Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Makalah ini merupakan kelanjutan dari makalah yang didiskusikan

sebelumnya, yaitu mengenai Teori-teori Pendidikan, yang mana sebelumnya telah

didiskusikan mengenai Pendidikan Tradisional, Pendidikan Liberal, dan Pendidikan

Marxis-Sosialis. Pada kesempatan ini, akan dipaparkan mengenai satu lagi teori

pendidikan yang dibahas dalam Buku Nurani Soyomukti yang berjudul Teori-teori

Pendidikan, yaitu Pendidikan Postmodernisme.

Pada dasarnya gerakan postmodern ini muncul sebagai kritik atas kegagalan

manusia modern (kehidupan modernitas) dalam menciptakan situasi sosial yang lebih

baik, kondusif dan berkeadilan sosial. Munculnya perang, gejolak sosial dan revolusi

yang menimbulkan anarki dan relativisme total. Keadaan tersebut melahirkan

sejumlah kegelisahan (epistemik) berkaitan dengan problem pengetahuan dasar

manusia mengenai modernisme yang diklaim mengusung kemajuan, rasionalitas dan

sebagainya. Rasio manusia yang oleh masyarakat modern diyakini sebagai suatu

kemampuan otonom, mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Yang diyakini

pula mengatasi semua pengalaman yang bersifat pastikular dan khusus dan

(ironisnya) dianggap menghasilkan kebenaran mutlak, universal dan tidak terikat

waktu.
2

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diangkat kemudian dibahas dalam makalah ini

berupa pertanyaan sebagai berikut.

1. Apakah pandangan postmodernis itu?

2. Bagaimana landasan pendidikan postmodernisme?

3. Bagaimana efek postmodernisme dalam model pendidikan?

4. Bagaimana implikasi postmodernisme dalam pendidikan?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan dan diskusi makalah ini adalah

agar mahasiswa mampu:

1. Mengetahui pandangan postmodernis.

2. Mengetahui landasan pendidikan postmodernisme.

3. Mengetahui efek postmodernisme dalam model pendidikan.

4. Mengetahui implikasi postmodernisme dalam pendidikan.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah mahasiswa atau pembaca dapat

mengetahui hakikat dari pendidikan postmodernisme, mulai dari hakikat atau makna

postmodernisme itu hingga ke pengaruh dan implikasinya dalam ilmu pendidikan.


3

BAB II

PENDIDIKAN POSTMODERNISME

A. Pandangan Postmodernis

Postmodernisme, postmodernism, berasal dari dua kata, yaitu post dan

modernism. Istilah post dapat diartikan pasca atau setelah, bisa juga

diartikan tidak. Sementara modernism merujuk pada gaya filsafat dan gaya

berpikir modern yang bercirikan rasionalisme dan logismeatau oleh kaum

postmodernis dicurigai berpikir gaya positivisme. Jika post diartikan setelah

(pasca), maka postmodernisme merupakan gaya berpikir yang lahir sebagai reaksi

terhadap pemikiran modernisme yang dianggap mengalami banyak kekurangan dan

menyebabkan berbagai masalah kemanusiaan. Sementara, jika post diartikan

tidak, maka postmodern mengandung arti yang lebih luas. Jika mengingat tahapan

masyarakat yang linear seperti tradisional, modern, postmodern, maka yang tidak

postmodern bisa saja tradisional maupun modern. Jadi, postmodernisme bukanlah

tradisionalisme maupun modernisme. Meskipun demikian tampaknya benar jika ada

yang mencurigai bahwa postmodernisme adalah kebangkitan lagi tradisionalisme,

yakni membangkitkan lagi cara-cara tradisional untuk mereaksi modernisme

(Soyomukti, 2015).

Postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversial. Di satu pihak

istilah ini kerap digunakan dengan cara sinis dan berolok-olok, baik dibidang seni
4

maupun filsafat, yaitu dianggap sebagai sekedar mode intelektual yang dangkal dan

kosong atau sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan-

perubahan sosial yang kini sedang berlangsung. Di pihak lain, kenyataan bahwa

istilah itu telah memiliki minat masyarakat luas bahkan hingga keluar dunia akademik

sebetulnya menunjukkan bahwa tentulah ia memiliki kemampuan untuk

mengartikulasikan beberapa krisis dan perubahan sosio-kultural fundamental yang

kini sedang kita alami. Meskipun demikian satu hal kiranya jelas, yaitu menganggap

postmodernisme sekedar sebagai mode intelektual yang kosong dan reaksioner,

dengan buru-buru dan sembrono, sebetulnya adalah kenaifan dan kedangkalan

tersendiri.

Meskipun sedemikian beragamnya aliran pemikiran yang termasuk dalam

istilah postmodernisme, kiranya kita masih dapat mengidentifikasi bahkan

mengelompokkannya. Secara agak kasar bisa saja kita mengelompokkannya,

misalnya, ke dalam kelompok Dekonstruktif dan yang lain kelompok yang

cenderung Konstruktif atau revisioner. Pada kubu Dekonstruktif dapat kita

masukkan pemikiran-pemikiran Derrida, Lyotard, Foucault, dan mungkin Rorty.

