Anda di halaman 1dari 36

PRESENTASI KECIL

UNSTABLE ANGINA PECTORIS

Disusunoleh :

oleh

Nur Indah Rahayu G4A015113


Fuad Anharuddin G4A015200
Revi Oktapratiwi G4A015203
Resty Kusdearis G4A017006

Pembimbing
dr. Rendi Asmara Sp. JP

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN
UNSTABLE ANGINA PECTORIS

oleh

Nur Indah Rahayu G4A015113


Fuad Anharuddin G4A015200
Revi Oktapratiwi G4A015203
Resty Kusdearis G4A017006

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di


bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan pada


Oktober 2017

Pembimbing,

dr. Rendi Asmara Sp. JP


BAB I
PENDAHULUAN

Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh


iskemia miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga
varian utama angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil), angina pektoris
prinzmetal (varian), dan angina pektoris tak stabil. Pada pembahasan ini akan
lebih difokuskan kepada angina pektoris tidak stabil. Penyakit kardiovaskular
merupakan penyakit tidak menular yang menyebabkan sebanyak >17 juta
kematian di dunia setiap tahun (30% dari semua kematian), 80% dari yang terjadi
pada negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, dan angka ini
diperkirakan akan meningkat menjadi 23,6 juta pada tahun 2030 (Wong, 2014).
Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2012
penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama dari seluruh
penyakit tidak menular dan bertanggung jawab atas 17,5 juta kematian atau 46%
dari seluruh kematian penyakit tidak menular. Dari data tersebut diperkirakan 7,4
juta kematian adalah serangan jantung akibat penyakit jantung koroner (PJK) dan
6,7 juta adalah stroke. Angina pectoris merupakan tanda klinis pertama pada
sekitar 50% pasien yan mengalamin penyakit jantung koroner. Angina pectoris
dilaporkan terjadi dengan rata-rata kejadian 1,5% tergantung pada jenis kelamin,
umur, pasien dan faktor resiko. Data dari studi Framingharm pada tahun 1970
dengan studi Kohort diikuti selama 10 tahun menunjukkan prevalensi sekitar
1.5% utuk wanita an 4.3% untuk pria berusia 50-59 tahun. American Heart
Association memperkirakan prevalensi angina pectoris mencapai 6,4 juta di tahun
1998 (Mendis, 2014).
Diketahui bahwa faktor risiko seseorang untuk terkena Sindrom Koroner
Akut (SKA) ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko. Pada 85%
orang yang menderita spasme arteri koroner ditemukan juga aterosklerosis.
Sekitar 10-15% dari penderita nyeri dada yang khas, spasme arteri koroner dapat
menjadi penyebab utama dari kekurangan oksigen (iskemik) dan dapat
menyebabkan rasa nyeri. Beberapa orang yang menderita angina dapat juga
ditemukan arteri koroner yang normal. Angina yang dirasakan tersebut
disebabkan karena konstriksi atau penyempitan dari katub aorta (Lee, Rotty,
Wantania, 2015).
BAB II
STATUS PENDERITA

A. Identitas pasien
Nama : Ny. EP
Usia: : 52 tahun
Alamat : Jl. Dr Gumbreg No. 874 Rt02/06 Mersi
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Tanggal masuk : 29-09-2017
Tanggal periksa : 02-10-2017
No. CM : 00-47-14-12

