Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker serviks adalah salah satu penyakit yang masih menjadi masalah di dunia
kesehatan. Insiden dan kematian kanker serviks di dunia sangat bervariasi, namun
insiden yang lebih tinggi ditemukan pada negara-negara berkembang. World
Health Organization (WHO) menyatakan lebih dari 84 % kasus kanker serviks
terdapat di negara negara berkembang dengan perkiraan setiap tahun terdapat
445.000 kasus kanker serviks baru di negara-negara berkembang. Pada tahun
2012, diperkirakan 270.000 perempuan meninggal karena kanker serviks di
seluruh dunia dengan presentase lebih dari 85% kematian terjadi di negara-negara
berkembang.1 Menurut departemen kesehatan, prevalensi kanker serviks di
Indonesia sebesar 0,8%, sementara di Bali sebesar 0,7%.2

Kanker serviks merupakan penyakit yang multifaktorial dan mempunyai


fase laten yang panjang. Sebagian besar yaitu 80 85 % kasus kanker serviks
terdiagnosis pada stadium invasif atau sudah lanjut dengan keadaan umum pasien
lemah karena mayoritas lesi pra kanker maupun lesi kanker serviks stadium awal
tidak akan menimbulkan gejala atau dengan gejala yang tidak khas.
Keterlambatan diagnosis mengakibatkan penanganan kanker serviks tidak
memberikan hasil yang optimal serta prognosis yang buruk dengan rata-rata angka
harapan hidup satu tahun penderita kanker serviks adalah 2,18 %. Berbagai upaya
dilakukan untuk memperbaiki prognosis kanker serviks, terutama dengan edukasi
masyarakat tentang kanker serviks dan pentingnya deteksi dini dan peningkatan
kualitas modalitas terapi seperti modalitas terapi operatif, sitostatika, radiasi, dan
paliatif baik secara tersendiri maupun dengan kombinasi, namun belum
memberikan hasil yang memuaskan.3,4

Diagnosis kanker serviks tidaklah sulit, permasalahannya adalah bagaimana


mendeteksi sedini mungkin. Tes Pap, visual asam asetat dan kolposkopi masih
merupakan pilihan utama dalam penemuan kanker serviks stadium dini,
walaupun berbagai kendala baik faktor teknis, sumber daya manusia, sarana, dan
dana, maupun kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat, luas jangkauan
geografisnya dan lain-lain tetap merupakan tantangan dalam menurunkan insiden
kanker serviks di Indonesia. Oleh karena itu, pengetahuan klinis yang memadai
baik faktor resiko, gejala klinis, upaya deteksi dini dan modalitas terapi kanker
serviks, mutlak dikuasai oleh tenaga-tenaga kesehatan terutama dokter umum
sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan di Indonesia dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas kanker serviks di masyarakat dengan melakukan
pendekatan preventive medicine yaitu mengetahui faktor risiko (pencegahan
primer), diagnosis dini (pencegahan sekunder) dan mencegah komplikasi lebih
lanjut (pencegahan tersier).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kanker serviks adalah tumor ganas yang tumbuh di leher rahim/serviks yang
dapat berasal dari epitel,fibroblast, pembuluh darah, limfe, dan campuran. Serviks
adalah bagian dari uterus yang bentuknya silindris, diproyeksikan ke dinding
vagina anterior bagian atas dan berhubungan dengan vagina melalui sebuah
saluran yang dibatasi ostium uterus eksternum dan internum. Kanker serviks dapat
berasal dari permukaan ektoserviks atau endoserviks.5

2.2 Epidemiologi

Sampai saat ini kanker serviks masih menjadi masalah kesehatan yang
penting
bagi wanita di seluruh dunia. Kanker ini termasuk jenis kanker ketiga yang paling
umum menimpa wanita, dan dialami lebih dari 1,4 juta perempuan di seluruh
dunia. Setiap tahun, lebih dari 460.000 kasus terjadi dan sekitar 231.000 yang
meninggal karena penyakit tersebut. Berdasarkan laporan WHO, pada tahun
2012, terdapat lebih dari 445.000 kasus kanker serviks baru yang ditemukan di
negara-negara berkembang dan ini merupakan 85% dari angka insiden global. .
Diperkirakan lebih satu juta wanita di seluruh dunia yang saat ini sedang
menderita kanker serviks dan kebanyakan belum terdiagnosis atau tidak
mendapatkan pengobatan yang dapat menyembuhkan atau memperpanjang hidup
mereka. Di Indonesia, kasus kanker serviks menempati urutan pertama dengan
prevalensi 0,8%. Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi
D.I. Yogyakarta memiliki prevalensi kanker serviks tertinggi yaitu sebesar
1,5%.1,2
2.3 Etiologi