Sedang pada kubu Konstruktif atau revisioner dapat kita masukkan misalnya;

Heidegger, Gadamer, Ricoeur, Mary Hesse, dari tradisi Hermeneutika; lalu David R.

Griffin, Frederic Ferre, D. Bohm, dari tradisi studi proses Whiteheadian; juga

F,Capra, J.Lovelock, Gary Zukav, I.Prigogine, dari tradisi fisika yang berwawasan

holistik. Boleh jadi istilah post dalam postmodernisme itu jadinya memang

kelewat tajam dan mudah mengecoh. Barangkali memang lebih cocok jika misalnya
5

disebut Neo-modernisme atau entah apa semacam itu. Namun istilah

postmodernisme tetap digunakan karena sudah terlanjur beredar dan populer

(Sugiharto, 2006).

Aronowitz & Giroux, secara luas mendefinisikan postmodernisme sebagai

suatu (a) posisi intelektual atau satu bentuk kritik budaya, sekaligus juga mengandung

arti (b) kemunculan serangkaian kondisi sosial, budaya, dan ekonomi tertentu untuk

mencirikan abad kapitalisme dan industrialisasi global. Sebagai posisi intelektual

atau kritik budaya, postmodernisme secara radikal mempertanyakan logika fondasi

yang menjadi batu pijakan epsitemologi modernisme. Sebagai kondisi sosial,

postmodernisme mengacu pada perubahan yang semakin radikal di dalam relasi

produksi, hakikat negara-bangsa, perkembangan teknologi baru yang mendefinisikan

ulang bidang komunikasi dan informasi dan mengacu pada perubahan kekuatan-

kekuatan yang bekerja di dalam pertumbuhan globalisasi dan saling bergantungnya

bidang ekonomi, politik dan budaya.

Sementara itu, sebagai suatu gerakan filsafat, oleh Stuart Sim,

postmodernisme didefinisikan sebagai satu bentuk skeptisismeskeptisisme pada

otoritas, kebijaksanaan yang mapan, norma budaya dan politikyang ditujukan pada

tradisi pemikiran Barat yang membentang ke belakang (dari modern) sampai dengan

masa Yunani klasik. Dengan kata lain, ia merupakan sebentuk sikap skeptis, curiga,

dan tidak percaya dengan hal-hal yang terkait dengan modernisme atau proyek

pencerahan seperti rasionalitas ilmiah, klaim kebenaran universal, dan pembebasan

manusia (Mukalam, 2013).


6

Salah satu teori postmodernisme yang cukup berpengaruh adalah

Masyarakat Konsumer (Consumer Society) yang dicetuskan Jean Baudrillard

(1998). Ia menaruh perhatian pada persoalan realitas yang baginya uang saat ini telah

mampu berbicara lebih dan apapun itu adalah gambaran (image) serta hiperrealitas.

Kritik Baudrillard ini terutama bisa dilihat dari pengaruh media, khususnya media

penyiaran di mana berlangsung secara kontinyu proses diseminasi budaya secara

global mulai dari gaya hidup (lifestyle), perkembangan dunia fashion, sampai pada

perkembangan masyarakat jejaring lewat medium internet yang didahului oleh

perkembangan komputerisasi. Baudrillard sejatinya menyorot fenomena budaya

postmodernisme dari konsep hiperrealitas, yaitu di mana segala sesuatunya menjadi

rujukan, sementara yang dirujuk belum tentu gambaran akan kenyataan yang

sesungguhnya (reality), karena yang dirujuk tersebut merupakan hasil konstruksi,

terutama oleh peran media (Fansuri, 2012).

1. Kebebasan dan individualisme radikal

Kapitalisme dengan pilar ideologisnya berupa liberalisme dan

individualisme menurunkan model pendidikan liberal dan postmodernisme.

Kebebasan bukan hanya jargon pendidikan liberal, melainkan secara lebih radikal

menjadi ikon dari filsafat postmodernisme yang mengutamakan relativisme, menolak

totalitas, dan menolak hidup ini ada tujuannya (teleologis). Setiap upaya untuk

memberi patokan akan mengarahkan murid pada standar tertentu pasti akan dianggap

menjajah makna orang lain. Setiap upaya mencari kebenaran objektif dianggap

sebagai positivistik dan dianggap membahayakan bagi pikiran dan tindakan.


7

Padahal sangat penting memahami makna kebebasan agar kemudian

memahami arti kata dalam hidup yang semakin ruwet. Lebih ruwet lagi tanpa

penjelasan dan pemahaman tentang apa arti kebebasan. Agar kita bebas, kita harus

memahami bahwa hidup kita tanpa batas (no frontier). Kita juga harus menyingkirkan

hambatan-hambatan yang menghalangi kita memahami dunia yang luas, yang dapat

kita salami dan kita singgahi.

