Anda di halaman 1dari 13

INTELEGENSI

ALFRED BINET DAN EDWARD L. THORNDIKE

Disusun Oleh:

Kelompok 1
1. Ami Purnama (14350009)

2. Tanti Yusnita (14350105)

3. Aria Putri Yones (1513500006)

4. Meitri Anandia S (1513500019)

5. Shintia Miwiarpi (1513500032)

6. Ari Putra Pratama (1523500043)

PRODI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2017
Kata inteligensi merupakan kata yang cukup sering terdengar untuk
menggambarkan kecerdasan seseorang. Namun, terdapat beberapa perbedaan
pendapat diantara para pakar dan beberapa referensi mengenai definisi ini. Hal
yang harus dipahami adalah banyaknya faktor yang mempengaruhi seseorang
untuk mendefinisikan kata inteligensi ini. Faktor itu dapat berupa pengalaman
hidup, latar belakang pendidikan, kebudayaan, suku, agama, lokasi, dan lain-lain.1
Adapun beberapa perbedaan pendapat diantara para pakar dan beberapa referensi
mengenai definisi inteligensi ini, diantaranya yaitu:

1) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, inteligensi adalah daya reaksi


atau penyesuaian yang cepat dan tepat, baik secara fisik maupun mental,
terhadap pengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yang
telah dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan pada fakta atau
kondisi baru.2
2) Menurut Piaget adalah suatu tindakan yang menyebabkan terjadinya
perhitungan atas kondisi-kondisi yang secara optimal bagi organisme
dapat hidup berhubungan dengan lingkungan secara efektif.3
3) Menurut Feldam, kecerdasan merupakan kemampuan untuk memahami
dunia, berpikir secara rasional dengan menggunakan sumber-sumber atau
referensi secara efektif pada saat menghadapi sebuah tantangan.
4) Menurut M Dalyono, inteligensi adalah kemampuan yang bersifat umum
untuk mengadakan penyesuaian terhadap sesuatu situasi atau masalah,
yang meliputi berbagai jenis kemampuan psikis seperti: abstrak, berpikir
mekanis, matematis, memahami, mengingat, berbahasa, dan sebagainya.
Inteligensi juga dapat diartikan sebagai kemampuan yang dibawa sejak
lahir, yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara
tertentu.

1
Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated
Learning, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 217.
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), Ed. 3, hlm. 483.
3
Uno Hamzah B., Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal.
59.
5) Gardner juga memberikan definisi lain tentang kecerdasan, yaitu bahwa
kecerdasan adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk memecahkan
masalah, mengembangkan masalah baru yang hadir untuk dipecahkan,
kemudian mengambil hikmah atau pelajaran yang bermanfaat dari
masalah-masalah yang dihadapi untuk kehidupannya.4 Berdasarkan
beberapa definisi tentang inteligensi di atas, dapat disimpulkan bahwa
inteligensi adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir yang dapat
digunakan untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan baru dengan
menggunakan alat-alat berpikir yang sesuai dengan tujuanya.

Kecerdasan sangat mempengaruhi perkembangan individu seseorang.


Dalam kesehariaanya terlihat perbedaan kemampuan dalam pelaksanaan kegiatan
sehari-hari dan dalam menyelesaikan masalah.5 Bagi anak-anak yang memiliki
tingkat kecerdasan diatas rata-rata maka ia dapat melaksanakan dan
menyelesaikan tugas dengan cepat dan berhasil. Akan tetapi sebaliknya, jika
seorang anak memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata, ia akan sulit untuk
melaksanakan tugasnya. Dalam Islam, konsep mengenai inteligensi, disebutkan
dalam surat al-Isra ayat 70 sebagai berikut:
Dan sungguh, Kami telah muliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka
di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka diatas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan
yang sempurna. (Q.S. Al-Isra/17: 70).6
Allah memuliakan Bani Adam yaitu manusia dari makhluk-makhluk yang
lain, baik malaikat, jin, semua jenis hewan, dan tumbuh-tumbuhan, kelebihan
manusia dari makhluk-makhluk yang lain berupa fisik maupun non fisik.7
Sedangkan Rasulullah sendiri mengartikan cerdas dengan menggunakan kata al-
kayyis sebagaimana dalam hadits berikut:

4
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakrya, 2007), hal. 96.
5
Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 269.
6
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya,(Edisi yang Disempurnakan), Jil. V, (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), hlm. 516.
7
RI, Al-Quran dan Tafsirnya, hlm. 517.
Dari Syaddad Ibn Aus, dari Rasulullah saw. bersabda: orang yang cerdas
adalah orang yang merendahkan dirinya dan beramal untuk persiapan sesudah
mati (H.R. AtTirmidzi).8
Perkembangan intelegensi tentunya terjadi terus-menerus mengikuti
perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, di dalam makalah ini akan dibahas
mengenai 2 tokoh penting yang mempengaruhi perkembangan intelegensi, yakni
Alfred Binet dan Edward Lee Thorndike.

A. ALFRED BINET
Teori Inteligennsi Binet
Alfred Binet (1857-1911) merupakan salah satu pelopor dalam pengukuran
inteligensi, seorang ahli psikologi berkebangsaan Perancis yang berpendapat
bahwa inteligensi bersifat monogenetik, yaitu berkembang dari satu faktor satuan
atau faktor umum (g) (Azwar, 2006). Sejak tahun 1904, Binet dan Henri telah
memikirkan untuk mengembangkan metode obyektif guna menyeleksi anak-anak
yang lambat mental, karena mereka dianggap memerlukan bantuan khusus dalam
proses pendidikan. Keduanya menulis serangkaian karangan dalam LAnnee
Psychologique.
Binet tidak memiliki teori inteligensi tertentu, tetapi ia bekerja di bidang tes-
tes yang menunjukkan sampel tingkah laku anak dan membedakan kemampuan
dari tingkat umur yang berbeda beda. Binet menemukan fakta bahwa pada setiap
tingkat umur beberapa anak lebih baik dari anak lainnya. Anak yang paling pandai
dalam tes disebut bright (pandai, cemerlang), sedangkan anak yang paling rendah
dalam tes disebutnya miskin. Menurut Binet, inteligensi merupakan sisi tunggal
dari karakteristik yang terus berrkembang sejalan dengan proses kematangan
seseorang.
Binet mendasarkan tesnya pada perbandingan anak tertentu dengan
kelompok umur anak tersebut. Seorang anak yang berada di atas rata-rata dalam
hal inteligensi dapat menjawab pertanyaan lebih banyak dari rata-rata anak dari
kelompok umurnya. Apabila ia dapat mengerjakan/menjawab pertanyaan sama