Penyebab kanker serviks sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
namun diduga kuat berkaitan dengan infeksi oleh HPV (human papilloma virus)
terutama tipe 16 dan 18. Human papilloma virus (HPV) adalah anggota famili
papovaviridae, virus DNA rantai ganda dengan berat molekul 5x10 dalton,
diameter 55 nm, dan berhubungan dengan infeksi epitelial pada beberapa tempat
meliputi; kulit, mukosa mulut, laring, genitalia, dan anus. Dari perspektif klinik
tipe HPV dibagi menjadi dua kelompok yaitu:3

a. Kelompok risiko rendah, meliputi HPV tipe 6,11,42, 43, dan 44 di mana
tidak pernah berhubungan dengan kanker serviks.
b. Kelompok risiko tinggi atau tipe onkogenik, meliputi HPV tipe
16,18,31,33,35,39,45,51,52,56,58, dan 66 di mana semua tipe virus ini
ditemukan dan berhubungan dengan kanker serviks.
Secara molekuler, genom HPV adalah suatu double strand DNA yang
mengkode 9 protein virus. Dua diantaranya adalah LI dan L2 yang merupakan
protein pembungkus virus dan diekspresikan paling akhir (late) dalam siklus
kehidupan virus. Protein lainnya adalah E1-E7 yang diekspresikan lebih awal
(earlier). E1 merupakan protein yang berperan dalam replikasi virus, mempunyai
aktivitas ATPase, helikase dan pengikatan DNA. Sedangkan protein E2 adalah
regulator utama untuk transkripsi dan replikasi. Protein E2 berinteraksi dengan
protein E1 dalam proses inisiasi replikasi dan mengontrol transkripsi pada gen
promotor virus. Hilangnya fungsi E2 sering ditemukan pada stadium awal kanker,
yang diikuti dengan ekspresi tidak terkontrol dari onkoprotein virus, E6 dan E7.
Protein E6 dan E7 akan berikatan dengan gen p53 dan pRB host yang berperan
dalam regulasi pembelahan sel sehingga mengganggu siklus hidup sel host dan
menyebabkan kerusakan genetik yang mengarah pada terjadinya keganasan.
Secara macros infeksi virus ini akan menyebabkan metaplasia epitel permukaan
serviks.3
Secara imunologis, protein E6 dan E7 menurunkan imunitas host. Ketika
menginfeksi keratinosit, tubuh host akan merespon dengan cara menghasilkan
interferon dan pelepasan sitokin pro inflamasi. Interferon akan menghambat
proliferasi sel dan menghancurkan keratinosit yang terinfeksi HPV. Namun,
onkoprotein E6 dan E7 bersifat menghambat produksi interferon tubuh sehingga
mengganggu proses imunitas secara keseluruhan sehingga mempermudah
terjadinya keganasan.3
Pajanan HPV primer diduga terjadi pada sel lapisan basal dan selanjutnya
ekspresi protein virus berhubungan dengan fase differensiasi dalam lapisan
spinosum. Lingkaran pajanan HPV tergantung pada perjalanan hidup dari sel
targetnya yaitu keratinosit. Pada epitel skuamosa serviks, keratinosit berpindah
dari bagian proliferasi lapisan basal, berdiferensiasi dan bergerak ke atas yang
pada akhirnya terlepas dari epitel permukaan sesudah penggantian sel oleh
lapisan epitel di bawahnya. Selama diferensiasi keratosit, inti sel mengecil dan
piknotik dan akhirnya menghilang 3.
Sesudah virus memasuki epitel, protein kapsid virus berinteraksi dengan sel
basal dan DNA virus memasuki sel. Selama infeksi fase laten, virus terdapat
dalam bentuk episome. Mula-mula replikasi virus terjadi pada lapisan spinosum
bagian tengah yang ditandai meningkatnya E1,E2 dan E5. Akhirnya pada lapisan
atas spinosum terdapat keratinosit yang telah terdiferensiasi dan kumpulan virus
muncul bersama dengan ekspresi L1 dan L2. Ekspresi E4 juga terbatas pada
lapisan spinosum bagian atas dan berfungsi untuk memfasilitasi pelepasan virion.
Diferensiasi epitel skuamous diperlukan untuk replikasi virus dan produksi
virion. Sementara itu E6 dan E7 diekspresikan dalam lapisan spinosum bagian
bawah, dengan demikian peranan onkoprotein E6 dan E7 pada siklus hidup virus
normal adalah untuk menciptakan sebuah lingkungan yang mampu memfasilitasi
replikasi virus melalui the delay of keratinocyte senescence dan aktivasi sintesis
DNA. Karena itu, perubahan genetik secara terbatas mengarah pada onkogenesis
yang dapat merugikan baik penjamu maupun virus karena virus tidak dapat
bereplikasi pada epitel yang tidak sedang berdiferensiasi.3