Kebebasan sejati lahir dari orang yang hidupnya punya tujuan. Tidak ada

kebebasan dalam jiwa orang yang hidupnya absurd dan tidak tahu untuk apa tujuan

hidupnya. Biasanya ia terombang-ambing oleh lingkungan dan berbagai serangan-

serangan pemikiran dan cara pandang dari luar dirinya. Meskipun demikian, ia tetap

saja tidak dapat menyerap berbagai hal yang datang untuk mengisi pikiran dan

hatinya. Ia tidak punya patokan, tidak punya ukuran yang digunakan untuk menilai

diri dan lingkungannya. Lalu, ia pun berkata, Hidupku mengalir, aku tak perlu

patokan-patokan, aku tak perlu menetapkan nilai untuk segala sesuatu. Bahkan, aku

tak ingin menilai karena aku tak mau menghakimi. Inilah salah satu model berpikir

relativistik ala postmodernisme.

Orang yang memiliki model berpikir relativistik mulai menjauhkan diri pada

hal-hal yang menurutnya berat. Individualisme yang cuek dijawab dengan

individualisme yang apatis dengan ditunjukkan oleh generasi yang tidak mau terlibat.

Lihatlah wajah politik negeri ini dipenuhi oleh wajah-wajah tua. Para politisi kita

terlalu tua, karenanya politik kita adalah daur ulang dari proses lama yang sejak awal

menindas dan membohongi rakyat. Berbeda dengan ketika generasi muda pada
8

zamannya, Soekarno, Hatta, Syahrir, Aidit, para politisi, dan negarawan yang usianya

sangat muda. Mereka terlibat dalam politik yang dinamis. Politik yang penuh idealis

dan cita-cita perjuangan. Tidak seperti sekarang, ketika para kaum muda malas

berpolitik, politik kelihatannya renta dan tidak ada kaitannya dengan perubahan

akibat lebih jauhnya adalah apatisme yang kian besar masyarakat terhadap (partai,

lembaga, dan proses) politik yang ada.

Itu adalah contoh bagaimana kontradiksi di hadapan kita sering muncul

karena orang-orang yang sok, tidak mau menetapkan tujuan hidupnya. Kebebasan

yang dicita-citakan oleh orang yang tidak punya tujuan dan patokan dalam hidupnya

adalah kebebasan abstrak dan palsu (Soyomukti, 2015).

2. Relativisme

Kehadiran postmodernisme dalam konstelasi pemikiran manusia telah

membuat warna baru yang menarik untuk dikaji. Tidak saja karena kehadirannya

cukup menyentakkan dunia akademik, melainkan juga ia turut membawa pesan-pesan

kritis yang melakukan pembacaan ulang atas berbagai tradisi yang selama ini diyakini

kebenarannya. Masyarakat (kita) dikagetkan dengan munculnya gejala postmodern

yang cukup untuk meluluh-lantakkan dimensi ontologi, epistemologi bahkan

aksiologi yang tumbuh dalam pengetahuan dasar masyarakat mengenai realitas. Bagi

gerakan postmodern, manusia tidak akan mengetahui realitas yang objektif dan benar.

Yang diketahui manusia hanyalah sebuah versi dari realitas, bukan keseluruhannya.

Arief Budiman mengatakan, ibarat teks bacaan, realitas yang diketahui manusia
9

merupakan teks yang sudah dibentuk oleh pengarang. Pada titik ini, postmo terjun ke

arah relativisme (Hidayat, 2006).

Apabila kita punya tujuan dalam hidupnya, maka kebebasan yang lebih

bermakna akan kita temukan. Akan tetapi, jika kita tidak punya tujuan, maka jangan

harap akan menemukan kebebasan yang bermakna. Kita punya tujuan, artinya kita

berusaha meraih sesuatu yang kita yakini benar. Tujuan yang baik adalah tujuan yang

objektif, yang didasarkan pada ukuran yang dapat kita buat sesuai dengan apa yang

terjadi dalam realitas konkret.

Kasus mengompromikan segala sesuatu yang jelas-jelas berbeda, seperti

menyamakan antara yang kaya dan yang miskin, jelas merupakan pandangan yang

membahayakan. Seakan keyakinan akan sesuatu yang benar atau salah tidak dapat

kita peroleh. Mungkin orang Indonesia adalah orang yang malas, jauh dari

pengetahuan dan kebenaran sehingga sukanya mengompromikan (memukul rata)

atau merefleksikan segala sesuatu. Penjajahan beratus-ratus tahun telah membuat kita

bodoh dan hanya menerima, tidak punya prinsip, dan keyakinan yang didasarkan

pada kemandirian dalam melihat persoalan. Ini sungguh membahayakan bagi

semuanya.

Mengetahui kebenaran itu penting dan kebenaran tidaklah relatif.

Relativisme dan aburdisme bukan milik orang yang dalam hidupnya ingin

menemukan kebenaran untuk menjadi dasar dalam menilai sesuatu, untuk mengetahui

mana yang baik dan mana yang buruk. Mengetahui secara benar, mereka ingin

memastikan segala sesuatu sesuai dengan kebenarannya dan ingin membongkar apa
10

yang ingin ditutup-tutupi oleh orang jahat yang berusaha memanipulasi

kebenarannya. Kebenaran tidak boleh dipalsukan dan dimanipulasi. Marilah kita

berusaha melawan pihak-pihak yang berusaha menutup-nutupi kebenaran atau

berusaha memanipulasikannya.

