Anda di halaman 1dari 13

Kusta Tipe Lepromatous Leprosy : Satu Laporan Kasus

St. Nurul Reski Wahyuni, Sri Vitayani, Safruddin Amin, Anni Adriani, Widyawati
Djamaluddin, Dirmawati Kadir.
Subdivisi Infeksi Morbus Hansen Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin, RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

Abstrak
Kusta merupakan suatu penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat dan awalnya menyerang saraf perifer,
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial,
mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat. Kusta menurut WHO terbagi menjadi 2 tipe
yaitu multibasiler (MB) dan pausibasiler (PB) yang dibedakan berdasarkan lesi kulit dan kerusakan
saraf. Untuk kusta tipe multibasiler terdapat jumlah bercak yang mati rasa lebih dari 5 disertai penebalan
saraf tepi terjadi pada lebih dari satu saraf.
Prevalensi kusta terdapat di daerah tropis dan sub-tropis serta dapat timbul pada semua kelompok
usia, dari bayi hingga lanjut usia, bahkan tidak jarang timbul di atas usia 70 tahun. Tujuan utama
pengobatan kusta yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit,
mengobati dan menyembuhkan penderita, serta mencegah timbulnya komplikasi. Penatalaksanaan
khusus pada kusta tipe MB yaitu pemberian Multidrug Therapy (MDT) selama 12-18 bulan.
Dilaporkan satu kasus, pasien lakilaki berusia 61 tahun dengan diagnosis Kusta tipe multibasiler
yang baru dialami sejak 6 bulan yang lalu dan sementara mendapat terapi MDT. Penatalaksanaan kusta
pada lansia memerlukan pengawasan yang ketat mengingat adanya risiko efek samping pemberian
MDT pada pasien lansia lebih besar.

Kata Kunci : Kusta, Multibasiler (MB). MDT, Lansia.

Abstract
Leprosy is a chronic granulomatous disease caused by infection with Mycobacterium leprae is
an obligate intracellular and initially attacking the peripheral nerves, can further affect the skin,
mucosa of the mouth, upper airway, reticuloendothelial system, eyes, muscles, bones, and testicles,
except the nervous system center. Leprosy according to WHO divided into 2 types of multibacillary
(MB) and paucibacillary (PB), differentiated by skin lesions and nerve damage. Multibacillary type of
leprosy is the number of patches that numbed more than 5 accompanied by thickening of peripheral
nerves occur in more than one nerve.
The prevalence of leprosy found in the tropics and sub-tropics and can occur in all age groups,
from infants to the elderly, even less common over the age of 70 years. The main purpose of the
treatment of leprosy which break the chain of transmission to decrease the incidence of disease, treat
and cure patients and prevent complications. Special management of MB type leprosy is Multidrug
Therapy (MDT) for 12-18 months.
Reported one case, a 61-year-old male patient with a diagnosis of multibacillary type leprosy
since 6 months ago and while treated with MDT. Management of leprosy in the elderly requires strict
supervision given more the risk of side-effects of MDT administration in elderly patients.

Key Word : Leprosy, Multibacillary (MB), Multidrug therapy (MDT), Elderly.


