Anda di halaman 1dari 25

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Karakteristik Wilayah Pesisir

Untuk dapat mengelola sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan

(environmentalservices) kawasan pesisir secara berkelanjutan (on sustainable basis),

maka perlu pemahaman yang mendalam tentang pengertian dan karakteristik utama

dari kawasan tersebut, baik ditinjau dari ketersediaan fisik wilayahnya maupun

potensi yang dimilikinya (Dahuri el al., 2001).

Cendrero (1989) mendefinisikan wilayah pesisir (coasral zone) sebagai

peralihan antara atrnosfer, hidrosfer dan litosfer. International Geosphere-Biosphere

Program (1993) dalanz Rais (1996) memberikan batasan wilayah pesisir sebagai

wilayah yang ke arah darat dibatasi sampai di mana pengaruh laut masih ada dan ke

arah laut sampai di mana pengaruh darat masih ada.

Di Indonesia, wilayah pesisir disebut sebagai kawasan peralihan (interface

area) antara ekosistem laut dan darat. Batas ke arah darat meliputi daerah-daerah

yang tergenang maupun yang tidak tergenang air laut yang masih dipengaruhi oleh

proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi air laut. Sedangkan

batas ke arah laut meliputi perairan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses

alamiah di daratan, seperti sedimentasi dan aliran air sungai ke laut, serta kegiatan

manusia (Dahuri et al., 2001).


Untuk kepentingan pengelolaan, maka penetapan batas-batas fisik wilayah

pesisir harus dilakukan secara luwes (flexible) dan tidak kaku (rigid). Batasan

wilayah pesisir harus disesuaikan dengan permasalahan atau substansi yang menjadi

fokus tujuan dari rencana pengelolaan wilayah pesisir tersebut. Oleh karena itu

diperlukan suatu program pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICZM), yaitu

pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir yang dilakukan

melalui penilaian secara menyeluruh (comprelzensive assessment) mulai dari tingkat

perencanaan tujuan sampai akhir program pengelolaannya (Clark, 1996).

Prinsip keterpaduan ini merupakan syarat tercapainya pembangunan yang

optimal dan berkelanjutan yaitu pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup

generasi saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Bossel, 1999).

Untuk mendukung perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut

secara terpadu dan berkelanjutan seperti diuraikan di atas, maka diperlukan

datalinformasi keruangan (spasial) serta teknik analisis yang handal seperti teknologi

Sistem Informasi Geografis sebagai dasar dalam proses pengambilan keputusan.

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Secara umum teknologi SIG didukung oleh serangkaian perangkat lunak, data

dan manusia yang terorganisir dan dikelola secara baik. Semuanya dirancang secara

efisien untuk menerima, mengedit, menyimpan, meremajakan, mentransfomasi,

memanipulasi, menganalisis, menampilkan dan menyajikan semua informasi yang

diperlukan dengan referensi geografis (Kartasasmita, 2001).


Lang (1998) memandang SIG sebagai suatu konfigurasi perangkat keras dan

lunak yang berbasis komputer yang berfungsi rnenyimpan, menarnpilkan, dan

menganalisis data geografi. Sementara itu Aronoff (1989) secara spesifik

rnendefinisikan SIG sebagai suatu sistem berbasis komputer yang mernpunyai empat

kernampuan pokok untuk menangani data bereferensi geografis yaitu: pernasukan dan

pengelolaan data (penyimpanan dan pemanggilan), pernanipulasian dan analisis data,

serta keluaran atau ouput.

Berdasarkan definisi yang dikembangkan di atas, maka SIG dapat diuraikan

menjadi beberapa sub-sistern yaitu: data input, data output dan data nrrmugernenl &

manipulation. Masing-masing sub-sistem diuraikan seperti pada Gambar 2.

Data Input

output
Laporan DATA MANAGEMENT &
MANIPULATION
I

Pengukuran
Lapangan

topografi, dll.)

Foto udara

Data lainnya

Gambar 2. Uraian Subsistem-subsistem SIG (Prahasta, 2001)


Dari lain segi, SIG secara sederhana dipahami sebagai suatu sistem yang

mempunyai kemampuan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan

yang bersifat konseptual yang berkaitan dengan lokasi, kondisi, kecenderungan, pola,

dan pemodelan. Jawaban sebagai solusi terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut

diuraikan sebagai berikut (ESRI, 1990 dan Prahasta, 2001) :

1. Localion :What is at ...?


Pertanyaan ini adalah mencari dan menemukan keterangan (atribut-atribut) atau

deskripsi mengenai suatu unsur peta yang terdapat pada lokasi tertentu atau

menanyakan posisi objek tertentu yang dapat berupa nama lokasi (negara,

provinsi, kota), kode lokasi (kode pos atau zip code, dll.), posisi lokasi (lintang-

bujur) atau referensi geografisnya (koordinat-koordinat geografi atau

proyeksinya).

2. Condition :where is it ?

Pertanyaan ini merupakan kebalikan dari pertanyaan pertama, dan memerlukan

analisis spasial untuk menjawabnya. Pertanyaan ini mengidentifikasi lokasi unsur

peta yang deskripsinya sudah diberikan. Dengan pertanyaan ini informasi tentang

kondisi akan direpresentasikan dengan informasi kondisi suatu objek (secara

kualitatif atau kuantitatif), seperti: kondisi cuaca, iklim, lahan (subur, kering,

kritis), kependudukan, rawan pangan dan lain-lain. Dengan demikian SIG dapat

menemukan lokasi yang memenuhi beberapa syarat atau kriteria sekaligus.

