Anda di halaman 1dari 10

www.dokterirga.

com
secuil persembahan untuk semesta, setapak langkah menggapai cinta-
Mu.
Home
Arsip
Tentang Saya
Privacy Policy
Contact

Anemia Besi pada Penyakit


Ginjal Kronik
{0 Comments}
Posted by admin on February 13, 2013
in Kedokteran
I. Pendahuluan
Anemia merupakan salah satu komplikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK).
1Anemia diartikan sebagai rendahnya hematokrit atau hemoglobin (Hb).2
Definisi anemia menurut WHO adalah konsentrasi Hb dibawah 13 gr/dl pada
laki-laki dan perempuan postmenopouse dan konsentrasi Hb dibawah 12 g/dl
pada perempuan lainnya. Menurut The European Best Practise Guidelines
dalam manajemen anemia pada pasien PGK menyatakan batas terendah nilai
normal Hb 11,5 gr/dl pada perempuan, Hb 13,5 gr/dl pada laki-laki umur 70
tahun dan dibawahnya, dan Hb 12 gr/dl pada laki-laki diatas umur 70 tahun.
The National Kidney Foundations Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative
(NKF -K/DOQI) merekomendasikan penanganan anemia pada pasien PGK
jika nilai Hb dibawah 11 g/dl (hematokrit Hubungan PGK dan anemia telah
diketahui sejak awal abad ke-19, yang dinyatakan pertama oleh Richard
Bright pada tahun 1836. Anemia pada PGK mulai terjadi pada awal
perkembangan penyakit ginjal. Anemia sering dijumpai pada sebagian besar
pasien dengan PGK, biasanya mulai terjadi bila LFG (laju filtrasi glomerulus)
turun sampai 60 ml/menit/1,73 m2. Anemia mikrositik hipokrom menunjukkan
defisiensi besi dapat terjadi pada pasien dengan PGK.2, 4

Etiologi anemia pada PGK bersifat multifaktorial. Patogenesis utama anemia


pada PGK adalah defisiensi eritropoetin. Ginjal yang sehat memproduksi
hormon eritropoetin (EPO) yang merangsang sumsum tulang untuk
memproduksi sel darah merah. Faktor lain yang dapat mempermudah
terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah merah,
inhibisi sumsum tulang terutama oleh PTH (Parathyroid Hormon) , kehilangan
darah intestinal, adanya inhibitor yang mengurangi maturasi progenitor
eritroid, kehilangan darah dari hemodialisis dan defisiensi besi.2

Defisiensi besi merupakan penyebab anemia yang kedua pada pasien


dengan PGK. Penyebab utama defisiensi besi ini adalah asupan yang kurang,
gangguan absorpsi, perdarahan kronik, inflamasi atau infeksi, serta
peningkatan kebutuhan besi selama koreksi anemia dengan terapi
ESA(Eritropoetin Stimulating Agent).5, 6

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya


cadangan besi tubuh sehingga penyediaan besi untuk pembentukan
hemoglobin (Hb) berkurang. Definisi anemia defisiensi besi pada pasien PGK
berbeda dengan populasi non PGK, oleh karena pasien PGK yang
mendapat terapi ESA membutuhkan kadar besi yang lebih tinggi. The kidney
disease outcomes quality inisiative ( K/DOQI) guidelines mendefinisikan
anemia defisiensi besi adalah jika tidak tampak atau menurunnya pewarnaan
besi pada sumsum tulang, yang terjadi pada pasien yang mempunyai saturasi
transferin < 20% dengan ferritin serum < 100 ng/ml.7, 8

II. Metabolisme besi dalam tubuh


Metabolisme besi sangat penting dalam pemantauan status besi dan
suplementasi preparat besi. Zat besi merupakan unsur yang penting dalam
tubuh dan hampir selalu berikatan dengan protein tertentu seperti hemoglobin
dan mioglobin. Kompartemen zat besi yang terbesar dalam tubuh adalah
hemoglobin yang dalam keadaan normal mengandung kira-kira 2 gram zat
besi.9
Absorpsi besi terjadi terutama pada duodenum oleh enterosit. Konsumsi besi
diserap sebagai protein heme atau dalam bentuk ferro Fe2+. Duodenal ferric
reductase enzyme (Dcytb) pada enterosit yang mereduksi fe3+ menjadi fe2+.
Sebuah protein yang disebut DMT1 (Divalent Metal Transporter 1) kemudian
mengangkut besi ferro melewati membran apikal enterosit dan masuk ke
dalam sel. Absorpsi besi dipengaruhi oleh faktor yang saling berhubungan
dengan simpanan besi tubuh, aktifitas eritropoetik, adanya anemia,
hipoksemia dan adanya inflamasi. Ambilan besi oleh enterosit disimpan
sebagai feritin dan sejumlah besar ikatan besi feritin ditemukan di hepatosit,
sumsum tulang dan lien. Simpanan feritin hati merupakan sumber utama
penyimpan besi dalam tubuh. Makrofag yang merupakan simpanan besi
sistem retikuloendotelial dalam proses penghancuran hemoglobin dari sel
darah merah.10