PENDAHULUAN

Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Penyakit ini awalnya menyerang saraf perifer, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata,
otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat. (1)
Kusta termasuk dalam salah satu penyakit menular yang angka kejadiannya masih
tinggi, misalnya di India, Brazil, dan Indonesia. Pada pertengahan tahun 2014, data World
Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa terdapat 180.618 kasus kusta di 102 negara
dengan jumlah kasus baru pada tahun 2013 sebanyak 215.656 kasus. Pada tahun 2004-2014
Indonesia menempati peringkat ketiga dalam jumlah kasus kusta di dunia setelah India dan
Brazil. (1,2)
Indonesia merupakan negara tropis dan termasuk salah satu daerah endemik kusta. Data
Profil Kesehatan Republik Indonesia mencatat angka penemuan kasus kusta pada tahun 2013
berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per 10.000 penduduk, yangmana 83,4% kasus diantaranya
merupakan tipe Multibasiler dan 35,7% kasus berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan data
Departemen Kesehatan RI, tahun 2013 bahwa Indonesia telah mencapai target eliminasi
nasional, tetapi 14 wilayah Indonesia terutama bagian timur masih merupakan daerah dengan
beban kusta tinggi (angka penemuan kasus 10 per 100.000), seperti pada provinsi Jawa Timur
merupakan provinsi dengan prevalensi penyakit kusta terbanyak di Indonesia. (1,2)
Kusta dapat menyerang semua golongan usia, dan hampir semua studi prevalensi
menunjukkan laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Pada tahun 2015, 210.758 kasus
kusta baru didiagnosis di 136 negara dan wilayah di seluruh dunia, dimana sekitar 8,9% terjadi
pada anak-anak. Antara tahun 2007 dan 2015, lebih dari 110.000 orang yang didiagnosis
menderita kusta memiliki cacat fisik saat diagnosis. Sedangkan The Korea Hansen Welfare
Association pada tahun 2015, melaporkan bahwa dari 14.686 subjek yang diteliti, terdapat 363
penderita kusta dan 77,5% populasi berusia di atas 60 tahun dengan rata-rata usia 69 tahun. (3,4)
Kusta menurut WHO terbagi menjadi 2 tipe yaitu multibasiler (MB) dan pausibasiler
(PB) yang dibedakan berdasarkan lesi kulit dan kerusakan saraf. Untuk kusta tipe MB jumlah
bercak yang mati rasa lebih dari 5 dan penebalan saraf tepi terjadi pada lebih dari satu saraf
sedangkan untuk tipe PB jumlah bercak yang mati rasa yaitu 1-5 dan penebalan saraf tepi hanya
pada satu saraf. Pada pasien ini didapatkan lesi kulit lebih dari 5 dengan distribusi yang
simetris, hilangnya sensasi kurang jelas, dan menyerang banyak cabang saraf sehingga pasien
termasuk kedalam kusta tipe MB. Kepustakaan yang membahas kusta menunjukkan bahwa
penyakit kusta tipe MB di kawasan Asia lebih banyak diderita oleh lelaki dibandingkan
perempuan dengan perbandingan 1,5 : 1. Walaupun kusta diderita hampir di seluruh rentang
usia, sebagian besar kasus muncul di daerah endemis sebelum usia 35 tahun. (1,2)
Klasifikasi kusta berdasarkan Ridley-Jopling menjabarkan gambaran yang paling
mendetail tentang spektrum dari kusta, menggabungkan gambaran klinis dan perubahan
histologi. Ridley menyusun 6 spektrum, mulai dari ketahanan yang tinggi hingga rendah, TT
(tuberkuloid polar), BT(borderline tuberkuloid), BB (borderline), BL (borderline lepromatosa),
LLs (lepromatosa subpolar),dan terakhir LLp (lepromatosa polar).(5)
Kelompok usia lanjut merupakan populasi orang-orang yang berusia lebih dari 60
tahun. Pria dan lanjut usia lebih cenderung untuk mengalami kusta tipe MB. Hal ini dikaitkan
oleh peningkatan frekuensi paparan jenis kelamin laki-laki terhadap infeksi, jarangnya pria
memeriksakan kesehatannya sehingga mengakibatkan diagnosis tertunda, serta adanya masa
inkubasi yang panjang pada penyakit kusta tipe MB. Pada penelitian oleh Nobre, et al (2016)
menemukan bahwa odds ratio untuk kusta tipe MB dua kali lipat lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan di semua negara bagian Brazil, yangmana tidak bergantung pada
tingkat endemik mereka. Hal yang sama juga terjadi pada penderita berusia 60 atau lebih tua
dibandingkan pada usia yang lebih muda. Tingkat deteksi untuk kusta tipe MB tetap tinggi
pada laki-laki dan lanjut usia yang terdeteksi tepat waktu tanpa disertai kelainan fisik dengan
beban M. leprae lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, meskipun dengan deteksi
dini.(4,6)
Tujuan utama pengobatan kusta yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, serta mencegah
timbulnya komplikasi. Regimen pengobatan yang dapat diberikan sebagai antikusta MDT tipe
multibasilar yaitu Dapson 100 mg/hari, Rifampisin 600 mg/bulan, Lampren (Klofazimin) 50
mg/hari. Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan.(1)
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki berusia 58 tahun ( RM : 790803) datang ke Poliklinik Rumah Sakit