B. Anamnesis
1. Keluhan utama :
Nyeri dada sejak tadi malam
2. Keluhan tambahan :
nyeri dada menjalar ke punggung, sesak, mual (-), muntah (-), demam
(-)
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS pada hari jumat tanggal 29 Oktober
2017 dengan keluhan nyeri dada sejak 5 jam sebelum masuk rumah
sakit. Pasien merasakan nyeri menjalar sampai ke punggung belakang,
namun tidak menjalar ke lengan maupun rahang. Nyeri disertai dengan
sesak napas yang tidak membaik dengan perubahan posisi, sesak juga
tidak disertai dengan bunyi ngik-ngik, sesak tidak disertai dengan mual
(-), muntah (-), demam (-) maupun batuk (-). Nyeri dada semakin
dirasakan saat pasien melakukan aktivitas, berkurang saat pasien
beristirahat dan meminum obat ISDN, Nitrokaf dan Bisoprolol. Nyeri
dada dirasakan pasien secara terus menerus hingga mengganggu tidur
pasien. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan mengaku rutin
kontrol ke poli jantung, selain itu pasien memiliki riwayat
Dislipidemia.
Buang air kecil (BAK) pasien lancar dan normal, volume tiap kali
BAKsekitar 1 gelas belimbing berwarna kuning. Pasien menyangkal
BAKseperti teh maupun warna BAK yang keruh. Frekuensi BAK
pasien juganormal, tiap harinya saat ini sekitar 3-4 kali per hari. Pasien
menyangkalnyeri saat BAK maupun BAK berdarah. Buang air besar
(BAB) pasiennormal tiap hari. BAB tidak berwarna hitam, tidak
seperti dempul, tidakkeras dan tidak juga cair. Pasien juga menyangkal
adanya gusi berdarahmaupun mimisan.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan sama : disangkal
b. Riwayat Hipertensi : disangkal
c. Riwayat Sakit Jantung :+
d. Riwayang kencing manis : disangkal
e. Riwayat penyakit hati : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat dislipidemia :+
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat keluhan sama : disangkal
b. Riwayat Hipertensi : disangkal
c. Riwayat Sakit Jantung : disangkal
d. Riwayang kencing manis : disangkal
e. Riwayat penyakit hati : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
g. Riwayat asma : disangkal
h. Riwayat mondok : disangkal
6. Riwayat sosial ekonomi
a. Lingkungan
Pasien tinggal di Mersi, Purwokerto bersama suami dan kedua
anaknya di lingkungan padat penduduk. Rumah satu dengan yang
lain berdekatan. Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga
baik. Di lingkungan rumah tidak ada yang memiliki keluhan yang
sama serta tidak ada yang di rawat di RS sebelumnya dengan
penyakit yang sama.
b. Rumah
Pasien tinggal di rumah bersama suami dan kedua anaknya. Rumah
pasien terdiri dari 3 kamar tidur, 1 dapur dan 1 kamar mandi yang
terletak di dalam rmah.
c. Occupational
Pasien seorang ibu rumah tangga
d. Personal habit
Pasien makan 3 kali sehari dengan menu bervariasi. Pasien
mengaku tidak pernah berolahraga.
e. Biaya pengobatan
Pasien berasal dari keluarga menengah. Sumber pembiayaan
dnegan menggunakan BPJS Non-PBI.

C. Pemeriksaan fisik
Dilakukan di bangsal PSR bawah RSMS, 02 Oktober 2017
1. Keadaan umum : Tampak sakit Sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda vital :
Tekanan darah :120/90 mmHg
Nadi : 75 x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36.2 C
4. BB : 60 kg
5. TB : 155 cm
6. Status Gizi (BMI) : 25
7. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
Bentuk : mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-/-)
Rambut : tidak mudah dicabut, distribusi merata
Mata : conjungtiva anemins (-/-), sklera ikterik (-/-),
edema palpebra (-/-), reflek cahaya (+/+) normal,
pupil bulat isokor, diameter 3mm/3mm
THT : discharge (-), napas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-), lidah kotor (-)
Leher : deviasi trakea (-), tidak teraba pembesaran tiroid

b. Pemeriksaan dada
Paru
Inspeksi : Dinding dada simetris, tidak tampak ketinggalan
hemithoraks dextra dan sinistra, kelainan dada (-),
retraksiinterkostalis (-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
Ronki basah halus (-/-)
Ronki basah kasar (-/)
Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis di SIC V 2 jari lateral LMCS
Pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Ictus cordis di SIC V 2 lateral LMCS
Perkusi : batas jantung
kanan atas : SIC II LPSD
kiri atas : SIC II LPSS
kanan bawah : SIC IV LPSD
kiri bawah : SIC V 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) N
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-) epigastrik, test undulasi (-),
hepatojugular refleks (-)
Hepar dan lien : Sulit dinilai
Renal : Nyeri ketok kosto vertebrae (-)
Ekstremitas :
Ektremitas Ektremitas
superior Sinistra inferior Sinistra
Dextra Dextra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek
+ + + +
fisiologis
Reflek
- - - -
patologis