3. Trends :What has change since .... ?

Pertanyaan ini dapat melihatkan pertanyaan pertama dan kedua untuk

mendapatkan informasi perbedaan (perubahan) objek dalam kurun waktu tertentu.


Departemen PU (1992) dulum Prahasta (2001) menyatakan bahwa untuk

menjawab pertanyaan ini diperlukan beberapa layers (data spasial). Unsur-unsur

yang terdapat di dalam setiap layer dibandingkan dengan unsur-unsur pada layer

yang lainnya dengan menggunakan analisis spasial maupun atribut. Hasil

perbandingan ini diperoleh kecenderungan perubahan (trend) spasial maupun

atribut dari berbagai unsur peta.

4. Patterns :Wlzat spatial patterns exist ?

Dengan melibatkan pertanyaan pertama dan kedua, pertanyaan ini menekankan

pada keberadaan pola-pola yang diamati yang terdapat di dalam data spasial dan

atribut atau layers suatu SIG, sehingga dapat diketahui berapa banyak yang

menyimpang dari pola dan di mana lokasinya.

5. Modeling: What if.... ?

Pertanyaan ini digunakan untuk menentukan apa yang terjadi melalui pemodelan.

Pernodelan dalam SIG dapat diartikan sebagai penggunaan fungsi dasar

manipulasi (seperti transformasi) dan analisis (seperti overlay) untuk

menyelesaikan persoalan yang cukup kompleks. Untuk menjawab pertanyaan ini

diperlukan informasi spasial dan informasi lain yang dapat menjelaskan

bagaimana prosesnya dapat terjadi.

Untuk mendukung berbagai kemampuan teknologi SIG seperti disebutkan di

atas, maka diperlukan data/informasi dari berbagai surnber. Secara konvensional

sumber data untuk SIG dibagi dalam tiga kategori yaitu: (i) data lapangan. Data ini

diperoleh langsung dari pengukuran lapangan secara langsung, seperti pH tanah,

salinitas air, curah hujan suatu wilayah, dan sebagainya; (ii) data peta. Informasi yang
telah terekam pada peta kertas atau film, dikonversikan ke dalam bentuk dijital.

Apabila data sudah terekam dalam bentuk peta, maka tidak lagi diperlukan data

lapangan, kecuali untuk pengecekan kebenarannya; (iii) data citra penginderaan jauh.

Citra penginderaan jauh yang berupa foto udara atau radar dapat diinterpretasi

terlebih dahulu sebelum dikonversi ke dalam bentuk dijital. Sedangkan citra yang

diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk dijital dapat langsung digunakan

setelah diadakan koreksi (Paryono, 1994).

Beberapa cara untuk memadukan atau mengintegrasikan data penginderaan

jauh dengan SIG antara lain (Campbell, 1987 dalu~nDahuri, 1996) :

I. Foto udara dan hasil fotografi dari citra satelit (setelah diolah dan

diklasifikasikan) diinterpretasikan secara manual dan dijadikan peta tematik,

seperti penutupan lahan dapat didijitasi ke dalam SIG.

2. Data dijital penginderaan jauh dianalisis dan diklasifikasi secara dijital, output

dari proses tersebut berupa peta konvensional kemudian didijitasi ke dalam SIG.

3. Data dijital dianalisis dan diklasifikasi dengan menggunakan metoda dijital

otomastis dan hasilnya langsung dapat ditransfer ke dalam SIG.

4. Data mentah hasil penginderaan jauh dimasukkan langsung ke dalam SIG apabila

terdapat perangkat lunak yang dapat menganalisis data citra dan SIG sekaligus.

Kemampuan integrasi antara kedua teknologi berbasis komputer tersebut

sangat bermanfaat pada saat aplikasi SIG yang menggunakan data spasial dan atribut.

Pemanfaatan SIG kemudian akan berkembang kepada ha1 yang mendasar yaitu

operasional pembentukan dan pemeliharaan basisdata sehingga SIG dapat dipakai

secara luwes, efisien dan terpadu.


Penyusunan Sistem Basisdata SIG

Pengumpulan dan pengelolaan data dalam SIG dimaksudkan untuk

membangun basisdata yang berfungsi sebagai sistem infonnasi. Basisdata mempakan

kumpulan informasi yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Secara

umum basisdata dalam SIG terdiri atas dua tipe data, yaitu data spasial dan atribut

(Aronoff, 1989).

Data Spasial

Jenis data spasial mengacu kepada entitas (objek), yaitu tempat di mana lokasi

itu berada di permukaan burni (koordinat lintang-bujur) sehingga sering disebut

sebagai data posisi, koordinat atau ruang (Prahasta, 2001). Aronoff (1989),

menjelaskan bahwa di dalam SIG, data spasial disajikan dalam dua model yaitu

model data raster dan vektor. Pada model data raster, data spasial dibagi-bagi dalam

satuan homogen terkecil yang dsebut elemen garnbar (pael) sehingga membentuk

matriks baris dan kolom. Untuk model data vektor, data spasial disajikan dalam

bentuk titik (point), garis ( h e ) dan area (polygon) yang ditunjukkan dengan sistem

koordinat X-axis dan Y-axis. Untuk melengkapi data spasial dari suatu objek, maka

perlu didukung data atribut sebagai deskripsi dari objek tersebut.