2.4 Faktor Resiko

Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker


serviks, antara lain :3,5

a. Umur (umur 40-60 tahun/20-30 tahun).


b. Paritas (4).
c. Aktivitas seksual pada usia muda (<17 tahun).
Semakin muda seorang perempuan melakukan hubungan intim,
semakin besar pula resikonya untuk terkena kanker serviks.
Berdasarkan penelitian para ahli, perempuan yang melakukan
hubungan intim pada usia kurang dari 17 tahun mempunyai risiko
3 kali lebih besar dari pada yang menikah pada usia lebih dari 20
tahun. Hal ini berkaitan dengan paparan pada zona transformasi
yang sedang berkembang.
d. Hubungan seksual dengan multipartner
Hubungan seksual multipartner didasarkan atas konsep pria
beresiko tinggi sebagai vektor yang dapat menimbulkan infeksi
yang berkaitan dengan penyakit menular seksual seperti HPV dan
Clamydia trachomatis yang diduga berperan dalam karsinogenesis
kanker serviks. Risiko terkena kanker serviks menjadi 10 kali lipat
pada perempuan yang mempunyai partner seksual 6 orang atau
lebih.
e. Pajanan Virus Human Papilloma onkogenik terutama tipe 16, 18,
33, 35,45, 58.
f. Perokok aktif ataupun pasif. Perempuan yang sering terpapar asap
rokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks
dibandingkan dengan perempuan yang tidak merokok. Penelitian
menunjukan, lendir serviks pada perempuan perokok mengandung
nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat
tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping
merupakan ko-karsinogen infeksi virus.
g. Infeksi : Mikoplasma, Klamidia, dan Virus Herpes Simplek tipe 2.
h. Status imunitas seperti penderita HIV-AIDS.
Human immunodefisiensi virus (HIV) diduga berhubungan dengan
lesi prakanker dan kanker serviks atas dasar bahwa sistem imunitas
berperan penting pada proses keganasan yang multi faktorial.
Sistem imunitas yang tertekan merupakan predisposisi infeksi virus
onkogenik, apalagi dengan keadaan mekanisme regulalasi sel yang
sudah terganggu akan mempercepat perkembangan keganasan.
i. Status gizi dan sosial ekonomi
Status sosial-ekonomi rendah dapat meningkatkan insiden
kanker serviks yang berhubungan dengan status gizi. Status gizi
berhubungan dengan daya tahan tubuh baik terhadap infeksi
maupun kemampuan melawan keganasan. Status gizi dan peran
mikronutrien seperti zink, kuprum, dan asam folat juga diduga
sebagai faktor risiko kanker serviks. Dengan metoda polymerase
chain reaction (PCR) pada kelompok sosial-ekonomi rendah
didapatkan lebih dari 80% wanita normal positif terinfeksi HPV-
16.
j. Akseptor pil kontrasepsi
Hormon estrogen dalam pil KB dapat meningkatkan daya
karsinogenitas virus, merangsang semakin menebalnya dinding
endometrium dan merangsang sel-sel endometrium sehingga
berubah sifat menjadi kanker.
2.5 Histopatologi Kanker Serviks
Permukaan serviks uteri mempunyai dua macam epitel yaitu epitel
kolumner dan skuamosa. Antara epitel dan stroma dibatasi oleh basal membran.
Epitel kolumner menutupi kanalis servikalis dan lipatan epitel atau kripte. Epitel
ini terdiri dari dua macam sel yaitu sel yang tidak bersilia yang memproduksi
lendir atau mukus yang membasahi kanalis servikalis dan sel yang bersilia
berfungsi membersihkan lendir. Epitel kedua yaitu epitel skuamosa yang
menutupi ektoserviks. Pertemuan antara epitel skuamosa dan epitel kolumner
endoserviks membentuk sambungan yang disebut sambungan skuamo kolumner
(SSK). Secara morfogenetik SSK dibagi menjadi 2 jenis:5
a. SSK anatomis yaitu pertemuan antara epitel skuamosa dan epitel
kolumner
b. SSK fungsional yaitu pertemuan antara epitel kolumner dengan
epitel skuamosa metaplastik di daerah transformasi.
SSK ini bersifat dinamis, dipengaruhi oleh stimulasi hormonal dan status
perkembangan ( neonatus, menarche, kehamilan, menopause). Pada zona
transformasi ini akan terjadi penggantian secara bertahap epitel kolumnar oleh
epitel skuamosa (metaplasia). Pada wanita muda, SSK ini berada di luar ostium
uteri eksternum, sedangkan pada wanita berumur 35 tahun SSK berada di dalam
kanalis servikalis.5
Zona transformasi pada SSK melalui 2 proses perkembangan yaitu
epitelialisasi (pertumbuhan langsung dari epitel porsio asli) dan metaplasia
skuamosa yang berasal dari sel-sel kubus yang ada di bawah epitel kolumnar.
Pada awal terbentuknya zona transformasi, sel-sel bersifat labil (imatur) dan
sangat rentan terhadap perubahan-perubahan lingkungan sekitarnya. Proses ini
sangat aktif pada saat janin dalam kandungan, menarche dan kehamilan pertama.
Serviks normal, secara alami mengalami proses metaplasia akibat proses desak
mendesak kedua epitel yang melapisi. Dengan masuknya mutagen, porsio yang
erosif (metaplasia skuamosa) yang semula fisiologis dapat berubah menjadi
patologis (displastik-diskariotik) menjadi lesi prekanker (NIS/neoplasma
intraepitelial serviks). NIS dibagi menjadi 3 :6
a. NIS I (displasia ringan/perubahan 1/3 lapisan bawah epitel)
b. NIS II (displasia sedang/perubahan meluputi -3/4 tebal epitel)
c. NIS III (displasia berat meliputi lebih dari tebal epitel/karsinoma
insitu)..
NIS dapat mengalami regresi, menetap atau berkembang dan tumbuh
menjadi invasif. Tidak ada gejala yang ditemukan pada NIS (92%), kadang hanya
keputihan atau gejala peradangan.
Secara sederhana perjalanan penyakit pada kanker serviks adalah seperti
bagan berikut.