D. Pemeriksaan penunjang
29-09-2017 01-10-2017
Hemoglobin 12.5
Leukosit 8940
Hematokrit 38
Eritrosit 4.4
Trombosit 219.000
MCV 87.2
MCH 28.6
MCHC 32.8
MPV 12.4 H
Hitung Jenis
Basofil 0.5
Eosinofil 9.3 H
Batang 0.6 L
Segmen 60.7
Limfosit 23.8 L
Monosit 5.1
Kimia klinik
CK 194 H
CKMB 49 H
Kreatinin 0.66
Ureum darah 21.2
GDS 86
Natrium 144
Kalium 3.5
Klorida 112 H
Kimia klinik
Kolesterol total 158 L
Trigliserid 97
HDL Kolesterol 47.0
LDL Kolesterol 93.3
Sero Imunologi
Troponin I < 0.01
Catatan perkembangan kondisi pasien :
tgl Subjektif Objektif Assessment Planning
02/10/ Nyeri dada TD : Unstable Aristra 1x2 (H-3)
2017 berkurang, 131/78 Angina Aspilet 1x80 mg
sesak N : 100 Pectoris, Riw. CPG 1x75 mg
berkurang x/menit Dislipidemia Simvastatin 1x20 g
ISDN 3x50 g
RR : 22 Alprazolam 1x2.5 g
x/menit Concor 1x2.5mg
S: 36.1 Pindah ruangan
03/10/ Nyeribe dada TD : Unstable Aristra 1x2 (H-4)
2017 (-), pusing 120/90 Angina (terakhir)
HP 2 (+), mual (-), Pectoris, Aspilet 1x80 mg
muntah (-), N : 80 Dislipidemia CPG 1x75 mg
nafsu makan x/menit Simvastatin 1x20 g
menurun, ISDN 3x50 g
RR : 20 Alprazolam 1x2.5 g
x/menit Betahistin 2x6 g
mobilisasi
S: 36.3
04/10/ Agak pusing, TD : Unstable Aspilet 1x80 mg
2017 nafsu makan 120/80 Angina CPG 1x75 mg
HP 3 meningkat, Pectoris, Simvastatin 1x20 g
keluhan N : 80 Dislipidemia ISDN 3x50 g
berkurang x/menit Alprazolam 1x2.5 g
Betahistin 2x6 g
RR : 22 mobilisasi
x/menit

S: 36.1
E. Diagnosa
Unstable Angina Pectoris
Dislipidemia
F. Tatalaksana
Farmakologi:
a. Aristra 1x2 (H-4) (terakhir)
b. Aspilet 1x80 mg
c. CPG 1x75 mg
d. Simuastatin 1x20 g
e. ISDN 3x50 g
f. Alprazolam 1x2.5 g
g. Betahistin 2x6 g

Non-farmakologi:
a. Mobilisasi

h. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam
BAB III
Tinjauan Pustaka

A. Definisi
Angina pektoris tidak stabil merupakan salah satu dari manifestasi akut
plak ateroma pembuluh darah koroner yang menyumbat pembuluh darah pada
jantung sehingga terjadi iskemia pada sel otot jantung. Manifetasi akut tersebut
disebut sebagai Sindrom Koroner Akut (SKA) (PERKI, 2015).

B. Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit jantung koroner (infark miokard) dibagi menjadi
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dapat dimodifikasi, dan faktor
risiko lainnya. Faktor risiko mayor yang tidak dapat dimodifikasi terdiri atas:
usia 45 tahun pada pria dan 55 tahun pada wanita, riwayat sakit jantung
dini pada keluarga dimana ayah atau saudara laki-laki didiagnosis mengalami
sakit jantung sebelum usia 55 tahun dan ibu atau saudara perempuan
didiagnosis mengalami sakit jantung sebelum usia 65 tahun, dan perbedaan ras.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi terdiri atas: kadar kolesterol darah tinggi,
hipertensi, merokok, Diabetes Mellitus, obesitas, kurangnya aktivitas fisik,
sindroma metabolik, stres, dan depresi. Sedang faktor risiko lainnya terdiri
atas: peningkatan kadar CRP di darah, peningkatan lipoprotein a, peningkatan
homosistein, aktivator plasminogen jaringan, fibrinogen, dan berbagai faktor
lain seperti end-stage renal disease (ESRD), penyakit inflamasi kronik yang
mempengaruhi jaringan ikat seperti lupus, rheumatoid arthritis,
infeksi HIV/AIDS, dan highly active antiretroviral therapy (HAART).
Sebagian faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan dapat dimodifikasi
disebut juga faktor risiko mayor (Boudi, 2015).
Gambar 2. 1 Faktor Risiko Coronary Artery Disease(Boudi, 2015)

C. Patofisiologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis
yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit
aterosklerosis ditandai dengan pembentukan bertahap fatty plaque di dalam
dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga
diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke
distal dari tempat penyumbatan terjadi (Ramrakha, 2006). Salah satu hipotesis
yang menerangkan tentang proses terbentuknya aterosklerosis adalah
mengenai response to injure hypothesis yaitu sebagai berikut (Darmawan,
2010):
1. Endothelial injure
Endotelial yang intak dan licin berfungsi sebagai barrier yang
menjamin aliran darah koroner lancar. Faktor risiko yang dimiliki pasien
akan memudahkan masuknya lipoprotein densitas rendah (Low Density
Lipoprotein/LDL) yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding
arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit dan
jaringan ikat (collagen), menyebabkan terjadinya penempelan platelet
(platelet adherence) dan agregasi trombosit (trombosit agregation).
2. Fatty Streak Formation
Pembentukan fatty streak merupakan pengendapan kolesterol-
kolesterol yang telah dioksidasi dan makrofag di bawah endothelium
arteri. LDL dalam darah akan menyerang endotel dan dioksidasi oleh
radikal-radikal bebas pada permukaan endotel. Lesi ini secara makroskopik
berbentuk bercak berwarna kekuningan, terdiri dari sel-sel otot polos dan
makrofag yang mengandung lipid terutama dalam bentuk ester cholesterol
yang disebut foam cells.
3. Fibrosis Plaque Formation
Pembentukan plak fibrosis terdiri atas inti kolesterol dan tutup
jaringan ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe
yaitu Stable fibrous plaque dan Unstable fibrous plaque.