Data Atribut

Data atribut adalah data yang melengkapi keterangb-keterangan dari data

spasialnya baik dalam bentuk statistik maupun deskriptif. Data atribut ini dibedakan

menjadi data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah data hasil
pengamatan/pengukuran yang dinyatakan tidak dengan bilangan. Sebagai contoh,

pada tataguna tanah (landuse) merepresentasikan perbedaan jenis tataguna tanah yang

ada (misalnya hutan, kebun, pemukiman, sawah, danau, sungai, kawasan industri, dan

lainnya), bukan nilai-nilai dari tataguna tanah itu sendiri. Untuk jenis data kuantitatif

didefinisikan sebagai data hasil pengamatanlpengukuran yang dinyatakan dengan

bilangan. Data ini merepresentasikan perbedaan dalam angka, nilai (value), atau

derajat (degree) dari objek itu sendiri (Prahasta 2001).

Untuk mendapatkan kualitas hasil analisis informasi dari SIG, maka data dari

berbagai jenis dan sumber dalam basisdata perlu dikelola dan diorganisasikan melalui

sistem pengelolaan basisdata atau DBMS (Database Management System). Menurut

Aronoff (1989) DBMS merupakan sekumpulan atau set program-program (perangkat

lunak) yang diperlukan untuk memanipulasi dan memelihara data dalam basisdata.

Pengelolaan data dengan pendekatan DBMS ini bermanfaat dalam penggunaan data

secara efisien serta keamanan data dapat terjamin. Keuntungan lainnya adalah data

dapat terkontrol secara terpusat dan digunakan secara bersama-sama, keberadaan data

tidak terikat (data independence), serta implementasi aplikasi basisdata baru lebih

mudah.

Untuk memulai berbagai proses dalam penyusunan basisdata dengan DBMS,

maka diperlukan proses perancangan basisdata. Nunvadjedi (1996) mengemukakan

bahwa perancangan basisdata akan mempengaruhi prosedur manipulasi dan analisis,

serta format data dalam basisdata pada saat akan diekstrak (disajikan outputnya),

sehingga perlu diperhatikan karakteristik data spasial dan atributnya.


Selanjutnya Nunvadjedi (1996) menguraikan prinsip-prinsip umum untuk

perancangan basisdata dengan SIG meliputi: (i) data spasial yang digunakan

mempunyai sistem geo-referensi; (ii) dalarn membangun basisdata spasial, perlu

diperhatikan batas-batas kesalahan yang masih diperbolehkan (RMS 5 0.003), agar

topologi dapat dibangun secara tepat; (iii) menggunakan model data relasional untuk

merancang basisdata; (iv) mendefinisikan field-field data atribut secara benar; (v)

Setiap variabel untuk kepentingan manipulasi data hams terwakili dalam basisdata;

dan (vi) hubungan antarafield data hams one lo one atau one to many (tidak boleh

many to many).

Semua basisdata yang telah dirancang dan dimasukkan ke dalam SIG sebagai

basisdata dapat dianalisis secara spasial untuk berbagai keperluan. Salah satu

kemampuan analisis yang dapat dilakukan adalah penentuan kesesuaian lahan untuk

pengembangan budidaya tambak udang.

Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak Udang

Kesesuaian lahan (land suitability) mempakan kecocokan (adaptability) suatu

lahan untuk tujuan penggunaan tertentu melalui penentuan nilai (kelas) suatu lahan

serta pola tata guna tanah yang dihubungkan dengan potensi lahan wilayahnya

sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha-usaha

pemeliharaan kelestariannya (Hardjowigeno, 2001).

Penilaian kesesuaian lahan mempakan suatu penilaian secara sistematik dari

lahan dan menggolong-golongka~ya ke dalam kategori-kategori berdasarkan

persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengamhi kesesuaian lahan bagi suatu
usaha atau penggunaan tertentu. Untuk tujuan pengembangan wilayah pesisir dengan

sasaran penentuan kesesuaian lahan untuk pengembangan budidaya tambak udang,

maka klasifikasi kesesuaian lahannya ditujukan untuk dapat mengurangi atau

mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan, serta menjamin

kegiatan budidaya tambak udang tersebut dapat berlangsung secara optimal, terpadu

dan berkelanjutan (integrated and sustainable development), baik ditinjau secara

ekologis maupun secara sosial-ekonomis.

Tambak adalah kolam ikan atau udang yang dibuat pada lahan pantai laut dan

menggunakan air laut (bercampur dengan air sungai) sebagai penggenangnya.

Tambak berasal dari kata "nambak" yang berarti membendung air dengan pematang

sehingga terkumpul pada suatu tempat. Bentuk tambak umumnya persegi panjang dan

tiap petakan dapat meliputi areal seluas 0,5 - 2 ha. Deretan tambak dapat mulai dari

tepi laut terns ke pedalaman sejauh 1 - 3 km atau lebih bergantung pada sejauh mana

air pasang laut dapat mencapai daratan (Hardjowigeno, 200 1).

Lokasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktivitas dan

efisiensi ekonomis usaha pertambakan. Untuk menunjang keberhasilan usaha

pertambakan, maka perlu dilakukan pemilihan lokasi yang baik dan cocok dengan

memperhatikan beberapa persyaratan teknis maupun non-teknis.

Secara teknis, penentuan lokasi pertambakan dilakukan dengan

memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan yaitu nilai mutu lingkungan yang

ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisik, kimiawi dan

biologi) dalam satu kesatuan ekosistem. Daya dukung lahan pantai untuk

pertambakan ditentukan oleh kualitas tanah (tekstur dan pH), halitas air tanah
(salinitas dan pH), surnber air (asin dan tawar), hidro-oseanogra) (arus dan pasang

surut), topografi lahan dan klimatologi daerah pesisir dan Daerah Aliran Sungai

(DAS) di daerah hulu (Poemomo, 1992).

Areal yang kita pilih hams berada pada lingkungan perairan yang bebas dari

pencemaran sebagai media hidupnya. Oleh karena itu lokasi tambak udang

hendaknya tidak di daerah yang merupakan buangan pabrik, persawahan yang banyak

menggunakan pestisida, dan pelabuhan yang banyak mendapat buangan minyak dari

kapal-kapal bermotor dan kegiatan lain yang dapat menimbulkan pencemaran

(Suyanto dan Mujiman, 2001).

Untuk faktor non-tehs harus mempertimbangkan keadaan sosial-

ekonominya. Secara sosial penentuan lokasi pertambakan hams dapat diterima oleh

masyarakat setempat, seperti dengan diikutsertakamya tenaga kerja setempat.

Sedangkan secara ekonomi berkaitan dengan harga dan kemudahan suplai bahan-

bahan sarana produksi tambak seperti benih, pupuk dan pakan yang tepat waktu,

sehingga usaha pertambakan dapat berlangsung secara efisien serta memberikan

pendapatan clan keuntungan yang layak bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Oleh

karena itu diperlukan juga ketersediaan sarana dan prasarana penunjang yang

memadai seperti: jaringan irigasi, jaringan transportasi dan listrik, jaringan

komunikasi, serta jaringan pemasaran produksi.

Uraian secara lebih rinci tentang faktor-faktor utama yang perlu

dipertimbangkan dan dievaluasi secara seksama dalam tahapan penentuan lokasi

untuk kegiatan budidaya tambak udang seperti disebutkan di atas adalah:


1. Sumber Air dan Kualitasnya

Untuk keperluan pengairan tambak udang, akan sangat ideal apabila lahan

pertambakan dibuat di kawasan pantai dekat dengan sungai yang dapat memasok air

tawar sepanjang tahun agar dapat mengendalikan salinitas yang diperlukan. Selain

pasok air yang cukup, kesempumaan pengeluaran air buangan dan air limbah ke

perairan umum serta pelaksanaan pengeringan dasar tambak secara sempurna akan

lebih baik dibandingkan dengan yang jauh dari laut, asalkan lokasi di sepanjang

pantai tersebut tidak berlumpur yang disebabkan oleh siltasi (Poernomo, 1992).

Dalam pemilihan lokasi pertambakan, parameter penting yang dapat

mempengaruhi mutu air di dalam tambak antara lain: oksigen terlarut, salinitas, suhu,

kecerahan dan pH (kemasaman) air.

Oksigen Terlarut

Oksigen terlamt (DO - Dissolved Oxygen) mempakan peubah kualitas air

yang paling penting dalam budidaya perikanan, karena organisme memerlukan

oksigen. Kadar oksigen terlarut di dalam air dihasilkan oleh adanya proses

fotosintesis dari fitoplankton. Konsentrasi oksigen terlarut yang optimal untuk

budidaya tambak udang adalah 4 - 7 ppm (Poernomo, 1992). Kelarutan oksigen

dalam air dipengarubj oleh peubah lain seperti suhy salinitas, bahan organik dan

kecerahan (Hardjowigeno, 2001). Peningkatan suhu, salinitas dan bahan organik

terlamt akan menurunkan konsentrasi oksigen terlamt terutama pada malam hari

akibat adanya proses respirasi dari biota perairan hingga mencapai tingkat minimum
pada pagi hari. Sedangkan penurunan kecerahan (kekeruhan) dalam batas-batas

tertentu yang disebabkan oleh fitoplankton dibutuhkan. Hal itu menunjukkan bahwa

terdapat cukup fitoplankton sebagai makanan dan terjadi proses fotosintesis yang

cukup untuk memasok oksigen.

Salinitas

Salinitas atau kadar garam merupakan total konsentrasi garam terlamt dalam

air yang dinyatakan dalam mgll atau daIam satuan permil ("/,). Salinitas terbaik

untuk udang adalah 12 - 20 'loo, Pada salinitas 235 'loo, pertumbuhan udang

terhambat, sedangkan pada salinitas 2.50 'loo udang mulai mati. Pada salinitas <I2 %o

udang tidak terganggu seperti pada salinitas tinga tetapi metabolisme pigmen tidak

sempuma (wama udang lebih bim) dan kulit lunak sehingga Iebih mudah diserang

penyakit (Hardjowigeno, 2001).