Wahidin Sudirohusodo dengan keluhan bercak kemerahan pada wajah, badan, punggung, dan
lutut kanan dialami sejak 6 bulan yang lalu, tanpa rasa gatal maupun nyeri. Awalnya bercak
kemerahan timbul di wajah tanpa rasa gatal kemudian mulai menyebar hingga ke perut dan
tungkai kanan. Riwayat pengobatan di Puskesmas diberikan salep yang tidak diketahui
namanya oleh pasien, namun tidak ada perubahan pada lesi. Kemudan pasien membeli obat
oral bebas dari Apotek dan tetap tidak terdapat perbaikan. Kemudian bercak semakin
bertambah pada wajah dan badan serta mulai mati rasa.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, compos mentis,
gizi baik (BB: 70 kg, TB: 170 cm), tanda vital, tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 88 x/menit,
pernapasan: 20 x/menit, suhu: 36,0C. Pada status dermatologis regio facialis dan patellaris
dekstra tampak plaq eritem dengan tepi irreguler, sedangkan pada regio truncus anterior et
posterior terdapat lesi berupa makula hipopigmetasi, numuler, multiple dengan tepi eritem
berbatas tegas. Pemeriksaan fungsi sensoris terhadap rasa raba, suhu dan nyeri didapatkan
hipostesi pada lesi namun tidak ditemukan pembesaran pada saraf tepi.

Gambar 1 : tampak plaq eritem dengan tepi irreguler pada regio facialis.
A B C

D E F G

Gambar 2 : tampak makula hipopigmetasi, numuler, multiple dengan tepi eritem berbatas tegas
pada regio truncus anterior et posterior (A,B), tampak plaq eritem pada regio patellaris dextra (C),
tidak tampak lesi kulit pada regio ekstremitas superior dextra et sinistra dan ekstremitas inferior
sinistra (D,E,F,G)
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan Morbus
Hansen tipe multibasiler. Kemudian dilakukan pemeriksaan bakterioskopik ( BTA) dan biopsi
untuk histopatologi. Pada hasil pemeriksaan bakterioskopik menunjukkan BTA (+) dengan
indeks bakteri (IB) : 2 dan indeks morfologi (IM) : 30% solid, 70% fragmen. Pada hasil
pemeriksaan histologi sediaan jaringan kulit menunjukkan epidermis sedikit atrofi dengan
clear zone subepidermal, dalam dermis terdapat banyak granuloma yang mengikuti adneksa,
pembuluh darah dan saraf, yang terdiri dari sel histiositik foamy yang bercampur dengan sel-
sel limfosit yang tersebar. Dan pada pewarnaan Fite Faraco ditemukan banyaknya basil.
Sebagai kesimpulan sesuai untuk MH tipe Lepromatous Leprosy (tipe LL).

A B

Gambar 3 (A,B) : jaringan kulit menunjukkan epidermis sedikit atrofi dengan clear
zone subepidermal, dalam dermis terdapat banyak granuloma yang mengikuti
adneksa, pembuluh darah dan saraf, yang terdiri dari sel histiositik foamy yang
bercampur dengan sel-sel limfosit yang tersebar.

Gambar 4 : pewarnaan Fite Faraco ditemukan banyaknya basil


Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, diagnosis akhir
pasien adalah morbus hansen tipe lepromatous leprosy (tipe LL). Terapi yang diberikan yaitu
MDT-MB yang terdiri dari kombinasi Rifampisi 600 mg/bulan, Klofazimin 300 mg/bulan dan
dapson 100 mg/ hari selama 12 bulan.

Pada kontrol bulan ke- 2, setelah pemberian MDT-MB 7 minggu, pada regio
ekstremitas superior dekstra tampak belum ada perubahan pada lesi, tampak makula
hipopigmentasi dengan tepi lesi lebih meninggi dan eritem. Terapi kemudian dilanjutkan
dengan terapi MDT-MB dan neurosanbe 1 tablet per 24 jam/ oral.