Gambar 2. 2Patofisiologi aterosklerosis

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh


darahkoroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang
dinamisdapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot
jantung(miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan
kontraktilitasmiokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemiahilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk,
ukuran danfungsi ventrikel). Sebagian pasien mengalami SKA karena
obstruksi dinamis akibatspasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Penyempitanarteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan olehprogresi plak atau restenosis setelah
Intervensi Koroner Perkutan (IKP).Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi,takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telahmempunyai plak aterosklerosis
(PERKI, 2015).
Dalam memahami patofisiologi penyakit jantung koroner maka perlu
diketahui terlebih dahulu faktor yang mempengaruhi supply dan demand
dari konsumsi oksigen miokardium. Aliran darah ke otot jantung (supply)
bergantung pada kandungan oksigen dalam darah dan aliran darah koroner.
Kandungan oksigen dalam darah ini ditentukan oleh kadar Hb dan tingkatan
oksigenasi sistemik. Sedangkan aliran darah koroner ditentukan secara
berbanding lurus dengan tekanan perfusi, dan berbanding terbalik dengan
resistensi vaskular. Koroner, tidak seperti pembuluh darah lain, mendapat
aliran darah saat fase diastolik. Hal ini disebabkan aliran koroner terhambat
akibat kompreksi eksternal ventrikel saat fase sistolik, jadi tekanan perfusi
koroner ditentukan oleh tekanan diastolik aorta. Sedangkan resistensi
vaskular di koroner tergantung: (1) Faktor kompresi eksternal (kontraksi
ventrikel/sistol) dan (2) Faktor intrinsik (Naik et al, 2007).
Faktor intrinsik akan mempengaruhi tonus koroner, dimana
komponennya terdiri dari metabolit lokal, derivat endotel, dan innervasi
autonom. Metabolit lokal memengaruhi tonus koroner secara lokal untuk
meningkatkan supply oksigen miokardium untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme seluler, jadi ketika terjadi hipoksemia (akan terjadi pergeseran
dari metabolisme aerob ke anaerob), ATP tidak cukup dihasilkan dan
akibatnya terjadi akumulasi adenosin (hasil degradasi AMP dan ADP yang
tidak dimodifikasi menjadi ATP), yang merupakan vasodilator poten,
sehingga suplai oksigen ke jaringan masih dapat dipertahankan. Selain itu
ada pula faktor-faktor yang diproduksi endotel yaitu NO, prostasiklin, dan
endothelium-derived hyperpolarizing factor (EDHF), yang ketiganya
merupakan vasodilator dan Entothelin 1 yang merupakan vasokontriktor.
Dalam keadaan normal koroner akan cenderung menjadi vasodilatasi (NO
dan prostasiklin akan mendominasi endothelin 1), hal ini tidak akan terjadi
apabila terjadi disfungsi endotel akibat berbagai faktor. Dan yang terakhir
adalah adanya persarafan dari simpatis dan parasimpatis, yang dalam
keadaan normal simpatis mendominasi. Arteri koroner mempunyai reseptor
alpha (vasokonstriksi) dan beta-2 (vasodilatasi). Jadi ketiga faktor tersebut
menghasilkan suatu keseimbangan tonus vaskular, misalnya ketika terjadi
respon stres (katekolamin) akan terjadi perangsangan reseptor alpha
(vasokonstriksi), kemudian beta-1 (inotropik positif) yang keduanya akan
meningkatkan demand yang nantinya akan merangsang pembentukan
metabolit lokal berupa vasodilator sehingga akan tetap dalam keadaan
vasodilatasi untuk menjamin aliran darah koroner/supply (Naik et al, 2007).
Kebutuhan oksigen miokardium (demand) dipengaruhi oleh 3
komponen, yaitu: (1) stress dinding ventrikel, (2) Heart Rate/kronotropik,
dan (3) kontraktilitas/inotropik, dimana ketiga faktor ini akan meningkatkan
kebutuhan terhadap oksigen, serta dalam jumlah kecil oksigen dibutuhkan
untuk pembentukan energi metabolisme basal dan aktivitas listrik jantung.
Stress dinding ventrikel dipengaruhi secara lurus oleh tekanan intraventrikel
dan radius ventrikel, serta berbanding terbalik dengan ketebalan dinding
ventrikel. Dalam keadaan normal ketiga kebutuhan ini difasilitasi oleh
faktor penentu tonus koroner, sehingga akan tercapai keseimbangan agar
miokardium mendapat cukup nutrisi dan oksigen. Tetapi ketika ada
penyumbatan akibat plak aterosklerosis/stenosis, akan terjadi imbalans
antara supply dan demand oksigen terhadap miokardium, ditambah lagi
dengan kondisi disfungsi endotel yang akan memperparah mekanisme
kompensasi supply oksigen ke miokardium. Jadi patofisiologi iskemia pada
penyakit jantung koroner tidak hanya akibat penurunan aliran darah koroner
akibat penyempitan (mekanikal) tetapi juga akibat gangguan keseimbangan
tonus koroner (kimiawi) yang keduanya akibat proses aterosklerosis (Naik
et al, 2007).

Tabel 2. 1Faktor-faktor yang mempengaruhi supply dan demand(Naik et al,


2007).
Supply Demand
Konten oksigen darah Stress dinding ventrikel
Tekanan Perfusi Koroner Heart Rate/kronotropik
Resistensi vaskular koroner Kontraktilitas/inotropik
- Kompresi Eksternal
- Regulasi intrinsik (metabolit
lokal, derivat endotel, dan
innervasi autonom)