Suhu Perairan

Untuk budidaya tambak udang, suhu yang baik adalah 27 - 30' C, meskipun

sampai suhu 35" C masih dapat tumbuh atau hidup normal. Pada suhu 18 - 27' C

nafsu makan udang mulai tumn dan pada suhu antara 12 - 27" C mulai berbahaya

untuk pertumbuhan udang. Selanjutnya pada suhu 4 2 " C udang mulai mati.

Kecerahan

Kecerahan atau kekeruhan air mencerminkan jumlah plankton yang ada dalam

air. Terjadinya kekeruhan dalam tambak disamping disebabkan oleh banyaknya


plzytoplankton dalam air juga oleh tersuspensinya partikel tanah. Kekeruhan tersebut

menghalangi penetrasi cahaya ke dalam tambak dan mengurangi cahaya ke dasar

tambak sehingga mengganggu pertumbuhan ganggang dasar (klekap) maupun

ganggang dalam air dan tanaman air lainnya. Batas kecerahan yang baik atau optimal

untuk udang adalah antara 30 - 40 cm. Apabila kecerahan <25 cm maka

plzytoplankton perlahan-lahan akan mati (die-om karena oksigen terlarut turun

dengan cepat (Hardjowigeno, 200 1).

Derajat Keasaman (pH) Air

Kondisi keasaman (pH) air laut yang alamiah bersifat netral, dan kondisi

tersebut sesuai untuk kegiatan budidaya. Air payau berperan sebagai penyangga

perubahan pH, sehingga sangat jarang pH turun menjadi 6,5 atau naik menjadi > 9.

Pada pagi hari saat konsentrasi COz masih tinggi, pH air tambak sekitar 7,O tetapi

pada sore hari saat konsentrasi oksigen terlarut mencapai maksimum karena C 0 2

dimanfaatkan dalam fotosintesis, pH air tambak naik mencapai 9 - 9,s

(Hardjowigeno, 2001). Menurut Achmad (1991) dalam Hardjowigeno (1991)

menyebutkan bahwa pH yang baik untuk udang adalah antara 7,O - 9,O.

Untuk memperoleh air dengan jumlah dan kualitas yang ideal dalarn

pengembangan pertambakan budidaya udang, maka perlu didukung kelayakan

parameter lain, seperti: amplitude pasang surut dan ketinggian elevasi, topografi,

keadaan iklim wilayahnya, keadaan tanah, serta kebijakan regulasi pemerintah dalam

penggunaan lahan.
2. Amplitudo Pasang-Surut dan Ketinggian Elevasi

Dua faktor dominan yang mempengaruhi pasok dan buang air dalam

mengoperasikan tambak adalah ketinggian lahan dan sifat pasut. Dalam penerapan

budidaya ekstensif dan semi intensif yang pasok dan pembuangan aimya

dilaksanakan secara gravitas, maka apabila temyata elevasinya berada di atas rataan

pasang tinggi tertinggi akan menjadi tidak layak karena memerlukan penggalian.

Sebaliknya pada lokasi yang elevasinya sama atau lebih rendah dari air surut rendah

terendah juga tidak layak karena akan menghadapi masalah besar dalam pembuangan

air dan pengeringan pelataran tambak (Poemomo, 1992).

Secara umum lokasi yang fluktuasi pasangnya sedang (kisaramya maksimum

antara 2 - 3 m dan rataan amplitudonya antara 1,l - 2,l m) adalah layak untuk

pengelolaan pertambakan udang di kawasan intertidal (Poernomo, 1992). Sementara

itu Suyanto dan Mujiman (2001) menyebutkan kisaran yang paling cocok untuk

pertambakan hams mempunyai fluktuasi atau beda pasang dan surut 1,5 - 2 m.

Untuk lokasi yang fluktuasi pasangnya besar 2 4 m akan menimbulkan

masalah, karena diperlukan pematang yang besar untuk melindungi tambak dari

pasang tinggi dan sebaliknya menimbulkan kesulitan untuk mempertahankan air di

dalam tambak pada saat air surut rendah. Di sisi lain kawasan yang amplitudo

pasangnya sangat kecil (kurang dari I m) akan dihadapkan pada masalah pengisian

dan pembuangan air dari tambak karena tidak dapat dilakukan secara sempuma

(Poemomo, 1992).
Berdasarkan kesesuaian pasang surut untuk pertambakan, Departemen PU

(1997) menentukan batas ideal elevasi wilayah pertarnbakan antara 0,5 - 1,O m

selama periode rata-rata pasang tertinggi dan wilayah tersebut dapat dikeringkan

tuntas waktu air surut rata-rata.

3. Topografi Lahan

Lahan rawa atau pasang surut yang tidak rata, bergelombang atau berbukit

sebaiknya dihindari untuk lokasi pertambakan. Lahan budidaya tambak memerlukan

kawasan yang datar. Jamulya dan Sunarto (1996) membatasi tingkat kelerengan yang

datar antara 0 - 3 % dan masih dapat digenana langsung oleh pasang surut air asin

atau payau.