Gambar 4 : regio ekstremitas superior dekstra


tampak patch dengan tepi eritem
DISKUSI

Diagnosis kusta atau morbus hansen pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang berupa bakterioskopik (BTA) dan histopatologi
untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Berdasarkan anamnesis diketahui seorang laki-laki berusia 58 tahun datang dengan
keluhan bercak kemerahan pada wajah, badan, punggung, dan lutut kanan dialami sejak 6 bulan
yang lalu, tanpa rasa gatal maupun nyeri. Awalnya bercak kemerahan timbul di wajah tanpa
rasa gatal kemudian mulai menyebar hingga ke perut dan tungkai kanan serta mulai mati rasa.
Pada kepustakaan dikatakan bahwa manifestasi klinis kusta lebih bergantung pada respon imun
seluler host terhadap M. leprae dibandingkan pada penetrasi bacillary dan kemampuan
bermultiplikasi. Manifestasi klinis didahului oleh masa inkubasi yang panjang, antara 6 bulan
dan 20 tahun (periode rata-rata 2 hingga 4 tahun). Sensitivitas yang menurun pada lesi,
mengubah sensitivitas termal, nyeri, dan taktil secara bertahap merupakan suatu manifestasi
khas dari kusta. (7)
Pada kepustakaan dijelaskan bahwa penyakit kusta atau Morbus Hansen (MH) dapat
terjadi pada semua usia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kemungkinan yang sama
besar untuk menderita penyakit ini. Pada suatu penelitian oleh Hans Nuari, dkk (2014)
mengenai prevalensi dan karakteristik pasien MH tipe MB di Denpasar, didapatkan hasil
bahwa jumlah total pasien MH lelaki (68,2%) lebih banyak dibandingkan perempuan (31,8%),
dengan perbandingan 2,1 : 1. Pada pengelompokan pasien MH berdasarkan kriteria WHO,
ditemukan distribusi pada pasien MH tipe MB juga demikian, lebih banyak lelaki (68,4%). Hal
ini dipertegas oleh literatur serupa oleh James yang menyatakan bahwa prevalensi penyakit
MH tipe MB di kawasan Asia lebih banyak diderita oleh lelaki dibandingkan perempuan
dengan perbandingan 1,5 : 1. (2)
Perbedaan dalam rasio lelaki dan perempuan dalam hal ini dapat dikaitkan dengan faktor
genetik, budaya, sosial, dan pendidikan masyarakat. Selain itu, lelaki juga cenderung lebih aktif
(2)
dan banyak melakukan mobilisasi, memungkinkan tingginya prevalensi MH pada lelaki.
Sedangkan berdasarkan usia penderita yang didiagnosis MH, oleh Fauzia Andini, dkk (2016)
menemukan bahwa paling banyak ditemukan pada kelompok usia 25-44 tahun, yaitu sebesar
46,4% dari total pasien yang terdiagnosis morbus hansen. Sebesar 5,4% pada pasien yang
berusia 5-14 tahun, 18,8% pada pasien yang berusia 15-24 tahun, 46,4% pada pasien yang
berusia 25-44 tahun, dan 21,4% pada pasien yang berusia 45-64 tahun. (1)
Diagnosis kusta didasarkan pada parameter klinis yang berbeda dengan melibatkan
pemeriksaan secara terperinci pada lesi kulit dan saraf perifer. Pada kasus ini, sesuai dengan
kepustakaan bahwa penderita dengan adanya satu atau lebih tanda kardinal berikut didiagnosis
sebagai kusta, asalkan tanda tersebut dianggap aktif dan pasti, termasuk patch hipopigmentasi
atau eritematosa pada kulit disertai berkurangnya atau hilangnya sensasi; adanya pembesaran
dan atau penebalan saraf perifer atau batang saraf; serta adanya kuman tahan asam dari sediaan
kerokan jaringan kulit.(8)
Pada pemeriksaan status dermatologis regio facialis dan patellaris dekstra tampak plaq
eritem dengan tepi irreguler, sedangkan pada regio truncus anterior et posterior terdapat lesi
berupa makula hipopigmetasi, numuler, multiple dengan tepi eritem berbatas tegas disertai
hipostesi pada lesi namun tidak ditemukan pembesaran pada saraf tepi.
Pada pemeriksaan sensibilitas ditemukan adanya gangguan sensibilitas berupa anestesi
pada wajah dan badan. Hal ini merupakan salah satu tanda dari cardinal sign, yaitu
ditemukannya gangguan fungsi saraf yang dapat berupa gangguan sensoris (anestesi), motoris
(parese/paralisis), otonom (gangguan kelenjar minyak, kulit kering). Pasien didiagnosis dengan
kusta atau morbus hansen karena memenuhi kriteria diagnosis untuk penyakit kusta, yaitu
terdapat salah satu atau lebih gejala kardinal, yaitu kelainan kulit pada kusta dengan disertai
hilangnya sensasi, dan ditemukan adanya M. leprae pada kulit.(1)
Untuk kusta tipe MB jumlah bercak yang mati rasa lebih dari 5 dan penebalan saraf tepi
terjadi pada lebih dari satu saraf sedangkan untuk tipe PB jumlah bercak yang mati rasa yaitu
1-5 dan penebalan saraf tepi hanya pada satu saraf. Pada pasien ini didapatkan lesi kulit lebih