EPITEL KOLUMNAR

METAPLASIA AWAL

METAPLASIA METAPLASIA ATIPIKAL


FISIOLOGIS

EPITEL PIPIH
BERDIFERENSIASI
BAIK

TIDAK ADA DISPLASIA


PERUBAHAN SETELAH
NIS - KIS (karsinoma insitu)
DISPLASIA

KANKER INVASIF

Gambar 4. Bagan histopathogenesis kanker serviks


NIS dan KIS selanjutnya berkembang menjadi kanker yang invasif.
Dengan pemeriksaan histopatologi, kanker serviks secara umum dapat dibedakan
menjadi tiga histologi mayor yaitu karsinoma skuamosa (70%), adeno karsinoma
(25%), dan sisanya tipe lain (5%) yang masing-masing memiliki prognosis yang
berbedadengan karsinoma skuamosa memiliki prognosis terbaik.7

a. Karsinoma Skuamosa

Karsinoma skuamosa tersususn dari sel skuamosa. WHO membagi sel


skuamosa karsinoma menjadi large cell keratinizing, large cell non
keratinizing, dan small cell keratinizing. Kebanyakan karsinoma skuamosa
adalah bersifat non- keratinizing, sedangkan yang bersifat keratinizing
ditandai oleh adanya mutiara keratin. Secara umum hanya sedikit perbedaan
prognosis dari ketiga pembagian tersebut.1

Klasifikasi lain dengan mengklasifikasi berdasarkan diferensiasi selnya:


berdiferensiasi baik, sedang, dan buruk. Karsinoma skuamosa diferensiasi baik
ditandai oleh : gambaran berbentuk pita atau pulau terpisah, adanya jembatan
interselular serta banyak bentukan mutiara epitel jarang bervariasi,
menampakkan relatif sedikit pleomorphia, atipia sitologi atau aktivitas
mitosis. Berdiferensiasi sedang ditandai oleh : kecenderungan menunjukkan
pertumbuhan infiltrasi atau bentuk lembaran padat, jembatan interselular yang
kurang dan tidak teratur, ada sel keratinisasi secara tersendiri tapi mutiara
epitel tidak ada; pleomorphia, atipia, aktivtas mitosis tampak jelas.
Diferensiasi buruk ditandai oleh : banyak bentuk sel muda, pleomorphia
sehingga sulit dikenali sel dewasanya. Sedangkan undifferentiated bila tidak
ada memenuhi kriteria diatas serta tidak ada musin.5

b. Adenokarsinoma

Adenokarsinoma berasal dari kelenjar endoserviks dan lebih jarang


ditemukan dari pada sel skuamosa. Persentase karsinoma ini semakin
meningkat bila dibandingkan dengan sel kuamosa oleh karena lebih sulit
dideteksi pada stadium preinvasif. Secara histologi tumor ini mengalami
diferensiasi dari baik sampai buruk. Diferensiasi baik ditandai oleh : arsitektur
kelenjarnya masih jelas dibatasi oleh selapis atau berlapis epitel kolumnar,
biasanya terdapat mucus interselulr dan intraglandular. Pada adenoma yang
berdiferensiasi kurang baik ditandai oleh : derajat atipia meningkat serta
berkurangnya produksi musin, beberapa menunjukkan hilangnya diferensiasi
glandular, menunjukkan pertumbuhan padat dan hanya bisa dikenali bila
ditemukan musin intrasitoplasmik . DNA HPV yang dapat dideteksi adalah
HPV 16 (50%), HPV 18 (40%), HPV 45% (10%), HPV 52 (2%), dan HPV 35
(1%).5,7
c. Adenoskuamosa Karsinoma