8
At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Beirut, Dar al-Arab al-Islami, 1998), Juz 4, hlm. 638.
dengan kelompok umurnya maka ia dianggap memiliki inteligensi rata-rata. Anak
yang performancenya di bawah rata rata dari kelompok umurnya maka ia
dianggap memiliki inteligensi di bawah rata rata.
Dari paparan di atas nampak bahwa Binet menggunakan umur mental
sebagai dasar untuk menentukan tingkat berfungsinya mental seorang anak.
Seorang anak dapat memiliki umur 10 tahun, tetapi ia memiliki umur mental 11
tahun jika ia dapat menjawab pertanyaan yang dapat dijawab oleh kelompok anak
yang berumur 11 tahun.
Di Amerika, tes Binet ini telah dikembangkan oleh Lewis Terman dari
Universitas Stanford dan diberi nama Tes Stanford Binet. Tes ini dapat digunakan
untuk semua anak yang mempunyai latar belakang berbeda beda. Tes ini biasa
disebut kemampuan untuk memikirkan hal hal abstrak. Definisinya digunakan
untuk dasar penyusunan item item tes.
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, merancang suatu alat
evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan
kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes
Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan
banyak perbaikan dari Tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah
menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio
(perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini
disebut Tes Stanford-binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh
psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal
dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan
untuk mengukur kecerdasan anak-anak samapai usia 13 tahun.
Tes Binet-Simon ini kemudin terkenal kemana-mana. Di Jerman, di Inggris,
dan terutama di Amerika, tes tersebut banyak di pergunakan dan diperbaharui atau
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan daerah masing-masing.
Orang yang terkenal dalam mengembangkan tes inteligensi ini antara lain
Bobertag (Jerman), Weahler (Inggris), dan Terman (Amerika).9
Binet dan rekan-rekan sekerjanya mencurahkan waktu bertahun-tahun untuk
penelitian aktif dan sederhana tentang cara-cara pengukuran intelegensi. Banyak
pendekatan telah dicoba,bahkan mencangkup pengukuran bentuk kranial
(tengkorak), muka, tangan,dan analisis atas tulisan tangan. Akan tetapi,hasil-
hasilnya menimbulkan keyakinan makin besar bahwa pengukuran yang langsung,
meskipun kasar, atas fungsi-fungsi intelektual yang kompleks membawa harapan
yang sangat besar lalu muncullah situasi tertentu yang memungkinkan usaha-
usaha binet segera menunjukkan hasil-hasil praktis. Pada tahun 1904, menteri
Pengajaran Umum menugaskan Binet pada komisi yang sudah disebut
sebelumnya guna mempelajari prosedur-prosedur untuk pendidikan anak-anak
yang terbelakang. Dalam kaitan dengan sasaran-sasaran komisi inilah, Binet
dalam kerja sama dengan Simon menyiapkan Skala Binet-Simon yang
pertama(1905).
Skala ini, yang dikenal sebagai skala 1905, terdiri dari 30 masalah atau tes
yang diatur dalam urutan tingkat kesulitan yang makin tinggi. Tingkat kesulitan
ditentukan secara empiris dengan menyelenggarakan tes pada 50 anak normal
berusia 3 sampai 11 tahun, dan pada skala ini, yang dikenal sebagai skala 1905,
terdiri dari 30 masalah atau tes yang diatur dalam urutan tingkat penelitian yang
makin tinggi. Tingkat kesulitan ditentukan secara empiris dengan
menyelenggarakan tes pada 50 anak normal berusia 3 sampai 11 tahun, dan pada
sejumlah anak bermental terbelakang dan orang dewasa. Tes-tes ini dirancang
untuk mencakup rentang fungsi-fungsi yang luas, dengan penekanan khusus pada
penilaian pemahaman dan penalaran yang dianggap binet sebagai komponen
hakimki intelegensi.
Pada skala kedua, atau skala 1908, jumlah tes ditingkatkan, sejumlah tes
yang tidak memuaskan dari skala terdahulu dihapus, dan semua tes
dikelompokkan ke dalam tingkat umur atas dasar kinerja dari 300 anak normal
berusia antara 3 sampai 13 tahun. Dengan demikian, pada level 3-tahun