dari 5 dengan distribusi yang simetris dan hilangnya sensasi kurang jelas, sehingga pasien
termasuk kedalam kusta tipe MB. (1)
Pada kepustakaan lain menyebutkan bahwa lesi makula hipopigmentasi atau eritematosa
terdapat pada banyak pasien kusta yang baru didiagnosis, dan seringkali merupakan tanda
klinis pertama dari penyakit ini. Beberapa kondisi lain juga menghasilkan lesi yang serupa.
Oleh karena itu, manifestasi yang lebih spesifik khusus pada penyakit kusta yaitu lesi disertai
dengan kehilangan sensasi yang pasti, namun hal tersebut biasanya mengurangi sensitivitas
pemeriksaan, terutama pada kasus kusta tipe Multibasiler (tipe MB) dimana tampak lesi
makula yang kurang jelas dan cenderung tidak menimbulkan anestesi.(9)
Pada kasus ini tidak didapatkan adanya penebalan saraf. Berdasarkan kepustakaan
diketahui bahwa penilaian klinis mencakup pemeriksaan menyeluruh pada lesi kulit,
pembesaran saraf dan nyeri tekan. Saraf yang biasanya mengalami penebalan termasuk
N.supraorbital, N. aurikularis, N.ulnaris termasuk cabangnya, N.kutaneus radialis superficial,
dan N.peroneal. Penebalan saraf umumnya timbul lebih lambat daripada lesi kulit dan lebih
umum terjadi di kalangan tipe MB (94%) dibandingkan tipe PB. Temuan positif palsu pada
pemeriksaan penebalan saraf dapat terjadi karena teknik pemeriksaan yang buruk atau karena
pembesaran saraf yang tidak spesifik, biasanya terlihat pada beberapa pekerja manual.(9,10,11)
Pemeriksaan bakterioskopik dan histopatologi dilakukan pada penderita ini untuk
menyingkirkan diagnosis banding dari suatu kusta. Pada kepustakaan, Tes smear
(bakterioskopik) memiliki spesifisitas 100% dan sensitivitas 50%. Smear sehingga hasil positif
hanya ditemukan pada 10-50% kasus dan dapat diperoleh dari mukosa hidung, lobus telinga,
dan/atau lesi kulit. Indeks Bakteri (IB) digunakan untuk menentukan klasifikasi kusta dan
menentukan berat ringannya infeksi pada kulit. Sedangkan Indeks Morfologi (IM) yaitu angka
yang menunjukkan presentase basil kusta utuh dalam semua basil yang dihitung, dan
perhitungan ini digunakan untuk menilai kemajuan pengobatan. Pada penderita MH tipe BL
dan LL yang baru memulai pengobatan MDT (Multi Drug Therapy) memiliki IB positif
berkisar antara 2+ hingga 6+. Pemeriksaan histopatologi sebagai gold standar untuk
(12,13,14)
pemeriksaan selanjutnya Pada kasus ini, dilakukan pemeriksaan bakterioskopik dan
histopatologi yang mendukung suatu Morbus Hansen tipe Lepromatous Leprosy.
Pada tipe Lepromatous Leprosy (tipe LL), M. leprae bermultiplikasi dan menyebar
melalui peredaran darah karena tidak terdapatnya respon imun seluler terhadap basil.
Pembentukan antibodi tetap berjalan, namun tidak dapat mencegah adanya proliferasi bakteri.
Lesi kulit cenderung tampak multiple dan simetris, serta berlokasi pada bagian tubuh yang
lebih dingin, awalnya ditandai dengan adanya bintik-bintik hipokromik, eritematosa atau
kecoklatan dengan batas yang tidak jelas tanpa kehilangan sensasi. Terkadang juga disertai
kulit kering, dan tidak terdapat adanya penebalan saraf perifer, Seiring perkembangan penyakit
ini, lesi kemudian menjadi plak dan nodul (leproma), serta edema pada kaki dan hypoesthesia
pada anggota badan merupakan gejala umum lainnya. Pada stadium lanjut penyakit ini,
biasanya wajah pasien memiliki tampilan leonine facies, ditandai dengan infiltrasi difus dan
madarosis. Membran mukosa, mata, tulang, sendi, kelenjar getah bening, pembuluh darah,
saluran napas atas, gigi, dan organ dalam dapat terkena. (7)
Pada kasus, terapi yang diberikan pada pasien yaitu MDT multibasiler (MDT-MB) yang
terdiri dari rifampisin 600mg/ bulan, klofazimin 300mg/bulan dan dapson 100mg/hari, yang
diberikan selama 12 bulan. WHO merekomendasikan MDT dengan rifampisin dan dapson
untuk kusta multibasiler. Tujun utama regimen ini adalah eliminasi kuman M. leprae secepat
mungkin dan mencegah resistensi obat sehingga dapat menurunkan rekurensi kusta.
Rifampisin merupakan obat anti kusta yang paling efektif dan dapat menurunkan indeks
morfologi kusta lepromatosa menjadi 0 dalam waktu 5 minggu. Obat ini merupakan agen
bakterisidal poten untuk M. leprae. Dapson memiliki sifat bakteriostatik dengan mekanisme
kerja yang belum diketahui dengan pasti, diduga bekerja sebagai inhibitor kompetitif dengan
para-aminobenzoic acid (PABA) yang akan menghambat metabolisme asam folat.(15,16)
DAFTAR PUSTAKA