D. Penegakan Diagnosis
Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard
non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang
dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan
marka jantung. Jika marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI;
jika tidak meningkat, diagnosis mengarah UAP. Sebagian besar pasien
NSTEMI akan mengalami evolusi menjadi infark miokard tanpa gelombang Q.
Dibandingkan dengan STEMI, prevalensi NSTEMI dan UAP lebih tinggi, di
mana pasien-pasien biasanya berusia lebih lanjut dan memiliki lebih banyak
komorbiditas. Selain itu, mortalitas awal NSTEMI lebih rendah dibandingkan
STEMI namun setelah 6 bulan, mortalitas keduanya berimbang dan secara
jangka panjang, mortalitas NSTEMI lebih tinggi. Strategi awal dalam
penatalaksanaan pasien dengan NSTEMI dan UAP adalah perawatan dalam
Coronary Care Units, mengurangi iskemia yang sedang terjadi beserta gejala
yang dialami, serta mengawasi EKG, troponin dan/atau CKMB.
1. Presentasi klinik. Presentasi klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya
berupa:
a. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh
sebagian besar pasien (80%)
b. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovascular Society. Terdapat pada 20% pasien.
c. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau
kresendo): menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat;
minimal kelas III klasifikasi CCS.
d. Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah
infark miokard
Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina ekuivalen,
terutama
pada wanita dan kaum lanjut usia. Keluhan yang paling sering dijumpai
adalah awitan baru atau perburukan sesak napas saat aktivitas. Beberapa
faktor yang menentukan bahwa keluhan tersebut presentasi dari SKA adalah
sifat keluhan,riwayat PJK, jenis kelamin, umur, dan jumlah faktor risiko
tradisional. Angina atipikal yang berulang pada seorang yang mempunyai
riwayat PJK, terutama infark miokard, berpeluang besar merupakan
presentasi dari SKA. Keluhan yang sama pada seorang pria berumur lanjut
(>70 tahun) dan menderita diabetes berpeluang menengah suatu SKA.
Angina equivalen atau yang tidak seutuhnya tipikal pada seseorang tanpa
karakteristik tersebut di atas berpeluang kecil merupakan presentasi dari
SKA (Tabel 3).
2. Pemeriksaan fisik. Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk
menegakkan diagnosis banding dan mengidentifikasi pencetus. Selain itu,
pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan keluhan angina (anamnesis),
dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri dada sebagai
representasi SKA.
3. Elektrokardiogram. Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit
sejak kontak medis pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan
hasil EKG sebelumnya dapat sangat membantu diagnosis. Setelah
perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman
EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai
pada pasien NSTEMIdan UAP antara lain:
a. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan
elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
b. Gelombang Q yang menetap
c. Non-diagnostik
d. Normal
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan
kemungkinandiagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat
iskemia tersembunyidi daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan,
oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu dipertimbangkan pemasangan
sadapan tambahan.Depresi segmen ST 0,5 mm di dua atau lebih sadapan
berdekatan sugestifuntuk diagnosis UAP atau NSTEMI, tetapi mengingat
kesulitan mengukurdepresi segmen ST yang kecil, diagnosis lebih relevan
dihubungkan dengandepresi segmen ST 1 mm. Depresi segmen ST 1 mm
dan/atau inversigelombang T2 mm di beberapa sadapan prekordial sangat
sugestif untukmendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat peluang tinggi).
Gelombang Q0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau inversi
gelombangT menunjukkan tingkat persangkaan terhadap SKA tidak tinggi
sehingga diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA
atauDefinitif SKA (Gambar 2. 3).
Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainannon-diagnostik,
sementara angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 20 menit
kemudian (rekam juga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik dan marka jantung
negatifsementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien
dipantau selama12-24 jam untuk dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap
terjadi anginaberulang.Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan
EKG, misalnya depresisegmen ST dan/atau inversi gelombang T yang
signifikan, maka diagnosis UAPatau NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun
demikian, depresi segmen ST yangkecil (0,5 mm) yang terdeteksi saat nyeri
dada dan mengalami normalisasisaat nyeri dada hilang sangat sugestif
diagnosis UAP atau NSTEMI. Stress testdapat dilakukan untuk provokasi
iskemia jika dalam masa pemantauan nyeridada tidak berulang, EKG tetap
nondiagnostik, marka jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal
jantung. Hasil stress test yang positif meyakinka diagnosis atau
menunjukkan persangkaan tinggi UAP atau NSTEMI. Hasil stresstest
negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan dan dilanjutkan
denganrawat jalan (Gambar 2.3).
4. Marka jantung. Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emasdalam
diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebutakan
terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T
untukdiagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain yaitu
keluhanangina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika
marka jantungmeningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of
normal, ULN).Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang
seyogyanyamempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan
angina.Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai
untukmenyingkirkan diagnosis infark miokard akut.Kadar troponin pada
pasien infark miokard akut meningkat di dalam darahperifer 3 4 jam
setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu.Peningkatan ringan
kadar troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3hari, namun bila
terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap hingga2 minggu
(Gambar 2).
Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai
ambangpeningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal
yangditetapkan oleh laboratorium setempat.Perlu diingat bahwa selain
akibat STEMI dan NSTEMI, peningkatan kadar troponin juga dapat terjadi
akibat:
a. Takiaritmia atau bradiaritmia berat
b. Miokarditis
c. Dissecting aneurysm
d. Emboli paru
e. Gangguan ginjal akut atau kronik
f. Stroke atau perdarahan subarakhnoid
g. Penyakit kritis, terutama pada sepsis
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB
dapatdigunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam,
mencapaipuncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.
Gambar 2.3 Waktu Timbulnya Berbagai Jenis Marker Jantung