Feritin merupakan tempat penyimpanan zat besi terbesar dalam tubuh.


Fungsi feritin adalah sebagai tempat penyimpanan zat besi. Zat besi yang
berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat dimobilisasi kembali. Hati
merupakan tempat penyimpanan feritin terbesar di dalam tubuh dan berperan
dalam mobilisasi feritin serum. Pada keadaan infeksi dan inflamasi terjadi
gangguan pelepasan zat besi dari sel retikuloendotelial yang mekanismenya
belum jelas, akibatnya kadar feritin intrasel dan serum meningkat. Feritin
disintesis dalam sel retikuloendotelial dan disekresikan ke dalam plasma.
Sintesis feritin dipengaruhi oleh konsentrasi cadangan besi intrasel. 16

Zat besi dalam plasma sebagian berikatan dengan transferin,yang berfungsi


sebagai transpor zat besi.Transferin merupakan suatu glikoprotein, yang
bertanggung jawab terhadap transfer besi ke sistem retikuloendotelial dan
dari tempat penyimpanan besi ke sumsum eritroid.Setiap molekul transferin
mengandung 2 atom Fe. Zat besi yang berikatan dengan transferin akan
terukur sebagai kadar besi serum yang dalam keadaan normal hanya 20-45%
transferin yang jenuh dengan zat besi, sedangkan kapasitas daya ikat
transferin seluruhnya disebut kapasitas ikat besi total (total iron binding
capacity) .16

Besi juga disimpan sebagai pigmen yang disebut hemosiderin yang


merupakan proses patologi dari kerusakan sel darah merah atau pada orang
yang kelebihan besi karena penghancuran sel darah merah yang berlebih.
Besi ditransfer keluar dari enterosit oleh feroportin di basolateral. Feroportin
salah satunya eksporter besi yang sudah diketahui jelas. Pada membran
basolateral enterosit duodenum, feroportin memperantarai pelepasan besi ke
sirkulasi darah yang bekerjasama dengan hephaestin, yang merupakan
feroksidase yang mirip seruloplasmin protein plasma. Seruloplasmin
dibutuhkan pada sel non intestinal untuk pelepasan besi. Besi dilepaskan ke
sirkulasi terikat dengan transferin dan ditranspor ke tempat penggunaan dan
simpanan.16

III. Patogenesis
Tiga mekanisme terjadinya anemia defisiensi besi pada pasien PGK adalah :
1 . Absorpsi besi yang tak normal
Absorpsi besi pada saluran cerna diatur oleh jumlah besi tubuh, kadar EPO
dan kecepatan eritropoiesis. Absorpsi besi terjadi di duodenum dan jejunum
proksimal yang dipengaruhi oleh asupan makanan, faktor-faktor intraluminal,
aktifitas eritropoiesis, kapasitas fungsional dari sel mukosa usus dan jumlah
besi dalam jaringan penyimpanan. Telah dibuktikan pula dengan teknik
ferokinetik, ambilan besi oleh sel mukosa usus akan berkurang secara
bermakna pada pasien PGK terutama yang menjalani dialisis.9
2 . Kehilangan darah
Beberapa faktor berperan dalam kehilangan darah antara lain saat
pengambilan darah, perdarahan saluran cerna, bedah vaskuler, darah yang
tertinggal saat dialisis dan pemasangan tube pada akhir dialisis, dimana
perkiraan kehilangan darah sekitar 1-3 g dari mekanisme tersebut.7, 9
3 . Peningkatan kebutuhan besi dengan terapi ESA
Eritropoetin stimulating Agent (ESA) merangsang sumsum tulang untuk
meningkatkan kecepatan pembentukan sel darah merah diatas kecepatan
fisiologis melebihi kemampuan transferin yang mengikat besi untuk sintesis
hemoglobin. 12
4. Inflamasi
Pada PGK terjadi inflamasi kronik, sehingga nilai feritin serum dan saturasi
transferin yang normal tidak menyingkirkan adanya defisiensi besi. Inflamasi
akan menginduksi pelepasan sitokin dalam sirkulasi seperti Interleukin-1,
Tumor Necrosis Factor- (TNF-) dan Interleukin-6. Sitokin-sitokin ini
menyebabkan blokade retikuloendothelial memobilisasi besi dengan cepat.12-
14