Hal lain yang harus dicatat adalah masyarakat kita selalu tidak fokus dalam

menceritakan segala sesuatu, bahkan dalam menjawab pertanyaan. Oleh sebab itu,

penilaian terhadap suatu hal biasanya berbelit-belit, abstrak, dan tidak konkret pada

suatu gejala yang ingin diketahui. Ketika ditanya, Seberapa jauh dari Bali ke

Jakarta?, orang yang ditanya sering tidak menjawab sesuai pertanyaan. Kebanyakan

orang akan menjawab, Paling sehari, kamu berangkat pukul 4 sore, sampai sana

siang keesokan harinya.

Jarak pun ditafsirkan dengan waktu. Padahal, jika dalam masyarakat telah

terbiasa menanyakan dan menjawab sesuatu secara pas dan konkret, siapa saja

jawabannya akan sama. Semua orang akan memiliki jawaban yang sama jika mereka

sama-sama tahu jarak antara kedua kota. Akan tetapi, jika kita tidak tahu, biasanya

jawaban akan dialihkan dengan jawaban lain. Oleh sebab itu, pertanyaan soal jarak

dojawab menggunakan patokan lain seperti waktu atau menggunakan jenis kendaraan

jenis kendaraan apa yang dipakai.

Perasaan bahwa segala sesuatu itu relatif lahir dari cara berpikir gampangan

yang lebih mementingkan kehendak subjektif dan individualistik, sebuah FALLACY,

sesat filsafat yang berkembang dalam anggapan orang yang biasanya malas

berpikirdan bekerja keras dalam menyelesaikan masalah. Cara berpikir relativistik ini
11

benar-benar membodohi dan (kalau mau dirunut) selalu sesuai dengan kepentingan

segelintir orang yang ingin hidup enaknya sendiri. Disebabkan hidupnya telah enak

sehingga menyebabkan ia malas berpikir dan berusaha menutup-nutupi realitas

kebenaran. Mereka, kalau bukan orang yang malas, juga orang yang tak jujur, dan

menyembunyikan agenda tertentu untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri dan

menginjak-injak orang lain (Soyomukti, 2015).

B. Landasan Pendidikan Postmodernisme

Kaum postmodernis memiliki asumsi yang hampir sama dengan pendidikan

liberalis, yaitu menekankan individualisme dengan menganggap bahwa tiap

individu memiliki makna yang berbeda-beda. Karenanya, hal itu membawa

konsekuensi dalam dunia pendidikan, antara lain.

1. Seluruh kegiatan belajar mengajar bersifat relatif. Pengalaman personal

melahirkan pengetahuan personal dan seluruh pengetahuan personal dengan

demikian merupakan keluaran dari pengalaman/perilaku personal sehubungan

dengan sejumlah kondisi objektif tertentu. Inilah prinsip relativisme psikologis.

2. Begitu subjektivitas (yakni sebuah rasa kesadaran personal yang diniatkan, yang

semakin berkembang ke arah sebuah sistem-diri yang mekar secara penuh, atau

disebut juga kepribadian) muncul dari proses-proses perkembangan personal,

seluruh tindakan belajar yang punya arti penting cenderung untuk bersifat

subjektif.
12

3. Hampir mirip dengan kalangan eksistensialis, subjektivitas bertindak sesuai

dengan kehendak (dengan mencari perwujudan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran

personal). Kehendak itu (dalam keadaan apapun) berfungsi melalui pilihan, yakni

identifikasi daya tangkap tentang makna tertentu di antara makna yang secara

hipotesis memiliki kemungkinan di dalam keadaan-keadaan itu. Pilihan atas

sebuah tafsiran tertentu menimbulkan serangkaian cabang-pilihan sehubungan

dengan bagaimana cara mewujudkan kehendak tadi dalam kondisi-kondisi

tertentu yang ada. Rangkaian pilihan itu (yang diarahkan kehendak atau niat

menyeluruh) bekerja secara instrumental untuk memecahkan apa yang biasa

disebut sebagai problema-problema. Dengan demikian, mengurangi konflik dan

jika hal-hal lain setara, membawa ke arah pemenuhan kehendak tadi. Sepanjang

proses tersebut, konsekuensi-konsekuensi yang dialaminya dari pemilihan (dan

mengalami arus-balik dari tindakan yang didasari oleh pilihan individual)

mengubah hakikat dan kekuatan kehendak. Dengan perubahan itu, ia juga

menyesuaikan cara yang bagaimana sehingga situasi itu sendiri dipahami.

4. Secara umum, individu yang secara eksistensial otentik adalah orang yang

bernafsu memiliki komitmen terhadap sebuah sistem nilai (niat/kehendak) yang

dirumuskan dengan baik dan yang secara kognitif memiliki perlengkapan berkat

melek-informasi dan mampu menalar secara canggih- untuk menyesuaikan

jumlah maksimum persoalan yang mengikuti komitmen semacam itu dalam suatu

waktu. Di sisi lain, kaum eksistensialis tampaknya secara mendasar terserap

dalam sebuah gaya hidup yang mana individu didorong untuk memperdalam
13

konflik dengan cara menekankan kondisi-kondisi keadaan yang terang/jernih

secara eksistensial (peneguhan secara sadar atas pilihan bebas), komitmen

terhadap penyelesaian aktif atas persoalan-persoalan yang besar dan luas, serta

intelektualismeyang dipandang sebagai hal-hal yang perlu bagi penciptaan

sekaligus penyelesaian masalah ketidakbermaknaan (meaningless); masalah dari

keadaan manusia yang menjelma ada (eksis) di dunia tanpa adanya persoalan-

persoalan penting dan mendesak untuk diatasi.

