Anda di halaman 1dari 12

HEPATOTOKSIK OBAT TB

Tuberkulosis (TBC) adalah salah satu penyakit menular yang paling serius di seluruh
dunia. Efek Hepatotoksik bisa terjadi akibat semua obat anti-TB lini pertama memiliki efek
buruk terhadap hepar. Efek samping merupakan pertimbangan klinis penting bagi pasien
yang menjalani pengobatan TB karena durasi terapi yang panjang dan penggunaan beberapa
obat secara bersamaan. Hepatotoksisitas adalah efek buruk yang paling serius dari anti-TB,
karena kerusakan hati dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Obat anti-TB
lini pertama, termasuk isoniazid (INH), rifampisin (RIF), dan pirazinamida (PZA), dikaitkan
dengan efek hepatotoksik yang cukup besa. Efek Hepatotoksik secara negatif mempengaruhi
kepatuhan terhadap terapi, menurunkan tingkat keberhasilan pengobatan, dan dapat
meningkatkan kegagalan pengobatan, kambuh, atau resistansi obat. INH, RIF, dan PZA
dimetabolisme dan didetoksifikasi di hati, membuat organ tersebut rentan terhadap
kerusakan. Metabolit toksik dapat memainkan peran penting dalam anti-TB druginduced
hepatotoxicity (ATDH) . RIF adalah inducer potensial dari beberapa isoenzim sitokrom P450
(mis., CYP2E1, 3A) . RIF meningkatkan toksisitas INH, mungkin dengan meningkatkan
pembentukan metabolit hidrazin toksiknya. Namun, relatif sedikit yang diketahui tentang
hepatotoksisitas PZA. Enzim responsif untuk jalur metabolisme PZA adalah amidase dan
xanthine oxidase, Namun, proporsi jalur metabolisme ini dalam tubuh manusia adalah tidak
jelas.

Pyrazinoic acid (PA) adalah produg asam pirazinoat yang merupakan penghambat
mycobacterium tuberkulosis. PA diproduksi oleh amidase mikrosomal hati, kemudian
xanthine oxidasi menghidrolisis PA menjadi 5-hydroxypyrazinoic acid (5-OH-PA).
Metabolisme PZA akan di ekresikan dalam urin. Pengenalan PZA pada fase awal mengurangi
durasi rejimen anti-TB yang mengandung RIF dari 9 sampai 6 bulan. Pada awal pengobatan
anti-TB atau selama fase pemeliharaan diberikan selama 6 bulan atau lebih lama. PZA
memiliki kekurangan, karena berhubungan dengan hepatotoksisitas dan hiperurisemia.
Tinggi kejadian hepatotoksisitas dilaporkan saat dosis tinggi PZA (40 sampai 70 mg / kg)
digunakan. Dari 114 pasien TB yang mendapatkan PZA selama 2 bulan mengalami:
peningkatan enzim hepar 16%, sebanyak 7.9 % meningkat sebanyak 5 kali enzim hepar dari
nilai normal dan 5.3 % menunjukan gejala hepatitis.1

Pada tahun 2001, American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD)
menetapkan bahwa peningkatan kadar alanin aminotransferase (ALT) lebih dari tiga kali
batas atas normal (BAN) dan peningkatan bilirubin total lebih dari dua kali BAN dapat
digunakan sebagai kriteria untuk meenentukan ada tidaknya kelainan signifi kan pada
parameter laboratorik hati.9 Peningkatan kadar enzim hati alanin transaminase (ALT),
aspartat aminotransferase (AST), dan fosfatase alkali (ALP) dianggap sebagai indikator jejas
hati, sedangkan peningkatan bilirubin total dan terkonjugasi merupakan parameter untuk
menilai fungsi hati secara keseluruhan. Penilaian pola jejas hati sangat penting karena obat-
obat tertentu cenderung menyebabkan jejas dengan pola yang khas.2

Obat pirazinamid juga menyebabkan hiperurisemia pada mereka yang


mengkonsumsinya. Perubahan kadar asam urat didarah pasien sama dengan perubahan
pemakaian obat pirazinamid. Selama 6 bulan didapatkan 41 sampel meliputi 24 laki-laki
(58,5%) dan 17 perempuan (41,5%). Usia sampel 11-41 tahun sebanyak 26 orang. (63,4%)
dan usia 41-60 tahun sebanyak 15 orang (36,6%). Rerata kadar asam urat sebelum
pengobatan OAT-KDT 5,01 (CI [Confi dence Interval] 2,6-6,9); rerata minggu ke-4 10,58
(5,7-18,7); rerata minggu ke-8 10,55 (6,1-16,3) dan rerata sesudah fase intensif 6,31 (3,3-
10,1). Diperoleh peningkatan asam urat yang bermakna dari minggu ke-0 dengan minggu ke-
4 (p 0,05). Penurunan asam urat dari minggu ke-8 dan minggu ke-12 adalah bermakna (p
<0,05). kejadian hiperurisemia lebih tinggi pada kombinasi ZE dibanding dengan Z atau E
saja. Ini diakibatkan karena pirazinamid dan etembutol memfasilitasi pertukaran ion di
tubulus ginjal menyebabkan reabsorpsi berlebihan asam urat sehingga menimbulkan
hiperurisemia.3

CAIRAN SEREBROSPINAL

Sistem anatomi dari cairan serebrospinal termasuk didalamnya ventrikel, ruang


subarachoid, sisterna dan sulcus. Pleksus koroid yang berada di dalam cavitas ventrikel
menyumbangkan 80% sekresi CSF, serta 20% dari struktur lain yaitu parenkim otak. Total
volume CSF 90-150 ml pada dewasa. Laju pembentukan CSF pada manusia adalah 0,3 - 0,4
ml min. CSF bersirkulasi melalui ventrikel, sisterna, dan ruang subarachnoid pada akhirnya
diserap ke dalam vena darah pada tingkat villi arachnoid. Bagian minor CSF dapat masuk ke
dalam limfatik servikal yang berjalan melalui ruang perineural saraf kranial.

Sistem ventrikel terdiri dari 2 buah ventrikel lateral, ventrikel III dan ventrikel IV.
Ventrikel lateral terdapat di bagian dalam serebrum. Ventrikel III adalah suatu rongga sempit
di garis tengah yang berbentuk corong unilokuler, letaknya di tengah kepala, ditengah korpus
kalosum dan bagian korpus unilokuler ventrikel lateral, diatas sela tursica, kelenjar hipofisa
dan otak tengah dan diantara hemisfer serebri, thalamus dan dinding hipothalanus. Disebelah
anteroposterior berhubungan dengan ventrikel IV melalui aquaductus sylvii.Ventrikel IV
merupakan suatu rongga berbentuk kompleks, terletak di sebelah ventral serebrum dan dorsal
dari pons dan medula oblongata4

Gambar: cerebrospinal fluid space.5

Cairan serebrospinal dibentuk dengan kecepaan sekitar 500 ml/ hari, yaitu sebanyak 3-4
kali volume total cairan di seluruh sistem cairan serebrospinal. Sekitar 2/3 cairan berasal

Dari peksus koroideus di keempat ventrikel, terutama di kedua ventrikel lateral. Sejumlah
kecil cairan tambahan disekresikan oleh permukan ependim ventrikel dan memnran araknoid
serta sebagian kecil dari otak itu sendiri dari melalui ruang perivaskuler yang mengelilingi
pembuluh darah yang masuk ke otak. Saluran utama aliran cairan berjalan dari pleksus
koroideus kemudian melewati sistem serebrospinal. Cairan yang disekresikan dai ventrikel
lateral mengalir ke ventrikel ketiga, kemudian setelah mendapatkan sejumlah kecil cairan dari
ventrikel ketiga caian tersebut mengalir ke ventrikel keempat melalui akua duktus sylvii.
Ventrikel 4 merupakan tempat penambahan sebagian kecil cairan serebospinal. Cairan dari
ventrikel ke 4 keluar dari ventrikel melalui 3 pintu kecil yaitu: dua foramen luschka di lateral
dan satu foramen mangendie ditengah dan memasuki sisterna magna yaitu suatu rongga
cairan yang terletak dibelakang medula spinalis dan dibawah serebelum. Sisterna magna
berhubungan dengan ruang subaraknoid yang mengelilingi seluruh otak dan medula spinalis.
Hampir seluruh cairan serebrospinal kemudian mengalir keatas dari sisterna magna melalui
ruang subaracnoid yang mengelilingi serebrum. Disini cairan mengalir kedalam villi
araknoidalis yang menjorok kedalam sinus venous sagitalis yang besar dan sinus dan sinus
lainnya di serebrum. Jadi setiap cairan ekstra akan bermuara kedalam darah vena melelui
pori-pori villi tersebut. 5

Patologi cairan serebsospinal

Keadaan normal dan beberapa kelainan cairan serebrospinal dapat diketahui dengan
memperhatikan:

1. Warna

Normal cairan serebrospinal warnamya jernih dan patologis bila berwarna:


kuning,santokhrom, cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning muncul dari
protein. Peningkatan protein yang penting dan bermakna dalam perubahan warna adalah
bila lebih dari 1 g/L. Cairan serebrospinal berwarna pink berasal dari darah dengan
jumlah sel darah merah lebih dari 500 sdm/cm3 . Sel darah merah yang utuh akan
memberikan warna merah segar.1

Eritrosit akan lisis dalam satu jam danakan memberikan warna cucian daging di
dalam cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal tampak purulenta bila jumlah leukosit
lebih dari 1000 sel/ml.1

2. Tekanan

Tekanan cairan serebrospinal diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan
cairan dan tahanan terhadap absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari
keduanya naik, maka tekanan naik, bila salah satu dari keduanya turun, maka tekanannya
turun.1

Tekanan cairan serebrospinal tergantung pada posisi, bila posisi berbaring maka
tekanan normal cairan serebrospinal antara 8-20 cm H2O pada daerahh lumbal, siterna
magna dan ventrikel, sedangkan jika penderita duduk tekanan cairan serebrospinal akan
meningkat 10-30 cm H2O. Kalau tidak ada sumbatan pada ruang subarakhnoid, maka
perubahan tekanan hidrostastik akan ditransmisikan melalui ruang serebrospinalis. Pada
pengukuran dengan manometer, normal tekanan akan sedikit naik pada perubahan nadi
dan respirasi, juga akan berubah pada penekanan abdomen dan waktu batuk. Bila
terdapat penyumbatan pada subarakhnoid, dapat dilakukan pemeriksaan Queckenstedt
yaitu dengan penekanan pada kedua vena jugularis. Pada keadaan normal penekanan
vena jugularis akan meninggikan tekanan 10-20 cm H2O dan tekanan kembali ke asal
dalam waktu 10 detik. Bila ada penyumbatan, tak terlihat atau sedikit sekali peninggian
tekanan. Karena keadaan rongga kranium kaku, tekanan intrakranial juga dapat
meningkat, yang bisa disebabkan oleh karena peningkatan volume dalam ruang kranial,
peningkatan cairan serebrospinal atau penurunan absorbsi, adanya masa intrakranial dan
oedema serebri.1

Kegagalan sirkulasi normal cairan serebrospinal dapat menyebabkan pelebaran


vena dan hidrocephalus. Keadaan ini sering dibagi menjadi hidrosefalus komunikans dan
hidrosefalus obstruktif.1

Pada hidrosefalus komunikans terjadi gangguan reabsorpsi cairan serebrospinal,


dimana sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel ke ruang subarakhnoid tidak
terganggu. Kelainan ini bisa disebabkan oleh adanya infeksi, perdarahan subarakhnoid,
trombosis sinus sagitalis superior, keadaan-keadaan dimana viscositas cairan
serebrospinal meningkat danproduksi cairan serebrospinal yang meningkat.1

Hidrosefalus obstruktif terjadi akibat adanya ganguan aliran cairan serebrospinal


dalam sistem ventrikel atau pada jalan keluar ke ruang subarakhnoid. Kelainan ini dapat
disebabkan stenosis aquaduktus serebri, atau penekanan suatu msa terhadap foramen
Luschka for Magendi ventrikel IV, aq. Sylvi dan for. Monroe. Kelainan tersebut bisa
berupa kelainan bawaan atau didapat.1

3. Jumlah sel

Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3 , dan mungkin hanya terdapat 1
sel polymorphonuklear saja, Sel leukosit junlahnya akan meningkat pada proses
inflamasi. Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin dilakukan, jangan lebih dari
30 menit setelah dilakukan lumbal punksi. Bila tertunda maka sel akan mengalami lisis,
pengendapan dan terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah jumlah sel secara
bermakna. Leukositosis ringan antara 5-20 sel/mm3adalah abnormal tetapi tidak spesifik.
Pada meningitis bakterial akut akan cenderung memberikan respon perubahan sel yang
lebih besar terhadap peradangan dibanding dengan yang meningitis aseptik. Pada
meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada
meningitis aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara
berlebihan (5000-10000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi rupture dari abses serebri
atau perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan petunjuk
ke arah penyebab peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi kronik oleh L.
monocytogenes. Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada infeksi
cacing dan penyakit parasit lainnya termasuk Cysticercosis, juga meningitis tuberculosis,
neurosiphilis, lympoma susunan saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda asing.1

4. Glukosa

Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan serebrospinal
sangat bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari mulai
tempat pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid lumbar.1

Rasio normal kadar glukosa cairan serebrospinal lumbal dibandingkan kadar


glukosa serum adalah >0,6. Perpindahan glukosa dari darah ke cairan serebrospinal
secara difusi difasilitasi transportasi membran. Bila kadar glukosa cairan serebrospinalis
rendah, pada keadaan hipoglikemia, rasio kadar glukosa cairan serebrospinalis, glukosa
serum tetap terpelihara. Hypoglicorrhacia menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa
cairan serebrospinal, glukosa serum, keadaan ini ditemukan pada derjat yang bervariasi,
dan paling umum pada proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan meningitis
oleh carcinoma. Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada meningitis
sarcoidosis, infeksi parasit misalnya, cysticercosis dan trichinosis atau meningitis zat
khemikal.1

Inflamasi pembuluh darah semacam lupus serebral atau meningitis rhematoid


mungkin juga ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis
viral, mump, limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan kadar
glukosa ringan sampai sedang.1

5. Protein

Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%. pada
sisterna 10-25 mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 ,g%. Kadar gamma globulin
normal 5-15 mg% dari total protein. Kadar protein lebih dari 150 mg% akan
menyebabkan cairan serebrospinal berwarna xantokrom, pada peningkatan kadar protein
yang ekstrim lebih dari 1,5 gr% akan menyebabkan pada permukaan tampak sarang laba-
laba (pellicle) atau bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen.1 Kadar protein
cairan serebrospinal akan meningkat oleh karena hilangnya sawar darah otak (blood
barin barrier), reabsorbsi yang lambat atau peningkatan sintesis immunoglobulin loka.
Sawar darah otak hilang biasanya terjadi pada keadaan peradangan, iskemia baktrial
trauma atau neovaskularisasi tumor, reabsorsi yang lambat dapat terjadi pada situasi
yang.

PAEDIATRIC COMA SCALE

Sedangkan Paediatric coma Scale merupakan modifikasi dari Glasgow Coma Scale
karena pada anak-anak yang belum bisa berbicara akan menyulitkan pemeriksa dalam
menentukan skor verbal-nya.

PEMERIKSAAN SCORE

Eye

Pemeriksa mendekati pasien dan pasien spontan membuka mata dan 4


memandang pemeriksa

Pemeriksa memanggil nama pasien/memerintahkan pasien untuk membuka 3


mata

Pemeriksa memberi rangsang nyeri berupa cubitan,pasien akan membuka 2


mata

Pemeriksa memberi rangsang apapun (suara keras/cubitan) pasien tidak 1


membuka mata

Verbal

Non Verbal

Pemeriksa memberi rangsang berupa obyek/mainan yang menarik perhatian 5


pasien dan pasien tersenyum serta bisa mengikutinya saat digerakkan

Interaksi pasien dengan pemeriksa kurang baik,pasien dapat mengucapkan 4


konsonan saat menangis

Pemeriksa mencoba berinteraksi dengan pasien tapi pasien mengeluarkan 3


suara yang tidak konsisten (konsonan),dan rintihan saat menangis

Pasien gelisah,tidak bisa istirahat/diam,menangi 2

Pemeriksa memberi rangsangan tapi pasien tidak memberikan respon terhadap 1


rangsang apapun
Verbal

Pemeriksa menanyakan orientasi pasien (tempat,orang,waktu),pasien 5


menjawab dengan jelas,benar,dan cepat

Pemeriksa menanyakan orientasi pada pasien,pasien dapat menjawab tapi 4


bingung,tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya

Pemeriksa memberi pertanyaan tapi pasien tidak dapat menjawab seluruh 3


pertanyaan dan tidak dapat menyelesaikan seluruh kalimat

Pemeriksa memberi pertanyaan dan pasien hanya bisa bergumam 2

Pemeriksa memberikan rangsang tapi pasien tidak mengeluarkan suara /tidak 1


ada respon

Motorik

Pemeriksa memberi perintah dan pasien dapat melaksanakannya 6

Pemeriksa memberi perintah,tapi pasien mangabaikannya,diberi rangsang 5


nyeri pasien dapat melokalisir nyeri

Pemeriksa memberi rangsang nyeri dan pasien berusaha menolaknya 4

Pemeriksa memberi rangsang nyeri,kedua tangan pasien menggenggam dan di 3


kedua sisi tubuh di bagian atas sternum (posisi dekortikasi)

Pemeriksa memberi rangsang nyeri ,pasien meletakkan kedua tangannya 2


secara lurus dan kaku di kedua sisi tubuh (posisi deserebrasi) :

Pemeriksa memberi rangsang apapun pasien tidak bergerak/tidak berespon 1

Children Coma Scale : Skor membuka mata + respon verbal/nonverbal terbaik + respon
motorik Interpretasi :

1. Skor minimum adalah 3, prognosis sangat buruk

2. Skor maksimum adalah 15, prognosis baik

3. Skor 7 kesempatan untuk sembuh besar

4. Skor 3-5 berpotensi fatal

5. Anak-anak usia dibawah 5 tahun memiliki skor lebih rendah karena


pengurangan terjadi pada respon motorik dan verbal.
1. Usia 0-6 bulan : Respon verbal terbaik pada usia ini adalah menangis, skor yang
diharapkan adalah 2

2. Usia 6-12 bulan : Pada usia ini bayi sudah dapat membentuk suara, skor yang
diharapkan adalah 3. Bayi akan melokalisir nyeri tapi tidak menuruti perintah, skor yang
diharapkan adalah 4.

3. Usia 12-24 bulan : Kata-kata yang diucapkan sudah dapat dimengerti, skor yang
diharapkan adalah 4. Bayi akan melokalisir nyeri tapi tidak menuruti perintah, skor yang
diharapkan adalah 4.

4. Usia 2-5 tahun : Kata-kata yang diucapkan sudah dapat dimengerti,skor yang
diharapkan adalah 4. Bayi sudah menuruti perintah,skor yang diharapkan adalah 5.

5. Usia diatas 5 tahun : Orientasi baik bila pasien mengetahui bahwa ia di rumah
sakit,skor verbal normal yang diharapkan adalah 5.

Skor normal berdasarkan umur :

0-6 bulan 9

6-12 bulan 11

12-24 bulan 12

2-5 tahun 13

> 5 tahun 14

CEREBARAL PALSY

A recent international working group cerebral palsy: Cerebral palsy adalah kelompok
gangguan bersifat permanen dari perkembangan gerakan dan postur tubuh, yang
menyebabkan keterbatasan aktivitas, yang disebabkan oleh gangguan non-progresif yang
terjadi pada otak janin atau bayi yang sedang berkembang.

GLOBAL DEVELOPMENTAL DELAY (GDD)


GDD bagian dari ketidakmampuan mencapai perkembangan sesuai usia, dan
didefinisikan sebagai keterlambatan dalam dua bidang atau lebih perkembangan motor
kasar/motor halus, bicara/ berbahasa, kognisi, personal/sosial dan aktifitas sehari-hari. Istilah
ini digunakan bagi anak yang berusia kurang dari lima tahun. Istilah KPU menggambarkan
keadaan klinis yang berhubungan dengan berbagai penyebab dan ketidaksesuaian
perkembangan adaptasi serta belajar pada kelompok umur tertentu.

FISIOTERAPI

1. Neurostructure (NS)
Neurostructure (NS) adalah untuk mendorong perkembangan motorik dan personal anak
(Nawang, 2010). Neurostructure (NS) mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. Meringankan dan menghilangkan stress dan kompensasi disfungsional yang non-produktif
di dalam struktur tubuh.
b. Mengaktifkan motor program yang alami dan genetik dan seluruh mekanisme
perkembangan gerak.
c. Mengaktifkan brain-body integration mechanisms, yang mempengaruhi perkembangan
gerak.
d. Mengoptimalkan motor- and sensory-motor integration.
e. Menghilangkan stres pada saat belajar.
f. Mendukung ketrampilan motorik dan cognitive yang alami dan khusus.
g. Mengungkap kemampuan untuk membuat perubahan-perubahan positif dalam struktur,
postur dan gerak tubuh, dan sistem-sistem koordinasi yang
beragam.
h. Membantu anak-anak dan orang dewasa untuk menggunakan motor skills dalam
pembelajaran.
i. Membuat exercise terpadu yang bersifat individual untuk anak-anak dan orang dewasa
yang memiliki permasalahan dalam perkembangan gerak, emosi, motivasi, dan pembelajaran.
Dengan pelaksanaan sebagai berikut :
Diberikan sentuhan ringan mulai dari kepala sampai ujung kaki.
Pasien : terlentang dan tengkurap
Terapis : duduk didepan anak
Gerakan : usapan lembut kepala, wajah, leher, bahu, hingga tangan. Lalu badan anak dari
dada sampai pelvic, lanjut dari paha sampai ujung kaki.
Pengulangan : sekali persesi dengan 3 kali pengulangan.
Pemberian terapi latihan sebagai berikut :
1. Exercise fleksor dan ekstensor knee
Pasien : berbaring terlentang
Terapis : di sebelah distal anak dengan pegangan pada distal kedua lutut
Gerakan : fleksi hip dan fleksi ankle secara bergantian
Pengulangan : 8 x per sesi latihan
2. Exercise tidur terlentang ke duduk
Pasien : berbaring terlentang kaki seperti bersila
Terapis : di depan anak, lutut terapis memfiksasi lutut anak
Gerakan : anak diminta bangun, memberi exerciseberupa tarikan pada tanganya setelah posisi
pasien duduk terapis memberikan aproksimasi pada bahu
3. Exercise kneeling dari crawling
Pasien : crawling
Terapis : duduk bersimpuh di belakang anak
Gerakan : terapis memegang pelvis sebagai KOC. Berikan aba-aba agar anak menekuk
lututnya,sambil memberikan sedikit bantuan dengan menarik pelvis ke arah depan dan keatas
sampai posisi kneeling, pertahankan posisi sampai beberapa saat
Pengulangan : sekali per sesi latihan
4. Exercise keseimbangan duduk pada guling
Pasien : duduk dengan guling di antaranya
Terapis : berada di belakang anak
Gerakan : terapis menggoyang-goyangkan guling ke kanan dan kiri
Pengulangan : sekali per sesi latihan
5. Exercise keseimbangan pada bola
Pasien : berbaring di atas bola
Terapis : berada di distal anak memberikan fiksasi pada ankle
Gerakan : terapis menggoyang-goyangkan bola ke segala arah
Pengulangan : sekali per sesilatihan
Tujuan exercise untuk memelihara dan mengembalikan kualitas tonus normal, untuk
memudahkan gerakan-gerakan yang disengaja, diperlukan dalam aktifitas sehari-hari pada
anak developmental delay.
1. Brain gym ( Senam Otak )
Adalah gerakan sederhana dengan menggunakan keseluruhan otak karena merupakan
penyesuaian dengan tuntutan sehari-hari sehingga belajar menjadi riang dan senang (Paul &
Gail, 2010).

Brain gym mempunyai manfaat antara lain :


a. Untuk koordinasi otak kanan dan kiri.
b. Mempersiapkan belajar
c. Memperbaiki mood anak
d. Mengasah fokus & konsentrasi anak
e. Menguatkan motivasi
f. Meredam stress pada anak.
Gerakan pada brain gym sebagai berikut :
a. . I (lengan kanan dan tungkai kanan)
b. II (lengan kiri dan tungkai kiri)
c. II (lengan kanan & tungkai kiri)
d. IV (lengan kiri &tungkai kanan)
2. Standing (Mengenalkan anak untuk berdiri tegap melawan gravitasi)
Berdiri dengan menggunakan Standing Frampe selama 30 menit.

Anda mungkin juga menyukai