9
Drs. Purwanto, M Ngalim, Psikologi Pendidikan. (Bandung: Rosdakarya, 2017). Hlm 57
ditempatkan semua tes yang sudah dilalui oleh 80 samapi 90% anak-anak normal
berusia 3 tahun, pada level 4-tahun, semua tes yang dilalui oleh anak-anak normal
4 tahun; dan seterusnya samapi usia 13 tahun. Skor anak pada seluruh tes bisa
dirumuskan sebagai tingkat mental yang berhubungan dengan usia anak-anak
normal yang kinerjanya ia samai. Dalam berbagai terjemahan dari skala Binet,
istilah usia mental umumnya digunakan untuk mengantikan tingkat mental
karena usia mental adalah konsep yang begitu sederhana untuk ditangkap,
introduksi istilah ini tak diragukan lagi amat berjasa mempopulerkan testing
inteligensi. Bagaimanapun juga, Binet sendiri menghindari istilah usia mental
karena implikasi perkembangan yang tak terverifikasi dan lebih menyukai istilah
tingkat mental (T.H. Wolf, 1973).
Revisi ketiga Binet-simon muncul pada tahun 1991, tahun meninggalnya
Binet pada usia yang masih muda. Dalam skala ini, tak dilakukan perubahan
fundamental. Yang dilakukan adalah revisi kecil dan relokasi atas tes-tes khusus.
Lebih banyak tes ditambahkan pada level beberapa tahun, dan skala ini diperluas
sampai pada level orang dewasa.10
Bahkan sebelum revisi 1908, tes-tes Binet-Simon menarik perhatian luas
para psikolog di seluruh dunia. Terjemahan dan adaptasi muncul di banyak
negara, termasuk di Amerika Serikat. Yang pertama dilakukan oleh H.H Goddard,
kemudian oleh psikolog riset di Vineland Training School (untuk anak-anak
bermental terbelakang). Revisi Goddard amat berpengaruh dalam penerimaan
testing inteligensia di kalangan profesi medis (zendrland, 1987). Revisi muncul
pada saat yang tepat untuk memenuhi kebutuhan urgen ukuran terstandarisasi
yang digunakan dalam rangka untuk mendiagnosa dan mengklafikasikan orang-
orang dengan mental terbelakang. Akan tetapi sebagai alat testing, revisi ini
segerah didahului oleh instrumen Standford-Binet yang lebih ekstensif dan lebih
baik secara psikometris, yang dikembangankan oleh L.M.Terman dan kolega-
kolegnya di Stanford University (Terman, 1916). Dalam tes inilah, kuonsien

10
Antasari Anne, Tes Psikologi Edisi Bahasa Indonesia Dari Psychological Testing, 7e. Jakarata: PT
Prenhallindo, 1997, hlm. 28-29.
inteligensia (IQ) atau nisbah antara usia mental dan usia kronologis, pertama kali
digunakan.
Kelebihan dan Kelemahan Teori Binet
Salah satu reaksi atas teori yang dikembangkan oleh Binet adalah bahwa
aspek yang diukur dalam tes yang berbasis teori Binet itu terlalu umum. Seorang
ahli psikologi dan psikometri, Charles Spearman mengemukakan bahwa
inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (General factor),
tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut teori dua
faktor (Two Factor Theory of Intelligence) yang telah dibahas pada artikel
sebelumnya (Perkembangan Teori Inteligensi (1)). Alat tes yang kemmudian
dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence
Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children)
untuk anak-anak.
Sejarah menuliskan bahwa Binet merupakan seorang pemancang tonggak
awal perkembangan tes-tes inteligensi modern di seluruh dunia. Binet membuat
alat yang dirancang untuk mengukur ketajaman bayanganm ketahanan, kualitas
perhatian, ingatan, kualitas penilaian moral dan estetika, serta kecakapan
menemukan kesalahan logika serta memahami kalimat-kalimat yang termasuk
dalam komponen-komponen umum berupa Arah, Adaptasi, dan Kritik dalam
definisi inteligensi. Temuanya inilah yang menjadi dasar teori yang berkembang
hingga menjadi faktor ganda.
B. EDWARD LEE THORNDIKE
Teori Multifaktor Thorndike
Thorndike, Bapak Psikologi Pendidikan yang juga tokoh aliran psikologi
fungsionalisme adalah penulis buku berjudul Animal Intelligence yang terbit pada
tahun 1911. Buku itu sendiri adalah perluasan dari disertasinya yang berjudul
Animal Intelligence. An experimental study of the associative. Process in animals
yang memberinya derajat doktor pada usia 24 tahun. Pada dasarnya teori thondike
menyatakan bahwa intelegensi terdiri atas berbegai kemampuan spesifik yang
ditampakkan dalam wujud perilaku inteligen. Oleh karena itu, teorinya
dikategorikan ke dalam teori inteligensi faktor ganda.
Formulasi teori thondike didasari oleh bukti-bukti riset. ia
mengklasifikasikan intelegensi kedalam tiga bentuk kemampuan, yaitu :
a) Kemampuan abstraksi yakni suatu kemampuan untuk bekerja dengan
menggunakan gagasan dan simbol-simbol.
b) Kemampuan mekanik yaitu suatu kemampuan untuk bekerja dengan
menggunakan alat-alat mekanis dan kemampuan untuk melakukan
pekerjaan yang memerlukan aktivitas indera gerak (sensori motor ), dan
c) Kemampuan sosial yaitu suatu kemampuan untuk menghadapi orang lain
di sekitar diri sendiri dengan cara-cara yang efektif.
ketiga bentuk kemampuan ini tidak terpisah secara eksklusif dan juga tidak selalu
berkorelasi satu sama lain dalam diri seseorang. Ada kelompok orang-orang yang
sangat cakap dalam kemampuan abstrak seperti halnya para akademis, akan tetapi
belum tentu semuanya memiliki kecakapan dalam bidang mekanik. Kadang-
kadang ada juga orang yang memiliki kecakapan tinggi dalam ketiga bentuk
kemampuan tersebut.