5. Kaum postmodernis sangat peduli pada problema-problema dan pemecahan

masalah. Namun, mereka lebih condong melihat problema-problema sebagai

kesempatan-kesempatan untuk menjadi sepenuhnya hidup (yakni untuk menjadi

sadar secara aktif), dan bukan sebagai kesulitan-kesulitan sementara yang harus

ditaklukkan.

Postmodernisme menginginkan proses pendidikan yang menyenangkan dan

membebaskan. Akan tetapi, pembebasan bukanlah cita-cita dari proses pendidikan

yang dijalankan secara terencana, komprehensif, dan holistik sebagai upaya yang

bertujuan mengarahkan proses pendidikan sebagai sebagai pencerahan dan

penyadaran agar peserta didik dan seluruh elemen pembelajaran (termasuk guru)

dapat diarahkan pada perjuangan yang lebih nasionalistik dan melawan kontradiksi

pokok yang menjadi pembelenggu kehidupan manusia. Hal itu karena

postmodernisme adalah filsafat yang tidak menyukai totalitas dan gerakan besar

untuk menghadapi persoalan besaryang disebutnya sebagai narasi agung (grand

narrative).
14

Pada tingkat tertentu pandangan postmodernisme, dengan kemampuannya

mendekonstruksi segala sesuatu, tampak sebagai teori dan sikap yang kritis. Akan

tetapi, dalam banyak hal ia juga tampak lebih pantas dipegang oleh para kalangan

liberalis. Mereka adalah orang yang tidak menyukai sedikitpun aturan dan standar

universal. Bahkan, dengan kebutaan filsafatnya tidak memahami bahwa meskipun

kebebasan menjadi cita-cita semua manusia, tetapi saja ada titik universal yang harus

dipegang dalam suatu kehidupan komunitas atau kelompokatau jangan-jangan,

postmo menginginkan segalanya tercerai-berai agar setiap orang tidak memiliki cita-

cita yang sama. Dengan demikian, jelas bahwa pendidikan postmodernislah yang

paling banyak menentang pendidikan ideologis.

Hal ini adalah suatu kebohongan karena pendidikan bukanlah suatu proses

yang bebas dari kepentingan ideologis. Pendidikan adalah ajang pertarungan

ideologis. Bagaimana bukan pertarungan jika pada kenyataannya apa yang menjadi

tujuan pendidikan saat ini berbenturan dengan kepentingan yang lain. Lembaga

pendidikan adalah wilayah yang mana kesadaran diperebutkan oleh kepentingan:

kepentingan untuk membebaskan peserta didik dengan kesadaran dan dorongan untuk

terlibat aktif dalam aktivitas dan kegiatan yang mengarah pada kemanusiaan, dengan

kepentingan untuk menjadikan peserta didik hanya tunduk pada kesadaran yang

dapat melanggengkan sistem penindasan dan menjadikan peserta didik hanya sebagai

objek dalam pembangunan budaya yang menguntungkan kekuasaan yang menindas

kemanusiaan.
15

Apabila pendidikan bertujuan menciptakan kesadaran, selain pengetahuan

dan keterampilan teknis, maka ia berhadapan dengan dominasi ideologi yang

membuat kebanyakan orang kehilangan daya kritisnya. Dominasi ideologis ini tidak

sulit untuk dijelaskan jika kita mau meneliti secara sungguh-sungguh hambatan-

hambatan manusia dalam menghadapi kehidupannya pada era saat ini.

Jika kita berpikir relativistik, maka kita tidak akan peduli pada serangan

ideologis dari setiap proses kehidupan, yang muncul dari kekuatan material seperti

media, guru, dan alat-alat ideologi dari kelas penindas atau kekuatan yang berusaha

memenangkan kepentingannya baik sadar atau tidak. Guru di ruang kelas, misalnya,

adalah kekuatan ideologis. Mereka bukanlah sosok statis yang tidak kita pertanyakan

karena nyaman dengan maknanya sendiri, padahal murid juga punya maknanya

sendiri.

Interaksi guru dan murid merupakan interaksi ideologis, keduanya hidup

dalam tatanan material yang membentuk ide, watak, dan obsesi. Apa yang dianjurkan

guru dan apa yang diterima murid, membawa konsekuensi bagi dinamika ideologis

yang menetukan pada titik ketika murid berada dalam hubungan material. Lagipula,

dalam pendidikan kapitalistik seperti sekarang, terlalu bohong besar jika kita tidak

melihat bahwa murid tidak diintervensi kekuatan material bahkan yang berada di luar

sekolah. Jadi, setiap upaya untuk mengarahkan murid pada ideologi tertentu atau

mendorongnya untuk berpihak pada isu atau ide tertentu, hal itu bukanlah suatu hal

yang haram. Kaum kapitalis (pemilik modal) juga melakukan itu. Jadi, jika kaum

postmodernis melihat bahwa setiap upaya mengarahkan siswa sebagai bentuk


16

kolonialisasi makna atau penjajahan cara berpikir, hal itu tampak munafik karena

kapitalis terus saja melakukan itu.