4. Kondisi Iklim Wilayah

Kondisi iklim, terutarna curah hujan merupakan faktor dominan yang

mempengaruhi operasional budidaya tambak. Umumnya semakin sedikit turun hujan

semakin baik, sepanjang amplitudo pasang cukup ideal dan pasok air tawar dari

sungai cukup memadai. Curah hujan rata-rata yang ideal untuk pertambakan adalah

kurang dari 2000 m d t h . Apabila curah hujannya melebihi 2000 rnmlth dan tidak ada

bulan tanpa hujan sepanjang tahun akan menimbulkan masalah besar. Kondisi seperti

ini sangat penting untuk diperhatikan, karena untuk memperoleh produksi yang lebih

baik dan stabil serta menurnbuhkan makanan alami dalam tambak mutlak untuk

dilakukan upaya pengeringan dasar tambak secara rutin menjelang penebaran benur

(Poernomo, 1992).
Sementara itu Hardjowigeno (2001) menguraikan perlunya dikeringkan dasar

tambak secara berkala dengan tujuan untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

meningkatkan proses mineralisasi bahan organik, dan menghilangkan bahan-bahan

beracun seperti asam sulfida (H2S), amoniak (NH3), serta metan. Oleh karena itu

diperlukan adanya periode kering pada bulan-bulan tertentu pada setiap tahun. Curah

hujan yang tinggi sepanjang tahun tanpa adanya bulan kering kurang cocok untuk

tambak. Sebaliknya curah hujan yang terlalu rendah dan bulan kering yang terlalu

panjang juga kurang baik untuk daerah pertambakan (Hardjowigeno, 200 1).

5. Kualitas Tanah

Salah satu masalah yang sering timbul dalam pengelolaan tambak adalah

lahan tambak tidak mampu menahan air karena dasar tambak mempunyai porositas

tinggi. Malun kasar tanah berarti porositas semakin tinggi, sehingga kurang cocok

untuk tambak (Hardjowigeno, 2001). Oleh karena itu dalam memilih lokasi tambak,

jenis dan tekstur tanah sangat penting untuk diperhatikan.

Tekstur tanah adalah sifat fisik tanah yang menyatakan kasar-halusnya tanah

atau yang menunjukkan perbandingan fraksi-fraksi liat, debu dan pasir (Jamulya dan

Yunianto, 1996). Tekstur tanah akan berpengaruh pada konstruksi tambak dan sistem

budidaya. Tanah yang ideal untuk kegiatan pertambakan adalah yang bertekstur liat

berpasir (Poernomo, 1992). Semakin tinggi kadar liat dan semakin sedikit kadar pasir,

maka tekstur tanah akan semalan stabil dan semakin kedap air. Tekstur tanah yang

demikian mudah dipadatkan dan tidak pecah-pecah pada musim panas (Suyanto dan

Mujiman, 2001).
Ditinjau dari sifat kimia tanah, salah satu parameter yang digunakan sebagai

syarat minimal untuk tambak adalah kawasan tersebut harus cukup kandungan unsur

haranya. Ketersediaan berbagai jenis unsur hara dalam tanah dibutuhkan untuk

pertumbuhan dan makanan alami klekap (campuran berbagai macam jasad renik yang

tumbuh di dasar tambak). Klekap ini menghendaki tekstur tanah dasar liat berpasir

atau liat berdebu (Suyanto dan Mujiman, 2001). Selanjutnya Jamulya dan Sunarto

(1996) menggolongkan kedua tekstur tanah tersebut sebagai tanah bertekstur halus.

Secara lebih rinci Poemomo (1992) membagi persyaratan tekstur tanah

menurut tingkat teknologi budidaya yang akan diterapkan. Dalam budidaya ekstensif

yang terutama menggantungkan pada jasad bersifat bentos (bentlzic organism)

sebagai makanan alami bagi udang, maka harus memilih dasar tambak lempung

sarnpai liat berpasir. Berbeda dengan tekstur lempung liat berpasir hingga lempung

berpasir dapat diterapkan untuk tingkat budidaya semi intensif dan intensif karena

menggunakan pakan buatan sebagai surnber pakannya. Tabel 1 berikut ini

memperlihatkan tekstur tanah yang dipersyaratkan untuk budidaya tambak udang.

Tabel 1. Tekstur Tanah untuk Pertambakan Udang di Kawasan Pantai

Teknologi Tekstur tanah Fraksi Tanah (%)


budidaya Liat 1 Debu 1 Pasir

Ekstensif Lempung-berpasir
I I I I

Semi-Intensif II Lempung-Liat berspasir 1 25 - 30 110-20 150-60


Intensif I Lempung berpasir
I
110-20 1 20-30 /50-601
Sumber: Poernomo (1992)
6. Daerah Perlindungan Pantai dan Kehijakan Pemerintah

Suatu lokasi bagi pembangunan unit pertambakan hams dapat menjamin

kelestarian dan stabilitas produksi secara optimal, yaitu dengan tidak memberikan

dampak negatif terhadap lingkungan dalam jangka panjang. Berkaitan dengan ha1

tersebut, maka sangat penting untuk rnempertimbangkan pembatasan tingkat

maksimum penggunaan lahan bagi pembangunan pertambakan. Peraturan tentang ha1

tersebut hams sepenuhnya diimplementasikan rnelalui koordinasi dengan semua

s!akelzolders yang terkait agar keseimbangan ekosistein pantai yang diperlukan bagi

keseimbangan produksi akuakultur dapat dipertahankan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 511990 dan Keppres No. 3211990 tentang

Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, ditentukan jarak minimal

pemanfaatan dari pantai sekitar 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi

dan terendah tahunan yang diukur dari garis air sumt terendah ke arah darat.