IV. Diagnosis
Standar baku diagnosis anemia defisiensi besi adalah tidak tampaknya
pewarnaan besi pada sumsum tulang dan adanya respon terhadap
pemberian terapi besi. Namun, pemeriksaan ini secara klinik tidak praktis
sehingga telah diusulkan pemeriksaan lain sebagai pedoman terapi
pemberian besi. Saturasi transferin dan konsentrasi feritin saat ini merupakan
alat utama untuk menilai status besi pada pasien dengan anemia
berhubungan dengan PGK. Saturasi transferin dihitung dengan membagi besi
serum dengan TIBC (total iron binding capacity), yang sesuai dengan kadar
besi dalam sirkulasi. Namun, tes ini ada kekurangan karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor selain status besi pasien, antara lain inflamasi, malnutrisi,
dan infeksi.7

Beberapa penelitian mengenai indicator penilaian status besi yang reliabel


pada pasien PGK telah perkenalkan antara lain reticulocyte hemoglobin
content (CHr), persen sel darah merah hipokrom, dan tes nilai sTfR serum
( soluble transferrin receptor). Waktu paruh CHr hanya satu hari, sehingga
CHr dapat mewakili availabilitas besi sumsum tulang, sedangkan nilai sTfR
merupakan bentuk turunan dari reseptor transferin yang beredar di sirkulasi
dan konsentrasi sTfR meningkat secara signifikan pada defisiensi besi. Tidak
seperti feritin serum dan saturasi transferin, nilai sTfR tidak dipengaruhi oleh
kondisi inflamasi, infeksi, dan penyakit hati, sehingga diajukan sebagai
indikator status besi tubuh yang reliabel. Beberapa peneliti lain tidak dapat
menunjukkan efikasi sTfR sebagai marker defisiensi besi. Jadi, feritin serum
dan saturasi transferin walaupun mempunyai keterbatasan, tetap merupakan
tes diagnostik yang berguna secara klinik untuk memulai dan memonitoring
terapi besi.28 Menurut Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI)
penanganan anemia pada PGK tahun 1997, 2001, and 2006 memutuskan
feritin serum dan saturasi transferin merupakan pemeriksaaan pertama pada
penilaian status besi pasien anemia pada PGK. 7

V. Pengkajian anemia besi pada PGK


Pengkajian anemia defisiensi besi dimulai bila Hb 10 gr/dl dan hematokrit
30 %. Penilaian status besi pada pasien PGK paling sering dengan
menggunakan pengukuran feritin serum dan saturasi transferin. Nilai saturasi
transferin (nilai jenuh transferin)

Penilaian status besi dilakukan untuk menentukan apakah defisiensi besi


yang menyebabkan anemia, mengarahkan penggunaan terapi besi untuk
mencapai dan mempertahakan target nilai hemoglobin dan menghindari
komplikasi yang berkaitan dengan kelebihan besi. Satus besi yang diperiksa
meliputi besi serum, saturasi transferin, kapasitas besi ikat total dan feritin
serum8, 15

Berdasarkan pemeriksaan nilai feritin serum dan saturasi transferin, kita dapat
membedakan anemia defisiensi besi menjadi:
1. Anemia defisiensi besi absolut
Defisiensi besi absolut terjadi jika tidak ada atau tidak cukup persediaan besi
untuk produksi sel darah merah. Berdasarkan NKF/K-DOQI (2006) guidelines
definisi defisiensi besi absolut pada pasien PGK adalah nilai feritin100ng/mL
(>200 ng/mL untuk pasien hemodialisis) dengan ST 20 % dan kadar feritin
serum >100 ng/L.8