Ekspansi cara berpikir kapitalis itu sangat nyata. Seperti yang telah

dicontohkan beberapa kali di depan bahwa sangat nyata sekolah berusaha

memenangkan ideologi kapitalis. Kontradiksi akan dirasakan oleh peserta didik anak

petani (bukan pemilik modal) ketika menjawab pertanyaan bagaimanakah prinsip

ekonomi? Di dalam buku teks dan apa yang dikatakan gurukepanjangan tangan

kurikulum dan ideologi kapitalispenulis harus menjawab, Dengan modal yang

sekecil-kecilnya, untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyakkalau tidak

menjawab demikian, maka jawaban peserta didik tersebut salah.

Pandangan postmodernis yang relativitik dan hanya menekankan pada

analisis makna, serta tidak dialektis-materialis dalam melihat masalah pendidikan,

tidak dapat digunakan untuk membantu pendidikan dalam menyelesaikan masalah-

masalah kemanusiaan (Soyomukti, 2015).

C. Efek Postmodernisme dalam Model Pendidikan

Pengetahuan mensyaratkan kebenaran. Akan tetapi, kaum postmodernis

memandang kebenaran itu relatif alias tergantung pada individu masing-masing. Cara

pandang yang paling ekstrem adalah nihilisme, yang memandang tidak ada

kebenaran. Hal ini sangatlah membahayakan. Padahal, para filsuf pendidikan klasik

saja percaya dan menjungjung tinggi kebenaran dan menganggap di tempat mana dan

kapan pun kebenaran adalah sama saja.


17

Oleh karena itu, pendidikan juga sama saja di tempat mana pun.

Kemungkinan perbedaan organisasi, administrasi, kebiasaan, dan tata cara setempat

dari pendidikan adalah rinciansementara intisarinya sama saja. Menurut Hutchins,

jika kita adalah pendidik, kita harus punya bidang tertentu yang rasional dan dapat

kita pertahankan keberadaannya. Jika bidang itu pendidikan, kita tidak dapat

mengubah-ubahnya sesuai dengan kemauan para orang tua peserta didik sendiri, atau

masyarakat.

Hutchins memandang pendidikan sebagai usaha untuk menarik unsur-unsur

kesamaan hakiki manusia. Kita ingin mengembangkan apa yang sama-sama dimiliki

oleh seluruh umat manusia dan tidak menyibukkan diri dengan unsur-unsur

perbedaan antarpribadi. Uraian pandangan ini dapat dipahami sebagai sebuah

pandangan yang sangat bertentangan dengan konsep-konsep pendidikan

postmodernistikyang tampaknya hanya pantas disebut sebagai bukan pendidikan,

atau lebih tepatnya pemanjaan individualitas.

Kita tidak boleh serba memperbolehkan segala macam kondisi terhadap

anak. Kebebasan harus kita berikan secara lebih luas kepada anak. Akan tetapi, juga

harus diimbangi dengan keharusan mengajarkan anak disiplin serta sikap menghargai

orang lain. Lebih jauh, anak-anak harus diajarkan pada nilai-nilai. Dengan

menanamkan standar nilai dan mengajarkan kedisiplinan, anak-anak kita akan merasa

yakin dan punya harga diri di hadapan orang lain dan perkembangan sosial yang

cepat berubah. Hilangnya nilai-nilai dan prinsip yang mengjangkiti generasi pada era

ini dapat kita cegah jika kita dapat memenangkan nilai yang lebih universal, rasional,
18

serta nilai yang mampu menjadi jawaban bagi keresahan dan kontradiksi yang

dihadapi umat manusia dewasa ini.

Sementara itu, dalam cara pandang postmodernis, tujuan pendidikan adalah

bukan mengubah realitas, melainkan mencari makna atau mengubah makna tiap-tiap

murid, mungkin juga guru. Padahal, kita tahu makna yang dianggap menyenangkan

atau baik bagi murid, belum tentu hal itu sesuai dengan tujuan pendidikan. Misalnya,

murid sangat merasakan makna hidup ketika dia menghindar dari jam pelajaran

Bahasa Inggris karena selain gurunya menjengkelkan, pelajarannya juga dianggap

paling sulit. Bukankah makna semacam ini bukan hanya harus dijauhkan dari murid

tersebut, melainkan juga harus dienyahkan dari dunia pendidikan.

Di samping model pendidikan liberal, pendidikan postmodernisme

tampaknya berakar dari kekuasaan politis yang sama. Tampaknya kapitalisme

menurunkan filsafat dan metode pembelajaran postmodernis untuk menghilangkan

aspek totalitas pembelajaran. Cita-cita ideologis yang bertujuan menjawab suatu

kontradiksi pokok dunia dianggap tidak penting karena hal itu dianggap akan

memaksa anak-anak kepada kepentingan ideologissetiap tujuan ideologis selalu

dicurigai akan dikenakan kepentingan politis dan kepentingan politis selalu dianggap

naif.