5. Pemeriksaan Noninvasif. Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat


istirahat dapat memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan
berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia
segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi
normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding seperti
stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi
melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat
darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien
tersangka SKA. Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas
sebelumnya dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK
obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal dan
marka jantung yang negatif.Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat
digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien
dengan kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan
troponin dan EKG tidak meyakinkan.
6. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner). Angiografi koroner
memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan PJK,
sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien
dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan
oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting
pada pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin
namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostik. Pada pasien dengan
penyakit pembuluh multipel dan mereka dengan stenosis arteri utama kiri
yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang serius,
angiografi koroner disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan
dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi
penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas
yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang
mengesankan adanya trombus intrakoroner.

E. Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan AMI adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi anti-trombotik dan anti-platelet,
serta memberikan obat penunjang (Fauci et al., 2011). Tujuan penatalaksanan
dari STEMI adalah reperfusi untuk memulihkan oksigenasi dan suplai substrat
metabolik akibat oklusi trombotik persisten di arteri koroner (Antman, 2008).
Tatalaksana awal di ruang emergensi (10 menit pertama setelah pasien
datang) adalah sebagai berikut (PERKI, 2015; Dharma, 2009):
1. Tirah baring (bed rest total)
2. Oksigen 4 L/menit (saturasi O2 dipertahankan > 90%)
3. Aspirin 150-300 mg (dikunyah) dilanjutkan dengan 75-100 mg per hari
4. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a) Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari, atau
b) Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik)
5. Nitrat 5 mg sublingual (dapat diulang 3 kali) lalu drips bila masih nyeri
6. Morfin sulfat 1-5 mg IV, dapat diulang setiap 10-30 menit, bila nyeri tidak
teratasi dengan nitrat
7. Tentukan pilihan revaskularisasi (memperbaiki aliran darah koroner)
dan reperfusi miokard harus dilakukan pada pasien STEMI akut
dengan presentasi 12 jam.

Gambar 2.4 Algoritma Evaluasi dan Tatalaksana SKA

Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk


dilakukan strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi
invasif melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan
tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi
ditentukan berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori,
yaitu:
a. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent). Dilakukan bila pasien memenuhi
salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very high risk) (Tabel 10)
b. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam, dilakukan bila pasien memiliki
skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria risiko tinggi (high risk)
primer.
c. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam, dilakukan bila pasien memenuhi
salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) atau dengan gejala berulang
d. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi
elektif.Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan
secara rutin.
Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko
tinggi dan dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut
ini:
a. Nyeri dada tidak berulang
b. Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung
c. Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6
hingga 9)
d. Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6 hingga
9)
e. Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)
Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti GRACE dan TIMI juga
dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan strategi
konservatif. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini berdasarkan
evaluasi PJK. Sebelum dipulangkan, dapat dilakukan stress test untuk
menentukan adanya iskemi yang dapat ditimbulkan (inducible) untuk
perencanaan pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi elektif. Risk Score
>3 menurut TIMI menunjukkan pasien memerlukan revaskularisasi. Timing
revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan penjelasan di atas.
a. Antiplatelet
1) Aspirin
Aspirin merupakan golongan anti-platelet dengan mekanisme produksi
inhibitor total thromboxan A2. Dosis awal yang harus diberikan adalah
150 mg sampai 300 mg dan dilanjutkan dalam jangka waktu tidak
terbatas dengan dosis harian 75100 mg. Kontraindikasi dalam
pemberian aspirin meliputi pasien yang mengalami hipersensitivitas,
perdarahan aktif pada saluran pencernaan atau penyakit hepar kronis.
2) Clopidogrel
Clopidogrel berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien dengan
hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI
yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik. Dosis loading awal
yaitu 300 mg yang dilanjutkan dengan dosis harian sebesar 75 mg. Pada
pasien dengan PCI, disarankan untuk pemberian dosis loading sebesar
600 mg bertujuan untuk mencapai lebih cepat penghambatan fungsi
trombosit. Pemberian clopidogrel secara maintenance diberikan selama
12 bulan kecuali jika didapatkan adanya risiko perdarahan masif.
b. Anti Koagulan
Terapi antikoagulan pada pasien STEMI diberikan salah satu tujuannya
adalah mendukung terapi PCI dan trombolitik untuk meningkatkan
pantensi awal koroner dan mengurangi reoklusi.
1) Unfractionated Heparin (UFH)
Heparin merupakan mukopolisakarida heterogen yang berinteraksi
dengan antitrombin III dengan meningkatkan efek penghambatan
terhadap thrombin. UFH membantu trombolisis dan memantapkan
serta mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang
direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maks 4000U) dilanjutkan
infus inisial 12 U/kg perjam (maks 1000 U/jam). Activated partial
thromboplastin time (APTT) selama terapi pemeliharaan harus
mencapai 1,5-2 kali.
2) Bivalirudin
Bivalirudin merupakan inhibitor thrombin yang diindikasikan untuk
digunakan selama PCI. Dosis awal yang diberikan IV melalui bolus
0,75 mg/kgBB/jam selama durasi prosedur PCI serta dapat
dilanjutkan sampai 4 jam post-PCI dengan dosis 1,75 mg/kgBB.