INTELIGENS
Abstrak
ksi
mekanik

sosial

Gambar 1. Tiga Komponen Inteligensi

Thorndike pecaya bahwa tingkat inteligensi terpenting pada banyaknya


natural connection atau ikatan syaraf antara rangkaian stimulus dan respon
dikarenakan adanya penguatan (reinfocement) yang dialami seseorang. Orang
yang telah memiliki banyak ikatan pada bidang inteligensi mekanik akan
meningkat kecakapannya pada bidang tersebut begitu juga pada bidang abstraksi
dan sosial.(wilson et al.1974).11
Menurut teori ini kecerdasan terdiri atas bentuk hubungan neoral,antara
stimulus dan respon. Hubungan neoural disini adalah jumlah koneksi aktual dan
12
potensial didalam sistem saraf. Tingkah laku seseorang tergantung atas
sejumlah hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam otak
dan susunan urat-urat saraf sesuatu yang mutlak harus ada bagi aktifitas
intelektualnya.13
Thorndike mengatakan bahwa kecerdasan terdiri atas sejumlah kemampuan
khusus, yang bisa digolongkan menjadi 3, yaitu:
1. Social intelegence merupakan kemampuan untuk bergaul secara efektif
dengan orang lain.
2. Mechanical intelegence merupakan kemampuan yang berhubungan
dengan kerja mekanik dan kerja yang ada hubungannya dengan indra
penggerak
3. Abstract intelegence merupakan kemampuan yang berhubungan dengan
idea dan simbol.
Thorndike mengatakan bahwa intelegensi terdiri atas sejumlah proses tak
terhingga,yang ada hubungannya dengan proses neourologis.14
Teori Conectionism (Thorndike)
Menurut teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini, setiap
organisme jika dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan tindakan-tindakan
yang sifatnya coba-coba secara membabi buta. Jika dalam usaha mencoba-coba
itu secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan situasi,
maka perbuatan yang kebetulan cocok itu kemudian dipegangnya. Karena

