. Setelah itu,
larutan tersebut dicek pHnya dengan indikator universal dengan
mencelupkan kertas indikator universal ke dalam larutan yang akan
dicek pHnya, lalu perubahan warna pada indikator tersebut
dibandingkan dengan warna standar yang telah diketahui nilai pHnya.
pH larutan menunjukkan netral pada saat penambahan larutan NH4OH
sebanyak 6 ml, lalu selanjutnya larutan ditambahkan larutan buffer
salmiak pH 10 sampai larutan memiliki rentang pH 9-10. Penambahan
buffer ini bertujuan agar larutan menjadi stabil dan agar larutan
tersebut bersifat basa karena indikator yang digunakan adalah EBT
yang bekerja pada keadaan basa. Pada saat larutan yang sudah
ditambahkan larutan dapar amonia pH 10 dan kemudian ditambahkan
dengan indikator EBT. Pemilihan indikator EBT ini dikarenakan
trayek pH nya yang berada pada rentang 7-11 sehingga titik akhir
titrasi larutan ZnO pada pH 10 dapat diamati. Pemilihan EBT juga
dikarenakan ikatan antara indikator dengan ion logam yang terbentuk
harus lebih kuat dan tidak mudah terjadi disosiasi, sebab jika mudah
terjadi disosiasi warnanya akan muda berubah menjadi warna lain.
Pada saat penambahan indikator, indikator EBT akan terdisosiasi
melepaskan dua atom hidrogennya dari gugus fenol (OH) dan
mengikat ion Zn2+ dalam air dan segera membentuk kompleks Zn2+
eriokrom yang menyebabkan perubahan warna larutan menjadi merah
violet. Kestabilan kompleks ini cukup tinggi akan tetapi kurang stabil
apabila dibandingkan dengan kompleks antara Zn2+ dengan dinatrium
EDTA. Kemudian, larutan sampel dititrasi dengan larutan di-Na-
EDTA. Pada saat titrasi, terjadi reaksi kompleks antara indikator logam
dengan dinatrium EDTA, dimana hilangnya ion-ion hidrogen dari
gugus fenolat (OH) dan pembentukkan ikatan antara ion-ion logam dan
atom-atom oksigen, yang menghasilkan perubahan warna pada larutan
dari merah violet menjadi biru, dimana ikatan antara indikator EBT
dengan ion Zn2+ terlepas dan menyebabkan ion Zn2+ berikatan dengan
dinatrium EDTA membentuk kompleks berwarna biru. Hal ini
disebabkan kestabilan ikatan indikator dan ion Zn2+ lebih rendah
dibandingkan ikatan antara ion Zn2+ dan dinatrium EDTA. Peristiwa
berubahnya warna ini dikarenakan Zn sudah habis bereaksi dengan
indikator EBT, sehingga kelebihan dinatrium EDTA akan bereaksi
dengan indikator EBT. Setelah didapatkan perubahan warna larutan
menjadi biru, proses titrasi dihentikan. Saat itulah, mol ZnO sama
dengan mol EDTA, dan hal ini dinamakan titik akhir titrasi. Dari
proses titrasi tersebut, didapatkan konsentrasi dinatrium EDTA sebesar
0,12 N. yang selanjutnya angka ini akan digunakan dalam perhitungan
penetapan kadar ZnO.
Diperoleh hasil rata-rata kadar ZnO yang didapatkan adalah
102,51%. Kadar yang didapatkan tersebut kurang memenuhi
persyaratan seperti yang tertera pada Farmakope Indonesia edisi IV
bahwa kadar ZnO tidak kurang dari 99% dan tidak lebih dari 100,5%.
Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh faktor penyimpanan
atau faktor lingkungan yang dapat mengurangi kestabilan ZnO seperti
kandungan air, oksigen dan cahaya yang dapat menguraikan serta
mengoksidasi sampel. Menurut Farmakope Indonesia, zink oksida juga
lambat laun dapat menyerap karbondioksida di udara, sehingga faktor
lingkungan dapat mengurangi kestabilan ZnO. Selain itu, faktor lain
yang berpengaruh adalah kestabilan dan kadar reagen yang digunakan.