Sedangkan dari tepi sungai minimal bejarak 100 m. Jarak masing-masing dalam

lebar tersebut dijadikan sebagai jalur hijau (green belt) untuk menjaga kelestarian

ekologis serta sebagai pelindung usaha budidaya dari gangguan alam, seperti erosi

atau longsor (http:llw\w.bapedal.go.i~


2000).

Dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan (sustainable development),

kegiatan pemanfaatan lahan atas (up land) seperti budidaya tambak udang hams

disinergikan dengan ekosistem wilayah pesisir (coastal ecosystem) agar tidak terjadi

dampak negatif (pengaruh yang membahayakan) terhadap kehidupan biota, sumber

daya dan kenyamanan (amenities) ekosistem laut serta kesehatan manusia dan nilai
guna lainnya. Salah satu penyebab pencemaran yang sering terjadi dalam kegiatan

budidaya tambak udang, terutama untuk budidaya tambak udang intensif dan semi

intensif adalah melimpahnya buangan limbah organik ke dalam perairan pantai yang

banyak mengandung nutrien (nitrogen - N dan fosfor - P). Hal ini dapat

menimbulkan masalah eutrofikasi (Dahuri et a/., 2001). Oleh karena itu dalam

pengelolaannya perlu dilakukan antisipasi melalui prediksi terhadap potensi

kandungan nutrien dalam tambak terhadap kemampuan perairan pantai untuk

melakukan pengenceran.

Model Prediksi Kandungan Nutrien

Ting~nyapotensi buangan limbah organik dari k e ~ a t a nbudidaya tambak

udang di satu hamparan lahan (melebihi kapasitas daya dukung lingkungan) dapat

bersumber dari sisa pakan yang membusuk, metabolit (urme da~faeces),bangkai

plankton yang membusuk, dan mikro organisme lainnya (Poemomo, 1992). Limbah

organik ini terakumulasi dalam bentuk sedimen yang tertahan dan mengendap di

dasar tambak atau tertumpuk pada dinding pematang. Sedimen ini biasanya kaya

akan nutien (nitrogen dan fosfor) yang pada akhimya akan digelontorkan ke Iuar

tambak menuju perairan pantai (Subandar, 2002).

Pengkayaan perairan pantai dengan nutien, khususnya nikogen dan fosfor

tersebut menyebabkan peningkatan pertumbuhan alga dan tanaman yang akan

menyebabkan terganggunya keseimbangan yang ada (Gowen, 1994). Ketika nutrien

masuk ke dalam peraiaran pantai, alga dan fitoplankton yang pertumbuhannya

dibatasi oleh suplai nitrogen dan fosfor akan meningkatkan aktivitas fotosintesisnya.
Pada umumnya fitoplankton akan mengalami blooming dan jenis yang ada berubah

menjadi jenis yang tidak diinginkan dalam jumlah sangat besar. Fenomena seperti ini

disebut sebagai red tides yang berbahaya bagi ikan dan kerang (Dahuri et al., 2001).

Dengan terjadinya peningkatan secara drastis jumlah organisme tertentu yang

terdapat di kolom air, maka akan mengakibatkan konsumsi oksigen meningkat,

sehingga kandungan oksigen di perairan menurun terutama di dasar perairan. Pada

kondisi kekurangan oksigen (anoxia) di perairan, maka proses anaerob akan terjadi

dan akan menghasilkan sulfat dan metana. Hal ini akan menyebabkan kematian ikan,

serta mempengaruhi perubahan struktur komunitas dasar (bentik) perairan pantai

(Dahuri et al., 2001).

Untuk mencegah potensi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari

kegiatan budidaya tambak udang, terutama terhadap kandungan nutrien (nitrogen dan

fosfor) yang masuk ke perairan pantai, maka perlu dilakukan prediksi kemampuan

perairan pantai melakukan pengenceran terhadap limbah nutrien tersebut. Prediksi

tersebut diakomodir melalui persamaan sederhana berikut ini (Gowen, 1994):

Dimana:

E, = Equilibrium nitrogen anorganik terlarut (ppm)

N = Kandungan nitrogen dari tambak (ppm)

V = Volume perairan (m3)

F = Waktu yang dibutuhkan untukflushing (hari)


Untuk mendapatkan suatu h a i l kajian yang komprehensif dengan prinsip

pembangunan yang optimal dan berkelanjutan, maka selain tinjauan kelayakan dari

segi lingkungan biofisiknya, juga hams diperhatikan nilai strategis aspek

ekonominya. Proses penentuan kelayakan secara ekonomi dilakukan melalui

pengembangan skenario optimasi dengan memperhatikan kendala-kendala

(constraints) yang ada. Hal ini akan diakomodir melalui analisis model program

linear (Linear Programming Model).