1. Andini F, Warganegara E, Effendi A, Adyananto A. Morbus Hansen Tipe Multibasiler


dengan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Kecacatan Tingkat 2. Medical Profession Journal Of
Lampung. 2016 Dec 24;6(1):44-9.
2. Nuari H, Darmada IGK. Prevalensi Dan Karakteristik Pasien Morbus Hansen Tipe
Multibasiler yang Mendapat Terapi Clofazimin, Ofloxacin, dan Minocyclin di Rumah
Sakit Uumum Pusat Sanglah Periode Januari-Desember 2014. E-Jurnal Medika
Udayana. Denpasar : Bagian Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah;4(10).
3. Cho Y, Shim E, Lee KS, Park SC. Mortality Profiles of Leprosy-Affected Elderly in
Korea: A Demographic Perspective. Asia-Pacific E-Journal of Health Social Science.
2014 Jun; 3(1):1-5.
4. Nobre ML, Illarramendi X, Dupnik KM, Hacker Ma, Nery JAC, et al. Multibacillary
leprosy by population groups in Brazil: Lessons from an observational study. Plos
Neglected Tropical Diseases. 2017 Feb 13;11(2):1-14.
5. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 2. 8
ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p. 2253-63.
6. Lastria JC, Abreu MA. Leprosy: review of the epidemiological, clinical, and
etiopathogenic aspects-part 1. Anais brasileiros de dermatologia. 2014 Apr;89(2):205-
18.
7. Alam MS, Shamsuzzaman SM, Mamun KZ. Demography, clinical presentation and
laboratory diagnosis of leprosy by microscopy, histopathology and PCR from Dhaka
city in Bangladesh. Leprosy Review. 2017 Mar 1;88(1):122-30.
8. Diagnosis and classification of Leprosy. Leprosy Review. 2017 Mar 1;88(1):122-30.
https://www.lepra.org.uk/platforms/lepra/files/lr/June02/Supplement/0006.pdf.
9. Vijayan J, Smith EP. Neurological Manifestations of Leprosy.The International
Textbook of Leprosy. 2(5): 1-20.
10. Nascimento OJ. Leprosy neuropathy: clinical presentations. Arquivos de neuro-
psiquiatria. 2013 Sep;71(9B):661-6.
11. Eichelmann K, Gonzlez SG, Salas-Alanis JC, Ocampo-Candiani J. Leprosy. An
update: definition, pathogenesis, classification, diagnosis, and treatment. Actas Dermo-
Sifiliogrficas (English Edition). 2013 Sep 30;104(7):554-63.
12. Kumaran SM, Bhat IP, Madhukara J, Rout P, Elizabeth J. Comparison of Bacillary
Index on Slit Skin Smear with Bacillary Index of Granuloma in Leprosy and its
Relevance to Present Therapeutic Regimens. Indian J Dermatol. 2015 Jan; 60(1): 51-4.
13. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kusta. Makassar: Hasanuddin University Press; 2001.
144 p.
14. Penna GO, Bhrer-Skula SB, Kerr LR, de Arajo Stefani MM, Rodrigues LC, et al.
Uniform multidrug therapy for leprosy patients in Brazil (U-MDT/CT-BR): Results of
an open label, randomized and controlled clinical trial, among multibacillary patients.
Plos neglected tropical diseases. 2017 Jul 13;11(7):1-19.
15. Worobec SM. Current approaches and future directions in the treatment of leprosy.
Research and Reports in Tropical Medicine. 2012 August 1;(3):71-9.

Anda mungkin juga menyukai