Reagen-reagen yang digunakan seperti larutan HCl 4 N dan larutan
dapar ammonia pH 10 sudah tersedia selama kurang lebih 1 minggu,
sedangkan reagen lainnya dibuat pada saat praktikum, sehingga reagen
yang sudah lama dibuat mungkin saja telah mengalami perubahan
konsentrasi atau telah terkontaminasi zat lain yang dapat
mempengaruhi hasil akhir titrasi ini. Ketidaktelitian pada saat
pengamatan titik akhir titrasi juga merupakan faktor lain yang
berpengaruh terhadap kadar ZnO yang didapatkan.
IX. Kesimpulan
Dapat menentukan kemurnian bahan baku ZnO dengan metode
kompleksometri, Hasil kadar yang didapatkan yaitu 102,51%. Hasil
tersebut tidak sesuai dengan yang tertera dalam Farmakope Indonesia
yaitu kadar ZnO antara 99-100,5%.
X. Daftar Pustaka
Annuryanti, F., Darmawati, A., dan Moechtar, J. 2015. Perbandingan
Metode Spektrofotometri Sinar Tampak dan Titrasi
Kompleksometri Untuk Penentuan Kadar Zink Dalam Sediaan
Sirup. Berkala Ilmiah Kimia Farmasi. Vol.4(2): 2.
Caley, Earle R., Farrohha, dan Sabri, M. 1963. A New Type of
Complexometric Titration. Ohio Journal of Science. Vol.63.
Cash, D. 2008. EDTA Titrations 1: Standardization of EDTA and
Analysis of Zinc in a Supplement Tablet. Tersedia (online) di:
http://www.uclmail.net/users/dn.cash/EDTA1.pdf/ [Diakses pada
16 Oktober 2017].
Day, R.A. dan Underwood. 1986. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi
Kelima. Jakarta: Erlangga.
Day, R.A., dan Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi
Keenam. Jakarta: Erlangga.
Gandjar, I., dan Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Husain, A. 2007. Theoretical Basis of Analysis: Complexometric
Titrations. Tersedia (online) di:
http://nsdl.niscair.res.in/jspui/bitstream/123456789/771/1/corrected
%20Theoretical%20basis%20of%20analysis%20-
%20Complexometric%20titrations.pdf/ [Diakses pada 16 Oktober
2017].
Khopkar, S. M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.
Levie, R. 2010. Potentiometric Titration. Tersedia (online) di:
http://www.titrations.info/ [Diakses pada 10 Oktober 2017].
Liu, Q. 2012. Selective Recovery of Lead from Zinc Oxide Dust with
Alkaline Na2EDTA Solution. Journal of Trans Nonferrous
Met.Soc.China. Vol. 24 : 1179-1186.
Miefthawati. 2013. Penetapan Kadar Kalsium Pada Ikan Kembung
Segar Dan Ikan Kembung Asin Secara Kompleksometri. Jurnal
Analis Kesehatan Klinikal Sains. Vol 1(1) : 1-9.
Nugroho, P. 2010. Massa Depan Cerah dari ZnO. Tersedia (online) di:
http://tatok.staff.ugm.ac.id/?p=3 18 [Diakses pada 10 Oktober
2017].
Pudjaatmaka, A.H. 2002. Kamus Kimia. Jakarta : Balai Pustaka.
Setyaningtyas. 2008. Molekul Potensi Humin Hasil Isolasi Tanah
Hutan Damar Baturraden Dalam Menurunkan Kesadahan Air.
Molekul. Vol. 3(2) : 77- 84.
Yusrin dan Triwahyuni, E. M. 2008. Penggunaan Metode
Kompleksometri pada Penetapan Kadar Seng Sulfat dalam
Campuran Seng Sulfat dengan Vitamin C.Jurnal Unimus. Vol. 1
(1): 336-337.
LAMPIRAN