11
Dr. Saifudin Azwar, Pengantar Psikologi Inteligensi, (pencetak: pustaka pelajar offset, 2013), hal
16-17
12
Drs.M.Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta:PT. Rineka Cipta,1997), hal 185
13
Drs.H.Mustakim, Psikologi Pendidikan, (yogyakarta: Putaka Pelajar,2008), hal 107-108
14
Drs.Wasty Soemanto,M.Pd, Psikologi Pendidikan, ( Jakarta: Rieneka Cipta,2006), hal 144
latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melakukan
perbuatan yang cocok itu makin lama makin efisien.15
Sebagai contoh kami kemukakan disini percobaan thorndike dengan seekor
kucing yang dibuat lapar dimasukkan ke dalam kandang. Pada kandang itu dibuat
lubang pintu yang tertutup yang dapat terbuka jika suatu pasak di pintu itu
tersentuh. Di luar kandang diletakkan sepiring makanan (daging). Bagaiman
reaksi kucing itu? Mula-mula kucing itu bergerak ke sana-kemari mencoba-coba
hendak keluar melalui berbagai jeruji kadang itu. Lama kelamaan pada suatu
ketika secara kebetulan tersentulah tersentulah pasak lubang pintu oleh salah satu
kakinya. Pintu kandang terbuka, dan kucing itupun keluarlah menuju makanan.
Percobaan diulang lagi. Tingkah laku kucing itu pun pada mulanya sama
seperti percobaan pertama: Hanya waktu yang digunakan untuk bergerak ke sana-
kemari sampai dapat terbuka lubang pintu, menjadi makin singkat. Setelah
dilakukan secara berkali-kali, akhirnya kucing itu tidak lagi kian kemari mencoba-
coba, tetapi langsung menyentuh pasak pintu dan terus keluar mendapatkan
makanan.16 Karena adanya law of effect terjadilah hubungan (connection) atau
asosiasi antara tingkah laku atau reaksi yang dapat mendatangkan sesuatu dengan
hasilnya (effect). Karena adanya koneksi antara reaksi dengan hasilnya itu maka
teori Thorndike disebut jug a Connectionism.
Kelemahan dari teori ini ialah:
1. Terlalu memandang manusia sebagai mekanismus dan otomatisme belaka
disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah laku manusia yang
otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat
dipengaruhi secara trial and error. Trial and error tidak berlaku mutlak
untuk manusia.
2. Memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan
respons. Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat
asosiasi dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan terus-menerus.

15
Drs. Purwanto, M Ngalim, Psikologi Pendidikan.Hlm 98
16
Drs. Purwanto, M Ngalim, Psikologi Pendidikan.Hlm 99
3. Karena proses belajar berlangsung secara mekanistis, maka pengertian
tidak dipandang sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka
mengabaika pengertian sebagai unsur yang pokok dalam belajar.17

17
Drs. Purwanto, M Ngalim, Psikologi Pendidikan. (Bandung: Rosdakarya, 2017). Hlm 100
DAFTAR PUSTAKA

Anne,Antasari.1997.Tes Psikologi Edisi Bahasa Indonesia Dari Psychological


Testing, 7e.(Jakarata: PT Prenhallindo)
At-Tirmidzi.1998.Sunan at-Tirmidzi, Juz 4 (Beirut, Dar al-Arab al-Islami)

Azwar,Saifudin.2013.Pengantar Psikologi Inteligensi, (Jakarta: Pustaka Pelajar


Offset)

Dalyono,M.1997. Psikologi Pendidikan.(Jakarta:PT. Rineka Cipta)


Departemen Agama RI.2010.Al-Quran dan Tafsirnya.(Edisi yang
Disempurnakan), Jil. V, (Jakarta: Lentera Abadi)

Gunawan,Adi W.2006.Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk


Menerapkan Accelerated Learning.(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama)

Hamzah,Uno B.2008.Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran.(Jakarta:


Bumi Aksara)

M Ngalim,Purwanto.2017. Psikologi Pendidikan. (Bandung: Rosdakarya)


Mustakim,2008.Psikologi Pendidikan.(Yogyakarta: Putaka Pelajar)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.2005.Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(Jakarta: Balai Pustaka)

Shaleh,Abdul Rahman.2008.Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam.


(Jakarta: Kencana)

Sukmadinata,Nana Syaodih.2007.Landasan Psikologi Proses Pendidikan.


(Bandung: Remaja Rosdakrya)

Soemanto,Wasty.2006. Psikologi Pendidikan.( Jakarta: Rieneka Cipta)

Anda mungkin juga menyukai