Optimasi Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak Udang

Pada dasarnya persoalan optimasi adalah suatu persoalan untuk membuat nilai

suatu fungsi beberapa variabel menjadi maksimum atau minimum dengan

memperhatikan pembatasan-pembatasan yang ada. Pada umumnya pembatasan

tersebut meIiputi tenaga kerja (men), uang (nzoney), Input, se& waktu dan ruang

(Supranto, 1983).

Untuk menghtung kombinasi yang optimum dari sumber-sumber yang

terbatas tersebut, maka digunakan teknik program linear (Welch dan Commer, 1983

dalarn Suryadi, 2000). Penentuan kombinasi optimum dengan program linear

merupakan kelompok analisis kuantitatif yang digunakan untuk menemukan beberapa

kombinasi altematif pemecahan masalah. Kombinasi yang terbaik dipilih dalam

rangka menyusun strategi alokasi sumberdaya yang terbatas untuk mencapai tujuan

yang diinginkan secara optimal. Alokasi optimal adalah memaksimumkan atau

meminimumkan tujuan dengan adanya kendala (Budiharsono, 2001).


Ada dua metode dalam analisis permasalahan program linear, yaitu: (i)

metode grafik; dan (ii) metode simpleks. Metode dengan anaiisis grafik hanya dapat

digunakan untuk permasalahan program linear yang terdiri dari dua peubah

pengambilan keputusan saja. Disebabkan penggambaran lebih dari dua dimensi

dalam metode grafik akan sangat sulit, sementara permasalahan program linear dalam

dunia nyata sangat kompleks, luas dan besar, sehingga diperlukan metode yang cocok

seperti metode simpleks (Budiharsono, 2001).

Supranto (1983) mendefinisikan metode simpleks sebagai suatu metode yang

secara sistematis dimulai dari suatu pemecahan dasar yang fisibel ke pemecahan

dasar yang fisibel (layak) laimya dan ini dilakukan berulang-ulang sehingga tercapai

suatu pemecahan dasar yang optimum (optimal) dan pada setiap tahap menghasilkan

suatu nilai dari fimgsi tujuan yang selalu lebih besar atau sama dari tahap-tahap

sebelumnya.

Ciri khas dari metode simpleks ini adalah dimasukkannya kegiatan disposal

(disposal activities) dalam model program linear. Peranan kegiatan disposal adalah

untuk menampung sumberdaya yang tersisa atau yang tidak digunakan. Dengan

adanya kegiatan disposal ini dapat dibuat ketidaksamaan suatu rumusan matematika

menjadi kesamaan (persamaan). Metode simpleks hanya memperkenankan nilai

positif dari peubah-peubah yang ada. Dengan demilaan fimgsi pembatas non-negatif

tidak perlu ikut dimasukkan ke dalarn struktur perhitungan tabel simpleks. Hal ini

berarti algoritma simpleks meniamin terpenuhinya fungsi pembatas non-negatif yang

digunakan oleh model dasar program linear tersebut (Supranto, 1983).


Secara matematis, model baku program linear dapat dimmuskan apabila

memenuhi tiga unsur yaitu (Budiharsono, 2001) :

1. Adanya Fungsi Tujuan

Tujuan yang diinginkan bersifat memaksimumkan (keuntungan, penerimaan,

produksi) atau meminimumkan (meminimumkan biaya), yang hams dinyatakan

dengan jelas dan tegas sebagai fungsi tujuan.

Z= 1 CjX/ untuk j = 1,2,...n


j=l

2. Adanya Kendala (syarat ikatan)

Setiap sumberdaya yang ada bersifat terbatas, dan keterbatasan tersebut

merupakan kendala (constraint) atau syarat ikatan dalam rnencari kombinasi

terbaik dari altematif pemecahan permasalahan yang ada.

Z= aijXj 5 atau 2 bi, untuk i = 1,2...,n


j=l

3. Syarat Non-negatif

Nilai peubah keputusan hams positif atau hsebut dengan syarat non-negatif

xjro
dimana :

Cj = Koefisien peubah pengambilan keputusan

X, = Peubah pengambilan keputusan

a;, = Koefisien teknologi peubah pengambilan keputusan dalam kendala data ke-i

bi = Sumberdaya yang ada atau nilai sebelah kanan kendala ke-i


Sebelum menggunakan program linear, terlebih dahulu hams dipenuhi

beberapa asumsi dasar. Asumsi-asumsi tersebut antara lain (Budiharsono, 2001) :

1. Linearitas. Asumsi ini menyatakan bahwa hubungan antara input dan output

bersifat linear.

2. Proporsionalitas. Asumsi ini menyatakan bahwa perubahan peubah pengambil

keputusan (Xj) akan menyebar dengan proporsi yang sama terhadap fungsi tujuan

(CjXj)dan kendalanya (aijXj).

3. Aditivitas. Asumsi ini menyatakan bahwa dampak total dari parameter optimasi

merupakan penjumlahan dari dampak masing-masing C, dalam model program

linear tertentu.

4. Divisibilitas. Asumsi ini berarti bahwa nilai peubah pengambilan keputusan dapat

berupa bilangan cacah maupun pecahan.

5. Deterministik. Asumsi ini berarti bahwa semua parameter dalam model program

linear adalah tetap clan ditentukan secara pasti.

Anda mungkin juga menyukai