Defisiensi besi fungsional < 20 100 Defisiensi besi absolut 100 ng/ml dan
saturasi transferin > 20 %. Pasien nondialisis dan pasien dengan dialisis
peritoneal yang menerima terapi ESA diberikan terapi besi sampai target nilai
feritin feritin > 100 ng/ml dan saturasi transferin > 20 %, sedangkan pasien
PGK dengan hemodiaisis yang menerima ESA, target nilai feritin > 200 ng/ml
dan saturasi transferin > 20 %.15, 18 Pemberian terapi besi pada pasien PGK
dapat dengan :
1. Terapi Besi Oral
Besi oral biasanya cukup untuk pasien PGK non-dialisis atau pasien PGK
peritoneal dialisis dengan anemia defisiensi besi. Pada pasien dengan PGK
tanpa hemodialisis, terapi besi oral umumnya digunakan tetapi mempunyai
beberapa kerugian antara lain efek gastrointestinal dan replesi besi yang
lama. Penelitian sebelumnya pada pasien hemodialisis menunjukkan besi oral
tidak adekuat untuk mengganti dan mempertahankan simpanan besi. Hal ini
disebabkan oleh sejumlah besi yang diabsorbsi dari mukosa usus tidak akan
cukup dibandingkan dengan peningkatan permintaan besi yang ditingkatkan
oleh eritropoesis pada pasien PGK yang juga menerima EPO. Gejala
gastrointestinal yang umum terjadi pada pemberian oral adalah gejala
dispepsia, konstipasi dan perut kembung.11,32
Dosis oral yang dibutuhkan untuk mengisi kembali simpanan besi adalah 200
mg per hari Sediaan besi oral antara lain ferrous gluconate, ferrous sulphate,
dan ferrous fumarat. Pemberian obat oral sangat sederhana, namun tidak
efektif untuk kebanyakan pasien hemodialisis. Pemberian besi oral juga tidak
cukup untuk mempertahankan simpanan besi yang adekuat pada pasien yang
menerima ESA. Ada bentuk besi oral yang baru yaitu Heme-Iron Polypeptide
(HIP) yang berasal dari hidrolisis hemoglobin bovine. Penelitian saat ini,
Heme Iron Polypeptide (HIP) dengan terapi epoitin pada pasien hemodialisa
memperbaiki toleransi dibandingkan besi garam dan dapat mempertahankan
parameter besi sesuai nilai yang direkomendasikan tanpa membutuhkan
pemberian besi intravena.
2. Terapi Besi Parenteral
Besi parenteral pertama diperkenalkan pada abad ke-20. Pada tahun 1947,
Nissim memperkenalkan besi sakarida secara injeksi intravena dan
menyimpulkan bentuk sediaan besi yang aman. Pada tahun 1954,Baird dan
Podmores memperkenalkan HMWD ID (high molecular weight iron dextran)
yang dapat diberikan secara intravena dan intramuskuler. High Molecular
Weight Iron Dextran (HMWD ID) merupakan satu-satunya besi intravena
sampai tahun 1990. Reaksi hipersensitivitas berat dapat terjadi pada HMDW
ID.34
Pada tahun 1992, low molecular weight iron dextran (LMWID) dikeluarkan
untuk terapi intravena. Pada tahun 1999 ferric gluconat(FG) telah ada di
Eropa dan diperkenalkan di Amerika Serikat. Selama penggunaan FG di
Eropa dan Amerika serikat tidak dilaporkan kematian akibat pemakaian FG,
dibandingkan dengan pemakaian besi dextran didapatkan 31 kematian,
sehingga penggunaan FG dikatakan lebih aman. Pada bulan November 2000,
iron sucrose (IS) ditemukan di Amerika Serikat dan juga digunakan di Eropa,
dilaporkan keamanan penggunaannya hampir sama dengan FG. Dalam 18
bulan terakhir, ditemukan 3 senyawa besi intravena yang baru untuk pasien
PGK. Dua sediaan yang diakui di Eropa yaitu FC ( ferric carboxymaltose) dan
iron isomaltoside (II), dan satu diakui di Amerika serikat yaitu ferumoxytol.34
Pemberian zat besi parenteral bermanfaat untuk terapi dan pencegahan
defisiensi zat besi pada pasien hemodialisis yang secara efektif mengisi
cadangan zat besi sumsum tulang. Pemberian preparat besi parenteral
diindikasikan pada keadaan : (1) untuk koreksi defisiensi zat besi yaitu bila
kadar feritin serum awal < 100 ng/ml, terutama bila penderita akan mendapat
terapi eritropoietin, (2) untuk keadaan defisiensi zat besi fungsional, dimana
pemberian eritropoietin memberikan respon suboptimal atau tidak berespon