Pemikiran relativistik dalam pendidikan dapat dijumpai dalam ungkapam

Charles A. Reich dalam bukunya yang berjudul The Greening of America berikut

ini, Tiap-tiap orang memiliki individualitasnya sendiri, bukan untuk dibandingkan

dengan orang lain. Seseorang mungkin saja menjadi seorang pemikir ulung dan
19

cemerlang, tetapi tidak lebih baik dalam berpikir dibandingkan dengan orang lain,

karena ia benar-benar memiliki keunggulannya sendiri. Seseorang yang berpikir

dengan sangat buruk masih dapat lebih unggul menurut caranya sendiri

(Soyomukti, 2015: 353).

Pernyataan relativistik dan individualistik itu tampak jelas mencerminkan

suatu ilusi akan adanya model pembentukan karakter yang tidak didasarkan pada

suatu standar yang seharusnya dibuat. Bagaimana dapat mengatakan bahwa

seseorang yang berpikir dengan sangat buruk boleh dikatakan sebagai manusia

yang unggul. Tidakkah kemampuan berpikir anak-anak didik kita dapat kita ukur?

Lalu bagaimana yang dimaksud unggul dengan caranya sendiri? (Soyomukti,

2015).

Ketika landasan filosofis dari pandangan postmodernisme diaplikasikan ke

dalam pedagogi, menurut Saudah (Tt) ada banyak implikasi atau pengaruh praktis

yang dapat dihasilkan, antara lain sebagai berikut.

1. Peserta didik harus dibantu untuk melihat bagaimana berbagai ide dan institusi

yang ada sebenarnya telah disesuaikan dengan berbagai nilai dan kepentingan

manusia. Misalnya, sebuah buku mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan dan latar

belakang pengarangnya, atau bagaimana acara TV mempromosikan gaya hidup

yang menguntungkan perusahaan komersial, atau bagaimana kurikulum

pendidikan merefleksikan nilai-nilai dari berbagai sektor masyarakat.

2. Pendidikan harus dipahami sebagai sebuah wadah sosialisasi bagi peserta didik

sekaligus sebagai wadah untuk penanaman perasaan kewarganegaraan.


20

Pendidikan harus mengarah kepada apa yang dianggap benar oleh masyarakat di

mana peserta didik hidup agar mereka dapat berperan sebagai warga dalam

masyarakat tersebut. Peserta didik harus dibantu untuk menemukan pijakan dasar

bagi kehidupannya.

3. Pendidik harus mau dan mampu untuk bekerjasama dengan peserta didik (dan

orang tua) dalam suatu cara dialogis untuk mengidentifikasi pelbagai pandangan

yang merupakan suatu kombinasi yang tepat dari elemen-elemen lama dan baru.

4. Lembaga pendidikan harus mendorong dan membantu peserta didik untuk terlibat

dalam penteorian umum mengenai realitas dan kehidupan. Postmodernis

menekankan bahwa perhatian-perhatian konkret, lokal adalah penting dan harus

diaplikasikan dalam pendidikan. Sementara studi-studi di lembaga pendidikan

seringkali terlalu abstrak dan kurang relevan. Pembelajaran seharusnya

mengombinasikan yang konkret dan yang umum.

5. Salah satu hal yang juga penting dalam pendidikan adalah tekanan pada sifat

demokratis dan dialogis. Pendidikan harus semakin maju, berkaitan dengan

pendidik dan peserta yang belajar bersama tidak dengan gaya top-down.

6. Pendidik harus membantu peserta didik untuk belajar bagaimana caranya belajar,

seperti dalam mempergunakan teknologi tertentu. Satu keuntungan dari cara ini

adalah peserta didik secara lebih aktif terlibat dalam menentukan apa yang

mereka pelajari dan mengapa harus dipelajari, serta mampu untuk memberikan

ekspresi bagi kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan khususnya.


21

7. Penting juga untuk dicatat bahwa tidaklah memadai hanya memberikan peserta

didik kemampuan-kemampuan pembelajaran dan kemudian melepaskan mereka

karena sebagian besar anak membutuhkan dorongan dan bantuan yang terus

menerus untuk mempelajari apa yang mereka butuhkan bagi kehidupan dunia saat

ini.

8. Untuk membuat pendidikan menjadi demokratis bukanlah dengan jalan

membongkar semua struktur dan harapan yang ada, namun lebih baik mencoba

untuk mengkreasi berbagai struktur yang memberikan dukungan kepada didik dan

mengizinkan mereka untuk memberikan masukan yang signifikan dan memiliki

kontrol yang optimal atas pembelajaran mereka.

D. Implikasi Postmodernisme dalam Pendidikan

Pedagogi postmodern adalah sebuah peluang untuk menata kembali sekolah

sebagai ruang publik yang demokratis. Pendidik pada zaman postmodern ini harus

mempunyai pemahaman yang lebih mendalam tentang ideologi yang mempengaruhi

pembentukan pengetahuan, resistensi terhadap kekuasaan, identitas diri yang

terbentuk dalam budaya dominasi, dan mencari pendekatan-pendekatan baru untuk

membebaskan pendidikan dari kungkungan struktur kekuasaan. Pedagogi postmodern

tidak hanya terbatas pada menata ulang kurikulum yang memberdayakan teknologi

informasi tetapi juga harus menegaskan kembali posisi pedagogi yang menyelaraskan

hubungan antara otoritas, etika, dan pusat kekuasaan sehingga pendidikan

memperluas kemungkinan menjadikan tatanan masyarakat menjadi demokratis secara


22

radikal, tidak justru menutup ruang masyarakat marginal untuk mengenyam

demokrasi (Ena, Tt).