Tersusun dari dua jenis sel yang berdiferensiasi yaitu sel skuamosa dan
sel glandular. Tumor ini sering dihubungkan dengan tingginya angka
metastasis ke kelenjar limfe daripada sel aslinya. Umumnya mempunyai
prognosis yang lebih jelek dari asal selnya oleh karena mempunyai
diferensiasi yang jelek.5
2.6 Manifestasi Klinis

Lesi prakanker pada serviks biasanya tidak menimbulkan gejala, sehingga


perubahan ini tidak akan terdeteksi kecuali wanita tersebut menjalani pemeriksaan
panggul dan Pap smear. Gejala biasanya baru muncul ketika sel serviks yang
abnormal berubah menjadi keganasan dan menyusup ke jaringan di sekitarnya.
Pada saat ini akan timbul gejala berikut:1,2,5
- Perdarahan vagina yang abnormal, diantara 2 menstruasi, setelah melakukan
hubungan seksual dan setelah menopause.
- Menstruasi abnormal (lebih lama dan lebih banyak)
- Keputihan yang menetap, dengan cairan yang encer, berwarna pink,
coklat,mengandung darah atau hitam serta berbau busuk.
- Nafsu makan berkurang, penurunan berat badan, kelelahan
- Nyeri panggul, punggung atau tungkai
- Dari vagina keluar air kemih atau tinja
- Gejala sesuai tempat metastase seperti nyeri tulang, fraktur patologis, sesak,
sakit kepala.
Pada pemeriksaan fisik umum biasanya ditemukan pembesaran kelenjar
limfe supraclavikula dan inguinal, pembesaran liver, ascites dll sesuai organ yang
terkena.
Pada pemeriksaan ginekologi dinilai:1,2,5
a. Dengan VT bisa ditemukan :
- Vagina : fluor, fluksus, tanda-tanda penyebaran/infiltrasi pada vagina
- Porsio : berdungkul, padat,rapuh,ukuran bervariasi,eksofitik/endofitik
- Uterus : normal/membesar
- Adneksa parametrium : tanda-tanda penyebaran,
b. Dengan RT dinilai penyebaran penyakit ke arah dinding pelvis (cancer
free space), yang merupakan daerah bebas antara tepi lateral serviks
dengan dinding pelvis.
CFS 100 % : belum ada tanda-tanda penyebaran
CFS 25-100% : ada penyebaran ,belum mencapai dinding pelvis
CFS 0% : penyebaran mencapai dinding pelvis
Dari pemeriksaan VT dan RT juga dapat dinilai penyebaran ke kolon,
rectum dan vesika urinaria.
2.7 Diagnosis dan Staging
Diagnosis kerja kanker serviks dibuat berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang
biasanya diusulkan adalah PAP smear sebagai skrining, biopsi dengan atau tanpa
kolposkopi, konisasi, LFT/RFT,dan pemeriksaan lain sesuai dengan keperluan
(foto thorax, USG ginjal/abdomen,sistoskopi, CT scan, rectoscopi). Untuk
keperluan penegakan diagnosis definitif kanker serviks dilakukan pemeriksaan
histopatologi dan secara umum dapat dibedakan menjadi tiga histology mayor;
karsinoma skuamosa (70%), adeno karsinoma (25%), dan sisanya tipe lain (5%).
Namun sebelum dilakukan
2.7.1 Pap Smear

Pap smear adalah metode skrining kanker serviks yang diperkenalkan oleh George
N Papanicolaou pada tahun 1924. Bila hasil tes Pap abnormal (lesi pra kanker /
lesi kanker) baru kemudian dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi.
Pengambilan spesimen dapat dengan spatula ayre/cyto brush. Dari beberapa
penelitian penggunaan cyto brush memberi hasil yang lebih baik.4

Klasifikasi Papaniculoau yang membagi sel abnormal dalam 5 kelas.


Sistem pelaporan ini banyak kelemahannya yaitu :

a. Tidak mencerminkan pengertian neoplasia serviks/vagina.


b. Tidak mempunyai padanan terhadap terminologi histologi.
c. Tidak menentukan diagnosa non kanker.
d. Tidak menggambarkan interpretasi yang seragam.
e. Tidak menunjukkan suatu pernyataan diagnosis.
Kemudian diperkenalkan sistem Reagen, yaitu sistem klasifikasi yang
diperkenalkan oleh BSCC (British Society for Clinical Cytology) yang
mencantumkan korelasi antara temuan sitologi abnormal dengan
histopatologinya (istilah diskariotik/displasia ringan, sedang dan berat). Dikenal
pula sistem Richart yaitu sistem pelaporan sitologi (istilah NIS /Neoplasia
Intraepitel Serviks), namun sistem ini tidak terlalu baik, karena menggunakan
istilah neoplasiadimana sebagaimana kita ketahui tidak semua perubahan awal
ini menjadi neoplastik dan tidak semua lesi berlanjut menjadi karsinoma. Lalu
pada tahun 1988 National Cancer Institute (NCI) membuat terminologi (sistem
Bethesda), dimana sistem ini mempunyai keuntungan karena mencakup:4

a. Komunikasi efektif antara ahli sitologi dengan dokter perujuk.


b. Mempermudah korelasi sitologi dengan histologi.
c. Mempermudah penelitian epidemiologi, biologi dengan patologi.
d. Data yang dapat dipercaya untuk analisis statistik nasional dengan
internasional.
Berikut tabel hubungan antara sistem klasifikasi hasil pemeriksaan sitologi :11

Tabel 2.2. Hubungan Sistem Klasifikasi Sitologi


2.7.2 IVA

Metode IVA ditemukan secara tidak sengaja oleh Hinselmann saat


menggunakan asam asetat untuk membersihkan lendir serviks (sebagai mucolytic
agent) sesaat sebelum melakukan pemeriksaan kolposkopi. Ia mendapatkan
adanya perubahan warna dari sel-sel displastik setelah diberikan larutan asam
asetat. Metode ini menggunakan asam asetat yang dipulas pada porsio serviks.
Pada lesi prakanker akan terjadi perubahan warna pada zona transformasi kearah
warna putih atau putih abu-abu yang disebut aceto white epithelium (WE).
Gambaran WE biasanya datar dgn permukaan licin. Larutan asam asetat ini akan
membuat perubahan warna sel menjadi putih atau putih abu-abu apabila sel-sel
mengalami proses metaplasia atipik, displasia ataupun neoplasia. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut :4

a. Densitas inti : sitoplasma pada sel atipik, displastik maupun neoplastik


relatif meningkat sejalan dgn peningkatan rasio inti : sitoplasma.
b. Asam asetat akan menimbulkan perubahan osmotik jaringan serviks,
dimana ruang ekstraseluler menjadi hipertonik. Terjadi proses difusi
osmotik, air akan keluar dari dalam sel, sehingga membrana seluler
disekitar inti akan kolaps. Sebagai akibatnya konsentrasi DNA inti akan
meningkat secara relatif dan densitas inti akan meningkat. Keadaan ini
mengakibatkan terhambatnya transmisi cahaya sehingga permukaan epitel
berwarna putih.
c. Sel epitel atipik, displastik maupun anaplastik memiliki jumlah kromatin
(protein) yang lebih banyak dari normal akibat adanya proses
hiperkromasia. Asam asetat mengakibatkan koagulasi kromatin dan
protein lainnya pada inti dan sitoplasma sehingga sel epitel tampak opaque

dan putih
Gambar 2.6. Hasil Pemeriksaan dengan Metode IVA

WE dengan area yg lebih putih dan tepi yang semakin jelas menunjukkan
lesi pra kanker dengan derajat yang lebih berat dan lebih mempunyai potensi
untuk terjadinya keganasan dibandingkan dengan area yang kurang putih dan tepi
yang kurang jelas. WE perlu dibedakan dengan leukoplakia yaitu bercak putih yg
tampak sebelum aplikasi asam asetat. Leukoplakia terjadi akibat gangguan sintesis
keratin yang tidak harus selalu dihubungkan dgn kelainan prakanker.4

Konsentrasi asam asetat yang dianjurkan adalah 3%-5%, dengan pertimbangan


pada konsentrasi tersebut akan membuat lesi berwarna lebih putih, timbul dalam
waktu yang lebih singkat (20-30 detik) dan bertahan lebih lama bila dibandingkan
dengan konsentrasi yang lebih rendah. Pada konsentrasi yang lebih tinggi akan
menimbulkan iritasi dan nyeri. Metode IVA bisa dilaksanakan dengan mata
telanjang (unaided visual) atau dengan bantuan alat gineskope (aided visual).
Gineskopi merupakan inspeksi visual asam asetat dengan menggunakan alat
gineskope pada pembesaran 5 kali. Keunggulan alat ini adalah lebih sensitif,
dimana alat ini mampu mendeteksi WE yang kecil dibanding dengan mata
telanjang. Tetapi alat ini langka Indonesia dan mahal sehingga tidak tepat sebagai
metode skrining masal di Indonesia.4

2.7.3 Kolposkopi

Kolposkopi adalah pemeriksaan menggunakan alat kolposkop (mikroskop


bertenaga rendah dengan pembesaran 6 - 40x dengan sumber cahaya di
dalamnya). Diperkenalkan tahun 1925 di Jerman oleh Dr. Hans Hinselmann. Alat
ini digunakan untuk memperbesar gambaran permukaan porsio sehingga
pembuluh darah jelas terlihat, dimana dengan memperhatikan pembuluh darah
pada porsio, karsinoma serviks lebih cepat dikenal dengan menggunakan filter
hijau (cahaya hijau: kontras yang baik untuk pembuluh darah dan jaringan).4

Untuk mendiagnosa dengan kolposkopi ada 5 hal yg perlu diperhatikan


yaitu pola pembuluh darah, jarak antar kapiler, pola permukaan epitel, kontras
jaringan, batas kelainan/lesi. Pemeriksaan kolposkopi dilakukan bila hasil Tes Pap
abnormal yang menunjukan suatu lesi pra kanker/kanker. Selain untuk
menegakkan diagnosis, kolposkopi juga digunakan sebagai penuntun biopsi pada

lesi-lesi yang dicurigai.4

Gambar 2.7. Alat Kolposkopi

2.8. Management Terapi

1. Kanker Klinik Pre Invasif 1,4,7


a. Berdasarkan konisasi NIS/Displasia (WHO)
NIS I/II : Pengamatan lanjut
NIS III : Jika ingin anak (pengamatan lanjut), cukup anak
(histerektomi total)
Hasil biopsi terarah/kuretase endoserviks, jika hasil NIS II/III
(krioterapi/elektrokoagulasi).
b. Penatalaksanaan Lesi Prakanker Serviks
Fase Laten : Belum jelas, mungkin dapat digunakan suatu
imunomodulator
Fase subklinik : diagnosis berdasarkan histopatologi. Jika
derajat rendah dapat dengan krioterapi atau dengan prosedur
eksisi loop elektrocouter (LEEP). Jika lesi derajat tinggi dapat
dengan LEEP, LLETZ (Large Loop Exicion Transformation
Zone), konisasi, Histerektomi.
Fase klinik : Jika lesi jinak dapat diberikan terapi berupa
larutan podofilin 25%, krim 5 FU atau dengan elektrocouter.
Jika lesi ganas kita dapat tangani dengan terapi kanker serviks
invasif.
Berikut penatalaksanaan lebih lanjut pada hasil tes Pap Smear abnormal.

Gambar 2.8. Alogaritma Management standar untuk Pap Smear abnormal 7


2. Kanker Serviks Invasif1,4,7
Dailakukan pemeriksaan darah lengkap berseta kimia darah (LFT,RFT)
dan urinalisa. Konsultasi ke bagian lain dilakukan bila ditemukan penyakit
yang terkait. Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan staging menurut
FIGO, sebagai berikut :

Stadium 0
Bila fungsi uterus masih diperlukan dapat dilakukan cryosurgery,
konisasi, LEEP, LLETZ. Histerektomi diindikasikan bila sudah cukup
anak atau ditemukan patologi ginekologi lain dan sulit untuk follow up
pasien.

Stadium 1A
o 1A1 : dilakukan konisiasi pada pasien muda, histerektomi
vaginal/abdominal pada pasien tua.
o 1A2 : Histerektomi abdominal dan lomfadenektomi pelvik,
modifikasi histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvik.
o Bila ada kontraindikasi terhadap operasi dapat diberikan radiasi.
Stadium IB/IIA
o Bila bentuk serviks berbentuk barrel, usia <50 tahun, lesi primer <
4 cm, indeks obesitas < 0,70 dan tidak ada kontraindikasi operasi,
maka dilakukan histerektomi radikal. Satu atau dua ovarium pada
usia muda dapat ditinggalkan dan dilakukan ovareksis keluar
lapangan radiasi sampai diatas L IV. Post operasi dapat diberikan
ajuvan terapi (kemoterapi, radiasi, atau gabungan keduanya). Hal
tersebut diindikasikan bila radikalitas operasi kurang, kelenjar
getah bening pelvis/paraaorta positif, hasil histopatologi berupa
small cell carcinoma dengan diferensiasi sel buruk, terdapat invasi
limfotik vaskuler atau pada mikroskopik terdapat invasi ke
parametria.
o Bila usia <50 tahun, lesi primer > 4 cm, indeks obesitas > 0,70 atau
penderita menolak/kontraindikasi operasi, maka diberikan radiasi.
Bila kemudian ada resistensi, pengobatan selanjutnya adalah
histerektomi radikal.
Stadium IIB-IIIB
o Diberikan radiasi. Pada risiko tinggi kemoterapi dapat ditambah
untuk meningkatkan respon pengobatan, juga dapat diberikan
induksi atau simultan. Secara induksi diberikan 4-6 minggu
sesudah kemoterapi sedangkan simultan diberikan bersamaan
dengan kemoterapi.
o Dianjurkan dilakukan CT Scan untuk mengetahui metastasis
tumor, dan bila ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
kurang dari 1,5 cm dilakukan limfadenektomi dan dilanjutkan
radiasi.
o Kemoterapi dapat diberikan intra arterial dan bila respon baik dapat
dilanjutkan dengan histerektomi radikal.
Stadium IV
o Bila ada respon dapat diberikan radiasi paliatif dan bila
memungkinkan dilakuakn dengan kemoterapi. Bila tidak ada
imptom tidak perlu diberikan terapi.
o Bila terjadi perdarahan masif yang tidak terkontrol, dapat
dilakukan terapi embolisasi intra arterial (a. iliaca interna)
Pengamatan lanjut dilakukan setiap 3 bulan selama 2 tahun pertama,
kemudian setiap 6 bulan pada 5 tahun berikutnya dan setahun
sesudahnya.
3. Kanker Serviks Residif 1,4,7
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan lengkap mulai dari anamnesa,
pemeriksaan fisik dan ginekologik, biopsi, kolposkopi, foto thorak, CT
Scan, bone survey untuk mengetahui metastasis. Pengobatan dibedakan
berdasarkan:

a. Residif Post Radiasi


Lokal : Kemoterapi atau operasi histerektomi total/radikal
Regional : Pada rektum/vesika/parametria dilakukan eksenterasi.
Distal vagina/vulva dilakukan radiasi dengan elektron. Panggul
didalam lapangan radiasi dilakukan kemoterapi sedangkan yang
diluar lapangan radiasi dapat diberikan kemoterapi atau radiasi.
Jauh : Pada paru, bila soliter dapat diberikan reseksi atau radiasi
sedangkan bila multipel dilakukan kemoterapi. Metastasis pada
otak /kelenjar getah bening/tulang dilakukan dengan radiasi atau
kemoterapi.
b. Residif Post Operasi
Regional, dilakukan dengan radiasi atau kemoterapi. Bila residif
pada vesika urinaria/rektum dapat dipertimbangkan untuk
eksenterasi.
Metastasis jauh, pengobatan sama dengan residif post radiasi.
2.9 Prognosis
Kematian pada kasus kanker serviks terjadi karena sebagian besar
penderita yang berobat sudah berada dalam stadium lanjut, padahal dengan
ditemukannya kanker ini pada stadium dini, kemungkinan penyakit ini dapat
disembuhkan sampai hampir 100%.3

Dengan kemajuan teknologi ada beberapa cara untuk menilai prognosis


kanker serviks, salah satunya dengan mendeteksi gen supresor tumor secara
imunositokemia dimana pada penelitian ini difokuskan deteksi gen tersebut yang
dihubungkan dengan jenis histologi. Ekspresi gen ini yang berbeda pada kanker
serviks berdasarkan jenis histologi namun sampai saat ini masih belum ada
publikasinya. Dengan ditemukannya hubungan antara gen supresor tumor p53
dan pRB dengan jenis histologi kanker serviks diharapkan prognosisnya dapat
berbeda.3
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2015. Human papilloma virus and cervical cancer. Available at


www.who.org (accesed: 2016, May 29)
2. Komite Nasional Penanggulangan Kanker. 2015. Panduan Pelayanan
Klinis Kanker Serviks. Jakarta
3. Suwiyoga, IK.2004.Peranan Papilloma Virus pada Kanker Serviks.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan.Obstetri dan Ginekologi FK Unud /
RSUP Sanglah.Denpasar
4. National Cancer Institute. 2016. Cervical Cancer Treatment. Available at
www.cancer.gov (accessed: 2016, May 29)
5. Anwar M., Baziad A, Prajitno R.1999. Kanker Serviks, Ilmu Kandungan
edisi ke-3. Yayasan Bina Pustaka.Sarwono Prawirodiharjo.Jakarta; hal
294-299
6. Frizzel JP. 2001. Handbook of Pathophysiology. Philadelphia.
Springhouse Corporation
7. Janicek MF. 2001. Cervical Cancer : Prevention, Diagnostic, Terapiutic.
CA Cancer J Clin 2001;51:92-114

Anda mungkin juga menyukai