sama sekali, (3) untuk keadaan defisiensi zat besi tetapi preparat besi per oral
tidak dapat ditoleransi oleh penderita.8, 9 Terapi zat besi parenteral untuk
mengatasi anemia defisiensi besi dibagi atas terapi besi fase koreksi dan
terapi pemeliharaan besi. 1. Terapi besi fase koreksi Tujuan terapi besi fase
koreksi adalah untuk koreksi anemia defisiensi besi absolut dan fungsional,
sampai status besi cukup yaitu feritin serum mencapai > 100 ng/L dan
saturasi transferin> 20%.9 Dosis terapi besi fase koreksi adalah 100 mg
diberikan 2x per minggu saat HD, dengan perkiraan keperluan dosis total
1000 mg (10x pemberian). Sebelum mulai terapi besi, dilakukan pemberian
dosis uji coba (test dose) untuk mengetahui adanya hipersensitifitas terhadap
besi. Cara pemberian dosis uji coba:
- Iron sucrose atau Iron dextran : 25 mg dilarutkan dalam 25 NaCl 0,9% drip
IV selama 15 menit
Cara terapi besi fase koreksi :
- Iron sucrose : Untuk pasien yang menjalani HD, Iron sucrose 100 mg
diencerkan dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip iv dalam waktu paling cepat 15
menit. Cara lain dapat disuntikkan iv atau melalui venous blood line tanpa
diencerkan secara pelan-pelan, paling cepat dalam waktu 15 menit. Iron
sucrose 100 mg IV sampai 10 kali setiap HD. Untuk pasien CKD stadium I-IV,
iron sucrose 200 mg IV diberikan dengan interval selama 14 hari sampai
dosis total 1 gram. Pada pasien yang menjalani dialisis peritoneal, iron
sucrose 1000 mg dibagi 3 dosis, dimana iron sucrose 300 mg diberikan pada
hari pertama, 300 mg pada hari ke-14, dan 400 mg pada hari ke-28.16, 17, 19
- Iron dextran : 100 mg iron dextran diencerkan dengan 100 ml NaCl 0,9%
diberikan 1-2 jam pertama HD melalui venous blood line. Cara ini diulang
setiap HD (2x seminggu) sampai 10 kali atau dosis mencapai 1000 mg. 9, 17
Iron dextran dapat diberikan secara intramuskular, disuntikkan pada regio
gluteus kuadran luar atas dengan teknik Z track injection dengan dosis uji
coba 0,5 ml/ IM dengan terapi besi fase koreksi bila feritin serum 30 ng/L
maka pemberian 6 x 100 mg dalam 4 minggu dan bila feritin serum 31 100
ng/L, maka pemberian 4 x 100 mg dalam 4 minggu. Sedangkan terapi besi
fase pemeliharaan : 80 mg tiap 2 minggu.
- Iron gluconate :Cara pemberian sama dengan iron dextran dengan dosis
125 mg setiap HD (2x seminggu) sampai 8 kali atau dosis mencapai 1000 mg.
Pada pasien dengan dialisis peritoneal atau CKD stadium I-IV, diberikan 125-
250 mg IV sampai 3-4 dosis dengan total dosis 1 gram. 11,16,30
Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu setelah terapi besi fase koreksi. Bila
status besi cukup dilanjutkan dengan terapi besi fase pemeliharaan. Bila
status besi belum cukup ulangi terapi besi fase koreksi.
2. Terapi besi fase pemeliharaan
Tujuan terapi besi fase pemeliharaan adalah untuk menjaga kecukupan
persediaan besi untuk eritropoiesis selama terapi EPO. Target terapi adalah
feritin serum 100 ng/L 500 ng/L ( PGK-nonD dan PGK-PD) dan 200-500
ng/ml (PGK-HD) dengan saturasi transferin 20% 50%.
- Dosis Intravena :
Iron sucrose : maksimum 100 mg / minggu
Iron dextran : 50 mg / minggu
Iron gluconate : 31,25 125 mg / minggu
- Dosis IM : Iron dextran : 80 mg / minggu
- Dosis Oral : 200 mg besi elemental 2-3 x / hari
Status besi diperiksa setiap 1-3 bulan. Dosis terapi besi disesuaikan dengan
kadar saturasi transferin dan feritin serum. Bila status besi dalam batas target
yang dikehendaki lanjutkan terapi besi dosis pemeliharaan dan bila feritin
serum > 500 ng/L atau saturasi transferin > 50%, suplementasi besi ditunda
selama 3 bulan.8 Pemberian terapi besi dihentikan jika ditemukan
hipersensitivitas terhadap besi, adanya gejala overdosis besi, transfusi darah
masif sebelumnya, hemosiderosis, hemokromatosis, dan siderosis pada
tulang.20

Anda mungkin juga menyukai