Gambar 2.5Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA (PERKI, 2015)

c. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik
ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek
lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal
maupun yang mengalami aterosklerosis.

Gambar 2.6Jenis dan dosis nitrat untuk IMA (PERKI, 2015)

d. Beta blocker
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu
manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang
diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan
sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan
suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi
luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang
serius (Sudoyo, 2010).
Gambar 2.7Jenis dan dosis beta blocker untuk IMA (PERKI, 2015)

e. ACE-inhibitor dan Angiotensin Receptor Blocker


Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitorberguna dalam
mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita
pasca-infark miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung,
dengan atau tanpa gagal jantung klinis. ACE inhibitor diindikasikan
penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada kontraindikasi, pada
pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40% dan pasien dengan
diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK).
Angiotensin Receptor Blocker diindikasikan bagi pasien infark
mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi
ejeksi ventrikel kiri 40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal
jantung.

Gambar 2.8Jenis dan dosis ACE inhibitor untuk IMA (PERKI, 2015)

f. Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin


mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada
SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai
efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek
dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi
koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan
dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina
vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI
umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta
dalam mengatasi keluhan angina.
1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi
pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta.
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI
dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta.
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti terapi penyekat beta.
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik.
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release)
tidakdirekomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta

Gambar 2.9 Jenis dan dosisi penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA
(PERKI,2015)

g. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase
(statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk
mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat
indikasi kontra. Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum
pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar
kolesterol LDL <100 mg/dL Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai
<70 mg/dL mungkin untuk dicapai.

I. KESIMPULAN

1. Sindrom koroner akut terdiri dari unstable angina, NSTEMI dan STEMI.
2. Lima hal yang diperlukan saat penanganan STEMI pada 10 menit pertama
adalahOksigen, Morfin, Nitrat, Aspirin dan Clopidogrel,
Daftar Pustaka

Antman EM, Hand M, Armstrong PW. 2008. Focused Update of the ACC/AHA
2004 Guidelines for the Management of the Patients with ST-Elevation
Myocardial Infarction: A Report of the American College of Cardiology
American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. AHA J.,
51: 21047.

Boudi AF. 2015. Risk Factors for Coronary Artery Disease. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/164163-overview.

Darmawan A. 2010. Penyakit Jantung Koroner. Yogyakarta: FK Universitas


Muhammadiyah.

Dharma S. 2009. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta: EGC.

Fauci A, Kasper D, Longo D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. 2011. Harrison's


Principles of Internal Medicine, 18th Edition. New York: McGraw-Hill.

Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. 2008. Braunwalds Heart Diseases: A
Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier.

Naik H, Sabatine MS, Lilly LS. 2007. Pathophysiology of Heart Disease. USA:
Lippicott Williams & Wilkins.

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Perhimpunan


Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Lampiran 1. Skor risiko perdarahan CRUSADE dan stratifkasi risiko berdasarkan
CRUSADE score
Lampiran 2. TIMI score
Lampiran 3 GRACE score dan KILLIP score

Anda mungkin juga menyukai