Desentralisasi pendidikan mengisyaratkan suatu sistem pendidikan yang

bersifat indegenous (pribumisasi) karena didasarkan pada aspek-aspek dasar dari

lokalitas masyarakat. Hal ini agar masyarakat atau peserta didik tidak tercerabut dari

akar kebudayaannya. Dengan demikian ada relasi mutualistik antara penyelenggaraan

pendidikan dengan situasi lokal yang membutuhkan penjelasan dan pengenalan

secara lebih komprehensif.

Dengan penekanan pada manajemen berbasis sekolah dan desentralisasi

pendidikan, serta kepentingan kurikulum bermuatan lokal, maka sistem pengajaran

yang dijalankan tidak lagi harus memusatkan pada guru sebagai ujung tombak

keberhasilan pendidikan, melainkan juga harus ditopang dengan kekuatan masyarakat

dan keluarga (tripusat pendidikan). Pengajaran di sekolah formal, misalnya tidak

harus menekankan aspek verbalisasi berdasarkan kurikulum (nasional) yang

homogen, melainkan disesuaikan dengan muatan lokal yang melingkupi kebutuhan

masyarakat sekitarnya. Beban materi tidak harus berat dan banyak, sebab hal itu

hanya menghasilkan out put pendidikan yang tahu banyak hal tetapi sedikit dan tidak

mendasar.

Melalui pengajaran yang demikian, maka sebagaimana yang diajurkan oleh

postmodernisme tentang relativisme dan dekonstruksinya, anak didik boleh

mengembangkan kreativitas intelektualitasnya secara bebas dan profesional. Guru

tidak harus menjadi ukuran kebenaran dalam ilmu, melainkan partner bagi anak didik
23

dalam memperoleh pengetahuan melalui pendidikan. Sebagai partner maka guru

harus mengembangkan kemampuan dasarnya, agar sesuai dengan kebutuhan

kurikulum lokal tersebut. Dan sekolah, berfungsi sebagai ruang kondusif dalam

sebuah komunikasi tanpa penguasaan. Meminjam istilah Habermas, sekolah dengan

demikian menjadi ruang terjadinya komunikasi yang emansipatif bagi anak didik.

Tampaknya ikhtiar ini terinspirasi oleh model gerakan postmodernisme, meski tidak

harus sama persis (Hidayat, 2006).


24

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversial. Postmodernisme dapat

bermakna gaya berpikir yang lahir sebagai reaksi terhadap pemikiran modernisme

yang dianggap mengalami banyak kekurangan dan menyebabkan berbagai

masalah kemanusiaan. Dapat bula bermakna lebih luas, bahwa postmodernisme

adalah kebangkitan lagi tradisionalisme, yakni membangkitkan lagi cara-cara

tradisional untuk mereaksi modernisme. Menurut Soyomukti (2015), karakteristik

dari postmodernisme ini ditandai dengan adanya kebebasan dan invidualisme

radikal serta relativisme.

2. Kaum postmodernis memiliki asumsi yang hampir sama dengan pendidikan

liberalis, yaitu menekankan individualisme dengan menganggap bahwa tiap

individu memiliki makna yang berbeda-beda. Postmodernisme menginginkan

proses pendidikan yang menyenangkan dan membebaskan.

3. Postmodernisme menganggap pendidikan sama saja di tempat mana pun.

Kemungkinan perbedaan organisasi, administrasi, kebiasaan, dan tata cara

setempat dari pendidikan adalah rinciansementara intisarinya sama saja.

Postmodernis memandang tujuan pendidikan bukan mengubah realitas, melainkan


25

mencari makna atau mengubah makna tiap-tiap murid, mungkin juga guru.

Padahal makna yang dianggap menyenangkan atau baik bagi murid, belum tentu

hal itu sesuai dengan tujuan pendidikan.

4. Pedagogi postmodern adalah sebuah peluang untuk menata kembali sekolah

sebagai ruang publik yang demokratis. Pendidik pada zaman postmodern ini

harus mempunyai pemahaman yang lebih mendalam tentang ideologi yang

mempengaruhi pembentukan pengetahuan, resistensi terhadap kekuasaan,

identitas diri yang terbentuk dalam budaya dominasi, dan mencari pendekatan-

pendekatan baru untuk membebaskan pendidikan dari kungkungan struktur

kekuasaan.

B. Saran

Penyusun memberikan saran supaya makalah ini dapat dilengkapi pada

penulisan selanjutnya terutama penambahan pembeda dengan teori-teori pendidikan

sebelumnya, terutama perbedaannya dengan teori pendidikan liberal, sehingga

semakin jelas terhadap implikasi masing-masing teori pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai